• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Auditing

Secara teoritis pengertian auditing menurut Arens dan James K.

Loebbecke (1997:2) adalah :

“Auditing is the accumulation and evaluation of evidence about information to determine and report on the degree of correspondence between the information and established criteria. Auditing should be done by a competent independent person.”

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa auditing terdiri dari 4 (empat) hal pokok, yaitu :

1) Perbandingan antara informasi (kondisi) dan kriteria yang telah ditetapkan;

2) Pengumpulan dan pengevaluasian bahan bukti;

3) Dilakukan oleh seseorang yang kompeten dan independen; dan

4) Pelaporan yang akan memberikan informasi yang berguna kepada users mengenai tingkat kesesuaian antara kondisi dengan kriteria.

Definisi audit dari ASOBAC (A Statement of Basic Auditing Concept) dalam Abdul Halim (2003:1) mendefinisikan auditing sebagai:

“Suatu proses sistematis untuk menghimpun dan mengevaluasi bukti-bukti

secara obyektif mengenai asersi-asersi tentang berbagai tindakan dan kejadian

ekonomi untuk menentukan tingkat kesesuaian antara asersi-asersi tersebut

(2)

dengan kriteria yang telah ditentukan dan menyampaikan hasilnya kepada para pemakai yang berkepentingan.”

Definisi tersebut dapat diuraikan menjadi 7 (tujuh) elemen yang harus diperhatikan dalam melaksanakan audit, yaitu:

1) Proses yang sistematis;

2) Menghimpun dan mengevaluasi bukti secara obyektif;

3) Asersi-asersi tentang berbagai tindakan dan kejadian ekonomi;

4) Menentukan tingkat kesesuaian (degree of correspondence);

5) Kriteria yang ditentukan;

6) Menyampaikan hasil-hasilnya;

7) Para pemakai yang berkepentingan.

Lebih lanjut Mulyadi dan Kanaka (2002:7) mengartikan auditing secara umum sebagai suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara obyektif mengenai pernyataan-pernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi, dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataan- pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan, serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan.

Pengertian yang lebih operasional seperti yang tertuang dalam Panduan

Manajemen Pemeriksaan BPK RI (2002), pemeriksaan atau auditing adalah suatu

proses yang terdiri dari serangkaian kegiatan pengumpulan, penganalisaan, dan

pengevaluasian bukti-bukti pemeriksaaan yang dilakukan secara sistematis,

terarah, dan terencana untuk dijadikan dasar merumuskan pendapat yang

independen dan profesional (professional opinion) atau pertimbangan (judgement)

(3)

tentang tanggung jawab pimpinan (manajemen) mengenai kebijakan dan keputusan yang dibuatnya.

2.1.2 Jenis Audit

Jenis audit berdasar tujuan dilaksanakannya audit digolongkan menjadi tiga kategori Abdul Halim (2003:5-10):

1) Audit laporan keuangan (Financial statement audit)

Audit laporan keuangan mencakup penghimpunan dan pengevaluasian bukti mengenai laporan keuangan suatu entitas dengan tujuan untuk memberikan pendapat apakah laporan keuangan telah disajikan secara wajar sesuai kriteria yang telah ditentukan yaitu prinsip akuntansi yang berterima umum (PABU).

2) Audit kepatuhan (Compliance Audit)

Audit kepatuhan mencakup penghimpunan dan pengevaluasian bukti dengan tujuan untuk menentukan apakah kegiatan finansial maupun operasi tertentu dari suatu entitas sesuai dengan kondisi-kondisi, aturan-aturan, dan regulasi yang telah ditentukan.

3) Audit operasional (Operational Audit)

Audit operasional meliputi penghimpunan dan pengevaluasian bukti mengenai kegiatan operasional organisasi dalam hubungannya dengan tujuan pencapaian efisiensi, efektivitas, maupun kehematan (ekonomis) operasional.

Berdasar pelaksana audit, auditing diklasifikasikan menjadi tiga yaitu:

1) Auditing Eksternal

Auditing eksternal merupakan suatu kontrol sosial yang memberikan jasa

untuk memenuhi kebutuhan informasi untuk pihak luar perusahaan yang

(4)

diaudit. Auditornya adalah pihak luar perusahaan yang independen, yaitu akuntan publik yang telah diakui oleh yang berwenang untuk melaksanakan tugas tersebut. Auditor tersebut pada umumnya dibayar oleh manajemen perusahaan yang diperiksa.

2) Auditing Internal

Auditing Internal adalah suatu kontrol organisasi yang mengukur dan mengevaluasi efektivitas organisasi. Informasi yang dihasilkan, ditujukan untuk manajemen organisasi itu sendiri. Auditornya digaji oleh organisasi tersebut.

3) Auditing Sektor Publik

Auditing sektor publik adalah suatu kontrol atas organisasi pemerintah yang memberikan jasanya kepada masyarakat, seperti Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Audit dapat mencakup audit laporan keuangan, audit kepatuhan maupun audit operasional. Auditornya adalah auditor pemerintah dan dibayar oleh pemerintah.

2.1.3 Manfaat Audit

Abdul Halim (2003:60), manfaat audit yaitu:

1) Meningkatkan kredibilitas perusahaan;

2) Meningkatkan efisiensi dan kejujuran;

3) Meningkatkan efisiensi operasional perusahaan; dan

4) Mendorong efisiensi pasar modal.

(5)

Sofyan Safri Harahap (Abdul Halim, 2003:60) mengemukakan manfaat audit dari sisi pengawasan sebagai berikut:

1) Preventive Control:

Tenaga akuntansi akan bekerja lebih berhati-hati dan akurat bila mereka menyadari akan diaudit.

