• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Deskriptif Mengenai Kematangan Spiritual Dengan Menggunakan Pengukuran Eksplisit dan Implisit Pada Pasien Penyakit Jantung Koroner di Rumah Sakit "X" Kota Bandung.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Deskriptif Mengenai Kematangan Spiritual Dengan Menggunakan Pengukuran Eksplisit dan Implisit Pada Pasien Penyakit Jantung Koroner di Rumah Sakit "X" Kota Bandung."

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

Abstrak

Penelitian ini ditujukan untuk melihat gambaran mengenai variabel yaitu kematangan spiritual baik secara eksplisit yaitu melalui kuesioner Spiritual Attitude and Involvement List (SAIL, 2008) oleh Meezenbroek, dkk maupun pengukuran implisit melalui Implicit Association Test (IAT, 2011) berdasarkan konsep Greenwald, dkk, 2003 untuk mengukur seberapa positif atau negatif kematangan spiritual pasien PJK di Rumah Sakit “X” kota Bandung, yang didukung oleh faktor-faktor yang mempengaruhi kematangan spiritual yang dikemukakan oleh Taylor (1997) dan Craven & Hirnle (1996) dalam Hamid (2000). sData yang diperoleh diolah menggunakan uji korelasi Spearman deng nprogram SPSS 17. Sampel diambil dengan menggunakan metode snowball technique dengan jumlah 30 orang. Data yang diperoleh diolah dengan skoring manual pada kuesioner SAIL dan menghitung D IAT-effect pada tes IAT. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan penelitian deskriptif.

Berdasarkan hasil pengolahan data, nilai rata-rata (mean) dari pengukuran eksplisit adalah 123,8 yang menunjukkan hasil positif dan pengukuran implisit terdapat waktu yang lebih cepat pada compatible dibandingkan yang incompatible (1745,18ms<2472,68ms) dengan hasil D IAT-effect = 1,58 sehingga menunjukkan hasil yang positif pula.

(2)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN

LEMBAR ORISINALITAS LAPORAN

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH

Abstrak...………i

Kata Pengantar………..….…..….ii

Daftar Isi……….…………..…....vi

Daftar Bagan dan Tabel……….……...x

Daftar Lampiran………....xii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah………...1

1.2 Identifikasi Masalah………...9

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian………...10

1.3.1 Maksud Penelitian………..10

1.3.2 Tujuan Penelitian………10

1.4 Kegunaan Penelitian………..10

1.4.1 Kegunaan Teorits………...10

1.4.2 Kegunaan Praktis………11

1.5 Kerangka Pemikiran………...………11

(3)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Kematangan Spiritual………...21

2.1.1 Pengertian Spiritualitas……….……21

2.1.2 Spiritualitas VS Agama……….22

2.1.3 Proses Perkembangan Spiritual……….23

2.1.3.1 Perkembangan Spiritual Kirkpatrick………..24

2.1.4 Kematangan Spiritual………25

2.1.4.1 Kematangan Spiritual secara Eksplisit………...26

2.1.4.2 Kematangan Spiritual secara Implisit………27

2.1.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi Kematangan Spiritual………....31

2.2 Penyakit Jantung Koroner 2.2.1 Definisi Penyakit Jantung Koroner………...34

2.2.2 Patofisiologi Penyakit Jantung Koroner………...35

2.2.3 Gejala Penyakit Jantung………37

2.2.4 Faktor-faktor Resiko Penyebab PJK……….38

2.2.4.1 Faktor Resiko yang Tidak Dapat Diubah………...39

2.2.4.2 Faktor Resiko yang Dapat Diubah……….………40

2.2.5 Pencegahan Penyakit Jantung Koroner……….43

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian………...48

3.2 Prosedur Penelitian………...………...48

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

(4)

3.3.1 Variabel Penelitian………48

3.3.2 Definisi Operasional……….49

3.4 Alat Ukur 3.4.1 Spiritual Attitude and InvolvementList (SAIL, 2008)….………….50

3.4.2 Implicit Association Test (IAT, 2011)……….….54

3.4.3 Kategorisasi Kematangan Spiritual secara Eksplisit dan Implisit 3.4.3.1 Kategori Positif Kematangan Spiritual………..59

3.4.3.2 Kategori Negatif Kematangan Spiritual……….59

3.4.4 Data Pribadi dan Penunjang………..59

3.5 Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel 3.5.1 Populasi Sasaran………...60

3.5.2 Karakteristik Populasi………...60

3.5.3 Teknik Penarikan Sampel………..………...60

3.6 Teknik Analisis Data……….………...61

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Responden………..62

4.2 Gambaran Hasil Penelitian………..64

4.3 Pembahasan……….68

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan………..80

5.2 Saran………81

(5)

Daftar Pustaka……….……….………...83

Daftar Rujukan……….………….……….…...84

LAMPIRAN

(6)

DAFTAR BAGAN DAN TABEL

Bagan

Bagan 1.1 Kerangka Pemikiran Bagan 3.1 Prosedur Penelitian

Tabel

Tabel 3.1 Kisi-kisi Alat Ukur Spiritual Attitude and Involvement List (SAIL) Tabel 3.2 Kisi-kisi Alat Ukur Implicit Association Test (IAT)

Tabel 4.1 Rentang Usia

Tabel 4.2 Tabel Presentase Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin Tabel 4.3 Tabel Presentase Berdasarkan Pendidikan Terakhir Tabel 4.4 Tabel Presentase Berdasarkan Pekerjaan

Tabel 4.5 Tabel Presentase Kematangan Spiritual Pasien Penyakit Jantung Koroner

Tabel 4.6 Tabel Presentase Seluruh Dimensi kematangan Spiritual Tabel 4.7 Tabel Hasil Kematangan Spiritual IAT

Tabel 4.8 Tabel Tabulasi Silang Kematangan Spiritual dengan Tahap Perkembangan

Tabel 4.9 Tabel Tabulasi Silang Kematangan Spiritual dengan Peranan Keluarga mengenai Perkembangan Spiritual

(7)

