• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kedudukan Isbat Nikah Terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kedudukan Isbat Nikah Terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kedudukan Isbat Nikah Terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Perkawinan merupakan suatu pranata yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Perkawinan membuat suatu hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sah di hadapan hukum. Hubungan tersebut diikat berdasarkan aturan agama masing-masing serta aturan negara untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Suatu perkawinan tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia, sebab dengan melakukan perkawinan, manusia dapat meneruskan garis keturunan agar tidak hilang ditelan zaman. Perkawinan juga memiliki arti penting bagi manusia dalam menjalankan hidupnya, sebab dalam perkawinan terdapat persoalan kehidupan yang dihadapi, seperti menyangkut hak dan kewajiban masing-masing pihak, anak-anak dalam perkawinan, dan harta dalam perkawinan.

Masyarakat yang beragama Islam yang sudah melakukan perkawinan namun belum melakukan pencatatan perkawinan dan ingin perkawinannya dicatatkan dapat mengajukan Isbat Nikah. Isbat nikah adalah penetapan perkawinan yang telah dilaksanakan sesuai syarat dan rukun perkawinan menurut Hukum Islam namun belum dicatatkan oleh Petugas Pencatat Nikah pada KUA. Isbat nikah berbentuk suatu permohonan yang diajukan kepada Pengadilan Agama domisili suami dan istri.

Prosedur pengajuan isbat nikah diatur dalam Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, sebagai berikut (Harun, 2013: 154-156):

1. Permohonan isbat nikah yang diajukan oleh suami dan istri secara bersama- sama atau salah satunya

a. Permohonan isbat nikah yang diajukan secara bersama-sama oleh suami dan istri maka suami dan istri disebut sebagai Pemohon I dan Pemohon II. Permohonan tersebut berbentuk voluntair yang

(2)

menghasilkan suatu penetapan dari Pengadilan Agama. Apabila penetapan itu mengabulkan permohonan maka kemudian suami dan istri ke KUA membawa salinan penetapan untuk mendapatkan buku nikah. Namun apabila penetapan ibu berupa penolakan permohonan maka suami dan istri secara bersama-sama atau sendiri-sendiri mengajukan upaya hukum kasasi.

b. Permohonan isbat nikah yang diajukan oleh salah satu suami atau istri maka yang mengajukan sebagai Pemohon dan pihak lain sebagai Termohon. Permohonan ini berbentuk kontentius yang menghasilkan suatu putusan dari Pengadilan Agama. Apabila hasil putusan itu mengabulkan permohonan maka suami atau istri ke KUA dengan membawa salinan penetapan untuk memperoleh buku nikah. Namun apabila putusan itu menolak permohonan maka dapat diajukan upaya hukum banding dan kasasi.

2. Permohonan isbat nikah saat suami masih terikat perkawinan yang sah dengan perempuan lain

a. Apabila pada saat pengajuan permohonan isbat nikah diketahui bahwa suami masih terikat perkawinan sah dengan perempuan lain maka istri dalam perkawinan sah tersebut harus dijadikan pihak dalam perkara.

Namun apabila Pemohon tidak merubah permohonan untuk mengikutsertakan istri dalam perkawinan sah tersebut sebagai pihak maka permohonan isbat nikah tersebut tidak dapat diterima (NO).

3. Permohonan isbat nikah yang diajukan oleh anak, wali nikah, atau pihak yang berkepentingan

a. Permohonan isbat nikah yang diajukan oleh anak, wali nikah, atau pihak yang berkepentingan harus bersifat kontentius, dimana yang mengajukan sebagai Pemohon serta suami dan istri, maupun ahli waris lain sebagai Termohon.

4. Permohonan isbat nikah karena cerai mati

(3)

a. Apabila salah satu suami atau istri telah meninggal dunia maka dapat mengajukan permohonan isbat nikah secara kontensius. Suami atau istri yang masih hidup sebagai Pemohon dan ahli waris lainnya sebagai Termohon.

b. Apabila suami atau istri yang masih hidup tidak mengetahui adanya ahli waris selain dirinya maka dapat mengajukan permohonan isbat nikah secara voluntair.

Pada awalnya, permohonan isbat nikah hanya dapat diajukan untuk perkawinan yang dilaksanakan sebelum berlakunya Undang-Undang Perkawinan atau dapat dikatakan untuk perkawinan yang dilaksanakan sebelum tahun 1974. Namun sejak adanya Kompilasi Hukum Islam dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, isbat nikah dapat diajukan untuk perkawinan yang dilaksanakan setelah berlakunya Undang-Undang Perkawinan merujuk pada Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi:

1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.

2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah dapat mengajukan isbat nikah ke Pengadilan Agama.

3) Isbat nikah terbatas untuk hal-hal sebagai berikut:

a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;

b. Hilangnya akta nikah;

c. Terdapat keraguan mengenai sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;

d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Perkawinan;

e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan.

(4)

4) Yang berhak mengajukan permohonan isbat nikah adalah suami atau istri, anak-anak dalam perkawinan, wali nikah, dan pihak yang memiliki kepentingan dalam perkawinan tersebut.

