• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROGRAM STUDI STRATA 1 MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PROGRAM STUDI STRATA 1 MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN"

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH, DANA ALOKASI UMUM, DANA ALOKASI KHUSUS, DAN DANA BAGI HASIL TERHADAP

PENGALOKASIAN BELANJA MODAL KABUPATEN DAN KOTA PROVINSI SUMATERA UTARA

TAHUN 2010-2019

OLEH IRA SAFITRI

160502121

PROGRAM STUDI STRATA 1 MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2021

(2)

DEPARTEMEN MANAJEMEN

PENANGGUNG JAWAB SKRIPSI Nama : Ira Safitri

NIM : 160502121

Program Studi : S1-Manajemen Konsentrasi : Manajemen Keuangan

Judul : Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, dan Dana Bagi Hasil Terhadap Pengalokasian Belanja Modal Kabupaten dan Kota Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010-2019

Medan, Maret 2021

Ira Safitri NIM. 160502121

(3)
(4)

DEPARTEMEN MANAJEMEN

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, dan Dana Bagi Hasil Terhadap Pengalokasian Belanja Modal Kabupaten dan Kota Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010-2019” adalah benar hasil karya tulis saya sendiri yang disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara Medan.

Bagian atau data tertentu yang saya peroleh dari perusahaan atau lembaga, dan/atau saya kutip dari hasil karya orang lain telah mendapat izin, dan/atau dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila kemudian hari pernyataan ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Maret 2021

Ira Safitri NIM. 160502121

(5)

i ABSTRAK

PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH, DANA ALOKASI UMUM, DANA ALOKASI KHUSUS, DAN DANA BAGI HASIL TERHADAP

PENGALOKASIAN BELANJA MODAL KABUPATEN DAN KOTA PROVINSI SUMATERA UTARA

TAHUN 2010-2019

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH) terhadap pengalokasian Belanja Modal. Penelitian ini adalah penelitian desain asosiatif kausal dan jenis data yang digunakan adalah data kuantitatif. Data yang digunakan diperoleh dari Laporan Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang telah diterbitkan disitus resminya serta dari dokumen Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) yang diajukan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Provinsi Sumatera Utara. Populasi dari penelitian ini adalah seluruh kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara yang terdiri dari 25 Pemerintahan Kabupaten dan 8 Pemerintahan Kota pada periode 2010 hingga 2019.

Sampel penelitian ini ditentukan dengan menggunakan sampel jenuh (saturated sampling). Teknik yang digunakan adalah statistik deskriptif dan analisis regresi linear berganda data panel. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara simultan PAD, DAU, DAK, dan DBH berpengaruh signifikan terhadap pengalokasian Belanja Modal pada Kabupaten dan Kota Provinsi Sumatera Utara. Secara parsial, PAD, DAU, DAK, dan DBH masing-masing berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengalokasian belanja modal pada Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara periode 2010 hingga 2019.

Kata kunci: Belanja Modal, Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Dana Bagi Hasil.

(6)

ii ABSTRACT

THE EFFECT OF ORIGINAL REGIONAL INCOME, GENERAL ALLOCATION FUNDS, SPECIFIC ALLOCATION FUNDS, AND RESULTS TO ALLIZATION OF CAPITAL EXPENDITURE OF

DISTRICT AND NORTH SUMATERA PROVINCE 2010-2019

This study aims to determine the effect of Regional Original Income (PAD), General Allocation Fund (DAU), Special Allocation Fund (DAK), and Profit Sharing Fund (DBH) on the allocation of Capital Expenditures. This research is a causal associative design research and the type of data used is quantitative data.

The data used were obtained from the Regional Revenue and Expenditure Budget Realization Report published on the official website as well as from the Regional Government Financial Report (LKPD) document submitted to the Supreme Audit Agency (BPK) of North Sumatra Province. The population of this study were all districts/cities in North Sumatra Province consisting of 25 District Governments and 8 City Governments in the period 2010 to 2019. The sample of this study was determined using saturated sampling. The technique used is descriptive statistics and multiple linear regression analysis of panel data. The results of this study indicate that simultaneously PAD, DAU, DAK, and DBH have a significant effect on the allocation of capital expenditures in the districts and cities of North Sumatra Province. Partially, PAD, DAU, DAK, and DBH each have a positive and significant effect on the allocation of capital expenditures in the Regency/City of North Sumatra Province for the period 2010 to 2019.

Keywords: Capital expenditure, regional original income, general allocation funds, special allocation funds, revenue-sharing funds.

(7)

iii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Segala puji dan syukur kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala limpahan berkah, rahmat dan hidayah-Nya kepada peneliti sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH) Terhadap Pengalokasian Belanja Modal Kabupaten dan Kota Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010-2019”, guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi dari Program S1 Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, peneliti mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada kedua orang tua, yakni teruntuk Ayahanda EFIT dan Ibunda YUSLIANI yang telah memberikan dukungan, doa serta kasih saying yang tak henti-hentinya kepada peneliti. Peneliti juga mengucapkan terima kasih sebesar- besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Fadli, SE, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. Amlys Syahputra Silalahi, SE, M.Si, dan Bapak Doli Muhammad Ja’far Dalimunthe, SE, M.Si, selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi S1 Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Beby Kendida Hasibuan, SE, M.Si, selaku Dosen Pembimbing yang telah membantu dan memberikan bimbingan, arahan dan saran dalam penulisan skripsi ini.

4. Bapak Dr. Amlys Syahputra Silalahi, SE, M.Si, selaku Dosen Penguji I dan

(8)

iv

Bapak Dr. Syahyunan, M.Si, selaku Dosen Penguji II yang telah membantu dan memberikan saran untuk kesempurnaan skripsi ini.

5. Seluruh Bapak/Ibu Dosen dan Staff Program Studi S1 Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara untuk segala ilmu, bimbingan dan jasanya kepada peneliti selama masa perkuliahan ini (terkhusus kepada kakanda Afriani Sarah, Clarisa Felicia, Aena Putri Anggita, dan Silvi Amelia KN).

6. Saudara/Saudari kakak kandung dan abang ipar peneliti yang setia mendoakan dan memberi semangat dalam penyusunan skripsi ini.

7. Teman-teman seperjuangan konsentrasi keuangan, terkhusus kepada Nurul Fathiya Rhiza dan Hafizha Aini serta teman seperjuangan lainnya yang banyak memberikan motivasi selama proses penyusunan skripsi ini yaitu Riska, Lina, Liza, Tanty, Dewi, kak Shofi, kak Nisa. Serta Aktivis tangguh Golden Generation, Keluarga BP2M FEB USU dan Keluarga UKM KSEI FoSEI USU.

Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala dapat memberikan balasan atas kebaikan-kebaikan yang telah diberikan kepada peneliti. Peneliti juga berharap skrispi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, pengamat, serta sebagai bahan masukan bagi para peneliti lainnya.

