STRUKTURASI KEKUASAAN DAN KEKERASAN SIMBOLIK DALAM NASKAH DRAMA MENGAPA KAU CULIK ANAK
KAMI KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA:
PERSPEKTIF PIERRE BOURDIEU
Skipsi
Diajukan untuk memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Ignasius Febby Kurniawan 184114036
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2022
i
STRUKTURASI KEKUASAAN DAN KEKERASAN SIMBOLIK DALAM NASKAH DRAMA MENGAPA KAU CULIK ANAK
KAMI KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA:
PERSPEKTIF PIERRE BOURDIEU
Skipsi
Diajukan untuk memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Ignasius Febby Kurniawan 184114036
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2022 SKRIPSI
ii
iii
iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 10 Januari 2022 Penulis
Ignasius Febby Kurniawan
v
Pernyataan Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah untuk Kepentingan Akademis Yang Bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Ignasius Febby Kurniawan
NIM : 184114036
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul “Strukturasi Kekuasaan dan Kekerasan Simbolik dalam Naskah Drama Mengapa Kau Culik Anak Kami Karya Seno Gumira Ajidarma: Perspektif Pierre Bourdieu” beserta perangkat yang diperlukan (bila ada).
Dengan demikian, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak menyimpan, mengalihkan dalam bentuk lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas dan mempublikasikannya di internet atau media yang lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada Tanggal 10 Januari 2022 Yang menyatakan,
Ignasius Febby Kurniawan
vi
PERSEMBAHAN
“Skripsi ini penulis persembahkan kepada orang tua: Nasarius, Katarina Ripi; dan kakek serta nenek: Korolus Kendung (Alm), Lusia Liam,
Yustinus Asau, Yustina Tinah”
vii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur peneliti sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Strukturasi Kekuasaan dan Kekerasan Simbolik dalam Naskah Drama Mengapa Kau Culik Anak Kami Karya Seno Gumira Ajidarma: Perspektif Pierre Bourdieu” sebagai syarat mendapatkan gelar sarjana (S-1) dari Fakultas Sastra, Program Studi Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma.
Peneliti banyak menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak akan berhasil jika tidak ada bantuan, bimbingan, dan dorongan dari banyak pihak. Oleh karena itu, peneliti ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada:
Pertama, peneliti mengucapkan terima kasih kepada ibu Susilawati Endah Peni Adji, S.S., M.Hum. selaku dosen pembimbing I yang selalu sabar membimbing dan memberikan pengarahan dari awal hingga selesainya pengerjaan skripsi ini.
Kedua, ucapan terima kasih kepada Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum. selaku dosen pembimbing II yang dengan sabar memberi peneliti motivasi dan masukan penulisan skripsi.
Ketiga, mengucapkan terima kasih kepada Bapak/Ibu dosen Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma (USD), yaitu Susilawati Endah Peni Adji, S.S., M.Hum.
selaku Kepala Program Studi Sastra Indonesia USD, Sony Christian Sudarsono, S.S., M.A. selaku Wakil Kepala Program Studi Sastra Indonesia USD, Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum., selaku DPA Angkatan 2018 Program Studi Sastra Indonesia USD, Drs. Prof. Dr. Praptomo Baryadi Isodarus, M.Hum., Drs. B. Rahmanto, M.Hum., Maria
viii
Magdalena Sinta Wardani, S.S., M.A., Dr. Fransisca Tjandrasih Adji, M.Hum., F.X.
dan Sinungharjo, S.S., M.A., yang telah bersedia memberikan ilmunya selama peneliti menempuh Pendidikan di Program Studi Sastra Indonesia.
Keempat, peneliti ucapkan terima kasih kepada Staf Seketariat Fakultas Sastra khususnya Progam Studi Sastra Indonesia dan Staf Perpustakaan Universitas Sanata Dharma atas pelayanannya selama ini.
Kelima, ucapan terima kasih kepada kedua orang tua terhebat dalam hidup peneliti, yakni Nasarius dan Katarina Ripi, serta kepada kedua adik sedarah yang telah memberikan semangat, doa, dukungan, dan rasa sayang yang tiada habisnya.
Keenam, kepada seluruh teman-teman Sastra Indonesia USD Angkatan 2018 atas kebersamaan dan segala bentuk dinamika selama berproses dalam perkuliahan.
Ketujuh, kepada saudara Rahmat Akbar, Flavianus Aldi Gunawan, Bara Sukamadewa, Filipus Tesen, Fabio Herli, Julian Benarivo Indrata, dan Patricius Sulistya Eka Apira Yogayudha yang sudah membantu memberi motivasi, semangat, dan dorongan kepada peneliti.
Terakhir, kepada pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, penulis mengucapkan terima kasih.
ix
Yogyakarta, 10 Januari 2022 Peneliti
Ignasius Febby Kurniawan
x MOTTO
“Bunuhlah Dahulu Harimau Dalam Dirimu”
Mochtar Lubis
xi ABSTRAK
Kurniawan, Ignasius Febby. 2022. “Strukturasi Kekuasaan dan Kekerasan Simbolik dalam Naskah Drama Mengapa Kau Culik Anak Kami Karya Seno Gumira Ajidarma: Perspektif Pierre Bourdieu”. Skripsi. Yogyakarta: Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra. Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Penelitian ini mengkaji strukturasi kekuasaan dan kekerasan simbolik dalam naskah drama Mengapa Kau Culik Anak Kami karya Seno Gumira Ajidarma: Perspektif Pierre Bourdieu. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan strukturasi kekuasaan dan kekerasan simbolik dalam naskah drama Mengapa Kau Culik Anak Kami karya Seno Gumira Ajidarma.
Penelitian ini memakai paradigma MH Abrams yang telah direposisi oleh Taum (2017), yakni pendekatan diskursif. Teori yang dipakai untuk menganalisis naskah drama ini ialah strukturasi kekuasaan dan kekerasan simbolik perspektif Pierre Bourdieu. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka. Metode analisis data yang digunakan adalah metode analisis isi. Hasil analisis data disajikan menggunakan metode deskriptif kualitatif.
Hasil penelitian ini meliputi strukturasi kekuasaan dan kekerasan simbolik dalam naskah drama Mengapa Kau Culik Anak Kami. Kajian strukturasi kekuasaan menunjukkan adanya empat jenis modal yaitu (a) modal ekonomi, (b) modal sosial, (c) modal budaya, dan (d) modal simbolik. Tokoh Para Penguasa dalam naskah drama Mengapa Kau Culik Anak Kami menjadi pemiliki modal paling besar, sehingga modal merupakan poin utama untuk menentukan kelas, habitus, dan arena.
Terdapat tiga jenis kelas dalam naskah drama ini, yaitu (a) kelas dominan, (b) kelas borjuasi kecil, (c) kelas popular. Kelas dominan dimiliki oleh tokoh Para Penguasa, kelas borjuasi kecil dimiliki tokoh Satria, sedangkan kelas popular dimiliki oleh tokoh Sarah.
Terdapat tiga jenis habitus dalam naskah drama ini, yaitu (a) habitus kelas dominan, dimiliki tokoh Para Penguasa, (b) habitus kelas borjuasi kecil, dimiliki oleh tokoh Satria dan (c) habitus kelas popular, dimiliki oleh tokoh Bapak dan Ibu. Sedangkan arena terbagi menjadi dua, yaitu (a) arena ekonomi, dan (b) arena politik.
Kekerasan simbolik dalam naskah drama ini didapat melalui bentuk-bentuk eufemisme, mekanisme sensorisasi yang terdapat di dalam dapat membuat kekerasan simbolik terlihat sebagia bentuk dari pelestarian “moral kehormatan”, dan menciptakan dunia baru dimunculkan dengan perasaan bersalah dari kelas dominan, karena kelas dominan yang dimaksud adalah segerombolan orang-orang yang menculik pada masa itu.
Kata kunci: Strukturasi Kekuasaan, Kekerasan Simbolik
xii ABSTRACT
Kurniawan, Ignasius Febby. 2022. Domination Structure and Symbolical Violence on Mengapa Kau Culik Anak Kami Play Script: Pierre Bourdieu’s Perspective.
Thesis. Yogyakarta: Indonesian Literature Study Program, Faculty Letters.
Yogyakarta Sanata Dharma University.
This study examines the structuration of power and symbolic violence in the drama script Why You Kidnap Our Children by Seno Gumira Ajidarma: Pierre Bourdieu's Perspective. The purpose of this study is to describe the structuration of power and symbolic violence in the drama script Why You Kidnap Our Children by Seno Gumira Ajidarma.
This study uses the MH Abrams paradigm that has been repositioned by Taum (2017), namely a discursive approach. The theory used to analyze this drama script is the structuration of power and symbolic violence from Pierre Bourdieu's perspective. The data collection method used is literature study. The data analysis method used is content analysis method. The results of data analysis are presented using a qualitative descriptive method.
The results of this study include the structuration of power and symbolic violence in the drama script Why You Kidnap Our Children. The study of power structuration shows that there are four types of capital, namely (a) economic capital, (b) social capital, (c) cultural capital, and (d) symbolic capital. The Rulers in the play Why You Kidnapped Our Children are the owners of the biggest capital, so capital is the main point to determine class, habitus, and arena.
