• Tidak ada hasil yang ditemukan

BLOK 1L SISTEM SARAF DAN PERILAKU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BLOK 1L SISTEM SARAF DAN PERILAKU"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

BLOK 1L

SISTEM SARAF DAN PERILAKU

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA YOGYAKARTA

2021

QADW—2251—BB 1L — 27.01.047

(2)

BLOK 1L:

SISTEM SARAF DAN PERILAKU

Edisi Pertama

© 2021 oleh Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana

dicetak di Yogyakarta Cetakan pertama: Januari 2021 Editor oleh: dr. Anindya Rahadyani K

Diterbitkan oleh Medical Education Unit (MEU)

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana

Penyimpanan dalam sistem elektronik atau transmisi dalam bentuk apapun (elektronik, mekanik, fotokopi)

dilarang tanpa seijin Medical Education Unit (MEU) Fakulktas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana

(3)

BLOK 1L: SISTEM SARAF DAN PERILAKU

Edisi Pertama 2021

Medical Education Unit

dr. Saverina Nungky Dian Hapsari, MHPE dr. Anindya Rahadyani Kristiansari

Penanggungjawab Blok:

dr. Lothar M.M.V. Silalahi, Sp.N dr. Lucas Nando Nugraha, M.Biomed

Instruktur Praktikum:

Tim Pengajar Anatomi dr. Johana Puspasari, M.Sc dr. Dewi Lestari, M.Biomed

(4)

PENGANTAR

Kesenjangan yang ada antara proses pendidikan di Perguruan Tinggi dengan dunia kerja dan kebutuhan inovasi membutuhkan kurikulum yang tepat untuk mengatasinya. Di samping itu, semakin luasnya perkembangan ilmu pengetahuan dan jaringan komunikasi yang dapat digunakan mahasiswa kedokteran sebagai sumber belajar membuat naluri merumuskan masalah menjadi kebutuhan mahasiswa yang sangat penting dalam membentuk profesional dokter.

Profil lulusan dokter yang diamanahkan oleh Standar Kompetensi Dokter Indonesia adalah dokter sebagai praktisi/klinisi, pendidik/peneliti, dan agent of change and social development. Untuk mencapai profil lulusan tersebut, Fakultas Kedokteran UKDW memiliki dua jenjang pendidikan, yaitu jenjang Program Pendidikan Sarjana dan jenjang Program Profesi. Jenjang Pendidikan Sarjana dengan alokasi waktu 4 tahun, dibagi dalam dua tahap yaitu tahap pertama pada 2 tahun pertama pendidikan dan tahap kedua pada 2 tahun berikutnya.

Kurikulum Fakultas Kedokteran UKDW tahun 2019 disusun berbasis Outcome-Based Education (OBE) yang diturunkan dari profil lulusan berdasarkan uraian kompetensi dari Standar Kompetensi Dokter Indonesia, yang diturunkan ke dalam profil lulusan program studi, baik sebagai core dan local kurikulum.

Outcome Based Education adalah pendekatan yang menekankan pada keberlanjutan proses pembelajaran secara inovatif, interaktif, dan efektif. OBE berpengaruh pada keseluruhan proses pendidikan dari rancangan kurikulum;

perumusan tujuan dan capaian pembelajaran; strategi pendidikan; rancangan metode pembelajaran; prosedur penilaian; dan lingkungan/ekosistem pendidikan. Terdapat 9 area kompetensi yang berusaha untuk dipenuhi dengan pendidikan dokter di FK UKDW, yaitu (1) profesionalitas yang luhur, (2) mawas diri dan pengembangan diri, (3) komunikasi efektif, (4) literasi teknologi informasi, (5) literasi sains atau landasan ilmiah, (6) keterampilan klinis, (7) pengelolaan masalah kesehatan dan manajemen sumber daya, (8) kolaborasi dan kerjasama, dan (9) keselamatan pasien dan mutu pelayanan kesehatan.

(5)

Strategi pendekatan pembelajaran yang diterapkan adalah pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) yang merupakan aktualisasi filosofi SPICES, meliputi Student Centered/Self Directed Learning - Problem Based Learning - Integrated Learning (Early Clinical Exposure) - Community Oriented - Electives Program-Systematic Management. PBL dipakai sebagai pendekatan pembelajaran mewakili seluruh elemen SPICES yang pada prinsipnya menekankan porsi dialog tutorial yang terus dikembangkan secara bertahap (dalam masa transisi porsi kuliah lebih dominan atau seimbang dengan porsi tutorial).

Demikianlah diharapkan buku ini bisa bermanfaat.

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana

dr. The Maria Meiwati Widagdo, MPH., Ph.D

(6)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER ... vii

TUTORIAL MODUL I ... 1

TUTORIAL MODUL II ... 2

TUTOR MODUL III TUTOR MODUL IV PRAKTIKUM ... 3

TATA TERTIB PRAKTIKUM BIOMEDIK ... 6

ANATOMI : SISTEM NEUROENDOKRIN ……….9

HISTOLOGI : SISTEM SARAF ... 21

FARMAKOLOGI: OBAT-OBATAN OTONOM ... 26

FARMAKOLOGI: ANESTESI LOKAL ... 35

PETA BLOK 2019 ... 40

(7)

Lembar 1.

RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER

MATA KULIAH KODE Rumpun MK BOBOT

(SKS) SEMESTER Tgl. Penyusunan

SARAF DAN PERILAKU 1.L 5 4

OTORISASI

Dosen Pengembang RPS Koordinator RMK Wakil Dekan Bid. Akademik dr. Lothar M.M.V. Silalahi, Sp.N

dr. Lucas Nando Nugraha, M.Biomed

dr. Ida Ayu Triastuti, MHPE

dr. Christiane Marlene Sooai, M.Biomed

Capaian

Pembelajaran (CP)

CPL-PRODI Keterangan: Capaian Pembelajaran Lulusan Prodi yang dibebankan pada mata kuliah ini

S.1. Mampu bersikap profesional sesuai dengan nilai dan prinsip ke-Tuhan-an, moral luhur, etika, disiplin, hukum, dan sosial budaya

S.3. Mampu berpikir logis, kritis, sistematis, kreatif, dan inovatif P.1.a. Mengakses dan menilai informasi dan pengetahuan

K.1.a. Berkomunikasi dengan orang lain K.1.c. Berkomunikasi dengan masyarakat

CP-MK Keterangan: Capaian Pembelajaran Mata Kuliah Model Evaluasi

CPMK-1 Mahasiswa mampu mengetahui dan menjelaskan secara anatomi prinsip sistem saraf pusat dan saraf perifer (S.3., P.1.a.)

Kuliah/Transfer knowledge Small group discussion Discovery learning PBL

CPMK-2 Mahasiswa mampu mengetahui dan menjelaskan anatomi dan fisiologi sistem saraf motorik, sensorik dan autonom (S.3., P.1.a.)

Kuliah/Transfer knowledge Small group discussion

(8)

Discovery learning PBL

CPMK-3 Mahasiswa mampu mengetahui dan menjelaskan anatomi dan fisiologi sistem kesadaran (S.3., P.1.a.)

Kuliah/Transfer knowledge Small group discussion Discovery learning PBL

CPMK-4 Mahasiswa mampu mengetahui dan menjelaskan hubungan antara sistem saraf dan pengaruhnya pada perilaku manusia (S.3., P.1.a.)

Kuliah/Transfer knowledge Small group discussion Discovery learning PBL

CPMK-5 Mahasiswa mampu mengetahui dan menjelaskan konsep diri, perilaku dan kesehatan jiwa (S.3., P.1.a.)

Kuliah/Transfer knowledge Small group discussion Discovery learning PBL

CPMK-5 Mahasiswa mampu mengetahui dan menjelaskan konsep kesehatan jiwa masyarakat (K.1.a, K.1.c, S.1)

Kuliah/Transfer knowledge Small group discussion Big Group discussion Discovery learning PBL

(9)

Lembar 2 Deskripsi Singkat MK

Pada blok ini mahasiswa akan mempelajari kompetensi mengenai dasar ilmu saraf dan kejiwaan. Mahasiswa diharapkan memiliki konsep yang kuat terutama dalam hal anatomi dan fisiologi sistem saraf, hubungan secara organik sistem saraf dengan perilaku dan konsep dasar kesehatan jiwa secara psikis dan psikologik. Blok ini akan menjadi dasar untuk blok gangguan saraf dan jiwa.

Materi

Pembelajaran/

Pokok Bahasan

1. Embriologi sistem saraf

2. Anatomi dan fisiologi sistem saraf pusat 3. Anatomi dan fisiologi sistem saraf perifer 4. Anatomi dan fisiologi sistem saraf autonom

5. Obat-obatan yang mempengaruhi sistem saraf autonom 6. Sistem saraf motorik dan sensorik

7. Sistem saraf kranialis 8. Sistem limbik dan perilaku 9. Konsep Dasar sehat jiwa 10. Psikodinamika gangguan jiwa

11. Kepribadian dan Struktur Kepribadian 12. Proses pembentukan sistem dan perilaku 13. Mekanisme Koping

14. Dasar kesehatan jiwa masyarakat

Pustaka 1. Anthony L. Mescher, Histologi Dasar Junqueira: Teks & Atlas (Edisi 12), Penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta, 2012.

