PERSPEKTIF PIERRE BOURDIEU
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh Melisha NIM: 134114038
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
i
PERSPEKTIF PIERRE BOURDIEU
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh Melisha NIM: 134114038
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
vi
Karya ini kupersembahkan kepada orang tuaku,
Bing Valentino (alm) dan Wirdaningsih.
dan juga kepada suami tercinta Christophe Burckard, anak-anak yang saya sayangi dan semua orang yang saya kasihi, serta yang selalu mengkasihi saya.
vii
“Gantungkan cita-citamu setinggi langit! Bermimpilah setinggi langit. Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang.”
viii
Puji dan syukur penulis ucapkan terima kasih kepada Tuhan yang Maha segala dan semesta atas berkat, karunia, dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kekerasan Simbolik Orde Baru Dalam Novel Pulang Karya Leila S .Chudori perspektif: Pierre Bourdieu” ini dengan baik.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan tercipta tanpa pihak yang membantu, membimbing, memotivasi, dan mengarahkan penulis dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada beberapa pihak.
Yang pertama, penulis mengucapkan terima kasih kepada keluargaku; orang tuaku, Wirdaningsih atas segala dukungan, doa, dan rasa sayang serta perhatian yang tak henti-hentinya. Kepada suamiku tercinta Christophe Burckard yang selalu mendukung dalam segala hal dan situasi. Juga untuk nenek Nurma yang telah memberikan doa dan dorongan agar penulis semangat dalam mengerjakan skripsi dengan segala cinta dan kasih yang diberikan.
Yang kedua, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum dan Ibu Susilawati Endah Peni Adji, S.S., M.Hum selaku dosen pembimbing yang selalu setia dan sabar untuk memberikan bimbingan dan pengarahan dari awal penulisan hingga terselesaikannya skripsi ini.
Yang ketiga, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak/Ibu dosen Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma (USD), yaitu Prof. Dr. Praptomo Baryadi Isodarus selaku Dosen Pembimbing Akademik, Sony Christian Sudarsono, S.S., M.A. selaku Wakil Ketua Program Studi Sastra Indonesia USD, Drs. B. Rahmanto, M.Hum., Maria Magdalena Sinta Wardani, S.S., M.A., Dr. Paulus Ari Subgayo, M.Hum., (alm), dan Drs. Hery Antono, M.Hum. (alm) yang telah bersedia membagi ilmunya selama saya berkuliah di Program Studi Sastra Indonesia; juga kepada Staf Sekretariat Fakultas Sastra khususnya Jurusan Sastra Indonesia atas pelayanannya yang baik selama ini.
ix
teman bermain, dan teman untuk saling belajar yang selalu ada di mana pun serta kapan pun. Selain itu untuk teman-teman terdekat yang selalu memberi dukungan serta masukan.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah memberikan dukungan, sumbangan, dan bantuan dalam bentuk apa pun kepada penulis.
Yogyakarta, ...
Penulis
x
Melisha. 2018. “Kekerasan Simbolik Orde Baru Dalam Novel Pulang Karya Leila S. Chudori perspektif: Pierre Bourdieu”. Skripsi Strata Satu (S1). Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini mengangkat topik kekerasan simbolik yang dialami oleh tokoh-tokoh dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori. Kekerasan simbolik merupakan kekerasan yang tidak kasat mata. Kekerasan semacam ini korbannya bahkan tidak sadar atau tidak merasakan sebagai sebuah kekerasan, tetapi sebagai sesuatu hal yang wajar dan alamiah. Tujuan penelitian ini (i) menganalisis dan mendeskripsikan struktur novel Pulang yang meliputi tokoh dan penokohan, alur, dan latar, (ii) menganalisis dan mendeskripsikan jenis-jenis kekerasan simbolik dalam novel Pulang. Penelitian ini menggunakan pendekatan struktural dan menggunakan paradigma milik M.H Abrams dengan pendekatan diskursif. Penelitian ini merupakan penelitian postruktural menggunakan teori kekerasan simbolik perspektif Pierre Bourdieu. Teori kekerasan simbolik digunakan untuk menganalisis jenis-jenis kekerasan simbolik yang dialami oleh para tokoh pasca peristiwa 1965.
Hasil kajian dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu analisis struktur novel dan kekerasan simbolik. Struktur novel berisi tokoh dan penokohan, tokoh utama dalam novel ini adalah Dimas Suryo dan tokoh utama tambahan adalah Hananto Prawiro, Vivienne Devereaux, Lintang Utara, Segara Alam, Surti Anandari, Rijaf, Nugroho Dewantoro, dan Tjai Sin Soe. Kemudian yang menjadi tokoh tambahan utama adalah Andini, Aji Suryo, Narayana Lavebvre, Bimo Nugroho, dan Rama. Alur yang digunakan adalah alur campuran. Latar terbagi menjadi tiga, latar tempat berada di Prancis (Paris) dan Indonesia, latar waktu pada tahun 1965, 1968, dan 1998, latar sosial terdapat pada cara berpikir masyarakat Indonesia yang mudah terprovokasi serta kebiasaan-kebiasaan masyarakat Indonesia yang suka menghabiskan waktu di warung kopi.
Hasil kajian ini menunjukkan bahwa kekerasan simbolik perspektif Pierre Bourdieu meliputi (1) bahasa sebagai alat utama kekerasan simbolik (2) mekanisme kekerasan simbolik, dan (3) kekerasan simbolik Orde Baru. Dua mekanisme kekerasan simbolik dalam novel Pulang terdiri dari eufemisme dan mekanisme sensorisasi. Dalam mekanisme sensorisasi meliputi program bersih lingkungan dan P4. Ditemukan lima jenis kekerasan simbolik Orde Baru dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori meliputi: kekerasan simbolik terhadap organisasi PKI, terhadap ruang publik, terhadap keturunan PKI, terhadap masyarakat Tionghoa, dan terhadap eksil politik.
xi
Melisha. 2018. “New Order symbolic violence in the novel Pulang by Leila S. Chudori through Pierre Bourdieu’s perspective. Bachelor Degree thesis. Indonesian Literature Study Program, Faculty of Letters, Sanata
Dharma University.
This research tackles the issue of symbolic violence experienced by the characters of the novel Pulang by Leila S. Chudori. Symbolic violence is violence that is not visible. This kind of violence is not felt as such by their victims but on the contrary as something norma and natural. The goals of this paper are (i) To analyze and describe the structure of the novel Pulang, including characters and characterizations, plot, and background, (ii) To analyze and describe the types of symbolic violence. This study uses a structural approach and M.H Abrams paradigm with a discursive approach. It is a postructural research using Pierre Bourdieu’s perspective regarding symbolic violence. The theory of symbolic violence is used to analyze the types of symbolic violence experienced by the characters after 1965 events.
The results of this study are divided into two categories, namely analysis of novel structure and symbolic violence. The novel structure is made of characters and characterizations, the main character being Dimas Suryo and the main additional characters being Hananto Prawiro, Vivienne Devereaux, Lintang Utara, Segara Alam, Surti Anandari, Rijaf, Nugroho Dewantoro, and Tjai Sin Soe. The other main characters are Andini, Aji Suryo, Narayana Lavebvre, Bimo Nugroho, and Rama. The plot used is a mixed one. The setting is divided into three: place is France (Paris) and Indonesia, time is 1965, 1968, and 1998, and social background revolves around the mindset of Indonesian society that gets easily provoked and its habit to spend time in coffee shops.
The results of this study show symbolic violence through Pierre Bourdieu's perspective, which includes (1) language as the main tool of symbolic violence (2) symbolic violence (3) New Order symbolic violence. Symbolic violence in Leila S. Chudori's novel which covers euphemism and the mechanism of sensation. Mechanism of sensation which covers The concept of “Bersih Lingkungan” (an environtment free from Indonesia Communist Party’s descendants) and P4. Five types of symbolic violence are found in Leila S. Chudori's novel including: symbolic violence against Indonesian Communist Party, symbolic violence against public space, symbolic violence against Indonesian Communist Party descendants, symbolic violence against Chinese, and symbolic violence against political exiles.
xii
HALAMAN JUDUL...i
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING...ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI... iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA...iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... v
HALAMAN PERSEMBAHAN...vi
MOTO...vii
KATA PENGANTAR... viii
ABSTRAK... x
ABSTRACK... xi
DAFTAR ISI...xii
BAB I PENDAHULUAN...1
1.1 Latar Belakang Masalah...1
1.2 Rumusan Masalah... 7
1.3 Tujuan Penelitian...7
1.4 Manfaat Hasil Penelitian... 8
1.4.1 Manfaat Teoretis... 8 1.4.2 Manfaat Praktis... 8 1.5 Tinjauan Pustaka... 8 1.6 Landasan Teori...11 1.6.1 Pendekatan Struktural... 11 1.6.2 Pendekatan Diskursif...17 1.7 Metode Penelitian...23
1.7.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data...23
1.7.2 Metode Analisis Data...23
1.7.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data...24
1.8 Sumber Data...24
1.9 Sistematika Penyajian... 25
BAB II KAJIAN STRUKTURAL DALAM NOVEL PULANG KARYA LEILA S.CHUDORI... 26
2.1 Tokoh dan Penokohan...26
2.1.1 Tokoh Utama...27
xiii
2.2.1 Latar Tempat... 50
2.3 Analisis Alur... 59
2.3.1 Tahapan Pengenalan (Exposition atau Orientasi)...59
2.3.2 Tahap Pemunculan Konflik (Rising Action)... 59
2.3.3 Tahap Konflik Memuncak (Turning Point atau Klimaks)...61
2.3.4 Tahap Konflik Menurun (Antiklimaks)... 61
2.3.5 Tahap Penyelesaian (Resolution)... 62
2.4 Rangkuman...62
BAB III KEKERASAN SIMBOLIK ORDE BARU DALAM NOVEL PULANG KARYA LEILA S. CHUDORI: PERSPEKTIF PIERRE BOURDIEU... 63
3.1 Bahasa sebagai Alat Utama Kekerasan Simbolik... 63
3.2 Mekanisme Kekerasan Simbolik...64
3.2.1 Eufemisme...65
3.2.2 Sensorisasi...66
3.3 Bentuk Kekerasan Simbolik Orde Baru...69
3.3.1 Kekerasan Simbolik terhadap Organisasi PKI...69
3.3.2 Kekerasan Simbolik Orde Baru terhadap Ruang Publik...73
3.3.3 Kekerasan Simbolik Orde Baru terhadap Keturunan PKI... 75
3.3.4 Kekerasan Simbolik Orde Baru terhadap Etnis Tionghoa... 77
3.3.5 Kekerasan Simbolik Orde Baru terhadap Eksil Politik...82
BAB IV PENUTUP... 85
4.1 Kesimpulan...85
4.2 Saran...86
DAFTAR PUSTAKA... 87
I. Sumber Offline...87
II. Sumber Online...88 LAMPIRAN
Cover novel Pulang Sinopsys novel Pulang Biografi Penulis
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Karya sastra adalah artefak, adalah benda mati, baru mempunyai makna dan menjadi objek estetik (Teeuw, 1984: 191) bila diberi arti oleh manusia pembaca sebagaimana artefak peninggalan manusia purba mempunyai arti bila diberi nama oleh arkeolog. Karya sastra dilahirkan oleh seorang pengarang sebagai sistem tanda melalui bahasa-bahasa yang diciptakannya. Melalui karya sastra manusia dapat memahami sejarah kehidupan budaya suatu bangsa. Dalam memahami sebuah karya sastra latar sosial budaya masyarakat perlu diperhatikan, dengan kata lain sastra menjadi saksi sejarah sebuah zaman.
