STRUKTURASI KEKUASAAN DAN KEKERASAN SIMBOLIK
DALAM NOVEL SIRKUS POHON KARYA ANDREA HIRATA:
PERSPEKTIF PIERRE BOURDIEU
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Ni Luh Putu Rusdiyanti NIM: 174114038
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
i
HALAMAN JUDUL
STRUKTURASI KEKUASAAN DAN KEKERASAN SIMBOLIK
DALAM NOVEL SIRKUS POHON KARYA ANDREA HIRATA:
PERSPEKTIF PIERRE BOURDIEU
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Ni Luh Putu Rusdiyanti NIM: 174114038
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
vi MOTO
Understanding a question is half an answer. [Quotes by Socrates]
vii
HALAMAN PERSEMBAHAN
Dengan rasa syukur dan bangga, skripsi ini saya persembahkan: Untuk mamak saya, Ni Nyoman Sudiani
Untuk bapak saya, I Nengah Terus Widyantara
Untuk kedua adik terkasih saya, I Kadek Dwi Seputra dan I Komang Dhresta Widya Guna
xi ABSTRAK
Rusdiyanti, Ni Luh Putu. 2021. “Strukturasi Kekuasaan dan Kekerasan Simbolik dalam Novel Sirkus Pohon Karya Andrea Hirata: Perspektif Pierre Bourdieu”. Skripsi Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis strukturasi kekuasaan dan kekerasan simbolik dalam novel Sirkus Pohon karya Andrea Hirata dengan menggunakan perspektif Pierre Bourdieu. Tujuan penelitian ini adalah untuk (i) mendeskripsikan strukturasi kekuasaan dan (ii) mendeskripsikan gambaran kekerasan simbolik yang dialami tokoh dalam novel Sirkus Pohon karya Andrea Hirata.
Penelitian yang penulis lakukan ini menggunakan pendekatan yang sepaham dengan paradigma Abrams. Penelitian ini menggunakan teori strukturasi kekuasaan dan kekerasan simbolik yang dikemukakan oleh Pierre Bourdieu. Metode pengumpulan data menggunakan metode studi pustaka, secara spesifik dengan teknik baca-catat. Data yang telah dikumpulkan akan dianalisis menggunakan metode analisis isi. Hasil analisis data akan disajikan secara deskriptif kualitatif, yakni hasil analisis dan penafsiran dalam bentuk kalimat-kalimat. Isi dari deskripsi ini adalah berisi tentang (i) deskripsi strukturasi kekuasaan berupa modal, kelas, habitus, dan arena serta (ii) deskripsi kekerasan simbolik berupa kekerasan simbolik eufemisme dan kekerasan simbolik mekanisme sensorisasi dalam novel Sirkus Pohon.
Hasil dari penelitian ini adalah (1) Gastori menjadi tokoh dengan kepemilikkan modal terbesar; disusul oleh Sobri dengan modal yang cukup; serta tokoh lain seperti Tara, Tegar, dan Ayah Sobri yang memiliki modal terkecil. (2) Gastori termasuk ke dalam kelas dominan; Sobri termasuk ke dalam kelas borjuasi kecil; dan kelas populer diisi oleh Ayah Sobri, Tara, Tegar, dan Ibu Tara. (3) Habitus Gastori suka menindas dan merampas milik orang lain yang kelasnya berada di bawah dirinya; habitus Sobri terus berjuang menaikkan derajatnya agar bisa naik ke kelas sosial yang lebih tinggi; sementara habitus Ayah Sobri, Tara, Tegar, dan Ibu Tara pasrah akan tindasan dan dominasi yang diterimanya. (4) Kekerasan simbolik yang ada dalam novel Sirkus Pohon yaitu kekerasan simbolik eufemisme berupa belas kasihan dan kesetiaan serta kekerasan simbolik mekanisme sensorisasi berupa kedermawanan dan persaingan.
xii ABSTRACT
Rusdiyanti, Ni Luh Putu. 2021. "The Structural Power and Symbolic Violence in The Novel Sirkus Pohon By Andrea Hirata: Pierre Bourdieu's Perspective". Thesis of Indonesian Literature Study Program, Faculty of Literature, Sanata Dharma University.
The study aims to analyze the structure of power and symbolic violence in Andrea Hirata's novel Sirkus Pohon using Pierre Bourdieu's perspective. The purpose of this research is to (i) describe the structure of power and (ii) describe the picture of symbolic violence experienced by the character in the novel Sirkus Pohon by Andrea Hirata.
The research that the authors did using an approach that is in accordance with the paradigm of Abrams. This research uses the theory of power structure and symbolic violence put forward by Pierre Bourdieu. Data collection method using library study method, specifically with read-note technique. The data that has been collected will be analyzed using the content analysis method. The results of data analysis will be presented descriptive qualitatively, namely the results of analysis and interpretation in the form of sentences.
The content of this description contains (i) a description of the structure of power in the form of capital, class, habitus, and arena and (ii) description of symbolic violence in the form of symbolic violence euphemisms and symbolic violence sensory mechanisms in the novel Sirkus Pohon. The result of this research is (1) Gastori becomes the figure with the largest capital ownership; followed by Sobri with sufficient capital; as well as other figures such as Tara, Tegar, and Ayah Sobri who have the smallest capital. (2) Gastori belongs to the dominant class; Sobri belonged to a small bourgeois class; and popular classes filled by Sobri's father, Tara, Tegar, and Tara's mother. (3) Habitus Gastori likes to oppress and deprive the property of others whose class is under him; Habitus Sobri continues to struggle to raise his degree in order to rise to a higher social class; while the habitus of Sobri's father, Tara, Tegar, and Ibu Tara surrendered to the tindasan and domination that he received. (4) Symbolic violence in the novel Sirkus Pohon is a symbolic violence euphemism in the form of mercy and loyalty and symbolic violence sensory mechanism in the form of generosity and competition.
xiii DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ... iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... v
MOTO ... vi
HALAMAN PERSEMBAHAN ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
ABSTRAK ... xi
ABSTRACT ... xii
DAFTAR ISI ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 4 1.3 Tujuan Penelitian ... 5 1.4 Manfaat Penelitian ... 5 1.4.1 Manfaat Teoretis ... 5 1.4.2 Manfaat Praktis ... 5 1.5 Kajian Pustaka ... 6 1.6 Pendekatan ... 9 1.7 Landasan Teori ... 10 1.7.1 Strukturasi Kekuasaan ... 11
xiv 1.7.1.1 Modal ... 11 1.7.1.2 Kelas ... 13 1.7.1.3 Habitus ... 13 1.7.1.4 Arena ... 14 1.7.2 Kekerasan Simbolik ... 14 1.8 Metode Penelitian ... 15
1.8.1 Metode Pengumpulan Data ... 16
1.8.2 Metode Analisis Isi ... 16
1.8.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Isi ... 16
1.8.4 Sumber Data ... 17
1.9 Sistematika Penyajian ... 17
BAB II STRUKTURASI KEKUASAAN DALAM NOVEL SIRKUS POHON KARYA ANDREA HIRATA ... 19
2.1 Pengantar ... 19 2.2 Modal ... 19 2.2.1 Modal Ekonomi ... 20 2.2.2 Modal Sosial ... 25 2.2.3 Modal Budaya ... 27 2.2.4 Modal Simbolik ... 31 2.3 Kelas ... 32 2.3.1 Kelas Dominan ... 33
2.3.2 Kelas Borjuasi Kecil ... 34
2.3.3 Kelas Populer ... 36
2.4 Habitus ... 38
xv
2.4.2 Habitus Kelas Borjuasi Kecil ... 39
2.4.3 Habitus Kelas Populer ... 40
2.5 Arena ... 41
2.6 Rangkuman ... 45
BAB III KEKERASAN SIMBOLIK DALAM NOVEL SIRKUS POHON KARYA ANDREA HIRATA ... 47
3.1 Pengantar ... 47
3.2 Kekerasan Simbolik Eufemisme ... 48
3.3 Kekerasan Simbolik Mekanisme Sensorisasi ... 50
3.4 Rangkuman ... 53 BAB IV PENUTUP ... 56 4.1 Kesimpulan ... 56 4.2 Saran ... 57 DAFTAR PUSTAKA ... 59 LAMPIRAN ... 61 BIOGRAFI PENULIS ... 63
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Kehidupan bermasyarakat memang tidak bisa semulus yang dicita-citakan
semua orang. Dalam masyarakat, kita akan menggunakan berbagai macam strategi supaya bisa terus bertahan tanpa digerus perubahan. Dinamisnya masyarakat dan sekitarnya dapat dituangkan oleh seorang sastrawan secara indah dalam sebuah karya, salah satunya berupa novel. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ke-V, novel adalah karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku. Novel yang memaparkan sebuah rangkaian cerita kehidupan seseorang di tengah masyarakat ini mampu mendokumentasikan beragam strategi yang kerap dilakukan untuk mendominasi kehidupan sosial bermasyarakat.