2. Arthur C. Guyton, John E. Hall, Textbook of Medical Physiology (Edisi 11), Elsevier Inc, Pensyllvania 2006 3. Bear MF, Connors BW, Paradiso MA (2007). Neuroscience: Exploring the Brain. 3rd ed. Philadelphia: Lippincot

Williams & Wilkins

(10)

4. De Myer WE, 2004, Technique of The Neurologic Examination 5th ed, Mc Graw Hill, New York

5. Depkes RI, 2006. Buku pedoman Pelayanan Kesehatan Jiwa di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Dasar. Jakarta 6. F. Paulsen, J. Waschke, Sobotta Atlas Anatomi Manusia Jilid 1 (Edisi 23), Penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta,

2013

7. F. Paulsen, J. Waschke, Sobotta Atlas Anatomi Manusia Jilid 2 (Edisi 23), Penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta, 2013.

8. F. Paulsen, J. Waschke, Sobotta Atlas Anatomi Manusia Jilid 3 (Edisi 23), Penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta, 2013

9. Gerard J. Tortora, Bryan H. Derrickson, Principles of Anatomy and Physiology Volume 1 (12th Edition), John Wiley &

Sons Inc, 2009

10. Guyton, A.C. & Hall, J.E., 2014, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, EGC, Jakarta

11. Hall, C.S. & Lindzey G. 1985. Introduction Theories of Personality. Singapore: John Wiley & Sons, Inc.

12. Hergenhahn, B.R. & Olson, Mathew H. 2001. An Introduction to Theories of Learning. New Jersey: Prentice Hall, Inc.

13. Maramis, W.F. dan Maramis A.A. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi ke 2. Pusat Penerbitan dan Percetakan UNAIR. Airlangga University Press. Surabaya.

14. Martin, Garry & Pear, Yoseph. 2003. Behavior Modification (What It is and How to Do It). New Jersey: Prentice Hall, Inc.

15. Morre, K.L. and Dalley, A.F.,2006, Clinically Oriented Anatomy, 5th Edition. Lippincott Williams Wilkins Co. Baltimore, Philadelphia, USA.

16. Perdossi 2013, Konsensus Nasional Diagnostik dan Penatalaksanaan Nyeri Kepala, Perdossi, Jakarta 17. R.D. Adams, M. Victor, A.H. Ropper, Principles of Neurology. International Edition, McGraw Hill 18. William F. Ganong, Review of Medical Physiology, Prentice Hall Inc. 2003.

Media

Pembelajaran

- Laptop dan Screen - Video

(11)

Dosen Pengajar

dr. Lothar Matheus M.V. Silalahi, Sp.N dr. Lucas Nando Nugraha, M.Biomed dr. E. Suryadi, SU,PA(K), MHPE dr. Johana Puspasari, M.Sc

Dr. dr. Rizaldy Pinzon T, M.Kes., Sp.S dr. Dewi Lestari, M.Biomed

dr. Esdras P., Sp.S, M.Sc dr. Johan, Sp.KJ

dr. Mega Desthiana , Sp.KJ dr. Mahar Agusno, Sp.KJ dr. Venny Pungus, Sp.KJ Imelda, S.Psi, Psi., M.Si

Santa Evelin Sitepu, M.Psi, Psi.

dr. Sugianto, Sp.S, Ph.D

dr. Mitra Andini Sigilipoe, MPH dr. Katherina Adisaputro Persyaratan

Mata Kuliah

Tidak ada Komponen

Penilaian

Model Evaluasi Bobot Evaluasi (dalam persen)

Tutorial 20 %

Praktikum 20 %

Ujian Blok 60 %

Metode Pembelajaran

1. Kuliah/Transfer Knowledge (TCL) – Ya 7. Cooperative Learning (CL) – Ya/Tidak 2. Small Group Discusion - Ya 8. Collaborative Learning (CbL) – Ya/Tidak 3. Role Play Simulation – Ya/Tidak 9. Contextual Instruction (CI) – Ya/Tidak

(12)

4. Case Study (CS) – Ya/Tidak 10. Project Based Learning (PjBL) – Ya/Tidak

5. Discovery Learning (DL) – Ya/Tidak 11. Problem Based Learning and Inquire (PBL) – Ya/Tidak 6. Self-Directed Learning (SDL) – Ya/Tidak 12. Praktikum- Ya/Tidak

(13)

Lembar 3.

Mg. Ke- Sub-CP-MK

(sebagai kemampuan akhir yang diharapkan)

Indikator Kriteria &

Bentuk Penilaian

Metode Pembelajaran [Estimasi Waktu]

Materi

Pembelajaran [Pustaka]

Bobot Penilaian (%)

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

1 Mahasiswa mampu

menjelaskan konsep dasar pembagian sistem saraf berdasarkan fungsi umum (sistem saraf pusat dan saraf perifer) maupun fungsi spesifik (sistem saraf motorik, sensorik, dan autonom) serta fisiologi sistem saraf yang berfokus pada sistem saraf pusat, sistem motorik dan sensorik

Ujian tertulis berupa soal multiple choice;

Tutorial: Small group

discussion

Ketepatan jawaban ujian;

Keaktifan dan kesesuaian konten diskusi

Kuliah/transfer knowledge; Case study; Discovery learning; Problem based learning, praktikum

Modul Sistem Saraf

dan Perilaku 25%

2 Mahasiswa mampu

menjelaskan konsep dasar sistem autonom secara fungsi spesifik (sistem saraf simpatis &

parasimpatis), konsep neurotransmitter pada

Ujian tertulis berupa soal multiple choice;

Tutorial: Small group

discussion

Ketepatan jawaban ujian;

Keaktifan dan kesesuaian konten diskusi

Kuliah/transfer knowledge; Case study; Discovery learning; Problem based learning, praktikum

Modul Sistem Saraf

dan Perilaku 25%

(14)

Mg. Ke- Sub-CP-MK

(sebagai kemampuan akhir yang diharapkan)

Indikator Kriteria &

Bentuk Penilaian

Metode Pembelajaran [Estimasi Waktu]

Materi

Pembelajaran [Pustaka]

Bobot Penilaian (%)

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

sistem autonom

(muskarinik dan nikotinik) serta efeknya pada sistem tubuh. Mahasiswa mampu menjelaskan pengaruh obat-obat yang

mempengaruhi sistem autonom.

3 Mahasiswa mampu

menjabarkan konsep dasar anatomi dan fisiologi kesadaran (sistem ARAS) dan peran struktur lain dalam menyokong kesadaran (termasuk sistem ventrikel).

Mahasiswa mampu menjelaskan komponen struktur tersebut

mempengaruhi perilaku.

Ujian tertulis berupa soal multiple choice;

Tutorial: Small group

discussion

Ketepatan jawaban ujian;

Keaktifan dan kesesuaian konten diskusi

Kuliah/transfer knowledge; Case study; Discovery learning; Problem based learning, praktikum

Modul Sistem Saraf dan Perilaku

25%

(15)

Mg. Ke- Sub-CP-MK

(sebagai kemampuan akhir yang diharapkan)

Indikator Kriteria &

Bentuk Penilaian

Metode Pembelajaran [Estimasi Waktu]

Materi

Pembelajaran [Pustaka]

Bobot Penilaian (%)

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

4 Mahasiswa menjelaskan konsep dasar kesehatan jiwa, pembentukan kepribadian dan

mekanisme pertahanan seseorang yang

membentuk sifat dan perilaku manusia.

Ujian tertulis berupa soal multiple choice;

Tutorial: Small group

discussion

Ketepatan jawaban ujian;

Keaktifan dan kesesuaian konten diskusi

Kuliah/transfer knowledge; Case study; Discovery learning; Problem based learning

Modul Sistem Saraf

dan Perilaku 25%

(16)

PEMERIKSAAN SARAF KRANIAL

dr. Lothar Matheus, M.V.S, Sp.N, Dr. dr. Rizaldy Pinzon Sp.S., M.Kes ; dr. Sugianto Sp.S., M.Kes., Ph.D ; dr.Laksmi Asanti, Sp.S, dr.Kriswanto Widyo, Sp.S, dr.Katherina

Adisaputro

Tujuan pembelajaran:

Setelah mengikuti praktikum ketrampilan medik ini maka mahasiswa diharapkan:

1. Mampu menyebutkan 12 pasang saraf kranial dan fungsinya 2. Mampu menerangkan tatacara pemeriksaan saraf kranial 3. Mampu melakukan pemeriksaan saraf cranial I-XII

4. Mampu menyimpulkan hasil pemeriksaan dan memberikan informasi kepada pasien tentang hasil pemeriksaan

Pendahuluan

Saraf kranial adalah semua saraf yang keluar dari otak melalui foramen kranial.

Ada 12 pasang (3 pasang saraf sensorik murni, 5 pasang motorik murni, 4 pasang campuran sensorik dan motorik).

1. Saraf sensorik murni: N. I (n.olfactorius), N.II (n.opticus) dan N.VII (n.vestibulocochlearis)

2. Saraf motorik murni: N.III (n.occulomotorius), N.IV (n.trochlearis), N.VI (n.abducens), N.XI (n.accesoris), dan N.XII (n.hypoglosal)

3. Saraf campuran motorik dan sensorik: N.V (n.trigeminus), N.VII (n.facialis), N.IX (n.glossopharingeal), N.X (n.vagus)

No Saraf kranial Komponen Fungsi

I Olfactorius Sensorik Fungsi menghidu

II Optikus Sensorik Tajam penglihatan, input

sensorik reflex pupil III Okulomatorius Motorik Gerakan bola mata, elevasi

palpebra superior, konstriksi pupil dan lensa

IV Trochlearis Motorik Gerakan bola mata ke

medial bawah

V Trigeminus

(I)Oftalmikus Sensorik

(17)

(II)Maksilaris

(III)Submandibularis

Sensorik

Sensorik, motorik

Input sensor kornea dan wajah bagian atas Input dagu, bibir atas,

rongga hidung Input lidah, bawah dagu,

mengunyah

VI Abdusen Motorik Gerakan mata ke lateral

VII Facialis Sensorik, motorik Pengecapan, salivasi, lakrimasi, gerakan otot

wajah VIII Vestibulocochlearis Sensorik Vestibular untuk

keseimbangan, cochlearis untuk pendengaran IX Glossopharingeus Sensorik, motorik Pengecapan, salivasi dan

menelan

X Vagus Sensorik, motorik Menelan, baroreseptor, suara, denyut jantung

XI Assesorius Motorik Pergerakan muskulus

sternocleidomastoid dan trapezius

XII Hipoglosus Motorik Pergerakan lidah

Tatacara pemeriksaan

Pada saat memeriksa saraf kranial, yang perlu diperhatikan pada umumnya adalah adanya asimetri antara sisi kanan dan kiri. Agar pemeriksaan saraf kranial dapat memberikan informasi yang diperlukan, kerjasama yang baik antara pemeriksa dan penderita adalah syarat mutlak.

