• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Perdagangan manusia (Human Trafficking) adalah bentuk modern dari

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Perdagangan manusia (Human Trafficking) adalah bentuk modern dari"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

Perdagangan manusia (Human Trafficking) adalah bentuk modern dari perbudakan manusia. Perdagangan manusia (Human trafficking) didefinisikan sebagai semua tindakan yang melibatkan pemindahan, penyelundupan atau menjual manusia baik di dalam negeri ataupun antar negara melalui mekanisme paksaaan, ancaman, penculikan, penipuan, memperdaya, atau menempatkan seseorang dalam situasi sebagai tenaga kerja paksa seperti prostitusi paksa, perbudakan dalam kerja domestik, belitan utang atau praktek-praktek perbudakan lainnya. Perdagangan manusia (Human trafficking) didefinisikan secara jelas di dalam ketentuan umum pasal 1 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia No.

21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang. Yakni sebagai berikut;

Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.1

Pelaku-pelaku yang melakukan perdagangan orang, terdiri dari berbagai macam jenis/klasifikasi pelaku dalam perdagangan orang. Pelaku dengan jenis/klasifikasi tersebut ialah, pelaku yang terlibat, saling bekerjasama, dalam melakukan tindak pidana perdagangan orang. Pelaku-pelaku yang melakukan

1Ketentuan Umum, Pasal 1 Ayat (1), Uu. No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4720).

(2)

2

tindak pidana perdagangan orang, tidak hanya terdiri dari orang perseorangan tetapi adanya pelaku-pelaku dengan bentuk kelompok-kelompok terorganisir, koporasi/perusahaan dan oknum penyelenggara Negara. Pelaku dengan jenis atau klasifikasi tersebut, dapat dilihat pada kutipan dibawah ini, yakni sebagai berikut;

Subjek hukum yang terlibat dalam tindak pidana perdagangan orang, tidak hanya satu orang pelaku melainkan sudah dilakukan secara bersama-sama atau lebih dari satu orang, ada yang melakukan tindak pidana dan ada yang sebagai otak pelaku tindak pidana, baik itu yang menyuruh untuk melakukan, turut serta melakukan, membujuk untuk melakukan atau bahkan melakukan perbuatan itu sendiri dan adapula orang yang membantu dalam tindak pidana tersebut. Sehingga dengan melihat pernyataan atau cara melakukan tindak pidana diatas dibutuhkan penjelasan yang lebih rinci mengenai pertanggungjawaban pidana dari orang yang melakukan, menyuruh untuk melakukan, turut serta melakukan, membujuk untuk melakukan dan adapula yang melakukan pembantuan dalam tindak pidana atau mereka semua disebut dengan penyertaan tindak pidana. Dalam penyertaan ini mempersoalkan pertanggungjawaban dari tiap-tiap peserta di dalam pelaksanaan suatu tindak pidana, karenanya dipersoalkan bagian hukum apa yang harus dijatuhkan kepada tiap-tiap peserta dalam pelaksanaan tindak pidana itu, dan melihat sumbangan apa yang diberikan oleh tiap-tiap peserta, agar tindak pidana itu dapat dilaksanakan/diselesaikan serta pertanggungjawabannya atas peran/bantuan itu. Dimana dalam Undang- undang No. 21 tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang menyebutkan bahwa setiap orang yang membantu melakukan kejahatan di hukum atau pertanggungjawabannya itu disamakan dengan orang yang melakukan secara langsung atau disebut sebagai pelaku kejahatan, dimana berbeda dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang ancaman pidana orang yang melakukan lansung dengan orang yang membantu perbuatan pidana tersebut berbeda hukuman serta pertanggungjawaban pidananya. Pelaku perdagangan orang dapat dibagi ke dalam 4 kelompok, yaitu: (1) Orang perseorangan, (2) Kelompok terorganisisr, (3) korporasi dan (4) Oknum penyelengara Negara. Modus operandi dengan cara memakai atau mengatasnamakan korporasi sebagai wadah dalam merekrut korban untuk dieksploitasi di dalam maupun luar negeri.2

2Helesven Simamora, Dkk, Analisis Penegakan Hukum Terhadap Orang Yang Membantu Atau Melakukan Percobaan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Patik Jurnal Hukum, Vol, 08, No. 3, Agustus 2019, Hlm, 151

(3)

3

Pelaku-pelaku dengan jenis/klasifikasi sebagaimana telah disebutkan diatas, secara jelas dapat diketahui bahwa tindak pidana perdagangan orang tidak hanya dilakukan oleh orang perseorangan melainkan ada keterlibatan pelaku- pelaku dengan jenis yang lebih kompleks, terselubung dan canggih. Pelaku-pelaku dengan jenis yang terselubung, kompleks dan canggih tersebut ialah, pelaku- pelaku dengan bentuk korporasi/perusahaan. Pertanggung jawaban pidana bagi tiap-tiap peserta, baik sebagai yang melakukan perbuatan itu sendiri yang menyuruh melakukan, turut serta melakukan, membujuk untuk melakukan atau yang membantu dalam tindak pidana disebut dengan penyertaan tindak pidana.

Pelaku-pelaku dengan bentuk korporasi/perusahaan dapat dikategorikan sebagai setiap orang yang melakukan tindak pidana perdagangan orang. Koporasi yang turut serta atau turut terlibat dalam tindak pidana perdagangan orang, sampai saat ini sulit untuk dikenakan turut serta dalam tindak pidana perdagangan orang.

Setiap orang yang secara bersama-sama melakukan tindak pidana, seyogiyanya dapat dikenakan turut serta di dalam ketentuan Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP tentang penyertaan. Aspek penyertaan, di dalam ketentuan Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP, sampai saat ini belum mengatur turut serta yang dapat dipertanggungjawabkan kepada koporasi yang terlibat dalam tindak pidana perdagangan orang. Modus operandi di dalam perdagangan orang saat ini, sudah sangat canggih, kompleks dan terselubung. Pelaku-pelaku dengan modus operandi, memakai atau menjadikan koporasi sebagai instrument/alat dalam melakukan tindak pidana perdagangan orang. Korporasi yang turut serta dalam tindak pidana perdagangan orang, tidak dapat dimintai pertanggungjawaban

(4)

4

pidana, karena di dalam ketentuan Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP tentang penyertaan, belum mengatur turut serta bagi koporasi yang turut terlibat/turut serta dalam delik perdagangan orang. Aspek penyertaan di dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP, hanya dapat dikenakan kepada orang-perseorangan dalam suatu tindak pidana. Setiap orang sebagai orang perseorangan sajalah yang dapat dikenakan ketentuan Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP tentang penyertaan.

Penulis telah melakukan penelitian terhadap ke 10 (sepuluh) putusan hakim Mahkamah Agung, tentang tindak pidana turut serta melakukan perekrutan dengan penyalagunaan posisi rentan untuk mengeksploitasi orang di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Penulis mencermati bahwa, pelaku-pelaku bekerjasama melakukan tindak pidana perdagangan orang dengan modus operandi yang sudah sangat canggih, terselubung dan kompleks. Korporasi, terdaftar dan tidak terdaftar telah melakukan tindak pidana perdagangan orang secara illegal. Penulis menyajikan permasalahan-permasalahan yang merupakan salah satu faktor tindak pidana perdagangan orang sulit di berantas karena koporasi/perusahaan terdaftar dan tidak terdaftar dijadikan alat atau instrument untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang.