Objek penelitian ini adalah novel Sirkus Pohon karya Andera Hirata. Sirkus Pohon merupakan novel yang menampilkan cara bercerita dengan unik. Andrea Hirata membuat kisah secara selang-seling antara hidup Sobri dan hidup Tara-Tegar di setiap babnya. Meski awalnya tampak tak terlalu bertautan, namun mulai dari pertengahan baik kisah Sobri dengan Tara-Tegar maupun kisah Sirkus dengan Pohon Delima semuanya menjadi satu, saling membangun konflik satu sama lain. Sirkus Pohon diawali oleh kisah seorang pemuda bernama Sobri yang berjuang untuk mendapatkan pekerjaan meskipun ia hanya seorang tamatan SD. Semua pekerjaan serabutan dilakoni Sobri. Namun, beragam masalah serabutan juga menghampiri hidupnya. Hingga pada suatu ketika ia menemukan jalan keluar
dari permasalahan hidupnya, yakni menjadi anggota sirkus. Tempat sirkus ini yang mempertemukan Tara-Tegar-Sobri. Jalan cerita dibuat semakin mengherankan saat kepercayaan mistis pada sebuah pohon ikut terselip dalam jalan cerita novel ini. Baik tokoh utama maupun tokoh tambahan dalam novel ini pernah mendapat imbas dari sebuah dominasi. Novel Sirkus Pohon ini pun dirasa sesuai untuk dikaji strukturasi kekuasaannya serta dibedah macam kekerasan simbolik yang terjadi di dalamnya. Istilah strukturasi kekuasaan dan kekerasan simbolik sendiri adalah pemikiran dari seorang sosiolog bernama Pierre Bourdieu.
Pierre-Felix Bourdieu adalah seorang sosiolog yang lahir di Desa Denguin
(Distrik Pyrenees-Atlantiques), di selatan Prancis pada 1 Agustus 1930. Bourdieu merupakan intelektual yang aktif terlibat dalam gerakan-gerakan sosial dan politik. Ia memberontak melawan mekanisme-mekanisme dominasi sosial dan membela kelompok-kelompok yang terpinggirkan dan tertindas. Bourdieu dikenal para pendidik atas penjelasannya mengenai bagaimana kelompok sosial yang terdidik (kelompok atau kelas profesional) menggunakan modal kebudayaan (culture capital) sebagai strategi untuk mempertahankan atau mendapatkan status dan kehormatan dalam masyarakat. Teori Bourdieu merupakan teori praktis yang didasarkan pada penelitian-penelitian yang dilakukannya dengan para sejawatnya di Prancis lebih dari 40 tahun terakhir (Martono, 2012: 29-31). Pemikiran Bourdieu menghasilkan beberapa konsep kunci strukturasi kekuasaan di antaranya modal, kelas, habitus, dan arena. Tahap lanjutan dari praktik kekuasaan yang dilakukan oleh kelas tertentu menyebabkan terjadinya kekerasan simbolik. Konsep kekerasan
simbolik adalah salah satu konsep penting dalam ide teoretis Bourdieu (Martono, 2012: 39).
Sementara itu, Andrea Hirata lahir di Gantung, Belitung Timur, Bangka
Belitung pada 24 Oktober 1967. Andrea Hirata adalah novelis yang cukup
diperhitungkan namanya di dunia sastra Indonesia. Novel pertamanya
adalah Laskar Pelangi (2005) yang menghasilkan tiga sekuel. Hirata memulai pendidikan tinggi dengan gelar di bidang ekonomi dari Universitas Indonesia. Meskipun studi mayor yang diambil Andrea adalah ekonomi, ia amat menggemari sains—fisika, kimia, biologi, astronomi, dan sastra. Andrea lebih mengidentikkan dirinya sebagai seorang akademisi dan backpacker. Setelah menerima beasiswa dari Uni Eropa, dia mengambil program master di Eropa, pertama di Universitas Paris, lalu di Universitas Sheffield Hallam di Inggris. Tesis Andrea di bidang ekonomi telekomunikasi mendapat penghargaan dari universitas tersebut dan ia lulus cum laude. Tesis itu telah diadaptasikan ke dalam Bahasa Indonesia dan merupakan buku teori ekonomi telekomunikasi pertama yang ditulis oleh orang Indonesia.
Hirata merilis novel Laskar Pelangi pada tahun 2005. Novel ini ditulis
dalam waktu enam bulan berdasarkan pengalaman masa kecilnya di Belitung. Novel ini terjual lima juta eksemplar, dengan edisi bajakan terjual 15 juta lebih. Novel ini menghasilkan trilogi novel, yakni Sang Pemimpi (2006), Edensor (2007), dan Maryamah Karpov (2008). Andrea Hirata menyelesaikan novel kesepuluhnya yakni Sirkus Pohon (2017) setelah menghabiskan waktu hingga dua tahun untuk menggarapnya. Andrea Hirata akui dalam wawancaranya dengan
CNNIndonesia.com bahwa Sirkus Pohon merupakan cita-citanya yang sudah lama ingin ia hasilkan.
Beberapa hal yang menjadi alasan ketertarikan peneliti terhadap topik ini
adalah (1) novel Sirkus Pohon memiliki kompleksitas dalam alur cerita sehingga banyak cabang teori yang bisa diaplikasikan untuk menganalisisnya; (2) novel Sirkus Pohon adalah novel yang disebut Andrea Hirata sendiri sebagai karyanya yang paling rumit di antara seluruh karyanya, bahkan Andrea Hirata perlu waktu bertahun-tahun dalam risetnya; dan (3) novel Sirkus Pohon belum pernah dikaji menggunakan kajian strukturasi kekuasaan dengan perspektif Pierre Bourdieu sehingga penelitian ini memenuhi aspek kebaharuan.
Alasan pemilihan teori strukturasi kekuasaan dan kekerasan simbolik
perspektif Pierre Bourdieu antara lain yaitu (1) Bourdieu memaparkan gagasan utamanya mengenai modal, kelas, habitus, dan arena yang merupakan faktor pemantik terjadinya dominasi di masyarakat, sesuai dengan alur analisis yang
penulis ingin lakukan; dan (2) konsep Bourdieu bersifataplikatif untuk penelitian
dalam karya sastra.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dirumuskan permasalahan sebagai
berikut.
1.1.1 Bagaimanakah strukturasi kekuasaan yang terdapat dalam novel Sirkus Pohon karya Andrea Hirata?
1.1.2 Bagaimanakah gambaran kekerasan simbolik yang dialami tokoh dalam novel Sirkus Pohon karya Andrea Hirata?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, ditetapkan tujuan penelitian sebagai
berikut.
1.1.3 Mendeskripsikan strukturasi kekuasaan yang terdapat dalam novel Sirkus Pohon karya Andrea Hirata.
1.1.4 Mendeskripsikan gambaran kekerasan simbolik yang dialami tokoh dalam novel Sirkus Pohon karya Andrea Hirata.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini berupa deskripsi strukturasi kekuasaan dan kekerasan
simbolik terhadap tokoh-tokoh utama novel Sirkus Pohon karya Andrea Hirata menggunakan teori Pierre Bourdieu. Dengan demikian, manfaat teoretis dan praktis penelitian ini, sebagai berikut.
1.4.1 Manfaat Teoretis
Penelitian ini bermanfaat sebagai contoh penerapan teori strukturasi
kekuasaan Pierre Bourdieu. Selain itu, penelitian ini juga bermanfaat sebagai contoh pengembangan teori kekerasan simbolik dalam konteks karya sastra Indonesia.
1.4.2 Manfaat Praktis
Penelitian bermanfaat menambah khazanah apresiasi dan kritik sastra
terhadap novel Sirkus Pohon karya Andrea Hirata. Penelitian ini juga diharapkan menjadi salah satu rujukan studi sosiologi masyarakat dalam karya sastra. Bagi pembaca secara umum, penelitian ini diharapkan menambah pengetahuan dan wawasan terhadap praktik kekerasan simbolik yang terjadi dalam masyarakat.
1.5 Kajian Pustaka
Utami (2018) dalam skripsinya meneliti novel Sirkus Pohon karya Andrea
Hirata menggunakan kajian antropologi sastra, khususnya sosial budaya dalam novel tersebut. Utami menemukan lima hasil penelitian sebagai berikut: (1) Alur di dalam novel Sirkus Pohon adalah alur campuran (2) Tokoh dan penokohan di dalam novel Sirkus Pohon terdiri dari satu tokoh utama yang bernama Sobri dan sering dipanggil Hob, yang mempunyai sikap setia, tidak mudah menyerah, dan mudah ditipu serta empat tokoh tambahan yang bernama Tara, Tegar, Taripol, dan Dinda, dengan sikap tidak punya pendirian, mencintai tanah air, setia kawan, selektif, cerdas, kritis, peduli, bijaksana, peka dan tegas. (3) Latar cerita di dalam novel Sirkus Pohon ada di beberapa tempat yaitu, Desa Belantik, Desa Ketumbi, Tanjong Lantai, Bangka Belitung. Latar waktu berlangsung sekitar 1990-an sampai 2000-an. (4) Sosial budaya masyarakat Belitung menggambarkan bagaimana sosial budaya masyarakat Melayu Belitung dan problematikanya mengenai, ekonomi, sosial, adat kebiasaan, dan pandangan hidup masyarakat. (5) Kebudayaan dalam novel ada tujuh macam yaitu, sistem bahasa, sistem pengetahuan, sistem kemasyarakatan, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian, sistem kepercayaan, sistem kesenian adapun yang paling dominan dalam novel Sirkus Pohon yaitu sistem kepercayaan, sistem kemasyarakatan, dan sistem kesenian.
Septika (2018) melalui skripsinya meneliti nilai-nilai pendidikan karakter
dalam novel Sirkus Pohon karya Andrea Hirata. Septika juga mengkaji implikasi dari nilai-nilai pendidikan karakter dalam novel Sirkus Pohon dalam pembelajaran
sastra di SMA. Dua hasil penelitian ini antara lain: (1) Nilai-nilai pendidikan karakter dalam novel Sirkus Pohon adalah nilai religius, nilai jujur, nilai kerja keras, nilai menghargai prestasi, nilai mandiri, nilai bersahabat, nilai tanggung jawab, nilai cinta tanah, nilai peduli sosial, nilai semangat kebangsaan, nilai cinta damai, nilai peduli lingkungan, nilai ingin tahu, nilai demokrasi, dan nilai gemar membaca. (2) Nilai-nilai pendidikan karakter dalam novel Sirkus Pohon memiliki implikasi terhadap pembelajaran sastra di SMA. Pembelajaran yang berkitan dengan nilai-nilai pendidikan karakter dalam novel Sirkus Pohon terdapat pada kelas XII yaitu KD KD 3.9, yaitu menganalisis isi dan kebahasaan novel dan 4 yaitu merancang novel atau novelet dengan memerhatikan isi dan bacaan. Novel Sirkus Pohon dapat digunakan sebagai bahan ajar karena dapat menambah wawasan tentang nilai-nilai karakteristik tokoh cerita serta dapat menggunakannya sebagai referensi dalam membuat atau merancang novel dengan memperhatikan isi dan bacaan.
