• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.1 Pengantar

2.3.3 Kelas Populer

Kelas yang terakhir adalah kelas populer. Kelas ini tidak memiliki modal dan menerima apa saja yang “dipaksakan” kelas dominan kepadanya. Di dalam novel Damar Kambang, terdapat orang-orang yang mengisi kelas tersebut, yaitu Marinten, Chebbing, Buk Sum, dan Ibu Kacong. Berikut ini pemaparannya.

(44) “Sampean dengarkan saya, dia sudah mempertaruhkan rumah ini beserta seluruh isinya, dan kalah! Saya mengalahkannya!” Si Buntung mengelilingi suamiku dengan langkah pelan.

“Sampean salah satu isi rumah ini, taiye? Jadi, mulai sekarang sampean ini bukan miliknya lagi! Tapi milik saya!” Dia berhenti didekatku dengan mulut didekatkan ke telinga, lalu tertawa penuh kemenangan hingga cuping hidungnya semakin mekar. Sebelah tangannya yang masih utuh dia rentangkan (Masyari, 2020:8).

(45) “Sekarang kau berhak atas rumah ini beserta isinya!” Setelah berkata demikian pada Si Buntung, dia melangkah keluar tanpa menoleh lagi (Masyari, 2020:9).

(46) Di rumah ini, riwayatku tinggal kenangan. Pernikahan seperti kontrak sepihak dengan Tuhan yang bisa diakhiri hanya dengan gerak sekerat lidah (Masyari, 2020:10).

Kutipan (44), (45), dan (46) menunjukkan Marinten yang pasrah akan keadaannya.

Di sini Marinten tidak sengaja dijadikan bahan taruhan oleh suaminya, Nom Sakrah.

Marinten yang tidak tahu apa-apa dan tidak dapat berbuat apapun atas keputusan suaminya. Marinten hanya dapat merasakan kekecewaan.

Berikutnya tokoh yang masuk dalam kelas populer adalah Chebbing. Berikut ini kutipan dan penjelasannya.

(47) “Kau menyetujui pernikahan ini?” Tatap perias dengan alis terangkat.

Aku mengangguk ragu. Tersipu malu. Menurutku, pernikahan adalah tahap yang harus dijalani—sebagaimana teman-temanku juga—sesuai keinginan orangtua, meski aku tak begitu mengenal lelaki yang akan menjadi suamiku (Masyari, 2020:35).

(48) “Beliau… beliau akan menikahimu.”

“Apa? Menikahiku? Aku tidak mau!” Kuletakkan sejumput kapas dengan kasar.

“Kenapa tidak? Ini demi kesembuhanmu!”

“Aku tidak mau!” (Masyari, 2020:109).

Pada kutipan (47) dan (48) memaparkan mengenai Chebbing yang secara tidak langsung dipaksa untuk menikah. Kutipan (47) menjelaskan bahwa Chebbing menikah sesuai dengan keinginan orang tuanya walaupun tidak mengenali lelaki yang akan dinikahinya saat itu, yaitu Kacong. Setelah pernikahannya dengan Kacong gagal, kemudian orang tua Chebbing memaksa Chebbing untuk menikah dengan Ke Bulla dengan dalih untuk penyembuhan. Hal tersebut dapat dilihat di kutipan (48).

Selanjutnya dapat dilihat tokoh yang masuk ke dalam kelas populer, yaitu Buk Sum. Berikut ini kutipan dan penjelasannya.

(49) Gara-gara menikahi perempuan muda itu, Buk Sum minggat entah ke mana.

Namun, atas bantuan Nom Samukrah pula, Buk Sum kembali tanpa kemarahan sama sekali.

Sakra mengapusinya dengan berkata, “Aku hanya ingin punya anak.”

Buk Sum tak bisa berkata-kata. Lebih tepatnya, tak berdaya. Hampir 20 tahun menikah, perempuan itu tidak berhasil menghadiahi buah hati untuk suaminya. Tidak heran jika Sakrah begitu dekat dengan Kacong, keponakan satu-satunya (Masyari, 2020:57).

Kutipan (49) menjelaskan bagaimana Buk Sum yang pasrah akan keadaannya. Ia yang tidak dapat melahirkan seorang anak dan ketika suaminya (Sakrah) menikah lagi dengan perempuan lain, ia yang awalnya pergi kemudian kembali lagi akibat bantuan dari Nom Samukrah.

