• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRUKTURASI KEKUASAAN DAN DOKSA DALAM NASKAH DRAMA PERSIMPANGAN KARYA P. HARYANTO: PERSPEKTIF PIERRE BOURDIEU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "STRUKTURASI KEKUASAAN DAN DOKSA DALAM NASKAH DRAMA PERSIMPANGAN KARYA P. HARYANTO: PERSPEKTIF PIERRE BOURDIEU"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

STRUKTURASI KEKUASAAN DAN DOKSA DALAM NASKAH DRAMA PERSIMPANGAN

KARYA P. HARYANTO: PERSPEKTIF PIERRE BOURDIEU

Oleh

IG Aditya Sakti Siwi Budi 184114064

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2022

(2)

STRUKTURASI KEKUASAAN DAN DOKSA DALAM NASKAH DRAMA PERSIMPANGAN

KARYA P. HARYANTO: PERSPEKTIF PIERRE BOURDIEU

Oleh

IG Aditya Sakti Siwi Budi 184114064

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2022

(3)

i

(4)

ii

(5)

iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 16 Januari 2022 Penulis

IG Aditya Sakti Siwi Budi

(6)

iv

Pernyataan Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah untuk Kepentingan Akademis

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya Mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : IG Aditya Sakti Siwi Budi NIM : 184114064

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul STRUKTURASI KEKUASAAN DAN DOKSA DALAM NASKAH DRAMA PERSIMPANGAN KARYA P. HARYANTO: PERSPEKTIF PIERRE BOURDIEU beserta perangkat yang diperlukan (bila ada).

Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak menyimpan, mengalihkan dalam bentuk lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas dan mempublikasikannya di internet atau media yang lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalty kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal 16 Januari 2022

Yang menyatakan,

IG Aditya Sakti Siwi Budi

(7)

v

PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan untuk diri saya sendiri yang telah berhasil melawan kemalasan sehingga skripsi dapat diselesaikan. Terlebih untuk kedua orang tua saya dan juga pacar saya Ursula Yosanda Trixie.

(8)

vi MOTO

Hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya, tanpa kita mengerti tanpa kita bisa menawar. Terimalah dan hadapilah.

-Soe Hoek Gie-

(9)

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kasih, karunia, dan penyertaan-Nya, sehingga penulis telah berhasil menyelesaikan seluruh proses skripsi ini. Penulisan skripsi ini disusun untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Strata I (S-1) pada Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari dukungan dan peran dari berbagai pihak. Oleh karena itu, perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak tersebut atas doa, dukungan, dan motivasinya.

Pertama, penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Susilawati Endah Peni Adji, S.S., M.Hum. dan Bapak Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan motivasi, dorongan, masukan dan petunjuk sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Kedua, terima kasih kepada keluarga penulis; Bapak Andreas Kristianto dan Ibu Bernadeta Verawati yang telah memberikan doa, semangat, dan dukungan hingga selesainya skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ursula Yosanda Trixie yang selalu menemani dan menyemangati selama proses pembuatan skripsi hingga terselesaikannya skripsi ini.

Ketiga, penulis mengucapkan terima kasih kepada para dosen Program Studi Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma; Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum., Prof. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum., Drs. B. Rahmanto, M.Hum., Susilawati Endah Peni Adji, S.S., M.Hum., Maria Magdalena Sinta Wardani, S.S.,

(10)

viii

M.A., Sony Christian Sudarsono, S.S., M.A. yang telah memberikan ilmunya selama proses perkuliahan di program Studi Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma.

Keempat, penulis mengucapkan terima kasih kepada karyawan-karyawan Sekretariat Fakultas Sastra dan Perpustakaan Universitas Sanata Dharma atas pelayanan yang diberikan selama menjalani proses perkuliahan.

Kelima, terima kasih kepada teman-teman Program Studi Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma khususnya angkatan 2018 atas dinamika dan kebersamaannya selama ini. Terakhir kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas perhatian dan dukungannya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kata sempurna, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.

Semoga penelitian ini bermanfaat bagi para pembaca.

Yogyakarta, 16 Januari 2022 Penulis

IG Aditya Sakti Siwi Budi

(11)

ix ABSTRAK

Budi, IG Aditya Sakti Siwi. 2022. Strukturasi Kekuasaan dan Doksa dalam Naskah Drama Persimpangan Karya P. Haryanto: Perspektif Pierre Bourdieu. Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini mengkaji naskah drama Persimpangan karya P. Haryanto berdasarkan perspektif Pierre Bourdieu. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis strukturasi kekuasaan yang terdiri dari kelas, habitus, modal arena, serta doksa, kebenaran, keyakinan, orthodoksa, dan heterodoksa yang ada di dalam naskah drama Persimpangan.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan diskursif . Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer berdasarkan naskah drama Persimpangan dan data sekunder studi pustaka. Data dianalisis menggunakan analisis isi, yaitu analisis yang berfungsi menangkap pesan-pesan yang terkandung dari wacana karya sastra. Hasil analisis tersebut lalu diindentifikasi dengan menggunakan aspek-aspek strukturasi kekuasaan dan doksa dalam teori Pierre Bourdieu. Data-data yang telah dianalisis disajikan dengan metode deskriptif kualitatif.

Hasil penelitian ini adalah bentuk penjabaran strukturasi kekuasaan dan doksa dalam naskah drama Persimpangan. Pembahasan mengenai strukturasi kekuasaan menjabarkan (1) kelas yang terdiri atas (a) kelas dominan, (b) kelas borjuasi kecil, (c) kelas populer. Kelas dominan menemukan bahwa tokoh A mencoba untuk mendominasi pada babak II, lalu tokoh B dan C mencoba untuk menjadi dominasi di babak I. Pada kelas borjuasi kecil ditemukan bahwa kehadiran tokoh D mencoba untuk menunjukkan eksistensinya di hadapan banyaknya tokoh yang lain termasuk tokoh A. Pada kelas popular ditemukan bahwa tokoh selain tokoh A dan D pada babak II merupakan tokoh yang mengikuti arahan dan hasutan dari tokoh dominan. (2) Habitus mengungkapkan peran tokoh A yang memiliki kebiasaan untuk menghasut tokoh lain dalam persimpangan. Ia mencoba mengalihkan kepercayaan setiap tokoh lain. (3) Pembahasan mengenai modal terdiri atas (a) modal sosial, (b) modal budaya, dan (c) modal simbolik. Modal sosial menjabarkan perhatian tokoh A kepada tokoh lain pada babak II yang seakan-akan mengetahui tujuan mereka di persimpangan.

Pada modal budaya menemukan tokoh A yang kerap mempertanyakan kebenaran surga. (4) Arena memuat penggambaran religiusitas mengenai surga dan neraka.

Doksa dalam naskah persimpangan terjadi pada kepercayaan jalan menuju surge yang menjadi acuan setiap tokoh di persimpangan. Ditemukannya kebenaran dan kepercayaan yang dianut oleh tokoh-tokoh dominan dalam papan persimpangan yang berkaitan dengan doksa. Orthodoksa dianut oleh tokoh B, C, dan D sebagai tokoh yang mempercayai hadirnya papan persimpangan. Heterodoksa dianut oleh tokoh A yang tidak mempercayai hadirnya papan persimpangan.

Kata kunci: strukturasi kekuasaan, doksa, orthodoksa, heterodoksa.

(12)

x ABSTRACT

Budi, IG Aditya Sakti Siwi. 2022. The Structuration of Power and Doxa in P.

Haryanto's Intersection Drama Script: Pierre Bourdieu's Perspective.

Indonesian Literature Study Program, Indonesian Literature Department, Faculty of Letters, Sanata Dharma University.

This study examines the play script of Intersection by P. Haryanto based on Pierre Bourdieu's perspective. This study aims to describe and analyze the structuration of power which consists of class, habitus, arena capital, and doksa, truth, belief, orthodox, and heterodoxa in the drama script Simpang.

The method used in this research is a discursive approach. The data collection technique used in this research is primary data based on the intersection drama script and secondary data from literature study. The data were analyzed using content analysis, which is an analysis that functions to capture the messages contained in the discourse of literary works. The results of the analysis are then identified using the aspects of power structuration and doxa in Pierre Bourdieu's theory. The data that has been analyzed is presented with a qualitative descriptive method.

The results of this study are a form of elaboration of the structuration of power and doksa in the drama script Intersection. The discussion on the structuration of power describes (1) a class consisting of (a) the dominant class, (b) the petty bourgeoisie, (c) the popular class. The dominant class found that figure A tried to dominate in the second round, then figures B and C tried to dominate in the first round. In the petty bourgeoisie class it was found that the presence of figure D tried to show its existence in front of many other figures including figure A. In the popular class, it was found that the characters other than figures A and D in Act II were characters who followed the direction and incitement of the dominant character. (2) Habitus reveals the role of character A who has a habit of inciting other characters at intersections. He tries to divert the trust of every other character. (3) The discussion of capital consists of (a) social capital, (b) cultural capital, and (c) symbolic capital. Social capital describes character A's attention to other characters in Act II who seem to know their destination at the intersection. In cultural capital, we find figure A who often questions the truth of heaven. (4) Arena contains religiosity depictions of heaven and hell. Doksa in the crossing script occurs in the belief that the road to heaven is the reference for every character at the intersection. The discovery of truths and beliefs held by dominant figures in the intersection boards related to doksa.

