• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II STRUKTURASI KEKUASAAN DALAM NOVEL SIRKUS POHON

2.1 Pengantar

2.2.3 Modal Budaya

Bourdie (2004) dalam (Martono, 2012: 33) menyatakan bahwa modal budaya terkait pada serangkaian kemampuan atau keahlian individu, termasuk di dalamnya adalah sikap, cara bertutur kata, berpenampilan, cara bergaul, dan sebagainya.

Menurut Bourdie dalam (Martono, 2012: 33), modal budaya dapat terwujud dalam tiga bentuk: Pertama, dalam kondisi “menubuh”, modal budaya dapat berupa disposisi tubuh dan pikiran yang dihargai dalam suatu wilayah tertentu. Modal dalam kondisi “menubuh” perlu waktu agar dapat menyatu dengan habitus.

Kedua, dalam kondisi terobjektifikasi, modal budaya terwujud dalam benda-benda budaya seperti buku, alat musik, hasil karya, atau benda-benda lain. Modal budaya dalam kondisi terobjektifikasi dapat diwariskan sama halnya dengan modal ekonomi.

Ketiga, dalam kondisi terlembagakan, modal budaya ini terwujud dalam bentuk yang khas atau unik, yaitu keikutsertaan dan pengakuan dari lembaga pendidikan dalam bentuk gelar akademis atau ijazah. Ketiga modal budaya ini dapat mempengaruhi sikap seseorang saat berhubungan atau memperlakukan orang lain. Berikut ini akan penulis jabarkan modal budaya yang dimiliki tokoh dalam novel Sirkus Pohon.

(14) Di rumah itu tinggal pula adik perempuanku yang mencekam itu, Azizah namanya, dan suaminya Suruhudin, seorang lelaki lembek instalatur listrik. Kalau sedih, orang ini suka membuka kacamatanya, lalu menggosok-gosok kacamatanya itu dengan ujung kemeja. Muka sembap, bahu luruh. Kalau kaget, dia suka menganga, lebar sekali, sampai dia tak bisa menganga lagi. Macam rahangnya terkunci. Adikku dan suaminya yang aneh itu punya anak dua: Pipit, kelas 2 SD, manis, pintar, galak, suka merintah-merintah macam ibunya, dan adiknya, Yubi. Keluarga itu kecil, tapi gendut-gendut (Hirata, 2017: 7-8).

(15) Siapa pun yang melihat Soridin Kebul akan langsung tahu dia itu bergajul papan atas. Badannya ceking, pipi cekung, jidat cembung, rambut cukur tipis, tapi hanya di bagian samping sehingga kelihatan tanah kepala begundalnya itu. Di lengan kanan atas terpatri tato bunga dan sepucuk pistol di atas tulisan melengkung Guns N Rozes. Tak jelas apakah huruf z itu disengaja atau karena kebodohan. Jika karena alasan yang kedua, abadilah kebodohan, terprasasti di tubuh seorang bramacorah. Hanya malaikat maut yang nanti dapat menghapusnya. Mata kanannya berwarna putih seluruhnya, alias picak, tak heran orang menambahi Kebul di belakang nama Melayu-nya yang megah itu. Namun, mata kirinya mengambil alih semua kekuatan dan niat-niat dalam mata kanannya, senantiasa menatap macam belati menusuk tajam, garang, nyalang (Hirata, 2017: 34).

(16) Tegar baru sadar, caranya berjalan mirip dengan cara ayahnya berjalan, macam pria memperagakan busana. Ini soal keturunan, sulit diubah. Maka, bersusah payah dia belajar berjalan lebih tegas. Di depan ibunya, dia melangkah terkangkang-kangkang (Hirata, 2017: 66).

(17) Gagu, begitu orang-orang memanggil lelaki kurus, melengkung, berambut panjang itu. Karena, tak ada yang tahu nama aslinya dan karena dia tak pernah bicara. Padahal, seorang pemulung bilang dia tidak bisu. Tak ada yang tahu asal-muasalnya. Tahu-tahu, tahun lalu

dia muncul. Konon dia turun dari kapal Lawit yang bertolak dari Tanjung Priok, lalu tingga sendirian di salah satu bedeng liar di belakang pasar ikan (Hirata, 2017: 200).

Kutipan (14), (15), (16), dan (17) merupakan bagian dari modal budaya dalam kondisi menubuh. Kutipan (14) menjabarkan adik Sobri yaitu Azizah dan keluarga kecil lewat penampilan dan cara bertuturnya. Dapat diketahui bahwa Azizah adalah seseorang yang pintar, galak, dan suka memerintah. Anak pertama Azizah yaitu Pipit juga menuruni sifat ibunya tersebut. Suami Azizah, yaitu Suruhudin adalah seorang laki-laki yang takut dan kalah galak dari istrinya. Sementara itu, anak kedua Azizah yaitu Yubi hanya digambarkan perawakannya yang gendut.