Mengenai permohonan isbat nikah bagi perkawinan yang terjadi setelah adanya Undang-Undang Perkawinan sendiri mengacu pada Pasal 7 ayat (3) huruf e Kompilasi Hukum Islam sebagai bentuk ijtihad atau usaha yang dilakukan oleh para hakim Pengadilan Agama untuk mengabulkan permohonan isbat nikah (Gani, 2017: 3).

Apabila dikaitkan dengan Pasal 7 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam, alasan yang paling sering dipakai ada pada Pasal 7 ayat (3) huruf e, yaitu perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang- Undang Perkawinan. Perkawinan tersebut biasanya sudah memenuhi rukun dan syarat perkawinan menurut Hukum Islam namun terdapat beberapa alasan tambahan perkawinan tersebut tidak dicatatkan, seperti (Djahidin, 2014: 1):

1. Terdapat kelalaian dari Pembantu Pegawai Pencatat Perkawinan yang ditugaskan di kelurahan yang tidak melaporkan perkawinan tersebut ke Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Urusan Agama Kecamatan, padahal calon pengantin sudah memenuhi persyaratan administrasi;

2. Ketika calon pengantin beserta walinya dengan suatu alasan memaksakan diri untuk dinikahkan oleh/dihadapan seorang ulama atau seorang mantan Pembantu Pegawai Pencatat Perkawinan yang sudah tidak bertugas lagi;

3. Ketika calon pengantin beserta walinya telah mendaftakan diri ke Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Urusan Agama Kecamatan namun terdapat kekurangan syarat administrasi salah satu calon mempelai sehingga Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Urusan Agama Kecamatan tidak mau menikahkan apalagi mengeluarkan buku nikah, yang membuat calon mempelai beserta walinya menghadap ke seorang ulama untuk dinikahkan walaupun tidak mendapat buku nikah.

Selain alasan pada Pasal 7 ayat (3) huruf e, pada praktiknya permohonan isbat nikah juga banyak karena alasan untuk menyelesaikan perceraian seperti yang terdapat

(5)

dalam Pasal 7 ayat (3) huruf a Kompilasi Hukum Islam. Dalam hal ini yang dimaksud adalah cerai hidup baik cerai gugat maupun cerai talak, bukan cerai mati. Isbat nikah guna untuk penyelesaian perceraian dapat diajukan bersama-sama dengan pengajuan gugatan cerai maupun talak. Permohonan isbat nikah dengan alasan tersebut dalam rangka untuk penyelesaian perceraian. Alasan permohonan isbat nikah tersebut juga banyak ditemui di lapangan, dimana sepasang suami istri yang menikah pada perkawinan yang tidak dicatatkan ingin bercerai karena alasan-alasan perceraian sesuai dengan Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut:

“Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri;

6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;

7. Suami melanggar taklik talak;

8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadikan ketidakrukunan dalam rumah tangga.”

Mengenai permohonan isbat nikah dengan alasan hilangnya buku nikah seperti pada Pasal 7 ayat (3) huruf b Kompilasi Hukum Islam, dalam dikabulkan permohonannya oleh hakim apabila pada saat persidangan perkawinan tersebut terbukti

(6)

benar telah dilangsungkan secara resmi dan tercatat, terpenuhi rukun dan syarat perkawinan sesuai syariat Islam, serta tidak melanggaran aturan perkawinan berdasarkan undang-undang dan hukum agama. Kemudian untuk alasan isbat nikah sesuai dengan Pasal 7 ayat (3) huruf c dimana terdapat keraguan dari para Pemohon mengenai sahnya salah satu syarat perkawinan yang sudah dilangsungkan dahulu, maka pada saat persidangan akan diperiksa kembali apakah syarat perkawinan tersebut telah memenuhi ketentuan hukum agamanya serta tidak adanya halangan maupun larangan perkawinan.

Isbat nikah sendiri sama sekali tidak diatur dalam Undang-Undang Perkawinan, malahan diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pemberlakuannya berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam yang mana Instruksi Presiden tidak termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Dalam peraturan perundang-undangan terdapat suatu teori hierarki atau tata urutan yang bertingkat seperti anak tangga. Antara norma satu dengan norma yang lain terdapat sebuah hubungan yang saling mengatur yang disebut hubungan super dan sub-ordinasi dalam konteks spasial (Asshiddiqie dan Safa'at, 2006: 110). Di Indonesia, hierarki peraturan perundang-undangan diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang- Undangan yang berbunyi:

“Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.”

Kemudian sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan menyatakan bahwa “Kekuatan hukum

(7)

Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”. Berdasarkan pasal tersebut, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah sebagai norma dasar dan sumber bagi pembentukan peraturan-peraturan lainnya dan peraturan-peraturan di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Aditya & Winata, 2018: 80).

Undang-Undang Perkawinan sebagai urutan ketiga dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia tentu saja mengacu dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Perkawinan merupakan aturan khusus dan aturan lebih lanjut mengenai perkawinan bagi seluruh rakyat Indonesia. Penerapan Undang-Undang Perkawinan sesuai dengan Pasal 28B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Perkawinan dibentuk sebagai suatu unifikasi peraturan mengenai perkawinan di Indonesia. Disahkannya Undang-Undang Perkawinan juga sebagai tanda bahwa telah adanya keseragaman aturan tentang perkawinan bagi seluruh penduduk Indonesia. Sebelum Undang-Undang Perkawinan berlaku, terdapat berbagai macam aturan mengenai perkawinan di Indonesia, seperti hukum adat hingga hukum agama. Namun pada kenyataannya, Undang-Undang Perkawinan belum bisa menjadi solusi untuk seluruh permasalahan mengenai perkawinan yang dialami oleh penduduk Indonesia.