Tabel 4.11 Tabel Tabulasi silang kematangan spiritual dengan pengalaman hidup sebelumnya

Tabel 4.12 Tabel Tabulasi Silang Kematangan Spiritual dengan Krisis dan Perubahan

Tabel 4.13 Tabel Tabulasi Silang Kematangan Spiritual dengan terpisah dari ikatan spiritual

Tabel 4.14 Tabel Tabulasi Silang Kematangan Spiritual dengan Isu Moral yang terkait terapi

(8)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN I DATA PRIBADI & PENUNJANG

LAMPIRAN II ALAT UKUR KEMATANGAN SPIRITUAL EKSPLISIT (SAIL, 2008)

LAMPIRAN III ALAT UKUR KEMATANGAN SPIRITUAL IMPLISIT (IAT, 2011)

LAMPIRAN IV HASIL SKORING ALAT UKUR EKSPLISIT (SAIL, 2008)

LAMPIRAN V HASIL SKORING ALAT UKUR KEMATANGAN SPIRITUAL IMPLISIT (IAT, 2011)

LAMPIRAN VI HASIL REKAP DATA PRIBADI DAN PENUNJANG

                                     

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Salah satu penyakit yang merupakan pembunuh nomor satu di dunia

adalah penyakit jantung. Saat ini sudah tercatat 78 % kematian global akibat

penyakit jantung yang terjadi di status sosial ekonomi rendah maupun status sosial

ekonomi tinggi. Berdasarkan kondisi tersebut, penyakit jantung menjadi perhatian

utama penyebab kematian di negara maju juga di negara berkembang. Organisasi

Kesehatan Dunia (WHO, 2009) melaporkan bahwa Penyakit Jantung Koroner

(PJK) merupakan penyakit yang paling banyak diderita.Misalnya seperti di

Amerika Serikat, penyakit ini merupakan penyebab kematian utama pada orang

dewasa. Setiap tahunnya, sekitar 550.000 jiwa meninggal karena PJK, 1.5 juta

jiwa mengalami serangan jantung, 300.000 jiwa menjalani angioplasti

(pemasangan cincin, STENT, atau Ring pada pembuluh darah koroner) dan

407.000 jiwa menjalani operasi by pass (bedah pintas koroner).Di Eropa

diperhitungkan kurang lebih 20.000 - 40.000 orang mengalami PJK (Majid,

2007).

Angka kematian di Indonesia akibat PJK mencapai 26% dibandingkan

dengan kanker yang hanya menyebabkan 6% dari kematian (Depkes RI, 2006).

Angka kematian akibat PJK diperkirakan mencapai 53,5% per 100.000 penduduk

di Indonesia (HIMAPID, 2008). Data di Rumah Sakit “X” Bandung misalnya,

(10)

  2

yang memiliki PJK berkisar antara 318 orang dengan jumlah pasien dengan jenis

kelamin laki-laki adalah 246 orang atau 77,35% dan yang berjenis kelamin

perempuan sebanyak 72 orang atau 22,65 % (Ginting, 2010).

PJK umumnya disebabkan antara lain karena hipertensi dan kolesterol

tinggi yang juga merupakan salah satu penyebab utama terjadinya serangan

jantung akibat penebalan bagian dalam pembuluh darah (atherosclerosis).

Penyakit ini relatif lebih sering menyerang orang-orang pada usia Dewasa

Pertengahan (Middle Age) meskipun pada beberapa kasus dapat juga menyerang

orang dewasa muda.

Setelah menjalani pengobatan medis beberapa pasien PJK merasa khawatir

akibat angina (nyeri dada), mudah depresi dan marah, kehilangan harapan,

produktivitas menurun, gangguan tidur, dan menurunnya gairah seksual. Namun,

ada juga pasien yang tidak mengalami masalah-masalah tersebut (Ginting,

Becker, & Naring, 2011). Perbedaan-perbedaan reaksi ini dapat disebabkan juga

oleh beberapa faktor, yaitu: kepribadian dari pasien, latar belakang budaya,

coping strategy, dukungan sosial, tingkat pemahaman mengenai PJK, dan

religiusitas (Hughes, et al., 2004; Morrison & Bennet, 2006, Taylor, 2006).

Di Indonesia, pasien-pasien dan keluarganya hampir selalu mencari

pengobatan yang bersifat non-medis dan kembali pada agama untuk menghadapi

penyakit kronis (Puruhito, 1998). Pengobatan non-medis ini dapat berupa

dukungan sosial dan pendekatan kepada Tuhan (seperti doa bersama atau

memohon pengampunan dosa) atau melalui penyembuhan tradisional

(11)

  3

bahwa agama dengan melakukan pendekatan kepada Tuhan seperti berdoa dan

memohon pengampunan dosa memiliki pengaruh yang kecil dalam mengatasi

PJK, namun pengalaman spiritual dan aktivitasnya memiliki pengaruh yang besar

terhadap kecemasan pasien PJK dalam menghadapi gejala-gejala penyakit yang

muncul (Koenig, McCullogh, & Larson, 2001).

Sebelum menemukan definisi yang cocok tentang spiritualitas, terlebih

dahulu dibedakan antara agama dan spiritualitas. Agama mengacu pada institusi,

dogmatis, dan aturan-aturan, sedangkan spiritualitas bersifat personal, subjektif,

dan peningkatan kualitas hidup. Akan tetapi, secara empiris banyak orang yang

menyatakan dirinya beragama dan sekaligus spiritual karena spiritualitas adalah

kunci atau fungsi yang unik dalam agama (Synder, 2000).

Selanjutnya, pada abad ke-21 ini keilmuan psikologi memunculkan konsep

spiritual intelligence dari Danah Zohar dan Ian Marshall melalui buku mereka

yang berjudul Spiritual Intelligence (SQ), The Ultimate Intelligence (2000).

