• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRUKTURASI KEKUASAAN DAN KEKERASAN SIMBOLIK DALAM NOVEL DAMAR KAMBANG KARYA MUNA MASYARI: PERSPEKTIF PIERRE BOURDIEU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "STRUKTURASI KEKUASAAN DAN KEKERASAN SIMBOLIK DALAM NOVEL DAMAR KAMBANG KARYA MUNA MASYARI: PERSPEKTIF PIERRE BOURDIEU"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

STRUKTURASI KEKUASAAN DAN KEKERASAN SIMBOLIK DALAM NOVEL DAMAR KAMBANG KARYA MUNA MASYARI:

PERSPEKTIF PIERRE BOURDIEU

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

pada Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Eleonora Christabela Fanny Febryanti 184114004

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

JANUARI 2022

(2)

i Halaman Persetujuan Pembimbing

(3)

ii Halaman Pengesahan

(4)

iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 10 Januari 2022

Eleonora Christabela Fanny Febryanti

(5)

iv

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Eleonora Christabela Fanny Febryanti Nomor Mahasiswa : 184114004

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul “Strukturasi Kekuasaan dan Kekerasan Simbolik dalam Novel Damar Kambang Karya Muna Masyari: Perspektif Pierre Bourdieu”

Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak menyimpan, mengalihkan dalam bentuk lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas dan mempublikasikannya di internet atau media lainnya untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royaliti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Atas kemajuan teknologi informasi, saya tidak berkeberatan jika nama, tanda tangan, gambar atau image yang ada di dalam karya ilmiah saya terindeks oleh mesin pencari (search engine), misalnya google.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal 10 Januari 2022 Yang menyatakan,

Eleonora Christabela Fanny Febryanti

(6)

v

MOTO DAN PERSEMBAHAN

Jadilah dirimu sendiri dan nikmatilah hari ini.

-Eleonora Christabela Fanny F.-

Dengan penuh rasa syukur, skripsi ini saya persembahkan kepada:

Untuk papa saya, Johanes Adiyanto Untuk mama saya, Magdalena Asih Winarni Untuk kakak saya, Nicholas Adven Christyanto

(7)

vi

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, kasih, dan kebaikannya sehingga penulis dapat menyelesaikan seluruh proses penyelesaian skripsi ini. Skripsi dengan judul “Strukturasi Kekuasaan dan Kekerasan Simbolik dalam Novel Damar Kambang Karya Muna Masyari:

Perspektif Pierre Bourdieu” ini disusun untuk memenuhi persyaratan program Strata satu (S-1) Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Di dalam penyelesaian skripsi ini, banyak sekali pihak yang telah membantu penulis. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada setiap pihak yang sudah mendukung dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, yaitu

Pertama, Bapak Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum. sebagai pembimbing I. dan ibu S.E. Peni Adji, S.S., M.Hum. sebagai pembimbing II. Terima kasih atas pendampingan, pembimbingan, dan masukannya selama pengerjaan skripsi ini.

Kedua, Bapak Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum. sebagai Dosen Pembimbing Akademik Angkatan 2018, terima kasih telah memotivasi dan mendukung penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

Ketiga, Bapak Prof. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum., Drs. B. Rahmanto, M.Hum., Sony Christian Sudarsono, S.S., M.A., F.X. Sinungharjo, S.S., M.A., Ibu Dr. Fransisca Tjandrasih Adji, M.Hum., Maria Magdalena Sinta Wardani, S.S., M.A., terima kasih telah memberikan banyak ilmu dalam perkuliahan selama ini.

(8)

vii

Keempat, para karyawan sekretariat Prodi Sastra Indonesia, terima kasih telah membantu saya untuk mengurus hal-hal administratif selama penulis menjalani perkuliahan.

Kelima, orang tua dan keluarga penulis, terima kasih atas dukungan yang diberikan selama menempuh proses pengerjaan skripsi ini.

Keenam, Regina Dhea Caesarine, Dwi Rulistya, Maria Ariesta May Zendy, Berta Rara, Fira Nur, Rahmat Akbar, Susiani Suprapti, Veronica Septiana, Maria Simprosa Redo, Patricius serta teman-teman yang sudah membantu dan mendukung penulis selama pengerjaan skripsi ini.

Ketujuh, seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas perhatian dan dukungan yang diberikan kepada penulis.

Yogyakarta, 10 Januari 2022 Penulis

Eleonora Christabela Fanny Febryanti

(9)

viii ABSTRAK

Febryanti, Eleonora Christabela Fanny. 2022. “Strukturasi Kekuasaan dan Kekerasan Simbolik dalam Novel Damar Kambang karya Muna Masyari:

Perspektif Pierre Bourdieu”. Skripsi Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini memiliki tujuan untuk menganalisis strukturasi kekuasaan dan kekerasan simbolik dalam novel Damar Kambang karya Muna Masyari dengan menggunakan perspektif Pierre Bourdieu. Tujuan penelitian ini adalah (i) mengkaji dan mendeskripsikan strukturasi kekuasaan serta (ii) menganalisis dan mendeskripsikan bentuk kekerasan simbolik terhadap tokoh perempuan dalam novel Damar Kambang karya Muna Masyari.

Penelitian ini menggunakan teori strukturasi kekuasaan dan kekerasan simbolik yang dipaparkan oleh Pierre Bourdieu. Di dalam pengumpulan data, penulis menggunakan metode studi pustaka, yaitu teknik baca-catat. Data yang telah dikumpulkan kemudian akan dianalisis dengan menggunakan metode analisis isi.

Hasil dari analisis data tersebut disajikan secara deskriptif kualitatif. Isi dari deskripsi ini adalah (i) deskripsi strukturasi kekuasaan yang berupa modal, kelas, habitus, dan arena serta (ii) deskripsi kekerasan simbolik berupa kekerasan simbolik eufemisme dan kekerasan simbolik mekanisme sensorisasi dalam novel Damar Kambang karya Muna Masyari.

Hasil dari penelitian ini adalah (1) modal ekonomi berupa kepemilikan alat-alat reproduksi. Modal sosial dibagi menjadi dua, yakni hubungan sosial dan hubungan keluarga. Modal budaya dibagi menjadi dua, yaitu modal budaya dalam kondisi

“menubuh” dan modal budaya dalam kondisi terobjektifikasi. Kemudian modal simbolik dibagi menjadi dua, yakni gelar dan status sosial. (2) Kelas di sini dibagi menjadi tiga, yaitu kelas dominan, kelas borjuis kecil, dan kelas populer. (3) Madlawi memiliki habitus yang suka membuat keputusan sepihak, memaksakan kehendaknya sendiri, dan berlaku kasar; habitus Musahrah dan Marinten yang berusaha untuk menaikkan dengan cara memberikan anaknya ke kiai dan berusaha memberikan keturunan; sementara habitus Marinten, Chebbing, Buk Sum, dan Ibu Kacong pasrah akan dominasi yang diterimanya. (4) Arena dibagi menjadi dua, yaitu arena domestik (pernikahan/rumah tangga) dan arena budaya. Di dalam arena budaya ditemukan adanya persaingan dalam bentuk fisik dan persaingan metafisika yang berbentuk guna-guna. (5) Terdapat kekerasan simbolik, yaitu kekerasan simbolik eufemisme yang berupa kewajiban dan pemberian serta kekerasan simbolik mekanisme sensorisasi berupa kekerasan simbolik yang berujung kekerasan fisik, budaya, dan persaingan. Kekerasan yang terjadi tidak diketahui karena adanya kegiatan metafisika yang berbentuk guna-guna sehingga individu yang mengalaminya tidak menyadari bahwa ia mengalami kekerasan simbolik.

Kata kunci: strukturasi kekuasaan, modal, kelas, habitus, arena, kekerasan simbolik, metafisika (guna-guna)

(10)

ix ABSTRACT

Febryanti, Eleonora Christabela Fanny. 2022. “The Structural Power and Symbolic Violence in the Novel Damar Kambang by Muna Masyari: Pierre Bourdieu's Perspective”. Thesis of Indonesian Literature Study Program, Faculty of Literature, Sanata Dharma University.

This study aims to analyze the structure of power and symbolic violence in Muna Masyari's Damar Kambang novel using Pierre Bourdieu's perspective. The aims of this study are (i) to examine and describe the structuration of power and (ii) to analyze and describe the forms of symbolic violence experienced by female characters in the novel Damar Kambang by Muna Masyari.

This study uses the theory of power structure and symbolic violence described by Pierre Bourdieu. In data collection, the author uses the literature study method, namely the read-note technique. The data that has been collected will then be analyzed using the content analysis method. The results of the data analysis are presented in a descriptive qualitative manner which is the result of the analysis in the form of sentences. The contents of this description are (i) a description of the structuration of power in the form of capital, class, habitus, and arena and (ii) a description of symbolic violence in the form of symbolic violence of euphemisms and symbolic violence of censorship mechanisms in the novel Damar Kambang by Muna Masyari.