Sebelum mulai diperiksa jelaskan mengenai tujuan pemeriksaan untuk dapat menegakkan diagnosis. Penderita diminta untuk menjawab semua pertanyaan sejelas mungkin dan mengikuti semua petunjuk sebaik mungkin. Pada umumnya pemeriksaan dilakukan dengan posisi pasien duduk. Jelaskan tatacara pemeriksaan kepada pasien, persiapkan alat, lakukan pemeriksaan, catat hasilnya dan buatlah kesimpulan.

(18)

A. Nervus olfaktorius

Anatomi dan fisiologi nervus optikus

Fungsi penghidu jaras olfaktorius yang terdiri dari bagian berikut: mukosa olfaktorius pada bagian atas kavum nasal, fila olfaktoria,dan bulbus subkalosal pada sisi medial orbita lobus frontal. Saraf ini merupakan saraf sensorik murni yang serabut-serabutnya berasal dari membran mukosa hidung dan menembus area kribriformis os. etmoidal untuk bersinaps di bulbus olfaktorius, dari sini, traktus olfaktorius berjalan dibawah lobus frontal dan berakhir di lobus temporal bagian medial sisi yang sama.

Sistem olfaktorius merupakan satu-satunya sistem sensorik yang impulsnya mencapai korteks tanpa melalui proses di talamus. Bau-bauan yang dapat memprovokasi timbulnya nafsu makan dan induksi salivasi serta bau busuk yang dapat menimbulkan rasa mual dan muntah menunjukkan bahwa sistem ini ada kaitannya dengan emosi. Serabut utama yang menghubungkan sistem penciuman dengan area autonom adalah medial forebrain bundle dan stria medularis talamus.

Emosi yang menyertai rangsangan olfaktorius mungkin berkaitan ke serat yang berhubungan dengan talamus, hipotalamus dan sistem limbik.

Tatacara pemeriksaan

Sebelum melakukan pemeriksaan, pemeriksan harus memastikan bawah tidak terdapat obstruksi hidung yang dapat mengaburkan hasil pemeriksaan nervus olfaktorius. Anamnesis mengenai gejala pilek, hidung tersumbat dan fraktur pada hidung perlu dilakukan.

Inspeksi ruam, kelainan bentuk hidung dan masing-masing lubang hidung.

Evaluasi patensi dari saluran hidung bilateral dengan meminta pasien untuk bernapas dalam melalui hidung sementara pemeriksa menutup satu lubang hidung pada suatu waktu bergantian.

Setelah yakin bahwa tidak terdapat obstruksi, mintalah pasien untuk menutup mata mereka untuk masuk ke dalam pemeriksaan nervus olfaktorius.

Tutup satu lubang hidung dan berikan stimulasi bau yang mudah dikenali (kopi,teh, tembakau) pada sisi lubang hidung lainnya. Mintalah pasien untuk menghidu objek tersebut identifikasi aromanya. Pada saat pemeriksaan, mata pasien tetap

(19)

tertutup. Ganti lubang hidung dan ulangi. Mintalah pasien untuk membandingkan kekuatan bau di setiap lubang hidung.

Hasil pemeriksaan dapat berupa hilangnya sensasi penghidu total (anosmia), penurunan sensasi penghidu (hiposmia) atau peningkatan sensasi penghidu (hiperosmia)

Pemeriksaan ini tidak dilakukan secara rutin di praktek klinik, perkecualian adalah pada pasien yang melaporkan gangguan fungsi menghidu (pada umumnya pasca trauma kepala atau inhalasi zat beracun).

Gambar 1. Pemeriksaan nervus olfaktorius

B. Nervus optikus

Anatomi dan fisiologi nervus optikus

Saraf optikus merupakan saraf sensorik murni yang dimulai di retina. Serabut- serabut saraf ini, ini melewati foramen optikum di dekat arteri optalmika dan bergabung dengan saraf dari sisi lainnya pada dasar otak untuk membentuk kiasma optikum. Orientasi spasial serabut-serabut dari berbagai bagian fundus masih utuh sehingga serabut-serabut dari bagian bawah retina ditemukan pada bagian inferior kiasma optikum dan sebaliknya. Serabut-serabut dari lapangan visual temporal (separuh bagian nasal retina) menyilang kiasma, sedangkan yang berasal dari lapangan visual nasal tidak menyilang.

Serabut-serabut yang berasal dari kiasma optikum berakhir di kolikulus superior, dimana terjadi sinaps dengan kedua nuklei saraf okulomotorius. Sisa

(20)

serabut yang meninggalkan kiasma berhubungan dengan penglihatan dan berjalan di dalam traktus optikus menuju korpus genikulatum lateralis. Dari sini serabut- serabut membentuk radiasio optika melewati bagian posterior kapsula interna dan berakhir di korteks visual primer lobus oksipital. Dalam perjalanannya serabut tersebut memisahkan diri sehingga serabut untuk lapang penglihatan kuadran bawah melalui lobus parietal sedangkan untuk lapang penglihatan kuadaran atas melalui lobus temporal. Akibat dari penyilangan pada kiasma optikum serabut- serabut yang berasal dari lapangan penglihatan kiri berakhir di lobus oksipital kanan dan sebaliknya.

Tatacara pemeriksaan

Pemeriksaan fungsi nervus optikus meliputi:

1. Pemeriksaan tajam penglihatan (visual acuity), 2. Pemeriksaan lapang pandang (visual field), 3. Refleks pupil,

4. Pemeriksaan fundus okuli, 5. Tes warna

1. Pemeriksaan tajam penglihatan (visual acuity)

Penglihatan tajam penglihatan diperiksa dengan snellen chart, jari tangan, dan gerakan tangan, pen light. Pemeriksaan tajam penglihatan dilakukan dengan penglihatan 1 mata, sehingga mata yang tidak diperiksa perlu ditutup.

a. Snellen chart: pada pemeriksaan kartu memerlukan jarak enam meter antara pasien dengan chart. Ketajaman penglihatan normal bila baris yang bertanda 6 dapat dibaca dengan tepat oleh setiap mata (visus 6/6).

b. Jari tangan: apabila pada baris pertama Snellen chart pasien tak dapat melihat huruf, maka dilanjutkan dengan pemeriksaan dengan jari tangan.

Normal jari tangan bisa dilihat pada jarak 60 meter tetapi bila hanya bisa melihat pada jarak 2 meter, maka perkiraan visusnya adalah kurang lebih 2/60.

(21)

c. Lambaian tangan: apabila pada jarak 1 meter pasien tidak dapat mengidentifikasi jari tangan, maka dilanjutkan dengan pemeriksaan lambaian tangan. Normal lambaian tangan bisa dilihat pada jarak 300 meter tetapi bisa melihat pada jarak 1 meter berarti visusnya kurang lebih 1/300.

d. Pen light (persepsi cahaya): apabila lambaian tangan pasien tidak dapat identifikasi, maka dilanjutkan dengan mengarahkan cahaya senter/pen light pada mata. Apabila pasien dapat melihat cahaya, maka visusnya adalah light perception. Tetapi apabila tidak dapat mengidentifikasi cahaya, maka visusnya adalah no light perception.

Gambar 2. Pemeriksaan tajam penglihatan dengan kartu Snellen

2. Pemeriksaan Lapang Pandang

Syarat pemeriksaan lapang pandang pemeriksa harus normal.

Pemeriksaan lapang pandang dapat menghasilkan informasi tentang saraf optikus dan lintasan penglihatan mulai dari mata hingga korteks oksipitalis.

Penglihatan perifer diperiksa dengan tes konfrontasi atau dengan perimetri/kampimetri.

Tes Konfrontasi dilakukan dengan jarak antara pemeriksa–pasien 50–100 cm dengan ketinggian mata yang sama. Mata yang yang tidak diperiksa ditutup, pemeriksa juga menutup sisi mata yang berseberangan dengan mata pasien yang ditutup. Pasien diminta fokus pada mata pemeriksa. Jari pemeriksa ditempatkan tepat di tengah-tengah jarak tersebut. Jari pemeriksa digerakan

(22)

sejauh mungkin mengikuti arah mata angin. Mulai dari lapang pandang kuardan kiri, atas, bawah dan tengah.

Gambar 3. Tes konfrontasi untuk lapang pandang

Instruksikan pasien untuk konfirmasi apakah melihat jari pemeriksa pada lokasi titik terjauh tersebut. Apabila pemeriksa masih melihat jarinya tetapi pasien tidak dapat melihat maka terjadi gangguan lapang pandang. Pola gangguan ada jaras nervus optikus terhadap lapang pandang dapat dilihat pada gambar 4.

