BAB II STRUKTURASI KEKUASAAN DALAM NOVEL SIRKUS POHON
2.1 Pengantar
2.4.3 Habitus Kelas Populer
Habitus kelas populer biasanya berlawanan dengan habitus dari kelas dominan. Apabila kelas dominan melakukan penindasan, maka habitus kelas populer biasanya yang menerima penindasan tersebut. Bukan tanpa alasan kelas populer hanya menerima semua bentuk dominasi yang ditimpanya. Kelas populer memang tidak punya kuasaku akibat ketiadaan modal yang dimiliki. Berikut ini kutipan yang menunjukkan habitus kelas populer dalam novel Sirkus Pohon.
(32) Rupanya mantan suami Ibu Bos dahulu berutang judi dalam jumlah sangat besar kepada seseorang bernama Gastori. Selama ini utang itu telah dicicil Ibu Bos, tapi tiba-tiba Gastori memaksa semuanya dilunasi. Konon dia perlu uang banyak dengan cepat karena mau ikut pemilihan desa.
Hari-hari berikutnya Gastori menagih utangnya dengan cara yang brutal, mengancam menuntut secara hukum dan mengerahkan orang-orang yang kasar ke sirkus. Ibu Bos kena intimidasi. Taripol serta-merta membela Ibu Bos. Tak gentar dia menghadapi centeng-centeng Gastori (Hirata, 2017: 191).
Kutipan (32) menunjukkan kepasrahan ibu Tara saat ditagih utang suaminya. Ibu Tara kena intimidasi dari orang-orang kasar suruhan Gastori. Meski begitu, ibu Tara tak ingin Taripol atau siapa pun di sana menjadi korban apabila melawan Gastori.
Berdasarkan penjabaran di atas, maka dapat ditemukan habitus dari masing-masing kelas. Gastori sebagai pengisi kelas dominan memiliki habitus yang suka menindas dan merendahkan orang lain. Sobri sebagai pengisi kelas borjuasi kecil memiliki habitus yang tekun untuk mengejar kedudukan kelas dominan dengan
sikap rajin bekerjanya. Sementara itu, Ibu Tara sebagai pengisi kelas populer hanya bisa pasrah menerima penindasan yang mengenai dirinya.
2.5 Arena
Arena menurut Bourdieu adalah suatu arena sosial yang di dalamnya perjuangan atau manuver terjadi untuk memperebutkan sumber atau pertaruhan dan akses terbatas. Arena didefinisikan sebagai taruhan yang dipertaruhkan—benda kultural (gaya hidup), perumahan, kemajuan intelektual (pendidikan), pekerjaan, tanah, kekuasaan (politik), kelas sosial, prestise atau lainnya—dan mungkin berada pada tingkatan yang berbeda dengan spesifikasi dan derajat kekonkretan (Jenkins, 2016: 124).
Arena secara mudahnya dapat dipahami sebagai wilayah pertarungan modal dan habitus dari berbagai kelas. Arena yang dimaksud oleh teori Bourdieu terdiri dari banyak macam, antara lain arena sosial, arena budaya, arena pendidikan, arena politik, arena ekonomi, dan lainnya. Dalam novel Sirkus Pohon ini terdapat arena pendidikan, arena ekonomi, dan arena politik.
Arena pendidikan dalam novel Sirkus Pohon tampak saat Sobri harus bersusah payah mencari pekerjaan tetap. Sobri kalah saing dengan para lulusan SMA atau sederajat karena sepertinya itu syarat mutlak bagi banyak pekerjaan. Berikut ini kutipan yang menunjukkan adanya arena pendidikan di dalam novel Sirkus Pohon.
(33) Ingin kukatakan kepada Azizah, bukannya aku tak berusaha mencari kerja tetap, tapi hal itu tidaklah semudah membalik tangan. Kerja tetap umumnya bersyarat ijazah minimal SMA atau sederajat. Sekolahku hanya sampai kelas 2 SMP yang semua itu hanya berarti satu hal, satu hal saja, yakni aku hanya berijazah SD.