Kedua ahli tersebut mendefinisikan istilah spiritual intelligence sebagai dorongan

dari dalam diri individu untuk mendapatkan makna dan nilai-nilai yang lebih

tinggi melalui pengalaman pribadi maupun dalam lingkungan sosial. Pargament

dan Mahoney (Snyder, 2000) mengakui sulitnya merumuskan suatu definisi yang

akurat tentang spiritualitas. Bahkan para ahli psikologi pun memandang konsep

ini secara berbeda-beda. Definisi tersebut bergerak dari dimensi manusia, arti

eksistensial, dan kepercayaan kepada Tuhan.

Terdapat beberapa data dari para ahli psikologi yang menunjukkan

(12)

  4

masalah kesehatan fisik dan mental. Spiritualitas merupakan fakta kultural dimana

hampir seluruh manusia di dunia memiliki dan mengakuinya secara sadar maupun

tidak sadar. Misalnya dari hasil survei, diperoleh 95% penduduk Amerika percaya

akan keberadaan Tuhan. 86% dari mereka percaya bahwa Tuhan dapat menjamah

mereka melalui doa dan ritual lainnya (Snyder, 2002). Pada kenyataannya,

pengakuan akan keberadaan Tuhan dapat terlihat ketika seseorang menderita sakit

yang cukup parah. Baik penderita maupun keluarga yang telah berupaya mencari

pengobatan medis, tetapi sadar atau tidak sadar mereka melibatkan Tuhan pada

situasi penyakit tersebut baik dalam bentuk harapan maupun menyalahkan.

Bentuk penghayatan atas keterlibatan Tuhan dalam situasi penyakit jantung

koroner misalnya, merupakan cermin dari kematangan spiritual seseorang.

Kematangan spiritual seseorang dapat dilihat melalui dinamika proses di

dalam diri individu untuk menemukan arti melalui keyakinan,

pengetahuan/pengertian, dan perasaan mengenai lingkungan paling akhir (ultim)

(Cremer, 1995). Definisi ini mengandung penegasan akan pentingnya hidup

dalam hubungannya dengan diri, masyarakat, dan Tuhan sebagai upaya untuk

memercayakan dan menyerahkan diri kepada nilai yang melampaui individu

melalui proses mencari (search), menemukan, dan mempertahankan hubungan

dengan Tuhan (Synder, 2002). Oleh karenanya spiritualitas didefinisikan sebagai

kecenderungan untuk membuat makna melalui rasa keterkaitan dimensi yang

melampaui diri sedemikian rupa dan tidak menurunkan arti eksistensial dalam diri

orang tersebut (Synder, 2002). Keterkaitan ini dapat dirasakan secara

(13)

  5

Keterkaitan yang dirasakan secara intrapersonal dapat dilihat melalui

individu dengan merasakan bahwa apa yang dilakukannya memiliki arti dan

tujuan, yakin dapat mengatasi kesulitan dalam hidup dan menjalani hidup apa

adanya serta menerima bahwa Tuhan telah memiliki rencana untuk kehidupannya.

Keterkaitan yang dirasakan dengan orang lain ditunjukkan melalui kepedulian dan

perhatian kepada orang lain dengan mencoba membantu di saat orang lain

mengalami kesulitan dan membutuhkan bantuannya. Keterkaitan dengan alam

dapat dilihat melalui perilaku, seperti mendapatkan semangat dari alam karena

keindahannya serta merasakan kedekatan dengan Tuhan saat berada di alam

terbuka. Keterkaitan dengan Tuhan terlihat melalui individu yang melakukan

aktivitas spiritual kemudian merasakan kedamaian dalam batin serta merasakan

kehadiran Tuhan sehingga individu tersebut merasa dibimbing oleh kekuatan atau

kekuasaan yang lebih tinggi darinya (Meezenbroek, dkk , 2003).

Beberapa penelitian dalam bidang psikologi menemukan bahwa apabila

individu menganggap Tuhan mengasihi, menolong, dan sebagai figur yang

responsif maka individu tersebut memiliki level kebahagiaan yang lebih tinggi

(higher levels of well being). Sedangkan individu yang menghayati Tuhan jauh

darinya, menyakiti, menakutkan, dan menghukum menunjukkan level stres yang

lebih tinggi (Pargament, 1999). Dari hasil penelitian ini dapat dilihat bagaimana

spiritual yang matang dapat memberikan ketenangan bagi individu dan meredakan

kecemasan yang pada akhirnya dapat mengurangi rasa sakit secara fisik. Akan

tetapi dalam proses pencarian, menemukan, dan mempertahankan makna terhadap

(14)

  6

kecemasan di dalam dirinya sehingga meningkatkan penghayatan terhadap rasa

sakit. Hal ini oleh Freud dijelaskan dengan adanya perasaan bersalah (guilty

feeling) karena kuatnya super ego sehingga self mengalami kekacauan dalam

bentuk kecemasan.

Kecemasan merupakan salah satu faktor psikologis yang menyebabkan

munculnya keluhan fisik seperti gejala sakit jantung, hipertensi, migraine, vertigo

dan jenis psikosomatis maupun neurotis lainnya serta peningkatan penghayatan

terhadap rasa sakit. Peningkatan penghayatan terhadap rasa sakit ini bisa

memunculkan sebuah respon dimana pasien mulai berusaha untuk meyakinkan

dirinya. Salah satunya melalui doa yang memiliki fungsi untuk meredakan rasa

sakitnya tersebut. Saat berdoa pasiendengan PJK akan menjadi lebih tenang dan

bernapas dengan teratur, kondisi ini bisa membuat mereka menjadi lebih tenang

sehingga bisa mengendalikan amarahnya dan menemukan akar permasalahan dari

rasa sakitnya tersebut. Namun ada juga yang tetap merasa kesulitan saat

meyakinkan dirinya melalui doa. Di sinilah perbedaan setiap individu yang

mengalami PJK.

Dari hasil wawancara terhadap 10 orang pasien PJK yang ada di Rumah

Sakit “X”kota Bandung, sebanyak 90% untuk memohon penyembuhan dengan

pasrah kepada Tuhan dan tetap mencoba untuk berbuat sebaik mungkin untuk

kesehatan jantungnya, seperti berolahraga ataupun mengatur pola makannya.