There are three types of classes in this drama script, namely (a) the dominant class, (b) the petty bourgeoisie, (c) the popular class. The dominant class is owned by the rulers, the petty bourgeoisie belongs to the Satria character, while the popular class belongs to the character Sarah.
There are three types of habitus in this drama script, namely (a) the dominant class habitus, owned by the rulers, (b) the petty bourgeois class habitus, owned by the Satria character and (c) the popular class habitus, owned by the father and mother figures. Meanwhile, the arena is divided into two, namely (a) the economic arena, and (b) the political arena.
Symbolic violence in this drama script is obtained through forms of euphemism, the censorship mechanism contained in it can make symbolic violence seen as a form of preserving "moral honor", and create a new world that is raised with feelings of guilt from the dominant class, because the dominant class in question is a group of people who kidnapped at that time.
Keywords: Structural Power, Symbolic Violence
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMING ... Error! Bookmark not defined. HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... Error! Bookmark not defined. HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS………v
HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
HALAMAN MOTTO ... x
ABSTRAK ... xii
ABSTRACT ... xiii
DAFTAR ISI ... xiiii
DAFTAR TABEL……… xiv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 5
1.3 Tujuan Penelitian...6
1.3.1 Tujuan Umum...6
1.3.2 Tujuan Khusus...6
1.4 Manfaat Penelitian ... 6
xiv
1.4.1 Manfaat Teoretis ... 6
1.4.2 Manfaat Praktis ... 6
1.5 Tinjauan Pustaka ... 7
1.6 Pendekatan ... 11
1.7 Landasan Teori ... 13
1.7.1 Pengantar... 13
1.7.2 Strukturasi Kekuasaan ... 13
1.7.2.1 Modal ... 14
1.7.2.2 Kelas ... 15
1.7.2.3 Arena ... 16
1.7.2.4 Habitus ... 16
1.7.3 Kekerasan Simbolik ... 17
1.7.3.1 Eufemisme... 18
1.7.3.2 Mekanisme Sensorisasi ... 18
1.7.3.3 Menciptakan Dunia ... 19
1.8 Metode Penelitian... 19
1.8.1 Metode Analisis Data ... 20
1.8.2 Metode Penyajian Hasil Analisis Data ... 20
1.8.3 Sumber Data ... 21
1.9 Sistematika Penyajian ... 21
xv
BAB II STRUKTURASI KEKUASAAN DALAM NASKAH DRAMA MENGAPA KAU CULIK ANAK KAMI KARYA SENO GUMIRA
AJIDARMA...23
2.1 Pengantar ... 23
2.2 Modal ... 24
2.2.1 Modal Ekonomi ... 24
2.2.2 Modal Sosial ... 28
2.2.3 Modal Budaya ... 32
2.2.4 Modal Simbolik ... 35
2.3 Kelas ... 37
2.3.1 Kelas Dominan ... 38
2.3.2 Kelas Borjuasi Kecil ... 38
2.3.3 Kelas Popular ... 39
2.4. Habitus ... 41
2.4.1 Habitus Kelas Dominan ... 41
2.4.2 Habitus Kelas Borjuasi Kecil ... 42
2.4.3 Habitus Kelas Popular ... 43
2.5 Arena ... 44
2.5.1 Arena Ekonomi ... 45
2.5.2 Arena Politik ... 47
2.6 Rangkuman ... 49
xvi
BAB III KEKERASAN SIMBOLIK DALAM NASKAH DRAMA MENGAPA KAU CULIK ANAK KAMI KARYA SENO GUMIRA
AJIDARMA...50
3.1 Pengantar ... 51
3.1.1 Eufimisme ... 53
3.1.2 Mekanisme Sensorisasi ... 56
3.1.3 Menciptakan Dunia ... 57
3.2 Rangkuman ... 58
BAB IV PENUTUP ... 60
4.1 Kesimpulan ... 60
4.2 Saran ... 61
DAFTAR PUSTAKA ... 62
LAMPIRAN Sinopsis Naskah Drama Mengapa Kau Culik Anak Kami ... 65
BIOGRAFI PENULIS ... 68
xvii
DAFTAR TABEL
Tabel 1: Klasifikasi Modal dalam Naskah Drama
Mengapa Kau Culik Anak Kami ……….37
Tabel 2: Klasifikasi Kelas dalam Naskah Drama
Mengapa Kau Culik Anak Kami ………...41 Tabel 3: Klasifikasi Habitus dalam Naskah Drama
Mengapa Kau Culik Anak Kami………..44 Tabel 4: Klasifikasi Arena dalam Naskah Drama
Mengapa Kau Culik Anak Kami………..48 Tabel 5: Klasifikasi Kekerasan Simbolik dalam Naskah Drama
Mengapa Kau Culik Anak Kami………...58
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Karya sastra selalu menarik untuk diteliti karena menyimpan realita di dalamnya.
Ada banyak persoalan yang sebenarnya terkandung di dalamnya. Masalah-masalah di dalam kehidupan seringkali terungkap dari karya sastra. Wellek dan Warren (2003:15) mengungkapkan bahwa pendekatan umum yang dilakuan terhadap hubungan sastra dan masyarakat adalah mempelajari sastra sebagai dokumen sosial, sebagai potrek kenyataan sosial.
Naskah drama adalah karangan yang berisi cerita atau lakon. Bentuk naskah drama dan susunannya berbeda dengan cerita atau lakon. Bentuk naskah drama dan susunannya berbeda dengan naskah cerita pendek atau novel. Naskah drama tidak mengisahkan cerita secara langsung. Penuturan ceritanya diganti dengan dialog para tokoh. Jadi, naskah drama itu mengutamakan ucapan-ucapan atau pembicaraan para tokoh. Dari pembicaraan para tokoh itu penonton dapat menangkap dan mengerti seluruh ceritannya menurut Wiyanto (2002: 31-32).
Pierre Bourdieu merupakan tokoh filsuf dunia yang berperan penting dalam perkembangan ilmu sosiologi, antroplogi, serta lewat beberapa karyanya ia juga berperan penting dalam bidang pendidikan. Konsep kunci pemikiran Pierre Bourdieu tentang strukturasi kekuasaan terbagi menjadi empat bagian yaitu, modal, kelas,
habitus, dan arena (Martono, 2012: 32). Secara umum, modal merupakan alat atau instrumen untuk melakukan dominasi sosial. Kelas merupakan individu maupun sekelompok orang yang berada pada posisi tertentu dan memiliki peran dalam situasinya. Habitus merupakan hasil keterampilan yang menjadi tindakan praktis (tidak harus selalu disadari) yang kemudian diterjemahkan menjadi suatu kemampuan yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu. Arena adalah medan pertempuran stuktur arena yang menopang dan mengarahkan strategi yang digunakan oleh orang-orang yang menduduki posisi ini untuk berupaya (Rusdiarti, Jurnal Basis edisi khusus Pierre Bourdieu, November—Desember, 2003: 11—12).
Sedangkan, kekerasan simbolik merupakan konsep penting dalam penelitian ini karena dalam dominasi sosial masyarakat kekerasan tidak terjadi begitu saja melainkan terdapat peran dari individu atau kelompok masyarakat yang menjadi bagian dari simbol-simbol.
Pemikiran Pierre Bourdieu tentang strukturasi kekuasaan dan kekerasan simbolik sangat cocok dengan situasi kehidupan sosial masyarakat suatu sikap mendominasi dan terdominasi akan hadir dengan sendirinya baik dilakukan secara sadar atau tidak oleh pelakunya (Rusdiarti, Jurnal Basis edisi khusus Pierre Bourdieu, November—
Desember, 2003: 11—12). Baik modal, kelas, habitus, arena, dan kekerasan simbolik menjadi contoh bentuk-bentuk dominasi sosial yang terjadi di masyarakat. Seperti halnya karya sastra fiksi yang dibuat oleh penulis, terkadang karya sastra berbentuk fiksi tersebut berlatar belakang suatu kejadian atau peristiwa yang pernah dialami seseorang atau dialami langsung oleh penulis itu sendiri. Naskah drama Mengapa Kau
Cilik Anak Kami menggangkat persoalan mengenai praksis sosial terhadap masyarakat yang terjadi pada masa Orde Baru. Penulis naskah tersebut Seno Gumira Ajidarma menuliskan naskah tersebut sesuai dengan peristiwa yang pernah dia alamin atau rasakan.