Medan, Maret 2021 Peneliti,

Ira Safitri 160502121

(9)

v DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTACK ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 15

1.3 Tujuan Penelitian ... 16

1.4 Manfaat Penelitian ... 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 18

2.1 Landasan Teori ... 18

2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory) ... 18

2.1.2 Manajemen Keuangan Daerah ... 21

2.1.3 Belanja Modal ... 22

2.1.4 Pendapatan Asli Daerah (PAD) ... 25

2.1.5 Dana Alokasi Umum (DAU) ... 30

2.1.6 Dana Alokasi Khusus (DAK) ... 33

2.1.7 Dana Bagi Hasil (DBH) ... 36

2.2 Penelitian Terdahulu ... 40

2.3 Kerangka Konseptual ... 44

2.3.1 Pengaruh Pendapatan Asli Daerah Terhadap Pengalokasian Belanja Modal ... 44

2.3.2 Pengaruh Dana Alokasi Umum Terhadap Pengalokasian Belanja Modal ... 46

2.3.3 Pengaruh Dana Alokasi Khusus Terhadap Pengalokasian Belanja Modal ... 47

2.3.4 Pengaruh Dana Bagi Hasil Terhadap Pengalokasian Belanja Modal ... 48

2.4 Hipotesis Penelitian ... 49

BAB III METODE PENELITIAN ... 51

3.1 Jenis Penelitian ... 51

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 51

3.3 Batasan Operasional ... 52

3.4 Definisi Operasional Variabel ... 52

3.4.1 Variabel Terikat (Dependent Variable) ... 54

3.4.2 Variabel Bebas (Independent Variable) ... 54

3.5 Populasi dan Sampel Penelitian ... 58

3.5.1 Populasi ... 58

(10)

vi

3.5.2 Sampel ... 58

3.6 Jenis dan Sumber Data ... 60

3.7 Metode Pengumpulan Data ... 60

3.8 Teknik Analisis Data ... 61

3.8.1 Metode Analisis Deskriptif ... 61

3.8.2 Analisis Regresi Linear Berganda Data Panel ... 61

3.8.3 Uji Asumsi Klasik ... 64

3.9 Uji Koefisien Determinasi (R2) ... 68

3.10 Uji Hipotesis ... 68

3.10.1 Uji Signifikansi Simultan (Uji-F) ... 68

3.10.2 Uji Signifikasi Parsial (Uji-t) ... 69

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 71

4.1 Gambaran Umum Objek Penelitian ... 71

4.2 Analisis Statistik Deskriptif ... 73

4.3 Model Analisis Regresi Data Panel ... 75

4.4 Pemilihan Model Analisis Regresi Data Panel ... 79

4.5 Uji Asumsi Klasik ... 80

4.6 Model Regresi Data Panel FEM EGLS ... 81

4.7 Uji Koefisien Determinasi (R2) ... 83

4.8 Pengujian Hipotesis ... 84

4.8.1 Uji Signifikansi Simultan (Uji-F) ... 84

4.8.2 Uji Signifikansi Parsial (Uji-t) ... 85

4.9 Pembahasan Hasil Penelitian ... 86

4.9.1 Pengaruh Pendapatan Asli Daerah Terhadap Pengalokasian Belanja Modal ... 86

4.9.2 Pengaruh Dana Alokasi Umum Terhadap Pengalokasian Belanja Modal ... 87

4.9.3 Pengaruh Dana Alokasi Khusus Terhadap Pengalokasian Belanja Modal ... 88

4.9.4 Pengaruh Dana Bagi Hasil Terhadap Pengalokasian Belanja Modal ... 89

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 91

5.1 Kesimpulan ... 91

5.2 Saran ... 92

DAFTAR PUSTAKA ... 94

DAFTAR LAMPIRAN ... 100

(11)

vii

DAFTAR TABEL

No. Tabel Judul Halaman

2.1 Penelitian Terdahulu ... 41

3.1 Operasionalisasi Variabel Penelitian ... 52

3.2 Daftar Nama Wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara yang Menjadi Sampel Penelitian ... 59

4.1 Statistik Deskriptif Variabel Penelitian ... 74

4.2 Common Effect Model ... 76

4.3 Fixed Effect Model ... 77

4.4 Random Effect Model ... 78

4.5 Hasil Uji Chow ... 79

4.6 Hasil Uji Hausman ... 80

4.7 Model Regresi Data Panel FEM EGLS ... 81

4.8 Hasil Uji Determinasi (R2), Uji F, dan Uji t ... 83

(12)

viii

DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Judul Halaman

1.1 Realisasi Belanja Modal dan Total Belanja Daerah Pemerintah Daerah Se-Provinsi Sumatera Utara Tahun

2015-2019 ... 5 1.2 Rata-rata Realisasi Belanja Modal Pemerintah Daerah

di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2015-2019 ... 6 1.3 Total Penerimaan APBD dan Total Belanja Modal Pada

Pemerintah Kabupaten dan Kota di Sumatera Utara Tahun

2015-2019 ... 7 1.4 Pendapatan Asli Daerah pada Pemerintah Daerah Se-Provinsi

Sumatera Utara Tahun 2010-2019 ... 9 1.5 Dana Aloaksi Umum pada Pemerintah Daerah Se-Provinsi

Sumatera Utara Tahun 2010-2019 ... 11 1.6 Dana Alokasi Khusus pada Pemerintah Daerah Se-Provinsi

Sumatera Utara Tahun 2010-2019 ... 12 1.7 Dana Bagi Hasil pada Pemerintah Daerah Se-Provinsi

Sumatera Utara Tahun 2010-2019 ... 13 2.1 Kerangka Konseptual ... 49 4.1 Hasil Uji Normalitas Jarque-Bera ... 81

(13)

ix

DAFTAR LAMPIRAN

No. Lampiran Judul Halaman

1. Daftar Nama Wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera

Utara yang Menjadi Sampel Penelitian ... 100

2. Data Realisasi Belanja Modal, Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, dan Dana Bagi Hasil .... 101

3. Hasil Statistik Deskriptif Variabel Penelitian ... 116

4. Common Effect Model ... 117

5. Fixed Effect Model ... 117

6. Random Effect Model ... 118

7. Hasil Uji Chow ... 118

8. Hasil Uji Hausman ... 119

9. Model Regresi Data Panel FEM EGLS ... 119

10. Uji Normalitas Jarque-Bera... 120

11. Uji Koefisien Determinasi, Uji Signifikansi Simultan, Uji Signifikansi Parsial ... 120

(14)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada masa reformasi tahun 1998, secara internal bangsa Indonesia tengah dilanda krisis multidimensi, ancaman disintegrasi bangsa, dan kepanikan publik yang diakibatkan oleh lemahnya keamanan dan ketertiban umum, serta ketidakpastian hukum. Sejak itu, maka Pemerintah Indonesia telah melewati serangkaian proses reformasi sektor publik, khususnya reformasi manajemen keuangan daerah. Sejarah reformasi manajemen keuangan daerah ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang dimulai 1 Januari 2001 (Nugraha, 2019). Terbitnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 (revisi UU Nomor 9 Tahun 2015) tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 (revisi UU Nomor 33 Tahun 2004) tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan titik awal berjalannya otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Adanya desentralisasi memberikan kewenangan yang lebih luas bagi Pemerintah Daerah baik dari sisi perencanaan maupun pelaksanaan atas aktivitas Pemerintahannya, yang diharapkan akan berpengaruh pada meningkatnya kualitas dari pelayanan yang diberikan.