(23)

3. Refleks Pupil

Aferen refleks pupil berasal dari nervus optikus sedangkan saraf aferennya adalah nervus okulomotorius. Yang dinilai pada pemeriksaan refleks pupil adalah:

a. Ukuran pupil

Pada kondisi pencahayaan normal, diameter pupil berukuran 3-4 mm.

Bila ukurannya kurang dari 2 mm dinamakan miosis, bila lebih dari 5 mm dinamakan midriasis.

b. Simetrisitas pupil

Ukuran pupil normalnya simetris antara kanan dan kiri dan diistilahkan sebagai isokor. Perbedaan signifikan atau anisokor apabila perbedaan diameter ≥ 2 mm karena perbedaan 1 mm ditemukan pada 15-20 % individu normal

c. Posisi pupil

Pada keadaan normal, posis pupil ada ditengah iris.

d. Refleks pupil

Ada dua macam refleks pupil:

- Refleks pupi/cahayal langsung: diperiksa dengan memakai senter kecil, arahkan sinar dari samping (sehingga pasien tidak memfokus pada cahaya dan tidak berakomodasi) ke arah salah satu pupil untuk melihat reaksinya terhadap cahaya. Inspeksi kedua pupil dan ulangi prosedur ini pada sisi lainnya. Pada keadaan normal pupil yang disinari akan mengecil.

- Refleks pupil/cahaya konsensual: mengarahkan sinal pada satu pupil dan memeriksa respon pupil pada sisi yang lain. Normalnya bila satu pupil disinari maka serentak pupil lainnya mengecil dengan ukuran yang sama.

(24)

4. Pemeriksaan fundus okuli (funduskopi)

Alat yang digunakan adalah oftalmoskop. Putar lensa ke arah O dioptri maka fokus dapat diarahkan kepada fundus, kekeruhan lensa (katarak) dapat mengganggu pemeriksaan fundus. Bila retina sudah terfokus carilah terlebih dahulu diskus optikus. Caranya adalah dengan mengikuti perjalanan vena retinalis yang besar ke arah diskus. Semua vena-vena ini keluar dari diskus optikus.

Gambar 5. Pemeriksaan funduskopi

5. Tes buta warna

Pemeriksaan ini dapat dilakukan secara sederhana dengan meminta pasien menyebutkan warna objek yang di sekitarnya. Pemeriksaan yang lebih formal adalah dengan menggunakan kartu ishihara.

C. Nervus okulomotorius

Anatomi dan fisiologi nervus okulomotorius

Nukleus saraf okulomotorius terletak sebagian di depan substansia grisea periakuaduktal (Nukleus motorik) dan sebagian lagi di dalam substansia grisea (Nukleus otonom). Nukleus motorik bertanggung jawab untuk persarafan otot-otot rektus medialis, superior, dan inferior, otot oblikus inferior dan otot levator palpebra superior. Nukleus otonom atau nukleus Edinger-Westhpal yang bermielin sangat sedikit mempersarafi otot-otot mata inferior yaitu spingter pupil dan otot siliaris.

(25)

Tatacara pemeriksaan

Pemeriksaan meliputi ; Ptosis, Gerakan bola mata dan Pupil 1. Ptosis

Pada keadaan normal bila seseorang melihat ke depan maka batas kelopak mata atas akan memotong iris pada titik yang sama secara bilateral. Ptosis dicurigai bila salah satu kelopak mata memotong iris lebih rendah dari pada mata yang lain, atau bila pasien mendongakkan kepal ke belakang / ke atas (untuk kompensasi) secara kronik atau mengangkat alis mata secara kronik pula.

2. Gerakan bola mata.

Pasien diminta untuk melihat dan mengikuti gerakan jari atau ballpoint ke arah medial, atas, dan bawah, sekaligus ditanyakan adanya penglihatan ganda (diplopia) dan dilihat ada tidaknya nistagmus. Sebelum pemeriksaan gerakan bola mata (pada keadaan diam) sudah dilihat adanya strabismus (juling) dan deviasi conjugate ke satu sisi.

Gambar 5. Pemeriksaan gerak bola mata 3. Pupil (sesuai dengan metode pemeriksaan pupil pada nervus II)

Pemeriksaan pupil meliputi :

 Bentuk dan ukuran pupil

 Perbandingan pupil kanan dan kiri, perbedaan pupil sebesar 1 mm masih dianggap normal

 Refleks pupil

(26)

Meliputi pemeriksaan :

 Refleks cahaya langsung (bersama N. II)

 Refleks cahaya tidak langsung (bersama N. II)

 Refleks pupil akomodatif atau konvergensi

Bila seseorang melihat benda didekat mata (melihat hidungnya sendiri) kedua otot rektus medialis akan berkontraksi. Gerakan kedua bola mata ini disebut konvergensi. Bersamaan dengan gerakan bola mata tersebut maka kedua pupil akan mengecil (otot siliaris berkontraksi)

Gambar 6. Pemeriksaan pupil

D. Nervus trochlearis

Anatomi dan fisiologi nervus trochlearis

Nukleus saraf troklearis terletak setinggi kolikuli inferior di depan substansia grisea periakuaduktal dan berada di bawah Nukleus okulomotorius. Saraf ini merupakan satu-satunya saraf kranialis yang keluar dari sisi dorsal batang otak. Saraf troklearis mempersarafi otot oblikus superior untuk menggerakkan mata bawah, kedalam dan abduksi dalam derajat kecil.

Tatacara pemeriksaan Pemeriksaan meliputi

1. gerak mata ke medial bawah 2. strabismus

3. diplopia

(27)

E. Nervus trigeminus

Anatomi dan fisiologi nervus trigeminus

Saraf trigeminus bersifat campuran terdiri dari serabut-serabut motorik dan serabut-serabut sensorik. Serabut motorik mempersarafi otot masseter dan otot temporalis. Serabut-serabut sensorik saraf trigeminus dibagi menjadi tiga cabang utama yatu saraf oftalmikus, maksilaris, dan mandibularis. Daerah sensoriknya mencakup daerah kulit, dahi, wajah, mukosa mulut, hidung, sinus. Gigi maksilar dan mandibula, dura dalam fosa kranii anterior dan tengah bagian anterior telinga luar dan kanalis auditorius serta bagian membran timpani.

Tatacara pemeriksaan

Pemeriksaan meliputi; sensibilitas, motorik dan refleks 1. Sensibilitas

Ada tiga cabang sensorik, yaitu oftalmik, maksila, mandibula.

Pemeriksaan dilakukan pada ketiga cabang saraf tersebut dengan membandingkan sisi yang satu dengan sisi yang lain. Mula-mula tes dengan ujung yang tajam dari sebuah jarum yang baru. Pasien menutup kedua matanya dan jarum ditusukkan dengan lembut pada kulit, pasien ditanya apakah terasa tajam atau tumpul. Hilangnya sensasi nyeri akan menyebabkan tusukan terasa tumpul.

Daerah yang menunjukkan sensasi yang tumpul harus digambar dan pemeriksaan harus di lakukan dari daerah yang terasa tumpul menuju daerah yang terasa tajam. Juga lakukan tes pada daerah di atas dahi menuju belakang melewati puncak kepala. Pasien disuruh mengatakan “ya” setiap kali dia merasakan sentuhan kapas pada kulitnya.

(28)

Gambar 7. Pemeriksaan sensibilitas wajah 2. Motorik

Pemeriksaan dimulai dengan menginspeksi adanya atrofi otot-otot temporalis dan masseter. Pasien diminta mengatupkan giginya dan lakukan palpasi adanya kontraksi masseter diatas mandibula. Pasien disuruh membuka mulutnya (otot- otot pterigoideus) dan pertahankan tetap terbuka sedangkan pemeriksa berusaha menutupnya. Lesi unilateral dari cabang motorik menyebabkan rahang berdeviasi kearah sisi yang lemah (yang terkena).

Gambar 8. Pemeriksaan Musculus Masseter

(29)

3. Refleks

Pemeriksaan refleks meliputi

 Refleks kornea a. Langsung

Pasien diminta melirik ke arah laterosuperior, kemudian dari arah lain kapas disentuhkan pada limbus kornea mata, misal pasien diminta melirik kearah kanan atas maka kapas disentuhkan pada kornea mata kiri dan lakukan sebaliknya pada mata yang lain. Kemudian bandingkan kekuatan dan kecepatan refleks tersebut kanan dan kiri saraf aferen berasal dari N. V tetapi eferannya (berkedip) berasal dari N.VII.

b. Tak langsung (konsensual)

Sentuhan kapas pada kornea atas akan menimbulkan refleks menutup mata pada mata kiri dan sebaliknya kegunaan pemeriksaan refleks kornea konsensual ini sama dengan refleks cahaya konsensual, yaitu untuk melihat lintasan mana yang rusak (aferen atau eferen).

Gambar 9. Pemeriksaan reflex kornea

 Refleks bersin (nasal refleks)

 Refleks masseter

Untuk melihat adanya lesi UMN (certico bultar) penderita membuka mulut secukupnya (jangan terlalu lebar) kemudian dagu diberi alas jari tangan pemeriksa diketuk mendadak dengan palu refleks. Respon normal akan negatif yaitu tidak ada penutupan mulut atau positif lemah yaitu penutupan mulut

(30)

ringan. Sebaliknya pada lesi UMN akan terlihat penutupan mulut yang kuat dan cepat.

F. Nervus abduscen

Anatomi dan fisiologi nervus abduscen

Pemeriksaan meliputi gerakan mata ke lateral, strabismus konvergen dan diplopia tanda-tanda tersebut maksimal bila memandang ke sisi yang terkena dan bayangan yang timbul letaknya horizonatal dan sejajar satu sama lain.

