• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PENUTUP

4.2 Saran

arah menuju ke surga, ia merasa semua jalan itu benar dan mungkin juga tidak benar. Bahkan pada setiap babak, tokoh A selalu mempertanyakan kebenaran yang dianut oleh tokoh lain. Tokoh dapat dikatakan sebagai tokoh yang menolak hadirnya papan persimpangan dan tidak meyakini kebenaran papan persimpangan.

cobalah untuk mengkaji dengan teori lain agar muncul banyak pemahaman baru yang dapat didiskusikan atau bahkan dijadikan bahan seminar.

48

DAFTAR PUSTAKA

Barata, Patrick Ardina. 2017. “Strukturasi Kekuasaan Dan Kekerasan Simbolik Dalam Cerpen “Ayam”, “Suatu Malam Suatu Warung”, Dan “Tahi”

Dalam Kumpulan Cerpen Hujan Menulis Ayam Karya Sutardji Calzoum Bachri: Sebuah Perspektif Pierre Bourdieu”. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

Darmawan, Dadang. 2012. “Ortodoksi dan Heterodoksi Tafsir”. Jurnal Refleksi, 13(2), 193-194.

Driyastoto, Roni. 2020. “Strukturasi Kekuasaan Dan Kekerasan Simbolik Tiga Cerpen Eka Kurniawan Dalam Antologi Cerpen Cinta Tak Ada Mati:

Perspektif Pierre Bourdieu”. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

Emanuel, Susan. 1996. The Rule of Art, Genesis and Structure of the Literary Field.Trans. Cambridge: Polity Press.

Giddens, Anthony. 2010. Teori Strukturasi Dasar-Dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Haryatmoko. 2019. Pierre Bourdieu: Teori Arena | Philosophy Underground 2019: Filsafat Ilmu, KPG Video Youtube, Teater Utan Kayu, Jakarta. 2 jam 1 menit. Stable URL: https://youtu.be/yrVYBRWJpHo. Diunduh 25/01/2022, 20.35.

Isnania, Rahma, dkk. 2021. Anak Miskin Dilarang Bercerita: Mengungkap Wacana Kekerasan Simbolik, Kekuasaan, dan Dominasi Kelas Sosial dalam Cerita Anak. Depok: PT RajaGrafindo Persada.

Iriani, Bertha Tria. 2021. “Doksa Perempuan Tionghoa Dalam Novel Mei Merah 1998: Kala Arwah Berkisah Karya Naning Pranoto: Perspektif Pierre Bourdieu”. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

Latiar, Hadira. 2019. “Penerapan Logika Berpikir Pierre Bourdieu bagi Pustakawan”. Jurnal Pustaka Budaya, 6(2), 50-54.

Marantika, Juliaans. E. R. 2014. “Drama Dalam Pembelajaran Bahasa Dan Sastra”. Jurnal Unpatti, 11(2), 95-96.

Martono, Nanang. 2012. Kekerasan Simbolik di Sekolah: Sebuah Ide Sosiologi Pendidikan Pierre Bourdieu. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Pratiwi, Dr. Yuni. 2014. Teori Drama dan Pembelajarannya. Yogyakarta:

Penerbit Ombak.

Pramono, Andreas Yuda. 2020. “Strukturasi Kekuasaan Dan Doxa Dalam Naskah Drama “Sobrat” Karya Arthur S. Nalan: Perspektif Pierre Bourdieu”.

Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

Rumadi, A. 1988. Kumpulan Drama Remaja. Jakarta: Grasindo.

Sibarani, Friska. 2020. “Strategi Kekuasaan dalam Novel Pengakuan Eks Parasit Lajang Karya Ayu Utami: Perspektif Pierre Bourdieu”. Yogyakarta:

Universitas Sanata Dharma.

Sinaga, Nestor. 2016. Teori Struktuasi Konstruktif Ala Pierre Bourdieu. Depok:

UI.

Taum, Yoseph Yapi. 2017. “Kritik Sastra Diskursif: Sebuah Reposisi”. Dalam Kumpulan Makalah Seminar Nasional Kritik Sastra.

Yuliantoro, M. Najib. 2016. Ilmu dan Kapital: Sosiologi Ilmu Pengetahuan Pierre Bourdieu. Yogyakarta: PT Kanisius.

50

SINOPSIS & LAMPIRAN

Naskah Drama Persimpangan Karya P. Haryanto

Naskah drama Persimpangan menceritakan tentang orang-orang yang memiliki tujuan untuk menuju ke surga. Orang-orang ini hadir di persimpangan dan mempercayai papan persimpangan sebagai satu-satunya penunjuk jalan juga sebagai jalan menuju kebenaran. Hadirnya papan persimpangan menjadikan orang-orang yakin bahwa ara menuju ke surga melalui jalan ke kanan. Namun, terdapat tokoh yang tidak mempercayai kebenaran dari papan persimpangan yaitu tokoh A. Ia hadir sebagai satu-satunya tokoh yang meragukan kebenaran papan persimpangan dan kebenaran yang dianut setiap orang di persimpangan. Hingga pada akhirnya muncul perdebatan antara setiap orang yang melintas di persimpangan dengan tokoh A. Kebenaran yang dianut oleh setiap orang menjadi berubah akibat perlakuan tokoh A, sebab ia merasa bingung dengan kebenaran-kebenaran tersebut. Hingga pada akhirnya, semua orang memilih jalan tujuannya masing-masing untuk menuju ke surga tanpa memperhatikan arah dari papan persimpangan.