The results of this study are (1) economic capital in the form of ownership of reproductive organs. Social capital is divided into two, namely social relations and family relationships. Cultural capital is divided into two, namely cultural capital in a "body" condition and cultural capital in an objectified condition. Then the symbolic capital is divided into two, namely title and social status. (2) The class here is divided into three, namely the dominant class, the petty bourgeois class, and the popular class. (3) Madlawi has a habit of making unilateral decisions, forcing her own will, and being rude; habitus Musahrah and Marinten who try to raise by giving their children to the Kiai and trying to give offspring; while the habitus of Marinten, Chebbing, Buk Sum, and Ibu Kacong resigned themselves to the domination they received. (4) The arena is divided into two, namely the domestic arena (marriage/household) and the cultural arena. In the cultural arena, there is competition in the form of physical and metaphysical competition in the form of witchcraft. (5) There is symbolic violence, namely symbolic violence of euphemisms in the form of obligations and gifts as well as symbolic violence of censorship mechanisms in the form of symbolic violence that leads to physical, cultural, and competitive violence. The violence that occurs is unknown because of metaphysical activities in the form of witchcraft so that individuals who experience it do not realize that they are experiencing symbolic violence.

Keywords: power structuration, capital, class, habitus, arena, symbolic violence, metaphysic (witchcraft)

(11)

x

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... iv

HALAMAN MOTO DAN PERSEMBAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR ... xii

BAB I ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

1.5 Tinjauan Pustaka ... 7

1.6 Pendekatan ... 10

1.7 Landasan Teori ... 12

1.7.1 Strukturasi Kekuasaan ... 14

1.7.1.1 Modal ... 14

1.7.1.2 Kelas ... 16

1.7.1.3 Habitus ... 17

1.7.1.4 Arena ... 19

1.7.2 Kekerasan Simbolik ... 20

1.8 Metode Penelitian ... 21

1.8.1 Metode Pengumpulan Data ... 22

1.8.2 Metode Analisis Data ... 22

1.8.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data ... 23

1.8.4 Sumber Data ... 23

1.9 Sistematika Penyajian ... 24

BAB II ... 25

2.1 Pengantar ... 25

(12)

xi

2.2 Modal ... 25

2.2.1 Modal Ekonomi ... 26

2.2.2 Modal Sosial ... 31

2.2.3 Modal Budaya ... 34

2.2.3.1. Modal Budaya dalam Kondisi “Menubuh” ... 34

2.2.3.2. Modal Budaya dalam Kondisi Terobjektifikasi ... 39

2.2.4 Modal Simbolik ... 41

2.3 Kelas ... 45

2.3.1 Kelas Dominan ... 45

2.3.2 Kelas Borjuis Kecil ... 46

2.3.3 Kelas Populer ... 48

2.4 Habitus ... 52

2.4.1 Habitus Kelas Dominan ... 53

2.4.2 Habitus Kelas Borjuis Kecil ... 54

2.4.3 Habitus Kelas Populer ... 56

2.5 Arena ... 60

2.5.1 Arena Domestik ... 60

2.5.2 Arena Budaya ... 64

2.6 Rangkuman ... 69

BAB III ... 73

3.1 Pengantar ... 73

3.1.1 Kekerasan Simbolik Eufemisme ... 74

3.1.2 Kekerasan Simbolik Mekanisme Sensorisasi... 77

3.2 Rangkuman ... 82

BAB IV ... 85

4.1 Kesimpulan ... 85

4.2 Saran ... 87

DAFTAR PUSTAKA ... 89

LAMPIRAN ... 91

1. Sinopsis ... 91

2. Biodata Penulis ... 93

BIODATA PENULIS ... 93

(13)

xii

DAFTAR SKEMA DAN TABEL

Skema 1. Pardigma Abrams Empat Pendekatan ... 11

Tabel 1. Modal dalam Novel Damar Kambang Karya Muna Masyari ... 43

Tabel 2. Kelas dalam Novel Damar Kambang Karya Muna Masyari ... 51

Tabel 3. Habitus dalam Novel Damar Kambang Karya Muna Masyari ... 59

Tabel 4. Arena dalam Novel Damar Kambang Karya Muna Masyari ... 68

Tabel 5. Kekerasan Simbolik dalam Novel Damar Kambang Karya Muna Masyari ... 81

(14)

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Di dalam kehidupan sosial, selalu terjadi praksis sosial antara individu dengan kelompok masyarakat. Hubungan antara masyarakat dan lingkungan sosial ini menyebabkan munculnya sebuah interaksi sosial, yaitu adanya suatu hubungan atau komunikasi di antara masyarakat, baik antara individu, kelompok, maupun individu dengan kelompok. Di dalam interaksi sosial tersebut sering ditemukan model relasi kekuasaan yang tidak berimbang, yang berakibat pada praktik ketidakadilan, ketidaksetaraan, pembatasan kebebasan, dan diskriminasi (Haryatmoko, 2016: vii). Hal tersebut terjadi karena terdapat ketimpangan sosial yang sering dijumpai dalam kehidupan bermasyarakat yakni praksis kekuasaan melalui tindakan mendominasi.

Langobelen (2020: 1) menyebutkan bahwa kekuasaan merupakan kemampuan seseorang atau kelompok tertentu untuk mendominasi suatu hal berdasarkan kewibawaan, kewenangan, karisma, atau kekuatan fisik. Di dalam perkembangannya, kekuasaan ada dalam bentuk yang berbeda dan Pierre Bourdieu menyadari bahwa tindakan kekuasaan tersebut memiliki pola atau konsep yang terstruktur. Bourdieu mengungkapkan ada empat aspek yang mempengaruhi sebuah praksis kekuasaan, yaitu modal, kelas, habitus, dan arena.

Bourdieu (dalam Haryatmoko, 2016: 57) mengungkapkan mengenai praksis kekuasaan di dalamnya ditemukan adanya kekerasan yang tidak terlihat secara kasat

(15)

mata. Kekerasan ini disebut sebagai kekerasan simbolik. Kekerasan ini biasanya dianggap wajar oleh masyarakat dan sesuatu hal yang alamiah.

Penelitian ini akan mengkaji novel dari Muna Masyari dengan judul Damar Kambang (2020). Damar kambang sendiri memiliki arti, yaitu pelita yang menyala dengan sumbu mengambang di atas minyak (Masyari, 2020: 198). Novel ini menggunakan latar kebudayaan di Madura. Novel Damar Kambang membongkar di balik tradisi pernikahan di Madura, dimana “harkat dan martabat” dianggap lebih dari segalanya. Kisah yang disuguhkan dalam novel ini mengenai bagaimana tokoh perempuannya terbelenggu dalam sebuah tradisi pernikahan dan selalu menuruti apa yang tokoh laki-laki kehendaki. Perempuan yang baru menginjakkan usia 14 tahun dari Desa Karang Penang, menjadi korban tradisi pernikahan itu. Chebbhing namanya, perempuan belia yang terjebak dalam pergulatan hidup. Hal tersebut disebabkan oleh keputusan sepihak orangtuanya. Diri Cebbhing kemudian tak ubahnya seperti medan karapan sapi (tempat perlombaan pacuan sapi yang berasal dari Pulau Madura), tempat berbagai kekuatan magis saling bertarung dan berbenturan.

Hal yang menarik dalam novel Damar Kambang karya Muna Masyari ini adalah lugasnya dalam bercerita. Muna Masyari tak menutupi apa yang sebenarnya terjadi dalam tradisi atau budaya pernikahan di Madura yang masih memegang teguh harkat dan martabat. Misalnya, dalam penggalan narasi dari bab berjudul Mokka’ Blabar yang merupakan salah satu tradisi sebelum prosesi pernikahan dilakukan (Masyari, 2020:

199) pada novel Damar Kambang mengungkapkan bahwa

(16)

Setiap penyumbang akan dicatat nama beserta nominal sumbangannya. Buku dan bolpen menjadi penguat ingatan yang lumrah di setiap pesta pernikahan.

Untuk apa? Untuk menjaga nama dan kehormatan (Masyari, 2020: 14).

Munawaroh Masyari atau yang lebih dikenal sebagai Muna Masyari adalah seorang sastrawan Indonesia yang berasal dari Pamekasan, Madura. Dia lahir dalam keluarga yang pas-pasan. Alasan tersebutlah yang menyebabkan dirinya hanya sampai pada tingkatan Madrasah Tsanawiyah saja. Di masa kecilnya —sebagaimana penuturannya, bahwa ia mengetahui tradisi dan cerita lokal dari apa yang dikisahkan oleh ibu serta neneknya. Kisah-kisah yang mengandung unsur religi. Pada tahun 2016 cerpennya yang berjudul Celurit Warisan diterima oleh rubrik Cerpen di harian Kompas. Setahun kemudian, cerpennya yang berjudul Kasur Tanah digolongkan surat kabar Kompas sebagai “Cerpen Terbaik Kompas 2017” (Suwarna, 2018). Cerita Kasur Tanah yang ditulis Muna ini berhasil menggeser 20 penulis cerpen lainnya seperti Ahmad Tohari, Radhar Panca Dahana, Agus Noor, Djenar Maesa Ayu, dan lainnya. Kisah ini kemudian diangkat sebagai pertunjukan teater oleh Teater Mandiri yang disutradarai oleh Putu Wijaya (Pangerang, 2018).

Masyari mengangkat realitas (beragam tradisi lokal di Madura, ritual, isu tentang kemiskinan, ketidakberdayaan perempuan, dan relasi kuasa yang tidak imbang) yang sampai sekarang masih terjadi dan mengemasnya dalam sebuah tulisan (Suwarna, 2018). Realitas tersebut sering kurang disadari oleh individu, bahkan cenderung dibiasakan atau merupakan sesuatu yang dianggap wajar oleh masyarakat. Realitas yang dialami para tokoh perempuan dalam novel itu yang bisa disebut sebagai sebuah kekerasan, diskriminasi, atau ketidakadilan yang tidak disadari.