Orthodoxy is embraced by figures B, C, and D as figures who believe in the presence of a crossing board. Heterodox is embraced by character A who does not believe in the presence of a crossroads board.

Keywords: power structuration, doxa, orthodox, heterodox.

(13)

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING………i

HALAMAN PENGESAHAN………...ii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………....iii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI………..iv

HALAMAN PERSEMBAHAN………..v

MOTTO………..vi

KATA PENGANTAR………..viii

ABSTRAK………..ix

ABSTRACT……….x

DAFTAR ISI………...xi

DAFTAR TABEL………..xv

BAB I PENDAHULUAN………...1

1.1 Latar Belakang………...1

1.2 Rumusan Masalah………..4

1.3 Tujuan Penelitian………...4

1.4 Manfaat Penelitian……….4

1.4.1 Manfaat Teoretis………..5

1.4.2 Manfaat Praktis………5

1.5 Kajian Pustaka………...5

1.6 Pendekatan……….9

1.7 Landasan Teori……….10

1.7.1 Strukturasi Kekuasaan………...10

(14)

xii

1.7.1.1 Kelas………..10

1.7.1.1.1 Kelas Dominan………...11

1.7.1.1.2 Kelas Borjuasi Kecil………...11

1.7.1.1.3 Kelas Populer………..11

1.7.1.2 Habitus………...11

1.7.1.3 Modal……….12

1.7.1.3.1 Modal Sosial………...12

1.7.1.3.2 Modal Budaya………12

1.7.1.3.3 Modal Simbolik………..13

1.7.1.4 Arena……….13

1.7.2 Doksa………...13

1.7.2.1 Orthodoksa………....14

1.7.2.2 Heterodoksa………..14

1.8 Metode Penelitian………...14

1.8.1 Metode Pengumpulan Data……….15

1.8.2 Metode Analisis Data………..15

1.8.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data………....15

1.8.4 Sumber Data………15

1.9 Sistematika Penyajian………16

BAB II ANALISIS STRUKTURASI KEKUASAAN DALAM DRAMA PERSIMPANGAN KARYA P. HARYANTO………....17

2.1 Pengantar………17

2.2 Kelas………...18

(15)

xiii

2.2.1 Kelas Dominan……….18

2.2.2 Kelas Borjuasi Kecil………...19

2.2.3 Kelas Populer………21

2.3 Habitus……….22

2.4 Modal………...24

2.4.1 Modal Sosial……….24

2.4.2 Modal Budaya………..25

2.4.3 Modal Simbolik………....27

2.5 Arena………...29

2.6 Rangkuman……….30

BAB III DOKSA DALAM NASKAH DRAMA PERSIMPANGAN KARYA P. HARYANTO………...32

3.1 Pengantar………...32

3.2 Doksa………...33

3.2.1 Kebenaran……….33

3.2.2 Keyakinan………...34

3.3 Orthodoksa………...35

3.4 Heterodoksa……….37

3.5 Rangkuman………..39

BAB IV PENUTUP………..42

4.1 Kesimpulan………..42

4.2 Saran………46

DAFTAR PUSTAKA………..48

(16)

xiv

SINOPSIS & LAMPIRAN………50 BIOGRAFI PENULIS………...71

(17)

xv

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1 Rangkuman Strukturasi Kekuasaan………..31 Tabel 2 Rangkuman Doksa………...41

(18)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karya sastra merupakan hasil ciptaan manusia yang menggunakan media sebagai hasil kreativitas manusia (Isnania, 2021: 12). Karya sastra berkembang seiring perkembangan zaman. Bentuk karya sastra pun makin beragam bersamaan dengan munculnya sastrawan dan seniman baru.

Drama adalah tiruan atau proyeksi kehidupan manusia yang dipentaskan (Marantika, 2014: 95). Drama juga merupakan cerita yang dikembangkan dengan berlandaskan pada konflik kehidupan manusia dan dituangkan dalam bentuk dialog untuk dipentaskan di hadapan penonton (Pratiwi, 2014: 14). Drama menciptakan dimensi lain ketika dialog antar tokoh yang menjadi alur utama jalannya cerita. Lakon setiap tokoh menentukan akhir dari jalannya cerita. Drama pun semakin berkembang dan memiliki ciri khasnya masing-masing tergantung jalan cerita yang disusun oleh penulisnya. Naskah drama dapat diapresiasi melalui kegiatan membaca naskah drama. Sebaliknya, drama dalam bentuk teater dapat diapresiasi melalui kegiatan menonton atau menyaksikan drama (Pratiwi, 2014:

14).

Salah satu naskah drama yang menarik untuk dibahas dan diapresiasi adalah naskah drama Persimpangan karya P. Haryanto. Naskah drama ini mengisahkan tentang sekumpulan orang yang bingung untuk mencari jalan menuju ke surga.

(19)

Setiap tokoh dalam drama ini memang mempunyai tujuan untuk ke surga. Akan tetapi, terdapat satu tokoh sentral yang bernama tokoh A yang merasa bingung akan kebenaran jalan menuju surga. Ia juga selalu membuat bingung setiap orang yang berusaha pergi menuju surga.

Hal yang paling menarik dalam naskah drama ini adalah kebenaran yang selalu dipertanyakan oleh tokoh A, yang datang dari kebenaran setiap orang yang hadir dalam persimpangan tersebut. Seperti yang sudah dijelaskan bahwa tokoh A selalu membuat bingung setiap orang yang akan menuju surga. Tokoh A juga selalu mempertanyakan kebenaran yang dimiliki oleh setiap orang akan keberadaan surga. Surga seakan menjadi momentum perdebatan ketika setiap manusia memiliki kebenarannya masing-masing. Definisi keberadaan surga pun semakin buram dan tidak memiliki kejelasan seperti kebenaran yang dimiliki oleh setiap orang. Maka, teori Pierre Bourdieu tentang strukturasi kekuasaan digunakan untuk mengkaji naskah drama ini. Menurut teori strukturasi, domain dasar kajian ilmu-ilmu sosial bukanlah pengalaman masing-masing aktor ataupun keberadaan setiap bentuk totalitas kemasyarakatan, melainkan praktik-praktik sosial yang terjadi di sepanjang ruang dan waktu. Aktivitas-aktivitas sosial manusia, seperti halnya benda-benda alam yang berkembang-biak sendiri, saling terkait satu sama lain. Maksudnya, aktivitas-aktivitas sosial itu tidak dihadirkan oleh para aktor sosial, melainkan terus-menerus diciptakan oleh mereka melalui sarana-sarana pengungkapan diri mereka sebagai aktor (Giddens, 2010: 3).

(20)

Sedikit informasi yang bisa didapat mengenai P. Haryanto. Beliau merupakan dosen Program Studi PBSI (Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia) di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Naskah drama Persimpangan dapat dikatakan sebagai karya populer milik P. Haryanto yang dikenal oleh anak muda hingga dipentaskan dalam pertunjukkan teater.

Beberapa hal yang menjadi alasan peneliti untuk mengkaji naskah drama ini adalah (1) doksa akan kebenaran manusia dan papan persimpangan menjadi hal penting untuk dibahas oleh P. Haryanto, (2) naskah drama ini pun belum pernah dikaji oleh peneliti lain, walaupun pengkajian mengenai doksa sudah banyak dibahas, (3) naskah drama Persimpangan merupakan karya populer milik P.

Haryanto yang sudah dikenal oleh penikmat sastra.

Alasan pemilihan teori strukturasi kekuasaan perspektitif Pierre Bourdieu adalah (1) gagasan mengenai kebenaran dan doksa dibahas dalam strukturasi kekuasaan, (2) teori strukturasi kekuasaan kerap dibahas dalam kajian maupun buku, seperti kajian milik Nestor Sinaga (2016) yang membahas teori strukturasi konstruktif milik Pierre Bourdieu.

Naskah drama Persimpangan ditulis dengan alur cerita yang unik karena latar cerita yang dibuat mengajarkan nilai-nilai agama mengenai arah menuju surga dan neraka. Seperti halnya pada ajaran gereja ortodoks yang meyakini bahwa surga adalah jalan menuju kebenaran. Maka penelitian ini dikaji untuk menemukan pesan-pesan ataupun makna dalam naskah drama Persimpangan yang dapat digunakan sebagai pembelajaran dalam kehidupan.

(21)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dirumuskan permasalahan sebagai berikut.

1.2.1 Bagaimana strukturasi kekuasaan dalam naskah drama Persimpangan karya P. Haryanto?

1.2.2 Bagaimana doksa dalam naskah drama Persimpangan karya P. Haryanto?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, ditetapkan tujuan penelitian sebagai berikut.

1.3.1 Mendeskripsikan strukturasi kekuasaan dalam naskah drama Persimpangan karya P. Haryanto.

1.3.2 Mendeskripsikan doksa dalam naskah drama Persimpangan karya P. Haryanto.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini berupa deskripsi strukturasi kekuasaan, doksa, orthodoksa dan heterodoksa dari tokoh-yang ada pada naskah drama Persimpangan karya P.

Haryanto. Dalam dunia akademis, penelitian ini bermanfaat untuk membentuk pola pikir penulis pada penelitian ilmiah yang didasarkan pada tinjauan pustaka.

Penelitian ini juga bermanfaat untuk mahasiswa yang ingin mengkaji penelitian yang serupa, namun dengan topik yang berbeda. Manfaat lain dari penelitian ini sebagai bentuk pemaknaan terhadap realitas masyarakat yang digambarkan dalam sebuah naskah drama. Penelitian ini juga memiliki manfaat

(22)

teoretis dan praktis. Dengan demikian manfaat teoretis dan praktis penelitian ini sebagai berikut.