Namun, sebanyak 10% yang mengatakan pasrah kepada Tuhan, tetapi tidak

mengubah perilaku hidup sehatnya dengan tetap mencuri-curi waktu untuk

(15)

  7

dan merasa bahwa meskipun dirinya sudah didiagnosa oleh dokter spesialis

bahwa dirinya memiliki PJK, tetaplah Tuhan yang mengatur kapan kehidupannya

akan berakhir.

Selain itu, hasil wawancara menunjukkan 70% pasien merasa tidak lagi

dekat dengan tetangga ataupun teman-temannya. Mereka hanya bersosialisasi

dengan keluarga inti (suami/istri, anak atau cucu) dan masih mendekatkan diri

dengan Tuhan melalui ritual keagamaan. Sebanyak 30% lainnya masih

bersosialisasi dengan teman-teman melalui keikutsertaan mereka dalam aktivitas

keagamaan, seperti mengikuti paduan suara, menjadi pemimpin khotbah, ataupun

menjadi pengurus tempat ibadah dan tetap mendekatkan diri pada Tuhan dengan

cara menjalankan ritual keagamaannya.

Dalam berbagai pengobatan yang dilakukan para pasien PJK di Rumah

Sakit “X” 70% pasien yang setelah didiagnosa oleh dokter langsung mengikuti

saran dokter dengan menjalani operasi STENT, RING, atau bedah pintas. Namun

ditemukan 10% pasien langsung menggunakan pengobatan alternatif setelah

didiagnosa memiliki PJK, baik yang masih berupa fisik seperti akupuntur ataupun

kembali pada agama seperti meminum air doa dan menjalankan ritual doa yang

merujuk pada agamanya dan terdapat peningkatan kesehatan jantungnya setelah

menjalani pengobatan alternatif. Pasien yang memilih menggunakan pengobatan

alternatif ini merasa dengan pengobatan ini pola makan, olahraga, dan aktivitas

keagamaannya bisa menjadi lebih teratur dibandingkan dengan operasi yang

tersedia di Rumah Sakit. Operasi yang disediakan bisa saja terulang berkali-kali

(16)

  8

plak bisa muncul kembali di pembuluh darah jantung yang lainnya. Terdapat pula

20% pasien yang sudah menjalani operasi STENT, RING, atau bedah pintas tetapi

juga menggunakan pengobatan alternatif lainnya dan hanya merasakan

peningkatan kesehatan jantung sesaat setelah mengikuti pengobatan alternatif.

Pasien yang menjalani operasi dan menggunakan pengobatan alternatif

menyatakan menggunakan pengobatan alternatif karena ingin mencoba

pengobatan yang lebih murah, tetapi pada kenyatannya tidak terlalu memiliki

pengaruh terhadap kesehatan jantungnya dibandingkan dengan menjalani operasi.

Perilaku yangmereka katakan dimana mereka dapat memohon kepada Tuhan dan

akhirnya bisa meredakan kecemasan mereka di saat mereka mengalami

gejala-gejala PJK merupakan perilaku yang terlihat. Jawaban tersebut banyak disadari

oleh masyarakat bahwa mereka lebih baik mengatakan suatu hal yang sesuai

dengan aturan atau norma sosial (social desirablity). Apalagi pertanyaan yang

diajukan adalah mengenai kematangan spiritual yang merupakan keyakinan, suatu

hal yang abstrak dan tidak dapat dilihat secara langsung oleh orang lain.

Oleh karena itu diperlukan alat ukur lain yang dapat menjaring gambaran

pasien PJK secara komprehensif, yaitu pengukuran secara implisit yang disertai

dengan pengukuran eksplisit melalui kuesioner karena hasil dari pengukuran

implisit ini akan sangat berbahaya jika tanpa pengukuran perilaku yang dapat

diobservasi. Oleh karena itu, pengukuran secara eksplisit pun diperlukan (Blanton

& Jaccard, 2006). Pengukuran implisit ini didasarkan pada teori Donders bahwa

(17)

  9

variabel yang berhubungan dengan belief atau stereotipe tertentu (Lane dkk.,

2007), sehingga dapat memunculkan respon yang sebenarnya.

Pengukuran implisit dikembangkan berdasarkan logika bahwa dengan

mengukur waktu merespon antara dua pasang target dan atribut dapat mengukur

asosiasi yang kuat dari kedua target dan atribut tersebut, Jadi, semakin cepat

pasien PJK merespon, maka semakin kuat asosiasi antara kedua atribut dan target.

Selanjutnya hasil dari alat ukur implisit dilihat secara bersamaan dengan alat ukur

eksplisit. Jika kedua alat ukur memiliki hasil yang relatif sama maka kedua alat

ukur tersebut mengukur variabel yang sama dan menghasilkan gambaran yang

benar-benar menunjukkan diri individu apa adanya (LaBouff, 2008).

Berdasarkan keseluruhan gambaran di atas, peneliti bermaksud meneliti

tentang kematangan spiritual dengan menggunakan pengukuran eksplisit dan

implisit pada pasien Penyakit Jantung Koroner di Rumah Sakit “X” kota

Bandung.

1.2 Identifikasi Masalah

Penelitian ini disusun untuk mengetahui bagaimana gambaran mengenai

kematangan spritual dengan menggunakan pengukuran eksplisit dan implisit pada

(18)

  10

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1 Maksud Peneltian

Maksud dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai

kematangan spiritual dengan menggunakan pengukuran eksplisit dan implisit

pada pasien Penyakit Jantung Koroner di Rumah Sakit “X” kota Bandung.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran

mengenai kematangan spiritual yang terdiri atas hubungan seseorang dengan

dirinya sendiri, orang lain, dan Tuhan dengan menggunakan pengukuran eksplisit

dan implisit pada pasien Penyakit Jantung Koroner di Rumah Sakit “X” kota

Bandung dalam kaitannya dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Teoritis

Kegunaan teoritis dari penelitian ini antara lain untuk:

– Memberikan informasi mengenai kematangan spiritual khususnya pada

pasien Penyakit Jantung Koroner di Rumah Sakit “X” kota Bandung.