Dalam naskah drama Seno Gumira Ajidarma yang berjudul Mengapa Kau Culik Anak Kami peneliti akan mencari bentuk dari strukturasi kekuasaan yang mencakup modal, kelas, habitus, dan arena. Peneliti melihat adanya bentuk dominasi terhadap kelas kecil atau masyarakat kecil pada masa Orde baru, yang terjadi dalam naskah drama Mengapa Kau Culik Anak Kami, untuk itu peneliti tertarik mengkaji modal, kelas, habitus, dan arena guna melihat strukturasi kekuasaan yang terdapat dalam naskah drama ini. Setelah peneliti menemukan strukturasi kekuasaan yang ada dalam naskah drama Mengapa Kau Culik Anak Kami, peneliti akan masuk mencari kekerasan simbolik berupa eufimisme, mekanisme sensorisasi, dan menciptakan dunia. Peneliti tertarik untuk mengaji naskah drama Mengapa Kau Culik Anak Kami menggunakan strukturasi kekuasaan dan kekerasan simbolik perspektif: Pierre Bourdieu karena peneliti melihat adanya relasi kekuasaan yang merugikan masyarakat bawah pada masa Orde Baru.
Naskah drama dengan judul Mengapa Kau Culik Anak Kami ini memiliki latar pada tahun 1990-an. Naskah drama ini berusaha menceritakan penderitaan dan kekerasan batin yang dirasakan oleh keluarga korban kasus penculikan aktivis pada era Orde Baru. Dalam naskah drama Mengapa Kau Culik Anak Kami karya Seno Gumira Ajidarma hanya terdapat dua tokoh, yaitu tokoh Bapak dan tokoh Ibu. Adegan yang
terjadi dalam naskah tersebut adalah tokoh Bapak dan tokoh Ibu duduk di depan TV mereka berdua berdialog menceritakan sebuah peristiwa yang pernah mereka alami dan tidak mungkin mereka lupakan, mereka berdua mencertikan tentang anak mereka yang bernama Satria, waktu itu satria adalah aktivis yang diculik pada saat masa Orde Baru, Bapak dan Ibu tersebut mempertanyakan keberadaan anaknya tersebut apakah anaknya masih hidup atau sudah mati, namun mereka tidak mendapatkan sama sekali tentang keadaan anaknya itu sampai sekarang.
Alasan peneliti memilih naskah drama Mengapa Kau Culik Anak Kami karya Seno Gumira Ajidarma dan mengkajinya dengan teori strukturasi kekuasaan dan kekerasan simbolik Pierre Bourdieu adalah. (1) naskah drama ini menggangkat sebuah kritik terhadap sistem pemerintahan masa Orde Baru, (2) terdapat kekerasan secara langsung maupun tidak langsung dalam naskah Mengapa Kau Culik Anak Kami, peneliti akan mengkajinya menggunakan teori kekerasan simbolik, dan (3) Belum adanya peneliti yang meneliti strukturasi kekuasan dan kekerasan simbolik dalam naskah drama Mengapa Kau Culik Anak Kami menggunakan perspektif Pierre Bourdieu.
Berdasarkan alasan di atas peneliti memilih teori strukturasi kekuasaan dan kekerasan simbolik perspektif Pierre Bourdieu sebagai berikut, (1) teori strukturasi kekuasaan dapat menjelaskan modal, kelas, habitus dan arena yang terdapat dalam naskah Mengapa Kau Culik Anak Kami karya Seno Gumira Ajidarma dan (2) teori kekerasan simbolik dapat menjelaskan berbagai bentuk kekerasan secara langsung maupun tidak langsung dalam naskah drama Mengapa Kau Culik Anak Kami.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dirumuskan permasalahan sebagai berikut.
1.2.1 Bagaimana strukturasi kekuasaan dalam naskah drama Mengapa Kau Culik Anak Kami karya Seno Gumira Ajidarma?
1.2.2 Bagaimana bentuk kekerasan simbolik dalam naskah drama Mengapa Kau Culik Anak Kami karya Seno Gumira Ajidarma?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, ditetapkan tujuan penelitian sebagai berikut.
1.3.1 Tujuan Umum
Mendeskripsikan strukturasi kekuasaan dan kekerasan simbolik dalam naskah drama Mengapa Kau Culik Anak Kami menggunakan teori Pierre Bourdieu.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan strukturasi kekuasaan dalam naskah drama Mengapa Kau Culik Anak Kami karya Seno Gumira Ajidarma.
b. Mendeskripsikan bentuk kekerasan simbolik dalam naskah drama Mengapa Kau Culik Anak Kami.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini berupa deskripsi strukturasi kekuasaan dan bentuk kekerasan simbolik dalam naskah drama Mengapa Kau Culik Anak Kami karya Seno Gumira Ajidarma. Hasil penelitian ini memberi manfaat teoritis dan manfaat praktis.
1.4.1 Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini bermanfaat sebagai contoh penerapan teori strukturasi kekuasaan dan kekerasan simbolik: perspektif Pierre Bourdieu dalam karya sastra, yakni naskah drama. Selain itu, penelitian ini juga bermanfaat sebagai contoh pengembangan teori strukturasi kekuasaan dan kekerasan simbolik: perspektif Pierre Bourdieu dalam kontek karya sastra Indonesia.
1.4.2 Manfaat Praktis
Hasil penelitian bermanfaat menambah apresiasi dan kritik sastra terhadap naskah drama Mengapa Kau Culik Anak Kami karya Seno Gumira Ajidarma. Penelitian ini diharapkan juga menjadi salah satu rujukan studi membahas modal, kelas, habitus, dan arena, serta kekerasan simbolik. Penelitian ini diharapkan bisa menambah pengetahuan bagi pembaca secara langsung.
1.5 Tinjauan Pustaka
Peneliti belum menemukan suatu penelitian yang membahas naskah drama Mengapa Kau Culik Anak Kami menggunakan perspektif Pierre Bourdieu, namun peneliti menemukan beberapa karya ilmiah yang menganalisis karya sastra menggunakan perspektif Pierre Bourdieu, yakni Karnata (2013); Adriani (2014), Fadli (2017), dan Zulmailis (2017), serta Novenia, Taum, dan Adji (2019).
Penelitian pertama yang relevan didapat dalam analisis yang dilakukan oleh Karnata (2013). Ia mengulas teori Pierre Bourdieu dalam jurnal Poetika Vol.1, Juli 2013 dengan judul “Paradigma Teori Arena Produksi Kultural Sastra Kajian terhadap Pemikiran Pierre Bourdieu”. Penelitian tersebut membahasa latar belakang Pierre Bourdieu, karangka pemikiran teoritik Bourdieu, genesis arena sastra, formulasi teori sastra sebagai praktik sosial, agensi dan habitus, modal kelas dan kekuasaan simbolik.
Kesimpulannya tulisan ini telah menunjukan teori arena produksi kultural yang dicetuskan Pierre Bourdieu sesungguhnya dibangun dari integrasi setidaknya empat paradigma yakni, (a) Positivisme, yang tampak pada analisisnya mengenai hukum- hukum yang berlaku pada suatu arena berikut penggunaan data-data kuantitatif dalam konsepnya mengenai konsep kelas sosial, (b) Fenomenologi, yang tempak pada konsep habistus sebagai suatu skena kesadaran tindakan seorang agen, (c) Strukturalisme, baik sebagai paradigm maupun metode analisis yang ia gunakan mengkaji teks sastra guna memformulasikan skema generative suatu teks, (d) Marxsisme, yang tampak pada
kepekaannya dalam relasi kuasa dalam struktur arena sastra dan ruang sosial serta mewujudkan konsep mengenai kekerasan simbolik.
Penelitian kedua yang relevan didapat dalam analisis yang dilakukan oleh Adriani (2014). Ia telah meneliti naskah drama Mengapa Kau Culik Anak Kami dengan judul “Kekerasan Politik Orde Baru dalam Kumpulan Naskah Drama Mengapa Kau Culik Anak Kami Karya Seno Gumira Ajidrama”. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Strukturalisme Genetik konsep Lucien Goldmann. Penelitian ini mengungkapkan kekerasan politik Orde Baru: terdapat sepasang suami dan istri yang menanti anaknya pulang ke rumah. Anaknya tersebut sudah dipastikan hilang tanpa jejak akibat melawan sistem pemerintahan pada waktu itu, namun kedua orang tua ini menuntut keadilan agar pemerintah memberi titik terang kepada mereka. Tetapi kedua suami dan istri ini tidak bisa berbuat banyak mereka hanya menanti dan berdoa. Hal tersebut merupakan cerminan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa Orde Baru.
Dalam unsur-unsur tersebut peneliti menganalisis hal apa saja yang berkaitan satu sama lain. Hasil analisis memperhatikan bahwa dalam drama Mengapa Kau Culik Anak Kami, kekerasan dijalankan atas alasan keamanan negara demi kekuasaan yang dapat dirasakan oleh elit politik.
Penelitian ketiga yang relevan didapat dalam analisis yang dilakukan oleh Fadli (2017). Ia telah meneliti naskah drama Mengapa Kau Culik Anak Kami, dengan judul
“Pemeranan tokoh bapak dalam naskah drama Mengapa Kau Culik Anak Kami karya Seno Gumira Ajidarma”. Hasil penelitian ini menjelaskan letak realisme psikologis: di mana lebih ditekankan oleh aspek-aspek kejiwaan tokoh. Teror dan kecemasan
membuat kesadaran yang objektif dalam diri tokoh. Pada naskah drama Mengapa Kau Culik Anak Kami, seorang tokoh Bapak mengalami teror karena anaknya Satria diculik oleh penguasa. Tokoh Bapak membayangkan bagaimana kekerasan para penguasa merencanakan penculikan hingga pada akhirnya mereka menculik orang-orang yang telah dipilih. Perwujudan tokoh merupakan hasil ide pikiran dan praktek laku seorang pemeran. Perwujudan ini dimulai dari pemilihan peran, pencarian karakter berdasarkan analisis, hingga penyempurnaan peran dalam proses-proses latihan yang telah dilalui oleh pemeran. Perwujudan peran ini bertumpu pada metode akting Stanislavsky.