1.4.1 Manfaat Teoretis

Penelitian ini bermanfaat dalam penerapan teori strukturasi kekuasaan Pierre Bourdieu. Lalu penelitian ini juga bermanfaat sebagai pengembangan terhadap teori doksa dan kebenaran pada kajian Sastra Indonesia. Dari penelitian ini, penulis mencoba untuk menerapkan teori Pierre Bourdieu pada naskah drama, sehingga hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pikiran guna menambah wawasan terhadap teori strukturasi kekuasaan dan doksa perspektif Pierre Bourdieu.

1.4.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini bermanfaat sebagai ulasan dalam bentuk apresiasi dan kritik pada naskah drama Persimpangan karya P. Haryanto. Bagi pembaca umum, penelitian ini diharapkan mampu menjadi pengetahuan umum mengenai doksa dan kebenaran manusia.

1.5 Kajian Pustaka

Penelitian mengenai strukturasi kekuasaan dibahas oleh Barata (2017) dalam skripsinya yang berjudul “Strukturasi Kekuasaan dan Kekerasan Simbolik dalam Cerpen “Ayam”, “Suatu Malam Suatu Warung”, dan “Tahi” dalam Kumpulan Cerpen Hujan Menulis Ayam Karya Sutardji Calzoum Bachri: Sebuah Perspektif Pierre Bourdieu”. Penelitian ini berusaha mengkaji kekerasan simbolik dalam cerpen Hujan Menulis Ayam. Barata menemukan adanya modal ekonomi,

(23)

sosial, modal budaya, simbolik dalam cerpen itu yang kemudian dikaji dari 3 judul cerpen berdasarkan kejadiannya. Kemudian adanya kelas dominan, borjuasi kecil, populer. Terdapat juga habitus kelas dominan, kelas borjuasi kecil, dan kelas populer dalam setiap judul cerpen. Lalu adanya arena serta kekuasaan dan kekerasan dalam ketiga cerpen. Hasil akhir pada penelitian dikemukakan bahwa cerpen Hujan Menulis Ayam memiliki kekerasan simbolik yang berdasar pada eufimisme, mekanisme sensorisasi, dan menciptakan dunia. Barata juga mengungkapkan bahwa tiga cerpen tersebut menggambarkan sifat-sifat kebaikan manusia.

Penelitian lain membahas mengenai strategi kekuasaan dibahas oleh Sibarani (2020) dengan judul “Strategi Kekuasaan dalam Novel Pengakuan Eks Parasit Lajang Karya Ayu Utami: Perspektif Pierre Bourdieu”. Ia mencoba

membahas mengenai strategi kekuasaan melalui habitus, modal, arena, dan kelas.

Pada pembahasan habitus ditemukan bahwa perempuan memiliki kuasanya untuk lepas dari belenggu kodratnya sebagai wanita. Lalu pada analisis modal ditemukan bahwa modal memiliki peran penting sebagai pembentukan superioritas perempuan di dalam masyarakat. Pembahasan mengenai arena dan kelas menemukan bahwa perempuan berusaha membebaskan diri dari norma- norma yang mengikatnya serta pada pembahasan kelas menemukan bahwa peran perempuan yang kerap dibandingkan oleh laki-laki.

Pramono (2020) dalam skripsinya yang berjudul “Strukturasi Kekuasaan dan Doxa dalam Naskah Drama “Sobrat” Karya Arthur S. Nalan: Perspektif Pierre Bourdieu”, mencoba mengkaji strukturasi kekuasaan dan doxa dalam naskah

(24)

drama “Sobrat” dengan menggunakan perspektif Pierre Bourdieu. Hasil dari penelitian ini, Pramono menemukan bahwa adanya modal yang terdiri atas modal budaya, sosial, simbolik, simbolik harta, simbolik jabatan, ekonomi, yang seluruhnya dikaitkan dengan adegan dalam naskah. Kemudian muncul juga habitus yang terdiri atas habitus kelas dominan, kaum borjuis kecil, kelas populer, yang kemudian disusul oleh arena ekonomi serta agama. Penjabaran tersebut kemudian diakhiri dengan ditemukannya bahwa, doxa dalam naskah drama

“Sobrat” menggambarkan kaum-kaum kapitalis yang mendominasi kekuasaan dalam naskah.

Penelitian lain dilakukan oleh Driyastoto (2020) dalam skripsinya yang berjudul “Strukturasi Kekuasaan dan Kekerasan Simbolik Tiga Cerpen Eka Kurniawan dalam Antologi Cerpen Cinta Tak Ada Mati: Perspektif Pierre Bourdieu”. Penelitian ini mencoba untuk mengkaji modal, kelas, habitus, arena, kekerasan dan kekuasaan, serta kekerasan simbolik dalam antologi cerpen tersebut. Dalam penelitian ini, Driyastoto menemukan adanya modal yang terdiri atas modal ekonomi, sosial, budaya, simbolik, yang seluruhnya ada dalam 3 judul cerpen tersebut. Kemudian dijabarkan juga kelas yang terdiri atas kelas dominan, populer, dan borjuis kecil yang juga mencangkup adegan/kejadian dalam 3 judul cerpen. Ditemukan juga habitus yang terdiri dari habitus kelas dominan, habitus kelas borjuis kecil, dan habitus kelas populer. Serta arena, kekuasaan da kekerasan dalam antologi cerpen. Di bagian akhir, Driyastoto mengemukakan bahwa antologi cerpen ini memiliki kekerasan simbolik yang berdasar pada eufimisme,

(25)

sensorisasi, dan menciptakan dunia. Ia beranggapan bahwa antologi cerpen tersebut memiliki kekerasan simbolik yang menggambarkan kondisi masyarakat.

Bagian terakhir adalah penelitian dari Iriani (2021) dalam skripsinya yang berjudul “Doksa Perempuan Tionghoa dalam Novel Mei Merah 1998: Kala Arwah Berkisah Karya Naning Pranoto Perspektif Pierre Bourdieu”, mencoba

menganalisis struktur novel serta mengungkap doksa dalam cerpen terssebut.

Pembahasan penelitian ini, Iriani mengkaji tokoh, latar yang menekankan pada latar sosial, dan alur. Juga adanya habituskelas dominan, kaum borjuis kecil, kelas populer, yang dikaitkan dengan kejadian yang ada dalam novel. Kemudian adanya modal ekonomi, budaya, simbolik yang didukung dengan bukti kejadian dalam novel. Arena pada penelitian ini menekankan pada etnis Tionghoa yang berupa arena sosial politik, etnis Tionghoa, perempuan. Lalu ditutup dengan temuan doksa mengenai ras dan etnis, status sosial dan ekonomi, ortodoksa, heterodoksa, serta sedikit kekerasan simbolik di dalamnya. Dari penelitian ini, Iriani mencoba mengungkapkan bahwa novel Mei Merah 1998: Kala Arwah Berkisah menggambarkan kelas sosial etnis Tionghoa pada tahun tersebut. Sehingga doksa yang ditemukan lebih menekankan pada dominasi etnis Tionghoa dan kesenjangan ras.

Dari hasil penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian tentang Strukturasi Kekuasaan dan Doksa dalam Naskah Drama Persimpangan Karya P.

Haryanto: Perspektif Pierre Bourdieu dalam objek material naskah drama berjudul Persimpangan karya P. Haryanto belum pernah dilakukan. Penelitian Pramono (2020) membantu penulis untuk memahami penerapan teori strukturasi kekuasaan

(26)

Pierre Bourdieu dalam naskah drama. Penelitian Sibarani (2020) membantu penulis dalam menyingkap pembentukan strukturasi kekuasaan Pierre Bourdieu.

Penelitian Driyastoto (2020) membantu penulis dalam memperdalam pemahaman mengenai strukturasi kekuasaan serta kekerasan simbolik dalam karya sastra.

Penelitian Barata (2017) membantu penulis dalam melihat perspektif lain penggunaan teori strukturasi kekuasaan perspektif Pierre Bourdieu yang dikaji dalam 3 judul cerpen. Kemudian penelitian Iriani (2021) sangat membantu penulis untuk memahami langkah menemukan doksa dalam karya sastra yang dipilih oleh penulis.

1.6 Pendekatan

Penelitian ini menggunakan pendekatan pendekatan diskursif. Istilah

“diskursif” yang digunakan di sini mengacu pada pengertian “wacana”

(discourse) seperti yang didefinisikan oleh Michael Foucault. Diskursus adalah cara menghasilkan pengetahuan, beserta praktik sosial yang menyertainya, bentuk subjektivitas yang terbentuk darinya, relasi kekuasaan yang ada di balik pengetahuan dan praktik sosial tersebut, serta saling keterkaitan di antara semua aspek ini (Taum, 2017: 4-5). Bentuk kritik dalam naskah drama Persimpangan menyiratkan sebuah pemaknaan terhadap kehidupan nyata manusia. Naskah drama Persimpangan merupakan contoh naskah surealis yang didalamnya mengandung unsur realis atau kritik terhadap kehidupan.

(27)

1.7 Landasan Teori

Metode Bourdieu memberi dimensi relasional – dan ini khas strukturalis – melampaui oposisi artifisial antara struktur objektif dan representasi subjektif.