2) Detective Control:

Suatu penyimpangan atau kesalahan yang terjadi lazimnya akan dapat diketahui dan dikoreksi melalui suatu proses audit.

3) Reporting Control:

Setiap kesalahan perhitungan, penyajian atau pengungkapan yang tidak dikoreksi dalam keuangan akan disebutkan dalam laporan pemeriksaan.

Dengan demikian pembaca laporan keuangan terhindar dari informasi yang keliru atau menyesatkan.

2.1.4 Standar Audit

Standar audit merupakan patokan dalam melaksanakan audit sehingga mutu audit dapat dicapai dengan baik. Secara umum, standar ini meliputi pertimbangan-pertimbangan mengenai kualitas profesional pribadi auditor, pelaksanaan audit dan pelaporannya. Di Indonesia terdapat berbagai standar audit sebagai berikut:

1) Standar Audit Pemerintah (SAP)

Dikeluarkan oleh BPK RI Tahun 1995, mengacu pada GAO Standards 1994

dan SPAP-IAPI Tahun 1994. SAP ini berlaku untuk semua aparat pengawasan

(6)

fungsional (intern dan ekstern) pemerintah. Standar ini harus digunakan untuk melakukan tugas audit terhadap kinerja atau keuangan pemerintah.

2) Standar Audit-Aparat Pengawasan Fungsional Intern Pemerintah (SA-APFIP) Dikeluarkan BPKP, juga digunakan untuk melakukan tugas audit terhadap kegiatan atau keuangan pemerintah.

3) Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP)

Dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Publik Indonesia (IAPI) mengacu pada standar dari American Institute of Certified Public Accountant (AICPA), IAPI- nya Amerika. SPAP yang terbaru diterbitkan dan mulai berlaku per 1 Januari 2001 digunakan oleh akuntan publik untuk melaksanakan audit keuangan dan jasa lainnya.

4) Norma Pemeriksaan Satuan Pengawas Intern

Dikeluarkan oleh BPKP, untuk digunakan oleh SPI dalam satuan/ unit kerja dalam pemerintah.

5) Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN)

Standar terbaru yang dikeluarkan oleh BPK RI yaitu Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN). SPKN ditetapkan dengan Peraturan BPK RI No. 1 Tahun 2007.

Meski struktur isi standar audit tersebut berbeda-beda tapi secara umum

standar tersebut mengatur mengenai kualifikasi pribadi/ lembaga auditor,

pekerjaan audit dan pelaporan sebagai berikut (Abdul Halim, 2003:47-48) :

(7)

Standar Umum

1) Audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor.

2) Dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor.

3) Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama.

Standar Pekerjaan Lapangan

1) Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika digunakan asisten harus disupervisi dengan semestinya.

2) Pemahaman yang memadai atas struktur pengendalian intern harus diperoleh untuk merencanakan audit dan menentukan sifat, saat, dan lingkup pengujian yang dilakukan.

3) Bukti audit kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, permintaan pertanyaan, dan konfirmasi sebagai dasar yang memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang diaudit.

Standar Pelaporan

1) Laporan audit harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.

2) Laporan audit harus menunjukkan atau menyatakan, jika ada,

ketidakkonsistenan penerapan prinsip akuntansi dalam penyusunan laporan

keuangan periode berjalan dibandingkan dengan penerapan prinsip akuntansi

tersebut dalam periode sebelumnya.

(8)

3) Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus dipandang memadai, kecuali dinyatakan lain dalam laporan auditor.

4) Laporan audit harus memuat suatu pernyataan pendapat mengenai laporan keuangan secara keseluruhan atau suatu asersi bahwa pernyataan demikian tidak dapat diberikan. Jika pendapat secara keseluruhan tidak dapat diberikan, maka alasannya harus dinyatakan. Dalam hal nama auditor dikaitkan dengan laporan keuangan, maka laporan auditor harus memuat petunjuk yang jelas mengenai sifat pekerjaan audit yang dilaksanakan, jika ada, dan tingkat tanggung jawab yang dipikul oleh auditor.

2.1.5 Pengertian dan Jenis Auditor

Mulyadi dan Kanaka (2002:26-28) menggolongkan auditor menjadi 3 tipe berdasarkan letak atau posisi lembaga audit dan fungsi yang dijalankannya, yaitu:

1) Auditor independen

Auditor independen secara profesional yang menyediakan jasanya kepada masyarakat umum, terutama di bidang audit atas laporan keuangan yang dibuat oleh kliennya. Untuk dapat berpraktik sebagai auditor independen, seseorang harus telah lulus dari jurusan akuntansi fakultas ekonomi atau mempunyai ijazah yang disamakan, telah mendapat gelar akuntan dari Panitia Ahli Pertimbangan Persamaan Ijazah Akuntan, dan mendapat ijin praktik dari Menteri Keuangan.

2) Auditor Pemerintah

Auditor pemerintah secara profesional yang bekerja di instansi pemerintah

yang tugas pokoknya melakukan audit atas pertanggungjawaban keuangan

(9)

yang disajikan oleh unit-unit organisasi atau entitas pemerintahan atau pertanggungjawaban keuangan yang ditujukan kepada pemerintah. Yang disebut sebagai auditor pemerintah umumnya adalah auditor yang bekerja di BPK, BPKP dan instansi pajak.