Novel Pulang karya Laela S. Chudori memiliki tiga periode waktu yakni: Peristiwa ketika terjadi gerakan 30 September 1965, Peristiwa Perancis Mei 1968, dan Reformasi Rezim Orde Baru Mei 1998 ketika runtuhnya rezim Soeharto. Latar peristiwa ini melibatkan beberapa negara di antaranya Indonesia dan Eropa (khususnya Perancis). Tema yang diangkat dalam novel ini mengenai ketegangan politik semasa rezim Orde Baru pasca tragedi 65 dan perjuangan para eksil politik untuk kembali ke tanah air mereka.
Dalam penelitian ini penulis mencoba mengkaji tokoh, penokohan, latar, alur serta kekerasan simbolik Orde Baru dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori. Dalam novel ini tokoh utama ditampilkan sebagai terduga simpatisan
Partai Komunis Indonesia (PKI) sehingga menjadi target perburuan militer Orde Baru. Pada tokoh-tokoh novel Pulang terdapat beberapa karakter yang kuat, khususnya pada tokoh utama dalam novel Pulang. Leila menciptakan tokoh-tokohnya dengan sosok cerdas, kritis, kuat dan tegar. Pada novel ini para tokoh berhadapan dengan penguasa Orde Baru yang melibatkan tentara militer sebagai senjata Orba dalam pengejaran, pembantaian, penyiksaan, intimidasi serta penghilangan secara paksa tanpa diketahui keberadaannya. Mereka yang tertuduh sebagai simpatisan PKI mencoba melarikan diri, bertahan untuk hidup, bersembunyi dalam pelarian, dan bahkan bermukim di negara asing menjadi eksil politik.
Tokoh utama Dimas Suryo beserta kawan-kawannya yang tertuduh sebagai simpatisan PKI menjadi eksil politik di Prancis dan menetap di Paris dengan berjuang agar bisa kembali ke tanah air Indonesia. Mereka berempat Dimas, Tjai, Nugroho dan Risjaf disebut sebagai empat pilar tanah air yang berusaha mencari suaka di negara lain. Sementara teman-teman mereka yang berada di Indonesia diburu, diintimidasi, disiksa, dan dibunuh tanpa adanya peradilan hukum. Di sini dapat dilihat bagaimana kekerasan simbolik dilakukan oleh pemerintah Orde Baru terhadap para PKI maupun terduga simpatisannya.
Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi sebuah simbol perlawanan serta musuh negara sejak terjadinya penculikan terhadap tujuh perwira militer oleh Letkol Untung dan pasukannya dengan tuduhan percobaan kudeta terhadap Presiden Soekarno yang dinamakan sebagai Gerakan 30 September. Tentara Suharto mengobarkan kampanye pengejaran secara histeris terhadap PKI dan
kemudian menciptakan UU anti komunis yang ganjil, yang berlaku begitu jauh sehingga mendiskriminasi anak cucu, orang yang dicap PKI oleh pemerintah (Rossa:130). Pasca tragedi tersebut menyebabkan terjadinya pengejaran terhadap golongan yang terlibat dalam anggota PKI maupun simpatisannya. Kekerasan simbolik yang dilakukan pemerintah Orde Baru terhadap PKI dideskripsikan Leila melalui kampanye Orde Baru yang mengesahkan pengejaran secara sadis yang berakibat pada pembunuhan massal terhadap anggota PKI.
Novel Pulang dipilih menjadi topik penelitian karena beberapa alasan. Pertama, karena adanya masalah kemanusiaan dalam novel tersebut serta adanya ketimpangan sejarah tragedi 65 versi Orde Baru dengan isi novel yang akan diteliti sehingga dapat menjadi acuan bagi pembaca maupun peneliti dalam mencari kebenaran sejarah Indonesia. Kedua, latar belakang si pengarang sebagai seorang jurnalis, wartawan serta penulis yang cukup berbakat. Leila merupakan salah satu sastrawan kemanusiaan, tidak banyak karya sastra yang membahas mengenai sejarah tragedi 65 semasa rezim Orde Baru. Novel Pulang dapat dijadikan sebagai acuan dalam pemahaman sejarah budaya Indonesia.
Ketiga, peneliti tertarik menggunakan perspektif Pierre Bourdieu dalam mengkaji novel Pulang dengan menggunakan pendekatan diskursif kekerasan simbolik yang dimunculkan oleh Leila dalam novelnya, dapat dilihat dalam sikap dan perlakuan pemerintah Orde Baru terhadap PKI maupun simpatisannya. Dominasi pemerintah Orde Baru terhadap organisasi PKI dengan melegitimasi pengejaran serta pembunuhan massal terhadap orang-orang PKI maupun simpatisannya dan segala yang berbau komunis. Dominasi Orba terhadap PKI
merupakan kekerasan simbolik yang dapat diartikan sebagai sebuah kekerasan, yang korbannya (PKI) sengaja ataupun tidak sengaja menyetujui menjadi korban, mengizinkan orang lain (Orba) melakukan kekerasan, dan penaklukan terhadap dirinya. Dengan kata lain dominasi Soeharto dan Orba dianggap menjadi sesuatu yang alamiah dan bisa diterima oleh masyarakat umum.
Dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori sejauh ini bentuk-bentuk kekerasan simbolik yang dapat ditemui penulis adalah; (i) kekerasan simbolik terhadap Organisasi PKI beserta keluarga dan simpatisannya, (ii) kekerasan simbolik pemerintah Orde Baru terhadap eksil politik, (iii) kekerasan simbolik pemerintah Orde Baru terhadap masyarakat idealis, (iv) kekerasan simbolik Orde Baru terhadap etnis Tionghoa. (v) Kekerasan simbolik Orde Baru terhadap Ruang Publik. Berikut ini adalah contoh kekerasan simbolik Orba terhadap PKI beserta keluarga dan simpatisannnya. Hal itu dapat ditunjukkan dalam kutipan;
(i) “Ada dua helai surat itu di saku jaketku. Sudah sejak awal tahun semua yang dianggap terlibat Partai Komunis Indonesia atau keluarga PKI atau rekan-rekan anggota PKI atau bahkan tetangga atau sahabat yang dianggap dekat dengan PKI diburu-buru, ditahan, dan diinterogasi. Dik Aji menceritakan begitu banyak kisah suram. Banyak yang menghilang. Lebih banyak lagi yang mati.” (Chudori, 2012: 10-11).
“Aku masih terdiam. Memikirkan istilah Bersih Lingkungan. Memikirkan wajah dan pandangan Tante Sur, berbagai diplomat dan tamu pada pesta di KBRI. Memikirkan kata-kata Dupont tentang ayahku. Tentang sejarah.” (Chudori, 2012: 166).
Kutipan di atas menjelaskan bahwa kekerasan simbolik Orde Baru terhadap PKI, simpatisan maupun terhadap keturunan PKI mengalami penindasan
baik secara lisan maupun tertulis dengan melegitimasi pengejaran dan pembunuhan yang berhubungan dengan partai terlarang tersebut. Bersih Lingkungan adalah sebuah istilah yang dipakai pemerintah Orde Baru terhadap anggota keluarga dan para keturunan PKI yang dianggap dapat mempengaruhi masyarakat mengenai ideologinya. Dalam memoarnya Soeharto menulis bahwa strateginya adalah “pengejaran, pembersihan, dan penghancuran” (Rossa: 28).
Kekerasan simbolik juga dimunculkan Chudori terhadap para eksil politik yang tidak dapat kembali ke Tanah Air mereka, Indonesia. Namun, ketika masa runtuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998 membuka jalan bagi para eksil politik untuk kembali ke tanah air mereka. Hal itu dapat ditunjukkan dalam kutipan;
(ii) “Tanggal 21 Mei, ketika Presiden Soeharto mengucapkan pidato pengunduran dirinya, kami semua menjerit. Restoran tanah air hampir meledak karena teriakkan kami terlalu keras. Om Nug dan Om Risjaf yang tengil itu berteriak mau mencari kambing untuk disembelih. Jangan tanya di mana dia akan mendapatkan kambing di tengah kota Paris. Dengan sok tahu mereka ingin memesan tiket ke Jakarta untuk kita semua. Kata Om Nug, Orde Baru sudah jatuh, kita bisa Pulang dan menginjak tanah air kita” (Chudori, 2012: 443).