Pendekatan relasional secara ringkas mengandung arti, suatu studi sosial yang mengidentifikasi realitas bukan berbasis pada substansi namun berbasis pada relasi. Apabila dibandingkan dengan metode substansial yang hanya mengakomodasi pengalaman individual, menurut Bourdieu, metode relasional jauh lebih memadai karena pemahaman terhadap realitas sosial berasal tidak dari satu sudut pandang saja, tetapi dari relasi-relasi yang terlihat maupun relasi tak terlihat (invisible relationship) memungkinkan untuk disingkap (Yuliantoro, 2016: 41). Untuk melengkapi penjelasan metode relasional ini, berikut akan dibahas perangkat konseptual Bourdieu, meliputi kelas, habitus, modal, arena.

1.7.1 Strukturasi Kekuasaan

Haryatmoko mengatakan (dalam video publikasi KPG, 2019) bahwa teori strukturasi Bourdieu membahas tentang syarat-syarat untuk bisa bertahannya atau perubahan struktur-struktur sosial dan dengan demikian menjadi syarat reproduksi sistem-sistem sosial.

1.7.1.1 Kelas

Kelas merupakan sebuah individu (aktor atau agen) yang menempati posisi atau kedudukan yang sama (Martono, 2012: 34).

(28)

1.7.1.1.1 Kelas Dominan

Kelas dominan menampilkan individu yang mampu mengakumulasi berbagai modal dan secara jelas mampu membedakan dirinya dengan orang lain untuk menunjukkan identitasnya (Martono, 2012: 35-36).

1.7.1.1.2 Kelas Borjuasi Kecil

Kelas borjuasi kecil merupakan kaum yang memiliki keinginan untuk menaiki tangga sosial, akan tetapi mereka menempati kelas menengah dalam struktur masyarakat (Martono, 2012: 35-36).

1.7.1.1.3 Kelas Populer

Kelas populer adalah mereka yang cenderung menerima dominasi kelas dominan, mereka cenderung menerima apa saja yang “dipaksakan” kelas dominan kepadanya (Martono, 2012: 35-36).

1.7.1.2 Habitus

Habitus merupakan kerangka penafsiran untuk memahami dan menilai

realitas sekaligus menghasilkan praktik-praktik kehidupan yang sesuai dengan struktur objektif. Habitus mampu menggerakkan, melakukan tindakan, dan mengorientasikan sesuai dengan posisi yang ditempati pelaku dalam lingkup sosial (Martono, 2012: 37).

Habitus didefinisikan sebagai kebiasaan masyarakat yang sudah melekat melalui proses panjang dan diyakini sebagai suatu pedoman cara berperilaku berpikir (Isnania, 2021: 3).

(29)

1.7.1.3 Modal

Modal merupakan sebuah hasil kerja yang terakumulasi (dalam bentuk

yang “terbendakan” atau bersifat “menubuh” –terjiwai dalam diri seseorang) (Martono, 2012: 32).

Modal merupakan sesuatu yang dianggap berharga dalam arena,

digunakan sebagai sumber sekaligus tujuan dari strategi kekuasaan. Jika arena adalah tempat habitus menempuh strategi, modal adalah bagian dari mekanisme strategi habitus dalam menguasai arena (Yuliantoro, 2016: 50-51).

1.7.1.3.1 Modal Sosial

Modal sosial adalah sekumpulan sumber daya yang aktual atau potensial yang terkait dengan pemilikan jaringan hubungan saling mengenal dan/atau saling mengakui yang memberi anggotanya dukungan modal yang dimiliki bersama (Martono, 2012: 32-33).

Modal sosial mengandung unsur kepercayaan, solidaritas, loyalitas, dan koneksi, sehingga dapat menjamin penerimaan eksistensi agen dalam ruang-ruang sosial yang terkait seperti keluarga, kelas sosial, paetai, sekolah, dan ruang-ruang sosial lain (Yuliantoro, 2016: 52-53).

1.7.1.3.2 Modal Budaya

Modal budaya adalah serangkaian kemampuan atau keahlian individu, termasuk di dalamnya adalah sikap, cara bertutur kata, berpenampilan, cara bergaul, dan sebagainya (Martono, 2012: 32-33).

(30)

Modal budaya bersifat institusional, yakni diobjektifikasi dalam bentuk aturan-aturan tertentu yang diasumsikan memberi jaminan mutu secara sosial, seperti gelar pendidikan atau jabatan politik (Yuliantoro, 2016: 52).

1.7.1.3.3 Modal Simbolik

Modal simbolik adalah sebuah bentuk modal yang berasal dari jenis yang lain, yang disalahkenali bukan sebagai modal yang semena, melainkan dikenali dan diakui sebagai sesuatu yang sah dan natural (Martono, 2012: 32-33).

Modal simbolik menurut Bourdieu adalah jenis modal yang sebenarnya tidak berbentuk, bahkan bersumber dari kekeliruan pengenalan, tetapi diakui, diterima, dan bahkan dapat dikonversi dengan modal-modal lain (Yuliantoro, 2016: 52).

1.7.1.4 Arena

Arena merupakan ruang khusus yang ada di dalam masyarakat. Berbagai

macam arena adalah arena pendidikan, arena bisnis, arena seniman, dan arena politik (Latiar, 2019: 52).

Arena adalah struktur relasi sosial, situasi tempat habitus mengambil

energy kekuasaan seraya menempuh strategi kekuasaan. Selain terkait secara langsung dengan habitus, arena dibentuk melalui mekanisme internal dalam konteks relasi-relasi kuasa (Yuliantoro, 2016: 45-46).

1.7.2 Doksa

Bourdieu memaknai doksa sebagai perangkat aturan, nilai, konvensi dan wacana yang mengatur arena secara keseluruhan dan berpengaruh sejak lama atau disajikan sebagai akal sehat (Emanuel, 1996: 228).

(31)

Doksa adalah akumulasi dari kapital yang dimiliki sehingga menghasilkan wacana dominan yang bersifat heterodoksa (kontra-doksa) dan orthodoksa (pro- doksa) (Latiar, 2019: 52-53).

1.7.2.1 Orthodoksa

Orthodoksa adalah pendukung doksa dalam kaitannya dengan usaha menjaga legitimasi yang dimiliki oleh wacana domain (Lathiar, 2019: 52-53).

Ortodoksi berasal dari bahasa Yunani orth yang berarti benar dan doxa yang berarti ajaran. Jadi ortodoksi berarti ajaran yang benar (Darmawan, 2012:

193-194).

1.7.2.2 Heterodoksa

Heterodoksa adalah hal-hal yang sifatnya kontra-doksa, berusaha untuk menggulingkan wacana dominan dengan membawa wacana baru (Lathiar, 2019:

52-53).

Heterodoksi berasal dari kata hetero yang berarti mirip dan doxa yang berarti ajaran. Jadi heterodoksi berarti ajaran yang mirip namun tidak benar (Darmawan, 2012: 193-194).

1.8 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan diskursif, serta teori Pierre Bourdieu tentang strukturasi kekuasaan dan doksa. Pendekatan dan teori tersebut diturunkan ke dalam metode penelitian yang meliputi tiga tahap berikut, yaitu pengumpulan data, analisis data, dan penyajian hasil analisis data.

(32)

1.8.1 Metode Pengumpulan Data

Terdapat dua sumber dalam penelitian ini, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer berasal dari naskah drama Persimpangan karya P. Haryanto. Sedangkan sumber data sekunder berasal dari

kajian pustaka-pustaka yang ditemukan secara online (internet). Data tersebut kemudian dikumpulkan dengan metode studi pustaka dengan taknik baca.

Kemudian hal mengenai kekuasaan dan doksa dicatat.

1.8.2 Metode Analisis Data

Data yang dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan metode analisis isi. Metode ini dipilih penulis untuk menemukan makna komunikasi setiap tokoh, baik secara verbal maupun nonverbal. Analisis isi berfungsi menangkap pesan- pesan yang terkandung dari wacana karya sastra. Penulis juga melakukan indentifikasi aspek-aspek strukturasi kekuasaan dan doksa dalam teori Pierre Bourdieu.

1.8.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data

Metode deskriptif kualitatif digunakan dalam penyajian hasil analisis data pada penelitian ini. Penulis menjelaskan segala isi penelitian dengan cara deskriptif dengan bentuk kalimat-kalimat.

1.8.4 Sumber Data

Karya Sastra yang menjadi objek penelitian ini memiliki identitas sebagai berikut.

Judul : Persimpangan Pengarang : P. Haryanto

(33)

Sumber online (dalam jaringan) :

http://goesprih.blogspot.com/2008/04/persimpangan.html

Sumber offline (buku) : Rumadi, A. 1988. Kumpulan Drama Remaja.

Jakarta: Grasindo.

1.9 Sistematika Penyajian

Laporan hasil penelitian ini akan disusun dalam empat bab, sebagai berikut.

Bab I terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat hasil penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian.

Bab II adalah Pembahasan. Pada bagian ini akan dijelaskan rumusan masalah yang pertama, yakni strukturasi kekuasaan yang meliputi kelas, habitus, arena dalam naskah drama Persimpangan.

Bab III adalah Pembahasan. Pada bagian ini akan dijelaskan rumusan masalah yang kedua, yakni doksa yang berisi kebenaran, keyakinan, orthodoksa dan heterodoksa dalam naskah drama Persimpangan.

Bab IV adalah Penutup yang terdiri dari kesimpulan penelitian dan saran.