Murwaningtyas (2018) dalam skripsinya mengkaji kritik sosial dalam novel
Sirkus Pohon karya Andrea Hirata menggunakan kajian sosiologi sastra. Murwaningtyas menemukan tiga hasil penelitian sebagai berikut: (1) Struktur pembangun novel Sirkus Pohon karya Andrea Hirata adalah tema dan fakta cerita yang meliputi alur, penokohan, dan latar. Tema tentang kehidupan politik yaitu menghalalkan segala cara untuk memperoleh kekuasaan. Alur yaitu alur mundur. Tokoh utama yaitu Sobrinudin. Latar tempat di Desa Ketumbi, Tanjong Lantai, Bangka Belitung. Latar waktu berlangsung sekitar tahun 1990-an sampai 2000-an. Latar sosial yaitu kehidupan masyarakat berpendidikan rendah dan golongan menengah ke bawah. (2) Kritik sosial yang ditemukan dalam novel meliputi kritik
politik tentang UU, pencitraan politikus, penyuapan dan penyalahgunaan jabatan; kritik pendidikan tentang sistem pendidikan; kritik agama tentang praktik dukun; kritik kebudayaan tentang kesenian rakyat; kritik keluarga tentang disorganisasi keluarga, dan kritik moral tentang pelabelan buruk. (3) Hasil penelitian dapat dijadikan bahan ajar berupa apresiasi novel, apresiasi sinopsis, analisis struktur novel, dan kritik sosial. Kriteria kelayakan keempat bahan ajar tersebut dapat dilihat dari Relevansinya dengan KI dan KD; pemilihan bahan ajar sastra ditinjau dari sudut bahasa, psikologi, latar belakang budaya peserta didik; dan tanggapan guru bahasa Indonesia serta dapat digunakan dalam pembelajaran sastra di SMA kelas XII semester 2 kurikulum 2013, khususnya di SMA Muhammadiyah 3 Surakarta.
Novenia (2019) dalam skripsinya yang berjudul “Strategi Dominasi dalam
Novel Maryam Karya Okky Madasari: Perspektif Pierre Bourdieu” membahas strategi yang didasari oleh perbedaan kelas, modal, dan arena. Novenia menemukan lima hasil penelitian sebagai berikut: (1) Perbedaan kelas dalam novel Maryam yang terbagi menjadi tiga, yakni kelas dominan, kelas borjuasi baru, dan kelas borjuasi kecil; (2) Modal ekonomi, sosial, dan simbolik kelompok Ahmadiyah lebih besar daripada kelompok Islam. Akan tetapi, modal budaya (agama) kelompok Islam lebih kuat; (3) Arena dalam novel Maryam adalah arena agama dan arena ekonomi; (4) Dominasi simbolik dilakukan kelompok Islam dalam bentuk poligami; (5) Kelompok Ahmadiyah yang termasuk kelas dominan justru mengalami dominasi karena dalam arena agama mereka termasuk dalam kelompok minoritas dan dianggap sesat.
Hamidah (2019) dalam tesisnya yang berjudul “Strategi Lan Fang dalam Meraih Legitimasi di Arena Sastra Indonesia” bertujuan untuk menganalisis strategi dan praktik bersastra yang dilakukan oleh Lan Fang dalam kontestasinya guna meraih legitimasi di arena sastra Indonesia sejah tahun 2003 hingga 2010. Adapun arena sastra Indonesia pada tahun 2003 hingga 2010 dikuasai sastra koran yang dapat mentasbihkan seorang pengarang menjadi sastrawan, kemunculan sastrawan-sastrawan instan di masyarakat serta banyaknya penghargaan-penghargaan sastra yang adidaya dalam melegitimasi seorang sastrawan. Memahami bahwa posisinya sebagai sastrawan lokal yang akan sulit menembus dominasi sastra pusat, Lan Fang melakukan strategi investasi modal kultural dengan statusnya sebagai warga keturunan Tionghoa yang ‘blusukan’ ke berbagai lapisan masyarakat serta strategi investasi sosial dengan jaringan pertemanan yang menjangkau semua kalangan dari pejabat pemerintahan hingga masyarakat pinggiran.
Dari penelusuran pustaka di atas, penelitian tentang strukturasi kekuasaan
dan kekerasan simbolik pada novel Sirkus Pohon masih belum pernah dilakukan. Oleh sebab itu, penulis ingin mengkaji novel Sirkus Pohon dalam perspektif milik Pierre Bourdieu untuk dapat mengetahui strukturasi kekuasaan dan kekerasan simbolik yang dialami oleh para tokoh novel Sirkus Pohon.
1.6 Pendekatan
Penelitian yang penulis lakukan ini menggunakan pendekatan yang
sepaham dengan paradigma Abrams. Abrams menentukan empat unsur utama dalam kritik sastra, yaitu karya (work), pengarang (artist), realitas (universe), dan pembaca (audience). Setiap unsur tersebut dapat menjadi awal pendekatan kritik
sastra, yang jika dirumuskan menjadi (1) pendekatan objektif yang berfokus pada karya; (2) pendekatan ekspresif yang berfokus pada pengarang; (3) pendekatan mimetik yang berfokus pada realitas; dan (4) pendekatan pragmatik yang berfokus pada pembaca (Abrams, 1953:6; Taum, 2017:3-4).
Taum (2017:4-6) mereposisi paradigma Abrams dengan dua tambahan
pendekatan, yaitu pendekatan ekletik dan pendekatan diskursif. Pendekatan ekletik adalah pendekatan yang menggabungkan beberapa pendekatan sekaligus. Pendekatan diskursif adalah pendekatan yang berfokus pada teks serta berupaya menggali praktik diskursif melalui teks tersebut. Kedua pendekatan ini ditambahkan dengan anggapan bahwa ada hal-hal di luar teks yang menjadi konteks bagi kritik sastra dan pemahaman karya sastra pada umumnya.
Penelitian ini secara khusus akan menggunakan pendekatan diskursif.
Pendekatan jenis ini dimaksudkan untuk memperoleh hasil analisis terkait strategi dominasi. Kritik sastra diskursif melihat bahwa teks adalah representasi kekuasaan yang dibangun melalui praktik-praktik diskursif (Taum, 2017:5). Pendekatan diskursif ini dirasa mampu mengungkap praktik sosial, relasi kekuasaan, dan aspek-aspek yang ada di balik terjadinya dominasi tersebut.
1.7 Landasan Teori
Pemikiran Pierre Bourdieu merupakan sumbangan penting untuk teori
Sosiologi. Kajian strukturasi Bourdieu digunakan untuk menganalisis modal, kelas, habitus, dan arena. Selain itu Bourdieu juga menggagas konsep tentang kekerasan simbolik. Berikut ini penulis akan menjabarkan teori tentang strukturasi kekuasaan dan kekerasan simbolik.
1.7.1 Strukturasi Kekuasaan
Dalam kehidupan sosial dapat ditemukan beberapa lapisan kelompok masyarakat yang memiliki perbedaan satu sama lain. Individu atau kelompok masyarakat kerap secara tidak sadar melakukan cara untuk bisa menguasai satu sama lain sehingga timbul kelompok mendominasi dan kelompok terdominasi. Dominasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ke-V dapat diartikan sebagai penguasaan oleh pihak yang lebih kuat terhadap yang lebih lemah (dalam bidang politik, militer, ekonomi, perdagangan, olahraga, dan sebagainya). Menurut Mosco (1996: 212), strukturasi merupakan proses di mana struktur sosial saling ditegakkan oleh para agen sosial, dan bahkan masing-masing bagian dari struktur mampu bertindak melayani bagian yang lain. Beberapa konsep kunci dalam strukturasi kekuasaan antara lain:
1.7.1.1 Modal
Modal dapat dimaknai sebagai sekumpulan sumber daya (baik materi maupun nonmateri) yang dimiliki seseorang atau kelompok tertentu yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan. Modal yang dimiliki seseorang atau kelompok tertentu, akan menetukan posisi mereka dalam struktur sosial (Martono, 2012: 32). Bourdieu dalam (Martono, 2012: 33-34) membedakan istilah model sosial, modal budaya, dan modal simbolik seperti berikut:
1.7.1.1.1 Modal Sosial
Modal sosial menunjuk pada sekumpulan sumber daya yang aktual atau potensial yang terkait dengan pemilikan jaringan hubungan saling mengenal dan/atau saling mengakui yang memberi anggotanya dukungan
modal yang dimiliki bersama. Modal sosial dalam bentuk praktis didasarkan pada hubungan yang relatif tidak terikat seperti pertemanan sedangkan dalam bentuk terlembagakan modal sosial terwujud dalam keanggotaan dalam suatu kelompok yang relatif tidak terikat seperti keluarga, suku, sekolah, dan sebagainya.
