• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.6 Rangkuman

3.1.2 Kekerasan Simbolik Mekanisme Sensorisasi

Mekanisme sensorisasi membuat kekerasan simbolik sebagai bentuk sebuah nilai yang dianggap sebagai “moral kehormatan” (kesantunan, kesucian, kedermawanan, dan sebagainya). Hal tersebut biasanya bertentangan dengan ‘moral rendah’

(kekerasan, kriminal, ketidakpantasan, asusila, kekuasaan, dan sebagainya). Kekerasan

simbolik mekanisme sensorisasi yang terdapat dalam novel Damar Kambang adalah budaya, kekerasan, dan persaingan. Berikut ini kutipan yang menunjukkan adanya kekerasan simbolik mekanisme sensorisasi bentuk kekerasan simbolik yang berujung pada kekerasan fisik dalam novel Damar Kambang karya Muna Masyari.

(96) Tanpa banyak mengumpat lagi, Ayah menyeretku turun dari mobil. Bilah kayu sebesar dan sepanjang lengannya dipukulkan ke betisku berkali-kali. Ibu menjerit dan mencoba menghentikan Ayah. Aku hanya meringis kesakitan.

Kadang mengaduh tertahan. Tanpa tangis. Tanpa minta ampun (Masyari, 2020:97).

(97) Pemasunganmu menjadi titik awal kelahiranku kembali di kehidupanmu, setelah sempat gugur sebelum lahir sempurna.

Teriakanmu yang mirip orang kesurupan pada malam ketujuh sejak pemasungan membuat ayahmu membanting rokok yang baru disulutnya.

Sebagaimana jika sedang marah atau kesal, cuping hidungnya mekar dan urat di lehernya mencuat. Mengular.

“Sumpal mulut anakmu agar tidak terdengar tetangga!” bentaknya pada ibumu (Masyari, 2020:106).

Pada kutipan (96) dan (97) Chebbing yang gagal menikah dengan Kacong karena masalah hantaran nekat pergi ke rumah Kacong karena telah diguna-guna (magis) oleh keluarga Kacong dengan bantuan Nom Samukrah. Madlawi yang mengetahui peristiwa itu langsung mencari Chebbing dan menyeretnya untuk pulang. Hal tersebut menunjukkan adanya perilaku kekerasan secara fisik. Tidak hanya itu saja, Chebbing dipasung oleh Madlawi karena dianggap gila. Madlawi yang sudah tidak tahan melihat anaknya seperti itu lalu meminta pertolongan Ke Bulla. Atas kesepakatan Madlawi dan Ke Bulla, akhirnya dengan alasan “kesembuhan” Chebbing, Madlawi menikahkan

Chebbing dengan Ke Bulla secara paksa. Lagi-lagi, Chebbing mengalami kekerasan akibat keputusan-keputusan sepihak orangtuanya.

Kekerasan simbolik yang berujung dengan kekerasan fisik juga dialami oleh Ibu Kacong. Ia diperkosa oleh Sakrah, kakak dari suaminya (Ji Bahrawi) dan menyembunyikan itu dari keluarganya untuk mempertahankan keutuhan keluarga.

Akan tetapi, semuanya berubah ketika istri dari Sakrah (Buk Sum) mengetahui peristiwa itu. Hal tersebut ditunjukkan dalam kutipan berikut ini.

(98) Kesadaranku berangsur pulih ketika tubuhku mendapatkan balasan dekapan yang lebih erat dan sebuah tangan mengusap kulit punggungku. Meraba bokongku. Sontak aku menggeliat, hendak berontak, tetapi dekapannya semakin kuat.

“Lepaskan!”

Kembali aku berusaha berontak lepas, tetapi tak bisa berkutik. Tubuh kekarnya mendorongku perlahan hingga membentur dinding. Kamar remang seakan menyempit. Tubuhku terhimpit (Masyari, 2020:137).

(99) Melihat kebekukan di wajah Buk Sum, menangkap luka di matanya, membuatku bagai kucing ketahuan mencuri ikan. Buk Sum sudah dimadu karena memang tidak bisa memberikan keturunan, ditambah saudara duainya menikam dari belakang.

Tak sanggup berada di sana lebih lama lagi, aku berlari pulang dengan hati remuk. Hancur sudah keutuhan keluarga yang selama ini kujaga. Entah bagaimana nanti setelah suamiku mendengar semuanya. Dan Kacong?

(Masyari, 2020:167).