Selain di atur dalam Undang-Undang Perkawinan, permasalahan mengenai perkawinan juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam, yaitu peraturan materiil khusus bagi penduduk yang beragama Islam. Kompilasi Hukum Islam adalah suatu ringkasan dari beragam pendapat hukum yang dikutip dari bermacam-macam kitab yang ditulis oleh para ahli fikih atau mashab yang berbeda-beda yang kerap digunakan oleh para hakim Pengadilan Agama sebagai literatur dalam memutuskan suatu perkara yang kemudian diolah, dikembangkan, dan disatukan dalam sabuah himpunan (Abdurrahman, 1992: 12).

(8)

Pembentukan Kompilasi Hukum Islam berdasarkan atas pertimbangan dari Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama tertanggal 21 Maret 1985 Nomor 07/KMA/1985 dan Nomor 25 Tahun 1985 tentang Penunjukan Pelaksana Proyek Pembangunan Hukum Islam melalui yurisprudensi. Pembentukan Kompilasi Hukum Islam tersebut berkaitan erat dengan kesimpangsiuran putusan serta tajamnya perbedaan pendapat seperti banyaknya mahzab mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum Islam terutama pada hukum privat dan sebagai bentuk penyesuaian hukum Islam pada perubahan sosial serta situasi dan kondisi saat ini.

Mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam menjadikan hukum Islam sangat dipegang teguh dan telah hidup dalam lingkungan masyarakat. Kompilasi Hukum Islam menjadi pedoman fikih yang seragam dan adanya suatu hukum yang pasti mengenai hukum Islam di Indonesia (Hidayat, 2017: 194-195). Selain itu, penyusunan Kompilasi Hukum Islam bertujuan untuk pedoman dan acuan di lingkungan Peradilan Agama dalam melaksanakan tugasnya demi dapat terjaminnya kesatuan dan kepastian hukum (Mukri, 2001: 25).

Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, Kompilasi Hukum Islam mulai hidup dan tumbuh di masyarakat. Dalam hierarki sistem perundang-undangan di Indonesia, kedudukan Kompilasi Hukum Islam disesuaikan dengan kedudukan Instruksi Presiden, yaitu sesuai dengan Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Instruksi Presiden dapat dimasukkan dalam peraturan yang dibentuk atas perintah Pemerintah, yaitu perintah Presiden langsung kepada menteri-menteri yang membantunya, dalam hal ini Menteri Agama, untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam kepada Pengadilan Tinggi Agama dan Pengadilan Agama untuk menjadikan Kompilasi Hukum Islam sebagai pedoman dalam menyelesaikan perkara perkawinan, kewarisan, dan kewakafan bagi masyarakat yang beragama Islam. Kompilasi Hukum Islam dapat digunakan apabila hakim dalam memutuskan perkara tidak menemukan sumber hukum material dalam undang-undang yang telah ada terkait perkawinan, kewarisan, dan kewakafan. Hakim

(9)

Peradilan Agama tidak terikat dengan Kompilasi Hukum Islam secara Yuridis Formal (Mukri, 2001: 27-28). Kompilasi Hukum Islam dilaksanakan berdasarkan Keputusan Menteri Agama 154 Tahun 1991.

Kompilasi Hukum Islam dibagi ke dalam 3 buku. Buku I: Tentang Perkawinan, Buku II: Tentang Kewarisan, dan Buku III: Tentang Perwakafan. Pembagian ke dalam beberapa buku tersebut hanya sekadar untuk pengelompokkan bidang hukum yang di bahas. Pada masing-masing buku dibagi lagi ke dalam beberapa bab yang kemudian dirinci dalam pasal-pasal. Pada bagian Buku I: Tentang Perkawinan, terdapat banyak kesamaan dengan aturan yang terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan, namun terdapat juga hal-hal baru yang dibahas dalam Kompilasi Hukum Islam (Asriati, 2012:

26).

Penyusunan Kompilasi Hukum Islam Buku I: Tentang Perkawinan berdasarkan Undang-Undang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Sedangkan pada Buku II: Tentang Kewarisan tidak terdapat peraturan perundang-undangan yang dijadikan rujukan, namun dapat ditemukan yurisprudensi yang memuat beberapa hal khusus mengenai kewarisan Islam. Hal tersebut menunjukkan bahwa Kompilasi Hukum Islam merupakan hukum positif mengenai hukum Islam untuk menjalankan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kompilasi Hukum Islam memiliki keselarasan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya (Asriati, 2012: 27).

Kompilasi Hukum Islam menjadi pedoman dalam penyelesaian perkara dalam lingkup Peradilan Agama. Hal tersebut berdasarkan pada penyusunan Kompilasi Hukum Islam bertujuan untuk mengisi kekosongan subtansial yang menjadi acuan dalam penyelesaian suatu perkara yang diajukan kepada lingkup Peradilan Agama.