Tatacara pemeriksaan

Kelainan pada paralisis nervus abdusens menyebabkan bola mata tidak bisa bergerak ke lateral, ketika pasien melihat lurus ke atas, mata yang sakit teradduksi dan tidak dapat digerakkan ke lateral, ketika pasien melihat ke arah nasal, mata yang paralisis bergerak ke medial dan ke atas karena predominannya otot oblikus inferior. Jika ketiga saraf motorik dari satu mata semuanya terganggu, mata tampak melihat lurus keatas dan tidak dapat digerakkan kesegala arah dan pupil melebar serta tidak bereaksi terhadap cahaya (oftalmoplegia totalis). Paralisis bilateral dari otot-otot mata biasanya akibat kerusakan nuklear.

G. Nervus facialis

Anatomi dan fisiologi saraf facialis

Saraf fasialis mempunyai fungsi motorik dan fungsi sensorik. Fungsi motorik berasal dari nukleus motorik yang terletak pada bagian ventrolateral dari tegmentum pontin bawah dekat medula oblongata. Fungsi sensorik berasal dari nukleus sensorik yang muncul bersama nukleus motorik dan saraf vestibulokoklearis yang berjalan ke lateral ke dalam kanalis akustikus interna.

Serabut motorik saraf fasialis mempersarafi otot-otot ekspresi wajah terdiri dari otot orbikularis okuli, otot buksinator, otot oksipital, otot frontal, otot stapedius, otot stilohioideus, otot digastriktus posterior serta otot platisma. Serabut sensorik menghantar persepsi pengecapan bagian anterior lidah.

Tatacara pemeriksaan

(31)

Pemeriksaan saraf fasialis dilakukan saat pasien diam dan atas perintah (tes kekuatan otot).

Asimetri wajah; Kelumpuhan nervus VIII dapat menyebabkan penurunan sudut mulut unilateral dan kerutan dahi menghilang serta lipatan nasolabial, tetapi pada kelumpuhan nervus fasialis bilateral wajah masih tampak simetrik.

Gerakan-gerakan abnormal (tic facialis, grimacing, kejang tetanus/rhisus sardonicus tremor dan seterusnya ). Ekspresi muka (sedih, gembira, takut, seperti topeng).

Tes kekuatan otot:

1. Mengangkat alis, bandingkan kanan dan kiri.

2. Menutup mata sekuatnya (perhatikan asimetri) kemudian pemeriksa mencoba membuka kedua mata tersebut bandingkan kekuatan kanan dan kiri.

3. Memperlihatkan gigi (asimetri) 4. Bersiul dan mecucu

5. meniup sekuatnya, bandingkan kekuatan uadara dari pipi masing-masing.

6. Menarik sudut mulut ke bawah.

(32)

Gambar 10. Tes kekuatan otot wajah

Tes sensorik khusus (pengecapan 2/3 depan lidah). Pemeriksaan dengan rasa manis, pahit, asam, asin yang disentuhkan pada salah satu sisi lidah. Hiperakusis, jika ada kelumpuhan N. Stapedius yang melayani otot stapedius maka suara-suara yang diterima oleh telinga pasien menjadi lebih keras intensitasnya.

(33)

H. Nervus vestibulocochlearis

Anatomi dan fisiologi nervus vestibulocochlearis

Saraf vestibulokoklearis terdiri dari dua komponen yaitu serabut-serabut aferen yang mengurusi pendengaran dan vestibuler yang mengandung serabut-serabut aferen yang mengurusi keseimbangan. Serabut-serabut untuk pendengaran berasal dari organon corti dan berjalan menuju inti koklea di pons, dari sini terdapat transmisi bilateral ke korpus genikulatum medial dan kemudian menuju girus superior lobus temporalis. Serabut-serabut untuk keseimbangan mulai dari utrikulus dan kanalis semisirkularis dan bergabung dengan serabut-serabut auditorik di dalam kanalis fasialis. Serabut-serabut ini kemudian memasuki pons, serabut vestibutor berjalan menyebar melewati batang otak dan serebelum.

Tatacara pemeriksaan

Ada dua macam pemeriksaan yaitu pemeriksaan pendengaran dan pemeriksaan fungsi vestibuler

1. Pemeriksaan pendengaran

Inspeksi meatus akustikus eksternus dari pasien untuk mencari adanya serumen atau obstruksi lainnya dan membrana timpani untuk menentukan adanya nflamasi atau perforasi. Lakukan tes pendengaran dengan menggunakan gesekan jari, detik arloji, dan audiogram. Untuk membedakan tuli saraf dengan tuli konduksi dipakai tes Rinne dan tes Weber.

Gambar 11. Tes fungsi pendengaran

(34)

 Tes Rinne

Garpu tala dengan frekuensi 256 Hz mula-mula dilakukan pada prosesus mastoideus, dibelakang telinga, dan bila bunyi tidak lagi terdengar letakkan garpu tala tersebut sejajar dengan meatus akustikus eksterna.

Dalam keadaan normal suara masih terdengar pada meatus akustikus eksternus.

 Tes Weber

Garpu tala 256 Hz diletakkan pada bagian tengah dahi dalam keadaan normal bunyi akan terdengar pada bagian tengah dahi pada tuli saraf bunyi dihantarkan ke telinga yang normal pada tuli konduktif bunyi tedengar lebih keras pada telinga yang abnormal.

(35)

Gambar 12. Tes Weber dan Tes Rinne 2. Pemeriksaan Fungsi Vestibuler

Pemeriksaan fungsi vestibuler meliputi : nistagmus, tes romberg dan berjalan lurus dengan mata tertutup, head tilt test (Nylen – Baranny, dixxon – Hallpike) yaitu tes untuk postural nistagmus.

I. Nervus glosofaringeus dan nervus vagus Anatomi dan fisiologi nervus IX dan X

Saraf Glosofaringeus menerima gabungan dari saraf vagus dan asesorius pada waktu meninggalkan kranium melalui foramen tersebut, saraf glosofaringeus mempunyai dua ganglion, yaitu ganglion intrakranialis superior dan ekstrakranialis inferior. Setelah melewati foramen, saraf berlanjut antara arteri karotis interna dan vena jugularis interna ke otot stilofaringeus. Di antara otot ini dan otot stiloglosal, saraf berlanjut ke basis lidah dan mempersarafi mukosa faring, tonsil dan sepertiga posterior lidah.

Saraf vagus juga mempunyai dua ganglion yaitu ganglion superior atau jugulare dan ganglion inferior atau nodosum, keduanya terletak pada daerah foramen jugularis, saraf vagus mempersarafi semua visera toraks dan abdomen dan menghantarkan impuls dari dinding usus, jantung dan paru-paru.

Tatacara pemeriksaan

Pemeriksaan N. IX dan N X. karena secara klinis sulit dipisahkan maka biasanya dibicarakan bersama-sama, anamnesis meliputi kesedak (kelumpuhan palatum), kesulitan menelan dan disartria. Pasien disuruh membuka mulut dan inspeksi palatum dengan senter perhatikan apakah terdapat pergeseran uvula, kemudian pasien disuruh menyebut “ah” jika uvula terletak ke satu sisi maka ini menunjukkan adanya kelumpuhan nervus IX unilateral perhatikan bahwa uvula tertarik kearah sisi yang sehat.

Sekarang lakukan tes refleks muntah dengan lembut (nervus IX adalah komponen sensorik dan nervus X adalah komponen motorik). Sentuh bagian belakang faring pada setiap sisi dengan spacula, jangan lupa menanyakan kepada pasien apakah ia merasakan sentuhan spatula tersebut (N. IX) setiap kali

(36)

dilakukan. Dalam keadaaan normal, terjadi kontraksi palatum molle secara refleks. Jika konraksinya tidak ada dan sensasinya utuh maka ini menunjukkan kelumpuhan nervus X, kemudian pasien disuruh berbicara agar dapat menilai adanya suara serak (lesi nervus laringeus rekuren unilateral), kemudian disuruh batuk , tes juga rasa kecap secara rutin pada sepertiga posterior lidah (N. IX).

Gambar 13. Pemeriksaan nervus IX dan X

J. Nervus assesorius

Anatomi dan fisiologi nervus assecorius

Saraf asesorius mempunyai radiks spinalis dan kranialis. Radiks kranial adalah akson dari neuron dalam nukleus ambigus yang terletak dekat neuron dari saraf vagus. Saraf aksesoris adalah saraf motorik yang mempersarafi otot sternokleidomastoideus dan bagian atas otot trapezius, otot sternokleidomastoideus berfungsi memutar kepala ke samping dan otot trapezius memutar skapula bila lengan diangkat ke atas.

Tatacara pemeriksaan

Pemeriksaan saraf asesorius dengan cara meminta pasien mengangkat bahunya dan kemudian rabalah massa otot trapezius dan usahakan untuk menekan bahunya ke bawah, kemudian pasien disuruh memutar kepalanya dengan melawan tahanan (tangan pemeriksa) dan juga raba massa otot sternokleido mastoideus.

(37)

Gambar 14. Pemeriksaan fungsi nervus assecorius

K. Nervus hipoglossus

Anatomi dan fisiologi nervus hipoglossus

Nukleus saraf hipoglosus terletak pada medula oblongata pada setiap sisi garis tengah dan depan ventrikel ke empat dimana semua menghasilkan trigonum hipoglosus. Saraf hipoglosus merupakan saraf motorik untuk lidah dan mempersarafi otot lidah yaitu otot stiloglosus, hipoglosus dan genioglosus.

