• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1 Pengantar

2.2.3 Modal Budaya

2.2.3.1. Modal Budaya dalam Kondisi “Menubuh”

Modal budaya dalam kondisi “menubuh” berupa pandangan dan pikiran yang dihargai dalam suatu tempat. Modal budaya ini terbentuk melalui sebuah proses

“penubuhan” dan internalisasi yang membutuhkan waktu agar dapat menyatu dengan habitus dari seorang individu (Bourdieu dalam Martono, 2012: 33). Di dalam novel Damar Kambang terdapat seorang tokoh yang memiliki modal budaya ini. Berikut ini pemaparannya.

Tokoh Madlawi memiliki modal budaya dalam kondisi “menubuh”. Saat akan menikahkan Chebbing, anaknya, ia sangat menjalankan adat istiadat yang berlaku sesuai dengan latar belakang budaya Madura yang kental di daerahnya. Misalnya mengenai hantaran pernikahan, seperti kutipan berikut ini.

(20) Tradisi mokka’ blabar merupakan acara yang paling ditunggu, terutama oleh anak-anak dan ibu-ibu. Acara itu menentukan apakah pengantin pria berhasil memasuki halaman rumah pengantin perempuan atau terhenti di depan pintu pagar dan kembali pulang tanpa menjalani akad pernikahan. Dua keluarga pengantin mengutus seorang penembang dan kecakapan keduanya harus bisa diandalkan. Nasib dua mempelai dipertaruhkan. Acara mokka’ blabar penuh ketegangan, tantangan, sekaligus jadi tontonan mengasyikkan (Masyari, 2020:19).

(21) “Aku tidak mempermasalahkan perbedaan tradisi di sana, asal mereka mengikuti tradisi pernikahan di sini! Kalau tidak, jangan pernah berniat mengawini Chebbing!” tegas Madlawi (Mayari, 2020:25).

(22) “Kau sendiri tahu, dengan sejumlah hantaran, mempelai wanita akan terlihat lebih berharga. Semakin mahal harga hantaran yang dibawa mempelai pria, semakin tinggilah harga mempelai wanita! Berapa harga anakku jika hanya dibawakan kue dan bantal-tikar?” (Masyari, 2020:26).

Kutipan (20) menunjukkan bahwa dalam budaya Madura terdapat tradisi mokka’

blabar yang merupakan tradisi turun-menurun di dalam masyarakat Madura.

Kemudian tradisi itu dilakukan oleh keluarga Chebbing saat akan menikahkan

Chebbing dengan Kacong. Pada kutipan (21) terlihat bahwa Madlawi (ayah Chebbing)

berusaha menggagalkan pernikahan Chebbing karena keluarga dari Kacong tidak

mengikuti tradisi yang ada di daerah milik Chebbing. Kutipan di atas juga menjelaskan

bahwa setiap daerah memiliki tradisi yang berbeda dan seseorang yang menikah

haruslah mengikuti aturan atau tradisi yang ada. Pada kutipan (22) dijelaskan bahwa

dalam tradisi pernikahan di Madura masihlah memandang hantaran sebagai tolak ukur

harga diri dan kelas seseorang. Hal inilah yang menyebabkan konflik di dalam modal

budaya.

Di dalam novel Damar Kambang juga terdapat tokoh lainnya yang memiliki modal

budaya dalam kondisi “menubuh”, yaitu Chebbing. Berikut ini kutipan dan

penjelasannya.

(23) Aku segera bangkit dan membungkuk, sebagaimana tata krama santri jika seorang guru datang mendekat atau sekadar lewat. Wajahku menunduk takzim. Itulah bentuk penghormatan yang biasa kulakukan sejak menginjak remaja, ketika tak sengaja berpapasan dengan beliau (Masyari, 2020: 115).