1.7.1.1.2 Modal Budaya
Modal budaya merujuk pada serangkaian kemampuan atau keahlian individu, termasuk di dalamnya adalah sikap, cara bertutur kata, berpenampilan, cara bergaul, dan sebagainya. Modal budaya dapat terwujud dalam tiga bentuk yakni pertama, modal budaya dapat berupa disposisi tubuh dan pikiran yang dihargai dalam suatu wilayah tertentu. Kedua, modal budaya terwujud dalam benda-benda budaya seperti buku, alat musik, atau hasil karya. Ketiga, modal budaya terwujud dalam bentuk yang khas seperti keikutsertaan dan pengakuan dari lembaga pendidikan dalam bentuk gelar-gelar akademis atau ijazah.
1.7.1.1.3 Modal Simbolik
Modal simbolik merupakan sebuah bentuk modal yang berasal dari jenis yang lain, yang disalahkenali bukan sebagai modal yang semena, melainkan dikenali dan diakui sebagai sesuatu yang sah dan natural. Modal simbolik dapat berupa pemilihan tempat tinggal, hobi, pemilihan tempat makan, ataupun pemilihan tempat wisata untuk mengisi liburan. Modal simbolik ini pun menyebabkan seseorang yang memilikinya jadi dapat dikenali dan diakui secara khas.
1.7.1.2 Kelas
Kelas menurut Haryatmoko (2016: 54) adalah sistem representasi kelompok sosial yang ditentukan oleh akses ke kegiatan budaya tertentu yang pada dasarnya tidak setara, sesuai dengan kepemilikkan sosial. Menurut Bourdieu dalam (Martono, 2012: 34), kelas sebagai kumpulan agen atau aktor yang menduduki posisi-posisi serupa dan ditempatkan dalam kondisi serupa serta ditundukkan atau diarahkan pada pengondisian yang serupa. Konsepsi kelas ini erat kaitannya dengan konsep modal. Pembagian masyarakat ke dalam beberapa kelas karena memiliki perbedaan modal. Bourdieu membagi kelas masyarakat menjadi beberapa kelas antara lain; kelas atas (dominan) yakni kelas yang memiliki akumulasi modal paling banyak, kelas borjuis kecil yakni kelas yang memiliki keinginan mobilitas sama tingginya dengan kelas dominan hanya saja akumulasi modal tidak sekuat kelas dominan, dan kelas populer yakni kelas yang memiliki akumulasi modal paling sedikit di suatu ruang sosial.
1.7.1.3 Habitus
Habitus dapat dirumuskan sebagai sebuah sistem disposisi-disposisi
(skema-skema persepsi, pikiran, dan tindakan yang diperoleh dan bertahan lama). Habitus juga dapat diartikan sebagai gaya hidup (lifestyle), nilai-nilai (values), watak (dispositions), dan harapan (expectation) kelompok sosial tertentu (Martono, 2012: 36). Habitus juga berfungsi sebagai kerangka yang melahirkan dan memberi bentuk kepada persepsi, representasi, dan tindakan seseorang (Mutahir, 2011: 65). Habitus yang dimiliki seseorang akan berbeda-beda bergantung pada setiap kelas sosial masyarakat yang dimilikinya.
1.7.1.4 Arena
Arena menurut Bourdieu dalam (Jenkins, 2016: 124) adalah suatu arena
sosial yang di dalamnya perjuangan atau manuver terjadi untuk memperebutkan sumber atau pertaruhan dan akses terbatas. Arena didefinisikan sebagai taruhan yang dipertaruhkan —benda kultural (gaya hidup), perumahan, kemajuan intelektual (pendidikan), pekerjaan, tanah, kekuasaan (politik), kelas sosial, prestise atau lainnya— dan mungkin berada pada tingkatan yang berbeda dengan spesifikasi dan derajat kekonkretan.
Arena adalah tempatnya pertarungan kepemilikan kekuasan dan modal. Setiap arena memiliki kebutuhan modal spesifik yang sangat mungkin berbeda dengan kebutuhan arena lain. Arena mirip dengan pasar, ada produsen dan konsumennya. Ada transaksi yang terjadi antara produsen dan konsumen saat memegang perbedaan modal dan kekuasaan.
1.7.2 Kekerasan Simbolik
Kekerasan simbolik adalah mekanisme kekerasan yang dilakukan kelas
dominan secara perlahan namun pasti, sehingga kelas terdominasi tidak sadar bahwa dirinya menjadi objek kekerasan. Mekanisme ini menyebabkan kelas dominan memiliki kekuasaan yang digunakan untuk mendominasi kelas yang tidak beruntung, kelas tertindas (Martono, 2012: 39). Untuk melancarkan dominasi semacam ini diperlukan strukturasi kekuasaan baik lewat modal, kelas, habitus, dan arena yang berbeda.
Menurut Haryatmoko (2003) dalam Martono (2012: 40), kekerasan simbolik dapat dilakukan melalui dua cara antara lain eufemisme dan mekanisme
sensorisasi. Eufemisme biasanya membuat kekerasan simbolik menjadi tidak nampak, bekerja secara halus, tidak dapat dikenali, dan dapat dipilih secara “tidak sadar”. Bentuk eufemisme dapat berupa kepercayaan, kewajiban, kesetiaan, sopan
santun, pemberian, utang, pahala, atau belas kasihan. Sementara itu, mekanisme
sensorisasi menjadikan kekerasan simbolik nampak sebagai bentuk sebuah pelestarian semua bentuk nilai yang dianggap sebagai “moral kehormatan”, seperti: kesantunan, kesucian, kedermawanan, dan sebagainya yang biasanya dipertentangkan dengan “moral yang rendah”, seperti: kekerasan, kriminal, ketidakpantasan, asusila, kerakusan, dan sebagainya.
Kekerasan simbolik merupakan kekuasaan menciptakan dunia (un pouvoir de la construction du monde). Pelaku sosial dapat memiliki kekuasaan untuk menciptakan atau menghancurkan, memisahkan atau menyatukan, dan yang lebih penting lagi, dengan menggunakan kekerasan simbolik, ia dapat memberikan nama atau membuat definisi: maskulin/feminim, atas/bawah, kuat/lemah, baik/buruk, atau benar/salah (Martono, 2012: 40).
1.8 Metode Penelitian
Metode menurut Ratna (2004: 34) merupakan cara-cara, strategi untuk
memahami realitas, langkah-langkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab akibat berikutnya. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan diskursif serta teori Pierre Bourdieu tentang strukturasi kekuasaan dan kekerasan simbolik. Pendekatan dan teori tersebut diturunkan ke dalam metode penelitian yang meliputi tiga tahap, yaitu pengumpulan data, analisis data, dan penyajian data.
1.8.1 Metode Pengumpulan Data
Data yang diperlukan untuk penelitian ini diperoleh dari dua sumber, yakni:
sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer diperoleh langsung dari novel Sirkus Pohon karya Andrea Hirata. Sumber data sekunder adalah sumber data penulisan yang diperoleh dari pustaka-pustaka, baik karya sastra maupun kajian teoretis mengenai novel dan topik kajian. Sumber sekunder ini pun dapat dibagi lagi menjadi sumber online (internet) dan sumber-sumber offline (pustaka). Data dikumpulkan dengan metode studi pustaka, secara spesifik dengan teknik baca-catat. Dalam hal ini peneliti membaca sumber data primer dan sekunder. Kemudian, hal-hal yang terkait dengan strukturasi kekuasaan dan kekerasan simbolik akan dicatat.
1.8.2 Metode Analisis Isi
Data yang telah dikumpulkan akan dianalisis menggunakan metode analisis isi. Pembacaan terhadap karya sastra dimaksudkan untuk menemukan isi komunikasi baik secara verbal maupun nonverbal. Isi yang dimaksudkan berupa masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, termasuk propaganda (Ratna, 2004:48). Analisis isi dilaksanakan atas dasar penafsiran yang memberikan perhatian pada isi pesan (Ratna, 2004:49). Setelah dilakukan pembacaan cermat terhadap novel Sirkus Pohon, penulis akan mengidentifikasi aspek-aspek strukturasi kekuasaan dan kekerasan simbolik berdasarkan teori Pierre Bourdieu.
1.8.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Isi
Hasil analisis data akan disajikan secara deskriptif kualitatif, yakni hasil analisis dan penafsiran dalam bentuk kalimat-kalimat (Ratna, 2004:50). Isi dari
deskripsi ini adalah hasil analisis terhadap strukturasi kekuasaan dan kekerasan simbolik dalam novel Sirkus Pohon.
1.8.4 Sumber Data
Sumber data yang digunakan untuk penelitian ini adalah sebagai berikut:
Judul Buku : Sirkus Pohon
Pengarang : Andrea Hirata
Tahun Terbit : 2017
Penerbit : PT Bentang Pustaka
Jumlah Halaman : 410 halaman
Cetakan : Pertama
1.9 Sistematika Penyajian
Tugas akhir ini terdiri atas empat bab yaitu:
Pada bab I diuraikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat hasil penelitian, tinjauan pustaka, pendekatan, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian.
Bab II merupakan bab pembahasan rumusan masalah pertama mengenai
straukturasi kekuasaan meliputi modal, kelas, habitus, dan arena yang terjadi di novel Sirkus Pohon.
Bab III merupakan bab pembahasan rumusan masalah kedua yaitu
Bab IV merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran dari hasil penelitian oleh penulis.
19 BAB II
STRUKTURASI KEKUASAAN DALAM NOVEL SIRKUS POHON KARYA ANDREA HIRATA
2.1 Pengantar
Pada bab II ini penulis akan menganalisis secara mendalam tentang
strukturasi kekuasaan yang terdapat dalam novel Sirkus Pohon karya Andrea Hirata. Konsep-konsep kunci dalam strukturasi kekuasaan terdiri dari modal, kelas, habitus, dan arena. Lebih lanjut, hasil dari analisis strukturasi kekuasaan ini akan dapat bermanfaat dalam analisis kekerasan simbolik pada bab berikutnya. Berikut ini penjabaran dari penulis tentang modal, kelas, habitus, dan arena dalam novel Sirkus Pohon karya Andrea Hirata secara berurutan.