(17)

Bentuk kekerasan itulah yang disebut dengan kekerasan simbolik dan menciptakan dominasi simbolik. Anggapan perempuan yang harus melayani suami dan ikut suaminya, lemah, tidak berdaya, dan wajib memenuhi semua tugas yang ada membuat perempuan menjadi sering dirugikan. Oleh sebab itu, pandangan Pierre Bourdieu mengenai struktur kekuasaan dan kekerasan simbolik akan digunakan untuk mengkaji penelitian ini. Berikut ini akan ketidakadilan yang dialami perempuan dalam novel Damar Kambang melalui pernyataan berikut ini.

Pun dirimu. Dalam usia empat belas tahun, orangtuamu telah merentangkan tali untuk mengikatmu dalam pernikahan dengan laki-laki yang belum sepenuhnya kau kenal. Kau tunduk patuh, sebagaimana teman-temanmu yang lebih dulu menerima keputusan serupa (Masyari, 2020:11).

Berikut ini beberapa hal yang menjadi alasan peneliti mengkaji topik ini. Pertama, novel Damar Kambang karya Muna Masyari mengisahkan latar belakang budaya atau tradisi pernikahan di Madura yang di dalamnya terdapat asumsi adanya strukturasi kekuasaan serta kekerasan simbolik. Kedua, penelitian mengenai strukturasi kekuasaan dan kekerasan simbolik dalam novel Damar Kambang karya Muna Masyari belum pernah dilakukan.

Novel Damar Kambang karya Muna Masyari ditulis dengan gaya yang lugas dan menggunakan multi point of views (seluruh suara yang sama dengan diksi yang sama dan bahasa rapi serta cenderung puitik). Damar Kambang menampilkan banyak sudut pandang yang harus membedakan suara, karakterisasi, dan diksi setiap tokoh dalam setiap bab. Penelitian ini akan mendeskripsikan strukturasi kekuasaan dan kekerasan simbolik perspektif Pierre Bourdieu dalam novel Damar Kambang karya Muna

(18)

Masyari. Pembahasan tersebut dilakukan untuk mengungkapkan atau membongkar bentuk strukturasi kekuasaan dan kekerasan simbolik dalam novel Damar Kambang karya Muna Masyari.

1.2 Rumusan Masalah

Berikut ini rumusan masalah dari penelitian ini berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan di atas.

1.2.1 Bagaimana strukturasi kekuasaan dalam novel Damar Kambang karya Muna Masyari?

1.2.2 Bagaimana bentuk kekerasan simbolik dalam novel Damar Kambang karya Muna Masyari?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka ditetapkan tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1.3.1 Mengkaji dan mendeskripsikan strukturasi kekuasaan yang mencangkup modal, kelas, habitus, dan arena dalam novel Damar Kambang karya Muna Masyari. Hal ini akan dibahas di dalam Bab II.

1.3.2 Menganalisis dan mendeskripsikan bentuk kekerasan simbolik terhadap tokoh perempuan dalam novel Damar Kambang karya Muna Masyari. Hal ini akan dibahas di dalam Bab III.

(19)

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini berupa deskripsi mengenai strukturasi kekuasaan dan bentuk kekerasan simbolik terhadap tokoh perempuan dalam novel Damar Kambang karya Muna Masyari menggunakan teori Pierre Bourdieu. Berikut adalah manfaat teoritis dan praktis dari penelitian ini.

1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil dari penelitian ini bermanfaat dalam bidang kajian sastra Indonesia, yaitu untuk memperdalam teori strukturasi kekuasaan Pierre Bourdieu.

Penelitian ini juga dapat bermanfaat untuk peneliti selanjutnya dalam menganalisis penerapan teori strukturasi kekuasaan Pierre Bourdieu, terutama mengenai strukturasi kekuasaan dan kekerasan simbolik yang terdapat objek penelitian lainnya.

1.4.2 Manfaat Praktis

Penelitian bermanfaat menambah khasanah apresiasi dan kritik sastra terhadap novel Damar Kambang karya Muna Masyari. Penelitian ini diharapkan dapat memperluas wawasan dan pengetahuan pembaca tentang kajian strukturasi kekuasaan dan kekerasan simbolik Pierre Bourdieu. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan literatur tambahan dalam penelitian sastra, terutama pada kajian strukturasi kekuasaan dan kekerasan simbolik. Penelitian ini juga dapat dimanfaatkan untuk perbandingan antara peneliti satu dengan peneliti lainnya, khususnya tentang kajian strukturasi kekuasaan dan kekerasan simbolik pada sebuah karya sastra.

(20)

1.5 Tinjauan Pustaka

Belum ada pustaka yang membahas strukturasi kekuasaan dan kekerasan simbolik di dalam novel Damar Kambang karya Muna Masyari. Akan tetapi, telah ada sejumlah pustaka yang membahas mengenai strukturasi kekuasaan dan kekerasan simbolik.

Pustaka yang dimaksud antara lain karangan Barata (2017), Haban (2020), Khadijah Ahmad (2021), Langobelen (2020), dan Melisha (2018).

Barata (2017) dalam skripsinya yang berjudul “Strukturasi Kekuasaan dan Kekerasan Simbolik dalam Cerpen Ayam, Suatu Malam Suatu Warung, dan Tahi dalam sekumpulan cerpen Hujan Menulis Ayam karya Sutardji Calzoum Bachri” membahas mengenai kekerasan simbolik. Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan dan menganalisis modal, kelas, habitus, arena, kekerasan, dan kekuasaan dalam kumpulan cerpen Hujan Menulis Ayam karya Sutardji Calzoum Bachri. Hasil dari penelitian ini ada empat, yaitu (1) adanya empat modal dalam kumpulan cerpen tersebut (modal ekonomi, sosial, budaya, dan simbolik), (2) kelas yang ada di dalam kumpulan cerpen tersebut dipengaruhi oleh kekuatan modal masing-masing tokoh, (3) habitus dan arena ditampilkan dalam kehidupan sosial masyarakat menengah ke bawah, dan (4) kekerasan simbolik berupa mekanisme eufimisme dan mekanisme sensorisasi terjadi.

Kekerasan yang ada dianggap sebuah kebenaran. Akan tetapi diakhir cerita ada penyesalan dan kesadaran dari tokoh-tokoh yang melakukan kekerasan tersebut.

Di dalam skripsinya yang berjudul “Strukturasi Kekuasaan dan Kekerasan Simbolik dalam Novel Bella Donna Nova karya Naning Pranoto: Perspektif Pierre Bourdieu”, Haban (2020) mengungkapkan bahwa tujuan dari penelitian ini untuk

(21)

mendeskripsikan strukturasi kekuasaan dan mendeskripsikan kekerasan simbolik dalam novel Bella Donna Nova karya Naning Pranoto. Penelitian ini menunjukkan bahwa konflik yang diungkapkan terhadap novel Bella Donna Nova karya Naning Pranoto mencakup strukturasi kekuasaan yang mengungkap modal, habitus, arena, dan kelas pada tokoh dalam novel. Di dalam novel Bella Donna Nova karya Naning Pranoto peneliti membongkar kerakusan dan ketamakan pemerintah Brazil yang haus akan kedudukan kelas sosial yang menguntungkan mereka serta merugikan banyak orang.

Khadijah Ahmad (2021) dalam penelitiannya yang berjudul “Strukturasi Kekuasaan dan Kekerasan Simbolik dalam Novel Tempurung karya Oka Rusmini (Perspektif Pierre Bourdieu)” mengungkapkan modal, habitus, kelas, arena, dan kekerasan simbolik. Di dalam novel ini terdapat keempat modal yang pernah diungkapkan oleh Bourdieu, yaitu modal ekonomi, modal sosial, modal budaya, dan modal simbolik. Akan tetapi yang paling berpengaruh adalah modal sosial. Kelas dalam novel ini dipengaruhi oleh modal yang dimiliki oleh para tokoh dan habitus berpihak kepada tokoh yang menduduki kelas dominan. Habitus yang ada merupakan habitus sosial yang ada di masyarakat Bali dan arenanya yakni ranah sosial masyarakat Bali. Kemudian, kekerasan simbolik yang paling banyak terjadi yakni kekerasan simbolik yang dilakukan oleh para agen pemilik modal sosial seperti orang tua terhadap anaknya dan hubungan sosial lainnya.

Langobelen (2020) dalam skripsinya yang berjudul “Strukturasi Kekuasaan dan Kekerasan Simbolik Dalam Tiga Cerpen Afryantho Keyn: Perspektif Pierre Bourdieu”

mengungkapkan bahwa hasil dari penelitian ini adalah terdapat empat modal yang

(22)

mendukung kedudukan kelas dominan, terdapat beberapa tokoh yang masuk ke dalam kelas dominan, habitus yang terbentuk dalam diri tokoh merupakan pengalaman- pengalaman selama hidupnya serta lingkungannya dan dan posisi kedudukan atau status sosial. Arena yang ada di dalam cerpen ini adalah arena budaya dan arena pendidikan. Lalu ditemukan adanya kekerasan simbolik yang terjadi melalui mekanisme eufemisasi dan mekanisme sensorisasi dalam bentuk sopan santun, rasa hormat, pandangan, dan belas kasihan.

Melisha (2018) dalam skripsinya yang berjudul “Kekerasan Simbolik Orde Baru dalam Novel Pulang karya Leila S. Chudori: Perspektif Pierre Bourdieu”

menungkapkan bagaimana kekerasan simbolik dalam novel Pulang karya Leila S.