Pelaku-pelaku yang melakukan perdagangan orang, apabila dilihat dari awal proses perekrutan, dengan cara sebagaimana telah ditentukan dalam undang- undang, sampai pada tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi, telah memperlihatkan unsur-unsur pidana dalam perdagangan orang sebagaiamana dimaksudkan di dalam ketentuan pasal 1 angka (1) UU. No. 21 tahun 2007 tentang PTPPO. Pelaku-pelaku yang melakukan tindak pidana perdagangan orang

(5)

5

dengan modus operandi yang sangat kompleks, terselubung dan canggih, harus dipandang sebagai suatu perbuatan yang telah memenuhi rumusan-rumusan delik dalam UU. No, 21 tahun 2007 tentang PTPPO. UU. No. 21 tahun 2007 tentang PTTPO, lebih tepat dikenakan kepada pelaku-pelaku karena dilihat dari substansi, sanksi-sanksi serta aspek-aspek yang berkaitan dengan hak-hak korban, ketentuan tersebut dapat memberikan rasa keadilan demi menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, Sebagaimana kutipan dibawah ini yakni sebagai berikut;

Dalam Pasal 2 sampai dengan 18, UU. No, 21 tahun 2007 tentang PTPPO, secara tegas merumuskan sanksi terhadap pelaku perdagangan orang, Pasal-Pasal tersebut, dapat dikategorikan beberapa pelaku tindak pidana perdagangan orang, yaitu: Pertama, Agen perekrutan tenaga kerja yang membayar agen/calo untuk mencari buruh di desa-desa, mengelola penampungan, mengurus identitas serta KTP dan dokumen perjalanan, memberikan pelatihan dan pemeriksaan medis serta menempatkan buruh dalam kerjaannya di Negara tujuan. Meskipun tidak semua, namun sebagian Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) terdaftar melakukan tindakan demikian. Kedua, Agen/calo (mungkin orang asing) yang datang ke suatu desa, tetangga, teman, bahkan kepala desa, tokoh masyarakat, tokoh adat, maupun tokoh agama. Agen dapat bekerja secara bersamaan untuk (PJTKI) terdaftar/tidak terdaftar, guna memperoleh bayaran untuk tiap buruh yang direkrutnya. Ketiga, Majikan yang memaksa buruh bekerja dalam kondisi eksploitatif, tidak membayar gaji, menyekap buruh di tempat kerja, melakukan kekerasan seksual atau fisik terhadap buruh. Keempat, Pemerintah, yang terlibat dalam pemalsuan dokumen, mengabaikan pelanggaran dalam perekrutan tenaga kerja atau memfasilitasi penyeberangan perbatasan secara illegal (termasuk pembiaran oleh polisi/petugas imigrasi). Kelima, Pemilik/pengelola rumah bordil yang memaksa perempuan untuk bekerja diluar kemauan dan kemampuannya, tidak membayar gaji atau merekrut dan mempekerjakan anak yang belum berusia 18 tahun.3

Setiap orang yang melakukan tindak pidana perdagangan orang, adalah orang perseorangan atau korporasi sebagaimana di atur dalam ketentuan umum Pasal 1 angka 4 Undang-undang No. 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak

3Brian Septiadi Dkk, Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Perdagangan Manusia (Human Trafficking) Di Indonesia, Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, Volume 1, Nomor 3, Tahun 2019, Hlm, 362.

(6)

6

pidana perdagangan orang. Penulis menemukan fakta bahwa, penegakan hukum dalam tindak pidana perdagangan orang, mengalami berbagai permasalahan, salah satunya mengenai makna setiap orang yang kabur/banyak makna di dalam ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai perdagangan orang. Pengertian setiap orang yang banyak makna/kabur tersebut, menimbulkan multi tafsir bagi penegak hukum dalam menentukan status setiap orang sebagai pelaku dalam tindak pidana perdagangan orang. Konsep pengaturan yang kabur/banyak makna yakni, UU. No 21 tahun 2007 tentang PTPPO, UU. No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dan UU. No 39 tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan TKI di luar Negeri. Permasalahan terkait konsep pengaturan yang banyak makna/kabur telah menimbulkan ketidaksamaan persepsi bagi penegak hukum dalam memaknai status setiap orang yang melakukan tindak pidana perdagangan orang.

Penulis menemukan fakta terhadap konsep pengaturan yang kabur/banyak yang mengatur tentang perdagangan orang, merupakan permasalahan yang sangat serius. Hal tersebut sejalan dengan kutipan yakni sebagai berikut; “Aspek pengaturan yang mengatur tentang tindak pidana perdagangan orang memliki banyak kelemahan, diantaranya: 1) Belum memuat definisi yang jelas tentang perdagangan orang sehingga sangat sulit untuk diterapkan dalam praktik. 2) Belum memiliki kepastian terkait sanksi pidana pelaku kejahatan perdagangan orang, aspek pengaturan tersebut masih mengasumsikan pelaku kejahatan perdagangan orang sebagai pelaku perseorangan sedangkan, kejahatan ini dilakukan juga oleh korporasi yang sah secara hukum seperti jaringan Perusahaan

(7)

7

Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI), KUHP yang masih berlaku sampai saat ini, berasal dari masa hindia belanda, diciptakan untuk suatu masyarakat kolonial dan norma-norma yang ada didalamnya sesuai dengan kebutuhan jamannya.”4

Penegakan hukum dalam tindak pidana perdagangan orang, belum menunjukan keseragaman dalam memaknai konsep pengaturan yang mengatur tentang tindak pidana perdagangan orang. Pengaturan-pengaturan tersebut, belum memberikan keseragaman serta kejelasan terhadap setiap perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana dalam perdagangan orang. Penulis hendak menyajikan kutipan yang berkaitan dengan hal tersebut, yakni sebagai berikut;

Penegakan hukum dalam tindak pidana perdagangan orang belum memberikan jaminan atas pencegahan perdagangan orang, walaupun telah ada aturan-aturan yang mengatur sedemikian rupa, aturan tersebut dianggap belum memadai untuk mengimbangi perkembangan tindak pidana perdagangan orang dengan modus operandi yang sudah sangat kompleks, terselubung serta canggih. Pengaturan tentang perdagangan orang dalam perundang-undangan Indonesia yang ada, dinilai sangat kurang memadai apabila dikaitkan dengan luasnya pengertian tentang perdagangan orang sehingga tidak dapat digunakan untuk menjaring semua perbuatan dalam batasan yang berlaku sekarang.5

Penulis menemukan realita penegakan hukum dalam tindak pidana perdagangan orang, belum maksimal dan tepat sasaran sesuai dengan proporsional perbuatan dari pelaku-pelaku perdagangan orang. Penulis menemukan fakta mengenai penegakan hukum yang belum maksimal dan tepat sasaran tersebut ialah, adanya konsep pengaturan yang kuno atau ketinggalan zaman dalam penerapannya sudah tidak relevan dengan kasus-kasus kongkrit yang terjadi.

4Musfidah., Membongkar Kejahatan Trafiking Dalam Perspektif Islam Hukum Dan Gender, (Uin-Maliki Press), Malang, 2011, Hlm 10.

5Cahya Wulandari, Dkk, Tindak Pidana Perdagangan Orang Khususnya Terhadap Perempuan Dan Anak Suatu Permasalahan Dan Penanganannya di Kota Semarang (Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang), Yustisia Edisi 90 Desember 2014, Hlm 24.

(8)

8

Aspek pengaturan yang kuno/ketinggalan zaman dimaksud ialah, ketentuan Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP tentang penyertaan. Penulis berpendapat, ketentuan Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP dalam penerapannya, sudah tidak relevan dengan perkembangan modus operandi dalam perdagangan orang yang sangat kompleks, terselubung dan canggih.

Legal issue/problematika hukum dalam penelitian ini yakni, aspek pengaturan yang telah kuno/ketinggalan zaman. Aspek pengaturan yang kuno atau ketinggalan zaman ialah, ketentuan Pasal 55 dan Pasal 56 tentang penyertaan di dalam Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Legal issue/problematika hukum selanjutnya ialah, aspek pengaturan yang banyak makna di dalam Undang-undang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, Undang-undang No.39 tahun 2004 tentang Perlindungan dan penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri, dan Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Aspek pengaturan yang banyak makna/kabur ialah, makna setiap orang di dalam Undang-undang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, Undang-undang No.39 tahun 2004 tentang Perlindungan dan penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri, dan Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Untuk itu, pada paragraph selanjutnya, penulis hendak menjelaskan secara lebih jelas tentang konsep pengaturan yang kuno/ketinggalan zaman serta konsep pengaturan yang banyak makna.