3) Auditor Intern

Auditor ini bekerja dalam perusahaan negara maupun swasta yang tugas pokoknya adalah menentukan apakah kebijakan dan prosedur yang ditetapkan manajemen puncak telah dipatuhi, menentukan baik atau tidaknya penjagaan terhadap kekayaan organisasi, menentukan efisiensi dan efektivitas prosedur kegiatan organisasi serta menentukan keandalan informasi yang dihasilkan oleh berbagai bagian organisasi.

2.1.6 Profesionalisme Pengertian Profesionalisme

Istilah profesionalisme berasal dari kata profesi yang mempunyai arti suatu pekerjaan yang memerlukan pengetahuan, mencakup ilmu pengetahuan, keterampilan dan metoda. Profesional berarti suatu kemampuan yang dilandasi oleh tingkat pengetahuan yang tinggi dan latihan yang khusus, daya pemikiran yang kreatif untuk melaksanakan tugas-tugas yang sesuai dengan bidang keahlian dan profesinya.

Hardjana (2002:20) memberikan pengertian profesional adalah orang yang

menjalani profesi sesuai dengan keahlian yang dimilikinya. Dalam hal ini, ia

dipercaya dan dapat diandalkan dalam melaksanakan pekerjaannya, sehingga

dapat berjalan dengan lancar, baik dan mendatangkan hasil yang diharapkan.

(10)

Pengertian profesionalisme (Pusdiklat BPK RI, 2007) adalah suatu kebanggaan atas apa yang kita kerjakan, komitmen yang kita berikan pada mutu/

kualitas, dan dedikasi yang diberikan kepada pelanggan atau keikhlasan dalam memberikan pertolongan atau dalam melakukan suatu pekerjaan. Jadi, profesionalisme adalah hal yang berhubungan dengan perilaku kita dalam melaksanakan suatu pekerjaan.

Profesionalisme Auditor BPK

Seorang auditor bisa dikatakan profesional apabila telah memenuhi dan mematuhi standar-standar kode etik yang telah ditetapkan oleh Ikatan Akuntansi Indonesia, antara lain:

1) Prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh IAI yaitu standar ideal dari perilaku etis yang telah ditetapkan oleh IAI seperti dalam terminology filosofi;

2) Peraturan perilaku seperti standar minimum perilaku etis yang ditetapkan sebagai peraturan khusus yang merupakan suatu keharusan;

3) Interpretasi peraturan perilaku tidak merupakan keharusan, tetapi para praktisi harus memahaminya;

4) Ketetapan etika seperti seorang akuntan publik wajib untuk harus tetap memegang teguh prinsip kebebasan dalam menjalankan proses auditnya, walaupun auditor dibayar oleh kliennya.

Ukuran profesionalisme menurut Tangkilisan (2005:228) diukur melalui keahlian yang dimiliki oleh seseorang yang sesuai dengan kebutuhan tugas yang dibebankan organisasi kepada seseorang. Alasan pentingnya kecocokan/

kesesuaian antara disiplin ilmu atau keahlian yang dimiliki seseorang adalah

(11)

karena jika keahlian yang dimiliki tidak sesuai dengan tugas yang dibebankan kepadanya, maka itu akan berdampak pada ketidakefektifan organisasi.

BPK RI dalam rangka pelaksanaan tugasnya sebagai pemeriksa eksternal guna mewujudkan pencapaian hasil kerja yang baik, telah membuat persyaratan kemampuan atau keahlian bagi para auditor dalam melaksanakan pemeriksaan sebagaimana yang dimuat dalam Standar Audit Pemerintahan (SAP) BPK RI Tahun 1995, Bab IV tentang Standar Umum, butir 4.10 dapat meliputi:

a. Pengetahuan tentang metoda dan teknik yang berlaku dalam audit Pemerintahan, serta pendidikan, keterampilan dan pengalaman untuk menerapkan pengetahuan tersebut dalam audit yang dilaksanakan;

b. Pengetahuan tentang organisasi, program, kegiatan dan fungsi di bidang Pemerintahan;

c. Keterampilan yang memadai untuk pekerjaan audit yang dilaksanakan.

Indikator Profesionalisme

Gambaran tentang profesionalisme seorang auditor menurut Hall (1968)

dalam Hastuti, Theresia Dwi Stefani L.L., dan Clara S. (2003) tercermin dalam

lima komponen yaitu: (a) pengabdian pada profesi, (b) kewajiban sosial, (c)

kemandirian, (d) kepercayaan terhadap peraturan profesi, dan (e) hubungan

dengan rekan seprofesi. Penulis menjadikan kelima komponen tersebut menjadi

indikator untuk profesionalisme.

(12)

2.1.7 Etika Profesi Pengertian Etika Profesi

Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988) memberikan tiga arti yang cukup lengkap tentang etika, yakni :

(a) Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak);

(b) Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak;

(c) Nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh satu golongan atau masyarakat umum.

Etika profesi terdiri dari gabungan kata etika yang berarti aturan-aturan atau perilaku; dan profesi adalah pekerjaan atau jabatan yang didasari oleh keahlian tertentu.

Arens (2003:71) mendefinisikan etika secara umum sebagai perangkat prinsip moral atau nilai. Perilaku beretika diperlukan oleh masyarakat agar semuanya dapat berjalan secara teratur. Terdapat dua alasan utama mengapa orang bertindak tidak beretika yakni standar etika seseorang berbeda dari masyarakat umum atau seseorang memutuskan untuk bertindak semaunya.

Etika memberikan batasan ataupun standar yang akan mengatur pergaulan

manusia di dalam kelompok sosialnya. Etika adalah refleksi dari apa yang disebut

dengan ”self control”, karena segala sesuatu dibuat dan diterapkan dari dan untuk

kepentingan kelompok sosial (profesi) itu sendiri. Setiap profesi yang

menyediakan jasanya kepada masyarakat memerlukan kepercayaan dari

masyarakat.