Chudiori. Tujuan penelitian ini, yaitu menganalisis dan mendeskripsikan struktur novel Pulang dan menganalisis serta mendeskripsikan jenis-jenis kekerasan simbolik.

Penelitian ini menggunakan pendekatan struktural dan paradigma milik M. H Abrams dengan pendekatan diskursif.

Hasil kajian ini menyatakan bahwa kekerasan simbolik perspektif Pierre Bourdieu meliputi (1) bahasa sebagai alat utama kekerasan simbolik, (2) mekanisme kekerasan simbolik, dan kekerasan simbolik Orde Baru. Ditemukan lima jenis kekerasan simbolik Orde Baru dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori, yaitu kekerasan simbolik terhadap organisasi PKI, terhadap ruang publik, keturunan PKI, terhadap masyarakat Tionghoa, dan terhadap eksil politik.

Dari tinjauan pustaka tersebut, dapatlah dikatakan bahwa strukturasi kekuasaan dan kekerasan simbolik telah banyak dibahas dalam berbagai pustaka. Strukturasi

(23)

kekuasaan dan kekerasan simbolik dalam novel Damar Kambang karya Muna Masyari sampai saat ini belum diteliti secara khusus. Oleh sebab itu, penelitian yang akan dilakukan memfokuskan menganalisis mengenai strukturasi kekuasaan dan kekerasan simbolik dalam novel Damar Kambang dengan perspektif Pierre Bourdieu.

1.6 Pendekatan

Unsur penentu yang akan mengarahkan dan menjadi kiblat berpikir ilmuan serta komunitasnya adalah paradigma. Dalam sebuah penelitian, paradigma sangatlah penting karena berfungsi sebagai pijakan kegiatan ilmiah. Awal mula dari penelitian ini menggunakan paradigma yang dikemukakan oleh M. H. Abrams. Ada empat jenis pendekatan yang dibagi oleh Abrams dalam kritik sastra, yaitu: pendekatan objektif merupakan pendekatan yang menitik beratkan pada karya itu sendiri, pendekatan ekspresif adalah pendekatan yang menitikberatkan pada penulis, pendekatan mimetik adalah pendekatan yang menitikberatkan semesta, dan pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang menitikberatkan pada pembaca (Taum, 2017: 3-4). Paradigma Abrams kemudian digambarkan dalam Skema 1 berikut ini (Taum, 2017: 3).

(24)

Berdasarkan skema tersebut, Abrams mengenalkan empat model pendekatan.

Pendekatan ini bersifat aksiomatis yang berpusat pada beberapa aspek, yakni: (1) realitas (univers), (2) karya (work), (3) pencipta (artist), dan (4) pembaca (audience) (Taum, 2017: 3).

Berlandaskan reposisi paradigma Abrams dalam Taum (2017: 4-6) terdapat dua pendekatan yang ditambahkan dalam pola paradigma Abrams, yaitu pendekatan ekletik dan pendekatan diskursif. Pendekatan yang menggabungkan beberapa pendekatan secara selektif untuk memahami sebuah fenomena ialah pendekatan ekletik. Diskursif sendiri merupakan pendekatan yang menitikberatkan pada teks wacana (sastra) sebagai sebuah praktik diskursif. Kedua pendekatan tersebut ditambahkan karena beranggapan ada aspek-aspek di luar teks yang dipandang sebagai konteks bagi pemahaman tekstual.

Penelitian ini kemudian menggunakan pendekatan diskursif. Pendekatan tersebut digunakan karena latar cerita novel Damar Kambang karya Muna Masyari dekat dengan situasi saat ini dan dapat dikatakan sebagai karya yang realistis. Pendekatan

PARADIGMA ABRAMS EMPAT PENDEKATAN

(25)

diskursif dapat membantu peneliti dalam memahami teks sebagai bagian dari sebuah wacana.

Kritik sastra diskursif mengacu pada teks sastra dan teks nonsastra sebagai representasi kekuasaan yang dibangun melalui praktik-praktik diskursif (Taum, 2017:

5). Teks dalam pendekatan ini dapat berdampak dan memiliki maksud tertentu. Kritik sastra diskursif ini dapat membantu memahami praktik sosial, relasi kekuasaan, dan aspek-aspek lain yang ada di balik pengetahuan maupun di sekitar teks sesuai ungkapan Taum. Penelitian diskursif terpusat pada teori-teori pascastruktural. Salah satunya adalah teori strukturasi kekuasaan oleh Pierre Bourdieu. Penelitian ini menggunakan perspektif Pierre Bourdieu dengan tujuan untuk mengungkapkan strukturasi kekuasaan dan kekerasan simbolik yang ada dalam novel Damar Kambang karya Muna Masyari.

1.7 Landasan Teori

Kajian tentang strukturasi kekuasaan dan kekerasan simbolik di dalam novel Damar Kambang karya Muna Masyari ini memerlukan adanya landasan teori yang mendasarinya. Landasan teori itu akan digunakan sebagai pedoman mengungkap aspek-aspek yang berkaitan dengan strukturasi kekuasaan dan kekerasan simbolik.

Landasan teori dalam sebuah penelitian dan menjadi dasar tumpuan seluruh pembahasaan. Di dalam penelitian ini, ada dua landasan teori yang digunakan, yakni strukturasi kekuasaan dan kekerasan simbolik dalam perspektif Pierre Bourdieu.

Pierre Bourdieu adalah seorang pakar yang mendamaikan teori objektivisme (kaum strukturalis, positivisme, dan empirisme) dengan teori subjektivisme (kaum

(26)

subjektivis, fenomenologi, dan eksistensialis). Bagi Bourdieu, oposisi kedua teori sosial itu merupakan oposisi palsu (Krisdinanto, 2014: 195). Itulah sebabnya Bourdieu mengembangkan teori strukturaisme genetik yang disebut juga sebagai Strukturalisme Konstruktivis atau konstruktivisme strukturalis. Menurutnya, di dalam setiap struktur masyarakat atau arena (field), secara objektif terdapat modal, kelas, habitus yang dapat digunakan untuk menyingkap dominasi yang selalu ada di dalam masyarakat. Oleh karena itu, perlu dikaji dan diungkap strukturasi kekuasaan tersebut. Strukturasi kekuasaan tersebut mirip dengan tradisi kajian Marxisme (Krisdinanto, 2014: 190).

Hal yang membedakan Bourdieu dengan Marxisme tradisional adalah keluarnya Bourdieu dari determinisme dominasi ekonomi. Bagi Bourdieu, di dalam praktik relasi kekuasaan, model-model dominasi tidak hanya berdimensi ekonomis sebagaimana Marx, tetapi juga dominasi budaya, politik, gender, seni, dan sebagainya dalam berbagai ranah (Krisdinanto, 2014: 190). Bourdieu mengembangkan teori relasi kekuasaan, praktik kuasa dalam konteks simbolik dengan menyodorkan konsep modal simbolik, modal kultural, modal sosial, dan modal ekonomi. Dalam kacamata Bourdieu, hubungan atau pemetaan kekuasaan di dalam masyarakat tidak berbentuk piramida atau tangga, tetapi lebih berupa konfigurasi yang berdasar kepemilikan dan komposisi modal-modal yang dimiliki (Krisdinanto, 2014: 190).

Selanjutnya akan dikemukakan kerangka teori yang berkaitan dengan strukturasi kekuasaan dan kekerasan simbolik.

(27)

1.7.1 Strukturasi Kekuasaan

Konsep dasar dalam teori milik Pierre Bourdieu adalah strukturasi kekuasaan.

Berisi mengenai konsep relasi yang menghubungkan individu satu dengan individu yang lain. Relasi tersebut kemudian membentuk pola dominasi yang dilakukan oleh salah satu pihak dan inilah yang disebut relasi kekuasaan. Pola strukturasi kekuasaan dapat diketahui melalui beberapa konsep, yaitu kapital (modal), distinction (kelas), habitus, dan arena (Bourdieu dalam Haryatmoko, 2016: 35). Konsep tersebut berperan dalam mengungkapkan praktik-praktik sosial yang terjadi dalam novel Damar Kambang karya Muna Masyari.

1.7.1.1 Modal

Dalam teori Bourdieu, modal tidak selalu berkaitan dengan materi, tetapi juga berkaitan dengan hal non materi. Fungsi modal tersebut sebagai sarana finansial seorang tokoh. Kedudukan tertinggi dalam struktur masyarakat biasanya ditempati oleh pemilik modal terbesar.

Jenis modal yang ada dapat ditukarkan dengan jenis modal lainnya. Penukaran yang paling dramatis adalah penukaran dalam bentuk simbolik karena dalam bentuk inilah modal yang berbeda memiliki presepsi dan dikenal sebagai sesuatu yang mudah dibenarkah atau disahkan. Haryatmoko (2016: 46) mengungkapkan bahwa pemetaan hubungan kekuasaan didasarkan atas kepemilikan kapital dan komposisi kapital.

Terdapat empat modal yang diungkapkan oleh Pierre Bourdieu, yaitu modal sosial, modal ekonomi, modal budaya, dan modal simbolik. Berikut ini penjelasannya.

(28)

1.7.1.1.1 Modal Ekonomi

Modal yang berkaitan dengan hal-hal materil yang biasanya memiliki nilai simbolik (harta, benda, maupun alat finansial). Menurut Haryotmoko (2016: 45), modal ekonomi merupakan sumber daya yang dapat dijadikan sebagai sarana produksi dan sarana finansial. Modal ekonomi mencakup alat-alat reproduksi yang berupa mesin, tanah, dan buruh. Kemudian terdapat materi yang terdiri dari pendapatan serta benda-benda dan uang. Pierre Bourdieu menganggap modal ekonomi suatu hal yang sangat penting sebab modal ekonomi merupakan modal yang secara langsung dapat ditukar dan dipatenkan menjadi hak milik.

