• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.6 Landasan Teori

1.6.2 Pendekatan Diskursif

Penelitian ini menggunakan paradigma penelitian diskursif. Paradigma diskursif ini sendiri berasal dari hasil reposisi dari paradigma M H. Abrams. Abrams menjelaskan ada empat komponen utama dalam melihat karya sastra secara keseluruhan. Keempat pendekatan itu adalah pendekatan objektif, pendekatan ekspresif, pendekatan mimetik, dan pendekatan pragmatik. Pendekatan diskursif merupakan hasil dari reposisi pendekatan objektif yang menjadikan teks sebagai sumber penelitian (Taum, 97: 17).

Istilah “diskursif” mengacu pada pengertian wacana. Diskursus adalah cara menghasilkan pengetahuan, beserta praktik sosial yang menyertainya, bentuk subjektivitas yang terbentuk darinya, relasi kekuasaan yang ada di balik pengetahuan dan praktik sosial tersebut. Kritik sastra diskursif menunjukkan area baru objek penelitian sastra yang belum dirambah oleh teori kritik sastra yaitu teks-teks sastra dan teks-teks non-sastra sebagai representasi kekuasaan yang dibangun melalui praktik-praktik diskursif (Taum, 2017: 5).

Pendekatan diskursif dapat diartikan sebagai jalan dalam pemecahan suatu masalah melalui cara berpikir individu atau kelompok. Pemecahan masalah

merupakan obyek reflektif teoritis yang tidak terpisahkan dari komunikasi baik itu verbal maupun tertulis yang didasarkan pada pengunaan simbol-simbol.

Pendekatan diskursus adalah pendekatan yang menitikberatkan pada diskursus (wacana sastra) sebagai sebuah praktik diskursif. Pendekatan diskursif dapat diaplikasikan melalui teori-teori postrukturalisme. Pendekatan diskursif yang digunakan di sini mengacu pada pandangan Pierre Bourdieu. Pandangan mengenai bahasa, menurut Bourdieu, bahasa bukanlah alat komunikasi yang bersifat netral, tanpa kepentingan. Menurut Bourdieu, bahasa adalah simbol kekuasaan. Di dalam bahasa tersembunyi dominasi simbolik serta struktur kekuasaan yang ada di dalam masyarakat. Prinsip simbolis itu berupa bahasa, gaya hidup, cara berpikir, cara bertindak, dan kepemilikan yang khas pada kelompok tertentu atas dasar ciri kebutuhan (Haryatmoko, 2016: 59) .

1.6.2.1 Kekerasan Simbolik Perspektif Pierre Bourdieu

Pierre-Felix Bourdieu adalah sosiolog Perancis sekaligus penulis yang dikenal karena pandangan politiknya yang vokal dan keterlibatannya dalam isu-isu publik. Bourdieu adalah intelektual yang aktif dalam gerakan-gerakan sosial dan politik. Bourdieu menjadi salah satu ilmuwan terkemuka dan bahkan menjadi “referensi intelektual” bagi gerakan yang menentang neo-liberalisme dan globalisasi, yang berkembang di Perancis pada tahun 1990-an. Menurutnya pandangan, sikap dan tingkah laku seseorang sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sosial, politik dan ekonomi pada saat dia kecil sampai menginjak dewasa. Kondisi ini pulalah yang mungkin memengaruhi Pierre Bourdieu. Ia lahir

pada 1 Agustus tahun 1930 di Desa Denguin, Pyrenia Atlantik (Prancis). Bourdieu menikahi Marie-Claire Brizard pada 1962 dan memiliki tiga orang putra. Ia meninggal karena kanker pada 23 Januari 2002 di Paris, Prancis dalam usia 71 tahun. Bourdieu berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya adalah seorang pegawai kantor pos. Bourdieu berhasil meniti tangga pendidikan dengan mulai belajar di lycee di Pau, kemudian lycee Louis-le Grand (Paris), ke Fakultas Sastra di Paris, Ecole Normale Superieure pada tahun 1951, ia mendapat Agregasi Filsafat. Ia dikenal sebagai seorang intelektual publik yang lahir dari pengaruh pemikiran Emile Zola dan Jean-Paul Sartre. Konsep-konsep yang ia kembangkan amat berpengaruh di dalam analisis-analisis sosial maupun filsafat di abad 21.

Pierre Bourdieu telah menghasilkan beberapa karya fenomenal dalam bukunya seperti Sociologie de l’algerie (1958;the Algerians, 1962), La distinction (1979; Distinction, 1984) buku ini dianggap sebagai salah satu di antara 10 buku sosiologi paling berpengaruh di dunia oleh International Sociological association. Bourdieu juga menulis buku Reproduction in Education, Culture and Society (bersama Jean Claude Passeron). Buku yang juga berpengaruh dalam kajian sosiologi pendidikan di Prancis (Martono, 2012: 32) dan masih banyak lagi. Dalam buku-buku hasil karyanya berisi tentang kritikan terhadap konsep-konsep ekonomi liberal maupun neoliberal, kapitalisme, globalisasi dan pendidikan. Gagasan dasar Bourdieu mengkristal dalam beberapa konsep utama, yaitu habitus, kapital, arena, distiction, kekuasaan simbolik, dan kekerasan simbolik (Haryatmoko, 2016:35).

