1.7 Landasan Teori
1.7.1 Strukturasi Kekuasaan
Konsep dasar dalam teori milik Pierre Bourdieu adalah strukturasi kekuasaan.
Berisi mengenai konsep relasi yang menghubungkan individu satu dengan individu yang lain. Relasi tersebut kemudian membentuk pola dominasi yang dilakukan oleh salah satu pihak dan inilah yang disebut relasi kekuasaan. Pola strukturasi kekuasaan dapat diketahui melalui beberapa konsep, yaitu kapital (modal), distinction (kelas), habitus, dan arena (Bourdieu dalam Haryatmoko, 2016: 35). Konsep tersebut berperan dalam mengungkapkan praktik-praktik sosial yang terjadi dalam novel Damar Kambang karya Muna Masyari.
1.7.1.1 Modal
Dalam teori Bourdieu, modal tidak selalu berkaitan dengan materi, tetapi juga berkaitan dengan hal non materi. Fungsi modal tersebut sebagai sarana finansial seorang tokoh. Kedudukan tertinggi dalam struktur masyarakat biasanya ditempati oleh pemilik modal terbesar.
Jenis modal yang ada dapat ditukarkan dengan jenis modal lainnya. Penukaran yang paling dramatis adalah penukaran dalam bentuk simbolik karena dalam bentuk inilah modal yang berbeda memiliki presepsi dan dikenal sebagai sesuatu yang mudah dibenarkah atau disahkan. Haryatmoko (2016: 46) mengungkapkan bahwa pemetaan hubungan kekuasaan didasarkan atas kepemilikan kapital dan komposisi kapital.
Terdapat empat modal yang diungkapkan oleh Pierre Bourdieu, yaitu modal sosial, modal ekonomi, modal budaya, dan modal simbolik. Berikut ini penjelasannya.
1.7.1.1.1 Modal Ekonomi
Modal yang berkaitan dengan hal-hal materil yang biasanya memiliki nilai simbolik (harta, benda, maupun alat finansial). Menurut Haryotmoko (2016: 45), modal ekonomi merupakan sumber daya yang dapat dijadikan sebagai sarana produksi dan sarana finansial. Modal ekonomi mencakup alat-alat reproduksi yang berupa mesin, tanah, dan buruh. Kemudian terdapat materi yang terdiri dari pendapatan serta benda-benda dan uang. Pierre Bourdieu menganggap modal ekonomi suatu hal yang sangat penting sebab modal ekonomi merupakan modal yang secara langsung dapat ditukar dan dipatenkan menjadi hak milik.
1.7.1.1.2 Modal Sosial
Modal sosial berupa relasi yang dapat menghubungkan interaksi antar individu. Menurut Haryatmoko (2016: 45), modal sosial ini dimiliki pelaku dalam hubungannya dengan pihak lain yang memiliki kuasa atau kedudukan yang lebih tinggi.
1.7.1.1.3 Modal Budaya
Modal budaya biasanya berupa kebiasaan yang terjadi di masyarakat ataupun seseorang dalam bertutur kata, berpenampilan, maupun bergaul. Modal budaya bisa berupa ijazah, pengetahuan, kode budaya, cara berbicara, kemampuan menulis, cara pembawaan, dan cara bergaul yang berperan dalam penentuan kedudukan sosial (Haryatmoko, 2016: 45).
Menurut Pierre Bourdieu (dalam Martono, 2012:33), modal budaya dapat terwujud dalam tiga bentuk, yaitu: (1) dalam kondisi “menubuh”, (2) dalam kondisi terobjektifikasi, dan (3) dalam kondisi yang terlembagakan.
1.7.1.1.4 Modal Simbolik
Modal simbolik menghasilkan kekuasaan simbolik yang tersimbol melalui gelar, jabatan, dan status. Modal simbolik merupakan suatu bentuk pengakuan oleh kelompok baik secara institusional atau tidak (Haryatmoko, 2016: 45).
1.7.1.2 Kelas
Teori Bourdieu berusaha mengungkapkan atau membongkar pemetaan kedudukan kelas sosial dalam masyarakat melalui strukturasi kekuasaan yang ada. Bourdieu membagi kelas dalam tiga bagian, yaitu kelas dominan, kelas borjuis kecil, dan kelas populer (Haryatmoko, 2016: 46). Berikut ini penjelasannya.
1.7.1.2.1 Kelas Dominan
Menurut Haryotmoko (2016: 46), kelas dominan ditempati oleh pemilik modal utama dan terbesar. Hal tersebut dapat menentukan pola budaya yang akan berlaku di masyarakat. Kelas dominan dibagi menjadi tiga, yaitu kelas dominan dengan besarnya kepemilikan modal, kelas dominan dengan lebih banyaknya modal ekonomi, dan kelas yang lebih lemah.
1.7.1.2.2 Kelas Borjuis Kecil
Haryatmoko (2016: 46) mengungkapkan bahwa kelas borjuis kecil dianggap masuk ke dalam kelompok borjuis karena memiliki kesamaan sifat dengan borjuis yakni keinginan untuk menaiki tangga sosial. Kelas ini terdapat di bagian tengah-tengah dan memihak pada seseorang yang memiliki keinginan kuat untuk menaiki tangga sosial.