Dalam kutipan di atas jelas tampak dominasi pemerintah Orde Baru yang otoriter mencerminkan kekerasan simbolik terhadap masyarakat maupun eksil politik Indonesia yang tertahan di negara asing.
Kekerasan simbolik Orde Baru terhadap masyarakat idealis/kritis juga dapat dilihat dalam kutipan di bawah ini.
(iii) “Pertama aku mendapat info dari kawan-kawan Malaysia, mereka mendengar bahwa ada aktivis Indonesia yang diculik, Pius
Lustrilanang, megadakan konferensi pers dan menceritakan bagaimana ia diculik dan disiksa” (Chudori, 2012: 127).
Dapat dilihat dalam kutipan di atas, bahwa dominasi dan kekuasaan pemerintah Orde Baru dapat menghalangi kebebasan bersuara bagi para aktivis maupun golongan masyarakat kritis untuk dapat mengkritik model pemerintahan Orde Baru.
Kekerasan simbolik Orde Baru terhadap etnis Tionghoa dapat dilihat dalam kutipan di bawah ini.
“Suruh Alam letakkan sajadah di pagar rumahnya.. “Sudahlah, nanti dia paham. Menurut Bimo dan Gilang ada gerombolan massa yang sudah merengsek masuk ke Jakarta Utara dan Timur, pemukiman keturunan”....Keturunan Tionghoa selalu jadi sasaran pertama...”. (Chudori, 2012: 426)
Dalam kutipan di atas dapat dilihat bahwa kekerasan simbolik Orba juga berlaku terhadap etnis keturunan Tionghoa yang menjadi sasaran utama pemerintah Orde Baru. Dalam kasus ini etnis Tionghoa menjadi sasaran amuk massa dalam situasi jatuhnya pemerintahan Orde Baru pada Mei 1998. Kekerasan simbolik Orde Baru terhadap Ruang Publik dapat dilihat dalam kutipan di bawah ini.
“Dengan udara yang begini menyiksa, aku mencoba membaca buklet yang mencoba menjelaskan isi lahan seluas sembilan hektar tempat museum itu berada. Aku merekam semuanya sesuai daftar isi: monumen pahlawan, serangkaian diorama, berbagai ruangan yang diabadikan, termasuk ruang rapat dan penyiksaan, Lubang Buaya, dan beberapa tank tentara.” (Chudori, 2012 366)
Dalam kutipan di atas menggambarkan bagaimana ruang publik museum dijadikan sebagai alat untuk mempengaruhi masyarakat umum dan melancarkan propaganda Orde Baru. Dengan demikian PKI dapat dicitrakan sebagai pembunuh yang kejam sehingga menjadi ingatan permanen dalam masyarakat Indonesia.
Penelitian ini membahas dua hal yaitu struktur tokoh, penokohan, alur dan latar serta kekerasan simbolik Orba yang terdapat dalam novel Pulang. Pembahasan penelitian ini dimulai dengan menggunakan pendekatan struktural analisis tokoh, dilanjutkan kepada kekerasan simbolik Orde Baru menggunakan perspektif Pierre Bourdieu.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.
1. Bagaimana struktur novel Pulang karya Leila S. Chudori?
2. Bagaimana gambaran kekerasan simbolik Orde Baru dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut.
1. Menganalisis dan mendeskripsikan struktur novel Pulang karya Leila S. Chudori, khususnya aspek tokoh dan penokohan, alur, serta latar. Hal ini akan dibahas dalam Bab II.
2. Menganalisis dan mendeskripsikan kekerasan simbolik Orde Baru dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori. Hal ini akan diuraikan dalam Bab III.
1.4 Manfaat Hasil Penelitian
Ada dua manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini, yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis.
1.4.1 Manfaat Teoretis
Manfaat hasil penelitian tentang kekerasan simbolik Orde Baru dalam novel Pulang karya Laela S. Chudori ini dapat memberikan manfaat bagi pengembangan Ilmu Sastra di Indonesia, terutama dalam pengkajian novel bertemakan Tragedi 1965 dengan menggunakan pendekatan objektif dan pendekan diskursif. Dan penelitian ini merupakan contoh penerapan teori Pierre Bourdieu dalam karya sastra.
1.4.2 Manfaat Praktis
Hasil penelitian mengenai Kekerasan Simbolik Orde Baru pada novel Pulang karya Laela S. Chudori ini dapat memperluas pengetahuan pembaca mengenai sejarah tragedi 65 serta dapat menambah referensi apresiasi, kritik dalam penelitian karya sastra di Indonesia.
1.5 Tinjauan Pustaka
Dalam tinjauan pustaka telah ditemukan beberapa pembahasan mengenai novel Pulang antara lain oleh Taum (2013), Nugraha (2014), Nurdiansah (2015),
Hoirunisa (2015), Pamungkas (2016), dan Penelitian-penelitian tersebut diuraikan sebagai berikut.
Penelitian pertama ditulis oleh Taum (2013) dalam disertasinya telah mengkaji representasi tragedi 65 menggunakan teori Antonio Gramsci tentang hegemoni, ideologi, dan peranan intelektual dengan kajian new criticism dalam teks-teks sastra dan non sastra tahun 1966-1998. Penelitian itu menyimpulkan bahwa dalam praktiknya terdapat tiga jenis hegemoni, yaitu hegemoni minimum, hegemoni total, dan hegemoni merosot. Penelitian itu menyimpulkan bahwa pertama, sastra memberikan sumbangan yang signifikan dalam pergulatan hidup manusia Indonesia yang sesuai dengan dinamika jamannya. Kedua, melaui kajian new historicism teks-teks sastra dapat mengungkap dan memperlihatkan posisi ideologis formasi-formasi diskursif itu beserta interdiskursusnya. Ketiga, dapat mengungkapkan kembali sejarah mengenai tragedi 65 dengan mengungkap luka-luka masa lampau demi tujuan reformasi hati nurani, agar peristiwa berdarah 65 tidak terulang kembali.
Selanjutnya, Nugraha (2014) telah mengkaji nilai moral menggunakan teknik deskriptif kualitatif dengan langkah-langkah berupa kategori, tabulasi, interpretasi naskah. Penelitian itu menyimpulkan bahwa terdapat tiga nilai wujud moral dalam novel Pulang yaitu: hubungan manusia dengan tuhan, penokohan, teknik penyampaian lansung dan tidak langsung.
Sementara itu, Nurdiansah (2015), telah mengkaji nilai sejarah menggunakan metode kualitatif. Penelitian itu menyimpulkan bahwa terdapat
penjelasan nilai sejarah berupa tragedi 65 masa pemerintahan Soeharto dan tragedi 1998 serta implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
Selanjutnya, Hoirunisa (2015) telah mengkaji analisi tokoh menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan menggunakan metode analisis isi. Penelitian itu menyimpulkan bahwa beberapa sifat Lintang sebagai tokoh utama ini dapat diimplikasikan terhadap pembelajaran Sastra di SMA.
Selanjutnya, Pamungkas (2016) telah mengkaji perbandingan novel menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan intertekstual dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori dengan novel Pulang karya Toha Mohtar. Penelitian itu menyimpulkan bahwa terdapat hubungan intertekstualitas dalam kedua novel tersebut serta empat hubungan yaitu; tema sama-sama mengenai kerinduan terhadap tanah air, kesamaan unsur intrinsik, kesamaan ide terhadap kecintaan tanah air, Pulang karya Toha merupakan hipogram sedangkan Pulang Leila merupakan transformasi.
Berdasarkan data-data kajian pustaka di atas, peneliti menyatakan bahwa topik skripsi yang dibuat ini masih baru karena belum ada yang mengkaji novel Pulang dengan menggunakan pendekatan sruktural dan pendekatan diskursif perspektif Pierre Bourdieu.
1.6 Landasan Teori
Penelitian ini menggunakan pendekatan Struktural yang mencakup tokoh-penokohan, latar dan alur serta menggunakan pendekatan diskursif mengenai kekerasan simbolik perspektif Pierre Bourdieu.
1.6.1 Pendekatan Struktural
Pendekatan struktural adalah suatu pendekatan dalam ilmu sastra yang cara kerjanya menganalisis unsur-unsur struktur yang membangun karya sastra dari dalam, serta mencari relevansi atau keterkaiatan unsur-unsur tersebut dalam rangka mencapai kebulatan makna. Dalam penelitian ini pendekatan struktural dibatasi pada aspek tokoh dan penokohan, latar, serta alur.
Dalam penelitian ini, digunakan pendekatan struktural meliputi tokoh dan penokohan, serta latar dan alur untuk menganalisis novel Pulang. Dengan menganalisis unsur tokoh dan penokohan, serta latar dan alur peneliti dapat mengetahui hubungan antar tokoh serta peristiwa yang terjadi dalam novel tersebut. Kemudian oleh peneliti digunakan untuk menganalisis bentuk-bentuk kekerasan simbolik terhadap tokoh-tokoh pelaku cerita dalam novel Pulang.
1.6.1.1 Tokoh dan Penokohan
Hakikat Penokohan
Istilah tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita, misalnya sebagai jawaban terhadap pertanyaan: “Siapakah tokoh utama novel itu” atau “ ada berapa orang jumlah tokoh novel itu?”, dan sebagainya. Watak, perwatakan, dan karakter,
menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh. Penokohan dan karakterisasi sering juga disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak (-watak) tertentu dalam sebuah cerita. Atau seperti dikatakan oleh (Jones, 1968: 3) (dalam Nurgiyantoro, 2015: 247) penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.
Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2015: 247) tokoh cerita adalah orang-orang yang ditampilkan dalam sesuatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kencenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan (Nurgiyantoro, 2015:247). Kehidupan manusia dalam kaitannya dengan kehidupan tokoh cerita tidak bersifat sederhana, melainkan kompleks.
Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita tersebut, ada tokoh yang terbilang penting dan ditampilkan terus-menerus sehingga terasa mendominasi sebagian besar cerita. Sebaliknya ada tokoh-tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita. Tokoh-tokoh dalam cerita fiksi dapat dibedakan menjadi beberapa jenis.
1. Tokoh Utama
Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan. Baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Bahkan pada
novel-novel tertentu, tokoh utama senantiasa hadir dalam setiap kejadian dan dapat ditemui dalam tiap halaman buku cerita yang bersangkutan
(Nurgiyantoro, 2015: 259).
2. Tokoh Tambahan
Tokoh-tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita, dan itupun mungkin dalam porsi penceritaan yang relatif pendek.
(Nurgiantoro, 2015: 260).
Dalam pembahasannya Nurgiyantoro juga menyimpulkan bahwa tokoh tambahan yang banyak muncul sehingga mempengaruhi plot cerita dapat dikatakan sebagai tokoh utama tambahan. Sedangkan tokoh tambahan yang muncul beberapa kali namun mendominasi plot cerita dapat dikatakan sebagai tokoh tambahan yang utama.
1.6.1.2 Penokohan dalam Novel
Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Penokohan itu sendiri merupakan bagian, unsur, yang bersama dengan unsur-unsur yang lain membentuk sebuah totalitas. Perlu dicatat, bahwa penokohan merupakan unsur yang penting dalam cerita fiksi. Ia merupakan salah satu fakta cerita disamping kedua fakta cerita yang lain. Dengan demikian, penokohan mempunyai peranan yang besar dalam menentukan keutuhan dan keartistikan sebuah teks fiksi. (Nurgiyantoro, 2015: 246-254).
1.6.1.3 Latar dalam Novel
Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menunjuk pada pengertian tempat, hubungan waktu sejarah, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams, 1999:284) (dalam Nurgiyantoro, 2015: 302). Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas.
a. Latar Tempat
Latar tempat menunjuk pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas (Nurgiyantoro, 2015: 314).
b. Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Latar waktu dalam fiksi dapat menjadi dominan dan fungsional, terutama jika dihubungkan dengan waktu sejarah (Nurgiyantoro, 2015: 318-319).
c. Latar Sosial-Budaya
Latar sosial-budaya menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam
karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir, dan bersikap, dan lain-lain yang tergolong latar spiritual seperti dikemukakan sebelumnya. Di samping itu, latar sosial-budaya juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah, atau atas. Latar sosial-budaya berperan menentukan apakah sebuah latar khususnya latar tempat, menjadi khas, tipikal, dan fungsional, atau sebaliknya bersifat netral. Dengan kata lain, untuk menjadi tipikal dan lebih fungsional, deskripsi latar tempat harus sekaligus disertai deskripsi latar sosial-budaya, tingkah laku kehidupan sosial masyarakat di tempat yang bersangkutan (Nurgiyantoro, 2015: 322).
1.6.1.4 Alur/Plot
Alur dalam cerpen atau karya sastra fiksi pada umumnya adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam cerita (Aminuddin, 2004: 83). Menurut Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2015: 113) alur merupakan cerita yang berisi urutan kejadian. Namun, tiap kejadian itu hanya dihubungankan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan peristiwa yang lain. Jalannya peristiwa yang membentuk sebuah cerita terjadi dalam sebuah struktur atau urutan waktu.
Alur maju (kronologis) menurut (Nurgiyantoro 2007: 153) yaitu apabila pengarang dalam mengurutkan peristiwa-peristiwa itu menggunakan urutan waktu
maju dan lurus. Artinya, peristiwa-peristiwa itu diawali dengan pengenalan masalah dan diakhiri dengan pemecahan masalah. Alur mundur (flashback) terjadi apabila pengarang mengurutkan peristiwa-peristiwa itu tidak dimulai dari peristiwa awal, melainkan mungkin dari peristiwa tengah atau akhir (Nurgiyantoro, 2007: 154). Alur campuran yaitu apabila cerita berjalan secara kronologis. Namun, sering terdapat adegan-adegan sorot balik.
Tahapan Alur terdiri dari:
1. Tahapan Pengenalan (Exsposition atau Orientasi)
Tahap pengenalan merupakan tahapan awal cerita yang digunakan untuk mengenalkan tokoh, latar, situasi, waktu, dan lain sebagainya.
2. Tahap Pemunculan Konflik (Rising Action)
Tahap pemunculan konflik merupakan tahap dimunculkannya masalah. Tahap ini dimunculkan dengan adanya ketegangan atau pertentangan antar tokoh.
3. Tahap Konflik Memuncak (Turning Point atau Klimaks)
Tahap konflik memuncak atau biasa disebut klimaks merupakan tahap dimana permasalahan atau ketegangan berada pada titik paling puncak.
4. Tahap Konflik Menurun (Antiklimaks)
Tahap konflik menurun atau biasa disebut antiklimaks merupakan tahap dimana masalah mulai dapat diatasi dan ketegangan berangsur-angsur menghilang.
5. Tahap Penyelesaian (Resolution)
Tahap penyelesaian merupakan tahap dimana konflik sudah terselesaikan. Sudah tidak ada permasalahan maupun ketegangan antar tokohnya, karena telah menemukan penyelesaiannya.
1.6.2 Pendekatan Diskursif
Penelitian ini menggunakan paradigma penelitian diskursif. Paradigma diskursif ini sendiri berasal dari hasil reposisi dari paradigma M H. Abrams. Abrams menjelaskan ada empat komponen utama dalam melihat karya sastra secara keseluruhan. Keempat pendekatan itu adalah pendekatan objektif, pendekatan ekspresif, pendekatan mimetik, dan pendekatan pragmatik. Pendekatan diskursif merupakan hasil dari reposisi pendekatan objektif yang menjadikan teks sebagai sumber penelitian (Taum, 97: 17).
Istilah “diskursif” mengacu pada pengertian wacana. Diskursus adalah cara menghasilkan pengetahuan, beserta praktik sosial yang menyertainya, bentuk subjektivitas yang terbentuk darinya, relasi kekuasaan yang ada di balik pengetahuan dan praktik sosial tersebut. Kritik sastra diskursif menunjukkan area baru objek penelitian sastra yang belum dirambah oleh teori kritik sastra yaitu teks-teks sastra dan teks-teks non-sastra sebagai representasi kekuasaan yang dibangun melalui praktik-praktik diskursif (Taum, 2017: 5).
Pendekatan diskursif dapat diartikan sebagai jalan dalam pemecahan suatu masalah melalui cara berpikir individu atau kelompok. Pemecahan masalah
merupakan obyek reflektif teoritis yang tidak terpisahkan dari komunikasi baik itu verbal maupun tertulis yang didasarkan pada pengunaan simbol-simbol.
Pendekatan diskursus adalah pendekatan yang menitikberatkan pada diskursus (wacana sastra) sebagai sebuah praktik diskursif. Pendekatan diskursif dapat diaplikasikan melalui teori-teori postrukturalisme. Pendekatan diskursif yang digunakan di sini mengacu pada pandangan Pierre Bourdieu. Pandangan mengenai bahasa, menurut Bourdieu, bahasa bukanlah alat komunikasi yang bersifat netral, tanpa kepentingan. Menurut Bourdieu, bahasa adalah simbol kekuasaan. Di dalam bahasa tersembunyi dominasi simbolik serta struktur kekuasaan yang ada di dalam masyarakat. Prinsip simbolis itu berupa bahasa, gaya hidup, cara berpikir, cara bertindak, dan kepemilikan yang khas pada kelompok tertentu atas dasar ciri kebutuhan (Haryatmoko, 2016: 59) .
1.6.2.1 Kekerasan Simbolik Perspektif Pierre Bourdieu
Pierre-Felix Bourdieu adalah sosiolog Perancis sekaligus penulis yang dikenal karena pandangan politiknya yang vokal dan keterlibatannya dalam isu-isu publik. Bourdieu adalah intelektual yang aktif dalam gerakan-gerakan sosial dan politik. Bourdieu menjadi salah satu ilmuwan terkemuka dan bahkan menjadi “referensi intelektual” bagi gerakan yang menentang neo-liberalisme dan globalisasi, yang berkembang di Perancis pada tahun 1990-an. Menurutnya pandangan, sikap dan tingkah laku seseorang sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sosial, politik dan ekonomi pada saat dia kecil sampai menginjak dewasa. Kondisi ini pulalah yang mungkin memengaruhi Pierre Bourdieu. Ia lahir
pada 1 Agustus tahun 1930 di Desa Denguin, Pyrenia Atlantik (Prancis). Bourdieu menikahi Marie-Claire Brizard pada 1962 dan memiliki tiga orang putra. Ia meninggal karena kanker pada 23 Januari 2002 di Paris, Prancis dalam usia 71 tahun. Bourdieu berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya adalah seorang pegawai kantor pos. Bourdieu berhasil meniti tangga pendidikan dengan mulai belajar di lycee di Pau, kemudian lycee Louis-le Grand (Paris), ke Fakultas Sastra di Paris, Ecole Normale Superieure pada tahun 1951, ia mendapat Agregasi Filsafat. Ia dikenal sebagai seorang intelektual publik yang lahir dari pengaruh pemikiran Emile Zola dan Jean-Paul Sartre. Konsep-konsep yang ia kembangkan amat berpengaruh di dalam analisis-analisis sosial maupun filsafat di abad 21.