Kutipan (98) menunjukkan bahwa Ibu Kacong diperkosa oleh Sakrah. Ibu Kacong berusaha memberontak, tetapi tidak dapat mengalahkan kekuatan yang dimiliki oleh Sakrah. Kemudian pada kutipan (99) terlihat istri Sakrah, Buk Sum, mengetahui bahwa Kacong merupakan anak dari suaminya dengan Ibu Kacong. Perilaku tersebut terjadi akibat kekuasaan yang dimiliki oleh Sakrah dan dominasinya terhadap perempuan atau individu yang kelasnya lebih rendah.

Di dalam novel Damar Kambang juga terdapat kekerasan simbolik mekanisme sensorisasi dalam bentuk budaya. Berikut ini kutipannya.

(100) “Kalau pohon pisang berbuah sekali, apa berarti cukup punya anak satu?”

“Do, addo, kau ini! Punya anak, ya, harus banyak. Rugi kalau cuma punya anak satu! Nanti kalau menikah dan dibawa orang, kau ini tidak kebagian.

Pisang itu memang berbuah sekali, tapi satu tandan terdiri dari beberapa sisir.

Satu sisir terdiri dari beberapa buah.”

“Kalau seperti pohon pisang, dalam satu tandan bisa berisi puluhan buah, apakah punya anak juga harus puluhan?” Mata beningku membulat lebar.

Perias tertawa. “Tentu tidak harus puluhan, taiye. Setidaknya jangan Cuma satu anak!” (Mayari, 2020:36).

Kutipan (100) menunjukkan bahwa perempuan yang telah menikah haruslah memiliki anak yang banyak. Perempuan disamakan dengan pohon pisang atas dasar lambang pernikahan, yaitu damar kambang yang salah satu bahannya terbuat dari pelepah pohon pisang. Di sini Chebbing diharapkan memiliki banyak anak sebagai modal yang akan ia miliki.

Kemudian terdapat pula kekerasan simbolik mekanisme sensorisasi dalam bentuk persaingan dalam novel Damar Kambang. Berikut ini kutipan dan penjelasannya.

(101) Sebenarnya, pada saat-saat seperti itulah kau tak lebih dari sapi karapan yang berada dalam pengaruh dua kekuatan. Di luar kekuatanmu sendiri, keduanya saling hendak menaklukkan untuk meraih kemenangan (Masyari, 2020:194).

(102) Sekarang kau bukan sekadar boneka tanah liat. Kau tak ubahnya sapi karapan yang dipelihara, dirawat, diminumi jamu, dipijiti, untuk akhirnya digiring ke gelanggang karapan (Masyari, 2020:126).

(103) Ada kekuatan silih berganti mempengaruhi, di luar kendalimu sendiri, sebagaimana adu kekuatan petaruh dalam arena gubeng.

Satu kekuatan berasal dari pihak Kacong. Dia dan oba’-nya Sakrah, sekarang sedang menemui dukun andalannya di Bluto sana, sedang mempersoalkan kekuatan mereka yang mendapat hambatan (Masyari, 2020:126).

Kutipan (101), (102), dan (103) menunjukkan persaingan antara pihak Kacong dan Ke Bulla untuk mendapatkan Chebbing. Persaingan itu melalui hal-hal metafisika yang berbentuk guna-guna, di mana Chebbing dipengaruhi oleh angin kiriman sehingga membuat Chebbing menjadi tertindas, direndahkan, dan disiksa oleh pihak yang mendominasi, yaitu Madlawi, Ke Bulla, Kacong, Sakrah, dan Nom Samukrah.

Kekerasan simbolik mekanisme sensorisasi membuat sebuah nilai moral yang wajar menjadi sebuah kekerasan atas alasan yang mendukung hal tersebut. Budaya, kepercayaan, dan bersaing di dalam masyarakat merupakan suatu hal yang wajar dan pastinya ada. Akan tetapi, alasan yang mendasari tersebut menyebabkannya menjadi sebuah kekerasan simbolik.

Berdasarkan pemaparan di atas, kekerasan simbolik yang berada dalam novel Damar Kambang karya Muna Masyari dapat dipahami dengan tabel berikut ini.

Tabel 5. Kekerasan Simbolik dalam Novel Damar Kambang Karya Muna Masyari

No.

Kekerasan Simbolik

Kekerasan Bentuk Tokoh Keterangan

1. Eufemisme Kewajiban Madlawi Madlawi yang merupakan seorang kepala keluarga dan ayah dari Chebbing memiliki kewajiban untuk menikahkan anak perempuannya.

Chebbing Chebbing yang baru berusia belasan tahun harus memenuhi kewajiban dari ayahnya, yaitu menikah dengan orang yang tidak dikenalnya.

