BAB II KAJIAN STRUKTURAL DALAM NOVEL PULANG KARYA LEILA
2.1 Tokoh dan Penokohan
2.1.1 Tokoh Utama
2.1.1.1 Dimas Suryo
Dimas Suryo adalah tokoh yang paling banyak diceritakan dan merupakan tokoh sentral dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori. Dalam perwatakannya sendiri Ia merupakan tokoh berkembang. Dimas yang bekerja sebagai seorang wartawan di Kantor Berita Nusantara digambarkan sebagai sosok cerdas, berkarakter, peduli terhadap teman, pencinta karya sastra dan dunia perwayangan, kritis, netral dalam pandangan politik bila dibandingkan dengan teman-temanya yang lebih condong ke kiri, dapat dilihat dalam kutipan di bawah:
“Itulah sebabnya, meski ada demarkasi di antara para pengagum atau pengikut PKI dan non-pengikut, aku yang lebih mirip zona netral Swiss, juga berdiskusi dengan Bang Amir, wartawan di Kantor Berita Nusantara, sangat kritis terhadap Bung Karno-kritis karena Presiden kami ini terlalu mesra dengan pimpinan PKI, dan juga karena M. Natsir dipenjara.” (Chudori, 2012: 31).
“Kenapa kita harus bergabung dengan salah satu kelompok hanya untuk menunjukkan satu keyakinan? Lagipula apakah keyakinan kita itu sesuatu yang tunggal?sosialisme, komunisme, kapitalisme, apakah paham-paham ini harus ditelan secara bulat tanpa ada keraguan? Tanpa rasa kritis?” (Chudori, 2012: 43).
Dalam kutipan di atas terlihat bahwa Dimas Suryo menjelaskan bahwa Ia bukan pengikut paham kiri ataupun kanan Dimas memiliki pandangan sendiri dalam hal politik. Dimas salah satu orang yang tidak mau terikat baik dalam masalah politik maupun perempuan.
“Apa yang dituduhkan Mas Hananto kelak-bahwa aku tak pernah bersedia menetukan pilihan (politik bahkan jodoh)-mungkin ada benarnya. Aku seperti sebuah kapal yang enggan berlabuh selama-lamanya. Setiap kali berhenti, aku sudah gatal untuk pergi lagi.” (Chudori, 2012: 61).
“Saat menulis, aku tak suka titik. Aku gemar tanda koma..” (Chudori, 2012: 62).
Dalam kutipan di atas menjelaskan bahwa Dimas adalah seorang yang berjiwa bebas dan tidak suka terikat dalam hal apapun baik itu soal politik maupun masalah perempuan. Dimas tertarik dalam dunia jurnalis. Namun, kehidupan Dimas berubah sejak Dimas dan kawan-kawannya ditugaskan oleh Hananto untuk menggantikannya menghadiri konferensi di Santiago dan Peking. Dapat dilihat dalam kutipan berikut:
“Ada konferensi di Santiago dan Peking,” “Seharusnya Mas Hananto yang berangkat ke sana bersama Mas Nugroho karena dia yang senior dan lebih paham persoalan”..“Saat itu Mas Hananto berhalangan. Ada pekerjaan yang bertumpuk dan ada urusan pribadi yang harus diselesaikan. Jadi aku menggantikan mas Hananto mendampingi Mas Nug. Mereka ingin betul aku belajar banyak dari konferensi itu.” (Chudori, 2012: 37).
Dari kutipan di atas Dimas Suryo dan Kawan-kawannya ditugaskan ke Santiago dan Peking menggantikan Hananto untuk menghadiri konferensi jurnalis. Pada awalnya Dimas sendiri tidak tertarik untuk mengikuti konferensi tersebut namun, karena Hananto harus menyelesaikan masalah pribadi dengan Surti akhirnya membuat Dimas setuju menggantikan Hananto prawiro dalam konferensi tersebut. Namun yang terjadi Dimas dan kawan-kawannya tidak dapat Pulang ke Indonesia bahkan paspor mereka dicabut dan dituduh ikut serta dalam pergerakan kiri. Mereka pasrah atas keputusan pemerintah Orde Baru meskipun hidup tanpa perencanaan dan tujuan di negeri asing.
“Tentu saja aku tahu bahwa kedatangan Ayah dan kawan-kawannya bukan dengan sekoper perencanaan;segalanya serba gelap, di bawah tanah, dan menyerempet bahaya. Sejak masih terlalu muda untuk memahami politik, aku sudah tahu bahwa Indonesia, tepatnya pemerintah Orde Baru yang tak kunjung runtuh itu tak akan pernah memudahkan Ayah Pulang ke Indonesia. Ini cerita yang selalu diulang-ulang Maman. Dan ini sebuah cerita yang selalu kuhindari karena setiap kali mengenang Indonesia, Ayah akan mengakhirinya dengan kucuran air mata dan rasa pahit.” (Chudori, 2012: 135).