2.2 Modal
Modal dalam teori Bourdieu dimaknai hampir sama dengan makna dalam
bidang ekonomi. Pembedanya, apabila modal dimaknai terbatas sebagai materi (harta atau uang) dalam bidang ekonomi, sementara Bourdieu memaknai modal secara lebih luas. Modal dalam perspektif Bourdie adalah sekumpulan sumber daya (baik materi maupun nonmateri) yang dimiliki seseorang atau kelompok tertentu yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan (Martono, 2012: 32). Modal jadi bagian awal dalam pembahasan strukturasi kekuasaan karena dengan adanya perbedaan modal maka dapat terbentuk kelas-kelas dalam masyarakat. Selain keberadaan modal ekonomi, Bourdieu dalam (Martono, 2012: 33-34) juga membedakan istilah modal ke dalam tiga jenis lain yaitu modal sosial, modal
budaya, dan modal simbolik. Berikut ini akan dijelaskan masing-masing jenis modal yang ada dalam novel Sirkus Pohon.
2.2.1 Modal Ekonomi
Modal ekonomi di sini dimaknai sama dengan modal ekonomi dalam bidang ilmu ekonomi, yakni sebagai sekumpulan materi yang dapat berupa kepemilikan uang dan harta benda. Modal ekonomi adalah penyebab paling utama dalam terbentuknya kelas di masyakat.
Dalam novel Sirkus Pohon, kepemilikan modal ekonomi paling besar dimiliki oleh tokoh Gastori yakni seorang juragan dari Belantik. Berikut ini kutipan yang menunjukkan kepemilikan modal ekonomi dari Gastori.
(1) Rupanya mantan suami Ibu Bos dahulu berutang judi dalam jumlah sangat besar kepada seseorang bernama Gastori. Selama ini utang itu telah dicicil Ibu Bos, tapi tiba-tiba Gastori memaksa semuanya dilunasi. Konon dia perlu uang banyak dengan cepat karena mau ikut pemilihan desa (Hirata, 2017: 191).
(2) Siapa tak kenal Gastori. Dia juragan terpandang di Belantik. Usahanya banyak, mulai dari usaha kopra, pabrik terasi, juragan perahu, hingga praktik rentenir. Kalau perlu duit cepat, hubungi Gastori. Pendidikannya, tak jelas. Kata orang, dia hanya tamat SMP, tapi punya ijazah SMA, padahal tak ada yang pernah melihatnya ikut ujian persamaan (Hirata, 2017: 196).
Kutipan (1) menunjukkan bahwa Gastori adalah seorang yang biasa meminjamkan uang untuk orang-orang yang memerlukan uang secara cepat. Biasanya pemiliki modal yang besarlah yang mampu memberikan pinjaman uang. Kutipan (2) memperkuat bukti Gastori adalah pemiliki modal ekonomi paling besar karena ditunjukkan bahwa selain menjadi rentenir dan meminjamkan uang pada orang-orang, Gastori juga memiliki berbagai usaha lainnya seperti kopra, pabrik terasi, dan juragan perahu.
Pemilik modal terkecil dalam novel Sirkus Pohon adalah Sobrinudin atau dalam novel lebih akrab dipanggi Sobri. Berikut ini kutipan yang menunjukkan kepemilikan modal ekonomi dari Sobri.
(3) Sekolahku hanya sampai kelas 2 SMP. Semua itu gara-gara pengaruh buruk seorang lelaki udik bernama Taripol. Negara Republik Indonesia mengakuiku (seperti tertera dalam KTP) usia 28 tahun, status belum kawin, pekerjaan kuli serabutan. Kenyataannya, aku adalah bujang lapuk dan pengangguran, yang kedua-duanya tidak terselubung, tapi terang-benderang macam matahari bulan Juni. Dan, aku masih tinggal di rumah ayahku, sebuah rumah panggung tua Melayu berdinding papan (Hirata, 2017: 7).
Kutipan (3) menunjukkan bahwa kondisi Sobri dalam kepemilikkan modal sangat rendah. Usianya sudah di angka 28 tahun namun pekerjaannya masih serabutan dan belum bisa memiliki rumah sendiri. Modal ekonomi kecil ini diakibatkan dari dirinya yang hanya memiliki ijazah SD saja.
Selain Sobri, tokoh lain yang kepemilikan modal ekonominya terkecil yaitu ayah Sobri. Berikut ini kutipan yang menunjukkan kepemilikan modal ekonomi dari ayah Sobri.
(4) Ayah tak dipecat siapa pun sebab di dunia ini tak ada yang bisa memecat tukang jual minuman ringan di stadion kabupaten. Ayah tak punya harta. Ayah patuh pada hukum. Ayah miskin, tapi tak punya utang dan Ayah tidak pikun. Ayah linglung karena merana ditinggal Ibu yang mendadak meninggalkan dunia ini. Ibu yang sehat walafiat baru selesai mandi, lalu katanya mau berbaring sebentar menunggu azan Ashar. Ibu tak pernah bangun lagi (Hirata, 2017: 5).
(5) Melihat rumah reyot kami, datanglah petugas dari kantor desa mau menempelkan stiker bertuliskan penuh pesona “Rumah Tangga Miskin-Binaan Desa” di dinding papan muka beranda. Dengan stiker itu, kalau ada bantuan dari desa, Ayah akan diprioritaskan.
Dengan santun, Ayah menolak stiker itu. Katanya, banyak keluarga lain yang lebih perlu stiker itu. Katanya lagi, kami miskin, tapi masih punya penghasilan walau tak banyak. Ayah juga menolak bantuan dari abang-abangku yang tidak kaya, tapi bisa membantu karena Ayah masih mampu bekerja (Hirata, 2017: 37).
Pada kutipan (4) dapat diamati kondisi ayah Sobri yang hanya penjual minuman ringan di stadion kabupaten. Ayah sobri tidak memiliki pekerjaan yang bergaji tetap. Kutipan (5) juga turut menunjukkan bukti tentang modal ekonomi ayah Sobri. Petugas desa pun memperhitungkan ayah Sobri sebagai prioritas penerima bantuan. Hanya saja, ayah Sobri menolaknya dan merasa ada orang lain yang lebih memerlukan. Oleh sebab itu, Ayah Sobri adalah salah satu tokoh yang kepemilikan modalnya terkecil.
Tokoh berikutnya yang digambarkan memiliki modal ekonomi yang kecil adalah Tegar. Berikut ini kutipan yang menjabarkan modal ekonomi Tegar.
(6) Ekonomi sulit, ayah minggat, ibu mellow sampun-ampunan, dan dua adik perempuan masih perlu perhatian adalah situasi runyam yang dihadapi Tegar saban hari. Kelas 2 SMP sekolahnya, baru 14 tahun usianya, paling tidak empat profesi disandangnya: pelajar, montir sepeda dan ayah sekaligu ibu (Hirata, 2017: 68).
(7) Sejak bengkel sepeda bangkrut, ekonomi keluarga Tegar ngap-ngap. Uang penjualan bengkel yang tak banyak, cepat menguap, amblas untuk membayar utang, membayar kontrak rumah, segala rupa ongkos. Hobi ibunya membuat kue ditingkatkan menjadi usaha. Saban pagi, sebelum berangkat sekolah, terbirit-birit Tegar bersepeda ke restoran dan warung-warung untuk menitipkan kue buatan ibunya. Pulang sekolah nanti dijemputnya. Dari montir sepeda, dia berubah menjadi penjual kue.
Satu demi satu barang di rumah mulai meluncur ke kantor gadai. Adun bilang sama Tegar, katanya dia kenal calo barang bekas yang dapat memberi harga yang malah lebih tinggi daripada kantor gadai. Masa lalunya yang kelam selaku penghirup lem yang berdedikasi tinggi, pasti telah membuatnya kenal dengan orang yang membuat Tegar gugup itu. Terdesak situasi krisis untuk ongkos hidup sehari-hari, Tegar sepakat dengan ibunya untuk melego barang apa pun yang bisa dilego. Meminjam dua gerobak pemulung besi, Tegar dan Adun mengangkut barang-barang itu menuju gang sempit di samping Bioskop Remboelan (Hirata, 2017: 152-153).
Kutipan (6) menunjukkan modal ekonomi yang kecil milik Tegar karena kini Tegar menjadi tulang punggung nafkah keluarganya sendirian. Bermodal bengkel sepeda yang ditinggalkan ayahnya, maka Tegar berusaha menjalankan terus usaha bengkel ini sembari juga tetap bersekolah dan mengurus ibu serta adik-adiknya.
Kutipan (7) menunjukkan kondisi ekonomi keluarga Tegar yang semakin sulit. Bengkel yang dijalankannya bangkrut kemudian dijual demi bisa membayar kontrakan rumah dan segala utang. Tegar dan ibunya akhirnya bersepakat untuk melego atau menjual barang-barang di rumah mereka yang masih ada nilai jualnya. Kepemilikan modal ekonomi bisa dikatakan jadi yang terkecil dibandingkan dengan tokoh-tokoh lain dalam novel Sirkus Pohon.
Tokoh berikutnya yang modal ekonominya terhitung kecil yaitu Tara, anak dari pemilik sirkus keliling. Berikut ini kutipan yang menjabarkan modal ekonomi dari Tara.
(8) Bukan karena tak setia atau soal-soal lain, melainkan soal judi yang membuat bahtera rumah tangga orang tua Tara karam. Ayahnya gila judi, rumah tangga kacau balau. Maka, selain ditinggali sang ayah usaha sirkus keliling, Tara dan ibunya juga diwarisi sang ayah utang judi yang besar. Ayahnya minggat ke Jakarta, atau tak tahu ke mana; kata orang, lelaki itu lari dari utang-utang judi.
