BAB II KAJIAN STRUKTURAL DALAM NOVEL PULANG KARYA LEILA
2.1 Tokoh dan Penokohan
2.2.1 Latar Tempat
Latar luas dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori menempatkan dua negara yaitu Indonesia dan Prancis khususnya Paris.
Jakarta (Indonesia)
“Sekali lagi Ibu menekankan sebaiknya Mas Dimas tetap di Eropa saja. Kami sudah merasa lebih tenang di Jakarta. Perburuan semakin mengganas, bukan hanya pada mereka yang dianggap komunis, atau ramah kepada PKI. Kini keluarga atau sanak famili pun kena ciduk….” (Chudori, 2012:19).
“Belakangan aku mulai merasakan panas di Jakarta , dimana-mana. Bahkan aku ingat betul pada perang urat saraf yang terjadi antara seniman Lekra yang menekankan karya seni yang melibatkan persoalan sosial dan seniman non-Lekra yang menekankan kebebasan dan kemanusiaan.” (Chudori, 2012: 29).
Paris (Prancis)
“Bagi warga Paris, musim semi berarti perubahan gaya.” (Chudori, 2012: 49)
Dalam kutipan di atas dapat dilihat bahwa latar luas dalam novel Pulang ini terdapat di Indonesia khususnya Jakarta juga terjadi di Prancis khususnya Paris. Hal ini dapat dilihat dari dialog antar tokoh yang berada di Indonesia dan di Prancis.
2.2.1.2 Latar Tempat Sempit
Latar tempat sempit dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori menempatkan beberapa negara yaitu Indonesia, Cina, dan Prancis khususnya Paris.
Jakarta (Indonesia)
Jalan Sabang, Jakarta, April 1968
“Ternyata berita buruk itu tiba juga. Mas Hananto sahabatku, atasanku, dan rekanku berdiskusi: suami Surti serta ayah Kenanga, Bulan, dan Alam, akhirnya ditangkap di tempatnya bekerja di Jalan Sabang sebulan lalu” (Chudori, 2012: 11).
Jalan Asem Lama, kantor berita Nusantara, ruang redaksi dan Pasar Senen
“Aku rajin ikut mendengarkan diskusi Mas Hananto dengan kawan-kawannya di ruang redaksi di Jalan Asem lama, atau tak jarang juga kami meneruskan perdebatan sembari ngopi di warung Kadir Pasar Senen.” (Chudori, 2012:29).
Jalan Cidurian, Menteng
“Mobil Mas Hananto berhenti di jalan Cidurian, Menteng. Aku terdiam. Aku tahu, itu adalah markas Lekra. Kulihat dari kejauhan beberapa orang tengah duduk dan saling berdiskusi dengan santai.” (Chudori, 2012: 36).
“Tenang. Kan ada Gilang disana. “Aku menutup telepon karena malas mendengar gerutuannya. Aku tahu. Kawan-kawan sudah berada di lapangan, mendukung gerakan mahasiswa gabungan. Salemba pasti sudah penuh sesak dengan lautan manusia dan spanduk yang menyelimuti Jakarta Pusat..” (Chudori, 2012: 299).
Rumah Surti, percetakan negara
“...Kalau kami terlalu lapar atau ingin menu yang beradap, dengan tanpa malu kami ke rumah Tante Surti di Percetakan Negara...” (Chudori, 2012: 312).
Rumah Bimo, teras
“Kami bertiga masuk keteras belakang yang lansung menghadap sepetak kebun. Aku mendengar dari Ibu, sejak pensiun dari militer dengan pangkat terakhir Brigadir jenderal, Pak Prakosa masih menjadi komisaris di perusahaan timah PT Maharani….” (Chudori, 2012: 316).
Kantor Alam, jalan Diponegoro
“Hanya dalam waktu 20 menit kami sudah tiba di jalan Diponegoro. Kantor kami tetap penuh orang meski hari ini adalah hari sabtu. Papan nama bertuliskan ‘satu bangsa’ sudah kalah oleh...” (Chudori, 2012: 319).
Pondok pinang, Jakarta, kontrakan Alam
“Alam menyewa rumah kecil yang terletak di sebuah jalan keci di daerah Pondok Pinang, selatan Jakarta. Rumah yang kelihatan terpeliha dengan baik, dicat putih, dan dipenuhi tanaman hijau merambat. Mobil jip sebesar itu di parkir di jalan di depan rumah Alam, karena ia tak memiliki garasi...” (Chudori, 2012: 403).
Rumah keluarga Hananto Prawiro di Percetakan Negara
“Rumah keluarga Hananto Prawiro di Percetakan Negara Salemba nampak seperti bangunan lama yang sudah butuh renovasi. Warna
putih-yang lebih layak disebut kecoklatan-dengan kebun kecil yang terdiri dari rumput hijau yang terpelihara dan dibingkai tanaman lantana ungu dan kuning...” (Chudori, 2012: 373).