Kutipan di atas merupakan pandangan Lintang bahwa Dimas beserta kawan-kawannya tidak terlibat masalah politik yang terjadi di Indonesia. Mereka pergi menjalankan tugas pekerjaan kantor. Mereka hanyalah sekelompok korban politik Indonesia. Dimas dan kawan-kawannya mengalami pengasingan sebagai eksil politik. Mereka bermukim di Prancis setelah mendapat suaka dan menetap di Paris. Dimas dkk mendirikan restoran Tanah Air di Paris bersama tiga teman-teman seperjuangannya: Nug, Tjai, dan Risjaf --mereka berempat disebut Empat Pilar Tanah Air--.
“Aku menatap kawanku satu persatu. Ada yang hilang di sana. Seharusnya ada lima. “Kita,” aku menghela nafas “adalah empat pilar dari Restoran Tanah Air.” (Chudori, 2012: 104).
Dalam kutipan di atas menjelaskan bahwa Dimas dan akawan-kawannya sedang merancang nama sebuah restoran yang akan mereka dirikan secara bersama-sama yakni Restoran Tanah Air yang didirikan di Paris. Dimas Suryo menikah dengan seorang perempuan berkebangsaan Prancis Vivianne Devereaux dan memiliki seorang anak bernama Lintang Utara Meskipun sudah memiliki keluarga di Prancis, Dimas selalu ingin Pulang ketanah airnya Indonesia. Dapat dilihat dalam kutipan di bawah:
“Prancis tak pernah menjadi rumah bagi Dimas. Aku sudah menyadari itu sejak awal kami bertemu mata. Ada sesuatu yang mencegah dia untuk berbahagia. Ada banjir darah di tanah kelahirannya. Ada le chaos politique yang bukan sekadar mengalahkan, tetapi merontokkan, Dimas dan kawan-kawannya, hingga mereka harus memungut serpihan dirinya dan membangun itu semua kembali agar bisa kembali menjadi sekumpulan manusia yang memiliki harkat yang utuh.” (Chudori, 2012: 203).
“Dimas adalah burung camar yang senantiasa ingin kembali ke tanah kelahirannya: bukan kepada keluarga yang dibentuknya di seberang.” (Chudori, 2012: 205).
“Tetapi aku masih berasa ada sesuatu yang tertinggal di Tanah Air. Mungkin ada hatiku yang tertinggal pada Ibu, pada Aji, mungkin juga pada Surti dan anak-anaknya. Aku tak tahu.” (Chudori, 2012: 79).
Dalam kutipan di atas menjelaskan bahwa Dimas Suryo tidak bahagia, Dimas selalu memikirkan tanah air kelahirannya, masa lalunya. Ia merasa ada yang hilang dalam dirinya. Ia harus terpisah jauh dari keluarganya: Ibu, Aji Suryo,
sahabatnya dan mantan kekasihnya Surti serta ketiga anaknya karena situasi politik yang memanas di Indonesia. Pernikahan Dimas bersama Vivianne tidak berjalan dengan baik. Mereka memilih berpisah karena Vivianne sadar bahwa Dimas masih belum bisa melupakan masa lalunya bersama Surti. Meskipun sudah bercerai hubungan mereka tetap baik.
“Aku tahu, setiap kali aku menyebut nama Surti hatiku masih bergetar dan teriris. Mendengar nama Kenanga, Bulan, dan bahkan Alam, si bungsu yang tak pernah kukenal itu, tetap membuat jantungku berlompatan.” (Chudori, 2012: 41).
“Aku lebih tak tahu lagi mengapa sampai detik ini, setelah bertemu dengan Vivianne yang jelita dan menikahinya, hatiku masih bergetar setiap kali mengenang Surti. Barangkali aku sudah terlanjur memberikan hatiku padanya, untuk selama-lamanya.” (Chudori, 2012: 65).
“Mas Nug tertawa seperti monyet. Dia tahu Vivianne akan cerewet sekali menyuruh aku berobat. Meski kami sudah bercerai, Vivianne dan aku tetap berkawan baik.” (Chudori, 2014: 128).
Dalam kutipan di atas tampak bahwa Dimas masih mencintai Surti Anandari. Perceraian Dimas terjadi karena Vivianne sadar bahwa Dimas masih belum bisa melupakan Surti dan anak-anaknya. Meskipun telah berpisah hubungan mereka tetap baik.