– Memberikan informasi bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian

lebih lanjut mengenai kematangan Spiritual pada pasien Penyakit Jantung

Koroner.

– Memperkenalkan teknik pengukuran implisit untuk meneliti tentang

(19)

  11

1.4.2 Kegunaan Praktis

Secara praktis penelitian ini antara lain dibuat untuk :

- Memberikan informasi dalam memperkaya pemahaman tentang

pentingnya perhatian terhadap kematangan spiritual dalam penanganan

kesehatan fisik, baik untuk keluarga pasien maupun masyarakat.

- Memberikan masukan kepada profesional, baik dokter, perawat dan

psikoterapis untuk memahami gambaran yang komprehensif mengenai

kematangan spiritual pada pasien Penyakit Jantung Koroner.

- Memberikan pengetahuan bagi para konselor khususnya yang

menggunakan metode pastoral, sehingga saran-saran yang diberikan

kepada klien sesuai dengan kematangan spiritualnya.

1.5 Kerangka Pemikiran

PJK merupakan sebuah pengalaman yang dapat mengubah kehidupan.

Bahkan mulai menjadi pemikiran tentang kedekatan dengan kematian dan

seringkali merupakan awal dari penyembuhan dan rehabilitasi dalam periode yang

panjang. Pasien juga dapat menjadi takut akan kemungkinan dari cacat seumur

hidup. Juga diikuti dengan rasa sakit dan ketidaknyamanan fisik, serta

ketergantungan terhadap orang lain. Akhirnya, perawatan medis yang dibutuhkan

mungkin tidak diterima oleh pasien karena mereka mempersepsikannya sebagai

hal yang “misterius” dan memiliki pengaruh yang negatif dalam tubuh karena

pasien tersugesti dengan pemikiran mengenai kematian (Byrne & Rosenman,

(20)

  12

Semakin banyak orang mencari arti dan tujuan dari kehidupan mereka

serta pengalaman spiritual untuk menghadapi situasi di luar kuasa manusia.

Termasuk di Indonesia, pasien-pasien dan keluarganya hampir selalu mencari

pengobatan yang bersifat non-medis dan kembali pada agama untuk menghadapi

penyakit kronis (Puruhito,1998) seperti PJK. Pengobatan non-medis ini dapat

berupa dukungan sosial dan pendekatan pada agama (seperti doa bersama atau

memohon pengampunan dosa) atau melalui penyembuhan tradisional

(supranatural).

Pendekatan pada agama dapat digambarkan melalui dimensi pemberian

arti (meaning making) yang merupakan upaya mencari terhadap subjek yang ultim

dan transenden. Dengan terus mempertanyakan dan mencari jawaban tentang

dengan apa dan siapa individu akhirnya menjalin hubungan pribadi yang

mendalam. Dalam hal ini individu merasa terpaut dan Tuhan merupakan tempat

bergantung. Dengan demikian dimensi pemberian arti merupakan pengalaman

atau penghayatan subjektif individu terhadap figur yang paling dapat diandalkan

dalam menghadapi tantangan hidup. Melalui penghayatan tersebut, individu mulai

menjalin dan mempertahankan hubungan dengan yang dimaknakan sebagai

transenden dan ultim. Dinamika inilah yang disebut sebagai spiritual oleh

Pargament (1999).

Istilah spiritus dalam bahasa Latin berarti ‘napas’, hal yang paling vital

dalam kehidupan (Thoresen & Harris, 2001). Reed (1992) mendefinisikan

spiritualitas berdasarkan konsep, studi empiris dan literatur keperawatan klinis

(21)

  13

dengan dimensi yang menghubungkan diri dengan Tuhan dalam cara yang

menguatkan dan tidak menggeser nilai individu. Keterhubungan ini mungkin

dialami secara intrapersonal (sebagai keterkaitan dengan diri sendiri),

interpersonal (dalam konteks orang lain dan lingkungan alam) dan transpersonal

(merujuk pada sensasi dari keterkaitan dengan yang tidak terlihat, Tuhan, atau

kekuatan yang lebih besar dari diri sendiri dan sumber yang biasa)” (Reed, 1992).

Keterhubungan juga merupakan tema yang penting dalam ‘humanistic religion’,

Fromm mempertimbangkan humanistic religion sebagai sebuah arahan dalam diri

yang merupakan “kehidupan dan keterkaitan yang otentik dengan dunia” (Fromm,

1981).

Sesuatu yang terhubung dalam diri dengan lingkungan dapat dipahami dari

teori Maslow. Maslow menggambarkan individu dalam hubungannya dengan inti

dari kehidupan, yaitu tiap-tiap individu yang terhubung dengan diri mereka

sendiri, seperti merasa tidak terganggu dengan dirinya sendiri, cemas, ataupun

merasa bersalah. Mereka akan memiliki hubungan yang mendalam dengan

lingkungan, orang lain, pekerjaan, ataupun musik dan mereka sering mendapatkan

pengalaman dengan yang transenden dalam momen yang menggembirakan

dengan merasa kagum, sempurna, kuat dan rendah hati yang dialami secara terus

menerus (Meezenbroek dkk., 2004).

Keterhubungan dengan diri sendiri adalah hubungan yang dialami mereka

diekspresikan merupakan benar-benar menampilkan diri mereka apa adanya tanpa

merasa bersalah ataupun cemas, harmoni dengan diri sendiri, kesadaran,

(22)

  14

Hedstrom, Hughes, Leaf, & Saunders, 1988; Howden, 1992; Hungelmann et al.,

1985; Mahoney & Graci, 1999; Young-Eisendrath & Miller, 2000).

Keterhubungan dengan orang lain dan alam merujuk pada belas kasihan,

kepedulian terhadap orang lain, bersyukur dan merasa kagum atas kehidupan yang

telah diberikan oleh Tuhan. Keterhubungan dengan yang transenden termasuk

dengan sesuatu di atas tingkat manusia, seperti alam semesta, keberadaan yang

transenden, kekuatan yang lebih tinggi atau Tuhan. Keterhubungan dengan yang

transenden adalah sebuah keyakinan kepada yang transenden bahwa terdapat

kekuatan yang melebihi mereka yang bisa mengatur untuk lebih kuat terhadap

penyakit yang sedang mereka hadapi.

