• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II STRUKTURASI KEKUASAAN DALAM NOVEL SIRKUS POHON

2.1 Pengantar

2.2.1 Modal Ekonomi

Modal ekonomi di sini dimaknai sama dengan modal ekonomi dalam bidang ilmu ekonomi, yakni sebagai sekumpulan materi yang dapat berupa kepemilikan uang dan harta benda. Modal ekonomi adalah penyebab paling utama dalam terbentuknya kelas di masyakat.

Dalam novel Sirkus Pohon, kepemilikan modal ekonomi paling besar dimiliki oleh tokoh Gastori yakni seorang juragan dari Belantik. Berikut ini kutipan yang menunjukkan kepemilikan modal ekonomi dari Gastori.

(1) Rupanya mantan suami Ibu Bos dahulu berutang judi dalam jumlah sangat besar kepada seseorang bernama Gastori. Selama ini utang itu telah dicicil Ibu Bos, tapi tiba-tiba Gastori memaksa semuanya dilunasi. Konon dia perlu uang banyak dengan cepat karena mau ikut pemilihan desa (Hirata, 2017: 191).

(2) Siapa tak kenal Gastori. Dia juragan terpandang di Belantik. Usahanya banyak, mulai dari usaha kopra, pabrik terasi, juragan perahu, hingga praktik rentenir. Kalau perlu duit cepat, hubungi Gastori. Pendidikannya, tak jelas. Kata orang, dia hanya tamat SMP, tapi punya ijazah SMA, padahal tak ada yang pernah melihatnya ikut ujian persamaan (Hirata, 2017: 196).

Kutipan (1) menunjukkan bahwa Gastori adalah seorang yang biasa meminjamkan uang untuk orang-orang yang memerlukan uang secara cepat. Biasanya pemiliki modal yang besarlah yang mampu memberikan pinjaman uang. Kutipan (2) memperkuat bukti Gastori adalah pemiliki modal ekonomi paling besar karena ditunjukkan bahwa selain menjadi rentenir dan meminjamkan uang pada orang-orang, Gastori juga memiliki berbagai usaha lainnya seperti kopra, pabrik terasi, dan juragan perahu.

Pemilik modal terkecil dalam novel Sirkus Pohon adalah Sobrinudin atau dalam novel lebih akrab dipanggi Sobri. Berikut ini kutipan yang menunjukkan kepemilikan modal ekonomi dari Sobri.

(3) Sekolahku hanya sampai kelas 2 SMP. Semua itu gara-gara pengaruh buruk seorang lelaki udik bernama Taripol. Negara Republik Indonesia mengakuiku (seperti tertera dalam KTP) usia 28 tahun, status belum kawin, pekerjaan kuli serabutan. Kenyataannya, aku adalah bujang lapuk dan pengangguran, yang kedua-duanya tidak terselubung, tapi terang-benderang macam matahari bulan Juni. Dan, aku masih tinggal di rumah ayahku, sebuah rumah panggung tua Melayu berdinding papan (Hirata, 2017: 7).

Kutipan (3) menunjukkan bahwa kondisi Sobri dalam kepemilikkan modal sangat rendah. Usianya sudah di angka 28 tahun namun pekerjaannya masih serabutan dan belum bisa memiliki rumah sendiri. Modal ekonomi kecil ini diakibatkan dari dirinya yang hanya memiliki ijazah SD saja.

Selain Sobri, tokoh lain yang kepemilikan modal ekonominya terkecil yaitu ayah Sobri. Berikut ini kutipan yang menunjukkan kepemilikan modal ekonomi dari ayah Sobri.

(4) Ayah tak dipecat siapa pun sebab di dunia ini tak ada yang bisa memecat tukang jual minuman ringan di stadion kabupaten. Ayah tak punya harta. Ayah patuh pada hukum. Ayah miskin, tapi tak punya utang dan Ayah tidak pikun. Ayah linglung karena merana ditinggal Ibu yang mendadak meninggalkan dunia ini. Ibu yang sehat walafiat baru selesai mandi, lalu katanya mau berbaring sebentar menunggu azan Ashar. Ibu tak pernah bangun lagi (Hirata, 2017: 5).

(5) Melihat rumah reyot kami, datanglah petugas dari kantor desa mau menempelkan stiker bertuliskan penuh pesona “Rumah Tangga Miskin-Binaan Desa” di dinding papan muka beranda. Dengan stiker itu, kalau ada bantuan dari desa, Ayah akan diprioritaskan.

Dengan santun, Ayah menolak stiker itu. Katanya, banyak keluarga lain yang lebih perlu stiker itu. Katanya lagi, kami miskin, tapi masih punya penghasilan walau tak banyak. Ayah juga menolak bantuan dari abang-abangku yang tidak kaya, tapi bisa membantu karena Ayah masih mampu bekerja (Hirata, 2017: 37).

Pada kutipan (4) dapat diamati kondisi ayah Sobri yang hanya penjual minuman ringan di stadion kabupaten. Ayah sobri tidak memiliki pekerjaan yang bergaji tetap. Kutipan (5) juga turut menunjukkan bukti tentang modal ekonomi ayah Sobri. Petugas desa pun memperhitungkan ayah Sobri sebagai prioritas penerima bantuan. Hanya saja, ayah Sobri menolaknya dan merasa ada orang lain yang lebih memerlukan. Oleh sebab itu, Ayah Sobri adalah salah satu tokoh yang kepemilikan modalnya terkecil.

Tokoh berikutnya yang digambarkan memiliki modal ekonomi yang kecil adalah Tegar. Berikut ini kutipan yang menjabarkan modal ekonomi Tegar.