Kekerasan simbolik digunakan untuk mengungkapkan dinamika relasi kuasa dalam kehidupan sosial. Prinsip simbolik berupa bahasa, gaya hidup, cara berpikir, cara bertindak, dan kepemilikan yang khas pada kelompok tertentu (Haryatmoko, 2016:59).

1.6.2.2 Bahasa sebagai Alat Utama Kekerasan Simbolik

Bahasa merupakan salah satu alat yang digunakan kelas dominan untuk menjalankan mekanisme kekerasan simbolik. Bahasa memiliki peranan sentral dalam mekanisme kekuasaan dan dominasi, terutama untuk menyembunyikan maksud yang sebenarnya dari sebuah tindakan, yang dilatarbelakangi karena adanya unsur kekuasaan. Bourdieu melihat bahasa tidak hanya merupakan alat komunikasi dan kapital budaya, tetapi merupakan praktik sosial. Bahasa menjadi instrumen penting yang harus dimiliki oleh pelaku sosial untuk dapat bersosialisasi dengan pelaku sosial yang lain. Selanjutnya makna kata-kata akan terbentuk dan terserap ke dalam kesadaran individu melalui sosialisasi (Martono, 2012: 48).

1.6.2.3 Mekanisme Kekerasan Simbolik

Bourdieu berpendapat bahwa kekerasan berada dalam lingkup kekuasaan. Hal tersebut berarti kekerasan merupakan pangkal atau hasil sebuah praktik kekuasaan. Ketika sebuah kelas mendominasi kelas yang lain, maka di dalam proses dominasi tersebut akan menghasilkan sebuah kekerasan. Kekerasan muncul sebagai upaya kelas dominan untuk melanggengkan dominasi atau

kekuasaannya dalam struktur sosial. Jadi kekuasaan dan kekerasan merupakan dua konsep yang tidak terpisahkan (Martono, 2012: 39).

Menurut Bourdieu kekuatan simbolik adalah kekuatan membangun realitas, dan yang cenderung membentuk tatanan ilmu pengetahuan khususnya dunia sosial (Bourdieu, 2012: 166). Kekerasan simbolik yakni kekerasan yang tidak kasat mata. Kekerasan semacam ini korbannya bahkan tidak sadar atau tidak merasakan sebagai sebuah kekerasan, tetapi sebagai sesuatu hal yang wajar dan alamia (Haryatmoko, 2016: 56).

Bourdieu juga menjelaskan bahwa kekerasan tidak selalu berbentuk aksi fisik. Kekerasan bisa terbentuk melalui simbol. Kekerasan simbolik dilakukan dengan mekanisme “penyembunyian kekerasan” yang dimiliki menjadi sesuatu yang diterima sebagai “yang memang seharusnya demikian” proses ini berlangsung secara inkalkulasi atau secara terus-menerus (Martono, 2012: 40).

Tiga istilah yang digunakan Bourdieu mengenai dominasi simbolik, kuasa simbolik serta kekerasan simbolik merujuk kepada satu hal yaitu kekerasan. Kekerasan simbolik dapat dilakukan melaui dua cara pertama, mekanisme eufemisme, kedua, mekanisme sensorisasi (Haryatmoko, 2003) dan (Martono 2012:40).

1.6.2.3.1 Eufemisme

Eufemisme adalah penghalusan. Biasanya membuat kekerasan simbolik menjadi tidak tampak, bekerja secara halus, tidak dapat dikenali, dan dapat dipilih secara “tidak sadar”. Bentuk eufemisme dapat berupa kepercayaan, kewajiban,

kesetiaan, sopan santun, pemberian, utang, pahala, atau belas kasihan ( Martono, 2012: 40).

1.6.2.3.2 Sensorisasi

Sensorisasi menjadikan kekerasan simbolik tampak sebagai bentuk sebuah pelestarian semua bentuk nilai yang dianggap sebagai “moral kehormatan”, seperti kesantunan, kesucian, kedermawanan, dan sebagainya yang biasanya dipertentangkan dengan “moral yang rendah” seperti: kekerasan, kriminal, ketidakpantasan, asusila, kerakusan, dan sebagainya ( Martono, 2012: 40).

1.6.2.3.3 Rangkuman

Penelitian ini menggunakan pendekatan diskursif perspektif Pierre Bourdieu. Bahasa menurut Bourdieu adalah sebagai alat komunikasi yang tidak bersifat netral, dan memiliki kepentingan. Bahasa adalah simbol kekuasaan yang di dalamnya tersembunyi dominasi simbolik. Bahasa merupakan alat dalam menjalankan kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik adalah kekerasan yang tidak kasat mata, tidak tampak dan tidak dirasakan sebagai sebuah bentuk kekerasan. Kekerasan berada dalam lingkup kekuasaan dan dominasi. Dua mekanisme terbentuknya kekerasan simbolik yakni Eufemisme dan mekanisme sensorisasi.

Dokumen terkait