Legal issue/problematika hukum tentang konsep pengaturan yang kuno atau ketinggalan zaman di dalam permasalahan penelitian ini ialah, terkait aspek

(9)

9

penyertaan di dalam ketentuan Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP. Aspek penyertaan di dalam ketentuan Pasal 55 dan Pasal 56 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), pada realitasnya sudah tidak sesuai dengan modus operandi dalam tindak pidana perdagangan orang. Ketentuan-ketentuan tersebut, pada realitanya belum dapat mengimbangi modus operandi dalam tindak pidana perdagangan orang yang begitu kompleks serta canggih. Penulis hendak membahas lebih spesifik terkait aspek penyertaan di dalam ketentuan Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP, dengan menjabarkan terlebih dahulu rumusan Pasal tentang penyertaan di dalam ketentuan Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP yakni sebagai berikut;6

Dipidana sebagai pelaku tindak pidana: mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan; mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan”. Pasal 55 ayat (2);

“Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya. Pasal 56. Dipidana sebagai pembantu kejahatan: mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan; mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau ke- terangan untuk melakukan kejahatan.

Setiap orang yang melakukan tindak pidana secara bersama-sama, baik yang berperan sebagai yang melakukan tindak pidana, yang menyuruh melakukan, turut serta melakukan, menganjurkan dan membantu melakukan tindak pidana, dalam pertanggungjawabannya dapat dikenakan ketentuan Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP. Penulis melakukan penelitian terhadap ke 10 (sepuluh) putusan hakim mahkamah agung yang menjadi obyek kajian penulis, bahwa tindak pidana perdagangan orang yang terjadi tidak hanya dilakukan oleh orang perseorangan

6Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 127).

(10)

10

akan tetapi juga terdapat keterlibatan perusahaan/korporasi yang turut terlibat/turut serta dalam tindak pidana perdagangan orang. Aspek penyertaan di dalam ketentuan Pasal 55 dan 56 KUHP, hanya mengatur bagi orang perseorangan dan tidak mengatur bagi perusahaan/korporasi yang turut terlibat dalam delik perdagangan orang. Tindak pidana perdagangan orang tidak hanya dilakukan oleh orang perseorangan akan tetapi juga terdapat keterlibatan korporasi yang turut serta dalam tindak pidana perdagangan orang. Modus operandi yang dilakukan sudah sangat canggih terselubung dan kompleks. Korporasi dijadikan sebagai wadah/alat untuk melakukan perdagangan orang. Hal tersebut dapat di cermati dalam kutipan sebagai berikut:

Dalam Pasal 2 sampai dengan 18, UU. No, 21 tahun 2007 tentang PTPPO, secara tegas merumuskan sanksi terhadap pelaku perdagangan orang, Pasal-Pasal tersebut, dapat dikategorikan beberapa pelaku tindak pidana perdagangan orang, yaitu: Pertama, Agen perekrutan tenaga kerja yang membayar agen/calo untuk mencari buruh di desa-desa, mengelola penampungan, mengurus identitas serta KTP dan dokumen perjalanan, memberikan pelatihan dan pemeriksaan medis serta menempatkan buruh dalam kerjaannya di Negara tujuan. Meskipun tidak semua, namun sebagian Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) terdaftar melakukan tindakan demikian. Kedua, Agen/calo yang datang ke suatu desa, tetangga, teman, bahkan kepala desa, tokoh masyarakat, tokoh adat, maupun tokoh agama. Agen dapat bekerja secara bersamaan untuk (PJTKI) terdaftar/tidak terdaftar, guna memperoleh bayaran untuk tiap buruh yang direkrutnya. Ketiga, Majikan yang memaksa buruh bekerja dalam kondisi eksploitatif, tidak membayar gaji, menyekap buruh di tempat kerja, melakukan kekerasan seksual atau fisik terhadap buruh.

Keempat, Pemerintah, yang terlibat dalam pemalsuan dokumen, mengabaikan pelanggaran dalam perekrutan tenaga kerja atau memfasilitasi penyeberangan perbatasan secara illegal (termasuk pembiaran oleh polisi/petugas imigrasi). Kelima, Pemilik/pengelola rumah bordil yang memaksa perempuan untuk bekerja diluar kemauan dan

(11)

11

kemampuannya, tidak membayar gaji atau merekrut dan mempekerjakan anak yang belum berusia 18 tahun.7

Berdasarkan kutipan diatas, dapat diketahui bahwa agen yang merekrut, Korporasi, dan Oknum penyelenggara Negara saling bekerja sama untuk mencari tenaga kerja di desa-desa, kemudian melakukan pemalsuan dokumen kependudukan dan dokumen perjalanan, sehingga korban dapat di tempatkan di Negara Tujuan. Korporasi terdaftar pun ikut terlibat dalam hal demikian. Agen- agen yang merekrut tenaga kerja, bekerja sama dengan korporasi terdaftar dan tidak terdaftar untuk mendapatkan bayaran bagi setiap buruh yang di rekrutnya.

Penulis mencermati bahwa, Korporasi maupun pengurusnya dalam tindakan tersebut harus di pandang sebagai actor intellectual atau otak dari terjadinya tindak pidana perdagangan orang. Sebagaimana dalam proses hubungan kerja telah memunculkan unsur-unsur pidana berupa, pidana penipuan, pidana pemalsuan, pidana pemerasaan dan macam-macam lainnya sebagaimana yang dimaksudkan secara jelas di dalam Undang-undang No. 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang. Contohnya, ketika kita melihat ini sebagai suatu rangkaian tindak pidana maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan berlanjut (vorgesetehandeling), atau bisa juga satu perbuatan melanggar sejumlah aturan (concursus idealis), atau beberapa perbuatan yang melanggar beberapa peraturan (concursus realis). sebagaiamana termuat di dalam ketentuan Pasal 63 dan 64 KUHP dengan istilah, “Perbarengan Tindak Pidana. Kemudian, dari proses itu ternyata dari begitu banyak rangkaian-

7Brian Septiadi Dkk, Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Perdagangan Manusia (Human Trafficking) Di Indonesia, Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, Volume 1, Nomor 3, Tahun 2019, Hlm, 362.

(12)

12

rangkaian perbuatan itu, melanggar sejumlah peraturan yang telah disatukan di dalam satu Pasal yakni, di dalam Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, sebagaimana di dalam rumusan Pasal 2 ayat 1 Undang-undang No.21 tahun 2007 tentang tindak pidana perdagangan orang. Defenisi perdagangan orang merangkum semuanya sehingga terdapat lima kata atau berarti itu alternatif. yang artinya, dalam Pasal 1 angka 2 tersebut menjelaskan setiap tindakan atau rangkain tindakan sepanjang barang siapa atau setiap orang itu artinya, subyek pelakunya, Dadder, plegernya terpenuhi, yang kedua feitnya atau perbuatannya terpenuhi, kemudian cara/modusnya terpenuhi kemudian yang ketiga adalah, akibatnya muncul. Tetapi di dalam Pasal selanjutnya yakni, Pasal 2 ayat (1) itu adalah delik formil artinya, meskipun akibat belum muncul dianggap delik selesai, sepanjang pelakuya ada, korbannya ada, kemudian perbuatannya ada dan cara yang melakukannya ada.

Apabila pelakunya adalah perusahaan atau korporasi maka Pasal 13 Undang- undang No. 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang harus dikenakan terhadap korporasi. Perdebatan yang selama ini terjadi ialah bagaimana menentukan aspek kesalahan, yang di dalam hukum pidana dikenal dengan istilah, “tiada pidana tanpa kesalahan” (gen straafzonderscult) dari pada perusahaan, bagaimana kita menentukan kesalahan perusahaan.