Pada kutipan (23) dapat dilihat bahwa kepemilikan modal budaya Chebbing yakni cara pembawaan menunjukkan jati diri dan kelas tiap individu. Chebbing yang merupakan seorang santri selalu mengikuti tata krama yang sudah diajarkan saat bertemu dengan seseorang yang memiliki gelar lebih tinggi.

Di sini juga ditunjukkan mengenai tradisi pernikahan Madura yang dilakukan oleh Chebbing. Apa yang dilakukan sebelum acara pernikahan dimulai sampai dengan membuat damar kambang sebagai salah satu simbol pernikahan di Madura. Berikut ini kutipannya.

(24) Banyak peraturan kujalani jauh-jauh hari sebelum acara pernikahan. Dilarang keluar pagar. Dilarang makan pedas-pedas dan yang banyak mengandung air, seperti mentimun, pepaya, dan nanas. Melakukan perawatan kulit dengan bedak mangir wangi, bedak kamoridham. Mewangikan rambut dengan aroma dupa. Belajar meracik jamu khusus perempuan, terdiri dari temu kunci, kunyit, daun pepaya, adas, kuning telur kampung, dan madu. Meminum rebusan daun sirih temurat tiap pagi (Masyari, 2020: 33-34).

(25) Tadi, sebelum subuh aku sudah dibangunkan dan disuruh mandi air kembang.

Setelahnya, bersama Ibu, kami menyiapkan bahan-bahan untuk membuat damar kambang: mangkuk, pelepah pohon pisang, sebilah pisau, kapas, minyak kelapa, korek kayu, dan sebatang tusuk sate (Masyari, 2020: 34).

Pada kutipan (24) dan (25) menunjukkan Chebbing harus melakukan persiapan diri sebelum acara pernikahan dilaksanakan. Ia diminta untuk menjalankan peraturan yang sudah ada dan mempersiapkan bahan untuk membuat damar kambang (pelita yang menyala dengan sumbu mengambang di atas minyak).

(26) “Kau pernah belajar membuat damar kambang?”

Aku hanya menggeleng menjawab pertanyaannya.

“Wadah, minyak kelapa, pelepah pohon pisang, pintalan kapas, dan api adalah kesatuan makna hidup yang bisa kau resapi setelah menikah nanti,”

ujar perias sambil meraih bahan-bahan ke hadapannya (Masyari, 2020: 34).

(27) Setelah lubangnya selebar kelingking, perias memperlihatkannya kepadaku.

“Kau lihatlah empat sudut pelepah pohon pisang ini! Agama, kehormatan, harta, dan rupa.” Dia menunjuk empat sudut satu per satu, “Itulah yang saling dijaga dan menjaga. Jika salah satunya terabaikan, akan terjadi ketimpangan, roda kehidupan rumah tangga tidak seimbang, dari sanalah kerap timbul persoalan.” (Masyari, 2020: 37).

Kutipan (26) dan (27) memaparkan mengenai perias dan Chebbing yang akan membuat damar kambang. Perias juga menjelaskan bahwa bahan dasar dari damar kambang memiliki arti atau makna tersendiri yang dijelaskan pada kutipan (27).

Perias kembali menjelaskan mengenai makna-makna yang terkandung dalam bahan-bahan membuat damar kambang kepada Chebbing. Bagaimana agama, kehormatan, harta, dan rupa menjadi landasan untuk hidup dalam sebuah pernikahan.

Berikut ini kutipan dan penjelasannya.

(28) Aku masih menyimak dengan seksama.

“Agama itu fondasi keluarga. Jika fondasinya kuat, bangunan rumah tangga tidak mudah goyah. Suami-istri harus saling menguatkan. Saling mengingatkan. Saling berbagi pengetahuan. Terutama pengetahuan agama.

Apalagi, orangtua akan jadi sekolah pertama bagi anak-anaknya kelak."

Dia berhenti sebentar.

