• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Tingkat Kecemasan Orang Tua Siswa Sekolah Luar Biasa (SLB) di Denpasar, Bali.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Tingkat Kecemasan Orang Tua Siswa Sekolah Luar Biasa (SLB) di Denpasar, Bali."

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1 GAMBARAN TINGKAT KECEMASAN ORANG TUA SISWA SEKOLAH

LUAR BIASA (SLB) DI DENPASAR, BALI Dico Gunawijaya1, Ni Ketut Sri Diniari2

1Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana 2Departemen Psikiatri Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah

ABSTRAK

Latar Belakang: Gangguan jiwa saat ini telah menjadi isu kesehatan di Indonesia. Berdasarkan data dari Kemenkes tahun 2007, diperkirakan 25% dari total penduduk mengalami gangguan jiwa. Salah satu gangguan jiwa tersering adalah gangguan cemas. Gangguan cemas dapat dikarenakan oleh banyak faktor seperti keadaan keluarga. Keadaan keluarga yang berbeda dari yang lain, misalnya keberadaan anak yang berkubutuhan khusus, dapat memicu gangguan ini. Pada bulan November 2013, dilakukanlah penelitian mengenai tingkat kecemasan yang terjadi pada orang tua dengan anak berkebutuhan khusus yang dilakukan di Sekolah Luar Biasa (SLB) di Denpasar, Bali. Kecenderungan akan terjadinya gangguan cemas pada setiap karakteristik orang tua dibahas dalam penelitian ini.

Metode: Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2013 dengan metode studi deskriptif cross-sectional. Subyek penelitian adalah orang tua siswa SLB-A Negeri Denpasar dan SLB-B Sidakarya Denpasar yang terdiri dari 57 orang. Data didapatkan dengan menggunakan Hamilton Anxiety Rating Scale. Selanjutnya data dianalisis secara deskriptif dengan program komputer.

Hasil dan Diskusi: Hasil penelitian menunjukkan bahwa 70,2% sampel tidak memiliki gangguan cemas, 21,1% kecemasan ringan, 8,8% kecemasan sedang, dan 0% kecemasan berat. Pada kelompok umur <40 tahun dan ≥40 tahun masing-masing terhitung 25,9% dan 33,3% melaporkan mengalami kecemasan. Ditinjau dari jenis kelamin, persentase gangguan cemas hampir sama; laki-laki 31% sedangkan perempuan 28,6%. Sebesar 40% dari sampel kategori SD atau SMP serta 27,6% kategori SMA atau kuliah mengalami gangguan cemas. Berdasarkan pekerjaan, kecemasan ringan paling banyak ditemukan pada karyawan swasta (40%) dan pekerjaan lainnya (40%), sedangkan kecemasan sedang paling banyak ditemukan pada sampel yang tidak bekerja (26,7%). Sekitar seperempat dari sampel (26%) yang berstatus menikah dan seluruh sampel (100%) yang berstatus bercerai mengalami gejala gangguan cemas.

Simpulan: Berdasarkan hasil dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa orang tua siswa SLB di Denpasar, Bali mayoritas tidak mengalami gangguan cemas. Frekuensi gangguan cemas yang muncul pada setiap karakteristik sampel yang didata bervariasi.

(2)

2

DESCRIPTION OF THE ANXIETY LEVEL IN THE PARENTS OF SPECIAL-EDUCATIONAL-NEED (SEN) SCHOOL STUDENTS IN DENPASAR, BALI

Dico Gunawijaya1, Ni Ketut Sri Diniari2

1Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana 2Departemen Psikiatri Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah

ABSTRACT

Background: Mental health is one of health issue in Indonesia nowadays. According from data of Indonesian Ministry of Health on 2007, it is estimated that 25% of all population suffer from mental illness. One of the most prevalent mental illness is anxiety disorder. Many factors can cause anxiety disorder, for example family condition. Family condition that differs from others, like presence of special need children, can precipitate this disorder. On November 2013, a research of anxiety level in the parents of Special-Educational-Need (SEN) (Indonesian: Sekolah Luar Biasa (SLB)) school students in Denpasar was conducted. Tendency of the presence of anxiety disorder based on parents’ characteristics was analyzed in this research.

Method: Research was conducted on November 2013 with cross sectional design. Subjects were parents of students in SLB-A Negeri Denpasar and SLB-B Sidakarya Denpasar, with the total of 57 samples. Data was collected using Hamilton Anxiety Rating Scale. Then data was analyzed in descriptive design with computer program.

