• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III KEKERASAN SIMBOLIK ORDE BARU DALAM NOVEL PULANG

3.2 Mekanisme Kekerasan Simbolik

Dalam bab ini akan dibahas mengenai beberapa bentuk kekerasan simbolik Orde Baru yang terdapat dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori. Dalam menjalankan kekerasan simbolik itu, Orde Baru menggunakan dua mekanisme kekerasan simbolik yaitu strategi eufemisme dan mekanisme sensorisasi. Kedua mekanisme tersebut diuraikan sebagai berikut.

3.2.1 Eufemisme

Dalam novel Pulang ditemukan dua bentuk eufemisme yaitu bentuk kepercayaan dan kesetiaan. Bentuk kepercayaan itu terlihat dalam diri tokoh Rama yang merupakan anak dari keluarga eks tapol Aji Suryo. Dalam diri Rama ada semacam “persetujuan” terhadap perlakuan pemerintah Orde Baru. Tokoh Rama percaya bahwa PKI merupakan subjek yang bersalah dan telah melakukan kejahatan terhadap negara. Hal itu membuat tokoh Rama tampak malu dengan keadaannya. Dapat dilihat dalam kutipan berikut.

“Sikap itu juga berakibat pada Rama yang kemudian tumbuh sebagai anak lelaki yang lebih sering minder karena tak ada yang bisa dibanggakan dari keluarganya. Orangtuanya jarang mengadakan pesta atau kumpul-kumpul keluarga atau tetangga yang melibatkan banyak orang.”(Chudori, 2012:331).

“Rama merasa seluruh sekolah, kawan-kawannya bergaul, dan satu kompleks rumah mereka seolah menganggap rumah Aji Suryo adalah keluarga nista yang perlu dijauhi. Setiap hari Rama dengan penuh paranoia mengecek apakah Ayahnya diteror di tempatnya bekerja. Dia juga mulai jarang menggunakan nama Suryo di belakang namanya, dan sebagai gantinya dia menggunakan nama keduanya: Rama Dahana.” (Chudori, 2012: 293).

“...Sederhana saja: dia malu dengan kita. Dia malu dengan dirinya!” (Chudori, 2012: 329).

Dalam kutipan di atas tokoh Rama merupakan anak dari keluarga tapol tampak malu dan benci terhadap keluarga yang dimilikinya karena tokoh Rama percaya terhadap masa lalu keluarganya yang buruk. Bentuk kesetiaan juga tampak pada sikap tokoh utama, Dimas Suryo yang ingin kembali Pulang ke tanah airnya Indonesia. Dapat dilihat dalam kutipan berikut.

“Dimas adalah burung camar yang senantiasa ingin kembali ke tanah kelahirannya: bukan kepada keluarga yang dibentuknya di seberang.” (Chudori, 2012: 205).

Dalam kutipan di atas menjelaskan bahwa tokoh Dimas merupakan seorang eksil politik Indonesia yang berdomisili di Prancis membuktikan bahwa Ia masih setia pada NKRI meskipun dia sudah ditolak serta di cabut hak kewarganegaraannya oleh pemerintah Indonesia. Tanpa sadar tokoh Dimas Suryo dan Rama sudah menerima mekanisme kekerasan simbolik Orde Baru.

3.2.2 Sensorisasi

Dalam novel ini ditemukan adanya bentuk-bentuk mekanisme sensorisasi oleh Orde Baru. Hal ini dapat ditunjukkan melalui dominasi yang ditanamkan Orde Baru terhadap pihak lain yang terdominasi yakni PKI beserta afiliasinya. Beberapa bentuk mekanisme sensorisasi Orde Baru terhadap PKI seperti Bersih Lingkungan, Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) yang wajib diikuti seluruh masyarakat Indonesia. Diuraikan sebagai berikut.

3.2.2.1 Bersih Diri dan Bersih Lingkungan

Pada masa Orde Baru pemerintah menggunakan istilah yang disebut Bersih Diri dan Bersih Lingkungan yang dikenakan pada anggota PKI dan turunannya. Kebijakan itu dikeluarkan oleh Departemen Dalam Negeri yang melarang orang-orang yang tidak Bersih Diri atau tidak Bersih Lingkungan menjadi anggota Pegawai Negeri Sipil, anggota ABRI/TNI/POLRI, pendeta, anggota parpol atau profesi yang dianggap bisa mempengaruhi masyarakat (Chudori, 2014: 452). Untuk mengecek Bersih Lingkungan, seorang calon

pegawai harus melalui litsus (Penelitian Khusus) apabila seseorang terbukti tidak melakukan Bersih Diri atau Bersih Lingkungan maka bisa akan dipecat dari kedudukannya (Lubis: kompasiana).