Kesimpulan yang dimaksud berupa deskripsi strukturasi kekuasaan dan doksa dalam naskah drama Persimpangan. Saran yang dimaksud adalah saran kepada peneliti lain yang hendak memperdalam kajian terhadap naskah drama Persimpangan.

(34)

17 BAB II

ANALISIS STRUKTURASI KEKUASAAN DALAM NASKAH DRAMA PERSIMPANGAN KARYA P. HARYANTO

2.1 Pengantar

Sedikit penjelasan mengenai drama Persimpangan, drama ini membahas tentang berbagai tokoh yang memiliki pendapat berbeda akan keberadaan surga dan neraka. Pendapat mereka ditentukan dengan hadirnya papan persimpangan.

Banyak perdebatan yang terjadi dan membuat mereka bingung akan kebenaran papan persimpangan dan arah menuju surga. Seakan-akan dominasi setiap individu menciptakan kebenarannya masing-masing. Kebenaran yang diyakini setiap individu itu juga menentukan keberadaan mereka dalam perjalanan menuju surga. Maka pada bab ini, penulis akan meneliti secara detail mengenai strukturasi kekuasaaan sesuai dengan perspektif Pierre Bourdieu.

Pada bagian awal akan dijelaskan mengenai kelas yang menjadi persoalan utama. Seperti yang sudah dijelaskan bahwa setiap pribadi di drama ini memiliki pendapat yang berbeda mengenai keberadaan surga dan neraka, maka penulis menempatkan pembahasan mengenai kelas di bagian awal. Sebab kelas akan menunjukkan posisi atau peran individu dalam sebuah kelompok.

(35)

2.2 Kelas

Kelas merupakan sebuah individu (aktor atau agen) yang menempati posisi atau kedudukan yang sama (Martono, 2012: 34).

2.2.1 Kelas Dominan

Kelas dominan menampilkan individu yang mampu mengakumulasi berbagai modal dan secara jelas mampu membedakan dirinya dengan orang lain untuk menunjukkan identitasnya (Martono, 2012: 35-36).

Pada naskah Persimpangan di bagian babak I, kelas dominan ditunjukkan dalam adegan perdebatan antara tokoh B dan C yang berusaha untuk mengukuhkah pendapat mereka masing-masing mengenai kebenaran arah surga.

B: Tidak! Tidak goyah, tetapi berubah. Berubah tidak berarti goyah! Surga itu ke sana. Papan itu salah!

C: Tidak! Papan itu benar. Lihat, saya menunjuk dengan tangan kanan ke arah kanan juga!

B: Tanganku yang kanan juga menunjuk arah kanan. Dan aku yakin, arah surga itu ke sana! Kebenaranku tak dapat ditawar- tawar!

C: Aku tidak menawar kebenaranmu, melainkan aku menentang kebenaran yang tidak benar, kebenaran yang salah!

B: Eh! Itu berarti kau menentang kebenaranku, menentang aku?

Berarti kau menentang setiap pemakai kebenaran ini? Berarti pula kau adalah pengacau, pengkhianat, pemberontak laknat yang harus ditindas, harus dimusnahkan!

C: Tidak! Kaulah yang menentang kebenaranku! Kaulah yang menghalang-halangi dan menentang setiap pemakai kebenaran ini, itu sama artinya kamu pengacau, pengkhianat, pemberontak laknat yang harus ditindas, dimusnahkan!

Pada dialog perdebatan tersebut dapat dilihat bahwa tokoh B dan tokoh C saling memperdebatkan arah surga dan kebenaran yang mereka yakini. Tampak bahwa tokoh B dan C ingin saling mendominasi identitas mereka melalui

(36)

kebenaran akan arah surga. Pendapat mengenai kebenaran yang mereka lontarkan, seakan-akan menjadi acuan untuk memperlihatkan identitas keberadaan mereka.

Kemudian pada babak II, tokoh utama atau tokoh A mulai menunjukkan keberadaan dirinya dengan mencerca ungkapan-ungkapan tokoh lain.

A: Yang benar orang yakin itu harus bertanya pada orang bingung.

Sebab orang bingung itu artinya menemukan persoalan, menghadapi persoalan. Ia hidup! Sedang orang yang tidak bingung, seperti kau, kau,kau, dan kau adalah orang yang tidak menghadapi masalah lagi. Kalian hanya menghanyutkan diri pada kepercayaan, keyakinan dengan aman dan tenteram, tanpa pikiran, tanpa masalah, tanpa hidup lagi. Sebenarnyalah kalian itu meyakini suatu kebingungan! Pikiran-pikiran, prasangka-prasangka, tujuan- tujuan semu, harapan-harapan kabur, semua itu adalah wujud kebingungan-kebingungan yang disamarkan ke dalam keyakinan!

Camkan!

Pada dialog tersebut, terlihat bahwa tokoh A mencoba untuk menjelaskan bahwa setiap orang yang ada di persimpangan itu mengalami kebingunan walaupun ditutupi oleh kebenaran-kebenaran yang mereka anut. Tokoh A mencoba mendominasi dengan mengungkapkan bahwa tokoh lain sebenarnya mengalami kebingungan layaknya tokoh A, sebab mereka selalu berprasangka mengenai arah surga seperti yang dilakukan tokoh A.

2.2.2 Kelas Borjuasi Kecil

Kelas borjuasi kecil merupakan kaum yang memiliki keinginan untuk menaiki tangga sosial, akan tetapi mereka menempati kelas menengah dalam struktur masyarakat (Martono, 2012: 35-36).

Pada babak II, tokoh yang mencoba untuk menunjukkan eksistensinya walaupun berada dalam posisi menengah adalah tokoh D. Dalam naskah, tokoh D diceritakan sebagai pemimpin perjalanan segerombolan orang yang ingin menuju

(37)

ke surga. Akan tetapi, keberadaannya selalu ingin berada di atas sebagai pemimpin. Tokoh D sebagai pemimpin mencoba untuk berdialog dengan tokoh A untuk menunjukkan keberadaan dirinya serta kelompoknya.

D: (Membunyikan peluitnya) Tenang, tenang! Demi ketertiban dan keamanan semua harap tenang. Akan kutanyai dia. Saudara bingung?

A: Iya. Dan sebab itu aku menghentikan langkah saudara-saudara, kare…

D: Stop! Cukup! Kami sudah tahu apa yang akan saudara katakan.

Nah, Kami merasa terpanggil untuk menolong saudara.

A: Loh, memgapa?

D: Maaaa! Pinter! Itu memang pertanyaan yang bagus. Tapi sayang tidak kami perlukan. Bukan mengapanya yang penting.

A: Ya, Allah! Saya ini harus bertanya pada saudara?

D: Tentu! Dengan sendirinya! Otomatis! Sebab saudara adalah orang bingung, sedang kami manusia-manusia yakin! Orang bingung harus bertanya pada orang yakin agar ikut menikmati keyakinan.

Pada dialog tersebut sangat terlihat bahwa tokoh D berusaha mendominasi tokoh A. Tokoh D berusaha menjatuhkan tokoh A untuk meyakinkan kelompoknya. Kemudian tokoh D mencoba menguatkan keyakinan kelompoknya.

D: Ya, jelas bohong dia! Saya tegaskan sekali lagi, setelah melihat ini, melihat ini, melihat itu, menimbang sana, menimbang sini, kami memutuskan dia bohong! Dan demi persatuan ini harus diterima dengan suka rela! Nah, saudara-saudara, jawab ke mana tujuan kita semua?

SMA: Ke surgaaaaa!

D: Surga itu letaknya di mana?

SMA: Jaaaaauuuuh!

D: Jalan mana yang harus kita tempuh?

SMA: Jalan kebenaran!

D: Kebenaran itu arahnya mana, saudara?

SMA: Arah kanaaan!

D: Nah, bagaimana saudara bingung? Lihatlah, kami punya keyakinan yang teguh dan pasti bukan?

(38)

Terlihat pada dialog tersebut bahwa tokoh D tetap mencoba untuk meyakinkan kelompoknya. Tokoh D merasa terusik dengan kehadiran tokoh A di persimpangan tersebut. Sehingga tooh D ingin menjatuhkan keyakinan tokoh A.

2.2.3 Kelas Populer

Kelas populer adalah mereka yang cenderung menerima dominasi kelas dominan, mereka cenderung menerima apa saja yang “dipaksakan” kelas dominan kepadanya (Martono, 2012: 35-36).

Pada babak II, tokoh selain tokoh A dan D adalah tokoh yang ada dalam gerombolan. Mereka adalah tokoh-tokoh yang mudah terombang-ambing karena hanya mengikuti perkataan pemimpin mereka yaitu tokoh D. Mereka terus mempertanyakan perihal arah tujuan mereka ke surga dan mengikuti arahan tokoh D.

D: Tenang! Tenang! Semua saja tenang! Dengar, kita akan berhenti setelah sampai di tujuan.

K: Tujuan? Itu tujuan siapa, bung?

D: Tujuan kita bersama tentu! Surga kebahagiaan!

L: Betul, saya setuju!

M: Lalu kapan kita sampai di sana?

N: Ya, kira-kira saja kapan?

D: Kalau kita terus berjalan, kita akan sampai di sana. Percayalah!

E: Jadi kita harus jalan terus?

D: Iya! Kiuta harus jalan terus!

F: Jalan terus, terus, terus terus? Waduh!