Berdasarkan metode ini pemeran menyakinkan penonton bahwa apa yang terjadi di atas panggung adalah kejadian sebenarnya.
Penelitian keempat yang relevan didapat dalam analisis yang dilakukan oleh Zulmailis (2017). Ia menulis artikel dengan judul “Doksa, Kekerasan Simbolik dan Habitus yang Ditumpangi dalam Kontruksi Kebudayaan di Dewan Kesenian Jakarta”.
Penelitian ini menggunakan teori Bourdieu sebagai pondasi utama, yakni habitus dan arena, lembaga dan struktur sebagai prinsip-prinsip yang melahirkan dan mengembangkan kebiasaan, memproduksi habitus dan perspektif bersama. Dewan kesenian Jakarta menunjukan bahwa habitus dan perspektif bersama ditempatkan sebagai doksa yang menjadi pedoman dalam praktik-praktik budaya bagi rencangan program seni, berasal dari struktur budaya yang dibangun melalui kekerasan simbolik untuk lembaga produksi model dari manifestasi kesenian terbaik yang dihasilkan anak bangsa. Hal ini diasosiasikan kembali di arena budaya melalui cara yang sama, lewat kekerasan simbolik.
Penelitian terakhir yang relevan didapat dalam analis yang dilakukan oleh Novenia, Taum, dan Adji (2019), dengan judul “Strategi Dominasi Dalam Novel Maryam Karya Okky Madasari: Perspektif Pierre Bourdieu”. Penelitian ini menganalisis jejaring sosial dan kajian alur menurut teori Franco Moreti, serta analisis strategi dominasi dalam novel Maryam karya Okky Madasari. Dalam novel Maryam, terdapat empat simpul yang memiliki relasi (tepi) yang berbeda-beda. Alur dalam novel Maryam menggunakan alur campuran, karena cerita tidak berurutan dan sering menceritakan masa lampau. Penelitian ini menggunakan pendekatan diskursif. Hasil penelitian ini memperlihatkan lima kesimpulan sebagai berikut. 1) Perbedaan kelas dalam novel Maryam terbagi menjadi tiga, yakni kelas dominan, kelas borjuasi baru, dan kelas borjuasi kecil. 2) Modal ekonomi, sosial, modal budaya (agama) kelompok islam lebih kuat. 3) Arena dalam novel Maryam adalah arena agama dan arena ekonomi. 4) Dominasi simbolik dilakukan kelompok islam dalam bentuk poligami. 5) Kelompok Ahmadiyah yang termasuk kelas dominan justru mengalami dominasi, karena dalam arena agama mereka termasuk dalam kelompok minoritas yang dianggap sasat.
Dari hasil penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian tentang strukturasi kekuasaan dalam naskah drama karya Seno Gumira Ajidarma yang berjudul Mengapa Kau Culik Anak Kami menggunakan teori Pierre Bourdieu belum pernah dilakukan. Penelitian pertama yang relevan didapat dalam analisis yang dilakukan oleh Karnaata (2013) mengulas teori Pierre Bourdieu dalam jurnal Poetika Vol.1, Juli 2013 dengan judul “Paradigma Teori Arena Produksi Kultural Sastra Kajian terhadap
Pemikiran Pierre Bourdieu”. Penelitian kedua yang relevan didapat dalam analisis yang dilakukan oleh Adriani (2014). Ia meneliti naskah drama Mengapa Kau Culik Anak Kami dengan judul “Kekerasan Politik Orde Baru dalam Kumpulan Naskah Drama Mengapa Kau Culik Anak Kami Karya Seno Gumira Ajidrama”. Penelitian ketiga yang relevan didapat dalam analisis yang dilakukan oleh Fadli (2017). Ia telah meneliti naskah drama Mengapa Kau Culik Anak Kami dengan judul “Pemeranan tokoh bapak dalam naskah drama Mengapa Kau Culik Anak Kami karya Seno Gumira Ajidarma”.
Penelitian keempat yang relevan didapat dalam analisis yang dilakukan oleh Zulmailis (2017). Ia menulis artikel dengan judul “Doksa, Kekerasan Simbolik dan Habitus yang Ditumpangi dalam Kontruksi Kebudayaan di Dewan Kesenian Jakarta”. Penelitian terakhir yang relevan didapat dalam analis yang dilakukan oleh Novenia, Taum, dan Adji (2019). Penelitian ini meneliti Strategi Dominasi Dalam Novel Maryam Karya Okky Madasari: Perspektif Pierre Bourdieu.
1.6 Pendekatan
Kajian ini merupakan sebuah penelitian kualitatif. Dalam penerapannya, peneliti menggunakan paradigma M. H. Abrams yang telah direposisi oleh (Taum, 2017:5-6). Hasil reposisi tersebut menghasilkan enam pendekatan kritik sastra, yakni kritik sastra objektif, pragmatik, ekspresif, mimetik, elektik, dan diskursif.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kritik sastra diskursif. Pendekatan diskursif sendiri adalah hasil reposisi dari pendekatan objektif yang mana teks dijadikan sumber penelitian. Pendekatan diskursif juga menitikberatkan sumber
penelitian. Tidak hanya itu, pendekatan diskursif juga menitikberatkan pada diskursus (wacana) atau dialog timbal balik antara peneliti dan teks yang dikaji (Taum, 2017:5- 6).
Hal ini sejalan dengan pemikiran Bourdieu yang terletak di dalam bidang ilmu sosial, terutama di dalam kajian budaya: teori struktural konstruktif. Teori ini lahir dari pencampuran antar dua teori yang saling berselisih, yakni teori struktural dan teori eksistensialisme. Bourdieu tidak menyetujui aliran strukturalisme yang digagas oleh Saussure, Levi-Strauss, dan Strukturalisme Marxis—dengan alasan bahwa strukturalis lebih memilih meletakkan pandangannya pada struktur-struktur objektif dan mengabaikan proses konstruksi sosial (Siregar, 2016:79-80).
Ketidaksetujuan yang diutarakan oleh Bourdieu terhadap strukturalisme (sebagai suatu aliran yang mengabaikan eksistensi agen-agen sosial) bermuara pada usahanya untuk mengembalikan aktor (agen) tersebut ke dalam kehidupan nyata, yang tidak dilihat oleh kaum strukturalis (Siregar, 2016:80-81).
Strukturalisme menekankan suatu determinisme struktur, sehingga peran dari subjek ditiadakan. Bourdieu sebaliknya, mengawinkan kedua teori tersebut (strukturalisme dan eksistensialise) menjadi teori baru, yang dinamakan sebagai strukturalisme konstruktif: terdapat suatu hubungan yang saling berhubungan antara subjektivitas dan objektivitas, antara agen dan struktur (Siregar, 2016:79-80).
1.7 Landasan Teori
1.7.1 Pengantar
Peneliti akan menjabarkan landasan teori yang berisikan aspek-aspek strukturasi kekuasaan dan kekerasan simbolik yang sesuai dengan rumusan masalah.
Peneliti memasukkan teori-teori strukturasi kekuasaan dan kekerasan simbolik perspektif Pierre Bourdieu, antara lain: modal, kelas, habitus, dan arena. Sedangkan, kekerasan simbolik terbagi menjadi tiga yaitu, eufimisme, mekanisme sensorisasi, dan menciptakan dunia. Secara khusus teori mengenai strukturasi kekuasaan akan peneliti gunakan sebagai landasan utama dalam analisis mengenai strukturasi kekuasaan yang terdapat dalam naskah drama Mengapa Kau Culik Anak Kami karya Seno Gumira Ajidarma. Kekerasan simbolik dalam landasan teori digunakan sebagai alat untuk melihat eufimisme, mekanisme sensorisasi, dan menciptakan dunia.
1.7.2 Strukturasi Kekuasaan
Pierre Bourdiue juga menyampaikan bahwa di dalam sebuah praksis kekuasaan, ditemukan adanya kekerasan yang tidak terlihat secara kasat mata.
Kekerasan ini disebut sebagai kekerasan simbolik atau kekerasan yang tak kasat mata.
Kekerasan semacam ini oleh korbannya bahkan tidak dirasakan sebagai kekerasan, tetapi sebagai sesuatu yang alamiah dan wajar (Haryatmoko, 2016:57)
Konsep dasar pemikiran Pierre Bourdieu adalah strukturasi kekuasaan, bahwa kekuasaan bisa dihasilkan melalui empat konsep, yaitu kapital modal, kelas, habitus,
dan arena. Dengan memahami keempat konsep ini, kita dapat mengetahui kontruksi suatu masyarakat dan mengungkap pola-pola praktik sosial sekaligus memetakan struktur-struktur di dalamnya (Sutrisno, 2016:5-6).