Pada kutipan (50), menunjukkan ibu Kacong tidak dapat berbuat apa-apa saat berdebat dengan suaminya, Ji Brahwi dan kakak iparnya. Ia hanya dapat tunduk atas perintah maupun perkataan seorang lelaki.

(50) Sebagaimana biasa, suamiku mengangguk setuju tanpa banyak debat. Meski agak keberatan, aku tidak bisa berkata apa-apa. Suara perempuan seakan selalu tenggelam di balik wajan, dandang, dan perabot dapur lainnya.

Percuma saja mendebat panjang (Masyari, 2020:59).

Kutipan (45), (46), (47), (48), (49), dan (50) menunjukkan bahwa Marinten, Chebbing, Buk Sum, dan Ibu Kacong tidak memiliki modal sepenuhnya. Pada kutipan (45) dan (46) menggambarkan Marinten yang pasrah atas kelakuan suaminya dan tidak dapat menolak apa yang telah terjadi padanya gara-gara sang suami. Kutipan (47) dan (48) terlihat Chebbing yang dinikahkan kepada lelaki yang tidak ia kenali dan ketika ia dipaksa untuk menikahi Ke Bulla, ia tidak dapat menolak apa yang dikatan oleh orang

tuanya, terutama sang ayah (Madlawi). Pada kutipan (49) dipaparkan bahwa Buk Sum yang tidak dapat memberikan anak kepada suaminya (Sakrah) pasrah dan tidak dapat berbuat apa-apa ketika sang suami menikah lagi dengan perempuan lain dengan alasan ingin memiliki anak. Lalu yang terakhir pada kutipan (50) didapati bahwa Ibu Kacong juga tidak dapat membantah atau menolak apa yang suami dan kakak iparnya inginkan karena menurutnya suara perempuan akan selalu tenggelam dan merasa percuma apabila harus berdebat.

Dari pemaparan di atas, dapat dikatakan bahwa dalam novel Damar Kambang karya Muna Masyari tokoh laki-laki menjadi pemegang kuasa untuk mengatur dan memberi perintah kepada perempuan. Laki-laki mendominasi segala hal yang harus dilakukan oleh perempuan dan pihak perempuan tidak dapat menolak. Hal tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut ini.

Tabel 2. Kelas dalam Novel Damar Kambang Karya Muna Masyari No. Jenis

Madlawi merupakan tokoh yang memiliki modal ekonomi paling banyak sehingga ia masuk dalam kelas sosialnya dengan cara memasukkan anak laki-lakinya ke pesantren dan mengabdi pada kiai yang juga berpengaruh. Kemudian anaknya juga dinikahkan dengan

perempuan yang memiliki kelas sosial walaupun dipandang sinis oleh masyarakat sekitarnya karena sebenarnya ia bukan dari kalangan nyai. Di rumahnya ia bersaing dengan istri pertama Ke Bulla untuk mendapatkan posisi pertama dan menaikkan kelas sosialnya.

Ia dijadikan bahan taruhan, ditinggal oleh suaminya, kemudian terpaksa menikah dengan Ke Bulla. masih belasan tahun, pernikahannya gagal lalu terkena “angin kiriman” menikah dengan perempuan lain karena ia tidak dapat memiliki anak.

Ibu kemauan suaminya tanpa dapat membantah karena menurutnya, suara perempuan tidak akan didengar.

2.4 Habitus

Menurut Haryatmoko (2016), habitus merupakan kebiasaan yang melekat pada suatu masyarakat dan menjadi dasar kepribadian seorang individu. Hal ini dapat dilihat dari prinsip atau nilai moral dalam perilaku seorang tokoh. Pola tindakan tersebut dapat menentukan kelas dalam masyarakat. Perbedaan kelas ditemukan melalui kesamaan gaya hidup, selera, dan budaya yang membentuk suatu habitus.

Di dalam novel Damar Kambang terdapat kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat Madura sehingga menjadikannya sebagai habitus. Habitus dibagi berdasarkan kelas, yaitu habitus kelas dominan, habitus kelas borjuis kecil, dan habitus kelas populer. Berikut ini penjelasannya.

Dokumen terkait