“Lalu, kehormatan. Istri itu pakaian suami. Begitu juga sebaliknya. Keduanya harus bisa saling menjaga. Menutupi celah kekurangan. Melengkapi ketidaksempurnaan. Kesalahan yang dilakukan pasangan tidak perlu diobral ke mana-mana.tidak perlu dikeluhkan pada orangtua, saudara, atau teman.

Bicarakan berdua dengan terbuka. Begitulah cara menjaga kehormatan pasangan.”

Menyimak penjelasannya justru menghadirkan kecemasan di dadaku. Seperti itukah pernikahan? Memahaminya saja sulit, apalagi menjalani.

“Kemudian, harta. Kaya dan miskin itu takdir dari Gusti Pangeran. Pekerjaan memang pilihan, tapi rezeki itu pemberian Gusti Pangeran. Jika pekerjaan bisa ditiru, rezeki tidak. Pekerjaan boleh sama, tapi rezeki justru berbeda.

Harta sering jadi sumber persoalan dalam keluarga. Kunci penyelesaiaanya, ya menerima. Menerima apa adanya. Di sini keikhlasan seorang istri diuji.”

Bibirku memanjang. Wajah itu kian lekat di dinding ingatan menghadirkan debar-debar halus di dada. Dia lelaki yang Ayah pilihkan untukku!

“Yang keempat itu rupa. Rupa di sini, bukan berarti kau itu sekadar tampil cantik, karena setelah menikah kecantikan tidak hanya diukur dari indahnya wajah. Menjaga rupa artinya berusaha sabar, memasang wajah sedap pada saat suami sedang marah. Begitu pun sebaliknya. Bukan lantas dikembari, orang marah ikut marah. Jika satu jadi api, maka yang lain harus berusaha jadi air.” Dia diam sejenak. “Itulah makna empat sudut pelepah pohon pisang ini!” Dia meletakkannya di atas tikar (Masyari, 2020: 37-38).

Pada kutipan (28) terlihat bagaimana Chebbing berperilaku saat perias berusaha menjelaskan apa yang harus diketahui oleh Chebbing dalam sebuah pernikahan. Di sini Chebbing terlihat mendengarkan dengan seksama dan tidak berusaha menyela.

Kutipan (29) dan (30) memperjelas mengenai pemaknaan damar kambang dan menekankan bahwa damar kambang merupakan lambang atau simbol dari sebuah pernikahan. Berikut kutipannya.

(29) “Kau tahu, segala sesuatu itu harus dikerjakan dengan ikhlas. Menerima. Hati yang bersih dan lembut akan mudah ikhlas menerima segala macam cobaan!

Tidak banyak mengeluh. Tidak banyak menuntut. Lembutkan dan putihkan hatimu itu seperti kapas ini!” Perias mencomot sejumput kapas, lalu memintalnya hingga panjang sejengkal dan sebesar jari kelingking. Ujung pintalan kapas lalu dimasukkan ke lubang pelepah pohon pisang tadi (Masyari, 2020: 39).

(30) “Itu sumbunya?” tanyaku.

“Iya! Hati yang lembut dan bersih adalah sumbu cahaya dalam kehidupan!”

katanya seraya membetulkan posisi sumbu.

Pelepah pohon pisang bersumbu kapas itu pun diletakkan dalam mangkuk berisi minyak kelapa dengan hati-hati.

Selesai.

“Inilah damar kambang, lambang pernikahan!” Perias tersenyum lebar.

Tatapannya dialihkan padaku. Mataku berbinar-binar takjub (Masyari, 2020:

39).

Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa modal budaya dalam kondisi

“menubuh” paling dominan dimiliki oleh Madlawi dan Chebbing. Madlawi yang menjalankan tradisi yang sudah ada sejak dulu sehingga ia mencoba mempertahankan apa yang sudah ada. Sedangkan Chebbing dengan perilakunya terhadap individu lain sehingga terlihat jelas posisi kelasnya.

Dokumen terkait