Result and Discussion: The result shown that 70,2% sample present no sign of anxiety disorder, 21,1% mild anxiety, 8,8% moderate anxiety, and 0% severe anxiety. In the age

group of <40 y.o. and ≥40 y.o, anxiety symptoms was counted 25,9% and 33,3%

respectively. Based on sex characteristic, percentage of anxiety disorder is nearly the same; 31% in male whereas 28,6% in female. 40% sample with lower educational level (elementary and junior high school) and 27,6% sample with higher educational level (senior high school and college) suffer from anxiety disorder. Based on sample’s occupation, mild anxiety is mostly found in private workers (40%) and others (40%); moderate anxiety is mostly found in unemployment (26,7%). 26% sample that still married and 100% that divorced report anxiety symptoms.

Conclusion: We can conclude that majority of the parents of SLB students in Denpasar, Bali are not suffering from anxiety disorder. Wide variation was found in frequency of anxiety disorder that reported from each characteristics of sample..

(3)

3 LATAR BELAKANG

Menurut UU nomor 23 tahun 1992, sehat didefinisikan sebagai keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan hidup produktif secara sosial dan ekonomi.1 Dari definisi tersebut tersirat bahwa kesehatan jiwa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kesehatan dan merupakan unsur utama dalam menunjang terwujudnya kualitas hidup manusia yang utuh. Maka dari itu, pembangunan kesehatan sebagai bagian dari upaya membentuk manusia seutuhnya antara lain dapat diselenggarakan melalui upaya pemeliharaan kesehatan jiwa.

Pada banyak negara di dunia, gangguan jiwa banyak terjadi dan sering menyebabkan dampak yang serius pada penderita maupun lingkungannya. WHO menyebutkan bahwa 12% dari Global Burden Disease disebabkan oleh masalah gangguan jiwa, bahkan menunjukkan dampak lebih besar dari kanker (5,8%), penyakit jantung (4,4%), dan penyakit serebrovaskuler (3,2%).1

Gangguan jiwa saat ini telah menjadi masalah kesehatan global bagi setiap negara tidak hanya di Indonesia. Gangguan jiwa yang dimaksud tidak hanya gangguan jiwa psikotik, namun juga kecemasan, depresi, dan penggunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif (NAPZA).1 Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, diperkirakan sekitar 50 juta atau 25% dari total populasi 220 juta penduduk mengalami gangguan jiwa di Indonesia dengan 1.093.150 diantaranya atau 0,46% berisiko mengalami gangguan jiwa berat. Dari sekitar satu juta penduduk tersebut, hanya 38.260 orang yang terlayani dengan perawatan memadai di pusat kesehatan masyarakat.2

Banyak gangguan jiwa yang muncul pada saat umur dewasa muda dan dewasa, serta menunjukkan efek samping yang signifikan terhadap kehidupan dari penderitanya. Gangguan jiwa pada dewasa juga diasosiasikan dengan terapi yang efektif dengan cost-effectiveness ratios yang positif.3 Gangguan ini disebabkan oleh berbagai macam jenis stresor, baik internal maupun eksternal. Pada sebuah survei di Amerika Serikat, stresor yang dirasa memengaruhi secara signifikan pada orang tua antara lain kondisi keuangan, pekerjaan, tanggung jawab keluarga, hubungan sosial, kondisi kesehatan pribadi, dan kondisi kesehatan keluarga. Stresor dari kondisi kesehatan keluarga terhitung dikeluhkan oleh 47% dari seluruh orang tua yang terlibat pada survei ini, yang meliputi kesehatan pasangan dan anak.4

Gangguan cemas merupakan gangguan jiwa yang paling sering ditemukan pada populasi umum; hampir 30 juta orang menderita gangguan cemas di Amerika Serikat, dengan predominansi perempuan dua kali lebih besar daripada laki-laki. Gangguan ini sering menimbulkan angka morbiditas yang signifikan serta sering bersifat kronis dan resisten terhadap terapi. Kejadian traumatik dan stresor telah dibuktikan sebagai faktor utama pencetus gangguan ini.5

(4)

4 menimbulkan gejala gangguan jiwa

yang bermakna seperti kecemasan.7 Sekolah Luar Biasa (SLB) merupakan sekolah yang bertanggung jawab menyelenggarakan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.8 Terhitung pada tahun 2013, dari total 914.612 peserta didik di Provinsi Bali, siswa SLB di Denpasar sendiri terhitung 140 orang, termasuk diantaranya SLB-A, SLB-B, dan SLB-C.9

Penelitian tentang kecemasan orang tua siswa SLB belum pernah dilakukan di Bali, khususnya Denpasar. Berdasarkan uraian di atas, maka diperlukan evaluasi mengenai tingkat kecemasan orang tua siswa SLB di Denpasar. Dari hasil evaluasi ini diharapkan dapat menambah referensi yang menunjang bagi ilmu pengetahuan khususnya ilmu kedokteran jiwa dan kesehatan masyarakat.