Strukturasi kekuasaan merupakan interaksi antara struktur objektif dan subjektif yang dipengaruhi dan mempengaruhi habitus dan arena. Strukturasi kekuasaan mengandaikan bahwa relasi antar tiap agen atau manusia dalam masyarakat luar bersifat hierarkis saling mempengaruhi-saling mendominasi (Haryatmoko, 2016:35).
1.7.2.1 Modal
Dalam pemikiran Bourdieu, modal bukanlah berarti tentang uang saja seperti dalam istilah ekonomi. Namun lebih luas dari hal tesebut, modal berarti sebuah hasil kerja yang terakumulasi dan terjiwai dalam diri seseorang (Martono, 2012: 32). Artinya bahwa yang dimaksudkan modal oleh Pierre Bourdieu adalah sesuatu yang tidak hanya bersifat materi namun juga bersifat nonmateri. Modal menjadi sangat penting karena dapat menentukan posisi seseorang atau kelompok dalam struktur sosial.
Modal terbagi atas empat bagian, yaitu modal ekonomi, modal sosial, modal budaya, dan modal simbolik. Modal ekonomi adalah modal yang berkaitan dengan uang dan warisan yang bisa diteruskan untuk generasi selanjutnya. Modal sosial adalah modal bersama yang membuat adanya jaringan hubungan. Misalnya seperti keluarga, suku dan sekolah. Modal budaya adalah kemampuan seseorang dalam sikap, cara
bertutur kata, berpenampilan, cara bergaul, dan sebagainya. Sedangkan modal simbolik adalah sesuatu yang dikenal dan diakui secara natural, seperti tempat tinggal, hobi, tempat makan, dan sebagainya (Martono, 2012:33).
1.7.2.2 Kelas
Pemikiran Pierre Bourdieu memang dipengaruhi juga oleh Karx Marx sehingga dia juga menggunakan istilah kelas yang dimaknai sebagai sebuah individu yang menepati posisi atau kedudukan yang sama. Dan hal ini Bourdieu juga menggunakan istilah selera (Martono, 2012:34). Menurut Pierre Bourdieu setiap kelas memiliki selera dan kebiasaan yang berbeda, sehingga terciptalah hubungan antara kelas yang tidak seimbang.
Menurut Pierre Bourdieu ada tiga kelas yaitu, kelas dominan, kelas borjuasi kecil, dan kelas popular. Kelas dominan adalah pemilikan modal yang cukup besar sehingga membedakan dirinya dengan yang lainnya, sedangkan kelas borjuasi kecil adalah kelas yang berusaha memiliki modal ekonomi dengan berusaha menyamai kelas dominan, selanjutnya kelas popular adalah kelas yang cenderung menerima dominasi kelas dominan (Martono, 2012:34).
1.7.2.3 Arena
Arena adalah area pertarungan dan perjuangan (Haryatmoko, 2016:50). Setiap arena pasti memiliki aturan main dan logikannya serta semua arena dapat membangkitkan keyakinan bagi para aktor mengenai sesuatu yang dipertaruhkan.
Arena memiliki struktur memberikan strategi bagi penghuninya, baik individu ataupun kelompok. Hal ini bertujuan mempertahankan atau menaikan posisi dan jenjang pencapaian sosial. Arena terdapat kekuatan-kekuatan dari agen yang mendominasi maupun dodominasi, sehingga wajar bila ada pertarungan dan perjuangan. (Haryatmoko, 2016:50)
1.7.2.4 Habitus
Habitus adalah disposisi diri yang merupakan hasil internalisasi dari pengaruh lingkungan yang tahan lama dan dapat diwariskan menjadi pengatur tindakan praktis.
Habitus menjadi sebuah kemampuan hasil keterampilan yang alami dan berkembang dalam lingkungan masyarakat. Ini menjadi dasar kepribadian seseorang. Misalnya seseorang menjadi pianis terkenal karena sering belajar dan memainkan piano.
(Martono, 2012:36)
Habitus adalah kesadaran yang dilatih, diasah dan dikembangkan yang kemudian menjadi bagian integral dari diri. Lingkungan bisa mempengaruhi perkembangan habitus. Dengan demikian bagi Pierre Bourdieu tidak ada pemisahan ketat antara pelaku sosial dari struktur-struktur yang melingkupinya. Individu belajar
tentang apa yang berbeda di luar kehidupan, bagaimana mereka berhasil dalam berbagai kegiatan, bagaimana orang lain merespon aktivitas dirinya jika mereka melakukan cara yang tidak biasanya. (Martono, 2012:36).
1.7.3 Kekerasan Simbolik
Kekerasan simbolik merupakan bentuk kekerasan yang tidak mudah dilihat wujudnya (Martono, 2012: 4). Kekerasan simbolik melekat ke dalam bentuk tindakan, struktur pengetahuan, struktur kesadaran individual, serta memaksakan kekuasaannya ke dalam tatanan sosial masyarakat, lebih lengkapnya kekerasan simbolik merupakan suatu imposisi atau pemaksaan pemberlakuan sistem simbol dan arti (budaya) struktur kelas masyarakat dengan cara perlahan, tidak tampak, dan halus (misrecognition, sehingga objek yang dituju tidak merasakan dampaknya sebagai sesuatu yang solid:
sebagai suatu kepentingan bagi kelompok yang mendominasi ( Jenkin, “Membaca Pikiran Pierre Bourdieu” 1992: 66).
Kekerasan simbolik ini memiliki mekanisme yang halus dalam proses pengaplikasiannya di masyarakat (pelan tapi pasti). Objek yang dituju tidak sadar akan keberadaan dirinya sebagai suatu objek kekerasan: menerima apa yang dipaksakan secara halus oleh kelas dominan, karena pada dasarnya kekerasan simbolik berada pada lokus suatu kenyataan yang ditanam pada tubuh masyarakat melalui sebuah mekanisme, yakni mekanisme kultural (Martono 2012: 39).
Kekerasan dapat disebut sebagai kuasa simbolik (symbolic power) dan dominasi simbolik (symbolic dominance). Kekerasan simbolik, dapat dilakukan melalui dua cara, yakni (a) cara halus (Eufemisme) dalam bentuk kepercayaan, kewajiban, kesetiaan, pemberian hutan, sopan-santun, dan belas kasihan. (b) Sensoris: menampak dalam bentuk pelestarian semua bentuk nilai yang dapat dianggap sebagai moral kehormatan, contohnya yakni seperti santun, kesucian, kedermawanan, dan lain-lain yang dipertentangkan oleh moral rendah seperti kekerasan, kriminal, ketidakpantasan.
(c) Menciptakan dunia, Pelaku sosial dapat menciptakan atau menghancurkan, memisahkan atau menyatukan, dan yang lebih penting lagi dengan menggunakan kekerasan simbolik, ia dapat membuat definisi maskulin atau feminism, kuat atau lemah, baik atau buruk, benar atau salah (Martono, 2012: 38-40).
1.7.3.1 Eufemisme
Eufemisme membuat kekerasan simbolik menjadi tidak nampak, bekerja sangat halus, tidak dapat dikenali, dan dapat dipilih secara tidak sadar. Bentuk Eufemisme dapat berupa kepercayaan, kewajiban, kesetiaan, sopan santun, pemberian, utang pahala, dan belas kasihan (Martono, 2012: 40).
1.7.3.2 Mekanisme Sensorisasi
Mekanisme Sensorisasi menjadikan kekerasan simbolik nampak sebagai bentuk sebuah pelestarian semua bentuk nilai yang dianggap sebagai moral
kehormatan, seperti: kesantunan, kesucian, kedermawanan, dan sebagainya yang biasanya dipertentangkan dengan moral yang rendah, seperti: kekerasan, kriminal, ketidakpantasan, asusila, kerakusan, dan sebagainya (Martono, 2012:40).
1.7.3.3 Menciptakan Dunia
Pelaku sosial dapat menciptakan atau menghancurkan, memisahkan atau menyatukan, dan yang lebih penting lagi dengan menggunakan kekerasan simbolik, ia dapat membuat definisi maskulin atau feminism, kuat atau lemah, baik atau buruk, benar atau salah (Martono, 2012:40).
1.8 Metode Penelitian
Menurut (Ratna, 2004:49), metode adalah Langkah-langkah atau cara untuk memahami realitas, memecahkan masalah, dan memecahkan rangkaian sebab akibat berikutnya. Metode dalam penelitian ini meliputi metode dan teknik pengumpulan data. Metode dan teknik analisis data, dan metode penyajian analisis data.
1.8.1 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data diterapkan dengan cara mengambil data dari beberapa sumber yang dapat memudahkan proses analisis dalam sebuah penelitian.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi pustaka. Peneliti menggunakan teknik baca dan teknik kepustakaan. Teknik baca digunakan peneliti
untuk membaca isi naskah drama Mengapa Kau Culik Anak Kami. Sedangkan teknik kepustakaan digunakan untuk mendapat data dari beberapa buku, artikel, atau senjenisnya untuk mendapatkan data referensi yang akurat dan sesuai teori yang digunakan.
