2.1 Pengantar
2.2.1 Modal Ekonomi
Menurut Haryatmoko (2016: 46), modal ekonomi berupa sumber daya yang menjadi sarana produksi dan sarana finansial. Kepemilikan alat-alat reproduksi yang berupa tanah, buruh, dan mesin adalah salah satu modal ekonomi selain kepemilikan harta. Modal ekonomi mudah diubah atau ditukar dan dapat dialihkan menjadi bentuk modal lainnya (Haryatmoko, 2016: 45). Hal tersebut menyebabkan modal ekonomi dapat langsung ditukar dan dipatenkan menjadi hak milik individu.
Di dalam novel Damar Kambang, modal ekonomi terbesar dimiliki oleh Madlawi.
Madlawi merupakan ayah dari Chebbing dan merupakan seorang pengusaha. Berikut ini beberapa kutipan dan penjelasan mengenai modal ekonomi milik Madlawi.
(1) Sementara Madlawi dikenal sebagai pengusaha genting terbesar di Karang Penang. Selain memiliki lahan material genting yang cukup luas, dia mempekerjakan kurang lebih 20 orang dengan tugas berbeda-beda (Masyari, 2020: 28).
(2) Madlawi memang tidak tertarik membangun rumah mewah maupun berpenampilan wah. Dia hanya punya dua rumah sederhana dan sebuah langgar yang tidak terlalu besar. Bahkan daripada rumah dan langgarnya, tempat untuk reproduksi genting-gentingnya justru dua kali lebih besar (Masyari, 2020: 28).
Pada bagian ini, ditunjukkan bahwa Madlawi merupakan seorang pengusaha yang cukup berpengaruh di daerahnya. Kutipan (1) dan (2) memperlihatkan Madlawi yang merupakan seorang pengusaha genting terbesar di Karang Penang dan memiliki tempat reproduksi genting yang sangat besar.
Selain itu, kutipan berikut ini juga menunjukkan kepemilikian barang atau benda yang dimiliki oleh Madlawi sebagai bentuk modal ekonomi yang ia miliki. Berikut ini kutipan dan penjelasannya.
(3) Namun, jangan ditanya berapa ladang tanah dan ekor sapi yang dipeliharakan tetangga dan kerabat (Masyari, 2020: 29).
(4) Bukan hanya itu, Madlawi berencana memberangkatkan Ke Bulla beserta istrinya ke tanah suci, bersama keluarga Madlawi sendiri. Biaya pesta keberangkatan hingga kepulangan ditanggung penuh dan tentu menghabiskan duit tak sedikit. Bahkan, jauh lebih besar dari ongkos naik haji itu sendiri (Masyari, 2020: 29).
Kutipan (3) menunjukkan bahwa Madlawi memiliki sejumlah tanah dan peliharan, yaitu sapi yang dipeliharakan oleh tetangganya. Pada kutipan (4), ditunjukkan bahwa Madlawi mampu memberangkatkan keluarga Ke Bulla dan keluarganya sendiri ke tanah suci dan membiayai pesta keberangkatan hingga kepulangan dari tanah suci. Hal tersebut membuktikan kepemilikan modal ekonomi Madlawi dapat membantu orang lain.
Pihak lain yang memiliki modal ekonomi adalah keluarga Ji Bahrawi. Ji Bahrawi merupakan ayah dari Kacong dan merupakan salah satu orang kaya di daerahnya. Akan tetapi, terjadi sebuah kesalahpahaman ketika keluarga Ji Bahrawi datang ke rumah Madlawi untuk menikahkan putranya dengan Chebbing. Berikut ini dapat dilihat konflik antara keluarga Chebbing dengan Ji Bahrawi.
(5) “Ini namanya penghinaan! Kami bukannya tidak mampu membawa hantaran semacam itu! Sampean-sampean ini tidak pernah bilang!” Ji Bahrawi, calon mertua Chebbing, mendelik berang (Masyari, 2020: 43).
(6) “Membeli rumah kalian pun kami mampu!” timpal yang lain (Masyari, 2020:
43).
(7) Sebagai pengusaha tembakau, suamiku memang tidak kesulitan dana. Tiga ekor sapi disembelih dua hari lalu. Yang seekor khusus dibuat sate untuk jamuan tamu undangan. Suamiku sengaja mengundang lima pelayan khusus untuk menyate. Empat lelaki dan satu perempuan. Hampir semalaman mereka menyelesaikan pekerjaannya (Masyari, 2020: 52).