METODE

Rancangan studi deskriptif cross sectional digunakan dalam penelitian ini. Sampel pada penelitian ini adalah seluruh orang tua siswa SLB A Negeri Denpasar dan SLB B Sidakarya Denpasar. Adapun besar sampel yang diperlukan adalah 55 orang; jumlah ini didapat berdasarkan rumus sampel cross-sectional dengan metode koreksi sampel apabila populasi kurang dari 10.000 orang (Z=1,96; p=0,592; q=0,408; d=10%; N=140). Kriteria inklusi yang ditetapkan yaitu sampel kooperatif dan memiliki hubungan keluarga vertikal langsung atau tidak langsung dengan siswa (misal ayah, ibu, kakek, nenek, paman, bibi).

Data yang dikumpulkan berupa data primer. Peneliti melakukan wawancara langsung terhadap sampel meliputi karakteristik demografi (umur, jenis kelamin, pendidikan terakhir,

pekerjaan, dan status pernikahan) serta tingkat kecemasan. Tingkat kecemasan dinilai dengan Hamilton Anxiety Rating Scale melalui pertanyaan mengenai adanya gejala cemas sesuai pada tabel dan dilanjutkan dengan pemberian skor untuk setiap gejala. Total skor untuk seluruh gejala dikonversikan menjadi: <14 = tidak ada kecemasan, 14-17 = kecemasan ringan, 18-24 = kecemasan sedang, dan ≥25 = kecemasan berat.

Analisis data dilakukan secara deskriptif menggunakan software komputer. Adapun hal yang dianalisis antara lain: analisis univariate terhadap karakteristik demografi sampel, analisis univariate terhadap frekuensi tingkat kecemasan, dan tabulasi silang antara karakteristik demografi sampel dengan frekuensi tingkat kecemasan.

HASIL

Karakteristik Demografi Sampel

(5)
[image:5.595.102.496.98.401.2]

5 Tabel 1. Karakteristik Demografi Sampel

No. Variabel Jumlah Persentase

1

Umur - < 40 tahun - ≥ 40 tahun

27 30

47,4% 52,6% 2

Jenis kelamin - Laki-laki - Perempuan

29 28

50,9% 49,1% 3

Pendidikan terakhir - Rendah (SD/SMP) - Tinggi (SMA/kuliah)

10 47

17,5% 82,5%

4

Pekerjaan - PNS

- Karyawan swasta - Pedagang

- Tidak bekerja - Lainnya

11 15 11 15 5

19,3% 26,3% 19,3% 26,3% 8,8% 5

Status pernikahan - Menikah

- Tidak menikah - Bercerai

54 0 3

94,7% 0% 5,3%

[image:5.595.95.495.445.538.2]

Total 57 100%

Tabel 2. Frekuensi Tingkat Kecemasan

No. Tingkat Kecemasan Jumlah Persentase

1 Tidak ada 40 70,2%

2 Ringan 12 21,1%

3 Sedang 5 8,8%

4 Berat 0 0%

Total 57 100%

Frekuensi Tingkat Kecemasan

Tabel 2 menggambarkan frekuensi dari tingkat kecemasan sampel yang diteliti. Berdasarkan hasil konversi skala Hamilton Anxiety Rating Scale, diketahui 70,2% sampel tidak memiliki gejala dari gangguan cemas. Kecemasan ringan ditemukan sebanyak 21,1% dari seluruh sampel, sedangkan kecemasan sedang sebanyak 8,8%. Tidak ditemukan sampel yang menunjukkan gejala kecemasan berat.

Tabulasi Silang antara Karakteristik Demografi Sampel dengan Frekuensi Tingkat Kecemasan

(6)

6 Tidak ada sampel yang menunjukkan

gejala kecemasan berat.