(38)

Tatacara pemeriksaan

Pemeriksaan saraf Hipoglosus dilakukan dengan cara; Inspeksi lidah dalam keadaan diam didasar mulut, tentukan adanya deviasi, atrofi dan fasikulasi (kontraksi otot yang halus regular dan tidak ritmik).

Gambar 15. Pemeriksaan nervus hipoglossus

(39)

Nama : NIM :

CHECKLIST PEMERIKSAAN NEUROLOGIS

NO ASPEK YANG DINILAI NILAI

0 1 2

1. Membina sambung rasa

2. Menjelaskan tujuan pemeriksaan

3. Mencuci tangan

N.I (olfactorius)

4. Memperkenalkan media bau yang akan dipakai kepada pasien

5. Meminta pasien menutup mata

6. Meminta pasien menutup sebelah hidung, mencium bau yang diberikan dan menyebutkan hasilnya

7. Melakukan prosedur pada hidung sebelahnya

8. Melaporkan hasil pemeriksaan

N. II (opticus)

9. Melakukan pemeriksaan Acuity: (finger counting test) 10. Melakukan pemeriksaan Field : (lapang pandang)

11. Melakukan pemeriksaan Refleks : (refleks pupil direct &

indirect)

12. Menyebutkan pemeriksaan Optic disc: saya akan memeriksa opthalmoscopy untuk memvisualisasi diskus optikus  disebutkan saja tidak usah diperiksa

N. III, IV, VI (occulomotor, trochlearis, abducens)

13. Melakukan pemeriksaan gerak bola mata (pola H) N. V (trigeminal)

14. Memperkenalkan pasien bagaimana sensasi tajam, raba, dan tumpul

15. Meminta pasien menutup mata

16. Melakukan pemeriksaan sensoris tajam, raba, dan tumpul secara acak dan meminta konfirmasi pasien apakah terasa

17. Meminta pasien untuk mengatupkan giginya sekuat-kuatnya

(40)

18. Melakukan palpasi kontraksi m. masseter & m. temporalis 19. Meminta pasien untuk membuka rahang bawah dan

menahannya dengan tangan

20. Melaporkan hasil pemeriksaan

N.VII (facialis)

21. Inspeksi wajah secara keseluruhan (simetris atau tidak, dst) 22. Meminta pasien untuk mengangkat alis, bandingkan kanan dan

kiri

23. Meminta pasien menutup mata sekuatnya, lalu pemeriksa mencoba membuka mata pasien

24. Meminta pasien mencucu

25. Meminta pasien menggembungkan pipi dan meniup sekuat- kuatnya

26. Meminta pasien untuk tersenyum untuk melihat sudut mulut 27. Meminta pasien untuk menunjukkan gigi

28. Menyebutkan: saya akan memeriksa sensasi rasa dari 2/3 lidah

 disebutkan saja tidak usah diperiksa

29. Melaporkan hasil pemeriksaan

N VIII (vestibulocochlearis)

30. Memastikan ruangan dalam keadaan hening

31. Meminta pasien untuk menutup mata

32. Pemeriksa melakukan jentikan jari di dekat kedua telinga pasien, meminta konfirmasi pasien apakah terdengar atau tidak

33. Meminta pasien untuk berdiri tegak dengan kedua kaki rapat 34. Meminta pasien menutup mata dengan pemeriksa berdiri di

dekat pasien

35. Melaporkan hasil pemeriksaan

N . IX, X, XII (glossopharyngeus, vagus, hypoglossal)

36. Meminta pasien membuka mulut

37. Melakukan inspeksi arkus faring dengan bantuan penlight

(41)

38. Meminta pasien mengeluarkan suara "aaaaaa" lalu melihat gerakkan palatum molle dan uvula

39. Meminta pasien untuk menjulurkan lidah 40. Melakukan inspeksi: fasikulasi, asimetris, papil atrofi/tidak,

apakah ada deviasi

41. Menanyakan : apakah ada kesulitan menelan? Dan akan memeriksa sensasi 1/3 belakang lidah (N.IX)  disebutkan tidak usah diperiksa

42. Melaporkan hasil pemeriksaan N. XI (accessory)

43. Meminta pasien untuk mengangkat bahu sekuat mungkin, pemeriksa melakukan tahanan

44. Meminta pasien untuk menoleh ke salah satu sisi, pemeriksa mencoba menahannya sambil mengamati m.

Sternokleidomastoideus

45. Melaporkan hasil pemeriksaan

46. Menutup sesi & mengucapkan terimakasih

Nilai

0 : tidak dikerjakan

1 : dikerjakan tidak sempurna 2 : dikerjakan sempurna

Nilai = (Total : 92) x 100 =

Penguji

(__________________________)

(42)

PEMERIKSAAN SISTEM SARAF SENSORIS, KESEIMBANGAN-KOORDINASI DAN GAIT

Lothar Matheus Manson Vanende Silalahi, Rizaldy Pinzon, Laksmi Asanti Universitas Kristen Duta Wacana, SMF Saraf RS Bethesda Yogyakarta

PEMERIKSAAN SISTEM SARAF SENSORIS

Pemeriksaan sistem sensorik mencakup pengujian untuk:

1. Fungsi Sensorik Protopatik/Eksteroseptif (sensasi nyeri, suhu dan raba halus) 2. Fungsi Sensorik Propioseptif (sensasi vibrasi dan posisi sendi)

3. Fungsi Sensorik Serebral (stereognosia, graphesthesia, diskriminasi dua titik, stimulasi ganda simultan/atensi sensorik)

Pemeriksaan sensorik pada modul ini merupakan pemeriksaan yang membutuhkan atensi dan respons verbal pasien sehingga syarat untuk melakukan pemeriksaan ini adalah pasien dalam kondisi sadar penuh, relaks, kooperatif, bebas nyeri dan fungsi kognitif yang baik. Pemeriksaan sensoris pada kondisi penurunan kesadaran dan tidak kooperatif akan terbatas pada pemeriksaan yang tidak membutuhkan respons verbal seperti refleks korena atau respons ketika diberi stimulus nyeri.

Prinsip awal pemeriksaan sensorik adalah:

a. Informasikan deskripsi singkat pemeriksaan (tujuan, alat yang digunakan dan bentuk stimulus yang akan diberikan)

b. Demonstrasikan stimulus yang akan diberikan kepada pasien sebelum pemeriksaan yang sebenarnya untuk mengurangi rasa takut dan tidak nyaman selama pemeriksaan

c. Saat melakukan pemeriksaan sensorik pasien dalam kondisi mata tertutup atau tidak melihat langsung saat pemberian stimulus sensorik

1. FUNGSI SENSORIK PROTOPATIK/EKSTEROSPETIF (NYERI, SUHU DAN RABA HALUS)

(43)

Sistem sensorik protopatik/eksteroseptif diperantarai oleh traktus spinotalamikus yang berfungsi sebagai sensorik stimulus:

A. Nyeri

Objek yang digunakan untuk pemeriksaan sensasi nyeri adalah jarum atau tusuk gigi. Dengan mata pasien tertutup, pemeriksa menyentuh secara bergantian pasien dengan jarum atau tusuk gigi. Pemeriksa secara bergantian memberikan rangsang pada pasien di minimal 13 titik. Menyentuh satu bagian tubuh diikuti oleh bagian tubuh yang sesuai di sisi lain (misalnya, bahu kanan kemudian bahu kiri) dengan instrumen yang sama. Perbandingan dua titik ekstrem kranial dan kaudal juga dapat dilakukan. Usahakan intensitas stimulus yang diberikan sama kuat.

Pada pemeriksaan sensasi nyeri, instruksikan pasien untuk memberi respons:

- Stimulasi yang diberikan terasa “tajam” atau “tumpul”

- Perbandingan kekuatan sensasi antara sisi kanan dan kiri pada lokasi yang bersesuaian atau pada 2 titik ekstrim (kranial dan kaudal)

B. Raba Halus

Objek untuk pemeriksaan sensasi raba halus yang dapat digunakan adalah kapas, tisu, bulu, sikat lembut atau bahkan sentuhan yang sangat halus dari ujung jari pemeriksa.

Dengan mata pasien tertutup, pemeriksa menyentuh secara bergantian area kulit pasien dengan objek yang digunakan. Pemeriksa secara bergantian memberikan rangsang pada pasien di minimal 13 titik. Menyentuh satu bagian tubuh diikuti oleh bagian tubuh yang sesuai di sisi lain (misalnya, bahu kanan

(44)

kemudian bahu kiri) dengan instrumen yang sama. Perbandingan dua titik ekstrem kranial dan kaudal juga dapat dilakukan. Usahakan intensitas stimulus yang diberikan sama kuat.

Pada pemeriksaan sensasi sentuhan ringan, instruksikan pasien untuk membandingkan kekuatan sensasi antara sisi kanan dan kiri pada lokasi yang bersesuaian atau pada 2 titik ekstrim (kranial dan kaudal)

Tiga belas (13) titik yang diperiksa perwakilan lokasi tubuh yang sesuai dengan dermatom radiks saraf:

1. Aspek anterior bahu (C4) 2. Aspek lateral lengan atas (C5) 3. Aspek medial lengan bawah (T1) 4. Ujung jempol (C6)

5. Ujung jari tengah (C7) 6. Ujung jari kelingking (C8)

7. Dada, tingkat papila mamae (T5) 8. Perut, tingkat umbilikalis (T10) 9. Aspek anterior paha (L2)

10. Aspek anterior genu (L3)

11. Bagian medial tungkai bawah (L4) 12. Bagian lateral tungkai bawah (L5)

(45)
(46)

C. Suhu

Objek yang digunakan untuk pemeriksaan sensasi suhu yang ideal adalah 2 tabung reaksi yang berisi air hanga (40-45O C) dan dingin (5-10O C). Permukaan luar tabung harus kering. Alternatif lain adalah jari pemeriksa (stimulus hangat) atau gagang garpu tala (stimulus dingin).