Ibu Tara-lah yang kemudian menanggung utang-utang itu. Berbagai kendaraan dan properti berharga sirkus keliling dijual atau digadaikan untuk melunasinya. Sisa utang masih segunung (Hirata, 2017: 73). Kutipan (8) menunjukkan bahwa Tara dan ibunya sedang menanggung utang yang besar akibat ulah ayahnya yag gemar berjudi. Modal ekonomi Tara dan ibunya yang kecil semakin nampak saat kendaraan dan properti sirkus keliling telah
dijual untuk membayar utang namun sisa utang tersebut masih saja segunung. Kepemilikan modal ekonomi yang kecil ini yang membuat Tara masih belum bisa terlepas dari beban utang ayahnya.
Pada bagian awal novel didapati bahwa Sobri memiliki modal terkecil, namun seiring berjalannya alur cerita tingkat kepemilikan modal ekonomi Sobri meningkat dari yang awalnya kecil berubah menjadi modal ekonomi yang cukup. Berikut ini kutipan yang menunjukkan modal ekonomi yang cukup dari Sobri.
(9) Rumah sederhana yang kubangun bersama tukang bangunan itu pun akhirnya selesai. Punya pekerjaan tetap, punya rumah sendiri, telah pandai naik sepeda, genap sudah seluruh syarat untuk menikahi Dinda (Hirata, 2017: 115).
Dalam kutipan (9) dapat diamati modal ekonomi Sobri telah berubah. Setelah mendapat pekerjaan tetap sebagai badut sirkus akhirnya Sobri bisa mengumpulkan uang untuk membangun rumah sederhana miliknya. Sobri kini bisa mulai membuktikan pada adiknya, Azizah, bahwa dirinya bisa punya nilai karena kepemilikan modal ekonominya meningkat. Hal lain yang memotivasi Sobri untuk meningkatkan modal ekonominya juga karena Sobri hendak meminang wanita pujaan hatinya, Dinda.
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa tokoh dengan modal ekonomi terbesar dimiliki oleh juragan di Belantik yaitu Gastori. Sobri yang awalnya memiliki modal ekonomi terkecil dapat mengembangkan kepemilikan modalnya sehingga dapat disebut sebagai tokoh dengan modal ekonomi yang cukup. Sementara itu, modal ekonomi kecil dimiliki oleh tokoh ayah Sobri, Tegar, dan juga Tara.
2.2.2 Modal Sosial
Modal sosial menunjuk pada sekumpulan sumber daya yang aktual atau
potensial yang terkait dengan pemilikan jaringan hubungan saling mengenal dan/atau saling mengakui yang memberi anggotanya dukungan modal yang dimiliki bersama (Martono, 2012: 33). Modal sosial dapat berbentuk praktis yaitu bentuk relasi yang relatif tidak terikat seperti hubungan pertemanan. Selain itu, modal sosial juga dapat berbentuk terlembagakan yakni bentuk relasi yang relatif terikat dan akrab seperti hubungan keluarga, sesama suku, sekolah, dan sebagainya. Relasi-relasi ini terwujud dalam beberapa kutipan seperti di bawah ini.
(10) Semula semua baik-baik saja, seperti anak-anak lainnya, aku dan Taripol bermain layangan di pekarangan gudang beras PN Timah, terjun ke Sungai Maharani dari dahan-dahan tinggi pohon berang, beradu nyali di-antop kumbang, naik kerbau di padang, berlomba menangkap ular tebu. Lambat laun Taripol mulai muncul dengan usul-usul yang aneh, misalnya mengajakku dan Junaidi nonton pelem di bioskop.
Maka, bukan orang lain, melainkan Taripol yang menyebabkanku drop out SMP dahulu. Dihasutnya aku untuk berleha-leha di Bioskop Sinar Malam. Tak tahu dari mana dia dapat duit untuk membeli karcis. Berkilat matanya memantul sinar dari layar, saat itu kukenali kilat mata seorang pencuri (Hirata, 2017: 15).
(11) Dahulu waktu masih sekolah di SD Inpres, aku, Junaidi, dan Taripol adalah kawan dekat. Kami suka sama Taripol karena dia pintar. Jika tak diberinya sontekan, nilai-nilai ulanganku dan Junaidi amblas. Setelah dewasa, Junaidi punya kios buku, aku pengangguran, Taripol maling (Hirata, 2017: 16).
(12) Aku tak menaruh curiga. Pertama, aku tidak tahu semua barang Taripol hasil colongan. Kedua, tak mungkin dia menjerumuskanku, kawan terdekatnya. Ketiga, sudah lama aku tak nonton pelem (Hirata, 2017: 31).
Tiga kutipan di atas dapat menunjukkan bentuk dari modal sosial praktis, yaitu hubungan pertemanan. Kutipan (10) menjelaskan tentang awal pertemanan Sobri dan Taripol yang sudah dikenalnya semenjak bangku sekolah dasar. Meski
telah berteman sekarib itu dengan Taripol, tidak lain dan tidak bukan Taripol juga yang menyebabkan Sobri harus dikeluarkan dari sekolah saat kelas 2 SMP. Walau Taripon salah satu penyebab kemalangan dalam hidupnya, namun Sobri tetap menjadi teman Taripol hingga di usia 28 tahunnya seperti yang digambarkan dalam novel.
Kutipan (11) menunjukkan hubungan perteman di antara Sobri, Junaidi, dan Taripol sejak mereka belajar di SD Inpres. Junaidi dan Sobri senang bisa berteman dengan Taripol karena saat sekolah Taripol adalah siswa yang pintar. Meski begitu, saat sudah dewasa nasib mereka jadi mereka; Junaidi jadi pemilik kios buku, Sobri pengangguran dan bekerja serabutan, sedangkan Taripol menjadi maling.
Kutipan (12) menunjukkan bahwa modal sosial pertemanan di antara Sobri dan Taripol masih saja membuat Sobri ragu bila Taripol benar-benar memanfaatkan dirinya untuk melancarkan aksi malingnya. Sobri hanya merasa harus membantu temannya sehingga tidak merasa curiga terhadap barang apa yang Taripol titipkan pada dirinya.
(13) Kepergian Ibu, membuatku makin kagum pada Ayah. Tentu tak mudah kehilangan pasangan yang selalu bersama lebih dari 50 tahun. Lebih lama daripada setengah kehidupan manusia pada umumnya. Banyak orang yang tak sanggup mengatasi kehilangan yang besar semacam itu. Ayahku mampu. Kerinduan pada Ibu dilipurnya dengan mengunjungi makam Ibu setiap Jumat sore, dengan selalu memanjatkan doa untuk Ibu siang dan malam. Jika suatu hari nanti nasib memberiku cinta, aku ingin mencintai perempuanku seperti Ayah mencintai Ibuku, dan aku berjanji pada diriku sendiri, jika ditimpa kesedihan, aku tak mau bersedih lebih dari 40 hari. Aku ingin tabah seperti Ayahku. Namun, akankah nasib memberiku cinta? (Hirata, 2017: 6).
Kutipan (13) menunjukkan tentang bentuk modal sosial terlembagakan yaitu keluarga. Dalam kutipan (13) dapat diamati bahwa ayah Sobri memiliki modal
keluarga yaitu istri yang telah menemani dirinya selama 50 tahun hidup. Ayah Sobri hanya ingin bersedih selama 40 hari saja semenjak kematian istrinya karena ayah Sobri tahu bahwa ia wajib tabah demi istrinya sendiri. Dalam kutipan (13) juga bisa diamati bahwa Sobri ingin bisa seperti ayahnya suatu hari nanti. Sobri ingin mencintai perempuannya seperti ayah Sobri mencintai ibunya.
Relasi-relasi seperti pertemanan dan keluarga yang mendominasi jalannya alur cerita dalam novel Sirkus Pohon ini. Oleh sebab itu, modal sosial ini berpotensi untuk saling mengenal dan mendukung apabila berada dalam lingkup modal sosial bersama.
2.2.3 Modal Budaya
Bourdie (2004) dalam (Martono, 2012: 33) menyatakan bahwa modal budaya terkait pada serangkaian kemampuan atau keahlian individu, termasuk di dalamnya adalah sikap, cara bertutur kata, berpenampilan, cara bergaul, dan sebagainya.
Menurut Bourdie dalam (Martono, 2012: 33), modal budaya dapat terwujud dalam tiga bentuk: Pertama, dalam kondisi “menubuh”, modal budaya dapat berupa disposisi tubuh dan pikiran yang dihargai dalam suatu wilayah tertentu. Modal dalam kondisi “menubuh” perlu waktu agar dapat menyatu dengan habitus.
Kedua, dalam kondisi terobjektifikasi, modal budaya terwujud dalam benda-benda budaya seperti buku, alat musik, hasil karya, atau benda-benda lain. Modal budaya dalam kondisi terobjektifikasi dapat diwariskan sama halnya dengan modal ekonomi.
Ketiga, dalam kondisi terlembagakan, modal budaya ini terwujud dalam bentuk yang khas atau unik, yaitu keikutsertaan dan pengakuan dari lembaga pendidikan dalam bentuk gelar akademis atau ijazah. Ketiga modal budaya ini dapat mempengaruhi sikap seseorang saat berhubungan atau memperlakukan orang lain. Berikut ini akan penulis jabarkan modal budaya yang dimiliki tokoh dalam novel Sirkus Pohon.