Museum di Lubang Buaya
“.... Aku merekam semuanya sesuai daftar isi: monumen pahlawan, serangkaian diorama, berbagai ruangan yang diabadikan, termasuk ruang rapat dan penyiksaan, Lubang Buaya, dan beberapa tank tentara.” (Chudori, 2012: 366).
Kampus Trisakti
“ Kali ini kampus trisakti bukan hanya penuh oleh mahasiswa dan alumni, tetapi terlihat banyak tokoh yang datang menghadiri aksi berkabung ini...” (Chudori, 2012: 414).
Kampus Sorbonne (Prancis)
Di bawah patung Victor Hugo
“Diantara ribuan mahasiswa Sorbonne yang baru saja mengadakan pertemuan, aku melihat dia berdiri di bawah patung Victor Hugo... ” (Chudori, 2012: 9).
Rue de Seine
“Vivianne Devereaux dan aku dengan cepat menjadi dua titik yang melekat menjadi satu garis yang merayap, menyusuri pori-pori tubuh Paris. Hanya beberapa pekan setelah pertemuan pertama yang sekejap malam itu alam mempertemukan kami kembali di Rue de Sain.” (Chudori, 2012: 12).
90 Rue de Vaugirard adalah lokasi Restoran Tanah Air
“Sebuah iklan kecil yang nyaris terlewatkan seolah membuka sejarah untuk kami. Adalah sebuah restoran Vietnam milik sebuah keluarga berlokasi di 90 Rue de Vaugirard...” (Chudori, 2012: 110).
Cina (Peking)
Desa Merah (Peking)
“Setelah mereka merasa kami siap, kami diminta untuk bergabung ke desa Merah, sebuah komunal dipinggiran kota Peking. Beberapa kelompok masyarakat Indonesia yang bermikim di Peking juga sedang melakukan Dong Bei Fang, yang berarti kira-kira menghadap ke Timur Laut.” (Chudori, 2012: 73).
Dari beberapa kutipan di atas dapat dilihat beberapa latar tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori. Ada banyak latar yang di gambarkan oleh pengarang dalam novel Pulang namun, penulis hanya mencantumkan sebagian saja.
2.2.1.3 Latar Waktu Sempit
Latar waktu sempit dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori ini mengambil latar di Jakarta. Lihat kutipan berikut.
Malam itu
“..Sesekali kutangkap dia memperhatikanku dari jauh lantar berpura-pura sibuk mengisap rokoknya seolah ingin menangkis dingin angin yang menderu malam itu...” (Chudori, 2012: 200).
Senja hari, Malam
“malam itu, akhirnya kami bertiga berjalan menyusuri Diponegoro dan Salemba meski trotoar di Jakarta yang bau pesing pastilah berbeda dengan Paris yang memang dibangun untuk dinikmati pejalan kaki...Kami tertawa terpingkal-pingkal. Pada senja itu, untuk pertama kali, aku bisa melupakan rumah masa kecil neraka itu.” (Chudori, 2012: 325).
Menjelang magrib
“Begitu seringnya nama Alam muncul dalam percakapan, sehingga nama yang disebut muncul di hadapan kami oleh tubuh kuyup oleh keringat, aku baru menyadari hari sudah menjelang magrib. Dia kelihatan gembira melihat aku masih duduk di sofa bersama Ibunya.” (Chudori, 2012: 388).
Dalam kutipan di atas dapat dilihat beberapa latar waktu sempit yang melatar belakangi cerita ini. Penulis hanya mencantumkan sebahagian dari latar sempit yang ada dalam novel Pulang karya Leila. S Chudori.
2.2.1.4 Latar Waktu Luas
Latar waktu luas dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori ini mengambil tiga latar sejarah waktu. Tiga latar waktu pada tahun 1965, 1968, dan 1998. Lihat kutipan berikut.
September 1965
“...Bagi Vivianne dan kawan-kawannya yang tengah dibakar gelora, kesia-siaan perang Vietnam adalah titik awal segala gerakan generasi muda di Amerika dan Eropa. Jangankan mendengar nama Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka. Jangan pula menyebut peristiwa berdarah 30 September 1965, karena mereka masih pada tahap harus membuka peta untuk mencari letak Indonesia” (Chudori, 2012:14).
“terus-menerus diinterogasi di Guntur, kini juga di bawa, Mas. Dia tidak mau menyebut peristiwa berdarah 30 September 1965,meninggalkan Kenanga, Bulan, dan Alam…..” (Chudori, 2012: 19).
“warung kopi jalan Cidurian, Jakarta 12 September 1965...” (Chudori, 2012: 44).
“Bulan september 1965, mas Nugroho dan aku adalah dua dari banyak wartawan yang diundang menghadiri konferensi International Organization of Journalist di Santiago, Cile. Meski Jakarta sudah memanas, penuh asap tentang desas-desus tentang dewan jendral dan pertikaian tingkat tinggi di kalangan elite militer…..” (Chudori, 2012: 67).