Dengan mata tertutup, pasien diinstruksikan untuk mengidentifikasi stimulus yang diberikan dalam beberapa detik saat kulit disentuh dengan stimulus dingin/hangat. Langkah ini diulangi dengan stimulus yang berbeda dari sebelumnya pada area yang sama. Berikan jeda kurang lebih 2 detik antar pemberian stimulus.

2. FUNGSI SENSORIK PROPIOSEPTIF (TES VIBRASI DAN POSISI SENDI)

Sistem sensorik propioseptif diperantarai oleh sistem kolumna dorsalis medula spinalis yang fungsinya sebagai sensorik untung stimulus:

A. Vibrasi

Objek yang digunakan untuk pemeriksaan sensasi vibrasi adalah garpu tala 128 Hz atau 256 Hz. Pemeriksa memegang garpu tala pada bagian tangkainya. Ujung tangkai garpu tala ditaruh di area-area tonjolan tulang/sendi.

Pasien diinstruksikan untuk merasakan getaran garpu tala (bukan sentuhan garpu tala) dan jika sudah tidak merasakan getaran, pasien diminta

(47)

untuk memberi tanda. Setelah itu pemeriksa merasakan getaran garpu tala yang dipegangnya. Fungsi vibrasi abnormal apabila pemeriksa masih merasakan getaran garpu tala lebih dari 10 detik.

Lakukan pemeriksaan vibrasi pada tonjolang tulang mulai dari distal ke proksimal, yaitu sendi interphalangeal proksimal ibu jari kaki, sendi metatarsophalangeal, malleolus medial, tuberostas tibia, spina iliaka anterior superior, ujung jari tangan, sendi interphalangeal tangan, sendi metakarpofalangeal, pergelangan tangan, siku dan bahu.

Apabila pasien tidak merasakan getaran garpu tala, pindahkan garpu tala ke sendi yang lebih proksimal atau sendi homolog kontra lateral. Instruksikan pasien untuk membandingkan sensasi vibrasi antara keduanya.

B. Sensasi Posisi Sendi

Tidak ada objek khusus yang dibutuhkan untuk pemeriksaan posisi sendi.

Sensasi posisi diperiksa dengan cara memegang ujung jari pasien dalam kondisi rileks dan tidak terganggu jari lainnya. Cara pemeriksaannya adalah dengan memegang sisi lateral dari jari yang diperiksa. Memegang bagian atas atau bawah jari membuat tes ini tidak valid.

Sebelum pemeriksaan yang sebenarnya, tetapkan dengan pasien tentang arah “naik” dan “turun” dan penamaan jari yang diperiksa (bisa menggunakan nama jari atau nomor).

(48)

Pemeriksa secara manual menggerakkan jari kaki pasien di masing-masing arah, kemudian dihentikan pada kondisi tertentu. Pada keadaan posisi tersebut, minta pasien untuk mengidentifikasi arah dan jari yang digerakkan sesuai yang ditetapkan di awal. Ulangi pada kaki yang berlawanan dan bandingkanlah.

3. FUNGSI SENSORIK SEREBRAL (STEREOGNOSIS, GRAPHESTESIA, DISKRIMINASI 2 TITIK/ATENSI SENSORIK)

Fungsi sensorik serebral melibatkan area sensorik primer di korteks parietal dan area sensorik asosiasi. Stimulus yang diterima oleh area sensorik primer akan diteruskan ke area sensorik asosiasi untuk dikorelasikan dengan bagian otak yang lain, sehingga interpretasi dan persepsi menjadi lebih tajam dan kompleks.

Contoh, jika sesorang pasien diminta memejamkan mata dan diberikan sebuah benda pada telapak tangannya, maka secara normal tidak hanya dapat merasakan saja, tetapi juga mengenali secara spesifik nama dan karakteristik benda tersebut.

Modalitas sensorik kortikal yang mempunyai relevansi secara klinis meliputi:

A. Tes Stereognosis

Stereognosis adalah kemampuan pasien untuk mengidentifikasi bentuk benda dengan cara menyentuh benda tersebut. Syarat bisa dilakukannya pemeriksaan ini adalah sensasi raba, nyeri, suhu dan vibrasi pada tangan seluruhnya dalam batas normal. Tangan juga sebaiknya tidak mengalami

(49)

kelemahan motorik sehingga benda tersebut dapat dimanilupasi dan digerakkan.

Tes ini dilakukan dengan meminta pasien untuk menutup mata mereka dan mengidentifikasi objek yang ditempatkan di tangan mereka dengan menyebutkan nama benda tersebut. Benda yang dapat ditempatkan adalah benda yang umum ditemukan sehari-hari (kunci, koin, tutup botol, dsb).

Taruhlah koin atau pena di tangan mereka. Ulangi dengan sisi lain menggunakan objek yang berbeda. Bila pasien tidak dapat mengenali, maka benda tersebut dipindahkan ke tangan lainnya. Bila tetap tidak mengenali, pasien diminta melihat benda tersebut. Jika dengan melihat benda tersebut pasien dapat mengenalinya, maka disebut sebagai astereognosis. Astereognosis adalah ketidakmampuan untuk mengenali obyek yang ditempatkan di tangan tanpa melihat objek tersebut.

Kelainan ini mengindikasikan suatu lesi di korteks sensorik dari lobus parietalis.

B. Tes graphesthesia

Graphestesia adalah kemampuan untuk mengenali huruf atau angka yang dituliskan di atas area kulit tertentu. Pemeriksaan dilakukan dengan meminta pasien untuk menutup mata mereka dan mengidentifikasi nomor atau huruf yang digambar di telapak tangan mereka. Pemeriksa menuliskan bentuk huruf atau angka (1-10) dengan jari pemeriksa atau dengan ujung pena yang terutup pada telapak tangan/telapak jari/punggung kaki pasien.

Pasien kemudian diminta untuk menyebutkan angka atau huruf yang

(50)

digambarkan tersebut. Ulangi di sisi lain dengan huruf atau angka yang berbeda.

C. Diskriminasi 2 titik

Alat pemeriksaan yang digunakan adalah caliper atau klip kertas yang dibentuk menjadi huruf V. Pemeriksaan ini bertujuan untuk membedakan stimulasi 1 atau 2 titik pada area kulit. Area yang diperiksa meliputi wajah, ujung jari, telapak tangan dan daerah tulang tibial. Pasien diminta menutup mata kemudian pemeriksa memberikan stimulasi bersamaan pada 2 titik pada area tersebut pada jarak tertentu, pasien diminta mengidentifikasi apakah stimulus yang diberikan ada 1 titik atau 2 titik.

Jarak antara stimulasi 2 titik terpendek masih dapat didentifikasi oleh pasien sebagai stimulasi 2 titik kemudian diukur.

Batas normal stimuasi 2 titik antara lain: ujung lidah 1 mm, bibir 2-3 mm, wajah 2-5 mm. Jika jarak untuk membedakan 2 titik lebih lebar dari rentang normal mengindikasikan gangguan pada lobus parietal.

D. Stimulai ganda simultan/atensi sensorik

Tidak ada objek spesifik yang digunakan untuk pemeriksaan ini. Dengan posisi pasien menutup mata, pemeriksa menyentuh 2 bagian tubuh yang homolog secara bersamaan/simultan (misalnya, bahu kanan dan bahu kiri). Pasien diminta untuk menjawab sisi tubuh mana yang disentuh. Pasien dengan lesi lobus parietal tidak dapat mengidentifikasi rabaan pada sisi tubuh kontralateral lesi pada saat disentuh saat bersamaan. Fenomena ini disebut sensory extinction/sensory inattention/neglect.

(51)

PEMERIKSAAN KESEIMBANGAN-KOORDINASI DAN GAIT

1. PEMERIKSAAN KESEIMBANGAN

Keseimbangan yang normal melambangkan gambaran integritas antara komponen susunan saraf pusat dan perifer yang normal. Fungsi keseimbangan dipengaruhi oleh input sistem vestibular, proprioseptif dan visual. Keseimbangan yang baik memerlukan minimal 2 dari 3 input sistem tersebut. Apabila ada lebih dari 1 sistem tersebut yang terganggu maka akan terjadi gangguan keseimbangan.

Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk pemeriksaan keseimbangan adalah:

A. Tes romberg

Tujuan pemeriksaan romberg adalah untuk evaluasi input sensoris sistem vestibular dan proprioseptif. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menghilangkan input visual. Normalnya tubuh akan tetap dapat berdiri seimbang saat mata tertutup karena ditopang oleh input vestibular dan proprioseptif yang baik.

Syarat pemeriksaan ini adalah tidak terdapat kelemahan motoric pada ekstremitas bawah, memiliki visus yang baik dan kooperatif selama pemeriksaan. Selama pemeriksaan pasien tidak memakai alas kaki

Pada awal pemeriksaan, mintalah pasien berdiri pada alas yang datar, kedua kaki rapat, lengan berada di sisi tubuh dan mata terbuka. Lengan juga dapat disilangkan pada dada dengan tangan mendekap bahu. Pemeriksa berdiri di dekat pasien dengan kedua lengan terjulur ke depan sehingga jika pasien terjatuh pemeriksa dapat segera menangkapnya. Perhatikan selama 20 detik apakah pasien bergoyang atau jatuh.