Pelaku-pelaku perdagangan orang bersembunyi melalui perusahaan yang sah secara hukum, perusahaan dijadikan alat/instrument dalam usaha merekrut tenaga-tenaga kerja Indonesia secara illegal. Korporasi hanya sebagai alat/instrument bagi para pelaku untuk merekrut para pekerja ini sehingga

(13)

13

diketahui aman apabila direkrut melalui perusahaan/korporasi yang sah secara hukum. Namun, pada kenytaannya para pelaku mencari jalan pintas dengan cara memalsukan dokumen-dokumen kependudukan milik korban. Pelaku-pelaku perdagangan orang melakukan perekrutan terhadap para korban tidak melalui prosedur yang resmi, sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan perundang- undangan yang berlaku, melainkan melakukan proses perekrutan dan pengiriman dengan cara-cara yang tidak manuisiawi dan melanggar hukum.

Problematika penegakan hukum dalam tindak pidana perdagangan orang yang berkaitan dengan konsep pengaturan yang kabur atau banyak makna, dapat dilihat dalam kutipan dibawah ini, terkait dengan kendala-kendala dalam proses penegakan hukum tindak pidana perdagangan orang.

Kendala yang dihadapi dalam proses penegakan hukum terhadap para pelaku TPPO adalah masih kurangnya pemahaman aparat penegak hukum dalam menentukan status seseorang yang terkait kasus TPPO dikarenakan adanya saling keterkaitan antara Undang-undang No 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang dan Undang- undang no 39 tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan tenaga kerja indonesia di luar Negeri. Pengaturan yang harus berasaskan keterpaduan, persamaan hak, demokrasi, keadilan sosial, kesetaraan dan keadilan gender, anti diskriminasi, serta anti perdagangan orang. Faktor penyebab lemahnya penegakan hukum seperti sedikitnya pelaku yang dikenakan hukuman dan ringannya vonis hukuman antara lain disebabkan karena, kurangnya informasi dari korban, pelaku berada di luar negeri, korban menarik tuntutan karena adanya tekanan dari pelaku baik personal ataupun korporasi/PPTKIS dan adanya intervensi dari oknum-oknum yang bermain. Sedangkan, faktor penyebab vonis hukuman tidak maksimal adalah karena Pasal atau ketentuan yang dikenakan bukan Undang-undang No. 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang tetapi undang-undang lain seperti KUHP dan Undang-undang No.

13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Penegakan hukum yang belum optimal dan masih sedikit pelaku perdagangan orang yang tertangkap dan minimnya oknum aparat yang berhasil ditahan terkait keterlibatan mereka, serta putusan pidana terhadap pelaku yang ringan sehingga tidak memberikan efek jera kepada pelaku. Hal tersebut disebabkan oleh adanya oknum aparat yang turut bermain serta masih adanya perbedaan persepsi

(14)

14

antar para penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim) terkait ketentuan peraturan perundang-undangan yang harus diterapkan, dimana masih ada aparat di daerah yang masih menggunakan KUHP dan Undang-undang No 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri dan tidak merujuk pada Undang-undang No 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan tindak pidana perdagangan orang.8 Problematika penegakan hukum dalam tindak pidana perdagangan orang, menunjukan bahwa kelemahan bukan hanya terdapat di dalam ketentuan- ketentuan tersebut tetapi juga kelemahan penegak hukum dalam menerapkan ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang tindak pidana perdagangan orang.

Penegak hukum dalam memaknai makna setiap orang di dalam ketentuan- ketentuan tersebut menjadi permaslahan tersendiri dalam penegakan hukum terhadap pelaku-pelaku dalam perdagangan manusia. Pemahaman penegak hukum dalam memaknai setiap orang sebagai pelaku dalam tindak pidana perdagangan orang merupakan suatu kelemahan yang sangat esensial karena akan berdampak pada ketidakadilan yang dapat diciptakan dalam putusan-putusan hakim dalam tindak pidana perdagangan orang. Hal tersebut menunjukan bahwa perbedaan persepsi dan penerapan sanksi yang tidak sesuai dengan perbuatan pelaku-pelaku, sampai saat ini masih menjadi hal yang sangat krusial dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan orang.

Penulis hendak memaparkan konsep pengaturan yang kabur atau banyak makna tersebut yakni, pengertian setiap orang di dalam ketentuan Pasal 1 angka (4) UU. No. 21 tahun 2007 tentang PTPPO, setiap orang adalah; “orang

8Penny Naluria Utami, Penanganan Kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang Oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (Handling Of Trading Of Criminal Acts By The Government Of East Nusa Tenggara Province), (Pusat Penelitian Dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Badan Penelitian Dan Pengembangan Hukum Dan Ham Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia R.I. Vol. 10 No. 2 P-Issn 1693-8704 E-Issn 2579-8553), Desember 2019, Hlm 207.

(15)

15

perorangan atau korporasi yang melakukan tindak pidana perdagangan orang”.

Makna setiap orang di dalam ketentuan Pasal 15 UU. No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, ketentuan tersebut menyebutkan bahwa, setiap orang/pengusaha adalah orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri; b) orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya; c) orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf (a) dan huruf (b) yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia. Pengaturan tentang perdagangan orang dalam perundang-undangan tersebut, dinilai sangat kurang memadai apabila dikaitkan dengan luasnya pengertian tentang perdagangan orang sehingga tidak dapat digunakan untuk menjaring semua perbuatan dalam batasan yang berlaku sekarang. Ancaman hukuman dalam Pasal 68 dan Pasal 69 Undang-undang No.

13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jauh lebih rendah dari ancaman hukuman dalam Pasal 2 ayat 1 UU. (PTPPO). Menurut penulis, yang harus diperhatikan dalam proses terjadinya tindak pidana perdagangan orang ialah, terkait proses perekrutan sampai pada tereksploitasinya korban, telah memunculkan unsur-unsur pidana berupa pemalsuan dokumen, penipuan akan gaji/upah yang besar, serta unsur pidana lainya, sebagaimana yang dimaksudkan di dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU. No. 21 tahun 2007 tentang (PTPPO). “Tindakan perekrutan yang dilakukan oleh perusahaan tersebut telah terpenuhi unsur-unsur delik perdagangan orang sebagaimana termuat di dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU. PTPPO”.

(16)

16

Majelis hakim dalam menjatuhkan putusan kepada para pelaku, cenderung memilih ketentuan Pasal 185 jo Pasal 68 dan 69 Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pelaku-pelaku yang melakukan perdagangan orang, dalam perbuatan mereka harus dipandang sebagai suatu tindak pidana perdagangan orang, sebagaimana unsur-unsur pidana di dalam UU. No. 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang. Pelaku-pelaku yang melakukan perdagangan orang dilihat dari proses perekrutan sampai pada pengiriman korban telah memunculkan unsur-unsur pidana di dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU. PTPPO, yang merupakan delik formil. Ketentuan Pasal 2 UU. PTPPO, sebagai delik formil secara eksplisit di jelaskan di dalam penjelasan umum Pasal 2 UU. PTPPO, yakni sebagai berikut; “Dalam ketentuan ini, kata

“untuk tujuan” sebelum frasa “mengeskploitasi orang tersebut” menunjukkan bahwa tindak pidana perdagangan orang merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana perdagangan orang cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan, dan tidak harus menimbulkan akibat.”

Berdasarkan rujukan penjelasan Pasal 2 UU. PTPPO dan pendapat dari ahli hukum pidana diatas, maka jelas bahwa perbuatan-perbuatan para terdakwa dapat dikategorikan sebagai serangkaian tindakan yang memenuhi rumusan delik sebagaimana dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-undang No. 21 tahun 2007 pemberantasan tindak pidana perdagangan orang. Perbuatan-perbuatan para pelaku apabila dilihat dari segi kualitas perbuatan berbeda-beda perannya, tetapi harus menjadi satu dan tidak bisah dipisahkan menjadi serangkaian tindakan yang berdiri sendiri-sendiri.