Pada kutipan (5) keluarga Chebbing dikatakan menghina keluarga Ji Bahrawi karena menolak lamaran keluarga Ji Bahrawi. Hal itu terjadi karena keluarga Ji Bahrawi tidak membawa hantaran sesuai dengan keinginan keluarga Chebbing dan tradisi yang ada di daerah keluarga Madlawi. Pernyataan pada kutipan (6) dan (7) menunjukkan bahwa keluarga Ji Bahrawi sebenarnya juga mampu secara ekonomi dan Ji Bahrawi merupakan seorang pengusaha. Dari kutipan tersebut dapat dikatakan bahwa hal ini menjadi salah satu pemicu pertarungan di arena dalam novel Damar Kambang karya Muna Masyari.
Di sisi lain Marinten dan suaminya (Nom Samukrah) merupakan pihak yang memiliki modal ekonomi cukup. Awalnya, mereka memiliki beberapa petak tambak, rumah, dan hewan ternak. Akan tetapi, karena suami Marinten, Nom Samukrah yang suka bertaruh di arena gubeng (tempat perlombaan karapan sapi) membuat kehidupan mereka tidak menentu. Sampai pada saat dimana keadaan semakin pelik dan Marinten tidak sengaja menjadi bahan taruhannya. Berikut ini kutipan yang menunjukkan hal tersebut.
(8) “Untuk sementara tak perlu kau pergi ketambak. Tambak kita sudah dimiliki orang.” Dia mengatakannya seringan melempar punting rokok ke halaman. Tak ada beban. Tak ada rasa kehilangan (Masyari, 2020: 2).
(9) Itu kekalahan terakhir yang dia alami. Tambak garam kembali ke tangan suamiku dua tahun setelahnya. Rumor yang kudengar dari teman sesama belater, suamiku berguru ke pemilik ilmu ganjil tak terkalahkan yang mampu membuat sapi karapan jagoan lawan tak mau berjalan, berontak gelisah seperti kesurupan (Masyari, 2020: 3).
(10) Setiap pulang dari arena gubeng, suamiku selalu membawa hasil taruhan.
Kadang sejumlah uang, sepeda motor, surat tanah, kipas angin, televisi, radio, dan semacamnya. Tahun lalu dia pulang dibuntuti mobil pikap mengangkut sepasang sapi di bak mobil, dan televisi 20 inci di jok depan. Selain suamiku, baru tengkulak garam yang punya televisi sebesar itu, yang dibelinya setelah listrik masuk desa, dan siang-malam tak henti dikerumuni warga. Pernah setiap Minggu aku ikut menonton Album Minggu Kita di sana, acara musik yang paling digemari warga, terutama ketika tampil pedangdut Itje Trisnawati yang jelita (Masyari, 2020: 3-4).
Pada kutipan (8), (9), dan (10) menjelaskan bagaimana suami Marinten suka bertaruh di medan karapan sapi. Selama pertaruhan tersebut, kehidupan keluarga Marinten tidak menentu karena apabila suaminya kalah dalam taruhan maka kepemilikan alat-alat produksi yang ditaruhkan akan diambil oleh orang lain. Akan tetapi, apabila suaminya itu memenangkan taruhan, seperti yang sudah ditunjukkan pada kutipan (10) maka keluarga Marinten dapat menikmati apa yang didapatkan.
Berikut ini menunjukkan jatuhnya keluarga Marinten akibat Nom Samukrah kalah dalam taruhan karapan sapi. Nom Samukrah yang awalnya memiliki modal ekonomi yang cukup menjadi tidak memiliki modal apapun, termasuk kehilangan istrinya, Marinten.
(11) “Sampean dengarkan saya, dia sudah mempertaruhkan rumah ini beserta seluruh isinya, dan kalah! Saya mengalahkannya!” Si Buntung mengelilingi suamiku dengan langkah pelan.
“Sampean salah satu isi rumah ini, taiye? Jadi, mulai sekarang sampean ini bukan miliknya lagi! Tapi milik saya!” Dia berhenti didekatku dengan mulut didekatkan ke telinga, lalu tertawa penuh kemenangan hingga cuping hidungnya semakin mekar. Sebelah tangannya yang masih utuh dia rentangkan (Masyari, 2020: 8).