G: Oh, ya, jadi setelah terus, terus, terus, terus… lalu berhenti?

D: Pasti! Kita berhenti setelah sampai tujuan.

H: Lalu kapan sampainya di tujuan?

D: Setelah kita jalan terus, tentu saja!

Pada dialog tersebut tampak bahwa tokoh D mencoba menjawab semua pertanyaan tokoh lain atas kebingungan mereka. Tokoh lain pun seakan

(39)

menyetujui ungkapan tokoh D. Kemudian tokoh D juga berusaha meyakinkan tokoh lain agar tidak terjadi perpecahan pendapat di antara mereka.

Pembahasan mengenai kelas sangat menunjukkan peran tiap-tiap tokoh yang ada di persimpangan. Walaupun tidak semua tokoh dijelaskan, tetapi perwakilan dari tokoh-tokoh yang dominan cukup mewakili penjabaran dari peran tokoh-tokoh di persimpangan itu.

2.3 Habitus

Habitus merupakan kerangka penafsiran untuk memahami dan menilai

realitas sekaligus menghasilkan praktik-praktik kehidupan yang sesuai dengan struktur objektif (Martono, 2012: 37).

Habitus didefinisikan sebagai kebiasaan masyarakat yang sudah melekat

melalui proses panjang dan diyakini sebagai suatu pedoman cara berperilaku berpikir (Isnania, 2021: 3).

Pada bagian ini penulis mencoba melihat habitus sebagai kebiasaan yang dilakukan oleh tokoh A dalam mempertanyakan arah menuju surga. Hal yang dilakukan oleh tokoh A juga menimbulkan kebingungan bagi setiap orang yang ingin melintasi persimpangan itu.

Pada babak I, tokoh A mencoba untuk mempertanyakan juga memengaruhi pikiran tokoh B dan C.

A: Surga? Surga?...Hah? Benar, ya benar juga. Aku juga mau ke sana. Eh, tapi, saudara, apakah kalian tahu mana jalannya, he?

C: Oh, itu mudah saja. Tiap orang tahu. Orang hapal. Pokoknya kita harus selalu melalui jalan kebenaran, jalan ke kanan. Jalan itulah yang akan menyampaikan kita ke surga.

(40)

A: Ooooo, jadi melalui jalan kebenaran, jalan ke kanan? Ke kanan…ke kanan…

B: Iya! Ke kanan! Kebenaran! (jengkel)

A: Ya, ya, ya, ke kanan, melalui kebenaran. Dan kebenaran itu mana?

B: Hah! Kebenaran itu yang ke kanan!

A: Iya! Tapi ke kanan itu yang mana?

B: Yaitu! Ke kanan itu yang kebenaran.

A: Iya! Tapi kebenaran itu…..

B: Kebenaran itu yang ke kanan.

A: Aduuuhh! Itulah yang kutanyakan! Aku bisa menjadi tolol ini!

C: Saudara! Saya harap jangan membikin hinaan yang lain lagi.

Kebenaran kita ini telah dipermudah dengan tanda-tanda. Lihat itu.

Lihat itu! Papan itu sudah menunjukkan mana jurusan surga, mana jurusan ke neraka.

A: Ya, memang, mungkin dengan tanda-tanda itu kita dipermudah.

Tapi, saudara, mempermudha itu mungkin dalam arti mempermudah benar atau mungkin mempermudah salah! Aku sudah cukup kerap tertipu oleh tanda-tanda semacam itu. Kalian juga tentunya. (berjalan mendekat tanda-tanda dan menyentuh) LIhat tanda seperti ini. Astaga. (Tonggak itu roboh terpukul tangannya)

Pada dialog tersebut terlihat bahwa tokoh A selalu mencoba untuk membuat bingung tokoh B dan C atas kebingungan yang dia alami sendiri. Tokoh A berusaha menggoyahkan keyakinan tokoh B dan C hanya untuk mencari tahu jalan yang benar untuk menuju ke surga.

Kemudian terlihat juga pada babak II, hal yang sama terjadi kembali.

Tokoh A berusaha untuk membuat bingung segerombolan orang dengan seorang pemimpin yang mencoba untuk menuju ke surga.

A: Begini, saya mau Tanya pada saudara-saudara masing-masing sebagai pribadi. Kata orang surga itu letaknya jauh, kata orang kita harus lewat jalan kebenaran, kata orang kebenaran itu kanan. Nah!

Menurut saudara, mana kebenaran itu? Mana arah kanan itu?

H: Sana! Sana, pak!

I: Kanan itu, sana, om!

J: Kita harus ke sana. Sana, pak!

K: Kanan itu sana, om!

L: Kita harus ke sana. Kebenaran kita mesti ke sana!

(41)

M: Jelas ke sana!

N: Kukira sana!

E: Kupikir ke sana!

F: Kuduga ke sana!

G: Kuharap ke sana!

H: Ke sana aku yakin, nih. Sana. Pasti! Poastiiiii!

Dari kedua dialog di babak I dan II terlihat bahwa tokoh A berhasil menciptakan kebingungan bagi orang-orang yang ingin menuju ke surga. Habitus yang diciptakan tokoh A membuat setiap orang turut merasa kebingungan layaknya tokoh A. Keyakinan mereka pun terombang-ambing sehingga setiap orang di persimpangan itu memiliki tujuannya sendiri-sendiri sesuai keyakinan arah yang dituju.

2.4 Modal

Modal merupakan sebuah hasil kerja yang terakumulasi (dalam

bentuk yang “terbendakan” atau bersifat “menubuh” –terjiwai dalam diri seseorang) (Martono, 2012: 32).

Modal merupakan sesuatu yang dianggap berharga dalam arena,

digunakan sebagai sumber sekaligus tujuan dari strategi kekuasaan. Jika arena adalah tempat habitus menempuh strategi, modal adalah bagian dari mekanisme strategi habitus dalam menguasai arena (Yuliantoro, 2016: 50-51).

2.4.1 Modal Sosial

Modal sosial adalah sekumpulan sumber daya yang aktual atau potensial yang terkait dengan pemilikan jaringan hubungan saling mengenal dan/atau saling mengakui yang memberi anggotanya dukungan modal yang dimiliki bersama (Martono, 2012: 32-33).

(42)

Modal sosial mengandung unsur kepercayaan, solidaritas, loyalitas, dan koneksi, sehingga dapat menjamin penerimaan eksistensi agen dalam ruang-ruang sosial yang terkait seperti keluarga, kelas sosial, paetai, sekolah, dan ruang-ruang sosial lain (Yuliantoro, 2016: 52-53).

Dalam naskah persimpangan, modal sosial dilakukan oleh tokoh A ketika menyambut gerombolan orang yang datang di persimpangan itu. Tokoh A seakan- akan tahu tujuan dan arah yang ingin dituju dari gerombolan orang tersebut.

A: Ahoi! Saudara-saudara, selamat datang! Jangan diam dan sedih, jangan ragu, jangan bimbang. Di sini kita bebas memilih. Ke sana?

Ke sana? Ke sana? Atau di sini saja menanti.

Dialog yang diucapkan oleh tokoh A menunjukkan bahwa ia tahu kemana gerombolan orang itu akan pergi. Ia tidak berusaha untuk mendominasi gerombolang orang itu akan keberadaanya. Tokoh A sengaja menyambut mereka karena tahu kejadian yang terjadi di babak I (kejadian sebelumnya). Kehadiran gerombolan itu juga menjadi gambaran bahwa tokoh A mengetahui apa yang akan terjadi pada mereka.

2.4.2 Modal Budaya

Modal budaya adalah serangkaian kemampuan atau keahlian individu, termasuk di dalamnya adalah sikap, cara bertutur kata, berpenampilan, cara bergaul, dan sebagainya (Martono, 2012: 32-33).

Modal budaya bersifat institusional, yakni diobjektifikasi dalam bentuk aturan-aturan tertentu yang diasumsikan memberi jaminan mutu secara sosial, seperti gelar pendidikan atau jabatan politik (Yuliantoro, 2016: 52).

(43)

Pada drama persimpangan, penulis melihat pada kebiasaan tokoh A yang bertutur kata layaknya orang bingung dan juga memengaruhi keyakinan tokoh lain. Walaupun memang modal budaya tidak terlalu terlihat dalam setiap dialog di naskah persimpangan ini, tetapi penulis mencoba melihat pada kebiasan yang dilakukan oleh tokoh A.

(1)A: Ampuuuuun! Saya sama sekali tidak bermaksud menjadi semacam itu, saudara. Saya hanya merasa lucu pada papan itu, pada tulisan itu, mengapa begitu hebat kemampuannya, membuat orang tunduk, patuh, menurut, tanpa bertanya-tanya lagi, tanpa pikir-pikir lagi!

(2)A: Ampuuuuun! Aku jadi bingung! Waduh! Kalian tadi rukun, sekarang jadi tidak rukun. Ya Tuhan, kalian mau ke surga. Untuk ke surga harus melalui jalan kebenaran. Dan…jalan kebenaran itu arahnya kanan. Dan arah kanan itu sana….atau sana…..eh, sana….eh, eh….. Loh, aneh! Sana kanan, sana juga kanan. Sana juga kanan, sana juga kanan. Bawah juga kanan! Ampuuuunn! Aku jadi bingung! Apa benar semua arh itu kanan? Apa benar semua jalan itu benar? He?