Jumlah orang tua siswa yang mengalami gangguan cemas pada kelompok umur < 40 tahun dan ≥ 40 tahun masing-masing tercatat hampir sepertiganya yaitu 25,9% dan 33,3%. Ditinjau dari jenis kelamin, kategori tidak ada kecemasan mendominasi baik pada laki-laki maupun perempuan. Sebanyak 31% sampel laki-laki dan 28,6% sampel perempuan memiliki gangguan cemas.

Berdasarkan pendidikan terakhir sampel, didapatkan bahwa dua pertiga dari sampel tidak memiliki gangguan cemas pada kategori rendah (60,0%)

[image:6.595.95.506.360.722.2]

maupun tinggi (72,3%). Pada kategori rendah, 30% memiliki kecemasan ringan dan 10% memiliki kecemasan sedang. Sementara itu pada kategori tinggi, 19,1% diantaranya memiliki kecemasan ringan dan hanya 8,5% memiliki kecemasan sedang. Tingkat kecemasan ringan paling banyak ditemukan pada karyawan swasta (40%) dan pekerjaan lainnya (40%), sedangkan tingkat kecemasan sedang paling banyak ditemukan pada sampel yang tidak bekerja (26,7%). Gangguan cemas juga ditemukan pada 26% dari sampel yang menikah dan 100% dari sampel yang bercerai.

Tabel 3. Distribusi Tingkat Kecemasan Berdasarkan Karakteristik Demografi

No. Variabel Tingkat Kecemasan Total

Tidak Ada Ringan Sedang

1

Umur - < 40 tahun - ≥ 40 tahun

20 (74,1%) 20 (66,7%)

3 (11,1%) 9 (30,0%)

4 (14,8%) 1 (3,3%)

27 (100%) 30 (100%) 2

Jenis kelamin - Laki-laki - Perempuan

20 (69,0%) 20 (71,4%)

8 (27,6%) 4 (14,3%)

1 (3,4%) 4 (14,3%)

29 (100%) 28 (100%)

3

Pendidikan terakhir - Rendah (SD/SMP) - Tinggi

(SMA/Kuliah)

6 (60,0%) 34 (72,3%)

3 (30,0%) 9 (19,1%)

1 (10,0%) 4 (8,5%)

10 (100%) 47 (100%)

4

Pekerjaan - PNS

- Krywn. swasta - Pedagang - Tidak bekerja - Lainnya

10 (90,9%) 9 (60,0%) 8 (72,7%) 10 (66,7%)

3 (60,0%)

1 (9,1%) 6 (40,0%) 2 (18,2%) 1 (6,7%) 2 (40,0%)

0 (0%) 0 (0%) 1 (9,1%) 4 (26,7%)

0 (0%)

11 (100%) 15 (100%) 11 (100%) 15 (100%) 5 (100%)

5

Status pernikahan - Menikah - Tidak menikah - Bercerai

40 (74,1%) 0 0 (0%)

11 (20,4%) 0 1 (33,3%)

3 (5,6%) 0 2 (66,7%)

(7)

7 DISKUSI

Dari total 57 sampel, 17 sampel (29,8%) mengalami gejala gangguan cemas, dengan persentase 21,1% menunjukkan gejala ringan dan 8,8% gejala berat. Gejalagangguan cemas yang terjadi pada orang tua dengan anak berkebutuhan khusus disebabkan karena masalah yang dapat timbul akibat mengasuh anak tersebut cenderung lebih rumit dibandingkan dengan mengasuh anak normal.7 Berdasarkan teori dari Freud, kecemasan ini merupakan jenis kecemasan realitas, yang mana berasal dari rasa takut terhadap keadaan yang mengancam di realitas.6

Hal yang juga menyebabkan sebagian besar orang tua dengan anak berkebutuhan khusus mengalami kecemasan adalah kemungkinan adanya konflik dalam diri ketika menghadapi anak tersebut; orang tua sering merasa bimbang terhadap kondisi anaknya.10 Masalah yang dilaporkan sampel saat wawancara antara lain masa depan anak, pengasuhan, hasil terapi yang tidak memuaskan, stigma lingkungan, dan kecemburuan sosial.