1.7.1.1.2 Modal Sosial

Modal sosial berupa relasi yang dapat menghubungkan interaksi antar individu. Menurut Haryatmoko (2016: 45), modal sosial ini dimiliki pelaku dalam hubungannya dengan pihak lain yang memiliki kuasa atau kedudukan yang lebih tinggi.

1.7.1.1.3 Modal Budaya

Modal budaya biasanya berupa kebiasaan yang terjadi di masyarakat ataupun seseorang dalam bertutur kata, berpenampilan, maupun bergaul. Modal budaya bisa berupa ijazah, pengetahuan, kode budaya, cara berbicara, kemampuan menulis, cara pembawaan, dan cara bergaul yang berperan dalam penentuan kedudukan sosial (Haryatmoko, 2016: 45).

(29)

Menurut Pierre Bourdieu (dalam Martono, 2012:33), modal budaya dapat terwujud dalam tiga bentuk, yaitu: (1) dalam kondisi “menubuh”, (2) dalam kondisi terobjektifikasi, dan (3) dalam kondisi yang terlembagakan.

1.7.1.1.4 Modal Simbolik

Modal simbolik menghasilkan kekuasaan simbolik yang tersimbol melalui gelar, jabatan, dan status. Modal simbolik merupakan suatu bentuk pengakuan oleh kelompok baik secara institusional atau tidak (Haryatmoko, 2016: 45).

1.7.1.2 Kelas

Teori Bourdieu berusaha mengungkapkan atau membongkar pemetaan kedudukan kelas sosial dalam masyarakat melalui strukturasi kekuasaan yang ada. Bourdieu membagi kelas dalam tiga bagian, yaitu kelas dominan, kelas borjuis kecil, dan kelas populer (Haryatmoko, 2016: 46). Berikut ini penjelasannya.

1.7.1.2.1 Kelas Dominan

Menurut Haryotmoko (2016: 46), kelas dominan ditempati oleh pemilik modal utama dan terbesar. Hal tersebut dapat menentukan pola budaya yang akan berlaku di masyarakat. Kelas dominan dibagi menjadi tiga, yaitu kelas dominan dengan besarnya kepemilikan modal, kelas dominan dengan lebih banyaknya modal ekonomi, dan kelas yang lebih lemah.

(30)

1.7.1.2.2 Kelas Borjuis Kecil

Haryatmoko (2016: 46) mengungkapkan bahwa kelas borjuis kecil dianggap masuk ke dalam kelompok borjuis karena memiliki kesamaan sifat dengan borjuis yakni keinginan untuk menaiki tangga sosial. Kelas ini terdapat di bagian tengah- tengah dan memihak pada seseorang yang memiliki keinginan kuat untuk menaiki tangga sosial.

1.7.1.2.3 Kelas Populer

Menurut Haryatmoko (2016: 47), individu yang masuk ke dalam kelas ini nyaris tidak memiliki keempat modal yang ada, yaitu modal ekonomi, modal sosial, modal budaya, dan modal simbolik. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kelas ini ditunjukkan dengan tiadanya kepemilikan modal. Hal ini menyebabkan individu yang berada di dalam kelas ini memiliki nilai yang menyatukan mereka, yakni sejumlah praktik serta representasi yang menemukan makna dalam penerima dominasi (Haryatmoko, 2016: 47).

1.7.1.3 Habitus

Menurut Haryatmoko (2016: 41), habitus merupakan sebuah kerangka penafsiran serta berguna untuk memahami dan menilai sebuah realitas. Habitus juga sebagai penghasil praktik kehidupan yang sesuai dengan struktur objektifnya dan menjadi dasar kehidupan individu. Hasil keteraturan perilaku sangat diperhitungkan dalam pembentukan serta berfungsinya habitus. Modalitas praktiknya mengandalkan sebuah

(31)

improvisasi dan tidak pada kepatuhan terhadap sebuah aturan. Ditemukan dua gerak timbal balik, (1) pada struktur objektif yang dibatinkan dan (2) gerak subjektif yang membongkar hasil pembatinan yang berupa nilai-nilai (Haryatmoko, 2016: 42).

Pemikiran Bourdieu mengenai habitus merupakan suatu konsep yang menjelaskan mengapa seorang individu bertindak di dalam masyarakat dan lebih condong untuk memproduksi hubungan-hubungan sosial yang di dalamnya terdapat dominasi kelompok tertentu terhadap yang lainnya. Menurut Bourdieu dalam Haryatmoko (2016: 59), habitus dibagi menjadi dua, yaitu habitus individual dan habitus kelas.

Konsep ini menitik beratkan pada pernyataan kesatuan disposisi, keberlangsungannya selama hidup, dan pengaruhnya terhadap segala situasi kehidupan sehari-hari (Haryatmoko, 2016: 59).

Haryatmoko (2016: 41) juga menjelaskan bahwa habitus merupakan kebiasaan yang melekat pada sebuah masyarakat dan menjadi dasar kepribadian seorang individu.

Hal ini dapat dilihat dari prinsip atau nilai moral dalam perilaku seorang tokoh. Pola tindakan tersebut dapat menentukan kelas dalam masyarakat. Perbedaan kelas ditemukan melalui kesamaan gaya hidup, selera, dan budaya yang membentuk suatu habitus. Habitus biasanya berupa etos, yaitu nilai atau prinsip yang mendasari kehidupan sehari-hari seorang tokoh. Etos tersebut biasanya tercerminkan melalui perilaku seseorang (Haryatmoko, 2016: 42). Menurut Haryatmoko, habitus berkaitan erat dengan arena perjuangan (Haryatmoko, 2016: 43).

Di sini, habitus dapat dikatakan menghasilkan dan dihasilkan oleh individu dalam kehidupan sosialnya. Menurut Taum (2020: 8), habitus mencerminkan mengenai

(32)

pembagian objektif dalam struktur kelas, yaitu: (1) umur, (2) jenis kelamin/gender, (3) kelas sosial dalam masyarakat.

1.7.1.4 Arena

Bourdieu melihat arena sebagai tempat pertempuran atau perjuangan seorang tokoh dalam masyarakat. Arena merupakan tempat pertaruhan modal untuk mendapatkan posisi dominasi kelas yang ada. Para pemilik modallah yang menjadi kunci dalam memenangkan pertarungan. Pemilik modal haruslah memiliki strategi yang tepat agar dapat menempati posisi tertinggi. Menurut Haryatmoko (2016: 51), pemilik modal dominan biasanya akan bertahan dalam strateginya, sedangkan pemilik modal kecil akan cenderung berjuang untuk merubah posisi atau kedudukan yang baru.

Haryatmoko (2016: 50-51) menjelaskan bahwa arena perjuangan merupakan sebuah jaringan atau konfigurasi hubungan objektif antara berbagai posisi. Kemudian posisi tersebut dibatasi oleh keberadaan individu dan penentuannya dipaksakan kepada pihak yang menempati. Arena dikatakan mirip dengan pasar karena ada sebuah penghasilan dan konsumen. Penghasilan di sini merupakan individu yang memiliki kapital-kapital tertentu dan saling berhadapan. Pertarungan terletak pada akumulasi bentuk kapital yang lain memungkinkan untuk menjamin dominasi pada suatu bidang.

Kapital tidak hanya berfungsi sebagai sarana yang dimiliki oleh individu, tetapi juga sebagai sebuah tujuan.

Oleh karena itu, arena dapat dikatakan sebagai sebuah konsep dimana terjadinya pertarungan atau persaingan antara pemiliki kapital (modal) untuk mencapai tujuan

(33)

yang diinginkan. Perbedaan antara individu akan terlihat jelas apabila mereka mendapatkan banyak sumber modal karena dari modal itulah mereka dapat mendominasi individu mau pun kelompok lain (Haryatmoko, 2016: 50-51)

1.7.2 Kekerasan Simbolik

Teori tentang kekerasan simbolik merupakan cara Bourdieu mengoreksi pandangan Marx yang terlalu menonjolkan determinisme ekonomi, yakni memperhatikan hubungan-hubugan produksi ekonomi. Marx terlalu mereduksi bidang sosial hanya pada hubungan-hubungan produksi ekonomi dan mengabaikan hubungan-hubungan produksi budaya. Hal yang membedakan Bourdieu dengan Marxisme tradisional adalah keluarnya Bourdieu dari determinisme dominasi ekonomi. Bagi Bourdieu, di dalam praktik relasi kekuasaan, model-model dominasi tidak hanya berdimensi ekonomis sebagaimana Marx, tetapi juga dominasi budaya, politik, gender, seni, dan sebagainya dalam berbagai ranah (Krisdinanto, 2014: 190).

Bourdieu (dalam Martono, 2012: 40) secara bergantian menggunakan istilah symbolic volence (kekerasan simbolik), symbolic power (kuasa simbolik), dan symbolic dominance (dominasi simbolik) untuk menuju pada hal yang sama. Menurut Haryatmoko (dalam Martono, 2012: 40), kekerasan simbolik dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu eufemisme dan mekanisme sensorisasi. Pertama, eufemisme biasanya membuat kekerasan simbolik menjadi tidak tampak, tidak dapat dikenali, bekerja secara halus, dan secara tidak sadar dipilih. Kedua, mekanisme sensorisasi menjadikan kekerasan simbolik sebagai bentuk sebuah nilai yang dianggap sebagai ‘moral

(34)

kehormatan’ (kesantunan, kesucian, kedermawanan). Hal tersebut biasanya bertentangan dengan ‘moral rendah’ (kekerasan, kriminal, ketidakpantasan, asusila, kekuasaan, dan sebagainya).