Kutipan (15) menjabarkan tentang penampilan salah seorang bramacorah di desa tempat tinggal Sobri, yaitu Soridin Kebul. Berdasarkan cara berpenampilan, tokoh Sodirin Kebul juga digambarkan kepribadiannya, baik lewat sorot mata atau pun tato yang menghiasi tubuhnya. Akibat dari penampilannya ini, orang-orang bisa saja merasa takut bila harus berhadapan dengan Soridin Kebul.

Kutipan (16) menjabarkan tentang cara berpenampilan dan sikap tubuh dari Tegar. Dalam narasinya juga dapat diamati bahwa cara berjalan Tegar yang bagai memperagakan busana juga dimiliki oleh ayah Tegar. Namun, dengan modal budaya dalam kondisi menubuh yang dimilikinya lewat garis keturunan ini, Tegar harus berusaha meniadakannya apabila sedang berada di hadapan ibunya.

Kutipan (17) menjabarkan tentang cara berpenampilan dari sosok lelaki misterius bertopi fedora. Meski dalam cerita belum disampaikan siapa identitas lelaki ini, namun modal budaya dalam kondisi menubuhnya disampaikan dengan

mendetail. Akibat dari cara perilaku dan penampilannya, banyak yang menduga-duga sosok misterius ini gagu atau bisu sehingga sering dipandang sebelah mata.

Modal budaya dalam kondisi menubuh yang dimiliki tiap tokoh mempengaruhi hubungannya atau perlakuan yang didapatkannya dari tokoh lain. Oleh sebab itu, modal budaya dalam kondisi menubuh ini cukup berpengaruh dalam strukturasi kekuasaan.

(18) Rupanya sirkus keliling, seperti panggung kesenian rakyat lainnya, sempat ramai di Indonesia pada ’70-an, lalu lenyap satu per satu. Pada akhir ’80-an ada sirkus ternama yang sempat berkeliling kota, Sirkus Oriental. Tahun ’90-an masih ada beberapa sirkus keliling kecil di Jawa dan Sumatra, tapi tak terdengar lagi kabarnya. Barangkali sirkus keliling kami adalah sirkus keliling terakhir di Tanah Air ini (Hirata, 2017: 86).

(19) Orang-orang bilang dia menuruni bakat seni ibunya. Ibunya itu tamatan sekolah menengah seni rupa di Yogyakarta, dan mengaku, dalam usia yang sama dengan Tara sekarang, kemampuan anaknya jauh melampauinya. Anaknya menggambar dekorasi kereta-kereta gipsi, merancang lampu-lampu hias, tenda-tenda, dan panggung utama. Ibunya menata musik, menata koreografi, menyutradarai teater sirkus, dan merupakan pemain akordion yang lihai (Hirata, 2017: 62). Kutipan (18) mengandung modal budaya dalam kondisi terobjektifikasi berupa warisan panggung kesenian rakyat berupa sirkus keliling. Sejak tahun ’70-an keseni’70-an sirkus keliling sempat ramai di Indonesia. Lewat dari tiga dekade, kesenian sirkus keliling lama tak terdengar rimbanya. Bahkan Sobri mengira-ngira bahwa sirkus keliling milik Tara dan ibunya adalah yang terakhir ada di Indonesia. Tentunya kesenian rakyat sirkus keliling ini termasuk dalam modal budaya dalam kondisi terobjektifikasi berupa karya yang dapat diwariskan.

Kutipan (19) mengandung modal budaya dalam kondisi terobjektifikasi berupa kemampuan dan bakat seni dari ibu Tara yang menurun kepada Tara. Di sini bakat seni yang terwujud dalam karya seperti tata hias, tata musik, koreografi,

bahkan teater sirkus yang dapat diwariskan telah terjadi antara ibu Tara dan Tara sendiri.

(20) Ingin kukatakan kepada Azizah, bukannya aku tak berusaha mencari kerja tetap, tapi hal itu tidaklah semudah membalik tangan. Kerja tetap umumnya bersyarat ijazah minimal SMA atau sederajat. Sekolahku hanya sampai kelas 2 SMP yang semua itu hanya berarti satu hal, satu hal saja, yakni aku hanya berijazah SD.

Tengoklah, Zah, di mana-mana, jika ada tulisan “Ada lowongan”, selalu ada balasan pantun tak berima di bawahnya, “SMA atau sederajat”. Tahukah kau, Zah? Kedua kalimat itu telah melakukan persekongkolan gelap untuk membekuk nasib orang-orang tak berpendidikan macam aku. Perlukah kubuatkan puisi ratap derita dalam hal ini? Supaya kau mengerti? Saking sering aku bertemu dengan kalimat itu sampai aku bermimpi dikejar-kejar hantu yang membawa plang “SMA atau sederajat” (Hirata, 2017: 11-12).

Kutipan (20) merupakan salah satu contoh modal budaya dalam kondisi terlembagakan. Gelar akademis yang dibuktikan dalam wujud ijazah misalnya, bisa menjadi faktor mendapat perlakuan yang seperti apa di tengah masyarakat. Tentunya modal budaya dalam bentuk ini jadi bentuk yang paling lumrah dialami tokoh dalam novel Sirkus Pohon terutama Sobri selaku tokoh utama.

Dokumen terkait