Meskipun demikian, seorang hakim tetap memiliki kebebasan untuk memutuskan suatu perkara selama tidak ditemukan dasarnya dalam hukum tertulis. Kompilasi Hukum Islam dalam sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia sebagai hukum positif bagi masyarakat beragama Islam dalam menyelesaikan perkara yang diajukan dalam lingkup Peradilan Agama (Asriati, 2012: 28). Kompilasi Hukum Islam

(10)

dapat menjamin adanya kesatuan dan kepastian hukum dalam penanganan suatu perkara yang sama oleh hakim berbeda.

Hukum perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam tentu berkaitan erat dengan hukum perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan. Hal tersebut dapat dilihat dari Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut Hukum Islam dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan”. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahwa dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan mengatur mengenai perkawinan dapat dikatakan sah apabila dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Hukum masing-masing agama dan kepercayaannya tersebut termasuk dengan pengaturan perundang-undangan yang berlaku bagi suatu golongan agama dan kepercayaannya sepanjang tidak bertentangan dengan undang- undang lain (Iyan, 2017: 59).

Penyusunan Kompilasi Hukum Islam sendiri dimaksudkan untuk melengkapi Undang-Undang Perkawinan dan berinduk pada Undang-Undang Perkawinan.

Kedudukan Kompilasi Hukum Islam sebagai pelasanaan praktis dari Undang-Undang Perkawinan, sehingga materi yang termuat di dalamnya tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Perkawinan. Sehubungan dengan hal tersebut, materi muatan dalam Kompilasi Hukum Islam menyalin dari Undang-Undang Perkawinan dan terdapat materi-materi muatan lain yang ditambahkan yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Perkawinan. Hal-hal yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam namun tidak ada dalam Undang-Undang Perkawinan salah satu diantaranya adalah mengenai isbat nikah (Asriati, 2012: 29).

Kedudukan isbat nikah secara normatif terdapat dalam Pasal 3 ayat (5) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 yang telah diubah untuk kedua kali dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk serta terdapat dalam Pasal 7 ayat (2), (3), dan (4) Kompilasi Hukum Islam dan Bab II huruf b angka 2 sub 6 Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor:

(11)

KMA/032/SK/IV/2006 tentang Pemberlakuan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan.

Pembentukan Kompilasi Hukum Islam ditujukan untuk menjadi salah satu kelengkapan kelembagaan Peradilan Agama, lebih tepatnya hukum materiil yang bersifat unifikasi, dimana Peradilan Agama telah memegang kompetensi hukum keluarga Islam Indonesia yang sudah terlebih dahulu diundangkan, sehingga kehadiran Kompilasi Hukum Islam sudah menjadi suatu kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi bagi tegaknya kelembagaan Peradilan Agama agar dapat bekerja secara wajar, adil, dan berkeadilan (Lutfiyah, Rianto, & Ridlo, 2015: 182).

Kedudukan isbat nikah dalam peraturan perundang-undangan, sesuai dengan aturan dalam Kompilasi Hukum Islam untuk mengisi kekosongan hukum mengenai isbat nikah yang terlewat dari peraturan mengenai perkawinan. Hal tersebut sejalan dengan pertimbangan para penyusun Kompilasi Hukum Islam yang mana isbat nikah akan memiliki manfaat bagi umat Islam untuk tetap mendapatkan hak-haknya yang berhubungan dengan administrasi seperti kepastian hukum anak dalam perkawinan dan akibat hukum yang muncul dalam perkawinan. Walaupun isbat nikah hanya diatur dalam Kompilasi Hukum namun sejatinya ia tidak terpisahkan dari peraturan perundang-undangan yang bersifat regulatif bagi masyarakat (Sururie, 2017: 240- 241).

Kedudukan isbat nikah dalam Undang-Undang Perkawinan mengacu pada Kompilasi Hukum Islam dalam tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Kompilasi Hukum Islam sebagai sumber hukum materiil mengenai perkawinan di Indonesia melengkapi dan mendampingi Undang-Undang Perkawinan dalam penyelesaian perkara-perkara perkawinan bagi masyarakat yang beragama Islam. Segala ketentuan yang tidak terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan dapat dilengkapi oleh Kompilasi Hukum Islam. Kedudukan isbat nikah dalam Undang- Undang Perkawinan adalah sebagai mekanisme yang disediakan hukum bagi pihak- pihak yang ingin menunaikan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan atas perkawinan mereka yang belum dicatatkan. Selain itu, sebagai penguat mengenai

(12)

kedudukan isbat nikah dalam hukum positif mengenai perkawinan di Indonesia, Kementerian Agama mengeluarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 20 Tahun 2019 tentang Pencatatan Pernikahan.