Pierre Bourdieu telah menghasilkan beberapa karya fenomenal dalam bukunya seperti Sociologie de l’algerie (1958;the Algerians, 1962), La distinction (1979; Distinction, 1984) buku ini dianggap sebagai salah satu di antara 10 buku sosiologi paling berpengaruh di dunia oleh International Sociological association. Bourdieu juga menulis buku Reproduction in Education, Culture and Society (bersama Jean Claude Passeron). Buku yang juga berpengaruh dalam kajian sosiologi pendidikan di Prancis (Martono, 2012: 32) dan masih banyak lagi. Dalam buku-buku hasil karyanya berisi tentang kritikan terhadap konsep-konsep ekonomi liberal maupun neoliberal, kapitalisme, globalisasi dan pendidikan. Gagasan dasar Bourdieu mengkristal dalam beberapa konsep utama, yaitu habitus, kapital, arena, distiction, kekuasaan simbolik, dan kekerasan simbolik (Haryatmoko, 2016:35).
Kekerasan simbolik digunakan untuk mengungkapkan dinamika relasi kuasa dalam kehidupan sosial. Prinsip simbolik berupa bahasa, gaya hidup, cara berpikir, cara bertindak, dan kepemilikan yang khas pada kelompok tertentu (Haryatmoko, 2016:59).
1.6.2.2 Bahasa sebagai Alat Utama Kekerasan Simbolik
Bahasa merupakan salah satu alat yang digunakan kelas dominan untuk menjalankan mekanisme kekerasan simbolik. Bahasa memiliki peranan sentral dalam mekanisme kekuasaan dan dominasi, terutama untuk menyembunyikan maksud yang sebenarnya dari sebuah tindakan, yang dilatarbelakangi karena adanya unsur kekuasaan. Bourdieu melihat bahasa tidak hanya merupakan alat komunikasi dan kapital budaya, tetapi merupakan praktik sosial. Bahasa menjadi instrumen penting yang harus dimiliki oleh pelaku sosial untuk dapat bersosialisasi dengan pelaku sosial yang lain. Selanjutnya makna kata-kata akan terbentuk dan terserap ke dalam kesadaran individu melalui sosialisasi (Martono, 2012: 48).
1.6.2.3 Mekanisme Kekerasan Simbolik
Bourdieu berpendapat bahwa kekerasan berada dalam lingkup kekuasaan. Hal tersebut berarti kekerasan merupakan pangkal atau hasil sebuah praktik kekuasaan. Ketika sebuah kelas mendominasi kelas yang lain, maka di dalam proses dominasi tersebut akan menghasilkan sebuah kekerasan. Kekerasan muncul sebagai upaya kelas dominan untuk melanggengkan dominasi atau
kekuasaannya dalam struktur sosial. Jadi kekuasaan dan kekerasan merupakan dua konsep yang tidak terpisahkan (Martono, 2012: 39).
Menurut Bourdieu kekuatan simbolik adalah kekuatan membangun realitas, dan yang cenderung membentuk tatanan ilmu pengetahuan khususnya dunia sosial (Bourdieu, 2012: 166). Kekerasan simbolik yakni kekerasan yang tidak kasat mata. Kekerasan semacam ini korbannya bahkan tidak sadar atau tidak merasakan sebagai sebuah kekerasan, tetapi sebagai sesuatu hal yang wajar dan alamia (Haryatmoko, 2016: 56).
Bourdieu juga menjelaskan bahwa kekerasan tidak selalu berbentuk aksi fisik. Kekerasan bisa terbentuk melalui simbol. Kekerasan simbolik dilakukan dengan mekanisme “penyembunyian kekerasan” yang dimiliki menjadi sesuatu yang diterima sebagai “yang memang seharusnya demikian” proses ini berlangsung secara inkalkulasi atau secara terus-menerus (Martono, 2012: 40).
Tiga istilah yang digunakan Bourdieu mengenai dominasi simbolik, kuasa simbolik serta kekerasan simbolik merujuk kepada satu hal yaitu kekerasan. Kekerasan simbolik dapat dilakukan melaui dua cara pertama, mekanisme eufemisme, kedua, mekanisme sensorisasi (Haryatmoko, 2003) dan (Martono 2012:40).
1.6.2.3.1 Eufemisme
Eufemisme adalah penghalusan. Biasanya membuat kekerasan simbolik menjadi tidak tampak, bekerja secara halus, tidak dapat dikenali, dan dapat dipilih secara “tidak sadar”. Bentuk eufemisme dapat berupa kepercayaan, kewajiban,
kesetiaan, sopan santun, pemberian, utang, pahala, atau belas kasihan ( Martono, 2012: 40).
1.6.2.3.2 Sensorisasi
Sensorisasi menjadikan kekerasan simbolik tampak sebagai bentuk sebuah pelestarian semua bentuk nilai yang dianggap sebagai “moral kehormatan”, seperti kesantunan, kesucian, kedermawanan, dan sebagainya yang biasanya dipertentangkan dengan “moral yang rendah” seperti: kekerasan, kriminal, ketidakpantasan, asusila, kerakusan, dan sebagainya ( Martono, 2012: 40).
1.6.2.3.3 Rangkuman
Penelitian ini menggunakan pendekatan diskursif perspektif Pierre Bourdieu. Bahasa menurut Bourdieu adalah sebagai alat komunikasi yang tidak bersifat netral, dan memiliki kepentingan. Bahasa adalah simbol kekuasaan yang di dalamnya tersembunyi dominasi simbolik. Bahasa merupakan alat dalam menjalankan kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik adalah kekerasan yang tidak kasat mata, tidak tampak dan tidak dirasakan sebagai sebuah bentuk kekerasan. Kekerasan berada dalam lingkup kekuasaan dan dominasi. Dua mekanisme terbentuknya kekerasan simbolik yakni Eufemisme dan mekanisme sensorisasi.
1.7 Metode Penelitian
Jenis penelitian ini menggunakan paradigma M. H. Abrams dengan memanfaatkan dua pendekatan, yakni: pendekatan objektif dan pendekatan diskursif perspektif Pierre Bourdieu.
1.7.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Metode dan teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode studi pustaka dan teknik simak dan teknik catat. Metode studi pustaka digunakan untuk mendapatkan data yang ada, yaitu sebuah novel berjudul Pulang, buku-buku referensi, dan jurnal-jurnal yang berkaitan dengan objek tersebut. Sedangkan, teknik simak digunakan untuk menyimak teks sastra yang telah dipilih sebagai bahan penelitian. Teknik catat digunakan untuk mencatat hal-hal yang dianggap sesuai dan mendukung penulis dalam memecahkan rumusan masalah (Sudaryanto, 1993: 135).
1.7.2 Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode analisis isi. Metode analisis isi adalah metode yang digunakan untuk mengkaji isi dari suatu hal. Isi tersebut yang menjadi objek prioritas yang akan dianalisis. Misalnya karya sastra, maka yang akan dianalisis adalah isi karya tersebut secara utuh dan pesan-pesan yang ada dengan sendirinya sesuai dengan hakikat sastra.
1.7.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data
Analisis data disajikan dengan menggunakan metode deskriptif analisis. Metode deskriptif analisis adalah metode yang fokus pada penggambaran atau pendeskripsian fakta-fakta dan dilanjutkan dengan analisis (Ratna, 2013: 53). Metode ini bekerja dengan menarik kesimpulan dari deskripsi tersebut.
1.8 Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan sumber data primer dan sumber data sekunder:
1. Sumber Data Primer
Sumber data primer yaitu sumber utama penelitian yang diproses lansung dari sumbernya tanpa lewat perantara. Sumber data penelitian dalam penelitian ini adalah novel Pulang karya Leila S. Chudori yang diterbitkan pada cetakan pertama, 2012 oleh Kepustakaan Populer Gramedia: Jakarta, tebal novel 459 halaman.
2. Sumber Data Sekunder
Sumber Data Sekunder yaitu sumber data yang diperoleh secara tidak lansung atau lewat perantara, tetapi masih berdasar pada kategori konsep yang akan dibahas. Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini berupa buku-buku perpustakaan dan sumber lain yang diperoleh dari internet.
1.9 Sistematika Penyajian
Penelitian ini dibagi menjadi tiga bab. Sistematika penelitian ini dirinci sebagai berikut:
Bab I berisi pendahuluan, yang berfungsi sebagai pengantar. Bab ini dibagi menjadi sembilan sub bab yaitu latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat hasil penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, pendekatan dan metode penelitian, sumber data dan sistematika penyajian.
Bab II berisi analisis struktural dalam novel Pulang, meliputi tokoh dan penokohan, alur, serta latar.
Bab III berisi analisis dan deskripsi kekerasan simbolik Orde Baru dalam Novel Pulang karya Leila S. Chudori. Analisis ini akan mencakup: bahasa, eufemisme, mekanisme sensorisasi, dan kekerasan simbolik yang tergambar dalam novel tersebut.
Bab IV merupakan penutup yang mencakup kesimpulan dan saran. Lampiran berisi fotokopi sampul depan novel Pulang karya Leila S.Chudori, sinopsis novel Pulang karya Leila S.Chudori, dan biodata penulis.
BAB II
KAJIAN STRUKTURAL DALAM NOVEL PULANG KARYA LEILA S.CHUDORI
Dalam penelitian ini, digunakan teori struktural tokoh dan penokohan, alur serta latar untuk menganalisis novel Pulang. Dengan menganalisis unsur tokoh dan penokohan, alur serta latar yang terdapat dalam novel tersebut diharapkan dapat mempermudah penelitian ini dalam mencari bentuk-bentuk kekerasan simbolik yang dialami tokoh serta dapat mengetahui tempat dan waktu peristiwa yang terjadi dalam novel tersebut.
Berikut akan dipaparkan hasil analisis ketiga unsur pembentuk karya sastra tersebut dalam novel Pulang sebagai objek material penelitian ini.
2.1 Tokoh dan Penokohan
Dalam novel Pulang terdapat sejumlah tokoh yang mendukung terjadinya peristiwa yang membentuk sebuah cerita yang kompleks. Analisis tokoh dibagi menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan.