(13)

Etika Profesi Auditor BPK

BPK RI dalam rangka upaya meningkatkan pelaksanaan fungsi dan tugas selaku lembaga pemeriksa eksternal keuangan negara dan sebagai lembaga pengawasan tertinggi dibidang keuangan negara, maka auditor di lingkungan BPK RI dalam melaksanakan tugasnya baik secara mandiri maupun kelompok atau secara kelembagaan perlu dilandasi dengan sikap, etika dan moralitas yang tinggi sebagaimana yang direkomendasikan Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2002, pandangan yang obyektif dan rasa tanggung jawab yang tinggi serta sifat-sifat yang bijaksana dalam melaksanakan tugasnya. Auditor di lingkungan BPK RI wajib mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku, menyimpan rahasia jabatan, baik karena sifatnya, maupun karena ketentuan undang-undang, menjaga semangat dan suasana kerja yang baik.

Sehubungan dengan hal tersebut, BPK RI telah membuat suatu ketentuan

atau pedoman tentang kode etik bagi para petugas pemeriksa pada BPK RI, yang

merupakan landasan etika dan moral yang harus dipahami dan dilaksanakan oleh

setiap auditor atau pelaksana tugas pemeriksa. Pemahaman terhadap kode etik

atau etika pemeriksa akan mengarahkan pada sikap, tingkah laku, dan perbuatan

auditor BPK RI dalam menjalankan tugas dan kewajibannya berupaya untuk

menjaga mutu auditor, serta citra dan martabat BPK RI. Kode etik atau etika

pemeriksa dimaksud dimuat di dalam Sapta Prasetya Jati dan Ikrar Pemeriksa

yang secara lengkap sesuai dengan Surat Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan

No.14/SK/K/1975 dan No.21/SK/K/1981 tentang Sapta Prasetya Jati Badan

Pemeriksa Keuangan dan Ikrar Pemeriksa.

(14)

Selain itu, Badan Pemeriksa Keuangan telah mengeluarkan Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan RI Nomor 2 Tahun 2007 tentang Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia pada bulan Agustus 2007 dan menjadi pedoman bagi seluruh auditor BPK.

Keseluruhan di atas merupakan etika profesi atau kode etik pemeriksa yang harus dipatuhi oleh semua auditor yang berada di lingkungan BPK RI dalam menjalankan tugasnya, sesuai dengan visi dan misi BPK RI. Visi BPK RI adalah terwujudnya BPK RI sebagai lembaga yang bebas dan mandiri. Sedangkan misi BPK RI yaitu mewujudkan diri menjadi auditor eksternal keuangan negara yang mampu mendorong terwujudnya akuntanbilitas dan transparansi keuangan negara serta berperan aktif dalam mewujudkan pemerintahan yang baik, bersih dan transparan.

Dari berbagai pengertian serta gambaran dari beberapa etika profesi yang telah disampaikan di atas dan dengan adanya pedoman yang melandasi etika yang harus dipatuhi oleh auditor BPK RI guna menjaga mutu, citra serta martabat, maka dapatlah disimpulkan bahwa etika profesi itu adalah merupakan perangkat kaidah perilaku sebagai pedoman yang harus dipenuhi dalam mengemban profesi.

Indikator Etika Profesi

Adapun indikator-indikator etika profesi (Yanhari, 2007) yang

dipergunakan dalam penelitian ini memuat hal-hal yang menyangkut: (a)

kepribadian dan tanggung jawab profesi; (b) integritas; (c) obyektivitas; (d)

kehati-hatian; dan (e) kerahasiaan.

(15)

2.1.8 Tingkat Pendidikan Auditor Pengertian Tingkat Pendidikan Auditor

Persyaratan profesional yang dituntut dari seorang auditor independen adalah orang yang memiliki pendidikan dan pengalaman berpraktik sebagai auditor independen (SPAP, 2001:110.1). Standar umum pertama dalam standar auditing menegaskan bahwa betapa tingginya kemampuan seseorang dalam bidang lain selain auditing, termasuk dalam bidang bisnis dan keuangan, ia tidak dapat memenuhi persyaratan yang dimaksudkan dalam standar auditing ini, jika ia tidak memiliki pendidikan serta pengalaman memadai dalam bidang auditing.

Dalam melaksanakan audit atas laporan keuangan, untuk sampai pada tahap pernyataan pendapat, auditor harus senantiasa bertindak sebagai seorang ahli dalam bidang akuntansi dan auditing. Pencapaian keahlian tersebut dimulai dengan pendidikan formalnya (SPAP, 2001:210.1).

Seorang auditor memiliki kewajiban untuk terus memelihara dan meningkatkan kemampuan serta pengetahuannya melalui pendidikan formal ataupun tidak formal yang disebut pendidikan profesional berkelanjutan. Tujuan ketentuan ini adalah agar auditor independen selalu mengikuti perkembangan terbaru di bidang akuntansi, pengauditan dan bidang-bidang terkait lainnya.

Dari uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan

seorang auditor sangatlah penting (Asri Megaliani, 2007). Dengan tingkat

pendidikan yang memadai, seorang auditor dapat menjalankan profesinya

seefektif dan seefisien mungkin. Hal ini tentu akan berpengaruh pada kinerja

(16)

dimana dapat diindikasikan dari jumlah temuan dan kualitas hasil pemeriksaannya.