B. Akibat Hukum Yang Timbul Setelah Adanya Penetapan Isbat Nikah

Perkawinan sebagai suatu perbuatan hukum memiliki akibat hukum yang berdampak bagi setiap pihak yang terlibat dalam perkawinan tersebut, baik suami, istri, anak-anak dalam perkawinan, kedudukan anak, orang tua dan perwalian hingga harta dalam perkawinan. Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, bahwa perkawinan yang sah menurut hukum positif perkawinan di Indonesia adalah perkawinan yang berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, yaitu sesuai dengan hukum dan aturan agama masing-masing dan supaya dapat diakui keabsahannya oleh negara serta mendapatkan perlindungan hukum negara maka perlu dicatatkan. Perkawinan yang tidak dicatatkan memiliki akibat hukum yang merugikan pihak-pihak di dalamnya terutama istri dan anak-anak dalam perkawinan. Sebab, secara hukum, seorang perempuan dalam perkawinan yang tidak dicatatkan tidak dapat memiliki hak-hak hukum dari negara. Begitu pula dengan anak-anak dalam perkawinan tersebut dianggap sebagai anak luar kawin, tetap bisa membuat akta kelahiran namun hanya ada nama ibu tanpa ada nama bapak, dan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Perempuan dan anak dalam perkawinan yang tidak dicatatkan juga tidak mendapatkan hak waris dan mewaris apabila terjadi sengketa yang dibawa sampai ke pengadilan agama, namun jika sengketa hak waris tersebut dapat diselesaikan secara kekeluargaan maka tidak menimbulkan akibat yang fatal.

Eksistensi isbat nikah sebagai pengisi kekosongan hukum mengenai penetapan perkawinan bagi masyarakat yang beragama Islam bukan semata-mata melegalkan perkawinan siri namun memberikan perlindungan hukum kepada para pihak di dalam perkawinan terutama istri dan anak-anak dalam perkawinan. Tidak semua perkawinan siri dapat kabulkan saat mengajukan permohonan isbat nikah. Dalam memutuskan perkara isbat nikah, hakim dapat mengabulkan maupun menolak permohonan tersebut.

(13)

Sebab, menurut Pasal 7 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam, terdapat syarat dapat diajukannya isbat nikah, seperti dalam rangka penyelesaian perceraian, hilangnya akta nikah, terdapat keraguan mengenai sahnya syarat perkawinan, perkawinan yang terjadi sebelum adanya Undang-Undang Perkawinan, dan perkawinan yang dilaksanakan oleh mereka yang tidak memiliki halangan perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan. Isbat nikah dilaksanakan demi tercapainya kepastian hukum atas suatu perkawinan dan perlindungan hukum bagi para pihak yang terlibat di dalam perkawinan.

Bagan 1 Mekanisme timbulnya akibat hukum setelah penetapan isbat nikah Akibat hukum yang ditimbulkan dari adanya penetapan isbat nikah berlaku surut. Artinya akibat-akibat hukum tersebut timbul sejak perkawinan dilaksanakan.

Akibat hukum yang paling jelas dari sebuah penetapan isbat nikah adalah status perkawinan menjadi sah sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Perkawinan dan telah terpenuhinya unsur-unsur kepastian hukum (Toif, 2018: 741).

Calon pengantin laki-laki dan perempuan yang telah

memenuhi syarat melaksanakan perkawinan

Sudah terpenuhinya rukun dan syarat perkawinan menurut

Hukum Islam

Mengajukan penetapan isbat nikah di Pengadilan Agama

sesuai domisili para pihak

Tidak disaksikan oleh Pegawai Pencatatan Perkawinan dan

tidak dicatatkan di KUA

Mendapatkan akta perkawinan yang diterbitkan oleh KUA

Akibat hukum setelah penetapan isbat nikah

(14)

Sehubungan dengan telah sahnya suatu perkawinan melalui penetapan isbat nikah maka menimbulkan akibat-akibat lain yang tidak berbeda dengan perkawinan yang sudah sah tanpa penetapan isbat nikah, antara lain:

1. Akibat untuk suami istri, isbat nikah melahirkan hak dan kewajiban yang harus dipenuhi antara suami dan istri,;

2. Akibat untuk anak, seorang anak pada perkawinan yang sah melalui isbat nikah menjadi memiliki hubungan keperdataan dengan bapaknya dan keluarga bapaknya. Selain itu, timbulnya hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, orang tua laki-laki atau ayah menjadi wali nikah bagi perkawinan anak perempuannya, orang tua memiliki kewajiban menjadi wali bagi anak- anaknya;

3. Akibat untuk harta, seperti terdapat harta bersama antara suami dan istri dan menyangkut hak dan kewajiban waris mewaris.

Timbulnya hak dan kewajiban antara suami dan istri setelah penetapan isbat nikah sama halnya dengan hak dan kewajiban antara suami dan istri dalam perkawinan yang dicatatkan. Hak dan kewajiban antara suami dan istri diatur dalam Pasal 30 sampai Pasal 34 Undang-Undang Perkawinan dan Pasal 77 sampai dengan Pasal 84 Kompilasi Hukum Islam. Terdapat beberapa perbedaan mengenai hak dan kewajiban suami istri dalam Undang-Undang Perkawinan dengan Kompilasi Hukum Islam.