Memasuki era otonomi daerah dan desentralisasi fiskal tersebut, memberikan dampak yang sangat besar terhadap sistem manajemen keuangan daerah di Indonesia. Menurut Mardiasmo (2018) otonomi daerah dan desentralisasi fiskal tersebut telah memberikan konsekuensi pada pola pembagian dan hubungan kewenangan serta hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah

(15)

daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Terjadinya pelimpahan kewenangan dalam menjalankan urusan pemerintahan yaitu dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam rangka mendekatkan pelayanan kepada masyarakat guna mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pelimpahan kewenangan tersebut diikuti dengan penyerahan sumber-sumber pendanaan berupa penyerahan basis perpajakan maupun bantuan pendanaan melalui mekanisme transfer ke daerah. Mekanisme transfer ke daerah didasarkan kepada pertimbangan untuk mengurangi ketimpangan yang mungkin terjadi baik antardaerah (horizontal imbalances) maupun antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (vertical imbalances). Dengan demikian, setiap pemerintahan yang mendapatkan kewenangan tersebut diharapkan mampu mengelola dan memahami bagaimana melakukan manajemen pendapatan dan manajemen belanja daerah yang baik.

Salah satu strategi untuk mencapai keberhasilan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal adalah perlunya dilakukan reformasi manajemen keuangan pemerintah daerah (Local Government Financial Management), yang meliputi manajemen penerimaan daerah dan manajemen pengeluaran daerah. Salah satu penekanan dalam reformasi manajemen keuangan pemerintah daerah khususnya manajemen pengeluaran daerah adalah menerapkan prinsip value for money. Value for money dalam organisasi sektor publik diperlukan untuk memastikan bahwa seluruh sumber daya (public money) digunakan dengan sebaik-baiknya untuk memaksimalkan kualitas pelayanan publik dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Mewujudkan value for money dalam manajemen pengeluaran daerah memang bukan hal yang mudah, namun setiap manajer daerah harus terus berusaha

(16)

mewujudkan percepatan pembangunan daerah. Beberapa manfaat value for money bagi pemerintah daerah yaitu meningkatkan efektivitas dan mutu pelayanan publik, dalam arti pelayanan yang diberikan tepat sasaran, dan alokasi belanja yang lebih berorientasi pada kepentingan publik. Dengan demikian, salah satu indikator keberhasilan daerah dalam mengelola keuangannya apabila realisasi belanja daerahnya itu mengarah pada alokasi belanja untuk kepentingan masyarakat atau pelayanan publik. Alokasi belanja yang dimaksud yaitu alokasi belanja modal, seperti yang dinyatakan oleh Jemparut & Riduwan (2017) bahwa alokasi belanja tersebut lebih berkaitan pada penyediaan fasilitas atau barang yang bersifat publik, seperti penyediaan jalan raya, perbaikan jaringan irigasi, keamanan dan pertahanan, dan lain sebagainya. Maka upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, Pemerintah Daerah wajib mengalokasikan dana dalam bentuk anggaran belanja modal pada APBD untuk menambah asset tetap. Alokasi belanja modal ini didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintah maupun untuk fasilitas publik.

Pada Anggaran Pemerintah Daerah, porsi alokasi belanja modal dalam APBD merupakan komponen belanja yang sangat penting karena realisasi atas belanja modal yang dilaksanakan pemerintah daerah akan memiliki multiplier effect untuk menggerakkan roda perekonomian daerah. Hal ini didukung oleh pendapat Sabir (2015) yang menyatakan bahwa pengalokasian belanja modal selain berkontribusi pada meningkatnya pertumbuhan ekonomi juga berdampak pada meningkatnya penyerapan tenaga kerja, dengan berkurangnya jumlah pengangguran maka akan berpengaruh pada menurunnya angka kemiskinan yang

(17)

terjadi. Maryaningsih, dkk (2014) juga menyatakan bahwa tersedianya infrastruktur dasar seperti jalan raya dan jaringan listrik merupakan salah satu faktor pendukung atas terjadinya pertumbuhan ekonomi yang stabil. Oleh sebab itu, semakin tinggi porsi alokasi belanja modal dalam strukur APBD, diharapkan akan semakin baik pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, semakin rendah angkanya, semakin berkurang pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi.

Adanya dampak positif yang diberikan atas tersedianya infrastruktur publik membuat belanja modal menjadi perhatian utama dalam permasalahan Belanja Daerah. Hal ini terlihat pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yang menetapkan sasaran pengembangan tata kelola pemerintahan daerah dalam meningkatkan kemampuan fiskal dan kinerja keuangan daerah, dengan sasaran rata-rata belanja modal kabupaten/kota dari 19,87 persen (2014) menjadi 30 persen (2019) dan rata-rata belanja modal provinsi dari 16,22 persen (2014) menjadi 30 persen (2019). Sasaran persentase dari belanja modal terhadap total belanja daerah tersebut sebagai indikator capaian atas kualitas belanja daerah. Sehingga kualitas belanja suatu daerah dikatakan semakin baik ketika persentase belanja modalnya dapat mencapai sasaran tersebut, sebaliknya daerah yang tidak mampu mencapainya maka dikatakan kualitas belanja modalnya buruk.

Kondisi pemerintahan kabupaten/kota di provinsi Sumatera Utara sepertinya belum maksimal dalam mencapai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang telah ditetapkan. Pada Gambar 1.1 di bawah menunjukkan jumlah dari belanja modal yang direalisasikan oleh Pemerintah Daerah di Provinsi Sumatera Utara selama tahun 2015 hingga 2019.

(18)

Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (Data diolah peneliti, 2020)

Gambar 1.1

Realisasi Belanja Modal dan Total Belanja Daerah Pemerintah Daerah Se-Provinsi Sumatera Utara Tahun 2015-2019

Dari informasi tersebut dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah di Provinsi Sumatera Utara belum berhasil dalam mencapai sasaran persentase belanja modal yang telah ditetapkan pada RPJMN. Tidak tercapainya persentase tersebut menyimpulkan bahwa sebagian besar Pemerintah Daerah di Provinsi Sumatera Utara memiliki tingkat realisasi belanja modal yang cenderung rendah. Kondisi ini dijelaskan lebih lanjut pada Gambar 1.2 di bawah ini yang menunjukkan rata-rata realisasi belanja modal Pemerintah Daerah di Provinsi Sumatera Utara pada periode 2015 hingga 2019. Pada Gambar 1.2 ini juga menunjukkan rata-rata per tahun dari realisasi belanja modal setiap pemerintah daerah kabupaten/kota di Sumatera Utara dalam periode 2015 hingga 2019. Berdasarkan Gambar 1.2 dibawah, apabila diambil rata-rata keseluruhan maka setiap tahunnya belanja modal yang terealisasi berada pada kisaran Rp. 255 Miliar, dengan jumlah tertinggi direalisasikan oleh

2015 2016 2017 2018 2019

BELANJA MODAL Rp8.751.097.042.502 Rp9.788.058.000.000 Rp10.887.110.458.913 Rp9.685.225.703.373 Rp9.604.460.141.357 BELANJA DAERAH Rp43.420.136.434.296 Rp49.817.055.890.725 Rp54.296.775.516.032 Rp54.184.460.017.581 Rp57.910.329.690.511

PERSENTASE 20,15% 19,64% 20,05% 17,87% 16,58%

0,00%

5,00%

10,00%

15,00%

20,00%

25,00%

Rp0 Rp10.000.000.000.000 Rp20.000.000.000.000 Rp30.000.000.000.000 Rp40.000.000.000.000 Rp50.000.000.000.000 Rp60.000.000.000.000 Rp70.000.000.000.000

Realisasi Belanja Modal Pemerintah Daerah Se-Provinsi Sumatera Utara Tahun 2015-2018

BELANJA MODAL BELANJA DAERAH PERSENTASE

(19)

pemerintahan daerah Kota Medan dengan rata-rata sebesar Rp. 920 Miliar, dan jumlah terendah direalisasikan oleh pemerintahan daerah Kota Tanjung Balai dengan rata-rata belanja modalnya hanya sebesar Rp. 116 Miliar.

Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (Data diolah peneliti, 2020)

Gambar 1.2

Rata-Rata Realisasi Belanja Modal Pemerintah Daerah di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2015-2019

Dari informasi tersebut juga dapat disimpulkan bahwa terdapat 8 dari 33 Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara yang memiliki realisasi belanja modal di atas rata-rata, sedangkan sisanya sebanyak 25 Kabupaten/Kota memiliki realisasi belanja modal yang berada di bawah rata-rata. Hal ini memperlihatkan bahwa sebagian besar pemerintah daerah di Provinsi Sumatera Utara masih memiliki kemampuan realisasi belanja modal yang tergolong lemah. Harapannya ke depan realisasi belanja modal perlu seanantiasa dicermati agar lebih optimal, karena belanja modal yang efektif dapat memberikan multiplier effect bagi pertumbuhan

143 222

132 116

181 225 254 232 469

229 212 194 191 231 223 231 145

198 278 295

334

200 202 168

279 215 223

634

198 257

175 227

920

- 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1.000

Kota Padang Sidempuan Kota Pematang Siantar Kota Sibolga Kota Tanjung Balai Kota Tebing Tinggi Kab. Labuhanbatu Kab. Labuhanbatu Selatan Kab. Labuhanbatu Utara Kab. Langkat Kab. Mandailing Natal Kab. Nias Kab. Nias Barat Kab. Nias Selatan Kab. Nias Utara Kab. Padang Lawas Kab. Padang Lawas Utara Kab. Pakpak Bharat Kab. Samosir Kab. Serdang Bedagai Kab. Simalungun Kab. Tapanuli Selatan Kab. Tapanuli Tengah Kab. Tapanuli Utara Kab. Toba Samosir Asahan batu Bara Dairi Deli Serdang Humbang Hasundutan Karo Kota Binjai Kota gunung Sitoli Kota Medan

Miliar Rupiah

Belanja Modal

(20)

ekonomi Sumatera Utara yang lebih tinggi.

Berdasarkan fenomena di atas, dapat disimpulkan bahwa masing-masing Pemerintah Daerah di Provinsi Sumatera Utara memiliki nominal yang beragam dalam tingkat realisasi belanja modalnya. Adanya variasi tersebut mungkin saja dipengaruhi oleh karakteristik pendapatan yang dimiliki oleh masing-masing Pemerintah Daerah, mengingat fungsi dari pendapatan daerah sebagai input atau sumber pendanaan dalam pelaksanaan anggaran belanja. Dapat diasumsikan jika Dearah yang tingkat pendapatannya tinggi maka kemampuan dalam merealisasikan belanjanya akan semakin kuat, sebaliknya pada Daerah yang pendapatannya tergolong rendah maka akan berdampak pada melemahnya kemampuan dalam merealisasikan anggarannya (Yusuf, 2017).

Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (Data diolah peneliti, 2020)

Gambar 1.3

Total Penerimaan APBD dan Total Belanja Modal Pada Pemerintah Kabupaten dan Kota di Sumatera Utara Tahun 2015- 2019

Pada Gambar 1.3 terlihat bahwa alokasi belanja modal pemerintah Kabupaten/Kota di provinsi Sumatera Utara dari total penerimaan APBD untuk tahun 2015 sebesar 19,78 persen, untuk tahun 2016 sebesar 19,29 persen, untuk

2015 2016 2017 2018 2019

PENERIMAAN APBD Rp44.221.673.058.284 Rp50.740.816.945.832 Rp53.386.782.584.752 Rp53.953.198.022.308 Rp58.339.207.736.796 BELANJA MODAL Rp8.751.097.042.502 Rp9.788.058.000.000 Rp10.887.110.458.913 Rp9.685.225.703.373 Rp9.604.460.141.357

PERSENTASE 19,78% 19,29% 20,39% 17,95% 16,46%

0,00%

5,00%

10,00%

15,00%

20,00%

25,00%

Rp0 Rp10.000.000.000.000 Rp20.000.000.000.000 Rp30.000.000.000.000 Rp40.000.000.000.000 Rp50.000.000.000.000 Rp60.000.000.000.000 Rp70.000.000.000.000

Penerimaan APBD Terhadap Belanja Modal

PENERIMAAN APBD BELANJA MODAL PERSENTASE

(21)

tahun 2017 sebesar 20,39 persen, untuk tahun 2018 sebesar 17,95 persen, dan untuk tahun 2019 sebesar 16,46 persen. Kondisi ini menggambarkan bagaimana pemerintah kabupaten dan kota di Sumatera Utara tidak memprioritaskan alokasi belanja daerah untuk belanja modal, padahal belanja modal ini yang langsung dirasakan masyarakat melalui pembangunan baik infrastruktur dan pelayanan publik bahkan realisasi belanja modal juga akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di suatu daerah.

Pengalokasian belanja modal pada pemerintah daerah dapat bersumber dari berbagai pendapatan dan pembiayaan (Sugiyanta, 2016). Salah satu sumber dana pengalokasian belanja modal dalam APBD adalah pendapatan asli daerah (PAD).

PAD merupakan salah satu indikator pengukuran keberhasilan otonomi daerah yang terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, pengelolaan kekayaan daerah yang di pisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Semakin tingginya PAD suatu daerah diharapkan mampu meningkatkan investasi belanja modal pemerintah daerah sehingga kualitas pelayanan publik yang diberikan semakin baik (Kartikasari & Rohman, 2019). Dengan demikian, PAD juga dapat diartikan sebagai tulang punggung yang digunakan untuk membiayai belanja daerah (Mahargono, 2017).

Berdasarkan Gambar 1.4 di bawah dapat dilihat secara nominal kondisi pendapatan asli daerah yang di mana realisasi PAD yang diterima oleh semua pemerintah daerah Provinsi Sumatera Utara setiap tahunnya mengalami perubahan yang berfluktuasi. Jika dilihat dari jumlah nilai anggaran PAD yang telah ditargetkan dengan jumlah nilai PAD yang telah direalisasikan pada tahun 2010

(22)

hingga 2019 ada yang belum mencapai targetnya. Hanya pada tahun 2010, 2011, dan 2017 saja yang jumlahnya melebihi dari anggaran yang telah ditetapkan.

Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (Data diolah peneliti, 2020)

Gambar 1.4

Pendapatan Asli Daerah pada Pemerintah Daerah Se-Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010-2019

Kondisi ini dapat disimpulkan bahwa pemerintah daerah belum mampu memenuhi target PAD yang sudah dianggarkan atau diproyeksikan, dan ini berarti potensi PAD pada beberapa pemerintah daerah kabupaten/kota provinsi Sumatera Utara belum dimaksimalkan dengan secara baik.