Menurut Taylor (1997) dan Craven & Hirnle (1996) dalam Hamid (2000)

terdapat beberapa faktor yang penting yang dapat mempengaruhi kematangan

spiritual pasien PJK. Tahap perkembangan yang dimiliki oleh pasien PJK

diharapkan sudah dapat mengerti dan menggali suatu hubungan dengan yang

transenden. Pasien PJK yang berkisar antara dewasa tengah hingga lanjut usia

memiliki perkembangan filosofis agama yang lebih matang secara positif. Jadi,

pasien PJK yang berkisar antara tahap perkembangan tersebut dapat mengerti dan

menggali suatu hubungan dengan transenden sehingga dapat memunculkan

kematangan spiritualitas yang lebih positif dibandingkan dengan tahap

perkembangan lainnya.

Peranan keluarga juga penting dalam perkembangan kematangan spiritual

pasien PJK, karena keluarga merupakan lingkungan terdekat dan dunia pertama

(23)

  15

diwarnai oleh pengalaman dengan keluarganya (Taylor, Lillis & LeMone, 1997).

Semakin besar peran spiritualitas yang diberikan keluarga kepada pasien, maka

semakin positif atau semakin dekat pasien PJK tersebut dengan yang Transenden.

Sikap, keyakinan dan nilai dipengaruhi oleh latar belakang etnik dan sosial

budaya. Pada umumnya sebagai anggota keluarga, seseorang akan mengikuti

tradisi agama dan spiritual keluarga. Jika seseorang mengetahui bahwa pentingnya

menjalankan kegiatan agama serta nilai moral dari hubungan, maka ia akan

memiliki kematangan spiritual yang positif dibandingkan yang tidak. Begitu pula

dengan pasien PJK, jika mereka menjalankan kegiatan agama serta pentingnya

nilai moral dari hubungan maka mereka akan memiliki kematangan spiritual yang

positif.

Pengalaman hidup baik yang positif ataupun negatif dapat mempengaruhi

kematangan spiritual seseorang dan sebaliknya juga dipengaruhi oleh bagaimana

seseorang mengartikan secara spiritual pengalaman yang dialaminya tersebut

(Taylor, Lilis dan LeMone, 1997). Peristiwa dalam kehidupan pasien PJK dapat

dianggap sebagai suatu cobaan atau berkat yang diberikan Tuhan kepada manusia

tergantung pasien tersebut menghayati pengalamannya tersebut. Jika para pasien

PJK dapat melihat hikmah dari setiap pengalaman yang dialaminya, baik positif

maupun negatif maka mereka dapat memiliki kematangan spiritual yang lebih

positif dibandingkan yang tidak.

Krisis dan perubahan dapat mematangkan spiritual seseorang. Perubahan

dalam kehidupan dan krisis yang dihadapi merupakan pengalaman spiritual yang

(24)

  16

dan perubahan sering dialami ketika pasien PJK adala di saat menghadapi

simptom PJK, penderitaan, proses penuaan, kehilangan bahkan kematian.

Mengalami PJK seringkali membuat pasien merasa terisolasi dan

kehilangan kebebasan pribadi. Kebiasaan hidup sehari-hari juga berubah, seperti

tidak dapat melakukan kegiatan yang terlalu berat atau tidak bisa memakan

makanan yang mengandung gula atau lemak yang berlebihan atau teman dekat

yang bisa menemani setiap saat dibutuhkan (Hamid, 2000). Hal ini dapat

mempengaruhi kematangan spiritualitas pasien baik negatif maupun positif.

Pada kebanyakan agama, proses penyembuhan dianggap sebagai cara

Tuhan untuk menunjukan kebesaran-Nya, walaupun ada juga agama yang

menolak intervensi pengobatan (Hamid, 2000). Hal ini dapat mempengaruhi

kematangan spiritual para pasien PJK baik secara positif, seperti munculnya

perkembangan dalam mengatasi stress dari penyakitnya maupun secara negatif,

yaitu berdampak pada kesehatan fisik yang lebih buruk.

Studi empiris telah menemukan bahwa kematangan spiritual terhubung

dengan pemunculan kesehatan yang negatif dan positif pada pasien. Pada sisi

negatif, kematangan spiritual dihubungkan dengan sejumlah indikator stress

psikologis, seperti kecemasan, mood negatif, kualitas hidup yang rendah,

gangguan panik, potensi bunuh diri akibat penyakit yang dialaminya. Kematangan

spiritual juga dapat memprediksikan kemunduran kesehatan fisik pada pasien

yang sedang menjalani rehabilitasi medis, dirawat di rumah sakit lebih lama, dan

resiko yang lebih besar pada kematian yang mengikuti penyakitnya. Namun,

(25)

  17

yang positif seperti adanya perkembangan dalam stress mengahadapi yang terkait,

perkembangan spiritual, pikiran yang terbuka, aktualisasi diri dan tingkat yang

rendah dalam prasangka (Pargament & Hill, 2003).

Para pasien PJK dapat memiliki kematangan spiritual yang positif apabila

mampu mengartikan secara personal dan positif tentang tujuan keberadaannya di

dunia, mengembangkan arti penderitaan dari penyakit yang dialaminya, serta tetap

menjalin hubungan yang positif dan dinamis, membina integritas personal dan

merasa diri berharga, merasakan kehidupan yang terarah kepada Tuhan yang

terlihat melalui pengembangan hubungan antar manusia yang positif. Jadi, dengan

adanya gabungan ketiga dimensi keterhubungan di atas dapat memperkuat pasien

untuk tetap tenang dalam menghadapi PJK.