Perbedaan tersebut antara lain seperti dalam tabel berikut:

Undang-Undang Perkawinan Kompilasi Hukum Islam 1. Dalam Pasal 30 Undang-Undang

Perkawinan, suami dan istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga sebagai sendi dasar dalam susunan masyarakat;

1. Pasal 77 Kompilasi Hukum Islam memberikan lebih banyak ketentuan dari pada dalam Undang-Undang Perkawinan, selain menyatakan suami dan istri memikul kewajiban luhur untuk

(15)

2. Undang-Undang Perkawinan hanya mengatur tempat kediaman yang tetap pada saat melangsungkan rumah tangga saja;

3. Dalam Undang-Undang Perkawinan, hak dan kewajiban suami dan istri dijadikan dalam satu pasal yang sama yaitu Pasal 34 dan hanya dijabarkan secara umum.

menegakkan rumah tangga juga mewajibkan suatu rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan rahmah atau damai, tenang, dan penuh cinta kasih sayang. Suami dan istri juga wajib menjaga dan mengasuh anak-anak, serta saling memelihara kehormatannya;

2. Pasal 81 Kompilasi Hukum Islam melengkapi aturan dalam Undang- Undang Perkawinan mengenai tempat kediaman. Selain memiliki tempat kediaman yang tetap pada saat melangsungkan rumah tangga, seorang suami juga wajib menyediakan tempat tinggal bagi bekas istrinya yang masih dalam masa iddah;

3. Dalam Kompilasi Hukum Islam, hak dan kewajiban suami istri dijabarkan dalam pasal yang berbeda dan lebih merinci. Selain itu, terdapat pula kewajiban bagi suami yang memiliki istri lebih dari satu.

(16)

Tabel 1 Perbandingan hak dan kewajiban suami istri pada Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam

Meskipun terdapat perbedaan mengenai hak dan kewajiban suami istri dalam Undang- Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, sejatinya kedua aturan tersebut adalah sama, hanya saja Kompilasi Hukum Islam lebih melengkapi ketentuan dalam Undang-Undang Perkawinan.

Hak dan kewajiban antara suami dan istri dapat dikelompokkan menjadi dua hal, yaitu hak dan kewajiban yang berupa kebendaan serta hak dan kewajiban yang bukan berupa kebendaan. Hak dan kewajiban berupa kebendaan antara lain (Sanger, 2015: 199):

1. Seorang suami wajib memberi nafkah kepada istri. Nafkah tersebut berupa kebutuhan primer seperti tempat tinggal, makanan, pakaian, dan kebutuhan dasar rumah tangga;

2. Suami berperan sebagai kepala rumah tangga. Meski seorang suami adalah kepala rumah tangga, namun ia tidak boleh bertindak semaunya sendiri tanpa memperhatikan hak-hak istri;

3. Istri wajib mengatur rumah tangga.

Kemudian mengenai hak dan kewajiban antara suami dan istri yang bukan kebendaan antara lain:

1. Suami memiliki kewajiban untuk memperlakukan istri sebaik mungkin, menghormatinya, memperlakukan dengan semestinya, dan menggaulinya dengan baik;

2. Suami memiliki kewajiban menjaga istri dengan baik. Tidak hanya menjaga fisiknya saja, namun juga termasuk menjaga harga diri istri, menjaga kemuliaannya, dan menjauhkannya dari fitnah;

3. Suami memiliki kewajiban memberikan nafkah batin kepada istri;

(17)

4. Suami berkewajiban untuk bersikap sabar dan selalu membina akhlak istri.

Seorang suami harus bisa lemah lembut dan bersikap tegas apabila istri melakukan sesuatu yang melanggar norma;

5. Istri berkewajiban untuk memelihara diri dan harta suami;

6. Istri tidak boleh menolak ajakan suami ke tempat tidur.

Seorang anak yang lahir dalam perkawinan yang tidak dicatatkan merupakan anak luar kawin. Seorang anak luar kawin hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai bapaknya yang dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain yang menurut hukum memiliki hubungan darah termasuk hubungan perdata dengan bapaknya dan keluarga bapaknya sesuai dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010. Anak luar kawin tetap dapat membuat akta kelahiran hanya saja dalam akta kelahirannya tercantum nama ibunya tanpa nama bapaknya. Tata cara memperoleh akta kelahiran anak luar kawin sama saja seperti tata cara memperoleh akta kelahiran pada umumnya, namun tanpa menyertakan kutipan buku nikah orang tuanya. Apabila di kemudian hari perkawinan orang tuanya sudah diisbatkan dan anak itu ditetapkan sebagai anak sah, maka perlu adanya perubahan akta kelahirannya yang semula hanya ada nama ibunya ditambahkan dengan menyantumkan nama bapaknya.

Perubahan tersebut diajukan ke pengadilan negeri yang kemudian pengadilan negeri memerintahkan Kepala Pegawai Kantor Penduduk dan Pencatatan Sipil domisilinya untuk menerbitkan kembali akta kelahiran yang benar.

Dengan dilakukannya isbat nikah, maka penetapan status anak luar kawin dapat dilakukan dan anak luar kawin tersebut mendapat pengakuan dari negara. Mengenai hubungan keperdataan setelah penetapan isbat nikah, seorang anak menjadi memiliki hubungan keperdataan dengan bapak dan ibunya serta keluarga bapak dan ibunya.

Seorang bapak wajib menjadi wali apabila hendak menikahkan anak perempuannya.