Adapun hasil penokohan terbagi menjadi dua, yaitu tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama dibagi menjadi dua yaitu tokoh utama dengan tokoh utama tambahan. Sedangkan tokoh tambahan dibagi menjadi dua yaitu tokoh tambahan dan tokoh tambahan utama. Dalam novel Pulang ini yang menjadi tokoh utama adalah Dimas Suryo. Selain itu, yang termasuk tokoh utama tambahan adalah Hananto Prawiro, Vivienne Devereaux, Surti Anandari, Lintang
Utara, Segara Alam, Tjai Sin Soe, Rijaf, Nugroho Dewantoro. Kemudian yang menjadi tokoh tambahan utama adalah, Andini, Aji Suryo, Narayana Lavebvre, Bimo Nugroho, dan Rama.
Dalam novel Pulang Karya Leila S. Chudori ini memiliki beberapa tokoh yang cukup banyak dan diantaranya merupakan korban peristiwa 1965. Karakter pada masing-masing tokoh hampir sama dalam pemikiran serta intelektualitas yang dibangun Leila. Namun, tokoh-tokoh yang akan di bahas di sini merupakan tokoh yang berpengaruh dalam alur cerita dan paling banyak disorot.
2.1.1 Tokoh Utama
2.1.1.1 Dimas Suryo
Dimas Suryo adalah tokoh yang paling banyak diceritakan dan merupakan tokoh sentral dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori. Dalam perwatakannya sendiri Ia merupakan tokoh berkembang. Dimas yang bekerja sebagai seorang wartawan di Kantor Berita Nusantara digambarkan sebagai sosok cerdas, berkarakter, peduli terhadap teman, pencinta karya sastra dan dunia perwayangan, kritis, netral dalam pandangan politik bila dibandingkan dengan teman-temanya yang lebih condong ke kiri, dapat dilihat dalam kutipan di bawah:
“Itulah sebabnya, meski ada demarkasi di antara para pengagum atau pengikut PKI dan non-pengikut, aku yang lebih mirip zona netral Swiss, juga berdiskusi dengan Bang Amir, wartawan di Kantor Berita Nusantara, sangat kritis terhadap Bung Karno-kritis karena Presiden kami ini terlalu mesra dengan pimpinan PKI, dan juga karena M. Natsir dipenjara.” (Chudori, 2012: 31).
“Kenapa kita harus bergabung dengan salah satu kelompok hanya untuk menunjukkan satu keyakinan? Lagipula apakah keyakinan kita itu sesuatu yang tunggal?sosialisme, komunisme, kapitalisme, apakah paham-paham ini harus ditelan secara bulat tanpa ada keraguan? Tanpa rasa kritis?” (Chudori, 2012: 43).
Dalam kutipan di atas terlihat bahwa Dimas Suryo menjelaskan bahwa Ia bukan pengikut paham kiri ataupun kanan Dimas memiliki pandangan sendiri dalam hal politik. Dimas salah satu orang yang tidak mau terikat baik dalam masalah politik maupun perempuan.
“Apa yang dituduhkan Mas Hananto kelak-bahwa aku tak pernah bersedia menetukan pilihan (politik bahkan jodoh)-mungkin ada benarnya. Aku seperti sebuah kapal yang enggan berlabuh selama-lamanya. Setiap kali berhenti, aku sudah gatal untuk pergi lagi.” (Chudori, 2012: 61).
“Saat menulis, aku tak suka titik. Aku gemar tanda koma..” (Chudori, 2012: 62).
Dalam kutipan di atas menjelaskan bahwa Dimas adalah seorang yang berjiwa bebas dan tidak suka terikat dalam hal apapun baik itu soal politik maupun masalah perempuan. Dimas tertarik dalam dunia jurnalis. Namun, kehidupan Dimas berubah sejak Dimas dan kawan-kawannya ditugaskan oleh Hananto untuk menggantikannya menghadiri konferensi di Santiago dan Peking. Dapat dilihat dalam kutipan berikut:
“Ada konferensi di Santiago dan Peking,” “Seharusnya Mas Hananto yang berangkat ke sana bersama Mas Nugroho karena dia yang senior dan lebih paham persoalan”..“Saat itu Mas Hananto berhalangan. Ada pekerjaan yang bertumpuk dan ada urusan pribadi yang harus diselesaikan. Jadi aku menggantikan mas Hananto mendampingi Mas Nug. Mereka ingin betul aku belajar banyak dari konferensi itu.” (Chudori, 2012: 37).
Dari kutipan di atas Dimas Suryo dan Kawan-kawannya ditugaskan ke Santiago dan Peking menggantikan Hananto untuk menghadiri konferensi jurnalis. Pada awalnya Dimas sendiri tidak tertarik untuk mengikuti konferensi tersebut namun, karena Hananto harus menyelesaikan masalah pribadi dengan Surti akhirnya membuat Dimas setuju menggantikan Hananto prawiro dalam konferensi tersebut. Namun yang terjadi Dimas dan kawan-kawannya tidak dapat Pulang ke Indonesia bahkan paspor mereka dicabut dan dituduh ikut serta dalam pergerakan kiri. Mereka pasrah atas keputusan pemerintah Orde Baru meskipun hidup tanpa perencanaan dan tujuan di negeri asing.
“Tentu saja aku tahu bahwa kedatangan Ayah dan kawan-kawannya bukan dengan sekoper perencanaan;segalanya serba gelap, di bawah tanah, dan menyerempet bahaya. Sejak masih terlalu muda untuk memahami politik, aku sudah tahu bahwa Indonesia, tepatnya pemerintah Orde Baru yang tak kunjung runtuh itu tak akan pernah memudahkan Ayah Pulang ke Indonesia. Ini cerita yang selalu diulang-ulang Maman. Dan ini sebuah cerita yang selalu kuhindari karena setiap kali mengenang Indonesia, Ayah akan mengakhirinya dengan kucuran air mata dan rasa pahit.” (Chudori, 2012: 135).
Kutipan di atas merupakan pandangan Lintang bahwa Dimas beserta kawan-kawannya tidak terlibat masalah politik yang terjadi di Indonesia. Mereka pergi menjalankan tugas pekerjaan kantor. Mereka hanyalah sekelompok korban politik Indonesia. Dimas dan kawan-kawannya mengalami pengasingan sebagai eksil politik. Mereka bermukim di Prancis setelah mendapat suaka dan menetap di Paris. Dimas dkk mendirikan restoran Tanah Air di Paris bersama tiga teman-teman seperjuangannya: Nug, Tjai, dan Risjaf --mereka berempat disebut Empat Pilar Tanah Air--.
“Aku menatap kawanku satu persatu. Ada yang hilang di sana. Seharusnya ada lima. “Kita,” aku menghela nafas “adalah empat pilar dari Restoran Tanah Air.” (Chudori, 2012: 104).
Dalam kutipan di atas menjelaskan bahwa Dimas dan akawan-kawannya sedang merancang nama sebuah restoran yang akan mereka dirikan secara bersama-sama yakni Restoran Tanah Air yang didirikan di Paris. Dimas Suryo menikah dengan seorang perempuan berkebangsaan Prancis Vivianne Devereaux dan memiliki seorang anak bernama Lintang Utara Meskipun sudah memiliki keluarga di Prancis, Dimas selalu ingin Pulang ketanah airnya Indonesia. Dapat dilihat dalam kutipan di bawah:
“Prancis tak pernah menjadi rumah bagi Dimas. Aku sudah menyadari itu sejak awal kami bertemu mata. Ada sesuatu yang mencegah dia untuk berbahagia. Ada banjir darah di tanah kelahirannya. Ada le chaos politique yang bukan sekadar mengalahkan, tetapi merontokkan, Dimas dan kawan-kawannya, hingga mereka harus memungut serpihan dirinya dan membangun itu semua kembali agar bisa kembali menjadi sekumpulan manusia yang memiliki harkat yang utuh.” (Chudori, 2012: 203).
“Dimas adalah burung camar yang senantiasa ingin kembali ke tanah kelahirannya: bukan kepada keluarga yang dibentuknya di seberang.” (Chudori, 2012: 205).
“Tetapi aku masih berasa ada sesuatu yang tertinggal di Tanah Air. Mungkin ada hatiku yang tertinggal pada Ibu, pada Aji, mungkin juga pada Surti dan anak-anaknya. Aku tak tahu.” (Chudori, 2012: 79).
Dalam kutipan di atas menjelaskan bahwa Dimas Suryo tidak bahagia, Dimas selalu memikirkan tanah air kelahirannya, masa lalunya. Ia merasa ada yang hilang dalam dirinya. Ia harus terpisah jauh dari keluarganya: Ibu, Aji Suryo,
sahabatnya dan mantan kekasihnya Surti serta ketiga anaknya karena situasi politik yang memanas di Indonesia. Pernikahan Dimas bersama Vivianne tidak berjalan dengan baik. Mereka memilih berpisah karena Vivianne sadar bahwa Dimas masih belum bisa melupakan masa lalunya bersama Surti. Meskipun sudah bercerai hubungan mereka tetap baik.
“Aku tahu, setiap kali aku menyebut nama Surti hatiku masih bergetar dan teriris. Mendengar nama Kenanga, Bulan, dan bahkan Alam, si bungsu yang tak pernah kukenal itu, tetap membuat jantungku berlompatan.” (Chudori, 2012: 41).
“Aku lebih tak tahu lagi mengapa sampai detik ini, setelah bertemu dengan Vivianne yang jelita dan menikahinya, hatiku masih bergetar setiap kali mengenang Surti. Barangkali aku sudah terlanjur memberikan hatiku padanya, untuk selama-lamanya.” (Chudori, 2012: 65).
“Mas Nug tertawa seperti monyet. Dia tahu Vivianne akan cerewet sekali menyuruh aku berobat. Meski kami sudah bercerai, Vivianne dan aku tetap berkawan baik.” (Chudori, 2014: 128).
Dalam kutipan di atas tampak bahwa Dimas masih mencintai Surti Anandari. Perceraian Dimas terjadi karena Vivianne sadar bahwa Dimas masih belum bisa melupakan Surti dan anak-anaknya. Meskipun telah berpisah hubungan mereka tetap baik.