Tengoklah, Zah, di mana-mana, jika ada tulisan “Ada lowongan”, selalu ada balasan pantun tak berima di bawahnya, “SMA atau sederajat”. Tahukah kau, Zah? Kedua kalimat itu telah melakukan persekongkolan gelap untuk membekuk nasib orang-orang tak berpendidikan macam aku. Perlukah kubuatkan puisi ratap derita dalam hal ini? Supaya kau mengerti? Saking sering aku bertemu dengan kalimat itu sampai aku bermimpi dikejar-kejar hantu yang membawa plang “SMA atau sederajat” (Hirata, 2017: 11-12).
Pada kutipan (33), dapat dilihat bahwa pertarungan modal yang terjadi di arena pendidikan adalah modal budaya dalam bentuk ijazah dan gelar akademis. Ada pertarungan antara individu yang lulus setidaknya SMA atau sederajat dengan individu yang tidak memiliki ijazah SMA dalam mencari pekerjaan karena adanya perbedaan modal yang dimiliki seperti Sobri ini.
Arena ekonomi terjadi saat urusan utang terjadi dalam keluarga Tara maupun Tegar. Keduanya harus mengurusi utang yang bukan mereka perbuat sendiri. Meski begitu, Tara atau pun Tegar harus bertarung melawan pemilik modal ekonomi yang lebih besar dari mereka. Khususnya untuk Tara, utang ayahnya harus dipertarungkan dengan melawan Gastori. Berikut ini kutipan dalam novel Sirkus Pohon yang menunjukkan adanya arena ekonomi.
(34) Kata Tegar, sangat sulit mencari kerja di Tanjong Lantai, sedangkan ekonomi keluarganya dalam keadaan gawat darurat, keputusan harus berani dan cepat diambil. Tegar mengucapkan ribuan terima kasih kepada Tara dan Ibu Bos sebab meski hanya tiga hari bersama sirkus keliling, itulah hari-hari terbaik dalam hidupnya. Hari-hari ajaib yang mengubah impiannya, dari ingin menjadi ahli vanili kini dia ingin menjadi aktor sirkus. Mimpi itu takkan kulepaskan, katanya, sebab dia yakin suatu hari nanti sirkus keliling akan bangkit kembali (Hirata, 2017: 197-198).
(35) Malam itu aku risau memikirkan Ibu Bos dan Tara. Ah, anak yang sangat berbakat itu. Pasti keadaan ekonomi mereka sangat sulit sehingga Tara harus melukis wajah demi mencari nafkah. Kembali pedih aku mengenang Gastori telah membangkrutkan sirkus keliling sekaligus menghancurkan impian Tara untuk kuliah seni rupa, impian Tegar untuk menjadi aktor sirkus, impianku untuk menjadi badut
sirkus, impian demikian banyak seniman sirkus. Sungguh keterlaluan Gastori (Hirata, 2017: 238-239).
(36) Adapun Ibu Bos, dari seorang pemilik sirkus keliling yang hebat dengan armada besar, puluhan karyawan dan ratusan seniman sirkus, kini menjadi tukang jahit. Dibantu Tara, Ibu Bos menjahit pakaian hingga jauh malam (Hirata, 2017: 353).
Kutipan (34) menunjukan pertarungan modal yang dialami Tegar dalam arena ekonomi. Modal ekonomi yang dimiliki Tegar kecil sehingga kondisi ekonomi keluarga Tegar ada di keadaan gawat darurat. Oleh sebab itu Tegar memutuskan untuk mencari pekerjaan di luar Tanjung Lantai agar dapat segera memperbaiki kondisi ekonomi keluarga.
Kutipan (35) menunjukkan bahwa Tara terpaksa harus menjadi pelukis wajah keliling agar bisa membantu membayar utang yang ditinggalkan ayahnya pada Gastori. Selain menutup usaha sirkus keliling, utang pada Gastori juga memupuskan impian-impian banyak orang yang terkait. Sementara itu pada kutipan (36), ditunjukkan bahwa kini Tara dan ibunya harus banting setir menjadi penjahit agar bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari dan melunasi utang keluarga mereka pada Gastori. Dengan demikian, dapat dinyatakan adanya arena ekonomi dalam novel Sirkus Pohon ini.