Seorang bapak dapat menjadi wali nikah anak perempuannya apabila anaknya lahir tidak kurang dari 7 bulan usia perkawinan. Anak-anak tersebut juga menjadi memiliki hak waris mewaris dengan bapaknya, tidak hanya dengan ibunya (Bafadhal, 2014: 12).

(18)

Terdapat beberapa akibat dari perkawinan yang tidak dicatatkan bagi hubungan antara bapak dan anak dalam perkawinan, antara lain (Irfan, 2012: 205):

1. Tidak adanya hubungan nasab, sehingga bapak tidak memiliki kewajiban untuk memberikan nafkah kepada anaknya walaupun secara biologis anaknya tersebut merupakan anaknya;

2. Tidak adanya hubungan waris mewaris antara bapak dan anak;

3. Seorang bapak tidak bisa menjadi wali bagi anak perempuannya yang lahir di luar perkawinan.

Mengenai kewajiban antara orang tua dan anak setelah terjadinya penetapan isbat nikah merujuk pada Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tetang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang berbunyi:

“Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:

1. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;

2. Menumbuhkankembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;

3. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak;

4. Memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada anak.”

Dalam Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Perkawinan juga diatur bahwa:

1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya;

2. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.

Selain itu, orang tua juga wajib memberikan contoh teladan yang baik dan bijaksana bagi anak-anaknya. Sedangkan seorang anak memiliki kewajiban untuk menghormati kedua orang tuanya. Apabila anak sudah dewasa, ia berkewajiban untuk memelihara

(19)

orang tuanya apabila orang tuanya memerlukan bantuan sesuai dengan Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Perkawinan yang berbunyi:

1. Anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka yang baik;

2. Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuan, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas bila mereka memerlukan bantuan.

Penetapan isbat nikah menjadi landasan bagi kepastian status antara suami, istri, serta anak-anak dalam perkawinan. Hubungan para pihak tersebut menjadi sah di mata hukum. Setiap pihak berhak atas haknya masing-masing, termasuk hak waris mewaris. Penetapan isbat nikah memunculkan hak waris mewaris antara orang tua dan anak serta antara suami dan istri. Istri sebagai seseorang yang paling berhak atas warisan dari suaminya jadi tidak kehilangan haknya. Sebelum adanya penetapan isbat nikah, anak dari perkawinan yang tidak dicatatkan memiliki status anak luar kawin dan mimiliki hubungan saling mewaris hanya dengan ibunya sesuai dengan Pasal 186 Kompilasi Hukum Islam. Dengan dilaksanakannya penetapan isbat nikah, anak tersebut menjadi memiliki status anak sah dan memiliki hubungan saling mewaris dengan kedua orang tuanya. Hal tersebut membuat anak-anak dalam perkawinan itu menjadi memiliki hak untuk mendapat warisan dari kedua orang tuanya di kemudian hari. Orang tua pun juga mendapat hak untuk mendapat warisan dari anaknya apabila anaknya sudah dewasa. Mengenai hukum kewarisan Islam diatur dalam Buku II Kompilasi Hukum Islam.

Selain terdapat kepastian hak waris mewaris, juga terdapat kepastian mengenai harta benda bersama dalam perkawinan. Harta bersama diperoleh sejak sahnya suatu perkawinan hingga perkawinan tersebut berakhir. Selama perkawinan berlangsung, harta yang diperoleh berdasarkan usaha sendiri maupun bersama-sama oleh suami dan istri menjadi harta bersama kecuali berupa warisan dan hadiah menjadi harta bawaan atau harta masing-masing. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 35 Undang-Undang Perkawinan yang berbunyi:

(20)

1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama;

2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadian atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Perkawinan yang tidak dicatatkan menjadikan istri tidak memperoleh hak- haknya dalam urusan pembagian harta bersama, seperti ia tidak berhak atas harta gono gini apabila terjadi perceraian, serta ia tidak berhak memperoleh nafkah dan warisan dari suaminya apabila suaminya meninggal karena secara hukum ia tidak dianggap sebagai istri yang sah. Pelaksanaan penetapan isbat nikah menjadikan hak-hak tersebut muncul. Harta yang diperoleh sejak dilaksanakannya perkawinan, walaupun perkawinan belum dicatatkan, tetap menjadi harta bersama. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan dimana harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Perkawinan di bawah tangan merupakan perkawinan yang sah hanya saja belum melengkapi syarat administratif yaitu pencatatan perkawinan. Istri berhak atas nafkah dari suaminya.

Apabila terjadi perceraian, istri berhak menuntut pembagian harta bersama sebagai hak pribadinya. Sesuai dengan Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan jo Pasal 96 dan 97 Kompilasi Hukum Islam bahwa apabila terjadi perceraian suami dan istri masing- masing mendapatkan setengah dari harta bersama selama berlangsungnya perkawinan keculi terdapat perjanjian perkawinan sebelumnya.

Dalam permohonan isbat nikah, hakim tidak selalu mengabulkan permohonan tersebut. Alasan-alasan isbat nikah pada Pasal 7 ayat (3) huruf a sampai dengan huruf e dapat dikabulkan oleh hakim sepanjang sesuai dengan syarat dan rukun perkawinan syariat Islam serta adanya kepastian tidak melanggar ketentuan larangan perkawinan sesuai hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan. Selain itu juga demi kemaslahatan dalam masyarakat yang apabila permohonan itu tidak dikabulkan dapat mempersulit masa depan keluarga, terutama anak dalam perkawinan bawah tangan.