Indikator Tingkat Pendidikan

Adapun indikator-indikator tingkat pendidikan yang dipergunakan dalam penelitian yaitu (a) tingkat pendidikan dan pelatihan masing-masing auditor dan (b) kesesuaian pendidikan dan pengetahuan dengan standar profesi.

2.1.9 Pengalaman Kerja Auditor Pengertian Pengalaman Kerja Auditor

Standar auditing pertama dalam SPAP mengatur tentang audit yang harus dilakukan oleh orang yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor. Sama halnya dengan pendidikan formal seorang auditor, pengalaman auditor juga merupakan persyaratan profesional yang dituntut dari auditor independen. Seorang auditor dikatakan memenuhi standar auditing pertama apabila auditor tersebut memiliki pendidikan serta pengalaman yang memadai dalam bidang auditing. Pengalaman profesional seorang auditor bisa diperoleh melalui pelatihan-pelatihan, supervisi-supervisi maupun review terhadap hasil pekerjaannya yang diberikan oleh auditor yang lebih berpengalaman.

Pengalaman kerja seorang auditor akan mendukung keterampilan dan kecepatan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya sehingga tingkat kesalahan akan semakin berkurang (Milan Widhiati, 2005). Semakin banyak pengalaman kerja yang dimiliki oleh seorang auditor maka semakin cepat menemukan temuan.

Pengalaman kerja dipandang sebagai faktor penting dalam memprediksi

dan menilai kinerja auditor dalam melakukan pemeriksaan. Pengalaman yang

(17)

dimiliki auditor dalam melakukan audit dapat dijadikan pertimbangan auditor berkualitas (Libbry dan Trotman dalam Milan Widhiati, 2005). Pengalaman kerja dan keahlian profesional auditor merupakan dua hal yang saling berkaitan.

Keahlian auditor akan terus terasah dan meningkat apabila mereka terus menambah jam kerjanya dalam melakukan tugas pemeriksaan. Auditor yang lebih berpengalaman akan lebih cepat tanggap dalam mendeteksi kekeliruan yang terjadi. Pengetahuan tentang sebab-sebab terjadinya kekeliruan akan semakin berkembang seiring dengan semakin lamanya jam terbang auditor dalam melakukan tugas audit. Bertambahnya pengalaman kerja auditor juga akan meningkatkan ketelitian dalam melakukan pemeriksaan. Pemeriksaan yang dilakukan dengan tingkat ketelitian yang tinggi akan dapat menghasilkan laporan audit yang berkualitas.

Gibbins dalam Hastuti, Theresia Dwi Stefani L.L., dan Clara S. (2003), menyatakan pengalaman baik langsung maupun tidak langsung misalnya melalui pendidikan sangat penting dalam membentuk struktur proses psikologis dari judgement (kebijakan). Judgement dari akuntan publik yang lebih berpengalaman

akan lebih intensif dibanding dengan auditor yang kurang pengalamannya sebab pembuat kebijakan lebih mendasarkan kebiasaan dan kurang mengikuti pemikiran dari kebijakan itu sendiri.

Pada SPAP tercantum bahwa untuk memenuhi persyaratan sebagai

seorang profesional, auditor harus menjalani pelatihan teknis yang cukup. Dari

pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa pengalaman kerja merupakan hal

mutlak yang harus dimiliki oleh seorang auditor. Pengalaman kerja dapat

(18)

diperoleh melalui pelatihan-pelatihan, supervisi, maupun review terhadap hasil pekerjaannya yang diberikan oleh auditor yang lebih berpengalaman.

Pengalaman kerja dipandang sebagai suatu faktor penting dalam memprediksi kinerja auditor. Pengalaman kerja akan meningkat seiring dengan semakin meningkatnya kompleksitas kerja. Tubbs dalam Putri Noviyani dan Bandi (2002:483) jika seorang auditor yang berpengalaman maka :

1) Auditor menjadi sadar terhadap lebih banyak kekeliruan;

2) Auditor memiliki salah pengertian yang lebih sedikit tentang kekeliruan;

3) Auditor menjadi sadar mengenai kekeliruan yang tidak lazim;

4) Hal-hal yang terkait dengan penyebab kekeliruan departemen tempat terjadinya kekeliruan dan pelanggaran, dan tujuan pengendalian internal menjadi relatif lebih menonjol.

Indikator Pengalaman Kerja

Indikator pengalaman kerja dalam penelitian ini yaitu (a) masa kerja masing-masing auditor dan (b) penguasaan dan pemahaman pekerjaan.

2.1.10 Kinerja Auditor Pengertian kinerja

Bastian (2001:329) memberikan definisi kinerja sebagai gambaran

mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/ program/ kebijaksanaan

dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam

perumusan skema strategis (strategic planning) suatu organisasi. Secara umum

dapat juga dikatakan bahwa kinerja merupakan prestasi yang dapat dicapai oleh

organisasi dalam periode tertentu.

(19)

Dari pengertian kinerja di atas dapat dinyatakan apabila seseorang dapat melaksanakan tugas atau pekerjaan yang diberikan dengan baik dan sesuai dengan harapan organisasinya, maka dapat dikatakan bahwa orang tersebut memiliki kinerja atau prestasi kerja yang baik pula.

Ukuran yang dipakai dalam menentukan kinerja sebagaimana yang disebutkan Bastian (2001:337) adalah ukuran kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan dengan mempertimbangkan elemen indikator sebagai berikut :

a. Indikator masukan (input), yaitu segala sesuatu yang dibutuhkan agar mampu menghasilkan produk, baik barang dan jasa yang meliputi sumber daya manusia, informasi, dan kebijakan.

b. Indikator keluaran (outputs), yaitu sesuatu yang diharapkan langsung dicapai dari suatu kegiatan yang berupa fisik dan nonfisik.

c. Indikator hasil (outcomes), yaitu segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran kegiatan pada jangka menengah.

d. Indikator manfaat (benefit), yaitu sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir dari pelaksanaan kegiatan.

e. Indikator dampak (impacts), yaitu pengaruh yang ditimbulkan, baik yang positif maupun negatif, pada setiap tingkatan indikator.