Selain PAD yang menjadi sumber dana dalam pengalokasian belanja modal antara lain berasal dari dana perimbangan yang diterima oleh daerah-daerah dari Pemerintah Pusat. Dana Perimbangan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi Belanja Modal dari segi faktor keuangan (financial factors) yaitu pendapatan (revenue) yang berasal dari dana transfer pemerintah pusat. Dana Perimbangan merupakan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentraslisasi (UU No. 33 Tahun 2004). Dana

Rp- Rp2.000.000.000.000 Rp4.000.000.000.000 Rp6.000.000.000.000 Rp8.000.000.000.000 Rp10.000.000.000.000 Rp12.000.000.000.000 Rp14.000.000.000.000 Rp16.000.000.000.000

2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 Pendapatan Asli Daerah

Anggaran Realisasi

(23)

Perimbangan diberikan untuk mengatasi kesenjangan pendanaan yang terjadi antar daerah. Dana transfer yang berupa Dana Perimbangan digunakan untuk membiayai pengeluaran daerah yang salah satunya adalah Belanja Modal. Dana perimbangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah menjadi peran yang sangat penting untuk menjaga tercapainya standar pelayanan masyarakat di setiap daerah yaitu dengan cara meningkatkan pengeluaran pemerintah daerah yang bersifat produktif.

Dana perimbangan terdiri dari Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, dan Dana Bagi Hasil (Rahayu, 2019).

Menurut Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan salah satu transfer dana pemerintah kepada pemerintah daerah yang bersumber dari pendapatan APBN, yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DAU bersifat block grant yang berarti penggunaannya diserahkan kepada daerah sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerah untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Semakin besar DAU di suatu daerah maka akan semakin besar pula alokasi belanja modalnya. Karena DAU akan mendorong pengeluaran daerah yang besar juga dalam membiayai kegiatan pemerintah daerah (Mahargono, 2017).

Berdasarkan Gambar 1.5 di bawah dapat dilihat secara nominal kondisi dana alokasi umum yang di mana realisasi DAU yang diterima oleh semua pemerintah daerah Provinsi Sumatera Utara setiap tahunnya mengalami perubahan yang berfluktuasi. Jika dilihat dari jumlah nilai anggaran DAU yang telah ditargetkan dengan jumlah nilai DAU yang telah direalisasikan pada tahun 2010 hingga 2019

(24)

ada yang belum mencapai targetnya. Namun terlihat kebanyakan hampir seimbang hasil realisasinya dengan yang telah dianggarkan. Kondisi ini dapat disimpulkan bahwa pemerintah daerah masih sangat membutuhkan dana alokasi umum yang diberikan oleh pemerintah pusat.

Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (Data diolah peneliti, 2020)

Gambar 1.5

Dana Alokasi Umum pada Pemerintah Daerah Se-Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010-2019

Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Besaran DAK ditetapkan setiap tahun dalam APBN. Jika Dana Alokasi Khusus naik maka Belanja Modal juga naik dan sebaliknya. Transfer Dana Alokasi Khusus dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah menyebabkan pengalokasian anggaran Belanja Modal meninggi, serta dapat membantu pos pendapatan daerah dalam pengalokasian belanja daerahnya (Hasudungan Pohan, 2018). Berikut gambaran DAK yang terjadi di Provinsi

Rp- Rp5.000.000.000.000 Rp10.000.000.000.000 Rp15.000.000.000.000 Rp20.000.000.000.000 Rp25.000.000.000.000 Rp30.000.000.000.000

2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 Dana Alokasi Umum

Anggaran Realisasi

(25)

Sumatera Utara:

Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (Data diolah peneliti, 2020)

Gambar 1.6

Dana Alokasi Khusus pada Pemerintah Daerah Se-Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010-2019

Berdasarkan Gambar 1.6 di atas dapat dilihat secara nominal kondisi dana alokasi khusus yang di mana realisasi DAK yang diterima oleh semua pemerintah daerah Provinsi Sumatera Utara setiap tahunnya mengalami perubahan yang berfluktuasi. Jika dilihat dari jumlah nilai anggaran DAU yang telah ditargetkan dengan jumlah nilai DAU yang telah direalisasikan pada tahun 2010 hingga 2019 ada yang belum mencapai targetnya. Namun terlihat dari tahun 2015 menuju tahun 2016 perbandingan jumlahnya sangat jauh meningkat. Kondisi ini dapat disimpulkan bahwa pemerintah daerah juga masih sangat membutuhkan dana alokasi khusus yang diberikan oleh pemerintah pusat.

Dana Bagi Hasil merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Secara teoritis dengan melihat tujuan Dana Bagi Hasil, pemerintah daerah akan mampu

Rp- Rp2.000.000.000.000 Rp4.000.000.000.000 Rp6.000.000.000.000 Rp8.000.000.000.000 Rp10.000.000.000.000 Rp12.000.000.000.000

2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 Dana Alokasi Khusus

Anggaran Realisasi

(26)

menetapkan pengalokasian Belanja Modal yang semakin besar jika anggaran Dana Bagi Hasil semakin besar dan begitupun sebaliknya. Semakin besar Dana Bagi Hasil menjadikan pemerintah daerah mengalokasikan lebih banyak untuk Belanja Modal sehingga berdampak pada kesejahteraan masyarakat (Hasudungan Pohan, 2018). Berikut gambaran DAK yang terjadi di Provinsi Sumatera Utara:

Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (Data diolah peneliti, 2020)

Gambar 1.7

Dana Bagi Hasil pada Pemerintah Daerah Se-Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010-2019

Berdasarkan Gambar 1.7 di atas dapat dilihat secara nominal kondisi dana bagi hasil yang di mana realisasi DBH yang diterima oleh semua pemerintah daerah Provinsi Sumatera Utara setiap tahunnya mengalami perubahan yang berfluktuasi.

Jika dilihat dari jumlah nilai anggaran DAU yang telah ditargetkan dengan jumlah nilai DAU yang telah direalisasikan pada tahun 2010 hingga 2019 ada yang belum mencapai targetnya. Seperti yang terjadi pada tahun 2015 dan 2019, nilai realisasinya sangat jauh dengan nilai yang telah dianggarkan. Kondisi ini dapat disimpulkan bahwa pemerintah daerah juga masih sangat membutuhkan dana suntikan transfer yang diberikan oleh pemerintah pusat.

Rp- Rp500.000.000.000 Rp1.000.000.000.000 Rp1.500.000.000.000 Rp2.000.000.000.000 Rp2.500.000.000.000

2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 Dana Bagi Hasil

Anggaran Realisasi

(27)

Banyak penelitian yang dilakukan sebelumnya terkait dengan pengaruh dana perimbangan terhadap pengalokasian Belanja Modal dan masih terdapat riset gap pada penelitian terdahulu. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Mahargono (2017) dan Susanti & Fahlevi (2016) memperlihatkan bahwa Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh terhadap Belanja Modal. Sedangkan dalam penelitian Syukri, Muhammad; Hinaya, (2019) dan Andrian (2017) menunjukkan bahwa Dana Alokasi Umum (DAU) tidak berpengaruh terhadap Belanja Modal. Kemudian pada penelitian Wandira (2013), Hasudungan Pohan (2018) menunjukkan bahwa Dana Alokasi Khusus (DAK) berpengaruh terhadap Belanja Modal. Sedangkan dalam penelitian Mahargono (2017), Husniyah (2019) menunjukkan bahwa Dana Alokasi Khusus (DAK) tidak berpengaruh terhadap Belanja Modal. Kemudian pada penelitian Susanti et al (2016), Wandira (2013) menunjukkan bahwa Dana Bagi Hasil (DBH) berpengaruh terhadap Belanja Modal. Sedangkan dalam penelitian Husniyah (2019), Hasudungan Pohan (2018) menunjukkan bahwa Dana Bagi Hasil (DBH) tidak berpengaruh terhadap Belanja Modal.