1.8.2 Metode Analisis Data
Metode analisis data merupakan kegiatan menganalisis data, menganalisis suatu data dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber. Penelitian ini menggunakan dua metode yang saling melengkapi. pertama, metode analisis strukturasi kekusaan menurut Pierre Bourdieu yang terdiri dari modal, kelas, habitus, dan arena. Kedua analisis bentuk kekerasan simbolik dalam naskah drama Mengapa Kau Culik Anak Kami karya Seno Gumira Ajidarma.
1.8.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data
Pada saat penyajian data, peneliti akan menyajikan data dengan deskripsi kualitatif. Artinya peneliti mendeskripsikan analisis ke dalam kelimat-kalimat. Isi dari deskripsi ini berupa analisis mengenai strukturasi kekuasaan dan kekerasan simbolik yang terdapat di dalam naskah drama Mengapa Kau Culik Anak Kami karya Seno Gumira Ajidarma.
1.8.4 Sumber Data
Naskah drama yang menjadi objek penelitian ini memiliki identitas sebagai berikut.
Judul: Menggapa Kau Culik Anak Kami Nama Pengarang: Seno Gumira Ajidarma
Tahun Terbit: 2001
Penerbit: Galang Press
Jumlah Hamalan: vii + 188, hlm.: 21 cm.
1.9 Sistematika Penyajian
Laporan hasil penelitian ini akan disusun dalam empat bab, sebagai berikut.
Bab I adalah yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat hasil penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian.
Bab II adalah pembahasan. Pada bagian ini akan dijelaskan rumusan masalah yang pertama, yakni strukturasi kekuasaan dalam naskah drama Mengapa Kau Culik Anak Kami.
Bab III adalah pembahasan. Pada bagian ini akan dijelaskan rumusan masalah yang kedua, kekerasan simbolik dalam naskah drama Mengapa Kau Culik Anak Kami.
Bab IV adalah penutup yang terdiri dari kesimpulan penelitian dan saran.
Kesimpulan yang dimaksud berupa diskripsi strukturasi kekuasaan dan kekerasan simbolik naskah drama Mengapa Kau Culik anak Kami. Dan saran yang dimaksud adalah saran kepada peneliti yang hendak memperdalam kajian terhadap naskah drama Mengapa Kau Cukik Anak Kami.
23
BAB II
STRUKTURASI KEKUASAAN DALAM NASKAH DRAMA MENGAPA KAU CULIK ANAK KAMI KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA
2.1 Pengantar
Pada bab II penulis akan menganalisis dan memaparkan stukturasi kekuasaan yang dicetuskan Pierre Bourdieu dalam mengkaji naskah drama Mengapa Kau Culik Anak Kami karya Seno Gumira Ajidarma. Pembahasan akan mencakup empat konsep permasalahan mengenai modal, kelas, habitus, dan arena dalam naskah drama Mengapa Kau Culik Anak Kami.
Pembahasan ini dilakukan sebagai dasar untuk mengkaji kekerasan simbolik yang terdapat dalam naskah drama Mengapa Kau Culik Anak Kami. Permasalahan tersebut mencakup modal, kelas, habitus, dan arena yang terdapat dalam naskah drama Mengapa Kau Culik Anak Kami. Pembahasan terkait modal dilakukan terlebih dahulu karena modal merupakan hal yang sangat vital untuk menentukan kelas. Setelah itu, akan dianalisis habitus yang ada dalam naskah drama tersebut, dan bagaimana keberadaannya di dalam sebuah arena.
2.2 Modal
Dalam pemikiran Bourdieu, modal bukanlah berarti tentang uang saja seperti dalam istilah ekonomi. Namun lebih luas dari hal tersebut, modal berarti sebuah hasil kerja yang terakumulasi dan terjiwai dalam diri seseorang (Martono, 2012: 32). Artinya bahwa yang dimaksudkan modal oleh Bourdieu adalah sesuatu yang tidak hanya bersifat materi namun juga bersifat nonmateri. Modal menjadi sangat penting karena dapat menentukan posisi seseorang atau kelompok dalam struktur sosial.
Modal terbagi atas empat bagian, yaitu modal ekonomi, modal sosial, modal budaya, dan modal simbolik. Modal ekonomi adalah modal yang berkaitan dengan uang dan warisan yang bisa diteruskan untuk generasi selanjutnya. Modal sosial adalah modal bersama yang membuat adanya jaringan hubungan. Misalnya seperti keluarga, suku dan sekolah. Modal budaya adalah kemampuan seseorang dalam sikap, cara bertutur kata, berpenampilan, cara bergaul, dan sebagainya. Sedangkan modal simbolik adalah sesuatu yang dikenal dan diakui secara natural, seperti tempat tinggal, hobi, tempat makan, dan sebagainya (Martono, 2012:33).
2.2.1 Modal Ekonomi
Modal ekomoni bukan hanya berkaitan dengan uang saja melainkan bisa mencakup alat-alat produksi, materi dan harta yang dengan mudah dapat diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya (Martono, 2012:33-34).
Dalam naskah drama Mengapa Kau Culik Anak Kami modal ekonomi dapat dilihat dari dialog kedua tokoh Bapak dan Ibu, kedua bercerita tentang Si Mbok seorang pemain ludruk. Bapak dan Ibu menceritakan bahwa Si Mbok melihat Mayat teman- temannya dibuang kali, para penduduk pinggir kali menunggu mayat-mayat tersebut untuk dijarah, para penduduk mengambil arloji, ikat pinggang, cincin, dan gigi emas.
(1) Bapak: Penduduk pinggir kali, kare-kare itu, menunggu mayat- mayat yang lewat. Mereka mengaet mayat-mayat dengan bambu yang diberi pengait di ujungnya. Mereka geret mayat-mayat itu ke tepian, lantas mereka jarah.
Ibu: Bapak ingat semuanya. Padahal itu ceritaku.
Bapak: Penduduk mengambil arloji, ikat pinggang, cincin dan akhirnya menjebol gigi emas dari mayat-mayat itu.
(Ajidarma, 2001:99)
Dari dialog di atas tergambar bahwa modal ekonomi Si Mbok adalah bermata pencaharian sebagai pemain ludruk, kemudian hal-hal yang berkaitan dengan modal ekomoni dalam dialog kedua tokoh Bapak dan Ibu terjadi ketika tokoh Bapak mencoba membayangkan ruangan yang memiliki AC. Modal ekonomi pada dialog ini adalah ruangan yang memiliki AC karena AC adalah barang yang cukup mahal dan hanya kelas atas tertentu yang dapat membeli AC pada masa itu. Kepemilikan modal ekomoni yang dimaksud tokoh Bapak dan Ibu adalah Para Penguasa, berikut kutipan yang menyatakan modal ekomoninya.
(2) Bapak: Aku mencoba membayangkannya bu, sejumlah orang berkumpul di sekeliling meja di sebuah ruangan ber AC. Mereka mempunyai daftar nama. Mereka membicarakan
(Ajidarma, 2001:100)
Kemudian modal ekonomi yang terdapat dalam naskah drama ini terdapat pada masalah korupsi. Hal itu masuk dalam modal ekonomi karena korupsi berkaitan dengan
uang. Kepemilikan modal berupa tindakan korupsi tertuju pada Para Penguasa karena mereka yang biasa melakukan tindakan seperti itu. Modal ekonomi tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut.
(3) Bapak: Yang di sini bilang: “sebetulnya apa urusan kita dengan dia? Kita kan tahu apa yang dikatakan semua benar. Memang ada korupsi, memang ada kecurangan dalam pemilu. Memang ada teror dan intimidasi. Republik ini sudah hampir ambruk”.
(Ajidarma, 2001:110)
Dialog dalam naskah ini yang berkaitan dengan modal ekonomi adalah dialog antar Bapak dan Ibu yang berbicara mengenai pakaian anak mereka yang dikenakan pada saat terakhir kali orang-orang melihatnya. Modal ekonomi terdapat pada dialog adalah sebuah kaos Hard Rock Café karena memiliki brand atau merek yang cukup terkenal pada masa itu. Kepemilikan modal ekonomi berikutnya tertuju pada sebuah benda atau barang seperti kaos yang dimiliki oleh tokoh Satria, modal ekomoni berupa barang bisa dilihat dalam kutipan berikut.
(4) Bapak: Orang terakhir yang melihat dia bilang, waktu itu dia pakai kaos oblong.
Ibu: Iya, itu kaos Hard Rock Café.
Bapak: Aktivis kok kaosnya Hard Rock Café.
Ibu: Ya biarlah, namanya juga anak muda. Apa dia harus pakai kaos anti Orde Baru setiap hari
(Ajidarma, 2001:117-118)
Selanjutnya, dalam naskah drama tersebut yang memiliki modal ekonomi adalah dialog Ibu kepada Bapak. Dialog Ibu berisikan tentang kenangannya terhadap anaknya dan isi kamar anaknya. Modal ekonomi yang terdapat dalam dialog ini adanya menyebutkan isi barang dari kamar anaknya Satria seperti, kaset dan CD, gitar, tustel,
celana dan kaos oblong. Kepemilikan modal ekonomi tertuju pada tokoh Satria berupa barang-barang yang berada di kamarnya, berikut kutipan yang memperlihatkan modal ekonomi berupa barang.