Kinerja Auditor BPK

Jika pengertian kinerja di atas dikaitkan dengan pengertian kinerja auditor

BPK RI, maka kinerja auditor dimaksud adalah merupakan hasil yang dicapai

dalam menjalankan fungsi pemeriksaan, fungsi rekomendasi dan fungsi quasi

(20)

yudisial (peradilan yudisial) sebagaimana yang dituangkan dalam Undang-undang No. 5 tahun 1973 antara lain dengan penjelasan sebagai berikut:

1) Fungsi pemeriksaan, yang bertujuan memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara secara rutin dan berkala. Pemeriksaan tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran umum tentang pengurusan keuangan negara yang dapat mengungkapkan dan memberikan penilaian terhadap pertanggungjawaban keuangan negara sesuai dengan tujuan pemeriksaan yang dilakukan, yakni menilai tentang: ketepatan operasi keuangan, kelayakan laporan keuangan, ketertiban administrasi dan ketaatan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan penggunaan uang belanja dilakukan dengan cara-cara yang dapat dipertanggungjawabkan.

2) Fungsi rekomendasi, adalah menyampaikan pertimbangan dan saran kepada pemerintah mengenai hal-hal yang bersifat penyempurnaan yang mendasar, strategis dan berskala nasional dibidang pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

3) Fungsi quasi yudisial, yaitu menjalankan proses tuntutan perbendaharaan terhadap bendahara yang merugikan negara karena lalai atau alpa atau bersalah dalam melaksanakan tugasnya dan memberikan pertimbangan kepada pemerintah atas proses Tuntutan Ganti Rugi terhadap Pegawai Negeri bukan Bendaharawan yang merugikan negara.

Dalam menjalankan fungsi-fungsinya di atas kinerja auditor BPK RI dapat

diukur dari banyaknya produk yang dihasilkan yaitu berupa temuan pemeriksaan

yang dituangkan dalam Hasil Pemeriksaan (HP) maupun yang dituangkan dalam

(21)

Hasil Pemeriksaan Semester (HAPSEM) serta saran yang ditindaklanjuti oleh auditee. Dengan demikian dapat dikatakan kinerja auditor adalah kemampuan dari seorang auditor menghasilkan temuan atau hasil pemeriksaan dari kegiatan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab Keuangan Negara yang dilakukan dalam satu tim pemeriksaan.

Sebagai tolak ukur yang dapat dipergunakan dalam menilai kinerja auditor BPK RI, yaitu dengan melihat output yang berupa produktivitas auditor, yaitu seberapa banyak hasil pemeriksaan yang dihasilkan auditor dalam setiap pemeriksaan, di samping itu juga dapat dilihat besarnya outcome, yang berupa realisasi tindak lanjut saran/ rekomendasi hasil pemeriksaan BPK RI yang dilaksanakan oleh pemerintah/ entitas yang diperiksa.

Indikator Kinerja Auditor

Berdasarkan pengertian-pengertian yang telah disampaikan di atas, maka indikator-indikator kinerja auditor BPK RI dalam penelitian ini dapat dilihat dari prestasi atau hasil yang dicapai auditor dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya sebagai berikut: (a) pemeriksaan, yang bertujuan memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab Keuangan Negara, (b) merekomendasikan dan menyampaikan pertimbangan dan saran kepada pemerintah, dan (c) mengadakan dan menetapkan tuntutan perbendaharaan dan memberikan pertimbangan kepada pemerintah atas pelaksanaan tuntutan ganti rugi.

2.2 Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya

Penelitian Yanhari (2007), Asri Megaliani (2007) dan Adi Wijaya (2006)

adalah penelitian sebelumnya yang menjadi rujukan penelitian ini. Penelitian yang

(22)

dilakukan oleh Yanhari (2007) dengan skripsi yang berjudul ”Analisis Profesionalisme dan Etika Profesi Auditor terhadap Kinerja Auditor (Studi Kasus Pada Badan Pemeriksa Keuangan RI di Jakarta)”. Variabel independen yang digunakan adalah profesionalisme dan etika profesi, sedangkan variabel dependennya adalah kinerja auditor. Level of significant ditetapkan 5%.

Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa variabel profesionalisme dan etika profesi mempunyai hubungan yang signifikan dengan kinerja auditor.

Temuan lainnya bahwa secara simultan maupun parsial, profesionalisme dan etika profesi auditor berpengaruh terhadap kinerja auditor dan signifikan secara statistik. Kontribusi pengaruh profesionalisme dan etika profesi secara bersama- sama dengan kinerja auditor ditunjukkan dengan nilai R

2

sebesar 0,667, artinya variasi perubahan kinerja auditor dipengaruhi oleh profesionalisme dan etika profesi auditor secara bersama-sama sebesar 66,7 %, sedang sisanya sebesar 31,3

% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak dimasukkan dalam model.

Persamaan dengan penelitian ini yaitu menggunakan profesionalisme dan etika profesi sebagai variabel independen dan kinerja auditor sebagai variabel dependen. Sedangkan perbedaannya yaitu lokasi penelitian, dan dalam penelitian ini menambahkan dua variabel independen yaitu tingkat pendidikan dan pengalaman kerja.