(6) Ekonomi sulit, ayah minggat, ibu mellow sampun-ampunan, dan dua adik perempuan masih perlu perhatian adalah situasi runyam yang dihadapi Tegar saban hari. Kelas 2 SMP sekolahnya, baru 14 tahun usianya, paling tidak empat profesi disandangnya: pelajar, montir sepeda dan ayah sekaligu ibu (Hirata, 2017: 68).

(7) Sejak bengkel sepeda bangkrut, ekonomi keluarga Tegar ngap-ngap. Uang penjualan bengkel yang tak banyak, cepat menguap, amblas untuk membayar utang, membayar kontrak rumah, segala rupa ongkos. Hobi ibunya membuat kue ditingkatkan menjadi usaha. Saban pagi, sebelum berangkat sekolah, terbirit-birit Tegar bersepeda ke restoran dan warung-warung untuk menitipkan kue buatan ibunya. Pulang sekolah nanti dijemputnya. Dari montir sepeda, dia berubah menjadi penjual kue.

Satu demi satu barang di rumah mulai meluncur ke kantor gadai. Adun bilang sama Tegar, katanya dia kenal calo barang bekas yang dapat memberi harga yang malah lebih tinggi daripada kantor gadai. Masa lalunya yang kelam selaku penghirup lem yang berdedikasi tinggi, pasti telah membuatnya kenal dengan orang yang membuat Tegar gugup itu. Terdesak situasi krisis untuk ongkos hidup sehari-hari, Tegar sepakat dengan ibunya untuk melego barang apa pun yang bisa dilego. Meminjam dua gerobak pemulung besi, Tegar dan Adun mengangkut barang-barang itu menuju gang sempit di samping Bioskop Remboelan (Hirata, 2017: 152-153).

Kutipan (6) menunjukkan modal ekonomi yang kecil milik Tegar karena kini Tegar menjadi tulang punggung nafkah keluarganya sendirian. Bermodal bengkel sepeda yang ditinggalkan ayahnya, maka Tegar berusaha menjalankan terus usaha bengkel ini sembari juga tetap bersekolah dan mengurus ibu serta adik-adiknya.

Kutipan (7) menunjukkan kondisi ekonomi keluarga Tegar yang semakin sulit. Bengkel yang dijalankannya bangkrut kemudian dijual demi bisa membayar kontrakan rumah dan segala utang. Tegar dan ibunya akhirnya bersepakat untuk melego atau menjual barang-barang di rumah mereka yang masih ada nilai jualnya. Kepemilikan modal ekonomi bisa dikatakan jadi yang terkecil dibandingkan dengan tokoh-tokoh lain dalam novel Sirkus Pohon.

Tokoh berikutnya yang modal ekonominya terhitung kecil yaitu Tara, anak dari pemilik sirkus keliling. Berikut ini kutipan yang menjabarkan modal ekonomi dari Tara.

(8) Bukan karena tak setia atau soal-soal lain, melainkan soal judi yang membuat bahtera rumah tangga orang tua Tara karam. Ayahnya gila judi, rumah tangga kacau balau. Maka, selain ditinggali sang ayah usaha sirkus keliling, Tara dan ibunya juga diwarisi sang ayah utang judi yang besar. Ayahnya minggat ke Jakarta, atau tak tahu ke mana; kata orang, lelaki itu lari dari utang-utang judi.

Ibu Tara-lah yang kemudian menanggung utang-utang itu. Berbagai kendaraan dan properti berharga sirkus keliling dijual atau digadaikan untuk melunasinya. Sisa utang masih segunung (Hirata, 2017: 73). Kutipan (8) menunjukkan bahwa Tara dan ibunya sedang menanggung utang yang besar akibat ulah ayahnya yag gemar berjudi. Modal ekonomi Tara dan ibunya yang kecil semakin nampak saat kendaraan dan properti sirkus keliling telah

dijual untuk membayar utang namun sisa utang tersebut masih saja segunung. Kepemilikan modal ekonomi yang kecil ini yang membuat Tara masih belum bisa terlepas dari beban utang ayahnya.

Pada bagian awal novel didapati bahwa Sobri memiliki modal terkecil, namun seiring berjalannya alur cerita tingkat kepemilikan modal ekonomi Sobri meningkat dari yang awalnya kecil berubah menjadi modal ekonomi yang cukup. Berikut ini kutipan yang menunjukkan modal ekonomi yang cukup dari Sobri.

(9) Rumah sederhana yang kubangun bersama tukang bangunan itu pun akhirnya selesai. Punya pekerjaan tetap, punya rumah sendiri, telah pandai naik sepeda, genap sudah seluruh syarat untuk menikahi Dinda (Hirata, 2017: 115).

Dalam kutipan (9) dapat diamati modal ekonomi Sobri telah berubah. Setelah mendapat pekerjaan tetap sebagai badut sirkus akhirnya Sobri bisa mengumpulkan uang untuk membangun rumah sederhana miliknya. Sobri kini bisa mulai membuktikan pada adiknya, Azizah, bahwa dirinya bisa punya nilai karena kepemilikan modal ekonominya meningkat. Hal lain yang memotivasi Sobri untuk meningkatkan modal ekonominya juga karena Sobri hendak meminang wanita pujaan hatinya, Dinda.

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa tokoh dengan modal ekonomi terbesar dimiliki oleh juragan di Belantik yaitu Gastori. Sobri yang awalnya memiliki modal ekonomi terkecil dapat mengembangkan kepemilikan modalnya sehingga dapat disebut sebagai tokoh dengan modal ekonomi yang cukup. Sementara itu, modal ekonomi kecil dimiliki oleh tokoh ayah Sobri, Tegar, dan juga Tara.

Dokumen terkait