Pemberian Ke Bulla Ke Bulla memberi Chebbing berupa perlakuan dan barang.

Chebbing Chebbing menerima apa yang diberikan oleh Ke Bulla dan pasrah atas apa yang terjadi.

2. Mekanisme Sensorisasi

Kekerasan fisik

Chebbing Korban kekerasan simbolik (kewajiban dan pemberian) yang dilakukan oleh Madlawi, ayahnya, yang berujung mengalami kekerasan fisik.

Ibu Kacong

Korban kekerasan simbolik yang dilakukan oleh Sakrah. Ibu Kacong diperkosa.

Budaya Chebbing Chebbing yang akan menikah diharapkan dapat cepat memiliki banyak anak dan diibaratkan sebagai pohon pisang.

Persaingan Kacong Ingin mendapatkan Chebbing dengan kekuatan metafisika (guna-guna) yang dikmiliki oleh Nom Samukrah.

Ke Bulla Membantu keluarga Chebbing supaya dapat menghilangkan “angin kiriman”

yang dikirim oleh Nom Samukrah

3.2 Rangkuman

Penelitian mengenai kekerasan simbolik yang terdiri atas kekerasan simbolik eufemisme dan kekerasan simbolik mekanisme sensorisasi dalam novel Damar Kambang karya Muna Masyari (2020) menemukan adanya jenis-jenis kekerasan simbolik yang terjadi pada tokoh perempuannya. Pertama, dalam kekerasan simbolik eufemisme terdapat dua jenis kekerasan simbolik, yaitu: (i) kewajiban dan (ii)

pemberian. Kedua, ditemukan tiga jenis kekerasan simbolik mekanisme sensorisasi, yaitu: (i) kekerasan fisik, (ii) budaya, dan (iii) persaingan. Hal ini tidak terlepas dari adanya kegiatan metafisika yang berbentuk guna-guna (magis) sehingga kekerasan simbolik tersebut tidak disadari oleh individu yang mengalaminya.

Didasarkan pada penjelasan mengenai kekerasan simbolik yang terjadi pada novel Damar Kambang karya Muna Masyari terdapat kekerasan simbolik yang dilakukan oleh tokoh Madlawi, Ke Bulla, Kacong, dan Sakrah. Kekerasan simbolik yang dilakukan oleh Madlawi dan Ke Bulla terhadap Chebbing merupakan kekerasan simbolik eufemisme. Kekerasan simbolik tersebut menjadi tidak tampak, bekerja secara halus, tidak dapat dikenali, dan dapat dipilih secara “tidak sadar”. Kekerasan simbolik yang dilakukan oleh Madlawi dan Ke Bulla merupakan suatu tindakan yang dilakukan secara sadar. Madlawi yang merupakan ayah dari Chebbing melakukan hal tersebut secara sadar sebagai kewajibannya sebagai orangtua dan Ke Bulla melakukan tindakan itu atas dasar kesadarannya sebagai seorang laki-laki normal. Hal ini membuat Chebbing sebagai korban dari kekerasan simbolik eufemisme.

Kekerasan simbolik mekanisme sensorisasi membuat kekerasan simbolik tampak sebagai bentuk usaha pelestarian nilai yang dianggap sebagai “moral kehormatan”. Di dalam novel Damar Kambang didapati kekerasan simbolik mekanisme sensorisasi yang terjadi, yaitu kekerasan secara fisik, budaya, dan persaingan. Hal tersebut dilakukan oleh Madlawi, Ke Bulla, Sakrah, Kacong, dan Nom Samukrah.

Madlawi yang melakukan kekerasan simbolik berupa kewajiban atas pernikahan Chebbing dan berujung melakukan kekerasan fisik. Kemudian Sakrah yang ingin mendapatkan anak dengan melakukan kekerasan simbolik terhadap Ibu Kacong berujung melakukan fisik, yaitu pemerkosaan. Selanjutnya terdapat persaingan antara keluarga Madlawi yang dibantu Ke Bulla dengan Kacong dan Sakrah yang dibantu oleh Nom Samukrah untuk mempertahankan Chebbing. Mereka yang mencoba untuk mempertahankan Chebbing membuat tindakan yang melukai Chebbing.

Dari pernyataan di atas, dapat dikatakan penelitian ini bertujuan untuk membongkar jenis-jenis kekerasan simbolik yang telah terjadi akibat adanya strukturasi kekuasaan yang terdiri atas modal, kelas, habitus, dan arena yang sudah dibahas pada bab sebelumnya dalam novel Damar Kambang karya Muna Masyari.

85 BAB IV PENUTUP

Dokumen terkait