(12) “Sekarang kau berhak atas rumah ini beserta isinya!” Setelah berkata demikian pada Si Buntung, dia melangkah keluar tanpa menoleh lagi (Masyari, 2020: 9).
Kutipan (11) dan (12) menjelaskan situasi rumah yang ternyata dijadikan bahan taruhan dan Marinten juga ikut terseret dalam hal tersebut. Pada kutipan (11) ditunjukkan bahwa Nom Samukrah telah mempertaruhkan rumah beserta seluruh isinya, termasuk Marinten. Kutipan (12) Dari lima kutipan di atas dapat disimpulkan bagaimana situasi ekonomi keluarga Marinten yang pada akhirnya tidak memiliki modal sama sekali dan pasrah akan keadaan.
Tokoh yang memiliki modal ekonomi rendah lainnya adalah keluarga Musahrah.
Musahrah merupakan salah satu orang yang pernah melamar Chebbing untuk anak lelakinya. Akan tetapi, Madlawi menolak lamaran tersebut karena menurut Madlawi, Musahrah tidak dapat memberikan apa-apa pada keluarganya. Hal ini tampak dalam kutipan (13) dan (14).
(13) Bukan rahasia lagi, Musahrah pernah melamar Chebbing untuk anak lelakinya, tetapi ditampik oleh Madlawi. Apa yang bisa diberikan keluarga Musahrah untuknya? Pekerjaan Mussahrah hanya ikut mobil pengangkut kayu bakar. Mengangkutnya dari rumah penjual ke mobil. Dari mobil ke depan tungku-tungku genting. Upahnya hanya sekadar cukup untuk makan.
Memondokkan anak lelaki satu-satunya saja Musahrah tidak mampu, dan memilih mengaturkan anaknya pada kiai agar jadi santri abdi. Hampir lima belas tahun anak Musahrah mengabdi di kediaman sang kiai (Masyari, 2020:
27-28).
(14) Rupanya Musahrah tak ingin menanggung malu lebih besar gara-gara lamarannya ditolak. Dia pun segera melamarkan seorang perawan desa sebelah, dan pernikahan anaknya digelar cukup meriah. Ke rumah pengantin wanita, keluarga Musahrah membawa hantaran rumah kayu beserta perabot yang terbuat dari kayu ukir, dipesan khusus dari Desa Karduluk. Kabarnya, sekian juta rupiah dihabiskan untuk hantaran itu. Semuanya ditanggung sang kiai (Mayari, 2020: 29).
Pada kutipan (13) ditunjukkan bahwa Musahrah memiliki modal yang kurang sehingga mengakibatkan ditolak oleh keluarga Madlawi. Ia yang upahnya hanya cukup
untuk makan dan tidak dapat memondokkan anak lelakinya. Hal tersebut membuat Musahrah berusaha untuk menghidupi anaknya dengan cara memberikan anaknya pada kiai agar dapat menjadi santri abdi. Kutipan (14) menunjukkan Musahrah yang berusaha agar memiliki ekonomi lebih baik dan menutup rasa malunya dari penolakan keluarga Madlawi dengan cara menikahkan anaknya dengan gadis desa sebelah atas bantuan sang kiai. Hal ini merupakan salah satu konflik dalam modal ekonomi.
Dari pembahasan mengenai modal ekonomi, dapat disimpulkan bahwa Madlawi memiliki modal ekonomi yang paling besar. Tokoh lain yang memiliki ekonomi besar adalah Ji Bahrawi. Kemudian terdapat Musahrah yang memiliki modal ekonomi rendah, tetapi berusaha untuk mencukupi kebutuhannya. Terakhir, ada keluarga Marinten yang awalnya memiliki modal ekonomi cukup, namun berakhir tidak memiliki apapun. Tingkat kepemilikan modal ekonomi Marinten menjadi patokan untuk menentukan perkiraan kemampuan modal ekonomi tokoh-tokoh lainnya.
Ketidakmampuan ekonomi menjadi motif berbagai tindakan yang mereka lakukan.
Madlawi, Ji Bahrawi, dan Musahrah memiliki modal ekonomi yang lebih besar dibandingkan Marinten.