Pemerintah Provinsi Sumatera Utara juga masih bermasalah terkait dengan realisasi pembayaran utang Dana Bagi Hasil yang belum kunjung selesai kepada Pemerintah Kota Medan. Hal ini mengakibatkan proyek pembangunan yang sudah diproyeksikan dalam APBD tahun 2018 menjadi terganggu. Menurut anggota DPRD Medan Sitepu dalam analisadaily.com, Agustus (2018) menyatakan jika pembayaran DBH tidak segera direalisasikan oleh Pemprovsu maka pembangunan Kota Medan tidak akan berjalan, sebab DBH sudah dialokasikan dalam APBD yang peruntukannya untuk pembangunan.

(28)

Berdasarkan penjelasan latar belakang diatas banyak fenomena dan masalah yang terjadi berkaitan dengan pengalokasian belanja modal dan dikarenakan adanya riset gap pada penelitian terdahulu maka peneliti merasa perlu untuk meneliti kembali pada periode dan juga lokasi yang berbeda yaitu dengan judul “Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, dan Dana Bagi Hasil terhadap Pengalokasian Belanja Modal di Kabupaten dan Kota Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010-2019”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh positif dan signifikan terhadap Pengalokasian Belanja Modal pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara Periode 2010-2019?

2. Apakah Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh positif dan signifikan terhadap Pengalokasian Belanja Modal pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara Periode 2010-2019?

3. Apakah Dana Alokasi Khusus (DAK) berpengaruh positif dan signifikan terhadap Pengalokasian Belanja Modal pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara Periode 2010-2019?

4. Apakah Dana Bagi Hasil (DBH) berpengaruh positif dan signifikan terhadap Pengalokasian Belanja Modal pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara Periode 2010-2019?

5. Apakah Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus,

(29)

Dana Bagi Hasil secara simultan berpengaruh terhadap Pengalokasian Belanja Modal pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara Periode 2010-2019?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Pengalokasian Belanja Modal pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara Periode 2010-2019.

2. Untuk mengetahui pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap Pengalokasian Belanja Modal pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara Periode 2010-2019.

3. Untuk mengetahui pengaruh Dana Alokasi Khusus (DAK) terhadap Pengalokasian Belanja Modal pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara Periode 2010-2019.

4. Untuk mengetahui pengaruh Dana Bagi Hasil (DBH) terhadap Pengalokasian Belanja Modal pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara Periode 2010-2019.

5. Untuk mengetahui pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Dana Bagi Hasil secara bersama-sama terhadap Pengalokasian Belanja Modal pada Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara Periode 2010-2019.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun hasil dari penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

(30)

1. Bagi Peneliti

Penelitian ini diharapkan untuk menambah pengetahuan serta wawasan peneliti dalam menganalisis keuangan daerah.

2. Bagi Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi Pemerintah Daerah dalam melakukan penyusunan anggaran dan belanja daerah serta sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah Kabupaten dan Kota dalam pengambilan kebijakan atau keputusan kedepannya bagi daerahnya.

Sehingga kedepannya dapat mengambil kebijakan yang lebih tepat agar daerahnya makin berkembang dan maju.

3. Bagi Investor

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada calon investor bahwa otonomi yang diselenggarakan pemerintah berjalan baik di Kabupaten dan Kota sehingga bisa menarik minat investor untuk berinvestasi di daerah tersebut.

4. Bagi Akademisi

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan bagi upaya pengembangan Ilmu Pemerintahan, dan diharapkan menjadi sumber referensi maupun informasi bagi peneliti selanjutnya.

(31)

18 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory)

Dalam organisasi sektor publik menurut Mulyani (2017), khususnya di pemerintahan pusat dan daerah, secara sadar atau tidak teori keagenan telah dipraktikkan. Hal ini diperkuat dengan adanya kebijakan otonomi dan desentralisasi yang diberikan kepada pemerintah daerah sejak tahun 1999. Pada hakikatnya, tujuan adanya organisasi sektor publik adalah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat atas barang atau sumber daya yang digunakan untuk memenuhi hajat hidup orang banyak. Dalam mengelola dan mengalokasikan sumber daya ini, pemerintah pusat tidak dapat melakukannya sendirian, maka pemerintah pusat memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengelola sumber daya tersebut dikarenakan pemerintah pusat juga tidak memiliki dana yang cukup untuk alokasi sumber daya. Oleh karena adanya keterbatasan dana tersebut, maka pembuatan anggaran diperlukan sebagai mekanisme yang penting untuk alokasi sumber daya.

Agency theory menjelaskan hubungan principal dan agen yang menganalisis susunan kontrkatual di antara dua atau lebih individu, kelompok, atau organisasi. Principal membuat suatu kontrak, baik secara implisit maupun eksplisit dengan agen, berharap agen akan bertindak dengan melakukan pekerjaan seperti yang diinginkan oleh principal, dalam hal ini terjadi pendelegasian wewenang (Halim & Syukriy, 2006). Menurut Suwanda, Junjunan, Affandi, & Rusliati (2019),

(32)

Hubungan keagenan di lingkungan pemerintah daerah memiliki dual accountability, yaitu hubungan keagenan antara legislatif (principal) dan eksekutif (agent) dan hubungan keagenan antara legislatif (agent) dan publik (principal). Terkait dengan anggaran, agency theory dapat dilihat pada hubungan eksekutif dan legislatif.

Dalam pengelolaan keuangan, undang-undang di Indonesia memisahkan dengan tegas antara fungsi pemerintah (eksekutif) dengan fungsi perwakilan rakyat (legislatif). Berdasarkan pembedaan fungsi tersebut, eksekutif melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan atas anggaran yang merupakan manifestasi dari pelayanan kepada publik sedangkan legislatif berperan aktif dalam melaksanakan legislasi, penganggaran, dan pengawasan. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Negara Indonesia memiliki dokumen anggaran daerah disebut APBD yang proses penyusunannya melibatkan dua pihak, yaitu eksekutif dan legislatif melalui sebuah tim atau panitia anggaran. Dalam perspektif keagenan, hal ini merupakan bentuk kontrak yang menjadi alat bagi legislatif untuk mengawasi pelaksanaan anggaran oleh eksekutif (Suwanda et al., 2019).

Dalam teori keagenan, Jensen dan Meckling 1976 (dalam Suwanda et al., 2019) mendefinisikan hubungan keagenan sebagai sebuah kontrak di mana satu atau lebih (principal) menyewa orang lain (agent) melakukan beberapa jasa untuk kepentingan mereka dengan mendelegasikan beberapa wewenang pembuatan keputusan kepada agen. Konflik kepentingan akan muncul dan pendelegasian tugas yang diberikan kepada agen dimana agen tidak dalam kepentingan untuk

(33)

memaksimumkan kesejahteraan principal, tetapi memiliki kecenderungan untuk mementingkan diri sendiri dengan mengorbankan kepentingan pemilik.