(21)

Apabila dalam permohonan isbat nikah tersebut terdapat unsur penyelundupan hukum seperti demi menjaga tunjangan suami untuk istri yang telah bercerai, poligami tanpa izin pengadilan, atau seorang istri yang menjaga tunjangannya sebagai istri pegawai negeri sipil yang suaminya telah meninggal maka permohonan isbat nikah tersebut dapat saja ditolak oleh hakim. Penolakan permohonan isbat nikah menimbulkan akibat hukum lain, seperti:

1. Perkawinan tersebut tidak diketahui oleh negara sehingga dianggap tidak pernah terjadi dan tidak mendapat perlindungan hukum dari negara;

2. Tidak ada hak dan kewajiban antara suami dan istri menurut hukum negara;

3. Anak dalam perkawinan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya kecuali berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU VIII/2010 bahwa seorang anak yang lahir di luar perkawinan dapat memiliki hubungan perdata dengan laki-laki sebagai bapaknya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga bapaknya;

4. Tidak adanya perlindungan dari negara untuk pihak-pihak dalam perkawinan;

5. Apabila terjadi perceraian tidak dapat diajukan ke Pengadilan Agama;

6. Apabila terjadi sengketa mengenai nafkah, harta gono-gini, dan hak waris mewaris, maka tidak dapat diajukan ke Pengadilan Agama.

Selain dengan pengajuan isbat nikah, suatu perkawinan bawah tangan juga dapat disahkan dengan melakukan nikah ulang di KUA. Nikah ulang dilakukan apabila pernikahan sebelumnya tidak memenuhi rukun dan syarat perkawinan sesuai hukum Islam serta Undang-Undang Perkawinan. Selain tidak terpenuhinya syarat dan rukun perkawinan, terdapat pula empat alasan alasan tambahan mengenai dilakukannya nikah ulang, yaitu (Khairani dan Sari; 2017: 407):

1. Ghaibnya wali nasab, yaitu ketika calon pengantin perempuan tidak mengetahui keberadaan bapaknya namun mengaku kepada PPN KUA

(22)

kecamatan bahwa bapaknya sudah meninggal sehingga menjadikan saudara laki-lakinya sebagai walinya. Padahal apabila bapaknya masih hidup namun tidak diketahui keberadaannya seharusnya ia menggunakan wali hakim.

Sehingga KUA mengganggap perkawinan sebelumnya rusak dan harus melakukan nikah ulang;

2. Ketika calon pengantin perempuan berbohong kepada petugas PPN KUA kecamatan mengenai wali nasabnya;

3. Keraguan orang tua mengenai pernikahan anaknya, apabila perempuan dan laki-laki telah menikah namun tidak diketahui oleh orang tua pihak perempuan, padahal seorang perempuan tidak boleh menikahkan dirinya sendiri maupun untuk orang lain dan harus dinikahkan oleh wali nasabnya;

4. Pernikahan yang dilakukan sebelum habis masa iddah seorang janda.

Sehingga terdapat perbedaan antara pernikahan bawah tangan kemudian melakukan isbat nikah dan pernikahan bawah tangan kemudian melakukan nikah ulang, yaitu pada terpenuhinya rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan.

Gambar

Tabel 1 Perbandingan hak dan kewajiban suami istri pada Undang-Undang  Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk: 1) untuk mengetahui apa itu hukuman kebiri, 2) untuk mengetahui alasan diberlakukannya hukuman kebiri bagi pelaku

keramahan dalam bentuk senyum sapa salam juga peningkatan rasa ingin memberikan pelayanan yang maksimal kepada semua tamu maupun wajib pajak agar visi untuk menjadi

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi dengan judul: “ “KEMAMPUAN GURU PAI DALAM PENYUSUNAN SILABUS DAN RPP DI SMPN-1 SEBANGAU KUALA KABUPATEN PULANG PISAU ”

Perbedaan kode visual yang muncul di antara keduanya direpresentasikan melalui perubahan dan penambahan pada durasi pertunjukan, model tata panggung, model adegan, model

TUGAS POKOK DAN FUNGSI (TUPOKSI) URUSAN KURIKULUM Membantu dan bertanggung jawab kepada Kepala Sekolah dalam: 1.. Menyusun dan menjabarkan kalender pendidikan

Musim Hujan I = Padi- Padi- Padi Musim Hujan II = Padi – Padi- Palawija Musim Kemarau = Padi- Palawija- Palawija Sehingga implementasi pola tanam dengan metode pemberian

Pada bab ini akan diuraikan tentang tinjauan pustaka berkaitan dengan perkembangan teknologi yang dapat dimanfaatkan oleh pasien diabetes mellitus dalam melakukan

Dengan ini saya menyatakan bahwa isi intelektual skripsi saya yang berjudul “ PEMODELAN SINTETIK UNTUK OPTIMASI PARAMETERAKUSTIK MUSHOLLA DENGAN MODEL KUBAH