(5) Ibu: (berdiri, berjalan) Kamu pikir bagaimana pak? Setiap kali aku memasuki kamar anak bungsu kita itu, aku selalu merasa dia masih akan pulang. Melihat tempat tidurnya, kaset dan CD nya, gitar, tustel, celana dan kaos oblong bergelantungan. Foto pacarnya (Ibu menangis)
Bapak: Tabah bu, Tabah.
(Ajidarma, 2001:120-121)
Modal ekonomi berikutnya, dalam naskah drama ini pada saat dialog Bapak dan Ibu yang membicarakan soal balok es yang digunakan pelaku untuk meniduri aktivis. Modal ekonominya adalah sebuah barang balok es, karena ada aktivitas membeli. Kepemilikan modal ekonomi ini adalah Para Penguasa karena aktivitas membeli dilakukan oleh mereka untuk kepentingan mereka, berikut kutipan memperlihatkan aktivitas pembelian balok es.
(6) Ibu: Jadi mereka dengan sadar melakukan pemaksaan.
Menculik. Menanyai sambil menempeleng dan menyentrum. Atau menyuruh tidur di atas balok es. Orang- orang yang dilepaskan bercerita seperti itu?
Bapak: Aku juga tak habis pikir. Mereka sengaja beli balok es. Beli! Beli dimana merek?
Ibu: Beli! Mungkin bikin sendiri!
(Ajidarma, 2001:125)
Dari naskah drama Mengapa Kau Culik Anak Kami karya Seno Gumira Ajidarma kepemilikan modal ekonominya adalah tokoh Para Penguasa, Si Mbok, dan Satria. Dari analisis di atas ditemukan bentuk modal ekonomi berupa barang, seperti contoh misalnya, gigi emas, alroji, ruangan ber AC, CD, kaset dll. Dapat disimpulkan
dari hasil analisis di atas kepemilikan modal ekonomi paling besar adalah tokoh Para Penguasa.
2.2.2 Modal Sosial
Modal sosial bisa berupa keluarga, suku, dan sekolah. Termasuk di dalamnya ialah hubungan-hubungan dan jaringan hubungan-hubungan yang merupakan sumber daya yang berguna di dalam penentuan dan repoduksi kedudukan sosial (Haryatmoko, 2003:12).
Dalam naskah drama Seno Gumira Ajidarma yang berjudul Mengapa Kau Culik Anak Kami terdapat beberapa dialog tokoh Bapak dan Ibu yang mempunyai modal sosial yang bagus jika diterapkan ke dalam masyarakat. Dialog tersebut berisikan tentang tokoh Bapak yang bertanya kepada Ibu, buku apa yang sedang Ibu baca, lalu tokoh Ibu menjawab buku Cara Melawan Teror. Berikut kutipan dialog tokoh Bapak dan Ibu berkaitan dengan modal sosial.
(7) Bapak: Baca buku apa sih?
Ibu: (sambil membaca sampulnya) Oh, ini buku baru: Cara Melawan
Teror
Bapak: Apa katanya?
Ibu: Baru juga mulai baca. Belum tahu isinya. Habis diajak ngomong terus sih!
Bapak: Yah, di sampul belakang kan ada kecapnya.
Ibu: (Melihat sampul belakang) Apa ya katanya (Membaca)
Buku ini perlu dibaca penduduk Negara-negara yang akan hancur, karena dalam masyarakat seperti itu dikendalikan hukum sangat mengendor, tetanan nilai kabur, sehingga
melahirkan anarki. Setiap orang berbuat seenak perutnya sendiri dan memaksakan kehendaknya dengan teror. Itulah gunanya buku ini: Cara Melawan Teror. Perlu dibaca oleh mahasiswa, aktifis, wartawan, penasehat hukum dan berbagai profesi yang rawan teror. Buku ini juga berguna bagi siapa saja yang merasa perlu lebih siap melawan teror.
(Ajidarma, 2001:82)
Tokoh Ibu dalam dialog tersebut memiliki nilai sosial yang tinggi, bukan karena untuk dirinya saja ia membaca buku tersebut, tetapi agar semua orang membacanya.
Sehingga mereka dapat mengerti Cara Melawan Teror. Selanjutnya, nilai sosial terdapat pada dialog Bapak dan Ibu, dialog tersebut memperlihatkan kejadian tiga puluh tahun lalu yang menimpa tokoh Ibu.
(8) Bapak: Sudahlah bu! Sudah lebih dari tiga puluh tahun.
Ibu: Aku tidak bisa lupa. Bukan hanya karena kejadian yang dialami orang itu, tapi apa yang dialami keluarganya. Dia punya anak, punya istri, punya ibu. Semua melihat dia dikejar seperti musang. Melihat dengan mata kepala sendiri orang itu merosot dari atas genteng ketika terpeleset dan tidak lagi bisa dipegang.
Orang-orang di bawah menunggunya dengan parang.
Bapak: Bu!
Ibu: orang-orang itu menghabisinya seperti menghabisi seekor musang. Orang itu digorok seperti binatang. Ibu menutup mataku. Tapi aku tidak bisa melupakan sinar matanya yang ketakutan. Aku masih ingat sinar mata orang-orang yang mengayunkan linggisnya dengan hati riang. Kok bisa? Kok bisa terjadi semua itu. Bagaimana perasaan anaknya
mendengar jeritan bapaknya? Bagaimana perasaan istri mendengar jeritan suaminnya? Bagaimana perasaan ibu mendengar jeritan anaknya? Apa bapak yakin setelah tiga puluh tahun lebih mereka bisa melupakannya? Mereka mungkin ingin lupa. Tapi apa bisa? Politik itu apa sih, kok pakai menyembelih orang segala.
(Ajidarma, 2001:90-91)
Tokoh Ibu berusaha mengungkapkan sebuah peristiwa yang pahit yang pernah Ibu rasakan kepada Bapak. Rasa simpati dan prihatin tokoh Ibu terhadap peristiwa yang
tidak hanya menimpa ia namun, menimpa keluarga lainnya, tokoh Ibu memiliki modal sosial yang sangat tinggi tentang kemanusiaan, ia sangat merasakan perasaan yang dirasakan oleh keluarga korban yang menjadi sasaran dari peristiwa tersebut.
Berikutnya modal sosial terdapat pada dialog antar Ibu dan Ayah yang membicarakan soal kritik terhadap negara.
(9) Bapak: Kita lihat saja nanti. Mereka membicarakan nama-nama itu satu persatu. Dari setiap nama ditentukan, apakah dia berbahaya atau tidak.
Ibu: Atas dasar apa?
Bapak: Berbahaya bagi Negara atau tidak.
Ibu: Apa yang dimaksud berbahaya untuk Negara?
Bapak: Kritis. Ktiris itu berbahaya bagi Negara.
Ibu: Lho, Kritis itu berguna untuk Negara.
Bapak: Jangan bilang sama aku, bilang sama mereka.
(Ajidarma, 2001:106)
Modal sosial yang terdapat dalam dialog tersebut adalah tokoh Ibu mengatakan bahwa sebenarnya kritis dapat berguna untuk Negara. Mereka bahkan tidak diupah untuk menuangkan pemikirannya demi Negara, nilai sosial sangat tinggi terjadi dalam dialog ini, karena Ibu berusaha menegaskan bahwa orang yang kritis adalah orang yang berguna bagi negara. Tokoh Bapak juga menyadari itu namun tokoh Bapak tahu bahwa di negara ini kritis dapat membahayakan dirinya sendiri.
Selanjutnya modal sosial dalam naskah drama ini terdapat pada dialog ketika tokoh Bapak mengakatan tokoh Ibu pernah membawa poster di depan kantor menteri wanita untuk menuntut kasus perempuan-perempuan itu diperkosa.
(10) Bapak: Waktu sudah tua juga! Siapa yang bawa poster di depan kantor menteri wanita?
Ibu: Habis, perempuan-perempuan itu diperkosa kok mentrinya diam saja.
Bapak: Nah, kan! (Ajidarma, 2001:123)
Dalam dialog di atas terlihat modal sosialnya adalah Ibu membantu menyuarakan hak-hak perempuan yang diperkosa, namun menterinya tetap diam. Bentuk yang dilalukan oleh tokoh Ibu adalah perbuatan sosial demi menyuarakan ketidakadilan terhadap para wanita.
Berikutnya modal sosial terdapat pada dialog naskah ini, ketika Bapak menanyakan anaknya Satria itu seperti apa, lalu Ibu menjawab bahwa Satria itu memiliki impain- impian yang besar, Satria sangat peduli dengan politik.
(11) Bapak: Seperti apa sih satria setelah besar?
Ibu: Oh, ini bapak yang gak kenal anaknya, ya!?
Bapak: Dia kan lebih dekat sama kamu bu!
Ibu: Yah, anak itu, seduah segede itu masih suka cerita sambil tidur dipangkuku.