Permasalahan yang berkaitan dengan kualitas laporan keuangan sering disebabkan oleh adanya benturan kepentingan antara kepentingan manajemen dengan kepentingan stakeholder. Manajemen tidak selalu bertindak untuk kepentingan stakeholder, tetapi sering kali manajemen bertindak untuk memkasimumkan kesejahteraan mereka dan mengamankan posisi mereka tanpa memandang bahaya yang ditimbulkan terhadap stakeholder lain, misalnya karyawan, investor, kreditor, dan masyarakat.

Berkaitan dengan masalah keagenan, praktik pelaporan keuangan dalam organisasi sektor publik merupakan suatu konsep yang didasari oleh teori keagenan.

Dalam pelaporan keuangan pemerintah daerah yang bertindak sebagai principal dalam menilai akuntabilitas dan membuat keputusan, baik keputusan ekonomi, sosial, maupun politik. Dalam suatu pemerintahan demokrasi, hubungan antara pemerintah dan para pengguna informasi keuangan pemerintah dapat digambarkan sebagai hubungan keagenan. Dalam hal ini pemerintah berfungsi sebagai agen yang diberi kewenangan untuk melaksanakan kewajiban tertentu yang ditentukan oleh para pengguna informasi keuangan pemerintah sebagai principal, baik secara langsung atau tidak langsung melalui wakil-wakilnya. Dalam hubungan keagenan, pemerintah sebagai agen harus melaksanakan apa yang menjadi kepentingan para principalnya (Suwanda et al., 2019).

(34)

2.1.2 Manajemen Keuangan Daerah

Dalam menghadapi globalisasi perekonomian dan pembangunan nasional yang menekankan pada pelaksanaan otonomi daerah secara luas, nyata, dan bertanggungjawab maka perlu disusun suatu rumusan baru yang berkaitan dengan manajemen keuangan daerah. Hal ini adalah salah satu bentuk bagaimana pemerintah daerah mempersiapkan suatu prakondisi dalam perekonomian nasional dan perekonomian internasional. Secara garis besar, manajemen keuangan daerah dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu manajemen penerimaan daerah dan manajemen pengeluaran daerah. Evaluasi terhadap pengelolaan keuangan daerah dan pembiayaan pembangunan daerah mempunyai implikasi yang sangat luas.

Kedua komponen tersebut akan sangat menentukan keberhasilan suatu pemerintah daerah dalam rangka melaksanakan otonomi daerah.

Manifestasi manajemen keuangan daerah yang paling utama adalah pengelolaan anggaran daerah. Dalam konteks otonomi daerah telah terjadi perubahan dalam pendekatan dan pengelolaan anggaran daerah. Aspek utama budgeting reform adalah perubahan dari traditional budget ke performance budget.

Traditional budget yaitu proses penyusunan anggaran yang hanya mendasarkan pada besarnya realisasi anggaran tahun sebelumnya. Sedangkan performance budget pada dasarnya adalah sistem penyusunan dan pengelolaan anggaran daerah yang berorientasi pada pencapaian hasil atau kinerja. Kinerja tersebut harus mencerminkan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, yang berarti harus berorientasi pada kepentingan publik. Prinsip-prinsip yang mendasari pengelolaan

(35)

keuangan daerah tersebut adalah transparansi, akuntabilitas, dan value for money (Mardiasmo, 2018).

2.1.3 Belanja Modal

Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 71 Tahun 2010, belanja modal merupakan belanja Pemerintah Daerah yang manfaatnya melebihi 1 (satu) tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah dan selanjutnya akan menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan pada kelompok belanja administrasi umum.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 91/PMK/05/2007, belanja modal merupakan pengeluaran anggaran digunakan dalam rangka untuk memperoleh dan menambah aset tetap atau aset lainnya dalam memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi pengeluaran untuk biaya yang melebihi batas waktu kapitalisasi aset atau aset lainnya yang ditetapkan oleh pemerintah. Aset tetap tersebut dipergunakan untuk operasional kegiatan sehari- hari suatu satuan kerja bukan untuk dijual.

Nilai aset tetap dalam belanja modal yaitu sebesar harga beli/bangun aset ditambah seluruh belanja yang terkait dengan pengadaan/pembangunan aset sampai aset tersebut siap digunakan (Dewi, 2018). Aset tetap yang dimiliki daerah adalah sebagai akibat dari belanja modal yang merupakan suatu syarat utama dalam memberikan pelayanan publik yang lebih baik. Untuk menambah aset tetap, pemerintah daerah mengalokasikan dana anggaran belanja modal dalam APBD.

Dalam setiap tahun diadakannya pengadaan aset tetap yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah (pemda) sesuai dengan prioritas anggaran dan pelayanan publik

(36)

yang memberikan dampak dalam jangka panjang secara finansial.

Belanja modal dimaksudkan untuk mendapatkan aset tetap pemerintah daerah, yakni peralatan, bangunan, infrastruktur dan harta tetap lainnya. Secara teoritis ada tiga cara untuk memperoleh aset tetap tersebut, yakni dengan membangun sendiri, menukarkan dengan aset tetap lainnya, atau juga dengan membeli (Hasudungan Pohan, 2018).

Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER- 33/PB/2008 tentang Pedoman Penggunaan Akun Pendapatan, Belanja Pegawai, Belanja Barang, dan Belanja Modal sesuai Bagan Akun Standar (BAS) disebutkan bahwa suatu belanja dikategorikan sebagai Belanja Modal apabila:

1. Pengeluaran tersebut mengakibatkan adanya perolehan aset tetap atau aset lainnya yang menambah masa umur, manfaat dan kapasitas.

2. Pengeluaran tersebut melebihi batas minimum kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang telah ditetapkan pemerintah.

3. Perolehan aset tetap tersebut diniatkan bukan untuk dijual.

Belanja Modal dapat dikategorikan dalam 5 (lima) kategori (Badrudin, 2012):

1. Belanja Modal Tanah ialah pengeluaran atau biaya yang digunakan untuk pengadaan pembelian dan pembebasan balik nama dan sewa tanah, pengosongan, pengurungan, perataan, pematangan tanah, pembuatan sertifikat dan pengeluaran lainnya sehubungan dengan perolehan hak atas tanah dan sampai tanah yang dimaksud dalam kondisi siap pakai.

2. Belanja Modal Peralatan dan mesin ialah pengeluaran atau biaya yang digunakan untuk pengadaan, penggantian, penambahan dan peningkatan

(37)

kapasitas peralatan mesin serta inventaris kantor yang memberikan manfaat lebih dari 12 bulan dan sampai peralatan dan mesin yang dimaksud dalam kondisi siap pakai.

3. Belanja Modal dan Gedung ialah pengeluaran atau biaya yang digunakan untuk penambahan/pengadaan, dan termasuk pengeluaran dan perencanaan, pengawasan dan pengelolaan gedung dan bangunan yang menambah kapasitas sampai gedung dan bangunan yang dimaksud dalam kondisi siap pakai.

4. Belanja Modal Jalan, Irigrasi dan Jaringan ialah pengeluaran atau biaya yang digunakan untuk penambahan/pengadaan, penggantian penigkatan pembangunan atau pembuatan serta perawatan dan termasuk pengeluaran dan perencanaan, pengawasan dan jaringan yang menambah kapasitas sampai jalan irigasi dan jaringan yang dimaksud dalam kondisi siap pakai.