(14) Di rumah itu tinggal pula adik perempuanku yang mencekam itu, Azizah namanya, dan suaminya Suruhudin, seorang lelaki lembek instalatur listrik. Kalau sedih, orang ini suka membuka kacamatanya, lalu menggosok-gosok kacamatanya itu dengan ujung kemeja. Muka sembap, bahu luruh. Kalau kaget, dia suka menganga, lebar sekali, sampai dia tak bisa menganga lagi. Macam rahangnya terkunci. Adikku dan suaminya yang aneh itu punya anak dua: Pipit, kelas 2 SD, manis, pintar, galak, suka merintah-merintah macam ibunya, dan adiknya, Yubi. Keluarga itu kecil, tapi gendut-gendut (Hirata, 2017: 7-8).
(15) Siapa pun yang melihat Soridin Kebul akan langsung tahu dia itu bergajul papan atas. Badannya ceking, pipi cekung, jidat cembung, rambut cukur tipis, tapi hanya di bagian samping sehingga kelihatan tanah kepala begundalnya itu. Di lengan kanan atas terpatri tato bunga dan sepucuk pistol di atas tulisan melengkung Guns N Rozes. Tak jelas apakah huruf z itu disengaja atau karena kebodohan. Jika karena alasan yang kedua, abadilah kebodohan, terprasasti di tubuh seorang bramacorah. Hanya malaikat maut yang nanti dapat menghapusnya. Mata kanannya berwarna putih seluruhnya, alias picak, tak heran orang menambahi Kebul di belakang nama Melayu-nya yang megah itu. Namun, mata kirinya mengambil alih semua kekuatan dan niat-niat dalam mata kanannya, senantiasa menatap macam belati menusuk tajam, garang, nyalang (Hirata, 2017: 34).
(16) Tegar baru sadar, caranya berjalan mirip dengan cara ayahnya berjalan, macam pria memperagakan busana. Ini soal keturunan, sulit diubah. Maka, bersusah payah dia belajar berjalan lebih tegas. Di depan ibunya, dia melangkah terkangkang-kangkang (Hirata, 2017: 66).
(17) Gagu, begitu orang-orang memanggil lelaki kurus, melengkung, berambut panjang itu. Karena, tak ada yang tahu nama aslinya dan karena dia tak pernah bicara. Padahal, seorang pemulung bilang dia tidak bisu. Tak ada yang tahu asal-muasalnya. Tahu-tahu, tahun lalu
dia muncul. Konon dia turun dari kapal Lawit yang bertolak dari Tanjung Priok, lalu tingga sendirian di salah satu bedeng liar di belakang pasar ikan (Hirata, 2017: 200).
Kutipan (14), (15), (16), dan (17) merupakan bagian dari modal budaya dalam kondisi menubuh. Kutipan (14) menjabarkan adik Sobri yaitu Azizah dan keluarga kecil lewat penampilan dan cara bertuturnya. Dapat diketahui bahwa Azizah adalah seseorang yang pintar, galak, dan suka memerintah. Anak pertama Azizah yaitu Pipit juga menuruni sifat ibunya tersebut. Suami Azizah, yaitu Suruhudin adalah seorang laki-laki yang takut dan kalah galak dari istrinya. Sementara itu, anak kedua Azizah yaitu Yubi hanya digambarkan perawakannya yang gendut.
Kutipan (15) menjabarkan tentang penampilan salah seorang bramacorah di desa tempat tinggal Sobri, yaitu Soridin Kebul. Berdasarkan cara berpenampilan, tokoh Sodirin Kebul juga digambarkan kepribadiannya, baik lewat sorot mata atau pun tato yang menghiasi tubuhnya. Akibat dari penampilannya ini, orang-orang bisa saja merasa takut bila harus berhadapan dengan Soridin Kebul.
Kutipan (16) menjabarkan tentang cara berpenampilan dan sikap tubuh dari Tegar. Dalam narasinya juga dapat diamati bahwa cara berjalan Tegar yang bagai memperagakan busana juga dimiliki oleh ayah Tegar. Namun, dengan modal budaya dalam kondisi menubuh yang dimilikinya lewat garis keturunan ini, Tegar harus berusaha meniadakannya apabila sedang berada di hadapan ibunya.
Kutipan (17) menjabarkan tentang cara berpenampilan dari sosok lelaki misterius bertopi fedora. Meski dalam cerita belum disampaikan siapa identitas lelaki ini, namun modal budaya dalam kondisi menubuhnya disampaikan dengan
mendetail. Akibat dari cara perilaku dan penampilannya, banyak yang menduga-duga sosok misterius ini gagu atau bisu sehingga sering dipandang sebelah mata.
Modal budaya dalam kondisi menubuh yang dimiliki tiap tokoh mempengaruhi hubungannya atau perlakuan yang didapatkannya dari tokoh lain. Oleh sebab itu, modal budaya dalam kondisi menubuh ini cukup berpengaruh dalam strukturasi kekuasaan.
(18) Rupanya sirkus keliling, seperti panggung kesenian rakyat lainnya, sempat ramai di Indonesia pada ’70-an, lalu lenyap satu per satu. Pada akhir ’80-an ada sirkus ternama yang sempat berkeliling kota, Sirkus Oriental. Tahun ’90-an masih ada beberapa sirkus keliling kecil di Jawa dan Sumatra, tapi tak terdengar lagi kabarnya. Barangkali sirkus keliling kami adalah sirkus keliling terakhir di Tanah Air ini (Hirata, 2017: 86).
(19) Orang-orang bilang dia menuruni bakat seni ibunya. Ibunya itu tamatan sekolah menengah seni rupa di Yogyakarta, dan mengaku, dalam usia yang sama dengan Tara sekarang, kemampuan anaknya jauh melampauinya. Anaknya menggambar dekorasi kereta-kereta gipsi, merancang lampu-lampu hias, tenda-tenda, dan panggung utama. Ibunya menata musik, menata koreografi, menyutradarai teater sirkus, dan merupakan pemain akordion yang lihai (Hirata, 2017: 62). Kutipan (18) mengandung modal budaya dalam kondisi terobjektifikasi berupa warisan panggung kesenian rakyat berupa sirkus keliling. Sejak tahun ’70-an keseni’70-an sirkus keliling sempat ramai di Indonesia. Lewat dari tiga dekade, kesenian sirkus keliling lama tak terdengar rimbanya. Bahkan Sobri mengira-ngira bahwa sirkus keliling milik Tara dan ibunya adalah yang terakhir ada di Indonesia. Tentunya kesenian rakyat sirkus keliling ini termasuk dalam modal budaya dalam kondisi terobjektifikasi berupa karya yang dapat diwariskan.
Kutipan (19) mengandung modal budaya dalam kondisi terobjektifikasi berupa kemampuan dan bakat seni dari ibu Tara yang menurun kepada Tara. Di sini bakat seni yang terwujud dalam karya seperti tata hias, tata musik, koreografi,
bahkan teater sirkus yang dapat diwariskan telah terjadi antara ibu Tara dan Tara sendiri.
(20) Ingin kukatakan kepada Azizah, bukannya aku tak berusaha mencari kerja tetap, tapi hal itu tidaklah semudah membalik tangan. Kerja tetap umumnya bersyarat ijazah minimal SMA atau sederajat. Sekolahku hanya sampai kelas 2 SMP yang semua itu hanya berarti satu hal, satu hal saja, yakni aku hanya berijazah SD.
Tengoklah, Zah, di mana-mana, jika ada tulisan “Ada lowongan”, selalu ada balasan pantun tak berima di bawahnya, “SMA atau sederajat”. Tahukah kau, Zah? Kedua kalimat itu telah melakukan persekongkolan gelap untuk membekuk nasib orang-orang tak berpendidikan macam aku. Perlukah kubuatkan puisi ratap derita dalam hal ini? Supaya kau mengerti? Saking sering aku bertemu dengan kalimat itu sampai aku bermimpi dikejar-kejar hantu yang membawa plang “SMA atau sederajat” (Hirata, 2017: 11-12).
Kutipan (20) merupakan salah satu contoh modal budaya dalam kondisi terlembagakan. Gelar akademis yang dibuktikan dalam wujud ijazah misalnya, bisa menjadi faktor mendapat perlakuan yang seperti apa di tengah masyarakat. Tentunya modal budaya dalam bentuk ini jadi bentuk yang paling lumrah dialami tokoh dalam novel Sirkus Pohon terutama Sobri selaku tokoh utama.
2.2.4 Modal Simbolik
Modal simbolik merupakan sebuah modal yang berasal dari jenis lain dan dikenali sebagai sesuatu yang sah dan natural. Modal simbolik berkaitan dengan prestise dan gengsi sosial. Modal simbolik biasanya dapat terwujud dalam bentuk pengakuan dari pihak lain. Modal jenis ini merupakan sumber kekuasaan yang krusial. Apabila memiliki berbagai jenis modal lainnya seperti modal ekonomi, modal budaya, dan modal sosial namun tidak dibarengi dengan modal simbolik, maka strategi untuk mendominasi belum bisa berhasil secara sempurna. Berikut ini
penulis akan menjabarkan kutipan dalam novel Sirkus Pohon yang merupakan perwujudan dari modal simbolik.
(21) “Lelaki itu harus bekerja tetap! Harus punya pekerjaan tetap yang beribawa! Lelaki itu bekerja di kantor desa, di pemda, di toko, di rumah sakit, di restoran, di pabrik, di kapal, di PN Timah, di kantor Syahbandar. Ada jam kerjanya, ada tas kerjanya, ada seragamnya, ada pulpen di sakunya!” Dia berusaha mengingat-ingat.
“Gajinya tetap per bulan, ada THR-nya, ada lemburnya, ada perjalanan dinasnya, ada rapat-rapatnya, ada naik pangkatnya, ada naik gajinya, ada tunjangannya, ada cutinya; kalau demam, dapat ongkos ke puskesmas, ada mandor yang memarahinya, ada absennya, masuk kerja pukul 7.00 pagi, kerja pakai kemeja lengan panjang, dimasukkan ke dalam, pakai sepatu!” (Hirata, 2017: 11). Kutipan (21) adalah contoh dari modal simbolik. Azizah saat itu sedang memarahi Sobri dan menceramahi perihal standar lelaki yang diakui Azizah dalam sudut pandangnya. Tokoh yang tidak sesuai dengan standar pengakuan yang ada akan mengalami perlakuan yang tidak baik. Oleh sebab itu, modal simbolik sekali lagi adalah modal kekuasaan yang paling krusial.