Kekerasan simbolik di sini dapat diartikan juga sebagai praktik dominasi budaya maupun sosial yang keberadaannya biasanya tidak disadari oleh masyarakat itu sendiri.

Salah satu contoh dari jenis kekerasan simbolik adalah dominasi maskulin. Hal ini meliputi diskriminasi terhadap kelompok tertentu/gender/ras. Haryatmoko (2010: 131) mengatakan, fenomena kekerasan simbolik tidak disadari oleh korban sehingga membentuk pola pikir masyarakat yang menganggap hal itu wajar dan alamiah.

Bourdieu (dalam Krisdinanto, 2014: 190) mengungkapkan bahwa, strukturasi kekuasaan yang meliputi modal, kelas, habitus, dan arena digunakan untuk menyingkap beragam fenomena serta kekerasan simbolis yang dianggap biasa atau wajar di kalangan masyarakat. Pemikiran Bourdieu ini juga dianggap dapat membongkar kepentingan-kepentingan yang bersifat mendominasi di balik sebuah ideologi dan budaya (Krisdinanto, 2014: 190).

1.8 Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dan pendekatan diskursif. Penulis juga menggunakan teori Pierre Bourdieu mengenai struktur kekuasaan dan kekerasan simbolik. Pendekatan dan teori tersebut kemudian dimasukkan dalam metode penelitian yang meliputi beberapa tahap, yaitu sebagai berikut.

(35)

1.8.1 Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan data yang berasal dari dua sumber, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer diperoleh dari karya sastra yang berjudul Damar Kambang karya Muna Masyari. Sumber data sekunder merupakan sumber data penulisan yang diperoleh dari pustaka-pustaka yang berkaitan dengan kebutuhan penelitian, seperti karya sastra maupun kajian teoretis tentang karya sastra dan topik kajian penulis. Sumber data ini, biasanya juga dapat ditemukan melalu daring (internet) maupun pustaka. Metode yang digunakan untuk pengumpulan data penelitian ini dilakukan secara studi pustaka dengan teknik baca-catat. Peneliti membaca sumber data primer dan sekunder yang berkaitan dengan penelitian dan mencatat hal-hal yang terkait dengan struktur kekuasaan serta kekerasan simbolik.

1.8.2 Metode Analisis Data

Pada tahap ini, data yang sudah dikumpulkan akan dianalisis menggunakan metode analasis isi. Hal ini dilakukan untuk menemukan dan mendeskripsikan masalah- masalah yang ada dalam karya sastra, seperti isi komunikasi dalam cerita, baik secara verbal maupun non-verbal. Ratna (2004: 297-298) mengatakan, karya sastra dihasilkan melalui imajinasi dan kreativitas, sebagai hasil kontemplasi secara individual. Akan tetapi, karya sastra juga ditujukan untuk menyampaikan suatu pesan kepada orang lain, sebagai komunikasi.

Setelah dengan cermat membaca novel Damar Kambang karya Muna Masyari, penulis kemudian mengidentifikasi aspek-aspek struktur kekuasaan dan kekerasan

(36)

simbolik dengan berdasarkan teori Pierre Bourdieu. Identifikasi dilakukan dengan dasar penafsiran penulis terhadap isi pesan dalam karya sastra tersebut.

1.8.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data

Penelitian ini akan disajikan secara deskriptif kualitatif. Pendeskripsian hasil analisis dan penafsirannya dilakukan dalam bentuk kalimat-kalimat. Deskripsi dan penafsiran dari penelitian ini merupakan isi dari hasil analisis terhadap struktur kekuasaan dan kekerasan simbolik dalam novel Damar Kambang karya Muna Masyari.

1.8.4 Sumber Data

Penelitian ini memiliki sumber data dari karya sastra yang menjadi objek penelitian ini. Berikut identitas dari karya sastra tersebut.

Judul : Damar Kambang

Pengarang : Muna Masyari Tahun Terbit : 2020

Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia Jumlah Halaman : vii+ 200 hlm

(37)

1.9 Sistematika Penyajian

Sistem penyajian penelitian ini terdiri atas empat bab. Bab I berisi uraian latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat hasil penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian.

Bab II merupakan pembahasan. Dalam bagian ini akan dijelaskan mengenai struktur kekuasaan yang terdiri dari modal, kelas, habitus, arena, kekerasan, dan kekuasaan dalam novel Damar Kambang karya Muna Masyari.

Bab III juga merupakan pembahasan, tetapi dalam bagian ini akan dijelaskan mengenai kekerasan simbolik terhadap tokoh perempuan dalam novel Damar Kambang karya Muna Masyari.

Bagian IV adalah penutup. Bagian ini terdiri dari kesimpulan penelitian yang berupa deskripsi struktur kekuasaan dan bentuk kekerasan simbolik terhadap tokoh perempuan dalam novel Damar Kambang karya Muna Masyari. Kemudian, dalam penutup juga berisi saran yang ditujukan kepada peneliti lain yang hendak memperdalam kajian terhadap novel Damar Kambang karya Muna Masyari.

(38)

25 BAB II

STRUKTURASI KEKUASAAN DALAM NOVEL DAMAR KAMBANG KARYA MUNA MASYARI

2.1 Pengantar

Di dalam penelitian ini, penulis akan memaparkan strukturasi kekuasaan dalam novel Damar Kambang karya Muna Masyari. Sebagaimana yang telah disampaikan oleh Bourdieu (dalam Haryatmoko, 2016: 35) pola strukturasi kekuasaan dapat diketahui melalui beberapa konsep, yaitu kapital (modal), distinction (kelas), habitus, dan arena. Pemaparan ini bertujuan untuk meneliti lebih lanjut strukturasi kekuasaan yang terdapat dalam novel Damar Kambang karya Muna Masyari.

Data yang digunakan dalam penelitian ini akan dibatasi dan data yang diolah merupakan tokoh dan peristiwa penting sesuai dengan objek penelitian yang telah dipilih. Berikut ini pemaparan mengenai modal, kelas, habitus, dan arena.

2.2 Modal

Di dalam masyarakat, terjalin sebuah interaksi sosial yang menghasilkan hubungan dominasi antara individu maupun kelompok. Seseorang yang memiliki kuasa dan semakin tinggi modal yang dimiliki, semakin tinggi pula derajat sosialnya di mata masyarakat. Menurut Pierre Bourdieu (dalam Haryatmoko, 2016: 46) terdapat empat modal, yaitu modal sosial, modal ekonomi, modal budaya, dan modal simbolik.

(39)

2.2.1 Modal Ekonomi

Menurut Haryatmoko (2016: 46), modal ekonomi berupa sumber daya yang menjadi sarana produksi dan sarana finansial. Kepemilikan alat-alat reproduksi yang berupa tanah, buruh, dan mesin adalah salah satu modal ekonomi selain kepemilikan harta. Modal ekonomi mudah diubah atau ditukar dan dapat dialihkan menjadi bentuk modal lainnya (Haryatmoko, 2016: 45). Hal tersebut menyebabkan modal ekonomi dapat langsung ditukar dan dipatenkan menjadi hak milik individu.

Di dalam novel Damar Kambang, modal ekonomi terbesar dimiliki oleh Madlawi.

Madlawi merupakan ayah dari Chebbing dan merupakan seorang pengusaha. Berikut ini beberapa kutipan dan penjelasan mengenai modal ekonomi milik Madlawi.

(1) Sementara Madlawi dikenal sebagai pengusaha genting terbesar di Karang Penang. Selain memiliki lahan material genting yang cukup luas, dia mempekerjakan kurang lebih 20 orang dengan tugas berbeda-beda (Masyari, 2020: 28).

(2) Madlawi memang tidak tertarik membangun rumah mewah maupun berpenampilan wah. Dia hanya punya dua rumah sederhana dan sebuah langgar yang tidak terlalu besar. Bahkan daripada rumah dan langgarnya, tempat untuk reproduksi genting-gentingnya justru dua kali lebih besar (Masyari, 2020: 28).

Pada bagian ini, ditunjukkan bahwa Madlawi merupakan seorang pengusaha yang cukup berpengaruh di daerahnya. Kutipan (1) dan (2) memperlihatkan Madlawi yang merupakan seorang pengusaha genting terbesar di Karang Penang dan memiliki tempat reproduksi genting yang sangat besar.

Selain itu, kutipan berikut ini juga menunjukkan kepemilikian barang atau benda yang dimiliki oleh Madlawi sebagai bentuk modal ekonomi yang ia miliki. Berikut ini kutipan dan penjelasannya.

(40)

(3) Namun, jangan ditanya berapa ladang tanah dan ekor sapi yang dipeliharakan tetangga dan kerabat (Masyari, 2020: 29).

(4) Bukan hanya itu, Madlawi berencana memberangkatkan Ke Bulla beserta istrinya ke tanah suci, bersama keluarga Madlawi sendiri. Biaya pesta keberangkatan hingga kepulangan ditanggung penuh dan tentu menghabiskan duit tak sedikit. Bahkan, jauh lebih besar dari ongkos naik haji itu sendiri (Masyari, 2020: 29).