5. Belanja Modal Fisik Lainnya ialah pengeluaran atau biaya yang digunakan untuk penambahan atau pengadaan dan penggantian pembangunan, pembuatan serta perawatan fisik lainnya yang tidak dikategorikan kedalam kriteria belanja modal tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, serta jalan irigasi dan jaringan, termasuk dalam belanja ini ialah belanja modal kontrak sewa beli, pembelian barang-barang kesenian, barang purbakala dan barang untuk museum, hewan ternak dan tanaman, buku-buku, dan jurnal ilmiah berikutnya.

Variabel belanja modal diukur dengan rumus:

Belanja Modal = Belanja Tanah + Belanja Peralatan dan Mesin + Belanja Gedung dan Bangunan + Belanja Jalan, Irigrasi, dan Jaringan + Belanja Aset Tetap Lainnya.

(38)

2.1.4 Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, yang tertuang dalam pasal 1 butir 18 Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menentukan bahwa Pendapatan Asli Daerah adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintah Daerah Pasal 6, yaitu Pendapatan Asli Daerah dapat di peroleh melalui sumber-sumber dana yang di dapat dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil pengelolahan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan Lain-lain PAD yang sah. Sumber-sumber pendapatan tersebut diharapkan menjadi sumber pembiayaan penyelenggaraan dan pembangunan untuk meningkatkan dan memeratakan kesejahteraan rakyat.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai mewujudkan asas desentralisasi. PAD yang tinggi akan digunakan oleh pemda untuk memberikan pelayanan publik yang memadai sehingga dapat meningkatakan belanja modal.

Adapun sumber Pendapatan Asli Daerah yang dipisahkan menjadi empat jenis pendapatan, yaitu:

(39)

1. Pajak Daerah

Pajak Daerah merupakan pendapatan daerah yang berasal dari pajak. Pajak pada setiap provinsi dan kabupaten/kota adalah berbeda. Hal ini sesuai dengan UU Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Perpajakan daerah adalah kewajiban penduduk (masyarakat) menyerahkan sebagian dari kekayaan kepada daerah disebabkan suatu keadaan, kejadian atau perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai suatu sanksi atau hukuman (Adisasmita, 2011).

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah bahwa pajak daerah selanjutnya disebut pajak adalah kontribusi wajib kepada daerah terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pajak daerah sebagai salah satu pendapatan asli daerah diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah, untuk meningkatkan dan memeratakan kesejahteraan masyarakat. Meskipun beberapa jenis pajak sudah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000, daerah kabupaten/kota diberi peluang dalam menggali potensi sumber-sumber keuangannya dengan menetapkan jenis pajak selain yang telah ditetapkan. Sepanjang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dan sesuai dengan aspirasi masyarakat (Yani, 2013).

Jenis pajak daerah menurut Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang

(40)

pajak daerah dan retribusi daerah yaitu antara lain:

a. Pajak Provinsi. Pajak ini terdiri atas:

1) Pajak Kendaraan Bermotor

2) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor 3) Pajak Bahan Bakar Kendaran Bermotor 4) Pajak Air Permukaan

5) Pajak Rokok

b. Jenis pajak Kabupaten/Kota. Pajak ini terdiri atas:

1) Pajak Hotel 2) Pajak Restoran 3) Pajak Hiburan 4) Pajak Reklame

5) Pajak Penerangan Jalan

6) Pajak Mineral Bukan Logam Dan Batuan 7) Pajak Parkir

8) Pajak Air Tanah

9) Pajak Sarang Burung Wallet

10) Pajak Bumi Dan Bangunan Perdesaan Dan Perkotaan 11) Pajak Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan 2. Retribusi Daerah

Retribusi Daerah juga berperan sebagai penyumbang terhadap Pendapatan Asli Daerah. Pendapatan retribusi pada provinsi berbeda dengan kabupaten/kota, terkait dengan Undang-Undang No. 34 Tahun 2000.

(41)

Retribusi Daerah yaitu pungutan yang dikenakan kepada masyarakat yang menikmati secara langsung fasilitas tertentu yang disediakan pemerintah daerah. Pemungutannya juga harus dituangkan dalam peraturan daerah (Anggoro, 2017). Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa pemberian izin tertentu yang khusus disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan (Yani, 2013). Adapun retribusi daerah menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 yang dirinci menjadi:

a. Retribusi Jasa Umum

1) Retribusi Pelayanan Kesehatan 2) Retribusi Kebersihan

3) Retribusi KTP dan Akte Capil

4) Retribusi Pemakaman/Pengabuan Mayat 5) Retribusi Parkir di Tepi Jalan Umum 6) Retribusi Pelayanan Dasar

7) Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor

8) Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran 9) Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta

10) Retribusi Pelayanan Tera Ulang 11) Retribusi Penyedotan Kakus 12) Retribusi Pengolahan Limbah Cair 13) Retribusi Pelayanan Pendidikan

14) Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi

(42)

b. Retribusi Jasa Usaha

1) Retribusi Pemakaian Kekayaan Bersih 2) Retribusi Pasar Grosir/Pertokoan 3) Retribusi Tempat Pelelangan 4) Retribusi Terminal

5) Retribusi Tempat Khusus Parkir

6) Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggarahan/Villa 7) Retribusi Rumah Potong Hewan

8) Retribusi Pelayanan Kepelabuhan 9) Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga 10) Retribusi Penyeberangan di Air

11) Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah c. Retribusi Perijinan Tertentu

1) Retribusi Izin Mendirikan Bangunan

2) Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol 3) Retribusi Izin Gangguan

4) Retribusi Izin Trayek

5) Retribusi Izin Usaha Perikanan

3. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan

Hasil kekayaan daerah yang dipisahkan adalah pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan badan-badan usaha milik daerah maupun lembaga-lembaga lainnya yang dimiliki pemerintah daerah (Anggoro, 2017). Menurut Bastian (2006) Jenis hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dirinci

Referensi

Dokumen terkait

KONSTRUKSI KIT DAN PROSEDUR PRAKTIKUM DYE-SENSITIZED SOLAR CELLS (DSSC) DAN POTENSINYA UNTUK MEMBANGUN LITERASI SAINS SISWA SMA.. Universitas Pendidikan Indonesia |

fungsi, sifat suatu fungsi dan teknik manipulasi aljabar dalam menentukan invers fungsi dan fungsi invers, sifat suatu fungsi hasil operasi dua atau lebih fungsi,

It is apparent, that in two media photogrammetry, the 1.33 factor used for clean water in underwater cases does not apply and the relation of the effective

Sehubungan dengan pelaksanaan Penunjukan Langsung Pengadaan Komputer Notebook/Laptop, Pengadaan Printer, Pengadaan Meja Kursi Tamu, Pengadaan Meja Telepon, Pengadaan

adalah investasi jangka panjang yang dimaksudkan untuk dimiliki

From these results, it was concluded that weaning and yearling weight of Bali cattle can be estimated using simple linear body measurement of heart girth, body length

[r]

penelitian maka judul penelitian ini adalah “ PENGARUH PENGELOLAAN KELAS DAN FASILITAS BELAJAR TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN EKONOMI (Survey Pada