(17)

17

Aspek pengaturan yang kabur/banyak makna selanjutnya, terdapat di dalam ketentuan Pasal 1 angka (4) terkait makna setiap orang dalam Undang- undang No. 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, yang berbunyi sebagai berikut; “orang perseorangan atau korporasi.”

Kemudian, makna setiap orang di dalam ketentuan umum Pasal 1 angka (15) Undang-undang No. 39 tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri ialah; setiap orang adalah, orang perseorangan atau korporasi/badan hukum. Legal issue/problematika hukum terkait konsep pengaturan yang banyak makna di dalam kedua undang-undang tersebut adalah, makna setiap orang di dalam rumusan Pasal 4 Undang-undang No. 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang dan rumusan Pasal 102 ayat 1 huruf a jo Pasal 4 undang-undang No. 39 tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri. Rumusan tersebut dapat dijelaskan oleh penulis dengan cara melampirkan kedua rumusan Pasal makna setiap orang yang banyak makna tersebut yakni sebagai beriku;9

Setiap orang yang membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara Republik Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”.Rumusan Pasal 102 ayat 1 huruf a jo Pasal 4 undang-undang No. 39 tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri yakni; “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah), setiap orang yang: a. menempatkan warga negara Indonesia untuk bekerja di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4”; yakni

9Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4720).

(18)

18

sebagai berikut;“Orang perseorangan dilarang menempatkan warga negara Indonesia untuk bekerja di luar negeri.

Penulis telah melampirkan rumusan Pasal diatas, terkait kekaburan makna/banyak makna, yang terdapat di dalam Undang-undang No 21 Tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang dan Undang-undang No.

39 tahun 2004 tentang Penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri. Rumusan Pasal tersebut sama-sama mengatur mengenai makna setiap orang yang melakukan tindak pidana perdagangan orang. Konsep pengaturan yang kabur atau banyak makna tersebut, dapat menyebabkan multi tafsir dari para penegak hukum yakni Polisi, Jaksa dan Hakim. Penegak hukum seringkali mengalami kerancuan dalam memaknai status setiap orang yang melakukan tindak pidana perdagangan orang. Penulis menemukan fakta dalam putusan hakim yang menjadi obyek kajian penulis yakni, majelis hakim dalam putusannya kepada pelaku-pelaku, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar ketentuan Pasal 102 ayat (1) jo Pasal 4 undang-undang No. 39 tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri. Penegak hukum mengalami keraguan/kerancuan dalam hal memaknai makna setiap orang di dalam kedua undang-undang tersebut, terkait ketentuan/Pasal yang lebih tepat untuk diterapkan bagi pelaku-pelaku dalam tindak pidana perdagangan orang.

Pelaku-pelaku yang melakukan tindak pidana perdagangan orang di dalam 10 (sepuluh) putusan hakim yang menjadi obyek kajian penulis, jelas telah terpenuhi unsur Pasal 1 ayat (1) yakni pengertian perdagangan orang dan unsur Pasal 2 ayat (1) tindak pidana perdagangan orang di dalam UU. No. 21 tahun 2007 tentang PTPPO. Penulis hendak melampirkan isi dari ke 2 (dua) Pasal

(19)

19

tersebut, yakni sebagai berikut; Pasal 1 ayat (1) “Perdagangan Orang adalah, tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.” “Pasal 2 ayat 1 menjelaskan tindak pidana perdagangan orang ialah; “Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).”

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) dan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU.

PTPPO, penulis berpendapat bahwa perbuatan yang dilakukan pelaku-pelaku jelas merupakan suatu tindak pidana perdagangan orang. Penulis merujuk pada pengertian tindak pidana perdagangan orang di dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1), secara jelas menjelaskan perbuatan yang dilakukan dari proses perekrutan

(20)

20

penampungan pengiriman dengan cara memalsukan dokumen kependudukan, penipuan, penjeratan utang, penyekapan penggunaan kekerasan atau semua unsur perbuatan yang terkandung di dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU PTPPO.

Penulis mencermati di dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU. PTPPO, terdapat kata atau yang berarti ketentuan tersebut alternatif, cukup terpenuhi salah satu dari unsur proses, unsur cara dan unsur tujuan. Contohnya, setiap orang yang melakukan perekrutan dengan memalsukan dokumen untuk tujuan eksplotasi atau pun korban tidak tereksploitasi, pelaku yang melakukan tindakan tersebut telah terpenuhi unsur pidana sebagaimana di dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU.

PTPPO. Penegak hukum seringkali menafsirkan bahwa setiap orang dapat dikategorikan melakukan tindak pidana perdagangan orang, apabila telah terpenuhi semua unsur dalam perdagangan orang, yang meliputi unsur proses, unsur cara, dan unsur tujuan di dalam UU. No. 21 tahun 2007 tentang PTPPO.

Penulis berpendapat bahwa pembuktian terhadap setiap orang yang melakukan tindak pidana perdagangan orang, tidak harus semua unsur harus terpenuhi dari unsur proses, cara dan tujuan, cukup salah satu saja maka itu merupakan tindak pidana perdagangan orang.

Berkaitan dengan substansi peraturan perundang-undangan yang secara lebih jelas melindungi kepentingan korban dan menjunjung tinggi keadilan bagi korban, ialah UU. No 21 tahun 2007 tentang PTPPO. Penulis mencermati perbuatan memperdagangkan manusia secara illegal, dilakukan oleh pelaku- pelaku di dalam ke 10 (sepuluh) putusan hakim yang menjadi obyek kajian penulis, perbuatan tersebut lebih tepat jika diterapkan ketentuan-ketentuan di

(21)

21

dalam UU. No 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka selajutnya penulis hendak mengambarkan secara singkat amar putusan tentang tindak pidana penyertaan dalam perdagangan orang. Amar putusan pengadilan tersebut, merupakan bahan hukum primer yang penulis peroleh melalui media perantara atau arsip yang di publikasikan. Penulis hendak menggambarkan bahan hukum primer yang dimaksud demi memberikan penjelasan secara rinci dan jelas terhadap dari masing-masing kasus yang diteliti. Yakni sebagai berikut;

Putusan ke 1 (satu); Terdakwa Agus Prayitno;

Majelis hakim Pengadilan Negeri, memutus terdakwa Agus Prayitno, terbukti bersalah melakukan tindak pidana “turur serta melakukan perekrutan, penampungan, untuk tujuan mengeksploitasi orang di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jaksa penuntut umum mendakwakan terdakwa dengan dakwaam, alternative ke 1 (satu); Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 10 UU. No. 21 Tahun 2007 PTPPO. Jo Pasal 55 ayat ke 1 KUHP. Jaksa Penuntut umum telah mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi. Majelis hakim Pengadilan Tinggi, dalam putusannya, menguatkan putusan Pengadilan Negeri Kefa. Upaya hukum kasasi telah diajukan kepada Mahkamah Agung, dan putusan tingkat kasasi Mahkamah Agung, memperbaiki putusan tingkat banding dan memutus terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah sebagaimana dalam dakwaan alternatif ke 1 (satu) penuntut umum yakni; Pasal 2 ayat (1) jo.

(22)

22

Pasal 10 UU. No. 21 Tahun 2007 TPPO. Jo Pasal 55 ayat ke 1 KUHP, dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun.

Putusan ke 2 (dua); Terdakwa Budi Soewardi & Desi Tanesib;

Majelis hakim Pengadilan Negeri memutus terdakwa Budi Soewardi &

Desi Tanesib, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Turut serta mempekerjakan anak dibawah umur.” aksa Penuntut umum dan Terdakwa mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi, Majelis hakim Pengadilan Tinggi, dalam putusannya, menguatkan putusan Pengadilan Negeri Maumere. Jaksa Penuntut umum dan terdakwa mengajukan upaya hukum kasasi kepada Mahkamah Agung, putusan tingkat kasasi Mahkamah Agung, ke dua terdakwa terbukti bersalah melanggar ketentuan; Pasal 185 ayat (1) dan ayat (2) UU. No. 13 tahun 2003. Tentang Ketenagakerjaan. Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dengan pidana penjara bagi masing-masing terdakwa Budi Soewardi dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan terdakwa Desi Tanesib dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun.