Kutipan (3) menunjukkan bahwa Madlawi memiliki sejumlah tanah dan peliharan, yaitu sapi yang dipeliharakan oleh tetangganya. Pada kutipan (4), ditunjukkan bahwa Madlawi mampu memberangkatkan keluarga Ke Bulla dan keluarganya sendiri ke tanah suci dan membiayai pesta keberangkatan hingga kepulangan dari tanah suci. Hal tersebut membuktikan kepemilikan modal ekonomi Madlawi dapat membantu orang lain.

Pihak lain yang memiliki modal ekonomi adalah keluarga Ji Bahrawi. Ji Bahrawi merupakan ayah dari Kacong dan merupakan salah satu orang kaya di daerahnya. Akan tetapi, terjadi sebuah kesalahpahaman ketika keluarga Ji Bahrawi datang ke rumah Madlawi untuk menikahkan putranya dengan Chebbing. Berikut ini dapat dilihat konflik antara keluarga Chebbing dengan Ji Bahrawi.

(5) “Ini namanya penghinaan! Kami bukannya tidak mampu membawa hantaran semacam itu! Sampean-sampean ini tidak pernah bilang!” Ji Bahrawi, calon mertua Chebbing, mendelik berang (Masyari, 2020: 43).

(6) “Membeli rumah kalian pun kami mampu!” timpal yang lain (Masyari, 2020:

43).

(7) Sebagai pengusaha tembakau, suamiku memang tidak kesulitan dana. Tiga ekor sapi disembelih dua hari lalu. Yang seekor khusus dibuat sate untuk jamuan tamu undangan. Suamiku sengaja mengundang lima pelayan khusus untuk menyate. Empat lelaki dan satu perempuan. Hampir semalaman mereka menyelesaikan pekerjaannya (Masyari, 2020: 52).

(41)

Pada kutipan (5) keluarga Chebbing dikatakan menghina keluarga Ji Bahrawi karena menolak lamaran keluarga Ji Bahrawi. Hal itu terjadi karena keluarga Ji Bahrawi tidak membawa hantaran sesuai dengan keinginan keluarga Chebbing dan tradisi yang ada di daerah keluarga Madlawi. Pernyataan pada kutipan (6) dan (7) menunjukkan bahwa keluarga Ji Bahrawi sebenarnya juga mampu secara ekonomi dan Ji Bahrawi merupakan seorang pengusaha. Dari kutipan tersebut dapat dikatakan bahwa hal ini menjadi salah satu pemicu pertarungan di arena dalam novel Damar Kambang karya Muna Masyari.

Di sisi lain Marinten dan suaminya (Nom Samukrah) merupakan pihak yang memiliki modal ekonomi cukup. Awalnya, mereka memiliki beberapa petak tambak, rumah, dan hewan ternak. Akan tetapi, karena suami Marinten, Nom Samukrah yang suka bertaruh di arena gubeng (tempat perlombaan karapan sapi) membuat kehidupan mereka tidak menentu. Sampai pada saat dimana keadaan semakin pelik dan Marinten tidak sengaja menjadi bahan taruhannya. Berikut ini kutipan yang menunjukkan hal tersebut.

(8) “Untuk sementara tak perlu kau pergi ketambak. Tambak kita sudah dimiliki orang.” Dia mengatakannya seringan melempar punting rokok ke halaman. Tak ada beban. Tak ada rasa kehilangan (Masyari, 2020: 2).

(9) Itu kekalahan terakhir yang dia alami. Tambak garam kembali ke tangan suamiku dua tahun setelahnya. Rumor yang kudengar dari teman sesama belater, suamiku berguru ke pemilik ilmu ganjil tak terkalahkan yang mampu membuat sapi karapan jagoan lawan tak mau berjalan, berontak gelisah seperti kesurupan (Masyari, 2020: 3).

(42)

(10) Setiap pulang dari arena gubeng, suamiku selalu membawa hasil taruhan.

Kadang sejumlah uang, sepeda motor, surat tanah, kipas angin, televisi, radio, dan semacamnya. Tahun lalu dia pulang dibuntuti mobil pikap mengangkut sepasang sapi di bak mobil, dan televisi 20 inci di jok depan. Selain suamiku, baru tengkulak garam yang punya televisi sebesar itu, yang dibelinya setelah listrik masuk desa, dan siang-malam tak henti dikerumuni warga. Pernah setiap Minggu aku ikut menonton Album Minggu Kita di sana, acara musik yang paling digemari warga, terutama ketika tampil pedangdut Itje Trisnawati yang jelita (Masyari, 2020: 3-4).

Pada kutipan (8), (9), dan (10) menjelaskan bagaimana suami Marinten suka bertaruh di medan karapan sapi. Selama pertaruhan tersebut, kehidupan keluarga Marinten tidak menentu karena apabila suaminya kalah dalam taruhan maka kepemilikan alat-alat produksi yang ditaruhkan akan diambil oleh orang lain. Akan tetapi, apabila suaminya itu memenangkan taruhan, seperti yang sudah ditunjukkan pada kutipan (10) maka keluarga Marinten dapat menikmati apa yang didapatkan.

Berikut ini menunjukkan jatuhnya keluarga Marinten akibat Nom Samukrah kalah dalam taruhan karapan sapi. Nom Samukrah yang awalnya memiliki modal ekonomi yang cukup menjadi tidak memiliki modal apapun, termasuk kehilangan istrinya, Marinten.

(11) “Sampean dengarkan saya, dia sudah mempertaruhkan rumah ini beserta seluruh isinya, dan kalah! Saya mengalahkannya!” Si Buntung mengelilingi suamiku dengan langkah pelan.

“Sampean salah satu isi rumah ini, taiye? Jadi, mulai sekarang sampean ini bukan miliknya lagi! Tapi milik saya!” Dia berhenti didekatku dengan mulut didekatkan ke telinga, lalu tertawa penuh kemenangan hingga cuping hidungnya semakin mekar. Sebelah tangannya yang masih utuh dia rentangkan (Masyari, 2020: 8).

(12) “Sekarang kau berhak atas rumah ini beserta isinya!” Setelah berkata demikian pada Si Buntung, dia melangkah keluar tanpa menoleh lagi (Masyari, 2020: 9).

(43)

Kutipan (11) dan (12) menjelaskan situasi rumah yang ternyata dijadikan bahan taruhan dan Marinten juga ikut terseret dalam hal tersebut. Pada kutipan (11) ditunjukkan bahwa Nom Samukrah telah mempertaruhkan rumah beserta seluruh isinya, termasuk Marinten. Kutipan (12) Dari lima kutipan di atas dapat disimpulkan bagaimana situasi ekonomi keluarga Marinten yang pada akhirnya tidak memiliki modal sama sekali dan pasrah akan keadaan.

Tokoh yang memiliki modal ekonomi rendah lainnya adalah keluarga Musahrah.

Musahrah merupakan salah satu orang yang pernah melamar Chebbing untuk anak lelakinya. Akan tetapi, Madlawi menolak lamaran tersebut karena menurut Madlawi, Musahrah tidak dapat memberikan apa-apa pada keluarganya. Hal ini tampak dalam kutipan (13) dan (14).

(13) Bukan rahasia lagi, Musahrah pernah melamar Chebbing untuk anak lelakinya, tetapi ditampik oleh Madlawi. Apa yang bisa diberikan keluarga Musahrah untuknya? Pekerjaan Mussahrah hanya ikut mobil pengangkut kayu bakar. Mengangkutnya dari rumah penjual ke mobil. Dari mobil ke depan tungku-tungku genting. Upahnya hanya sekadar cukup untuk makan.

Memondokkan anak lelaki satu-satunya saja Musahrah tidak mampu, dan memilih mengaturkan anaknya pada kiai agar jadi santri abdi. Hampir lima belas tahun anak Musahrah mengabdi di kediaman sang kiai (Masyari, 2020:

27-28).

(14) Rupanya Musahrah tak ingin menanggung malu lebih besar gara-gara lamarannya ditolak. Dia pun segera melamarkan seorang perawan desa sebelah, dan pernikahan anaknya digelar cukup meriah. Ke rumah pengantin wanita, keluarga Musahrah membawa hantaran rumah kayu beserta perabot yang terbuat dari kayu ukir, dipesan khusus dari Desa Karduluk. Kabarnya, sekian juta rupiah dihabiskan untuk hantaran itu. Semuanya ditanggung sang kiai (Mayari, 2020: 29).

Pada kutipan (13) ditunjukkan bahwa Musahrah memiliki modal yang kurang sehingga mengakibatkan ditolak oleh keluarga Madlawi. Ia yang upahnya hanya cukup

(44)

untuk makan dan tidak dapat memondokkan anak lelakinya. Hal tersebut membuat Musahrah berusaha untuk menghidupi anaknya dengan cara memberikan anaknya pada kiai agar dapat menjadi santri abdi. Kutipan (14) menunjukkan Musahrah yang berusaha agar memiliki ekonomi lebih baik dan menutup rasa malunya dari penolakan keluarga Madlawi dengan cara menikahkan anaknya dengan gadis desa sebelah atas bantuan sang kiai. Hal ini merupakan salah satu konflik dalam modal ekonomi.

Dari pembahasan mengenai modal ekonomi, dapat disimpulkan bahwa Madlawi memiliki modal ekonomi yang paling besar. Tokoh lain yang memiliki ekonomi besar adalah Ji Bahrawi. Kemudian terdapat Musahrah yang memiliki modal ekonomi rendah, tetapi berusaha untuk mencukupi kebutuhannya. Terakhir, ada keluarga Marinten yang awalnya memiliki modal ekonomi cukup, namun berakhir tidak memiliki apapun. Tingkat kepemilikan modal ekonomi Marinten menjadi patokan untuk menentukan perkiraan kemampuan modal ekonomi tokoh-tokoh lainnya.