Asri Megaliani (2007), penelitiannya berjudul ”Pengaruh Tingkat

Pendidikan, Pengalaman Kerja dan Komponen Profesionalisme Auditor terhadap

Tingkat Materialitas dalam Pemeriksaan Laporan Keuangan pada Kantor Akuntan

Publik di Wilayah Bali.” Pengujian hipotesis digunakan analisis linier berganda

(23)

dengan tingkat keyakinan 5%. Pengujian hipotesis secara simultan (serempak) terhadap variabel tingkat pendidikan auditor, pengalaman kerja auditor dan profesionalisme auditor menunjukkan adanya pengaruh positif dan signifikan secara statistik terhadap tingkat materialitas. Pengujian hipotesis secara parsial untuk variabel pengabdian pada profesi dan kepercayaan terhadap profesi tidak berpengaruh terhadap tingkat materialitas. Sedangkan variabel tingkat pendidikan auditor, pengalaman kerja auditor, kewajiban sosial, kemandirian dan hubungan dengan rekan seprofesi mengindikasikan adanya pengaruh yang positif dan signifikan secara statistik terhadap tingkat materialitas dalam pemeriksaan laporan keuangan.

Persamaan dengan penelitian ini yaitu menggunakan variabel independen yang sama yaitu tingkat pendidikan, pengalaman kerja dan profesionalisme.

Sedangkan variabel dependen yang digunakan berbeda, yaitu pada penelitian ini menggunakan variabel kinerja auditor. Secara tidak langsung penentuan tingkat materialitas merupakan salah satu wujud dari kinerja.

Adi Wijaya (2006) dengan penelitian berjudul ”Pengaruh Tingkat

Pendidikan dan Pengalaman Kerja Auditor terhadap Rentang Waktu Penyelesaian

Audit pada Kantor Akuntan Publik di Bali.” Penelitian menemukan bahwa

terdapat pengaruh tingkat pendidikan dan pengalaman kerja auditor terhadap

rentang waktu penyelesaian audit pada Kantor Akuntan Publik di Bali. Besarnya

pengaruh variasi tingkat pendidikan dan pengalaman kerja auditor terhadap

rentang waktu penyelesaian audit adalah sebesar 13,7 % sisanya sebesar 86,3 %

dipengaruhi oleh faktor lain di luar model. Berdasarkan t-tes yg dilakukan, tingkat

(24)

pendidikan auditor tidak berpengaruh terhadap rentang waktu penyelesaian audit.

Berbeda dengan variabel pengalaman kerja auditor, variabel ini berpengaruh terhadap rentang waktu.

Persamaan dengan penelitian ini yaitu menggunakan variabel independen yang sama yaitu tingkat pendidikan dan pengalaman kerja. Sedangkan variabel dependen yang digunakan berbeda, yaitu pada penelitian ini menggunakan variabel kinerja auditor, yang mana tolak ukur yang dapat dipergunakan dalam menilai kinerja auditor BPK RI, yaitu banyaknya hasil pemeriksaan yang dihasilkan auditor dalam setiap pemeriksaan. Sehingga semakin pendek rentang waktu penyelesaian satu audit semakin banyak hasil pemeriksaan yang dapat dihasilkan oleh auditor. Rentang waktu pun menjadi salah satu wujud dari kinerja auditor. Ringkasan penelitian-penelitian terdahulu disajikan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Ringkasan Penelitian Terdahulu

No Peneliti

Variabel

Teknik Analisis

Hasil Dependen Independen

1 Yanhari (2007)

Kinerja Auditor Profesionalisme dan etika profesi

Korelasi Produk Momen dan analisis Regresi Berganda

1) Profesionalisme dan etika profesi berhubungan positif dan signifikan secara simultan dengan kinerja auditor;

2) Profesionalisme dan etika profesi berpengaruh positif dan signifikan secara parsial dengan kinerja auditor.

2 Ni Putu Asri Megaliani (2007)

Tingkat Materialitas Laporan Keuangan

Tingkat Pendidikan, Pengalaman Kerja, dan Komponen

Analisis Linier Berganda

1) Tingkat pendidikan, pengalaman kerja dan komponen

profesionalisme

secara simultan

(25)

Profesionalisme berpengaruh terhadap tingkat materialitas laporan keuangan;

2) Komponen profesionalisme (pengabdian pada profesi dan

kepercayaan terhadap profesi) tidak berpengaruh pada tingkat materialitas laporan keuangan;

3) Tingkat pendidikan, pengalaman kerja, kewajiban sosial, kemandirian dan hubungan dengan rekan seprofesi berpengaruh positif dan signifikan secara statistis dengan tingkat materialitas laporan keuangan.

3 I Gusti Bagus Adi Wijaya (2006)

Rentang waktu penyelesaian audit

Tingkat Pendidikan dan Pengalaman Kerja

Analisis Regresi Berganda

1) Pengaruh tingkat pendidikan dan pengalaman kerja secara simultan berpengaruh terhadap rentang waktu penyelesaian audit;

2) Besarnya pengaruh variasi tingkat pendidikan dan pengalaman kerja auditor terhadap rentang waktu penyelesaian audit sebesar 13,7%;

3) Tingkat pendidikan tidak berpengaruh terhadap rentang waktu penyelesaian audit;

4) Pengalaman kerja auditor berpengaruh positif dan signifikan secara strategis terhadap rentang waktu penyelesaian audit.

Sumber: Data diolah, 2008.