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dalam novel Sirkus Pohon dapat ditemukan adanya semua bentuk modal dalam konsep strukturasi kekuasaan Bourdieu. Bentuk modal menurut konsep strukturasi kekuasaan Bourdie menyebar di semua tokoh novel ini. Meski demikian, modal ekonomi, modal budaya, dan modal simbolik yang paling berperan besar dalam jalan cerita novel ini.
2.3 Kelas
Kelas menurut Bourdieu dalam (Martono, 2012: 34) merupakan kumpulan agen atau aktor yang menduduki posisi-posisi serupa dan ditempatkan dalam kondisi serupa serta ditundukkan atau diarahkan pada pengondisian yang serupa. Konsepsi kelas ini erat kaitannya dengan konsep modal. Pembagian masyarakat ke
dalam beberapa kelas karena memiliki perbedaan modal seperti yang telah dibahas pada subjudul sebelum ini. Bourdieu membedakan kelas menjadi tiga yaitu kelas dominan, kelas borjuasi kecil, dan kelas populer. Berikut ini penjabaran kelas dalam novel Sirkus Pohon karya Andrea Hirata.
2.3.1 Kelas Dominan
Kelas dominan adalah kelompok yang kepemilikan modalnya cukup besar. Individu dalam kelas dominan dapat menonjolkan identitasnya dan mampu membedakan dirinya akibat dari akumulasi modal yang dimiliki lebih kompleks. Kelas dominan juga dapat memaksakan identitasnya pada dua kelas lainnya. Pemahaman baik dan buruk bagi kelas dominan akan dipaksakan juga dalam standar kelas lain. Tokoh yang menempati kelas dominan dalam novel Sirkus Pohon adalah tokoh Gastori. Hal ini tentu saja karena kepemilikan modal Gastori yang terhitung besar dibanding dengan tokoh lainnya. Berikut ini kutipan yang menandakan kelas dominan dalam novel Sirkus Pohon.
(22) Siapa tak kenal Gastori. Dia juragan terpandang di Belantik. Usahanya banyak, mulai dari usaha kopra, pabrik terasi, juragan perahu, hingga praktik rentenir. Kalau perlu duit cepat, hubungi Gastori. Pendidikannya, tak jelas. Kata orang, dia hanya tamat SMP, tapi punya ijazah SMA, padahal tak ada yang pernah melihatnya ikut ujian persamaan.
Penampilannya menceritakan semua kecenderungannya. Badannya besar dan selalu tampak seperti orang kekenyangan. Kaki-kakinya kokoh macam menhir Carnac yang memberi kesan dia takkan mudah dirobohkan. Ada perbedaan kontur yang nyata antara dada dan perut. Di situ melintang lekuk Eurosia yang dapat menimbulkan gempa pada perutnya yang besar jika dia marah dan memukul meja. Lapisan tektonik bergendat-gendat di bawah ketiaknya. Lehernya besar seperti batang pohon bantan. Wajahnya senndiri lebar, hidungnya mirip jambu bol. Mulutnya memberi tahu bahwa dia seorang pendebat yang kompulsif, ambisius, dan takkan mengaku kalah meski nyata-nyata salah (Hirata, 2017: 196-197).
Kutipan (22) menunjukkan modal ekonomi, modal budaya dalam kondisi menubuh, dan modal simbolik dari Gastori. Modal ekonomi Gastori berdasarkan jumlah usaha dan harta yang dimilikinya. Gastori bahkan dijuluki juragan di Belantik. Ditambah lagi, Gastori menjadi rentenir dan banyak orang yang meminjam uang padanya. Tokoh Gastori menjadi tokoh dengan kekuatan modal ekonomi terbesar dalam novel ini.
Modal budaya dalam kondisi menubuh dari Gastori digambarkan dalam penampilan dan raut wajahnya. Hirata sendiri menuliskan bahwa dari bentuk mulutnya saja Gastori sudah memberi tahu bahwa dia seorang pendebat yang kompulsif, ambisius, dan takkan mengaku kalah meski nyata-nyata salah. Secara detail Hirata mendeskripsikan tokoh Gastori sebagai sosok yang berpenampilan penuh intimidasi dan tak mau kalah dengan tokoh lain yang kelasnya berada di bawah dirinya.
Modal simbolik dari Gastori berkaitan dengan pekerjaannya sebagai rentenir. Dengan kuasanya sebagai rentenir, Gastori bisa mendominasi setiap orang yang berutang padanya setiap kali Gastori ingin menagih utang. Ditambah lagi Gastori menguasai beberapa usaha yang sentral bagi warga Ketumbi sehingga tak banyak orang yang akan berani menentangnya dalam urusan modal simbolik. 2.3.2 Kelas Borjuasi Kecil
Kelas borjuasi kecil adalah kelompok orang yang memiliki keinginan untuk menaiki tangga sosial akan tetapi mereka menempati kelas menengah dalam struktur masyarakat (Martono, 2012: 35). Kelas borjuasi kecil juga biasanya berusaha meniru budaya kelas dominan agar bisa identik dengan kelas dominan.
Dalam novel Sirkus Pohon, tokoh yang menempati kelas borjuasi kecil adalah Sobri. Berikut ini kutipan yang menunjukkan bahwa Sobri termasuk dalam kelas borjuasi kecil.
(23) Semuanya berjalan baik. Penghasilan bekerja di sirkus membuatku mampu membeli sebidang tanah kecil, lalu membangun rumah yang juga kecil di atas tanah itu. Semuanya merupakan bagian dari sebuah rencana yang mendebarkan, yakni masa depan bersama Dinda. Hopeless, hopeless (Hirata, 2017: 91).
(24) Rumah sederhana yang kubangun bersama tukang bangunan itu pun akhirnya selesai. Punya pekerjaan tetap, punya rumah sendiri, telah pandai naik sepeda, genap sudah seluruh syarat untuk menikahi Dinda (Hirata, 2017: 115).
Kutipan (23) menunjukkan bahwa Sobri mulai memasuki kelas borjuasi kecil. Meski belum memiliki modal ekonomi atau modal simbolik yang dominan namun Sobri terus mengusahakan diri agar dapat menaiki tangga sosial. Sobri tidak berusaha memaksakan pandangannya kepada orang lain. Lewat pekerjaannya menjadi badut sirkus, Sobri mulai menabung hingga akhirnya mampu membeli sebidang tanah miliknya sendiri.
Kutipan (24) menunjukkan usaha Sobri dalam mengimitasi budaya kelas dominan yaitu memiliki rumah sendiri. Meski sederhana, Sobri kini sudah mulai mengumpulkan modal ekonominya agar bisa sesuai dengan modal ekonomi milik kelas dominan. Selain rumah, Sobri juga mengusahakan diri memiliki pekerjaan tetap dan seorang istri. Meskipun pada awal cerita Sobri tidak punya berbagai modal, namun Sobri digambarkan terus berjuang hingga pada akhirnya bisa naik ke kelas borjuasi kecil.
2.3.3 Kelas Populer
Menurut Haryatmoko (2003) dalam (Martono, 2012: 36), kelas populer adalah kelompok yang hampir tidak memiliki modal, baik modal ekonomi, modal budaya, maupun modal simbolik. Mereka berada pada posisi yang cenderung menerima dominasi kelas dominan, mereka cenderung menerima apa saja yang “dipaksakan” kelas dominan kepadanya. Kelas ini tidak memiliki posisi tawar untuk menolak berbagai “ideologi” yang ditawarkan kelas dominan. Tokoh dalam novel Sirkus Pohon yang merupakan kelas populer yaitu ayah Sobri, Tegar, dan Tara. Berikut ini kutipan yang menjabarkan kelas populer dalam novel Sirkus Pohon.
(25) Ayah sendiri selalu bekerja. Sejak kecil Ayah telah mendulang timah. Ayah pernah menjadi kuli panggul di pelabuhan, pengisi bak truk pasir, penebang pohon kelapa yang mengancam rumah, dan penggali sumur. Setelah tak kuat lagi tenaganya, Ayah bekerja serabutan di pasar dan sekarang menyandang kas papan berjualan minuman ringan di Stadion Belantik. Namun, Ayah bangga karena semua anaknya tamat SMA, kecuali aku. Tiga anak lelakinya bekerja di kantor yang hebat dan anak perempuannya tamat cemerlang dari SMA. Azizah adikku, ranking satu (Hirata, 2017: 37-38).
(26) Melihat rumah reyot kami, datanglah petugas dari kantor desa mau menempelkan stiker bertuliskan penuh pesona “Rumah Tangga Miskin-Binaan Desa” di dinding papan muka beranda. Dengan stiker itu, kalau ada bantuan dari desa, Ayah akan diprioritaskan.
Dengan santun, Ayah menolak stiker itu. Katanya, banyak keluarga lain yang lebih perlu stiker itu. Katanya lagi, kami miskin, tapi masih punya penghasilan walau tak banyak. Ayah juga menolak bantuan dari abang-abangku yang tidak kaya, tapi bisa membantu karena Ayah masih mampu bekerja (Hirata, 2017: 37).
Kutipan (25) menunjukkan pekerjaan ayah Sobri yang serabutan dan menandakan bahwa modal ekonomi ayah Sobri terhitung kecil. Sementara itu, kutipan (26) menunjukkan bahwa petugas dari kantor desa sekalipun telah