Mayoritas dari sampel penelitian, sebesar 70,2%, tidak melaporkan adanya gejala gangguan cemas. Proses penyesuaian diri orang tua terhadap keadaan anak dapat merupakan alasan seluruh sampel pada kategori tidak ada gangguan cemas. Beberapa faktor yang berperan dalam penyesuaian diri ini yaitu tingkat keparahan kelainan, status ekonomi, jumlah anggota keluarga, dan jenis kelamin anak tersebut.10

Distribusi Tingkat Kecemasan Berda-sarkan Umur

Pada kelompok umur < 40 tahun dan ≥ 40 tahun masing-masing terhitung 25,9% dan 33,3% melaporkan mengalami kecemasan ringan dan sedang. Terlihat bahwa frekuensi

tingkat kecemasan pada kelompok umur ≥ 40 tahun sedikit lebih tinggi. Hasil perhitungan ini kemungkinan disebabkan oleh mid-life crisis. Mid-life crisis, dalam arti yang sederhana, adalah proses transisi yang dirasa menyusahkan ketika seseorang berumur sekitar 40 tahun; termasuk di dalamnya adalah perubahan kondisi keluarga.11 Ada pula beberapa studi yang telah melaporkan frekuensi gangguan cemas terhadap umur, namun peneliti tidak bisa membandingkannya karena kategori pengelompokan umur yang berbeda dengan penelitian ini.3,12,13 Distribusi Tingkat Kecemasan Berda-sarkan Jenis Kelamin

Ditinjau dari jenis kelamin, dapat dilihat bahwa persentase gangguan cemas hampir sama. Sampel laki-laki yang mengalami gangguan cemas adalah 31% sedangkan sampel perempuan terhitung sebesar 28,6%. Namun ada banyak faktor lainnya yang dapat menimbulkan gangguan cemas, misalnya bagaimana cara individu menangani stres serta kemampuannya dalam menangani stres tersebut, yang mana berbeda untuk setiap individu. Pada survei stressor American Psychological Association tahun 2010, juga didapatkan bahwa perempuan melaporkan stresor yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki (28% versus 20%). Survei ini juga menyatakan bahwa pekerjaan sebagai stresor dilaporkan oleh 70% sampel.4 Mengingat hampir seperempat sampel penelitian ini hanya berprofesi sebagai ibu rumah tangga, faktor pekerjaan sebagai stresor dapat diabaikan; maka dari itu sampel perempuan yang melaporkan gejala kecemasan lebih rendah dibandingkan laki-laki.

(8)

8 Sebesar 40% dari sampel kategori

rendah serta 27,6% kategori tinggi mengalami gangguan cemas. Temuan ini sesuai dengan studi dari Idaiani mengenai hubungan bivariat antara gangguan mental dan karakteristik responden Riskesdas 2007. Studi ini menunjukkan bahwa gangguan mental pada individu dengan pendidikan tinggi, yang dalam penelitian ini adalah tinggi, terhitung sebesar 3,1% sampel. Jumlah ini lebih rendah daripada tingkat pendidikan rendah, yaitu terhitung sebesar 96,8%.2

Tingkat pendidikan terakhir merupakan salah satu faktor yang bekontribusi pada gangguan cemas. Orang dengan tingkat pendidikan rendah cenderung mudah mengalami stres dibandingkan dengan orang dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi karena perbedaan wawasan yang dimiliki, yaitu kemampuan pemahaman masalah serta pengambilan keputusan untuk menghadapi masalah tersebut.7 Distribusi Tingkat Kecemasan Berda-sarkan Pekerjaan

Berdasarkan kategori pekerjaan sampel, ditemukan adanya variasi tingkat kecemasan ringan dan sedang. Tingkat kecemasan ringan paling banyak ditemukan pada karyawan swasta (40%) dan pekerjaan lainnya (40%), sedangkan tingkat kecemasan sedang paling banyak ditemukan pada sampel yang tidak bekerja (26,7%). Namun menurut peneliti, banyak faktor yang mempengaruhi perhitungan ini, antara lain lingkungan kerja sampel yang beragam dan tingkat penghasilan yang tidak dijadikan variabel dalam penelitian ini.

Distribusi Tingkat Kecemasan Berda-sarkan Status Pernikahan

Sekitar seperempat dari sampel (26%) yang berstatus menikah dan seluruh

sampel (100%) yang berstatus bercerai mengalami gejala gangguan cemas. Namun satu studi mengatakan bahwa gangguan mental cenderung lebih banyak dialami oleh individu yang menikah.2 Status pernikahan dinilai penting dalam kaitannya dengan gangguan cemas, khususnya apabila dinilai dari segi hubungan ke depannya antara orang tua dengan anaknya. Hal ini dapat ditunjukkan dengan hasil survei oleh American Psychological Association; pendapat terbanyak dalam menangani dan mencegah stresor adalah dengan menjaga hubungan baik dengan keluarga.4

SIMPULAN

(9)

9 setiap karakteristik sampel yang didata

bervariasi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan RI. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 406/Menkes/SKNII2009 tentang Pedoman Pelayanan Kesehatan Jiwa Komunitas. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2009. 2. Idaiani S, Suhardi, Kristanto AY.