Arena politik terjadi saat maraknya usaha pemilihan kepala desa Ketumbi yang baru. Segala macam cara digunakan oleh para calon. Mulai dari menunjukkan diri secara berkobar-kobar semangat, menjadi diri sendiri yang mengaku tak punya visi apa pun saat jadi kepala desa, hingga mempercayai daya mistis dari pohon delima yang ada di rumah Sobri. Berikut ini kutipan dalam novel Sirkus Pohon yang menunjukkan adanya arena politik.
(37) Tak sabar masyarakat Ketumbi menunggu debat radio itu. Banyak yang sampai membeli radio. Persediaan radio di toko Awaludin ludes. Meski banyak orang yang tak paham, gerangan apa debat politik itu? Namun, mereka ingin tahu.
Akhirnya, tiba malam Minggu yang ditunggu-tunggu. Masyarakat merubung radio. Dimulailah debat politik pertama dalam sejarah kampung kami, boleh jadi pertama juga dalam sejarah pemilihan kepala desa di Indonesia, atau mungkin juga pertama dalam pemilihan kepala desa di dunia yang fana ini (Hirata, 2017: 216).
(38) Kampanye! Meriah!
Calon-calon kepala desa yang selama ini pelit minta ampun tiba-tiba murah hati. Masa kampanye adalah musim berlomba-lomba beramal. Sekonyong-konyong kampung dilanda rupa-rupa wabah penyakit. Nelayan dilanda encok secara massal. Kernet-kernet truk pasir yang selama ini tak pernah mengeluh, meringis di mana-mana. Para pedagang sayur di pasar pagi yang becek dan telah lama celah-celah jari kaki mereka dimakani kutu air, baru sekarang terpincang-pincang. Bahkan, ada yang secara dramatis membalut kakinya sampai ke paha karena selama masa kampanye mereka tahu akan dapat obat bagus. Para petugas kesehatan tahu-tahu muncul, macam berjatuhan dari langit. Rakyat hanya boleh sakit selama masa kampanye (Hirata, 2017: 260).
(39) Delima diangkut ke Pulau Menguang naik perahu. Sampai di sana langsung ditanam di pekarangan rumah Ngasbulah dan ditempeli foto-fotonya. Dia terpilih menjadi kepala desa.
Kesuksesan Ngasbulah membuat delima laris dipesan calon-calon kepala desa lain. Foto mereka digantung di dahan-dahannya dan mereka menang. Delima juga dipesan calon-calon bupati dan anggota legislatif. Apa yang dikatakan Dukun Daud soal delima itu benar bahwa pohon itu bisa membuat orang menang pemilihan (Hirata, 2017: 329).
Intrik politik muncul cukup dominan dalam novel Sirkus Pohon ini. Pada kutipan (37) ditunjukkan bahwa ada pertarungan politik berupa pemilihan kepala desa di Ketumbi. Masyarakat desa Ketumbi sangat bersemangat mendengar kabar diadakannya debat politik di antara para calon kepala desa hingga semua berbondong-bondong membeli radio agar bisa mendengarkannya.
Pada kutipan (38) dapat dilihat bahwa semarak kampanye sangat dirasakan seluruh kalangan masyarakat Ketumbi. Di masa kampanye ini, semua calon kepala desa mendadak bermurah hati sehingga semua penyakit masyarakat bermunculan. Masyarakat memanfaatkan sebaik mungkin kesempatan yang jarang terjadi di desa mereka.
Pada kutipan (39) tampak isu nyentrik yang dipercaya masyarakat khususnya para calon pejabat politik bahwa pohon delima milik Sobri keramat dan dapat membantu memperlancar kemenangan mereka. Dengan tiga kutipan ini dapat dibuktikan bahwa arena politik ada dan cukup mendominasi dalam jalan cerita novel Sirkus Pohon.