2.1.2 Tokoh Utama Tambahan
2.1.2.1 Hananto Prawiro
Hananto Prawiro merupakan sosok lelaki ambisius, ia menjabat sebagai pimpinan di Kantor Berita Nusantara serta penganut golongan kiri. Ia seorang
pengagum realisme sosialis, tenang dalam menghadapi masalah, terobsesi terhadap karya Karl Mark yang peduli terhadap kaum bawah. Pencinta karya Pramudya Anantatoer. Ia adalah sahabat baik, abang, lawan debat dari Dimas Suryo:
“Dia bukan hanya atasanku tetapi juga sahabatku, mungkin sesekali dia ingin menjadi mentorku..” (Chudori, 2012: 30).
“....terutama karena Pemimpin Redaksi adalah kepala suku kelompok Mas Hananto dan Mas Nug yang dianggap kiri..” (Chudori, 2012: 32).
“Mas Hananto tahu, cara untuk mendekatiku bukan dengan memerangi dan membantah seleraku. Dia tahu aku mudah menertawakan novel-novel yang katanya membela rakyat. Aku pernah bertanya kembali, bukankah kita harus membela kemanusiaan, bukan hanya rakyat kelas bawah saja? Kenapa kita tak menamakannya saja : merangkul humanitas dalam diri kita. Mas Hananto hanya tertawa terkekeh-kekeh...mas Hananto tampak mencoba memaklumiku seperti seorang abang sulung yang tengah mendidik adik bungsunya yang tengil.” (Chudori, 2012: 31).
Dari kutipan di atas dapat dilihat bagaimana hubungan antara Dimas Suryo dengan Hananto. Mereka adalah rekan kerja di Kantor Berita Nusantara. Mereka sudah berteman baik sejak masa kuliah. Hananto adalah seorang yang peduli terhadap sahabatnya, meskipun mereka memiliki dua pandangan yang berbeda dalam hal politik. Hananto Prawiro banyak terlibat dengan pergerakan kiri dan hidup berkelompok dengan orang-orang yang sepemikiran dengannya khususnya Lekra dan PKI dapat dilihat dalam kegiatan Hananto dalam kutipan di bawah:
“Mobil mas Hananto berhenti di Jalan Cidurian, Menteng. Aku terdiam. Aku tahu itu adalah markas Lekra. Kulihat dari kejauhan beberapa orang tengah duduk dan saling berdisusi dengan santai.
“Mas aku berbisik” “Tenang..aku ingin kau mengenal kawan-kawan..” (Chudori, 2012: 36).
“Siapa saja yang ingin menjilat Pemimpin Redaksi yang sangat dekat dengan petinggi Partai Komunis Indonesia itu, tinggal sebut realisme sosial...” (Chudori, 2012: 30).
Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa Hananto Prawiro adalah seorang pengikut paham kiri yang menjadikannya sebagai buronan pemerintah Orba.Ia menjadi target operasi militer sejak pasca peristiwa 30 September 65. Namun, setelah tiga tahun persembunyianya Hananto di ciduk di sebuah tempat ‘Tjahaja foto’ di pojok Jalan Sabang pada tanggal 6 April 1968 hingga pada akhirnya Ia di eksekusi mati.
“Ternyata berita buruk itu tiba juga. Mas Hananto sahabatku, atasanku, dan rekanku berdiskusi: suami Surti serta ayah Kenanga, Bulan, dan Alam, akhirnya di tangkap ditempatnya bekerja di Jalan Sabang sebulan lalu.” (Chudori, 2012: 11).
Dari kutipan di atas menjelaskan bahwa Hananto Prawiro yang menjadi target perburuan militer selama tiga tahun dan pada akhirnya tertangkap di jalan Sabang. Hananto menikah dengan Surti Anandari dan dikaruniai tiga orang anak yaitu Kenanga, Bulan dan Alam. Hubungan Hananto dan Surti tidak begitu harmonis karena Hananto menganggap Surti bukan perempuan yang dapat memuaskan hasratnya. Bagi Hananto Surti hanyalah sebagai pendamping hidup.
“Surti adalah isteri, pendamping hidup. Dengan Marni, aku merasakan nafsu kaum proletar yang bergelora.” (Chudori, 2012: 68).
“Ini batang rokok yang kelima. Lama betul Mas Hananto bergulat dengan perempuan itu. Aku melirik arloji. Sudah pukul dua pagi.
Kalau rokok ini sudah habis dan dia belum juga beres nafsunya, aku akan Pulang meninggalkannya...”..”Tak ada alasan apapun bagi Hananto untuk mengkhianati bunga seindah Surti..” (Chudori, 2012:38).
“Ini kali ketiga aku terpaksa mengantar Mas Hananto menemui Marni di tempat kos-nya di kawasan Traveli. Dia membutuhkan aku karena aku adalah tameng bagi Surti.” (Chudori, 2012: 38).
Dalam kutipan di atas Hananto tampak berhubungan dengan beberapa perempuan lain diantaranya Marni adalah salah satu perempuan simpanan Hananto Prawiro. Kutipan berikutnya juga menjelaskan bahwa Dimas yang menemani Hananto menemui Marni merasa kecewa atas sikap sahabatnya itu. Hananto juga mengaku kepada Dimas bahwa ia merasa tidak puas terhadap istrinya. Surti adalah seorang perempuan berkelas, memiliki keagungan yang tidak bisa digapai olehnya,
“Ada sesuatu di dalam diri Surti, mungkin keagungan dan keindahannya yang dimata mas Hananto terasa begitu ‘tinggi’yang tak pernah bisa dia gapai. Sesuatu yang begitu sublim, yang di mata mas Hananto dianggap sebagai unsur ‘borjuasi’ yang membuat Mas Hananto gerah dan menolak.” (Chudori, 2012: 69).
Dalam kutipan di atas menjelaskan bagaimana seorang Surti dalam pandangannya. Hananto dikenal anti terhadap kaum borjuasi menyebabkan dia mengkhianati Surti. Diketahui bahwa Hananto adalah laki-laki yang sudah merampas Surti dari Dimas. Namun, hubungan mereka masih berjalan dengan baik meskipun Dimas masih belum bisa melupakan Surti. Mereka bagaikan benang merah yang menyatu namun tidak terlihat. Ada cinta segitiga diantara mereka. Hingga akhirnya Dimas harus merelakan Surti kepada Hananto Prawiro.
2.1.2.2 Vivianne Devereaux
Vivianne adalah seorang perempuan berkebangsaan Prancis, mengalami le coup de foudre alias cinta pada pandangan pertama pada lelaki Asia yang ditemuinya di tengah ribuan massa aksi mahasiswa dan buruh dalam revolusi Paris, Mei 1968 di depan Universitas Sorbone.
“Sampai di suatu malam bulan Mei 1968 yang riuh oleh tuntutan mahasiswa kepada pemerintah Prancis; aku bertemu dengan Vivianne Deveraux di kampus Universitas Sorbonne.” (Chudori, 2012: 79).
Dalam kutipan di atas menjelaskan bagaimana pertemuan antara Dimas Suryo denga Vivianne dalam aksi mahasiswa dan buruh melawan pemerintahan Prancis pada Mei 1968. Viviannne memiliki mata hijau, berbadan sintal dan berambut brunette. Ia adalah istri dari Dimas Suryo;
“Matanya, aku ingin sekali terjun ke-dalam matanya yang hijau itu, dan terkubur selamanya di situ.” (Chudori, 2012: 18).
“Tetapi yang luar biasa dari tubuh padat sintal berambut brunette itu adalah Vivianne tak memaksa aku untuk segera mengeluarkan seluruh rinci sejarah kehidupanku versi ensiklopedik. Dia sengaja membiarkan aku meneteskannya sedikit demi sedikit dari botol ingatanku.” (Chudori, 2012: 16).
Dalam kutipan di atas Dimas menjelaskan bahwa Vivienne yang memiliki mata hijau tersebut adalah seorang perempuan yang baik. Vivianne tidak pernah memaksa Dimas untuk bercerita mengenai masa lalunya dari pelarian militer. menurut Dimas, Vivianne adalah seorang wanita yang penuh pengertian dan peka terhadap situasi apapun.
“Dia sungguh perempuan yang penuh pengertian...Yang membedakan Vivienne dari kedua sepupunya adalah kepekaannya. Vivienne segera saja paham bahwa sikapnya yang terbuka padaku itu tidak otomatis mendapat barter sejarah hidupku.” (Chudori, 2012: 16).
“Kau mempunyai Ibu dan Aji, adikmu.” Aku tak menjawab. Aku tahu Vivianne ingin menghiburku. Dia memang perempuan yang baik dan lembut hati. Tetapi aku sama sekali tak akan bisa terhibur setiap kali mengingat nasib Surti dan anak-anaknya...” (Chudori, 2012: 38).
Kutipan di atas menjelaskan bahwa Dimas merasa bahwa Vivianne adalah seorang perempuan yang mampu memahaminya serta memberikan kenyamanan meskipun Dimas berada dalam situasi yang rumit. Le coup de foundre yang dirasakan Dimas terhadap Vivianne karena Ia merupakan sosok perempuan cantik, cerdas dan berasal dari keluarga berpendidikan:
“Vivianne jelas seorang perempuan cerdas yang kepandaiannya dipupuk oleh kehidupan keluarga intelektual kelas menengah Prancis yang mementingkan pencapaian akademik...” (Chudori, 2012:16).
Dalam kutipan di atas Dimas menggambarkan sosok Vivianne yang terpelajar serta memiliki selera terhadap karya-karya sastra klasik seperti halnya Dimas yang cinta dengan Sastra. Namun, hubungan Dimas dan Vivianne menjadi renggang akibat perekonomian mereka yang semakin buruk serta kekecewaan Vivianne terhadap Dimas yang masih belum bisa melupakan masalalunya terhadap Surti. Pada akhirnya Vivianne memutuskan untuk berpisah dari lelaki yang dicintainya.