Bapak: Anak mami!
Ibu: Memang anak mami! Cerita macam-macam hal sambil tiduran. Impian-impiannya, harapan-harapannya, kekecewaannya, kepahitannya. Dia memang peduli sekali dengan politik. Aku sendiri nggak suka ngerti omongannya.
Aku pernah bilang, hati-hati dengan politik. Kubilang “kamu datang dengan pikiran-pikiran hebat, tapi orang bisa menyambut kamu dengan pikiran ingin menyembelih. Dia bilang “politik yang dewasa tidak begitu bu. Setiap orang harus mau mendengar pikiran orang lain. “aku bilang lagi. “pokoknya hati-hati, di negeri ini politik selalu berarti kekerasan, bukan pemikiran.”
Bapak: Terus, apa katanya?
Ibu: Dia bilang. Main kekerasan sudah harus dihentikan, karena kekerasan itu kampungan! (Ajidarma, 2001:128-129) Modal sosial yang terdapat dalam naskah drama ini adalah Ibu menceritakan tentang anaknya Satria yang sangat peduli dengan politik di negeri ini, walaupun
anaknya sudah mengetahui konsekuensinya, namun anaknya Satria tetap kokoh pendiriannya ingin peduli dengan politik.
Dalam naskah drama Seno Gumira Ajidarma yang berjudul Mengapa Kau Culik Anak Kami, modal sosialnya tertuju kepada keluarga, dan masyarakat. Dapat disimpulkan kepemilikan modal sosial adalah tokoh Ibu dan Satria, kedua tokoh tersebut sangat peduli dengan kehidupan sosial masyarakat. Kedua tokoh berusaha menyuarakan ketidakadilan yang terjadi dalam masyarakat.
2.2.3 Modal Budaya
Modal budaya meliputi cara orang dalam bertindak, bersikap, dan berpenampilan dalam masyarakat. Termasuk modal budaya yaitu ijazah, pengetahuan yang sudah diperoleh, kode-kode budaya, cara berbicara, kemampuan menulis, cara pembawan, sopan santun, cara bergaul, dan sebagainya yang berperan di dalam penemuan dan reproduksi kedudukan-kedudukan sosial (Haryatmoko, 2016:45).
Tokoh Ibu dalam naskah drama tersebut memiliki pengetahuan yang bagus.
Modal budayanya terdapat pada pengetahuannya yang luas, seperti dialog di bawah tokoh Ibu ingat bagaimana peristiwa yang dulu pernah ia ceritakan, dan tokoh Ibu sangat ingat akan sejarah itu.
(12) Ibu: (Berdiri, berjalan ke jendela)
Sebetulnya tidak. Semuanya jelas. Siapa yang bisa melupakannya? Aku masih kecil waktu itu. Malam-malam semua orang berkumpul. Mereka membawa golok, clurit, pentungan dan entah apa lagi. Mereka mengepung rumah itu selepas tengah malam. Mereka berteriak-teriak, karena yang
dicarinya naik ke atas genteng. Orang itu lari dari atap satu ke atap lainnya seperti musang. Kadang-kadang dia jatuh, merosot.
Orang-orang mengejarnya juga seperti mengejar musang. Aku masih ingat suara gedebung di atas genteng itu. Orang-orang mengejar dari gang ke gang, suaranya juga gedebukan. Mereka berteriak-teriak sambil mengacukan parang. Orang itu lari.
Terpeleset, hampir jatuh ke bawah, merayap lagi. Sampai semua tempat terkepung. Orang itu terkurung.
(Ajidarma, 2001:90)
Tokoh Bapak dalam naskah drama tersebut hampir sama dengan tokoh Ibu yang sama-sama memiliki pengetahuan yang tinggi, di sini tokoh Bapak kembali memberi ingatan dan pengetahuan kepada tokoh Ibu.
(13) Bapak: Padahal kamu dulu yang cerita Ibu: Cerita apa?
Bapak: Masih lupa? Kata kamu, si mbok itu waktu muda sebenarnya pemain ludruk.
Ibu: (Melanjutkan)
Ketika semua pemain ludruk dibantai, tinggal dia sendirian yang tersisa.
Bapak: Waktu kamu masih kecil, dia bisa bercerita. Waktu kamu sudah besar, dia tidak bisa bercerita apa-apa lagi.
Ibu: iya, selalu mengaku lupa dan hanya bisa pergi ke kali itu setiap malam jumat kliwon.
Bapak: Di kali itulah, yang suatu ketika bisa betul-betul merah karena darah, mayat-mayat mengalir seperti sampah. Di kali itulah mayat teman-temannya pemain ludruk
mengapung.
Ibu: Iya. Kok bapak bisa ingat dan aku tidak? (Ajidarma, 2001:98-99)
Berikutnya modal budaya ditunjukan tokoh Bapak yang memiliki pengetahuan sangat bagus. Tokoh bapak menjelaskan sikap orang yang kritis kepada tokoh Ibu, bahasa yang digunakan tokoh Bapak sangat tinggi terlihat bahwa tokoh Bapak sangat pintar dalam menganalisis suatu peristiwa.
(14) Ibu: Jadi bagaimana mereka menganalisisnya tadi pak?
Bapak: (Membayangkan ada di salah satu sudut meja)
Ini ada meja. Yang di sini berkata “Tidak usah diragukan lagi, orang ini sangat berbahaya. Dia terlalu pintar bicara. Persis seperti tukang obat. Tapi dia tidak menjual obat. Dia menjual ideology. Sangat berbahaya. Dia pandai
menggalang massa. Dialah yang membagi-bagikan
tugas. Siapa bikin demokrasi. Siapa bikin selebaran. Semua orang percaya padanya. Termasuk para pemberi dana. Orang seperti ini harus diambil. Bukan yang teriak-teriak pakai corong.” (Ajidarma, 2001:108-109)
Selanjutnya modal budaya dalam naskah ini memperlihatkan sikap kritis tokoh Ibu, tokoh Ibu sangat memiliki pengetahuan yang bagus, tokoh Ibu menjelaskan tentang sejarah politik di Indonesia.
(15) Ibu: Politik itu sejarahnya tidak ada yang beres. Orang-orang diciduk, orang-orang disembelih, orang-orang dipenjara dan dibuang tanpa pengadilan. Aku masih ingat semua kisah sedih yang tidak diucapkan itu. Keluarga yang kehilangan bapaknya, anak yang kehilangan ibunya, istri yang kehilangan suaminya.
Mereka tidak mengucap apa-apa. Tidak bisa mengucapkan apa- apa. Tidak bisa mengucap apa-apa. Tertindas. Kepleset. Tidak pernah ngomong karena takut salah. Padahal tentu saja tidak ada yang lebih terluka, tersayat dan teriris selain kehilangan orang- orang yang tercinta dalam pembantaian. Orang-orang diperkosa demi politik, orang-orang dibakar, harta bendanya dijarah, bagaimana orang bisa hidup dengan tenang? Hanya politik yang bisa membuat orang membunuh atas nama agama. Mana ada agama membenarkan pembunuhan. Apakah itu tidak terlalu berbahaya? Politik hanya peduli dengan manusia. Apalagi hati manusia. Apakah kamu bisa membayangkannya pak, luka di setiap keluarga itu?
(Ajidarma, 2001:132-133)
Dalam naskah drama Seno Gumira Ajidarma yang berjudul Mengapa Kau Culik Anak Kami. Ditunjukan bagaimana perbedaan modal budaya yang tiap tokoh miliki. Hal itu membuat cara bersikap setiap tokohnya berbeda. Tokoh Ibu dan Bapak
dalam naskah ini sama-sama memiliki pengetahuan yang luas soal kejadian dan sejarah yang terjadi di masa lalu pada saat Orde Baru, namun toko Ibu lebih dominan pengetahuan dibandingkan tokoh Bapak.
Sikap-sikap tokoh Ibu dan Bapak dalam naskah drama ini memiliki sikap kepedulian terhadap orang-orang banyak. Kedua tokoh berusaha menyampaikan pengetahuan yang sudah mereka rasakan, sekaligus mereka memberi penjelasan tentang situasi politik pada masa Orde Baru. Tokoh Ibu juga memberi kritikan terhadap sistem perpolitikan pada masa itu. Modal budaya yang terkandung dalam naskah ini adalah pengetahuan yang luas dimiki kedua tokoh.
2.2.4 Modal Simbolik
Modal simbolik bisa berupa kantor yang luas di daerah mahal, mobil dengan sopirnya, namun bisa juga petunjuk-petunjuk yang tidak mencolok mata yang menunjukan status yang tinggi pemiliknya: misalnya gelar pendidikan yang dicantumkan di kartu nama, cara bagaimana membuat tamu menanti, cara mengonfirmasi otoritasnya (Haryatmoko, 2003:12).
Modal simbolik dalam naskah drama ini terdapat pada dialog Bapak dan Ibu yang membicarakan tentang perbedaan antara atasan dan bawahan. Namun tidak dinampak secara terang-terangan karena menggunakan perumpamaan tentang wadah atau tempat minum.