Ketidakmampuan ekonomi menjadi motif berbagai tindakan yang mereka lakukan.

Madlawi, Ji Bahrawi, dan Musahrah memiliki modal ekonomi yang lebih besar dibandingkan Marinten.

2.2.2 Modal Sosial

Menurut Bourdieu (dalam Haryatmoko 2016:45), modal sosial berupa jaringan hubungan sebagai sumber daya untuk menentukan kedudukan sosial. Modal sosial dapat diartikan menjadi hubungan sosial yang dimiliki seseorang dan menguntungkan.

Modal sosial meliputi jaringan, hubungan bisnis, dan hubungan sosial dalam

(45)

masyarakat (Ningtyas, 2015). Kapital sosial yang dimiliki seseorang bergantung pada kegiatan sosial di dalam masyarakat, seperti mengikuti pertemuan, pesta, dan undangan acara.

Di dalam novel Damar Kambang, ditemukan modal sosial, yaitu berupa hubungan Madlawi dan Ke Bulla. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan (4). Ke Bulla yang merupakan kiai paling berpengaruh di kampung merupakan seseorang yang telah membantu Madlawi selama ini. Keluarga Madlawi juga sering membantu di tempat Ke Bulla. Secara tidak langsung, dapat dikatakan Madlawi maupun Ke Bulla mendapatkan manfaat dari relasi tersebut. Kutipan lainnya mengenai relasi antara Ke Bulla dengan Madlawi sebagai berikut.

(15) Menurut cerita Ibu, sejak kecil Ayah sudah menjadi santri abdi pada keluarga Ke Bulla. Sejak kiai sepuh masih ada. Apa pun perintah keluarga junjungan dilaksanakan dengan patuh. Mulai dari mencuci pakaian, mencari kayu bakar, mengurus ternak, membetulkan genting bocor, belanja ke pasar, dan semacamnya (Masyari, 2020: 113).

Bentuk kepemilikan modal sosial yang juga ada dalam novel Damar Kambang adalah lingkungan Chebbing yang dekat dengan Ke Bulla dan istri pertamanya.

Chebbing adalah anak dari Madlawi. Ia sering membantu di rumah Ke Bulla dan mendapatkan perlakuan istimewa dibandingkan dengan santri lainnya. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan (16) dan (17) berikut ini.

(16) Aku yang sewaktu kecil selalu Nyai perlakukan lebih istimewa daripada santri lain. Seturun dari langgar, Nyai pernah memintaku membawakan sajadah ke kediamannya, lalu pulangnya dikasih kue kering. Sementara yang lain ditugaskan menggulung tikar, merapikan susunan Alquran, menimba air di sumur untuk mengisi bak mandi (Masyari, 2020: 133).

(46)

(17) Setiap Jumat pagi, ketika santri lain ditugaskan menyapu, mencabut rumput di halaman, membabat tanaman liar di sekitar pagar, aku hanya diminta mencari kutu dan mencabuti uban-uban ikal di kepala beliau. Kadang diminta melipat baju atau menjahit kancing yang lepas. Setiap menjelang lebaran aku dibelikan baju dan kerudung baru (Masyari, 2020: 134).

Relasi yang dimiliki keluarga Chebbing ini berujung dengan Ke Bulla yang menikahi Chebbing dengan alasan untuk menyembuhkannya dari guna-guna.

Ayahnya, Madlawi meminta bantuan Ke Bulla untuk menyembuhkan Chebbing dan Ke Bulla langsung memberikan bantuan. Berikut kutipan dan penjelasannya.

(18) “Beliau… beliau akan menikahimu.”

“Apa? Menikahiku? Aku tidak mau!” Kuletakkan sejumput kapas dengan kasar.

“Kenapa tidak? Ini demi kesembuhanmu!”

“Aku tidak mau!” (Masyari, 2020: 109).

(18) Tidak seperti Ayah yang suka menegur keras ketika aku melakukan kesalahan, Ke Bulla kerap tersenyum, mengusap-usap ubun-ubunku, lalu menjelaskan bahwa itu tidak baik kulakukan. Dari kantong bajunya beliau juga sering mengeluarkan uang untukku (Masyari, 2020:113).

Pada kutipan (18) terlihat bahwa orangtua Chebbing memaksa Chebbing untuk menikah dengan Ke Bulla karena Chebbing mengalami kejadian yang kurang mengenakkan. Chebbing diguna-guna hingga oleh ayahnya ia dipasung. Banyak sekali dukun yang datang ke rumah Chebbing, tetapi tidak dapat menyembuhkannya.

Kemudian Madlawi, ayah Chebbing meminta bantuan pada Ke Bulla dan menikahkan Chebbing supaya sembuh. Kutipan (19) menunjukkan perlakuan Ke Bulla terhadap Chebbing. Setelah menikah dengan Ke Bulla, Chebbing terlihat normal kembali dan kehidupannya lebih baik. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa modal sosial berupa jaringan relasi ini memberikan manfaat pada tokoh atau pelaku.

(47)

2.2.3 Modal Budaya

Menurut Bourdieu (dalam Haryatmoko 2016: 45), modal budaya meliputi ijazah, pengetahuan, kode budaya, kemampuan menulis, cara pembawaan, cara bergaul, dan cara berbicara merupakan penentuan kedudukan sosial di masyarakat. Modal budaya dapat terwujud dalam tiga bentuk, yaitu dalam kondisi “menubuh”, dalam kondisi terobjektifikasi, dan dalam kondisi yang terlembagakan (Bourdieu dalam Martono, 2012: 33). Di dalam novel Damar Kambang terdapat dua bentuk modal budaya, yaitu dalam kondisi “menubuh” dan dalam kondisi terobjektifikasi. Berikut ini pemaparannya.

2.2.3.1. Modal Budaya dalam Kondisi “Menubuh”

Modal budaya dalam kondisi “menubuh” berupa pandangan dan pikiran yang dihargai dalam suatu tempat. Modal budaya ini terbentuk melalui sebuah proses

“penubuhan” dan internalisasi yang membutuhkan waktu agar dapat menyatu dengan habitus dari seorang individu (Bourdieu dalam Martono, 2012: 33). Di dalam novel Damar Kambang terdapat seorang tokoh yang memiliki modal budaya ini. Berikut ini pemaparannya.

Tokoh Madlawi memiliki modal budaya dalam kondisi “menubuh”. Saat akan menikahkan Chebbing, anaknya, ia sangat menjalankan adat istiadat yang berlaku sesuai dengan latar belakang budaya Madura yang kental di daerahnya. Misalnya mengenai hantaran pernikahan, seperti kutipan berikut ini.

(48)

(20) Tradisi mokka’ blabar merupakan acara yang paling ditunggu, terutama oleh anak-anak dan ibu-ibu. Acara itu menentukan apakah pengantin pria berhasil memasuki halaman rumah pengantin perempuan atau terhenti di depan pintu pagar dan kembali pulang tanpa menjalani akad pernikahan. Dua keluarga pengantin mengutus seorang penembang dan kecakapan keduanya harus bisa diandalkan. Nasib dua mempelai dipertaruhkan. Acara mokka’ blabar penuh ketegangan, tantangan, sekaligus jadi tontonan mengasyikkan (Masyari, 2020:19).

(21) “Aku tidak mempermasalahkan perbedaan tradisi di sana, asal mereka mengikuti tradisi pernikahan di sini! Kalau tidak, jangan pernah berniat mengawini Chebbing!” tegas Madlawi (Mayari, 2020:25).

(22) “Kau sendiri tahu, dengan sejumlah hantaran, mempelai wanita akan terlihat lebih berharga. Semakin mahal harga hantaran yang dibawa mempelai pria, semakin tinggilah harga mempelai wanita! Berapa harga anakku jika hanya dibawakan kue dan bantal-tikar?” (Masyari, 2020:26).

Kutipan (20) menunjukkan bahwa dalam budaya Madura terdapat tradisi mokka’

blabar yang merupakan tradisi turun-menurun di dalam masyarakat Madura.

Kemudian tradisi itu dilakukan oleh keluarga Chebbing saat akan menikahkan

Chebbing dengan Kacong. Pada kutipan (21) terlihat bahwa Madlawi (ayah Chebbing)

berusaha menggagalkan pernikahan Chebbing karena keluarga dari Kacong tidak

mengikuti tradisi yang ada di daerah milik Chebbing. Kutipan di atas juga menjelaskan

bahwa setiap daerah memiliki tradisi yang berbeda dan seseorang yang menikah

haruslah mengikuti aturan atau tradisi yang ada. Pada kutipan (22) dijelaskan bahwa

dalam tradisi pernikahan di Madura masihlah memandang hantaran sebagai tolak ukur

Referensi

Dokumen terkait

Ketiga seniman itu setidaknya memiliki modal ekonomi yang lebih baik walaupun mereka mengukur keberhasilannya dengan karya yang mereka miliki namun kepemilikan

Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan dan menganalisis habitus, modal, arena, dan kelas dalam Novel Pengakuan Eks Parasit Lajang, sebagai unsur untuk mengungkap

Doksa yang terjadi pada naskah drama Persimpangan terjadi pada dialog- dialog yang diutarakan oleh tokoh C pada babak I yang mempercayai papan persimpangan sebagai