Putusan ke 3 (tiga); terdakwa Martha Kali Kulla;

Majelis hakim Pengadilan Negeri memutus terdakwa Martha Kali Kulla, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “turut serta melakukan tindak pidana perdagangan orang dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun. Jaksa penuntut umum telah mengajukan upaya hukum banding kepada Pengadilan Tinggi, Majelis hakim Pengadilan Tinggi membatalkan putusan Pengadilan Negeri Kupang dengan No.19/Pid Sus/2017/PNKPG, pada tanggal 24 Mei 2017 yang telah dimintakan banding;

(23)

23

Majelis hakim Pengadilan Tinggi dalam putusannya, menyatakan terdakwa Martha Kali Kulla telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “turut serta melakukan tindak pidana perdagangan orang dengan pidana penjara selama 5 (lima) Tahun. Jaksa Penuntut umum dan terdakwa telah mengajukan upaya hukum kasasi kepada Mahkamah Agung dan putusan kasasi Mahkamah agung terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar ketentuan; Pasal 4 juncto Pasal 48 Undang- Undang No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP, dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun.

Putusan ke 4 (empat); terdakwa Piter Boki;

Majelis hakim Pengadilan Negeri memutus terdakwa Piter Boki telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta “membantu melakukan tindak pidana perdagangan orang, dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun. Jaksa penuntut umum telah mengajukan upaya hukum banding kepada Pengadilan Tinggi, putusan tingkat banding Pengadilan Tinggi menguatkan putusan Pengadilan Negeri. Jaksa Penuntut umum mengajukan upaya hukum kasasi kepada Mahkamah Agung, putusan tingkat kasasi Mahkamah Agung, terdakwa telah terbukti secara sah dan meykainkan bersalah melanggar ketentuan Pasal 10 juncto Pasal 48 Undang- Undang No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun.

(24)

24

Putusan ke 5 (lima); terdakwa Dema Siahaan Fuah & Davidson Anin;

Majelis hakim Pengadilan Negeri memutus terdakwa Demi Siahaan Fuah dan Davidson Anin, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan pidana sebagaimana dakwaan kesatu Primair dan Subsidair ataupun dakwaan kedua Primair dan Subsidair Penuntut Umum; ke 2 (dua) terdakwa dibebaskan dari segala tuntutan hukum sebagaimana dakwaan kesatu primair, subsidair atau dakwaan kedua Primair, Subsidair Penuntut Umum.

Berdasarkan Pasal 244 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) menentukan bahwa terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh Pengadilan lain, selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau Penuntut Umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas; namun, dalam perkembangannya putusan bebas tersebut dapat diajukan kasasi kepada Mahakamah Agung. Hal tersebut didukung dengan putusan Mahkamah Konstitusi, Nomor 114/PUU-X/2012 tanggal 28 Maret 2013 yang menyatakan frasa “kecuali terhadap putusan bebas” dalam Pasal 244 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka Mahkamah Agung berwenang memeriksa permohonan kasasi terhadap putusan bebas; maka berdasarkan putusan bebas kepada terdakwa telah dapat diajukan upaya hukum kasasi. Jaksa Penuntut umum telah mengajukan upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas tersebut kepada Mahkamah Agung, putusan tingkat kasasi Mahkamah Agung, Majelis hakim memutus bebas kedua terdakwa dengan menolak alasan kasasi dari Penuntut umum.

(25)

25

Putusan ke 6 (enam); terdakwa Benediktus Sani Babu;

Majelis hakim Pengadilan Negeri memutus terdakwa Benediktus Sani Babu, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana di dakwakan dalam dakwaan pertama dan kedua penuntut umum; terdakwa dibebaskan dari semua dakwaan penuntut umum.

Berdasarkan Pasal 244 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) menentukan bahwa terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh Pengadilan lain, selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau Penuntut Umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas; namun, dalam perkembangannya putusan bebas tersebut dapat diajukan kasasi kepada Mahakamah Agung. Hal tersebut didukung dengan putusan Mahkamah Konstitusi, Nomor 114/PUU-X/2012 tanggal 28 Maret 2013 yang menyatakan frasa “kecuali terhadap putusan bebas” dalam Pasal 244 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka Mahkamah Agung berwenang memeriksa permohonan kasasi terhadap putusan bebas; maka berdasarkan putusan bebas kepada terdakwa telah dapat diajukan upaya hukum kasasi. Jaksa Penuntut umum telah mengajukan upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas tersebut kepada Mahkamah Agung, putusan tingkat kasasi Mahkamah Agung, Majelis hakim memutus bebas kedua terdakwa dengan menolak alasan kasasi dari Penuntut umum. Jaksa Penuntut umum telah mengajukan upaya hukum kasasi kepada Mahkamah Agung, putusan tingkat kasasi Mahkamah Agung, terdakwa di bebasakan dan menolak permohonan kasasi dari Penuntut umum.

(26)

26

Putusan ke 7 (tujuh); terdakwa Goldzar Mosez Banik;

Majelis hakim Pengadilan Negeri memutus terdakwa Goldzar Mosez Banik, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana

“menyalahgunakan kekuasaannya yang mengakibatkan terjadinya perdagangan orang”. Penuntut umum dan Terdakwa melalui kuasa hukumnya telah mengajukan upaya hukum banding kepada Pengadilan Tinggi. Majelis hakim Pengadilan Tinggi dalam putusannya, menguatkan putusan Pengadilan Negeri. Terdakwa melalui kuasa hukumnya telah mengajukan upaya hukum kasasi kepada Mahkamah Agung, Majelis hakim tingkat kasasi Mahkamah Agung dalam putusannya, menyatakan terdakwa Goldstar mozez banik tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan alternatif kesatu atau dakwaan alternatif kedua; dan terdakwa dibebaskan dari semua dakwaan Penuntut Umum.

Putusan ke 8 (delapan); terdakwa Eduard Leneng;

Majelis hakim Pengadilan Negeri memutus terdakwa Eduard Leneng, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta “melakukan tindak pidana perdagangan orang yang merupakan gabungan beberapa perbuatan yang dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan” dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun. Jaksa Penuntut umum telah mengajukan upaya hukum banding kepada Pengadilan Tinggi, Majelis hakim Pengadilan Tinggi dalam putusannya memperbaiki putusan Pengadilan Negeri dan mengadili sendiri

(27)

27

yakni; terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta “melakukan tindak pidana perdagangan orang yang merupakan gabungan beberapa perbuatan yang dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan” dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun. Jaksa Penuntut umum dan Terdakwa melalui kuasa hukumnya telah mengajukan upaya hukum kasasi kepada Mahkamah Agung, Majelis hakim memutus terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar ketentuan Pasal 4 juncto Pasal 48 Undang-Undang No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Putusan ke 9 (Sembilan); terdakwa Sefriadi Sinlaeloe;

Majelis hakim Pengadilan Negeri memutus terdakwa Sefriadi Sinlaeloe terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta menempatkan warga Negara Indonesia untuk bekerja di luar negeri tanpa memenuhi syarat sesuai ketentuan perundang-undangan, sebagaimana dalam dakwaan alternatif kedua, dengan menjatuhkan pidana kepada terdakwa selama 2 (dua) tahun. Jaksa Penuntut umum telah mengajukan upaya hukum banding kepada Pengadilan Tinggi, Majleis hakim Pengadilan Tinggi dalam putusannya menguatkan putusan Pengadilan Negeri. Jaksa Penuntut umum telah mengajukan upaya hukum kasasi kepada Mahkamah Agung dan putusan tingkat kasasi Mahkamah Agung, terdakwa terbukti secara sah dan melanggar ketentuan Pasal 102 ayat (1) huruf a Jo. Pasal 4 Undang-Undang No 39 Tahun 2004 tentang

(28)

28

Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Putusan ke 10 (sepuluh); terdakwa Johan Pandie;

Majelis hakim Pengadilan Negeri memutus terdakwa Johan Pandie terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “turut serta menempatkan tenaga kerja Indonesia yang tidak memiliki dokumen sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Jaksa Penuntut umum telah mengajukan upaya hukum banding kepada Pengadilan Tinggi, Majelis hakim, Pengadilan Tinggi menguatkan putusan tingkat pertama Pengadilan Negeri. jaksa Penuntut umum telah mengajukan upaya hukum kasasi dan Majleis hakim Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi dari penuntut umum.