(26)

2.3 Pengembangan Hipotesis

2.3.1 Pengaruh Profesionalisme terhadap Kinerja Auditor

Hardjana (2002) dan Tangkilisan (2005) menyatakan bahwa seseorang disebut profesionalisme apabila ia menjalani profesinya sesuai dengan keahlian yang dimiliki. Seorang auditor yang menjalankan tugas profesi dengan sungguh- sungguh maka kinerjanya akan optimal/ baik. Oleh karena itu, pencapaian hasil kerja auditor, baik secara kuantitas maupun secara kualitas memerlukan auditor- auditor yang memiliki profesionalisme yang tinggi, yaitu mempunyai suatu keandalan dalam pelaksanaan tugas sehingga terlaksana dengan mutu tinggi dan waktu yang tepat serta cermat. Yanhari (2007) menemukan bahwa variabel profesionalisme berpengaruh terhadap kinerja auditor dan signifikan secara statistik. Berdasarkan penjelasan di atas, maka hipotesis dapat dirumuskan sebagai berikut:

H

1

: Profesionalisme berpengaruh positif terhadap kinerja auditor.

2.3.2 Pengaruh Etika Profesi terhadap Kinerja Auditor

Etika Profesi ini merupakan landasan etika atau moral yang harus dipahami dan dilaksanakan oleh setiap auditor (Arens, 2003:71). Pemahaman etika ini tentunya akan mengarahkan sikap, tingkah laku dan perbuatan auditor dalam mencapai hasil yang lebih baik. Yanhari (2007) juga menemukan bahwa variabel etika profesi auditor berpengaruh terhadap kinerja auditor dan signifikan secara statistik. Berdasarkan penjelasan di atas, maka hipotesis dapat dirumuskan sebagai berikut:

H

2

: Etika profesi berpengaruh positif terhadap kinerja auditor.

(27)

2.3.3 Pengaruh Tingkat Pendidikan terhadap Kinerja Auditor

Penelitian Deis and Giroux (dalam Anas Farkhani, 2004) menunjukkan pendidikan (education) merupakan salah satu faktor yang memengaruhi kualitas audit. Dengan tingkat pendidikan yang memadai, seorang auditor dapat menjalankan profesinya seefektif dan seefisien mungkin. Hal ini tentu akan berpengaruh pada kinerja auditor. Asri Megaliani (2007) menemukan bahwa variabel tingkat pendidikan auditor menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan dan positif terhadap tingkat materialitas dalam pemeriksaan laporan keuangan. Hipotesis yang dapat dikembangkan dari argumen di atas adalah sebagai berikut:

H

3

: Tingkat pendidikan berpengaruh positif terhadap kinerja auditor.

2.3.4 Pengaruh Pengalaman Kerja terhadap Kinerja Auditor

Pengalaman kerja dipandang sebagai faktor penting dalam memprediksi dan menilai kinerja auditor dalam melakukan pemeriksaan, karena telah dibuktikan oleh Neni Meidawati (dalam Widagdo, Lesmana dan Irwandi, 2002) yang menemukan bahwa tingkat kesalahan yang dibuat auditor yang tidak berpengalaman lebih banyak daripada auditor yang berpengalaman. Seorang auditor dapat menjalankan profesinya seefektif dan seefisien mungkin dengan adanya pengalaman kerja yang cukup. Sehingga pengalaman kerja akan memiliki pengaruh terhadap kinerja auditor.

Asri (2007) menemukan bahwa variabel pengalaman kerja auditor

menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan dan positif terhadap tingkat

materialitas dalam pemeriksaan laporan keuangan. Sedangkan dalam penelitian

(28)

Adi Wijaya (2006), ditemukan bahwa terdapat pengalaman kerja berpengaruh positif terhadap rentang waktu penyelesaian audit pada Kantor Akuntan Publik di Bali. Berdasarkan penjelasan di atas dapat dikembangkan hipotesis sebagai berikut:

H

4

: Pengalaman kerja berpengaruh positif terhadap kinerja auditor.

2.4 Model Penelitian

Berdasarkan argumentasi teori dan hasil-hasil penelitian yang disintesakan ke dalam rumusan hipotesis maka variabel profesionalisme, etika profesi auditor, tingkat pendidikan dan pengalaman kerja diduga berpengaruh positif terhadap kinerja auditor BPK RI. Secara skematis penelitian ini dapat disajikan seperti gambar 2.1.

Gambar 2.1 Model Penelitian

Profesionalisme

Etika Profesi Auditor

Tingkat Pendidikan

Pengalaman Kerja

Kinerja Auditor BPK RI (+)

(+)

(+)

(+)

Gambar

Tabel 2.1 Ringkasan Penelitian Terdahulu
Gambar 2.1 Model Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Sementara itu, berdasarkan UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, Pemeriksaan Keuangan adalah meliputi

15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Sam

Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, laporan hasil pemeriksaan keuangan, laporan hasil pemeriksaan kinerja dan laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan

Badan Pemeriksa Keuangan, yang selanjutnya disingkat BPK, adalah lembaga negara yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana

Badan Pemeriksa Keuangan, yang selanjutnya disingkat BPK, adalah lembaga negara yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara

Badan Pemeriksa Keuangan, yang selanjutnya disingkat BPK, adalah lembaga negara yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara

Pemeriksaan Inventarisasi dan Pemeriksaan Rutin Pada waktu pemeriksaan inventarisasi jembatan, inspektur harus memeriksa semua aspek pada jembatan, sehingga dapat memastikan bahwa

Dalam menjalankan tugasnya untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, salah satunya adalah BPK memeriksa laporan keuangan pemerintah daerah sebagaimana dijelaskan