Mekanisme sensorisasi ini juga digunakan pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang dibuat tanda atau kode khusus seperti OT atau ET (Eks tapol) untuk mengenali dan mengetahui bahwa yang bersangkutan adalah mantan atau anggota PKI (Lubis: kompasiana). Diskriminasi ini berlaku pada mantan anggota PKI, afiliasi maupun anak cucu mereka secara turun-temurun. Dalam novel Pulang dapat dilihat dalam kutipan berikut.

“Kasihan loo, di KTP mereka harus diletakkan tanda ET. Terus, Mas Warman dan Mas Muryanto kalau menulis di media sekarang menggunakan nama samaran. Lha tapi kami semua tahuuu kalau Sinar Mentari itu ya nama samaran Warman; kalau Gregorius M ya itu Mas Muuur. Bikin nama samaran kok mudah ditebak. Gimana sih. Terus itu lo, anak-anaknya sekarang ikut-ikutan kerja di media. Pake nama samaran juga.” (Chudori, 2012: 125)

“Ketika kebijakan Bersih Diri dan Bersih Lingkungan diluncurkan pemerintah tahun 1981, yang berarti siapa pun yang ingin menjadi Pegawai Negeri atau memegang jabatan strategis harus melalui proses penelitian khusus..” (Chudori, 2012: 332)

Dari kutipan di atas menjelaskan bahwa pemerintahan Orde Baru menggunakan kebijakan otoriter terhadap anggota PKI serta keturunannya. Diskriminasi ini bertujuan agar pemerintah Orde Baru dapat mengontrol setiap gerakan dari anggota maupun mantan PKI dan turunannya.

3.2.2.2 P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila)

P4 atau Eka Prasetya Pancakarsa adalah sebuah panduan tentang pengamalan Pancasila yang di bentuk oleh pemerintahan Orde Baru. Panduan P4 dibuat dengan ketetapan MPR no. II/MPR/1978 tentang Ekaprasetya Pancakarsa dengan menjabarkan kelima asas pancasila menjadi 36 butir pengamalan sebagai pedoman praktis pengamalan Pancasila (Wikipedia, P4). Penataran P4 dari tahun 1978 hingga 1990 wajib diikuti para pelajar, mahasiswa hingga pejabat maupun PNS yang baru lulus dan harus mengikuti kelas Penataran P4 sebelum bertugas. Hal ini bertujuan agar generasi penerus bangsa dapat memahami, mendalami serta mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Pada novel Pulang dapat dilihat dalam kutipan berikut.

“Tapi keberangkatan kami bertiga ditunda selama dua tahun. Seharusnya saya ke Inggris, Yos ke Argentina, dan Hans dapat Kanada. Kami di Jakarta mengerjakan hal-hal yang remeh-temeh. Disuruh ikut kelas P4.” (Chudori, 2012: 265).

Dari kutipan di atas memperlihatkan sekelompok anak muda yang diwajibkan mengikuti kelas P4 sebelum ditugaskan kerja ke beberapa negara. Melalui strategi ini Orde Baru dapat mendoktrin generasi muda agar tunduk dan patuh dengan aturan-aturan yang berlaku. Namun, pada tahun 1998 peraturan ini dihapus pada Ketetapan MPR no. II/MPR/1998 telah dicabut dengan ketetapan MPR no.XVIII/MPR/1998 berakhir dilaksanakan menurut ketetapan MPR no.I/MPR/2003 (Wikipedia, P4).

Dua bentuk mekanisme sensorisasi melalui Bersih Lingkungan dan P4 merupakan upaya pemerintahan Orde Baru melanggengkan strateginya dengan cara mengontrol setiap gerakan anggota PKI maupun keturunannya. Pemerintah Orde Baru berhasil dalam menjalankan makna dari Oposisi Biner yang dapat diartikan sebagai sebuah sistem yang berusaha membagi dua dunia dalam dua klasifikasi yang berhubungan secara struktural. Dalam dua elemen realitas kehidupan antara positif dan negatif, hitam dan putih. Dalam pengertian ini Orde Baru dianggap memiliki kedudukan yang lebih tinggi, lebih superior serta dicitrakan sangat baik, positif, suci dan benar. Sementara itu sebaliknya PKI sebagai pihak terdominasi dianggap negatif, sebagai pembunuh yang sadis yang memiliki moral rendah karena melakukan pembunuhan terhadap para jendral dalam kudeta 30S 1965 terhadap Soekarno. Citra yang ditanamkan Orde Baru terhadap komunisme sebagai bentuk pengkhianatan dan musuh negara. Sementara itu, Pemerintahan Orde Baru dan militer melegitimasi pembunuhan massal terhadap PKI beserta afiliasinya dianggap sebagai pahlawan negara.

Dokumen terkait