(29)

29 B. Rumusan masalah

Memperhatikan latar belakang masalah sebagaimana di gambarkan diatas maka penulis merumuskan masalah penelitian sebagai berikut:

Bagaimana tindak pidana turut serta melakukan perekrutan dengan penyalagunaan posisi rentan untuk mengeksploitasi orang di Provinsi Nusa Tenggara Timur?

C. Tujuan penilitian

Adapun yang menjadi tujuan dilakukannya penelitian ini adalah;

Untuk menemukan, menggambarkan, menganalisis tentang tindak pidana turut serta melakukan perekrutan dengan penyalagunaan posisi rentan untuk mengeksploitasi orang di provinsi Nusa Tenggara Timur.

D. Manfaat penelitian

Manfaat penelitian ini terdiri dari manfaat teoritis dan manfaat praktis.

1. Manfaat teoritis

Manfaat Teoritis yang diharapkan dapat memberikan kontribusi berupa kaidah, asas-asas maupun konsep-konsep dan makna pengertian baru bagi ilmu hukum, Untuk menemukan, menggambarkan, dan menganalisis tentang tindak pidana turut serta melakukan perekrutan dengan penyalagunaan posisi rentan untuk mengeksploitasi orang di provinsi Nusa Tenggara Timur.

2. Manfaat praktis

Bagi instansi terkait peneilitian ini di harapkan dapat memberikan masukan terkait dengan Penegakan hukum dalam Tindak pidana perdagangan orang serta aspek penyertaan tindak pidana terhadap pelaku.

(30)

30 E. Kerangka teori

1. Teori keadilan bermartabat

Kerangka Teori yang dipakai di dalam Penelitian ini ialah Teori keadilan bermartabat atau Dignified Justice Theory dicetuskan oleh Teguh Prasetyo menggambarkan dan menjelaskan bagaimana eksistensi hukum dan keadilan dalam sistem hukum Pancasila. Keadilan Bermartabat adalah grand theory hukum, sebagai teori yang baru berfungsi untuk menjelaskan dan memberi justifikasi suatu sistem hukum yang berlaku bahwa hukum itu ada dan tumbuh dengan jiwa bangsa atau Volksgeist, berbeda dengan toeri-teori barat yang selama ini dirujuk teori ini berusaha memberi teladan untuk ber-hukum, termasuk mencari, dan membangun atau melakukan konstruksi maupun rekonstruksi atas hukum serta penjelasan tentang hukum dari falsafah atau filosofis hukum Indonesia, tidak harus bergantung kepada teori-teori, konsep yang dikembangkan di dalam sistem hukum lain.10 Konsep keadilan selama ini dimengerti adalah konsep keadilan Plato dan Aristoteles yang berasal dari zaman berbeda dan tempat yang berbeda, yaitu Yunani kuno. Sudah saatnya kita mempunyai konsepsi tentang keadilan yang dibangun dari jiwa bangsa sendiri (Volkgeist), yaitu Pancasila.

Teori kedilan bermartabat adalah suatu kegiatan berpikir filsafati yang salah satunya dilakukan oleh hakim dalam memberikan pertimbangan hukum bagi putusannya. Pertimbangannya harus mendekati hukum secara filosofis yakni

10Teguh Prasetyo Dan Arie Purnomosidi, Membangun Hukum Berdasarkan Pancasila, (Nusa Media, Bandung), 2014, Hlm 23.

(31)

31

berpikir secara radikal, berpikir sampai ke hakikat, esensi atau sampai ke substansi yang dipikirkan.11

Teori keadilan bermartabat menggambarkan tujuan hukum yang ada di dalam setiap sistem hukum terutama tujuan hukum dalam sistem hukum berdasarkan Pancasila. Penekanannya dilakukan terhadap suatu asas kemanusiaan yang adil dan beradab, yang mendasari konsepsi memanusiakan manusia. Teori keadilan bermartabat menganut prinsip untuk memahami doktrin dan ketentuan hukum berdasarkan Pancasila sebagai sistem hukum utama yang menjadi sasaran kajian dan penyelidikan teori keadilan bermartabat. Prinsip doktrin ini adalah penemuan hukum. Penemuan hukum dilakukan manakala ditemukan bahwa terhadap kasus-kasus itu pengaturannya belum ada, kurang jelas, atau tidak lengkap diatur dalam ketentuan perundangan yang berlaku.12

Penemuan hukum dilakukan manakala ditemukan bahwa terhadap kasus- kasus itu pengaturannya belum ada, kurang jelas, atau tidak lengkap diatur di dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Ajaran penemuan hukum dalam sistem hukum berdasarkan Pancasila mengajarkan bahwa hakim harus tetap menjalankan fungsi pembentukan hukum (rechtsforming). Fungsi pembentukan hukum yang tunduk pada kerangka kerja teori keadilan bermartabat, sebagaimana secara sederhana gambaran proses berlangsung dalam kerangka kerja teori keadilan bermartabat yakni; dikte hukum, kemudian proses legislasi dan diskresi serta proses peradilan menurut hukum acara sebagai konversi kemudian, keluaran

11Teguh Prasetyo Dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori Dan Ilmu Hukum, Pemikiran Menuju Masyarakat Yang Berkeadilan Dan Bermartabat, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2012, Hlm, 1-2.

12Teguh Prasetyo, Op.Cit. Hlm 53.

(32)

32

(output); peraturan, keputusan dan putusan hakim kemudian proses eksekusi atau pelaksanaan dan yang terakhir feedback/loloh balik. Prinsip-prinsip tersebut dilakukan dengan suatu prinsip dikte hukum yakni, mewajibkan hakim melakukan penemuan hukum/rectsvinding dengan berfilsafat. Dimaksudkan di dalam teori keadilan bermartabat hakim bersfilsafat ialah, hakim menemukan hukum dengan cara menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat sesuai dengan jiwa bangsa atau Volkgeist.13

13Teguh Prasetyo, Keadilan Bermartabat Perspektif Teori Hukum, (Nusa Media, Bandung; Cetakan Ke 2), Tahun 2019. Hlm 13.

(33)

33 F. Metode penilitian

Ilmu hukum memiliki metode penelitian dalam teori keadilan bermartabat disebut sui generis, yang unik dan khas. struktur penelitian hukum dalam penelitian ini yaitu, 1. Jenis penelitian 2. Pedekatan masalah 3. Sumber bahan hukum 4. Teknik pengumpulan pengelolaan data. 5. Teknik analisa bahan hukum.

1. Jenis penelitian dan sifat penilitian a. Jenis penilitian

Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian hukum Hukum Yuridis Normatif yakni, melakukan kajian terhadap putusan hakim mahkamah agung tentang tindak pidana turut serta melakukan perekrutan dengan penyalagunaan posisi rentan untuk mengeksploitasi orang di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

b. Sifat penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif yakni, untuk menggambarkan serta menganalisis terkait dengan putusan hakim tentang tindak pidana turut serta melakukan perekrutan dan penyalagunaan posisi rentan untuk mengeksploitasi orang di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

2. Pende katan masalah

Masalah atau legal issues dalam penelitian hukum menurut Peter Mahmud Marzuki yakni sebagai berikut:14

1) Pendekatan undang-undang dilakukan dengan menelaah regulasi-regulasi.