Pengukuran mengenai spiritualitas ini rentan dengan social desirability,

yaitu dimana para responden menjawab suatu pertanyaan yang sesuai dengan

norma sosial yang ada berdasarkan alam sadarnya. Oleh karena itu diperlukan

pengukuran yang dapat menunjukkan jawaban yang sebenarnya dari para

responden agar hasil dari pengukuran dapat menggambarkan yang sebenarnya

dari diri para responden. Salah satunya adalah dengan menggunakan waktu

merespon (Pargament & Hill, 2003). Hill (1994) mengatakan bahwa waktu

merespon merupakan pengukuran sikap yang memiliki akses dalam literatur

psikologi yang dapat digunakan sebagai pengukuran spiritualitas. Donders

mengatakan bahwa pengukuran spiritualitas merupakan proses mental yang dapat

dikuantifikasikan dengan cara mengukur waktu merespon stimulus. Jika

(26)

  18

dapat menggambarkan spiritual yang sebenarnya karena para responden memiliki

kecenderungan untuk menjawab sesuai dengan norma sosial yang ada.

Pengukuran spiritual dengan menghitung waktu merespon pasien disebut

Implicit Behavior Measure. Pengukuran implicit behavior measure ini mengukur

perhitungan dari alam bawah sadar, yaitu sikap otomatis dari dalam diri yang

relatif pada persepsi lingkungan sekitarnya. Hart Balton memperkirakan jika hasil

dari pengukuran Implicit Behavior Measure ini dilakukan tanpa perbandingan

perilaku yang dapat diobservasi serta kuesioner (eksplisit) akan sangat berbahaya

(Balton et al., 2006). Jika kedua alat ukur memiliki hasil yang sama-sama

cenderung posisitf artinya pasien memiliki kematangan spiritual yang positif.

Sebaliknya, jika kedua alat ukur ini memiliki hasil yangcenderung negatif

terhadap spiritual makan pasien memiliki kematangan spiritual yang negatif.

Untuk lebih jelasnya, peneliti mencoba menyajikan kerangka pikiran di

atas dalam bentuk gambaran sebagai berikut:

Bagan 1.1 Kerangka Pemikiran Pasien Penyakit

Jantung Koroner di Rumah Sakit “X” kota

Bandung

Kematangan Spiritual :

1. Hubungan dengan diri sendiri. 2. Hubungan dengan orang lain dan alam. 3. Hubungan dengan Tuhan.

Positif

Negatif

Mengatasi social desirability: Implicit & Explicit

Measure

a.Tahap Perkembangan b. Peranan Keluarga

(27)

  19

1.6 Asumsi Penelitian

Berdasarkan uraian di atas, peneliti mengemukakan beberapa asumsi sebagai

berikut:

1. Pasien PJK memiliki kematangan spiritualitas yang berbeda-beda

tergantung pada faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu tahap

perkembangan, peranan keluarga, latar belakang etnik dan budaya,

pengalaman hidup sebelumnya, krisis dan perubahan, terpisah dari ikatan

spiritual, isu moral terkait dengan terapi,

2. Kematangan spiritual pasien PJK memiliki hubungan yang positif atau

negatif dengan dirinya sendiri, orang lain dan alam, serta Tuhan.

3. Pasien PJK yang memiliki kematangan spiritual yang positif pada dimensi

diri sendiri adalah pasien yang menyadari keadaan dirinya, menjalani

hidup apa adanya, dan menerima diri apa adanya.

4. Pasien PJK yang memiliki kematangan spiritual yang posisitf pada

dimensi orang lain dan alam adalah pasien yang peduli dengan orang lain

dan merasa terhubung dengan alam sehingga dapat bersyukur atas alam

yang telah Tuhan berikan.

5. Pasien PJK yang memiliki kematangan spiritual yang positif pada dimensi

Tuhan adalah pasien yang mendapatkan kedamaian setelah menjalani

aktivitas agamanya dan merasakan keberadaan Tuhan melalui berkat yang

(28)

  20

6. Kematangan spiritual pasien PJK rentan dengan social desirability, maka

dari itu diperlukan pengukuran secara implisit yang disertai dengan

pengukuran eksplisit.

(29)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan pengolahan data yang telah dilakukan serta pembahasan hasil

penelitian mengenai kematangan spiritual dengan menggunakan pengukuran

eksplisit dan implisit pada pasien PJK di Rumah Sakit “X” kota Bandung

diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1) Hasil pengolahan data mengenai kematangan spiritual dengan menggunakan

pengukuran eksplisit dan implisit pada pasien PJK di Rumah Sakit “X” kota

Bandung tergolong memiliki kematangan spiritual yang positif

2) Terdapat 17 orang atau 56,67% pasien yang memiliki kematangan spiritual

positif; 12 orang atau 40% pasien memiliki kematangan spiritual yang

cenderung positif; dan 1 orang atau 3,33% pasien yang memiliki kematangan

spiritual negatif yang diukur secara eksplisit maupun implisit.

3) Hubungan para pasien dengan diri mereka sendiri menghasilkan kematangan

spiritual yang positif, yaitu dimana para pasien mengalami hubungan yang

hamonis dengan dirinya sendiri tanpa merasa bersalah atasupun cemas.

Hubungan dengan orang lain dan alam menghasilkan kematangan spiritual

yang cenderung positif, yaitu dimana para pasien bersosialiasasi dengan

keluarga dan tetangganya, serta alam yang mereka syukuri tanpa bisa

memelihara keindahan alamnya karena keterbatasan fisik yang mereka alami

(30)

  81

kematangan spiritual yang positif, yaitu dimana mereka melakukan kegiatan

agama dan bisa merasakan kehadiran Tuhan dengan bersyukur atas apa yang

telah mereka miliki hingga saat ini.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dibuat

sebelumnya, peneliti mengajukan saran berikut:

5.2.1 Saran Teoretis

Adapun secara teoretis saran penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Bagi peneliti selanjutnya hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai

bahan pertimbangan bila akan meneliti hal-hal yang berhubungan dengan

kematangan spiritual dengan pengukuran eksplisit dan implisit pada pasien

PJK di Rumah Sakit “X” kota Bandung.

2) Bagi peneliti selanjutnya hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai

bahan pertimbangan bila akan melakukan penelitian mengenai kematangan

spiritual pasien mengalami sakit jantung koroner.