(3)A: Begini, saya mau Tanya pada saudara-saudara masing- masing sebagai pribadi. Kata orang surga itu letaknya jauh, kata orang kita harus lewat jalan kebenaran, kata orang kebenaran itu kanan. Nah! Menurut saudara, mana kebenaran itu? Mana arah kanan itu?

Dialog (1)A yang diungkapkan tokoh A pada babak I, terlihat bahwa tokoh A berusaha untuk mempertanyakan kebenaran dari papan persimpangan itu.

Yang dilakukan oleh tokoh A tentu membuat tokoh B dan C mempertanyakan kebenaran papan persimpangan tersebut.

Kemudian dialog (2)A pada babak I, tokoh A kembali mempertanyakan arah menuju ke surga melalui arah tangan kanannya tertuju. Tokoh A merasa semua arah itu adalah kanan, hal itulah yang semakin membuatnya menjadi bingung. Hal yang dilakukan tokoh A tentu membuat tokoh B dan C semakin

(44)

bingung dengan arah yang mereka pilih sehingga akhirnya tokoh B dan C pergi menuju arah yang mreka yakini masing-masing.

Dialog (3)A pada babak II yang diungkapkan pula oleh tokoh A, membuat semua orang (segerombolan yang ingin menuju ke surga) menjadi bingung dengan arah tujuan mereka. Alhasil, setiap orang di persimpangan itu menunjuk arah ke surga sesuai dengan yang mereka pikirkan. Mereka terhasut oleh perkataan tokoh A sehingga mereka bingung dengan arah menuju ke surga.

2.4.3 Modal Simbolik

Modal simbolik adalah sebuah bentuk modal yang berasal dari jenis yang lain, yang disalahkenali bukan sebagai modal yang semena, melainkan dikenali dan diakui sebagai sesuatu yang sah dan natural (Martono, 2012: 32-33).

Modal simbolik menurut Bourdieu adalah jenis modal yang sebenarnya tidak berbentuk, bahkan bersumber dari kekeliruan pengenalan, tetapi diakui, diterima, dan bahkan dapat dikonversi dengan modal-modal lain (Yuliantoro, 2016: 52).

Modal simbolik pada naskah drama persimpangan terlihat pada dialog- dialog yang terjadi antara tokoh A, B dan C. Mereka memperdebatkan mengenai papan persimpangan yang sudah lama terletak di persimpangan itu.

C: Saudara! Saya harap jangan membikin hinaan yang lain lagi.

Kebenaran kita inin telah dipermudah dengan tanda-tanda. Lihat itu. Lihat itu! Papan itu sudah menunjukkan mana jurusan surga, mana jurusan ke neraka.

A: Ya, memang, mungkin dengan tanda-tanda itu kita dipermudah.

Tapi, saudara, memeprmudah itu mungkin dalam arti mempermudah benar atau mungkin mempermudah salah! Aku sudah cukup kerap tertipu oleh tanda-tanda semacam itu. Kalian juga tentunya. (Berjalan mendekat tanda-tanda dan menyentuh)

(45)

Lihat tanda seperti ini. Astaga. (Tonggak itu roboh terpukul tangannya)

BC: (Menjerit melankolis, kemudian diam kaku ketika ada dentang-dentang bergaung)

A: Betapa rapuhnya! (Mendirikan kembali tanda itu, namun ternyata terbalik arahnya, kanan neraka, kiri surga)

BC: Syukurlah, selamat kita semua! (Bernapas lega) A: Betapa rapuhnya!

BC: Apa? Apa kata saudara?

A: Betapa rapuhnya pendirian itu.

B: Oh!

C: Bukan rapuh! Tapi saudara yang kurangajar! Saudara telah lancang mengutik-utiknya hingga roboh. Itu berarti saudara meragukan kebenaran ini, berarti saudara tidak mempercayai kebenaran ini, berarti saudara menentang setiap pemakai jalan ini, berarti pula saudara adalah pengacau! Pemberontak! Pengkhianat laknat! (emosi makin memuncak)

A: Ampuuuuun! Saya sama sekali tidak bermaksud menjadi semacam itu, saudara. Saya hanya merasa lucu pada papan itu, pada tulisan itu, mengapa begitu hebat kemampuannya, membuat orang tunduk, patuh, menurut, tanpa bertanya-tanya lagi, tanpa pikir-pikir lagi!

Dalam dialog itu terlihat bahwa tokoh A tidak sengaja menjatuhkan papan persimpangan dan mengubah arahnya. Sementara tokoh C berusaha mencela tokoh A dengan mengatakan bahwa papan persimpangan itu adalah jalan kebenaran menuju surga. Modal simbolik yang terlihat adalah papan persimpangan itu seakan-akan menjadi acuan bagi tokoh C. Ia merasa bahwa papan persimpangan itu benar karena sudah diuji waktu dan musim sehingga papan itu benar-benar menunjukkan arah surga ke arah kanan.

Berdasarkan pembahasan mengenai modal, naskah persimpangan memiliki bagian-bagian yang dapat dimasukkan dalam penjabaran modal.

Penjabaran tersebut pula yang akan membawa penulis pada pemahaman akan doksa yang terjadi dalam naskah drama persimpangan.

(46)

2.5 Arena

Arena merupakan ruang khusus yang ada di dalam masyarakat. Berbagai

macam arena adalah arena pendidikan, arena bisnis, arena seniman, dan arena politik (Latiar, 2019: 52).

Arena adalah struktur relasi sosial, situasi tempat habitus mengambil

energy kekuasaan seraya menempuh strategi kekuasaan. Selain terkait secara langsung dengan habitus, arena dibentuk melalui mekanisme internal dalam konteks relasi-relasi kuasa (Yuliantoro, 2016: 45-46).

Arena yang ada di naskah persimpangan adalah arena religiusitas.

Penjabaran mengenai latar tempat drama Persimpangan menggambarkan ajaran- ajaran agama bahwa jalan menuju surga adalah jalan kebenaran melalui arah kanan, sedangkan jalan menuju ke neraka adalah ke kiri.

Jalan ini tertegun di tebing, terbelah dua ke kanan dank e kiri.

Jalan yang gersang di hari panas. Sedang di tengah persimpangan itu berdiri sebuah tonggak yang mendukung sepotong papan berujung runcing kanan-kirinya. Di bagian kiri papan itu tertulis

“neraka”, di bagian kanan tertulis “surga”. Sedemikian yakin papan itu berkata kepada kita, bahwa jalan yang ke kanan itu menuju ke surga, sedang yang ke kiri menuju langsung ke neraka.

Penjabaran tersebut menunjukkan bahwa arena dalam naskah drama persimpangan memiliki kaitan dengan ajaran agama. Arena tersebut juga sebagai latar permasalahan yang dialami setiap tokoh dalam naskah. Pada akhirnya nanti setiap tokoh akan menentukan arah tujuan mereka menuju ke surga.

(47)

2.6 Rangkuman

Pembahasan pada Bab II telah menganalisis proses terbentuknya doksa dalam naskah drama Persimpangan. Pembahasan ini sebagai dasar pemikiran untuk pembahasan doksa pada Bab III. Penulis memahami bahwa analisis kelas, habitus, modal, dan arena sangat penting untuk membedah permasalahan yang ada di dalam naskah. Terlihat bahwa tokoh A bukan ingin menunjukkan jati dirinya sebagai penguasa atau pemberi arah di persimpangan. Tokoh A menunjukkan keberadaanya atas dasar kebingunan yang dia alami sehingga memengaruhi keyakinan setiap orang yang melintas di persimpangan itu.

Analisis mengenai kelas adalah hal yang utama, karena kelas menunjukkan peran tokoh-tokoh dalam naskah drama Persimpangan. Analisis mengenai habitus menemukan bahwa tokoh A memiliki peran membuat kepercayaan tokoh lainnya berubah. Kemudian analisis modal menunjukkan bahwa dialog-dialog yang dimunculkan oleh tokoh A maupun tokoh lain memiliki makna untuk menunjukkan keberadaan mereka di persimpangan. Analisis arena menjabarkan bentuk drama Persimpangan yang menggambarkan ajaran agama mengenai surga dan neraka. Arena di dalam naskah juga menjadi tempat utama terjadinya permasalahan di dalam naskah. Doksa semakin terlihat dari peran dominan dan tidak dominan tokoh naskah drama Persimpangan. Maka analisis doksa akan dijabarkan pada Bab III secara detail.

Rangkuman lain mengenai penjabaran kelas hingga arena dimuat dalam tabel berikut ini.

(48)

Tabel I

Rangkuman Strukturasi Kekuasaan dalam Naskah Drama Persimpangan Karya P. Haryanto

No Struktur Kekuasaan

Bentuk Keterangan

Kelas Dominan

Dominasi Dominasi kebenaran dari tokoh B dan C pada babak I dan dominasi tokoh A pada babak II.

1 Kelas

Kelas Borjuasi Kecil

Eksistensi Tokoh D pada babak II menjatuhkan tokoh A untuk menunjukkan eksistensinya.

Kelas Populer

Mengekor Tokoh selain tokoh A dan D pada babak II menuruti ucapan tokoh D.

2 Habitus Kebingungan Tokoh pada A babak I dan II kerap memebuat tokoh lain bingung sehingga mereka pergi ke arah surga masing-masing.

Modal Sosial

Kepekaan Pada babak II, tokoh A menyambut gerombolan seakan tahu tujuan mereka.

3 Modal

Modal Budaya

Ungkapan Ungkapan yang dilontarkan tokoh A pada babak I dan II kerap menimbulkan kebingungan bagi tokoh lain.