2.1.2.3 Surti Anandari
Surti Anandari adalah istri dari Hananto Prawiro serta mantan kekasih dari Dimas Suryo. Sosok perempuan ini digambarkan sebagai perempuan cantik, berpendidikan, rendah hati, serius, berpendirian dan memiliki naluri yang kuat. Surti digambarkan seperti bunga melati yang suci oleh teman-temannya. Surti berasal dari keluarga priyayi dr. Sastrowidjojo yang berasal dari keluarga turun-temurun dokter terkemuka.
“Surti adalah anak keluarga dr.Sastrowidjojo yang berdiam di jalan Papandayan, Bogor, daerah kaum priyayi elite yang dipayungi pepohonan rimbun. Sebuah keluarga yang turun-temurun dokter terkemuka, yang ikut berperan besar meletakkan fondasi rumah sakit CBZ.” (Chudori, 2012: 52).
Dari kutipan di atas memperlihatkan kehidupan surti yang bersal dari keluarga priyayi dan berpendidikan. Namun, ia tidak mengikuti jejak ayahnya untuk sekolah di Fakultas kedokteran. Surti memilih menjadi mahasiswi di Fakultas Sastra dan Filsafat, Universitas Indonesia. Dimas Suryo dan Hananto Prawiro adalah teman semasa kuliahnya. Pilihannya untuk menikah dengan Hananto karena rasa cinta. Namun hubungan mereka tidak harmonis lantaran Surti yang merasa di khianati oleh Hananto Prawiro.
“Aku tahu, persoalannya bukan hanya petualangan ranjang Mas Hananto, melainkan karena Surti merasa dikhianati dan ditolak oleh suaminya sendiri.” (Chudori, 2012: 68).
Dalam kutipan di atas menjelaskan bahwa Surti dikhianati oleh suaminya Hananto Prawiro karena perempuan lain. Mereka dikaruniai tiga orang anak, Kenanga, Bulan, dan Alam. Sejak Hananto dinyatakan sebagai target operasi oleh
pemerintah Orde Baru, Surti dan anak-anaknya menderita di interogasi polisi selama bertahun-tahun. Pada akhirnya Surti harus merelakan Hananto di eksekusi mati oleh Pemerintah Orba sementara itu Surti berjuang membesarkan anak-anaknya dengan bantuan teman-teman dari Empat Pilar Tanah air.
2.1.2.4 Lintang Utara
Lintang Utara adalah seorang perempuan cantik, berambut hitam ikal dan blasteran. Lintang putri tunggal dari Dimas Suryo dan Vivianne Deveraux yang cerdas dan penuh dengan rasa ingin tahu.
“Semua yang ada pada Lintang adalah perwujudan Ibunya, kecuali rambutnya yang hitam dan ikal adalah rambut keluarga Suryo. Tak henti-hentinya kutatap mahkluk hidup yang bulat, cantik, dan berambut hitam ikal itu.” (Chudori, 2012: 85).
“Aku lahir di sebuah tanah asing. Sebuah negeri bertumbuh cantik dan harum bernama Prancis. Tetapi menurut Ayah darahku berasal dari seberang benua Eropa, sebuah tanah yang mengirim aroma cengkih dan kesedihan yang sia-sia...Di dalam tubuhku ini mengalir sebersit darah yang tak ku kenal, bernama Indonesia, yang ikut bergabung dengan percikan darah lain bernama Prancis. ” (Chudori, 2012: 137).
Dari kutipan di atas menjelaskan bahwa Lintang merupakan anak campuran Prancis-Indonesia dengan paras yang cantik serta dianugrahi oleh intelektual Ibunya dan pemahaman kesusastraan Ayahnya. Meskipun Ia tidak pernah ke Indonesia namun ia sudah mengenal banyak Indonesia dari cerita Ayah dan kawan-kawannya. Lintang melanjutkan pendidikan di Universitas Sorbonne, Paris. Untuk menyelesaikan tugas akhirnya dosen pembimbing memintanya untuk mencari tahu mengenai tanah kelahirannya Indonesia.
“Tak inginkah kau menjenguk kembali asal mula dirimu? Tak inginkah kau mengetahui apa yang membawa ayahmu dan kawan-kawannya terbang ke sini, sebuah negara yang nyaris tak memiliki hubungan historis dengan Indonesia?” (Chudori, 2012: 134).
“Entah bagaimana, aku merasa ingin keluar dari metro dan menenangkan pikiran. Perintah Didier Dupont sama sekali bukan sesuatu yang bisa ditawar lagi. Artinya: aku harus membuat dokumenter yang ada hubungannya dengan Ayah atau dengan Indonesia.” (Chudori, 2012: 138).
Dalam kutipan di atas menjelaskan bahwa, Monsieur Dupont yang merupakan dosen pembimbingnya meminta untuk meneliti dan memuat dokumenter tentang sejarah dan politik yang terjadi di Indonesia. Lintang Utara sebagai anak dari eksil politik, merasa perlu mencari jati diri tentang dirinya dan keluarganya. Lintang akhirnya memutuskan berkunjung ke Indonesia untuk tujuan tugas akhir kuliahnya dengan merekam pengalaman keluarga korban tragedi September 1965 sekaligus mencari tahu asal-usulnya. Sampai suatu hari Ia dipertemukan kepada Segara Alam yang nantinya menjadi pasangan hidupnya.
2.1.2.5 Segara Alam
Segara Alam adalah seorang lelaki tinggi, berambut ikal, bekulit cokelat gosong, dan berwajah kasar.
“...Lelaki tinggi, berambut ikal, berkulit cokelat gosong karena jilatan matahari, dan berwajah kasar oleh bekas jenggot yang dicukur...” (Chudori, 2012: 364).
Dalam kutipan di atas Alam digambarkan mewarisi wajah ganteng ayahnya Hananto Prawiro. Alam terlahir dari keluarga yang kuat akan terpaan cobaan. Semenjak Ayahnya Hananto Prawiro di eksekusi karena di cap sebagai
anggota PKI, Alam mengalami banyak cobaan. Sejak kecil ia sudah terdidik dengan keras sehingga membuat alam tumbuh menjadi anak yang kuat, penuh dengan pertanyaan-pertanyaan dan kemarahan. Alam digambarkan sebagai sosok yang idealis serta kritis dan pintar. Ia tumbuh menjadi laki-laki yang pemberani, tempramen serta menjadi pelindung bagi sahabatnya Bimo. Mereka adalah dua intelektual muda yang bersemangat:
“Saya mendapat kesan, orang-orang muda seperti Alam dan Bimo bukanlah perwakilan generasi muda Indonesia umumnya. Mereka adalah aktivis dan intelektual yang terbentuk karena sejarah.” (Chudori, 2012: 410).
Dari kutipan di atas menjelaskan bagaimana pandangan Lintang terhadap Alam dan Bimo. Mereka adalah dua sosok lelaki tangguh yang berasal dari keluarga eks tapol. Alam merupakan pelindung bagi sahabatnya Bimo. Mereka bekerja di sebuah LSM sebagai aktivis. Pada suatu hari Alam dipertemukan dengan Lintang anak Dimas Suryo yang ditugaskan ke Indonesia untuk tugas akhir kuliahnya. Namun, pertemuan itu berujung pada cinta segitiga.
“Ternyata le coup de foundre itu menghantamku dalam seorang Alam. Lelaki tinggi, berambut ikal, berkulit cokelat gosong karena jilatan matahari, dan berwajah kasar oleh bekas jenggot yang dicukur...” (Chudori, 2012: 364).
Dari kutipan di atas Lintang mengalami cinta pada pandangan pertama kepada Alam, walaupun dia sadar bahwa dia sudah memiliki kekasih Narayana.
2.1.2.6 Tjai Sin Soe (Thahjadi Sukarna)
Tjai Sin Soe (Thahjadi Sukarna) adalah salah satu sahabat Dimas yang bekerja di Kantor Berita Nusantara. Ia salah satu tokoh yang paling apolitis dari semua temannya. Tjai adalah bagian dari empat Pilar Tanah Air. Ia seorang lulusan sarjana ekonomi, tidak banyak bicara, pekerja keras, rasional dan penuh perhitungan. Tjai sendiri berasal dari etnis Tionghoa. Tjai dan keluarga merasa tidak nyaman tinggal di Indonesia, sejak prahara tragedi 65 ia melarikan diri bersama istri dan keluarganya.
“Tjai adalah lem yang merekatkan kami semua. Dia satu-satunya yang tak punya keanehan atau kekenesan. Dia datang dari keluarga Tionghoa Surabaya yang percaya pada kerja keras. Terdamparnya Tjai ke luar Indonesia, seperti juga banyak keluarga Tionghoa lainnya, sebetulnya bukan karena Ideologi belaka, karena Tjai samasekali tidak suka berpolitik.” (Chudori, 2012: 98).
Dalam kutipan di atas menjelaskan bahwa Tjai adalah sahabat yang baik bagi teman-temannya. Ia dan keluarganya melarikan diri ke luar negeri dan menetap di P{rancis. Tjai sama sekali tidak tertarik dengan politik. Namun, Ia tahu bahwa etnis Tionghoa tidak aman berada di Indonesia pasca prahara 65. Tjai dan kawan-kawannya Empat Pilar Tanah Air mendirikan Restoran Tanah Air di Paris. Karena ia teliti dan cekatan dipilih menjadi bagian keuangan di Restoran Tanah Air. Dapat dilihat dalam kutipan di bawah.
“Tjai Sin Soe (yang terkadang dikenal dengan nama Thahjadi Sukarna) yang lekat dengan kalkulator di tangan kirinya jauh melebihi nyawanya sendiri, lebih banyak berbuat, berpikir cepat dari pada coa-coa.” (Chudori, 2012: 50).