Apabila dengan mata terbuka pasien dapat mempertahankan keseimbangan, instruksikan pasien untuk menutup kedua matanya selama 30 detik. Perhatikan kemampuan pasien untuk mempertahankan posisinya agar tetap tegak. Pasien dikatakan tidak dapat mempertahankan keseimbangan apabila terhuyung dan kaki berubah posisi untuk mencegah dirinya jatuh. Jika

(52)

pasien tidak dapat mempertahankan keseimbangannya maka disebut romberg positif.

Jika pada saat mata terbuka pasien sudah terhuyung atau jatuh, makan disebut romberg mata terbuka positif dan kemungkinan terdapat gangguan pada serebelum. Jika pada saat mata terbuka pasien sudah terhuyung atau jatuh maka tidak perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan mata tertutup.

Apabila saat mata terbuka pasien dapat mempertahankan keseimbangan sementara terhuyung atau jatuh saat mata tertutup, maka kemungkinan terdapat gangguan dari input vestibular atau propriospetif atau kombinasi keduanya.

B. Past pointing test

Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengevaluasi fungsi serebelum dan atau sistem vestibular. Sebelum melakukan pemeriksaan ini perlu dipastikan terlebih dahulu bahwa pasien tidak mengalami kelemahan pada ekstremitas dan kooperatif.

Pemeriksaan dilakukan dengan meminta pasien mengekstensikan sendi siku dengan posisi jari telunjuk ekstensi. Pasien kemudian mengarahkan jari

(53)

telunjuknya ke jari telunjuk pemeriksa. Gerakan dilakukan beberapa kali dengan mata terbuka terlebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan mata tertutup.

Dengan mata tertutup, pasien diminta mengekstensikan lengannya sampai di atas kepala kemudian turun kembali dan menyentuhkan ujung jari telunjuknya ke jari telunjuk pemeriksa. Posisi jari tangan pemeriksa tidak berpindah-pindah. Pemeriksaan diulang pada sisi tangan yang lain.

Past Pointing Test positif apabila lengan pasien mengalami deviasi dari target (jari pemeriksa) dan arah deviasi konsisten pada beberapa kali pengulangan. Pada kerusakan serebelum akan terjadi deviasi pada salah satu tangan, sementara pada kerusakan vestibular akan terjadi deviasi ketika dicoba pada kedua tangan.

2. PEMERIKSAAN KOORDINASI

Kemampuan koordinasi terutama diatur oleh serebelum. Serebelum berperan dalam sinergi kontraksi otot dengan mengatur tonus otot dan koordinasi pada gerakan volunter. Gangguan pada serebelum tidak menyebabkan kelemahan akan tetapi mempengaruhi gerakan. Keluhan yang dapat muncul akibat lesi serebelum yaitu tremor, inkoordinasi, gangguan gait dan disartria. Pada pemeriksaan dapat ditemukan nystagmus, hipotonia dan dismetria.

Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk pemeriksaan koordinasi antara lain:

A. Gerakan menunjuk (tes telunjuk-telunjuk/finger to finger, tes hidung- telunjuk/nose to finger)

(54)

Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi dismetria. Sebelum melakukan pemeriksaan ini perlu dipastikan terlebih dahulu bahwa pasien tidak mengalami kelemahan pada ekstremitas dan kooperatif.

Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan posisi pasien duduk, berdiri atau berbaring. Pemeriksa memposisikan jari telunjuknya di depan pasien.

Mintalah pasien untuk mengangkat jari telunjuk mereka lalu menyentuh hidung mereka, dan kemudian menyentuh jari pemeriksa yang terulur dengan jari yang sama. Mintalah pasien untuk melakukan gerakan bolak-balik antara menyentuh hidung dan jari pemeriksa. Gerakan dapat diulang beberapa kali. Pemeriksa dapat mengubah letak jari telunjuknya pada berbagai kuadran secara perlahan atau cepat. Jarak jari telunjuk pemeriksa dengan pasien juga dapat diubah- ubah dari dekat ke semakin jauh.

Yang diperhatikan dalam pemeriksaan ini adalah kehalusan gerakan, akurasi dan tremor yang terlihat. Dikatakan dismetri apabila jari terhenti sebelum mencapai target kemudian bergerak lagi berusaha mencapai target dengan gerakan perlahan yang tidak stabil (hipometri) atau jari berhenti melampaui target dengan kecepatan dan kekuatan yang berlebihan (hipermetri). Temuan ini mengindikasikan gangguan serebelum.

B. Heel to shin

Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi dismetria. Sebelum melakukan pemeriksaan ini perlu dipastikan terlebih dahulu bahwa pasien tidak mengalami kelemahan pada ekstremitas dan kooperatif. Dengan pasien berbaring supinasi, pemeriksa meminta pasien untuk meletakkan tumit di diatas lutut kontralateral dan digerakkan menyusuri tuberositas tibia menuju ke ibu

(55)

jari kaki. Gerakan dilakukan beberapa kali. Instruksikan gerakan ini dengan kaki yang lain.

Dismetria pada pemeriksaan ini apabila saat mengangkat kakinya lebih tinggi dan gerakan terlihat lebih kasar dan tidak akurat dan mengindikasikan gangguan serebelum.

C. Gerakan bergantian cepat (rapid alternating movement)

Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi disdiadokokinesis.

Disdiadochokinesis adalah istilah klinis untuk ketidakmampuan seseorang menyeimbangkan kontraksi dan relaksasi otot agonis dan antagonis dalam suatu gerakan. Sebelum melakukan pemeriksaan ini perlu dipastikan terlebih dahulu bahwa pasien tidak mengalami kelemahan pada ekstremitas dan kooperatif.

Mintalah pasien untuk menempatkan tangan mereka di paha mereka dan lakukan gerakan supinasi dan pronasi berulang dengan cepat. Yang diperhatikan dalam pemeriksaan ini adalah akurasi, kehalusan dan kecepatan gerakan.

Disdiadokokinesis positif apabila ada kesulitan melakukan gerakan atau perlambatan gerakan.

(56)

3. PEMERIKSAAN GAYA BERJALAN (GAIT)

Gait dievaluasi dengan meminta pasien berjalan melintasi ruangan mengikuti garis lurus. Adanya abnormalitas berupa tidak seimbang, goyah, tampak canggung rentang langkah kaki harus diperhatikan. Selanjutnya mintalah pasien untuk berjalan biasa, kemudian berjalan dengan ujung jari-jari kaki dan kemudian berjalan dengan tumit.

Berjalan di atas tumit adalah cara yang paling sensitif untuk menguji kelemahan dorsofleksi kaki, sementara berjalan pada jari kaki adalah cara terbaik untuk menguji plantarfleksi kaki.

(57)

CHECKLIST PEMERIKSAAN FUNGSI PROTOPATIK/EKSTEROSEPTIF (NYERI, SUHU DAN RABA HALUS)

No Aspek yang dinilai 0 1 2

1 Membangun hubungan personal dengan naracoba (salam, perkenalan)

2 Menjelaskan tujuan pemeriksaan sensoris

3 Meminta naracoba berbaring dan mencobakan alat periksa untuk mengurangi rasa takut (jarum, kapas, tabung suhu)

4 Memeriksa sensasi di 13 titik bergantian kanan – kiri 5 Menanyakan respon naracoba di setiap titik periksa dan

perbandingan kekuatan sensasi antara kanan dan kiri 6 Menjelaskan hasil pemeriksaan

Catatan untuk mahasiswa: ………

Skor total: ________ x 100% = 12

Instruktur

(………)

Observer

(………)

(58)

CHECKLIST PEMERIKSAAN PROPRIOSEPSI (POSISI DAN VIBRASI)

No Aspek yang dinilai 0 1 2

1 Membangun hubungan personal dengan naracoba (salam, perkenalan)

2 Menjelaskan tujuan pemeriksaan posisi dan vibrasi 3 Meminta naracoba berbaring mencobakan getaran

vibrasi garpu tala serta membuat kesepakatan gerakan naik dan turun

4 Memegang telapak kaki yang diperiksa dengan benar 5 Memeriksa posisi dan vibrasi di posisi kanan dan kiri 6 Menanyakan respon naracoba di setiap titik periksa 7 Mengkonfirmasi vibrasi pada diri pemeriksa ketika

naracoba sudah tidak merasakan vibrasi 8 Menjelaskan hasil pemeriksaan

Catatan untuk mahasiswa: ………

Skor total: ________ x 100% = 16

Instruktur

(………)

Observer

(………)

Referensi

Dokumen terkait

Di gambar 2.2 menjelaskan proses prediksi banjir menggunakan metode RBF, tahap yang dilakukan adalah pencarian dan pengumpulan data sensor water level, debit aliran sungai

Berangkat dari realitas tersebut KOPRI Pengurus Komisariat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia UIN SGD Cabang Kota Bandung akan mengiplementasikan gagasan tersebut

Secara keseluruhan, terdapat 496 data terdiri atas maksim kuantitas, kualitas, relasi dan cara dalam novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi terdapat penaatan dan

Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, hanya dengan limpahan rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas penyusunan proposal penelitian

Tabel 5.16 Hubungan antara Dukungan Sosial dengan Stres Pengasuhan pada Ibu dengan Anak Usia Prasekolah ..... xvii Lampiran 1 Lembar Persetujuan Responden Lampiran 2

Dengan demikian, sering kali terjadi objek yang secara lojik sama ( a.equals(b) ) dan mewakili satu baris dalam tabel basis data, tetapi objek tersebut tidak

berkemampuan untuk mereplikasi diri yaitu menghasilkan zat yang mempunyai bentuk, struktur dalam dan massa yang identik dengan zat

Pengaruh Kualitas Sumber Daya Manusia, Komitmen Organisasi, Teknologi Informasi dan Komunikasi terhadap Kesiapan Pemerintah dalam Menerapkan Standar Akuntansi