1.7.1.2.3 Kelas Populer
Menurut Haryatmoko (2016: 47), individu yang masuk ke dalam kelas ini nyaris tidak memiliki keempat modal yang ada, yaitu modal ekonomi, modal sosial, modal budaya, dan modal simbolik. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kelas ini ditunjukkan dengan tiadanya kepemilikan modal. Hal ini menyebabkan individu yang berada di dalam kelas ini memiliki nilai yang menyatukan mereka, yakni sejumlah praktik serta representasi yang menemukan makna dalam penerima dominasi (Haryatmoko, 2016: 47).
1.7.1.3 Habitus
Menurut Haryatmoko (2016: 41), habitus merupakan sebuah kerangka penafsiran serta berguna untuk memahami dan menilai sebuah realitas. Habitus juga sebagai penghasil praktik kehidupan yang sesuai dengan struktur objektifnya dan menjadi dasar kehidupan individu. Hasil keteraturan perilaku sangat diperhitungkan dalam pembentukan serta berfungsinya habitus. Modalitas praktiknya mengandalkan sebuah
improvisasi dan tidak pada kepatuhan terhadap sebuah aturan. Ditemukan dua gerak timbal balik, (1) pada struktur objektif yang dibatinkan dan (2) gerak subjektif yang membongkar hasil pembatinan yang berupa nilai-nilai (Haryatmoko, 2016: 42).
Pemikiran Bourdieu mengenai habitus merupakan suatu konsep yang menjelaskan mengapa seorang individu bertindak di dalam masyarakat dan lebih condong untuk memproduksi hubungan-hubungan sosial yang di dalamnya terdapat dominasi kelompok tertentu terhadap yang lainnya. Menurut Bourdieu dalam Haryatmoko (2016: 59), habitus dibagi menjadi dua, yaitu habitus individual dan habitus kelas.
Konsep ini menitik beratkan pada pernyataan kesatuan disposisi, keberlangsungannya selama hidup, dan pengaruhnya terhadap segala situasi kehidupan sehari-hari (Haryatmoko, 2016: 59).
Haryatmoko (2016: 41) juga menjelaskan bahwa habitus merupakan kebiasaan yang melekat pada sebuah masyarakat dan menjadi dasar kepribadian seorang individu.
Hal ini dapat dilihat dari prinsip atau nilai moral dalam perilaku seorang tokoh. Pola tindakan tersebut dapat menentukan kelas dalam masyarakat. Perbedaan kelas ditemukan melalui kesamaan gaya hidup, selera, dan budaya yang membentuk suatu habitus. Habitus biasanya berupa etos, yaitu nilai atau prinsip yang mendasari kehidupan sehari-hari seorang tokoh. Etos tersebut biasanya tercerminkan melalui perilaku seseorang (Haryatmoko, 2016: 42). Menurut Haryatmoko, habitus berkaitan erat dengan arena perjuangan (Haryatmoko, 2016: 43).
Di sini, habitus dapat dikatakan menghasilkan dan dihasilkan oleh individu dalam kehidupan sosialnya. Menurut Taum (2020: 8), habitus mencerminkan mengenai
pembagian objektif dalam struktur kelas, yaitu: (1) umur, (2) jenis kelamin/gender, (3) kelas sosial dalam masyarakat.
1.7.1.4 Arena
Bourdieu melihat arena sebagai tempat pertempuran atau perjuangan seorang tokoh dalam masyarakat. Arena merupakan tempat pertaruhan modal untuk mendapatkan posisi dominasi kelas yang ada. Para pemilik modallah yang menjadi kunci dalam memenangkan pertarungan. Pemilik modal haruslah memiliki strategi yang tepat agar dapat menempati posisi tertinggi. Menurut Haryatmoko (2016: 51), pemilik modal dominan biasanya akan bertahan dalam strateginya, sedangkan pemilik modal kecil akan cenderung berjuang untuk merubah posisi atau kedudukan yang baru.
Haryatmoko (2016: 50-51) menjelaskan bahwa arena perjuangan merupakan sebuah jaringan atau konfigurasi hubungan objektif antara berbagai posisi. Kemudian posisi tersebut dibatasi oleh keberadaan individu dan penentuannya dipaksakan kepada pihak yang menempati. Arena dikatakan mirip dengan pasar karena ada sebuah penghasilan dan konsumen. Penghasilan di sini merupakan individu yang memiliki kapital-kapital tertentu dan saling berhadapan. Pertarungan terletak pada akumulasi bentuk kapital yang lain memungkinkan untuk menjamin dominasi pada suatu bidang.
Kapital tidak hanya berfungsi sebagai sarana yang dimiliki oleh individu, tetapi juga sebagai sebuah tujuan.
Oleh karena itu, arena dapat dikatakan sebagai sebuah konsep dimana terjadinya pertarungan atau persaingan antara pemiliki kapital (modal) untuk mencapai tujuan
yang diinginkan. Perbedaan antara individu akan terlihat jelas apabila mereka mendapatkan banyak sumber modal karena dari modal itulah mereka dapat mendominasi individu mau pun kelompok lain (Haryatmoko, 2016: 50-51)