(statute approach)

14Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Cet. 9, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2016), Hlm. 119.

(34)

34

2) Pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus- kasus yang berkaitan dengan putusan pengadilan yang telah incraht. (case approach)

3) Pendekatan historis (historical approach)

4) Pendekatan konseptual /pandangan /doktrin-doktrin didalam ilmu hukum (conceptual approach)

5) Pendekatan perbandingan dengan mengadakan studi perbandingan hukum.

(comparative approach)

Penulis melakukan penelitian terhadap permasalahan penelitian yakni dengan beberapa jenis pendekatan diatas ialah, pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Pendekatan perundang- undangan (statute approach) adalah, Pendekatan pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum dalam penelitian ini yakni, Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang- undang Hukum Pidana, Undang-undang No. 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, Undang-undang No 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri dan Undang- undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sedangkan, Pendekatan kasus (case approach) adalah, pendekatan yang dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan legal issue/problematika hukum yang diteliti yakni, ke 10 (sepuluh) putusan mahkamah agung tentang tindak pidana perdagangan orang di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang telah menjadi putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (incraht).

(35)

35 3. Sumber bahan hukum

Bahan hukum penelitian ini bersumber dari bahan-bahan hukum, yaitu: a. Bahan hukum primer b. Bahan hukum sekunder c. Bahan hukum tersier

1) Data sekunder

Data sekunder yakni data yang diperoleh melalui media perantara atau diperoleh melalui buku-buku, catatan, bukti, atau arsip yang dipublikasikan. Data sekunder terdiri dari 3 (tiga) bahan hukum yakni sebagai berikut, bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan dan Putusan Hakim yang telah berkekuatan hukum tetap/incraht. Bahan hukum primer dalam penelitian ini ialah; Undang- undang No. 21 tahun 2007 Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang- undang Hukum Pidana (KUHP), Putusan Mahkamah Agung yang terdiri dari ke 10 (sepuluh) putusan mahkamah agung yakni, Putusan No. 2470 /K.Pid.Sus.2015, Demi Siahaan Fuah, Putusan No. 881/K.Pid.Sus.2017.Sefriadi Sinlaeloe, Putusan No. 2598/.K.Pid.Sus.2017, Martha Kali Kula, Putusan No. 2606 /K.Pid.Sus. 2017 Eduard Leneng, Putusan No. 2736/K.Pid.Sus.2017.Godzar Moses, Putusan No.

271/K.Pid.Sus.2017.Budi Soewardi, Putusan No. 973 K/Pid.Sus/2017 Johan Pandie, Putusan No.2018/K.Pidsus.2018 Agus Prayitno, Putusan No.

650/K.Pid.Sus.2018 Benediktus Sani, Putusan No. 2043/K.Pid.Sus.2019.Piter Boki. Bahan Hukum Sekunder adalah; Bahan hukum berupa pendapat/teori-teori yang diperoleh dari literatur hukum, hasil penelitian, artikel ilmiah, dan website.

Bahan hukum sekunder digunakan untuk menjelaskan bahan hukum primer.

(36)

36

Bahan hukum sekunder terdiri dari;15 Buku/referensi tentang perdagangan orang, penyertaan dalam tindak pidana dan teori keadilan bermartabat serta jurnal-jurnal hukum yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

4. Teknik pengumpulan data dan pengolahan bahan hukum

Bahan-bahan hukum dikumpulkan, diolah dengan teknik; study kepustakaan/studi dokumen (library research), yakni; Penelitian dilakukan dengan cara memperoleh data-data, atau variabel, catatan, buku-buku, peraturan berkaitan dengan permasalahan penelitian. alat pengumpulan bahan hukum yang dilakukan melalui bahan hukum tertulis dengan mempergunakan (content analisys). Teknik ini berguna untuk mendapatkan landasan teori dengan mengkaji dan mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan, dokumen, laporan, arsip dan hasil penelitian lainnya baik cetak maupun elektronik yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini.

5. Teknik analisis data

Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini ialah, analisis yuridis normatif. Untuk menggambarkan, menganalisis data, memaparkan, mengelola, hasil penelitian untuk menjawab atas permasalahan yang diteliti tentang bagaimana tindak pidana turut serta melakukan perekrutan dan penyalagunaan posisi rentan untuk mengeksploitasi orang di Provinsi Nusa Tenggara Timur.16

15 Sugiono. Metode Penelitian Hukum, Penerbit;(Bandung: Afabeta ,2016), Hlm 137

16Ibid. Hlm 138.

(37)

37 G. Orisinalitas penelitian

Berdasarkan penelusuran Pustaka pada perpustakaan Universitas Kristen Satya Wacana. Adapun perbedaan penulisan yang ditemukan sebagai berikut;

Tabel 1.

Data orisinalitas penilitian/keaslian penilitian terhadap judul penilitian No Nama Penulis Dan

Judul Tesis

Rumusan Masalah Dan Temuan

Perbedaan Dengan Rencana Tesis Ini

1. Nama penulis: sirait dumaria

Judul tesis:

perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak korban perdagangan manusia

a. Bagaimana pengaturan perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak korban perdagangan manusia?

b. Apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam memberikan putusan terhadap kasus perdagangan perempuan dan anak

Pertanggung jawaban Pidana terkait aspek penyertaan tindak pidana perdagangan orang serta aspek pengaturan yang kabur atau banyak makna dari Undang-undang PTPPO, Undang-undang

Ketenagakerjaan dan Undang- undang Penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri.

Sumber: Diolah dari tesis terdahulu publikasi Fakultas Hukum UKSW.

Berdasarkan penelusuran pada repository Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), untuk itu penulis mencoba menjelaskan letak perbedaannya yakni pada formulasi judul tesis terdahulu tentang Perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak korban perdagangan manusia berbeda dengan judul penelitian penulis yakni terkait aspek penyertaan tindak pidana dalam tindak pidana perdagangan orang dengan objek kajianya yakni putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap. Sedangkan, penelitian sebelumnya melihat perlindungan hukum bagi perempuan dan anak dalam konteks yang umum.

Referensi

Dokumen terkait

(Jakarta : Ciputat Press, 2002), hal.. santri dan ustadz, nyai atau kyainya dalam proses kegiatan menghafal. Cara praktis yang digunakan dalam menghafal Al- Qur’an yaitu:..

Selain itu, peperangan juga telah membentuk masyarakat Lorong Midaq yang mengamalkan rasuah dalam politik.. Rasuah dalam politik dapat dilihat diamalkan oleh Ibrahim Farhat

Retribusi Pelayanan Persampahan / Kebersihan yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pembayaran atas jasa pelayanan persampahan / kebersihan yang khusus disediakan dan

Faktor kadar air tanah pada saat dilakukan pengukuran telah terbukti mempengaruhi bentuk dan keeratan hubungan antara BV dan Z Pen- dugaan nilai BV dengan menggunakan Per- samaan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai pengaruh harga, kualitas pelayanan, promosi dan lokasi terhadap keputusan penggunaan jasa Koro Koro Karaoke Keluarga Pekanbaru, maka

pembangunan. Solidaritas sosial bergeser dengan orientasi unsur materi.Sementara mereka yang bertahan, sebagaimana ditunjukkan oleh masyarakat Lako Akelamo, berada pada akses

Dengan mengetahui jenis dari fungsi yang diberikan (walaupun dari hasil pengaitan fakta dan konsep fungsi yang salah) dan berpedoman pada prinsip, “Jika suatu

Tradisi liberal-demokratis memandang bahwa kebijakan luar negeri negara-negara demokratis lebih damai (daripada kebijakan negara-negara nondemokratis) salah satunya