(31)

  82

5.2.2 Saran Praktis

Berikut ini akan dipaparkan saran praktis dari hasil penelitian yang dapat

diaplikasikan dan diterapkan secara praktis bagi pihak yang bersinggungan

dengan PJK, yaitu sebagai berikut:

1) Para pemuka agama dapat mengingatkan kepada para pasien untuk

kembali kepada yang Mahakuasa jika terdapat pengalaman-pengalaman

hidup yang kurang menyenangkan selama sakit jantung koroner ini agar

dapat lebih tenang dan dapat mengatasi masalah yang mungkin dialami.

2) Keluarga pasien PJK memberikan dukungan yang sesuai dengan mengikut

sertakan kegiatan sosial atau agama agar pasien PJK dapat berpikir jernih

dalam mengatasi penyakit jantung yang dialaminya.

3) Konselor yang menggunakan agama sebagai sarana untuk memberikan

semangat kepada para pasien PJK agar dapat lebih tenang sehingga dapat

menghadapi penyakit yang sedang dialaminya di saat menjalankan metode

pastoralnya.

(32)

DAFTAR PUSTAKA

de Vaus, David. 2002. Analyzing Social Science Data. London, Thousand Oaks, New Delhi : Sage Publications

Meezenbroek, Eltica C. de Jager., Bert Garssen, PhD, MSc., Machteld van den Berg, MSc., Gerwi Tuytel, MA., Dirk van Dierendonck, PhD., Adriaan Visser., PhD and Wilmar B. Schaufeli, PhD. 2008.Measuring Spirituality as a Universal Human Experience: Development of the Spiritual Attitude and Involvement List (SAIL)

Pargament, Kenneth I. & Annette Mahoney. 2002. Sacred Matters: Sanctification as a Vital Topic for the Psychology of Religion.Working Paper series 02-17

________________________________________ Spirituality: Discovering and Conserving the Sacred dalam Handbook of Positive Psycology oleh C. R. Synder & Shane J. Lopez hal. 646-662. Oxford University Press

Pargament, Kenneth I. & Peter C. Hill. 2003. Advances in the Conceptualization and Measurement of Religion and Spirituality: Implications for Physical and Mental Health Research by American Psychologists Association. Vol. 58 No. 1, 64–74

 

 

 

 

 

 

 

 

(33)

  84

DAFTAR RUJUKAN

Afifah, Efy. 2010. Aspek Spiritualitas. (Online). (staff.ui.ac.id/internal/13205104 9/material/Aspek spiritualitas.pdf, diakses tanggal 7 November 2011)

Astaria, Sonia Rizki. 2010. Pemenuhan Kebutuhan Spiritual pada lanjut Usiaa di Kelurahan Tanjung Gusta Kecamatan Medan Helvetia.(Online). Skripsi. Medan: Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. (http:// respiratory.usu.ac.id/bitstream/12345678/20906/4chapter&20II.pdf,

diakses tanggal 7 November 2011)

Barbara, Elizabeth. 2010. Studi Deskriptif mengenai Pola Religious Coping pada

Lanjut Usia yang Aktif Mengikuti Kegiatan Religius di Gereja “x” kota Bandung. Usulan Penelitian. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha

Fitzgerald, Daniel. A.. 2011. Implicit Behavior Measure : from Theory to

Practice. Presentation. Nijmegen : Radboud University

Ginting, Henndy. 2008. Hubungan Kematangan Spiritual dengan motif prososial (Suatu Penelitian Korelasional pada Mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi di Bandung). Tesis. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran

Greenwald, Anthony G., dkk . 2003. Understanding and Using the Implicit

Association Test: I. An Improved Scoring Algorithm. Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 85, No. 2, 197–216.

LaBouff, Jordan. 2008. Towards an Implicit Measure of

Religiousness-Spirituality. Thesis. Texas: Baylor University Department of Psychology and Neuroscience.

Majiid, Abdul. 2007. Patofisiologis: Penyakit Jantung Koroner: Patofisiologi,

Pencegahan, dan Pengobatan Terkini. (Online). Medan: Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara

(http://respiratory.usu.ac.id/bitstream/123456789/705/1/08E 00124.pdf,

diakses tanggal 22 Juli 2011)

Rosalinna, Iffa. 2011. Pengaruh Pemberian Informasi Mengenai Penyakit jantung Koroner (PJK) Terhadap Keyakinan Maladaptif Pasien PJK. Skripsi. Bandung : Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha

Tarigan, N. M., 2011. Pola Konsumsi Pangan Penderita Jantung Koroner.

(Online). Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23958/3/Chapter%20II.pdf)

(34)

  85

Diktat Penyusunan Skala Psikologi

Pedoman Penulisan Skripsi Sarjana. 2009. Edisi Revisi III. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha

Referensi

Dokumen terkait

Ini dapat menjadi indikator jika selama ini desa termarjinalkan oleh kepentingan industri dan perluasan pasar global (Susetiawan, 2011). Terbitnya UU Nomor 6 Tahun 2014

PLL adalah suatu sistem yang memungkinkan suatu sinyal dengan frekuensi acuan tertentu mengendalikan atau menyamakan nilai dari frekuensi sebuah osilator (dalam hal ini

[r]

Mata kuliah ini membahas tentang berbagai teknologi pengolahan hasil perairan, baik bahan baku maupun limbahnya, dengan memanfaatkan teknologi suhu rendah, suhu

Degree of hydrolysis of lesh dark of skipjack treated with four enzymes (Alcalase® 2.4L FG, Protamex®, Neutrase® 1.5MG and Flavourzyme® 500MG) increased linearly

Mereka telah mengkulturkan daging ikan emas (carassius auratus) dengan mencincangnya dan meletakkan daging tersebut di dalam bekas (petri dish) yang mengandungi

REKAFITULASI RATA-RATA PEREFiCANAAN PROG?AM PELAKSANAAN GENGAN PENCAPAIAN KEGIATAN DAN RATA-RAT4 HASIL BEL6JA2. -

pembelajaran kearah yang lebih baik lagi pada penerapan model di