Revolusi gerakan Mei 1968
“Selama beberapa bulan kemudian, Vivienne dan aku berlagak seperti para flaneur yang berjalan-jalan karena ingin menikmati langkah kaki dan kota Paris. Revolusi Mei 1968 tiba-tiba seperti tak lagi bersisa. Prancis kembali menjadi negara yang flamboyan meski tetap santun dan teratur.” (Chudori, 2012:15).
1998 Runtuhnya Orba
“Tanggal 21 Mei, ketika Presiden Soeharto mengucapkan pidato pengunduran dirinya, kami semua menjerit. Raestoran Tanah Air hampir meledak karena teriakan kami yang terlalu keras.” (Chudori, 2012: 443).
Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa latar waktu luas yang terbagi menjadi tiga sejarah waktu. Yang pertama pada tahun 1965 ketika terjadinya peristiwa kudeta 65 oleh PKI, kedua pada tahun 1968 ketika terjadinya revolusi buruh 21 Mei di Prancis dan ketiga pada tahun 1998 saat runtuhnya pemerintahan Orde Baru Soeharto. Pada kutipan di atas tahun 1998 menjelaskan sebuah fenomena ketika terjadinya detik-detik penantian masyarakat Indonesia atas pengunduran diri Presiden Soeharto yang sudah berkuasa selama 32 tahun semasa rezim Orde Baru. Keputusan tersebut disambut baik oleh masyarakat Indonesia maupun eksil politik Indonesia. Pada kutipan di atas terlihat para eksil politik yang bermukim di Prancis akhirnya dapat kembali ke tanah air Indonesia.
2.2.1.5 Latar Sosial Budaya
Latar sosial-budaya yang menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Dalam Novel Pulang karya Leila S. Chudori ditemukan dua bentuk kebiasaan masyarakat yang mencerminkan perilaku kehidupan sosialnya.
2.2.1.5.1 Mudah Terprovokasi
Dalam konteks Orde Baru yang diceritakan dalam novel Pulang ini dapat dilihat dari kebisaan masyarakatnya yang gampang sekali untuk diadu domba, dihasut dan mudah menerima informasi tanpa perlu bukti. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan di bawah ini ketika massa turun ke jalan.
“...Tapi ada sesuatu yang khas dari tentang psikologi kelompok di negeri ini. Begitu bergerombol, tinggal teriak ‘maling’ atau ‘komunis’, tanpa tedeng aling-aling, orang atau keluarga yang sedang jadi target itu akan kena hajar.” (Chudori, 2012: 424).
“Masyarakat Indonesia gampang panas dan gampang diperintah dalam situasi panas. Lihat tahun 1965, lihat Malari.” (Chudori, 201: 304).
Dalam kutipan di atas menggambarkan bagaimana situasi Jakarta pada tahun 1998. Masyarakat mudah terprovokasi apalagi ketika terjadinya kerusuhan dan demonstrasi pada Mei 1998, ketika masyarakat meminta Presiden Soeharto turun dari jabatannya, massa-pun turun ke jalan dan menjarah Jakarta. Indonesia memiliki begitu banyak peristiwa dan sejarah kelam yang perlu untuk diteliti kembali. Lihat kutipan berikut.
“Indonesia sudah mengalami begitu banyak tragedi yang luar biasa. Tetapi mereka cenderung bertahan dan melupakan sejarah.” (Chudori, 2012: 410).
Dalam kutipan di atas, kesan-kesan yang tampak bahwa Indonesia yang sudah mengalami banyak kesengsaraan. Namun, yang aneh disini masyarakat maupun anak muda sebagai generasi penerus bangsa tidak banyak yang tertarik maupun peduli dengan sejarah negerinya.
2.2.1.5.2 Berkumpul dan Menghabiskan Waktu di Warung
Masyarakat Indonesia pada prinsipnya menjujung tinggi nilai persaudaraan, musyawarah dan mufakat. Berkumpul untuk pergaulan maupun untuk berkomunikasi satu sama lain. Hal ini dapat dilihat dalam kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang suka menghabiskan waktu sekedar berbincang-bincang di warung kopi. Dalam kutipan berikut memperlihatkan bagaimana kegiatan berkumpul di sebuah warung menjadi sebuah tradisi masyarakat Indonesia.
“Aku rajin ikut mendengarkan diskusi Mas Hananto dengan kawan-kawannya di ruang redaksi di Jalan Asem lama, atau tak jarang juga kami meneruskan perdebatan sembari ngopi di warung Kadir Pasar Senen.” (Chudori, 2012: 29).
Dalam kutipan di atas memeperlihatkan bagaimana kebiasaan masyarakat Indonesia yang gemar duduk-duduk menghabiskan waktu di warung kopi sambil berbicara masalah yang remeh temeh sampai pada persoalan yang serius. Duduk-duduk di warung kopi adalah salah satu hal yang mencerminkan karakter orang Indonesia.