Modal Simbolik

Papan

Persimpangan

Pada babak I, papan persimpangan kental dijadikan sebagai simbol penunjuk arah yang benar.

4 Arena Religiusitas Penggambaran ajaran agama

mengenai surga dan neraka.

(49)

32 BAB III

DOKSA DALAM NASKAH DRAMA PERSIMPANGAN KARYA P. HARYANTO

3.1 Pengantar

Analisis mengenai strukturasi kekuasaan (habitus, kelas, modal, arena) telah dibahas pada Bab II. Pada Bab III ini akan dikaji mengenai doksa yang terjadi dalam naskah drama Persimpangan karya P. Haryanto. Doksa menjadi puncak atau titik temu dari permasalahan yang terjadi dalam naskah, sehingga akan ditemukan orthodoksa dan heterodoksa.

Pembahasan pada Bab III ini akan lebih mengacu pada doksa sebagai tujuan utama para tokoh untuk menuju ke surga. Surga menjadi momen bagi tokoh yang mepercayai arah kanan sebagai arah menuju ke surga, sedangkan tokoh yang tidak mempercayai arah menuju surga tidak percaya dengan kebenaran yang dianut tokoh-tokoh lain.

Seperti halnya pada ajaran kaum ortodoksi yang mempercayai ajaran yang benar, sedangkan heterodoksi merupakan ajaran yang salah. Dalam kaitannya dengan naskah drama Persimpangan, doksa, ortodoksa, dan heterodoksa dilihat sebagai bentuk religiusitas dimana manusia kerap mendabakan surga.

Maka pembahasan pada bab III ini akan mengupas siapa saja tokoh yang memiliki persepsi bahwa arah surga adalah menuju ke kanan siapa yang menyangkal persepsi bahwa arah surge adalah ke kanan.

(50)

3.2 Doksa

Bourdieu memaknai doksa sebagai perangkat aturan, nilai, konvensi dan wacana yang mengatur arena secara keseluruhan dan berpengaruh sejak lama atau disajikan sebagai akal sehat (Emanuel, 1996: 228).

Penulis lain mengungkapkan doksa sebagai akumulasi dari kapital yang dimiliki sehingga menghasilkan wacana dominan yang bersifat heterodoksa (kontra-doksa) dan orthodoksa (pro-doksa) (Latiar, 2019: 52-53).

Doksa yang terjadi pada naskah drama Persimpangan terjadi pada dialog- dialog yang diutarakan oleh tokoh C pada babak I yang mempercayai papan persimpangan sebagai kebenaran arah menuju surga.

(1)C: Saudara! Saya harap jangan membikin hinaan yang lain lagi.

Kebenaran kita ini telah dipermudah dengan tanda-tanda. Lihat itu.

Lihat itu! Papan itu sudah menunjukkan mana jurusan Surga, mana jurusan ke Neraka.

(2)C: Oh, itu mudah saja. Tiap orang tahu. Orang hapal. Pokoknya kita harus selalu melalui jalan kebenaran, jalan ke kanan. Jalan itulah yang akan menyampaikan kita ke surga.

Pada contoh dialog yang diutarakan oleh tokoh C tersebut, dapat terlihat bahwa papan persimpangan itu adalah satu-satunya jalan kebenaran bagi mereka.

Papan persimpangan itu seakan-akan membentuk kepercayaan setiap orang yang melewati persimpangan. Hal tersebut sama seperti ajaran kaum ortodoks yang meyakini bahwa jalan kebenaran adalah jalan menuju ke surga.

3.2.1 Kebenaran

Kebenaran di dalam naskah drama diperlihatkan lebih jelas pada babak I.

Tokoh A mulai menanyakan ke mana arah yang benar untuk menuju ke surga.

Tetapi, perdebatan yang terjadi semakin membuat tokoh A menjadi bingung.

(51)

A: Surga? Surga?...Hah? Benar, ya benar juga. Aku juga mau ke sana. Eh, tapi, saudara, apakah kalian tahu mana jalannya, he?

C: Oh, itu mudah saja. Tiap orang tahu. Orang hapal. Pokoknya kita harus selalu melalui jalan kebenaran, jalan ke kanan. Jalan itulah yang akan menyampaikan kita ke surga.

A: Ooooo, jadi melalui jalan kebenaran, jalan ke kanan? Ke kanan…ke kanan…

B: Iya! Ke kanan! Kebenaran! (jengkel)

A: Ya, ya, ya, ke kanan, melalui kebenaran. Dan kebenaran itu mana?

B: Hah! Kebenaran itu yang ke kanan!

A: Iya! Tapi ke kanan itu yang mana?

B: Yaitu! Ke kanan itu yang kebenaran.

A: Iya! Tapi kebenaran itu…..

B: Kebenaran itu yang ke kanan.

A: Aduuuhh! Itulah yang kutanyakan! Aku bisa menjadi tolol ini!

Dialog tersebut menunjukkan bahwa doksa muncul sebagai jalan menuju ke surga. Tokoh B dan C pun mencoba untuk menjelaskan kepada tokoh A bahwa jalan menuju ke surga adalah jalan ke kanan. Kebenaran-kebenaran yang dianut oleh tokoh B dan C menjadikan mereka yakin bahwa jalan menuju ke surga adalah jalan menuju ke kanan. Tokoh B dan C yakin bahwa kebenaran mereka mutlak dan tidak dapat diubah oleh tokoh A.

3.2.2 Keyakinan

Pembahasan mengenai keyakinan tidak jauh berbeda dengan kebenaran, sebab keyakinan yang dimiliki setiap tokoh menjadi kebenaran bagi mereka. Pada babak I, keyakinan diceritakan ketika tokoh B dan C dengan keyakinan mereka akan menuju ke surga.

A: Ampuuuun! Aku tidak bermaksud menjadi semacam itu-itu tadi. Aku toh hanya merasa lucu, mengapa tonggak penunjuk yang nampaknya kokoh itu ternyata mudah benar tumbangnya. Saudara harap mengerti.

C: Kita diburu waktu. Kita tidak tahu apakah surga sudah dekat atau masih jauh dari sini. Mari kita teruskan langkah kita dengankepercayaan. Agar selamat, kita harus percaya dan yakin.

(52)

B: Ya, mari melangkah dengan keyakinan. Tidak usah mengurusi orang abnormal itu. Keyakinan kita adalah satu-satunya kebenaran!

Ayo! (Melangkah ke arah kanan.)

Dialog tersebut menjelaskan bahwa keyakinan tokoh B dan C adalah mutlak. Dengan adanya papan persimpangan, tokoh B dan C yakin bahwa arah menuju ke surga adalah arah kanan. Doksa kembali hadir dalam dialog tersebut yang menyatakan bahwa keyakinan tokoh B dan C adalah satu-satunya kebenaran.

Serta papan persimpangan itu adalah penunjuk arah yang benar.

3.3 Orthodoksa

Orthodoksa adalah pendukung doksa dalam kaitannya dengan usaha menjaga legitimasi yang dimiliki oleh wacana domain (Lathiar, 2019: 52-53).

Ortodoksi berasal dari bahasa Yunani orth yang berarti benar dan doxa yang berarti ajaran. Jadi ortodoksi berarti ajaran yang benar (Darmawan, 2012:

193-194).

Pada pembahasan orthodoksa, lebih ditekankan pada tokoh-tokoh yang memiliki keyakikan kuat akan jalan menuju ke surga adalah jalan ke kanan. Pada babak I terdapat tokoh B dan C yang sangat meyakini kebenaran papan persimpangan.

(1)C: Oh, itu mudah saja. Tiap orang tahu. Orang hapal. Pokoknya kita harus selalu melalui jalan kebenaran, jalan ke kanan. Jalan itulah yang akan menyampaikan kita ke surga.

(2)C: Saudara! Saya harap jangan membikin hinaan yang lain lagi.

Kebenaran kita ini telah dipermudah dengan tanda-tanda. Lihat itu.

Lihat itu! Papan itu sudah menunjukkan mana jurusan Surga, mana jurusan ke Neraka.

Referensi

Dokumen terkait

suatu metodologi pemecahan masalah yang terstruktur, mulai tahapan menentukan permasalahan sampai menentukan solusi yang terkait langsung dengan penyebab permasalahan dan

Bercliri' melonrpat clen-qan keting'lian l0 cnr kedtra kaki simLrltan Bercliri: melompat diatas kaki kanan l0 kali didalarn lin-ekaran 60 CM. Beroiri: melompat diatas

Kegiatan PKP yang dilaksanakan di rumah sakit meliputi: mempelajari fungsi dan tugas rumah sakit dalam pelayanan kesehatan masyarakat, mempelajari sistematika kerja Instalasi

diimplementasikan tidak hanya pada bidang pengembangan sistem informasi, tetapi dapat digunakan sebagai basis data yang responsif untuk berkolaborasi dengan sistem kendali

SATUAN KERJA DIREKTORAT PEMBINAAN SEKOLAH MENENGAH

[r]

dipertimbangkan pegawai ARS dalam motivasi bekerja pada BROS dan mampu menjelaskan semua varian yang ada dalam data. Kelima faktor tersebut, yaitu: a. Faktor Affiliation

Maka dari itu penulis mencoba membuat perancangan komunikasi visual guna mendokumentasikan bahasa Semarangan sebagai sarana panduan bagi remaja di Semarang untuk