Analisis Gejala Gangguan Mental Emosional Penduduk Indonesia. Majalah Kedokteran Indonesia. 2009;59(10):473-9.

3. Kessler RC, Aguilar-Gaxiola S, Alonso J, Chatterji S, Lee S, Ormel J, Üstün TB, Wang PS. The Global Burden of Mental Disorders: An Update from the WHO World Mental Health (WMH) Surveys. Epidemiol Psichiatr Soc. 2009;18(1):23-33.

4. American Psychological Association. Stress in America Findings. Washington: American Psychological Association; 2010. 5. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan &

Sadock’s Synopsis of Psychiatry: Behavioral Science/Clinical Psychiatry (Tenth Edition). New York: Lippincott Williams & Wilkins; 2007.

6. Andri, Yenny D. Teori Kecemasan Berdasarkan Psikoanalisis Klasik dan Berbagai Mekanisme Pertahanan terhadap Kecemasan. Majalah Kedokteran Indonesia. 2007;57(7):233-8.

7. Norhidayah, Wasilah S, Husein

AN. Gambaran Kejadian

Kecemasan pada Ibu Penderita Retardasi Mental Sindromik di SLB-C Banjarmasin: Tinjauan terhadap Usia Anak, Paritas, dan

Tingkat Pendidikan Ibu. Berkala Kedokteran. 2013;9(1):39-45. 8. Direktorat Jenderal Bina Kesehatan

Masyarakat. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Sekolah Luar Biasa (SLB) bagi Petugas Kesehatan. Jakarta: Direktorat Bina Kesehatan Anak, Kementerian Kesehatan RI; 2010.

9. Pusat Data dan Statistik Pendidikan. Rekapitulasi Data Peserta Didik 2013. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Diunduh dari: http://refpd.data.kemdikbud.go.id/r ef_nisn/data.php?cont=3.

10. Rahmah H, Zamralita. Penyesuaian Diri Orang Tua yang Memiliki Anak Retardasi Mental Ringan. Jurnal Ilmiah Psikologi ARKHE. 2004;9(2):90-100.

11. Wethington E. Expecting Stress: Americans and the Midlife Crisis. Motivation and Emotion. 2000;24(2):85-103.

12. Kessler RC, Berglund P, Demler O, Jin R, Merikangas KR, Walters EE. Lifetime Prevalence and Age-of-Onset Distributions of DSM-IV Disorders in the National Comorbidity Survey Replication. Arch Gen Psychiatry. 2005;62:593-602.

Gambar

Tabel 1. Karakteristik Demografi Sampel
Tabel 3. Distribusi Tingkat Kecemasan Berdasarkan Karakteristik Demografi

Referensi

Dokumen terkait

Manajemen sering diartikan sebagai seni untuk melaksanakan suatu pekerjaan melalui orang lain atau sekelompok orang yang memiliki wewenang dan tanggung jawab untuk mengelola

Assauri (2011 : 198) Bauran pemasaran adalah salah satu unsur dalam strategi pemasaran terpadu adalah strategi bauran pemasaran yang merupakan strategi yang

- Kenmore Sewing Machine instructions Manuals available in Hard Copy, On CD or Download Wed, 07 Mar 2018 11:11:00 GMT Kenmore 385 Models Instruction Manuals - Popular Appliance

dalam berteman atau pun berelasi dengan orang lain. Hd sering bergabung dalam kebersamaan tanpa merasa minder karena tinggal dalam asuhan Suster PPYK. Dalam aspek ini,

Peran serta masyarakat dan partisipasinya dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan pemerintahan desa dari seluruh aspeknya, tidak akan dapat berjalan secara maksimal, bilamana

Berdasarkan kuisioner yang telah dibagikan kepada 10 orang yang belum pernah mengenal bahasa Arab sebelumnya maka diperoleh kesimpulan bahwa program bantu ini dapat

Six sigma merupakan suatu metode pengendalian kualitas yang terdiri dari DMAIC ( define, measure, analyze, improve, control ) yang diharapkan melalui tahap tersebut

Untuk itu, dalam menilai keberhasilan pelaksanaan kinerja organisasi dilaporkan beberapa indikator kinerja sebagai kriteria keberhasilan kinerja suatu organisasi,