Naskah Drama Persimpangan karya P. Haryanto dalam Buku Kumpulan Drama Remaja

Lakon

PERSIMPANGAN

P. Haryanto

(Introspeksi untuk Aku Aku Aku)

Jalan ini tertegun di tebing, terbelah dua ke kanan dan ke kiri. Jalan yang gersang di hari yang panas. Sedang di tengah persimpangan itu berdiri sebuah tonggak yang mendukung sepotong papan berujung runcing kanan-kirinya. Di bagian kiri papan itu tertulis “Neraka”, di bagian kanan tertulis “Surga”. Sedemikian yakin papan itu berkata kepada kita, bahwa jalan yang ke kanan itu menuju ke surga, sedang yang ke kiri menuju

langsung ke Neraka.

BABAK I

CAHAYA MEREDUP KETIKA TERDENGAR MUSIK GENDERANG BERDENTAM-DENTAM. KETIKA PUKULAN GENDERANG MULAI SURUT, MENDERULAH MUSIK GELISAH DIIRINGI CAHAYA SEMAKIN TERANG.

SEMENTARA ITU TOKOH A MUNCUL DARI ANTARA KITA DENGAN LANGKAHNYA YANG LELAH. SESAMPAINYA DI PERSIMPANGAN ITU LAGI-LAGI IA MENJADI RAGU UNTUK MENENTUKAN PILIHANNYA. AKHIRNYA IA BERISTIRAHAT DI BAWAH PAPAN PENUNJUK JALAN ITU. SESAAT KEMUDIAN SAMPAILAH TOKOH B DAN TOKOH C DI TEMPAT ITU DENGAN BERBIMBINGAN, PENAT TUBUH PENAT HATI.

B

Persimpangan….

C

Persimpangan jalan lagi?

B

Ya, untuk kesekian kalinya kita menemukan persimpangan.

C

Alangkah melelahkannya perjalanan ini.

B

Memang. Tapi kita harus berjalan juga.

C

Ya, kita tak pernah bisa berhenti. Sampai kapan kita harus jalan?

B

(Diam, menatap penunjuk jalan itu.) C

Dan kemana lagi arah perjalanan kita?

B

Lihat, lihatlah penunjuk itu.

A

Eh! Apa yang kalian lihat he?

B

Ah, ada orang rupanya. Itu, papan penunjuk jalan itu yang kami lihat.

A

O… kusangka aku. Tapi saudara, apa tadi kalian tidak melihat aku?

C Melihat?

B

Ya, dia bertanya (Menoleh kepada C)

Ya, saudara! Semula kami memang tidak melihatmu, sebab kami hanya memperhatikan tanda-tanda demi tujuan kami. Dan tiba-tiba saudara mengejutkan kami,

maka….klap….kami melihat saudara sekarang. (Tertawa) A

(Tertawa) Aku tadi juga tak melihat kalian. Aku sedang berpikir-pikir, dan tiba-tiba saudara berteriak. Maka, klap…klap… Aku terkejut melihat kalian. (Tertawa) Waaah!

Memang, untuk dapat saling melihat kita membutuhkan kejutan-kejutan! (Terdengar dentang-dentang mengetuk hati)

C

Mari, kita teruskan langkah kita.

B

Ya, mari. Selamat tinggal saudara!

C

Selamat tinggal!

A

Lho! Kalian ini mau ke mana?

BC

Ha? Ke mana?

B

Saudara bertanya apa?

C

Saudara bertanya apa?

A

Ampun! Ke mana kalian akan pergi?

B

Ke mana kita akan pergi?

C

Ah, menghina! Dia menguji kita.

B

Saudara! Saya harap saudara jangan mencoba menguji kami. Penghinaan!

A

Haaah? Menguji? Menghina? Jadi mudah benar berprasangka di perjalanan yang gersang ini. Saudara, saya tidak menguji kalian. Aku tidak bermaksud menghina kalian.

Aku kan hanya bertanya ke mana kalian akan pergi?

C

Penghinaan lagi!

B

Lagi penghinaan! Saudara jangan pura-pura tak tahu!

A

Astaga! Minta ampun! Aku tidak tahu maksud kalian sebelum kalian katakan, saudara.

C

Terlalu! Semua orang di perjalanan ini sama tujuannya, saudara. Juga saudara, jika masih belum sinting!

B

Kami mau ke Surga.

C

Ya, kami mau ke Surga.

A

Surga? Surga?... Hah? Benar, ya benar juga. Aku juga mau ke sana. Eh, tapi, saudara, apakah kalian tahu mana jalannya, he?

C

Oh, itu muda saja. Tiap orang tahu. Orang hapal. Pokoknya kita harus selalu melalui jalan kebenaran, jalan ke kanan. Jalan itulah yang akan menyampaikan kita ke Surga.

A

Ooooo, jadi melalui jalan kebenaran, jalan ke kanan? Ke kanan… ke kanan…

B

Iya! Ke kanan! Kebenaran! (Jengkel) A

Ya, ya ,ya, ke kanan, melalui kebenaran. Dan kebenaran itu mana?

B

Hah! Kebenaran itu yang ke kanan!

A

Iya! Tapi ke kanan itu yang mana?

B

Yaitu! Ke kanan itu yang kebenaran.

A

Iya! Tapi kebenaran itu….

B

Kebenaran itu yang ke kanan.

A

Aduuuuh! Itulah yang kutanyakan! Aku bisa jadi tolol ini!

C

Saudara! Saya harap jangan membikin hinaan yang lain lagi. Kebenaran kita ini telah dipermudah dengan tanda-tanda. Lihat itu. Lihat itu! Papan itu sudah menunjuk mana jurusan Surga, mana jurusan ke Neraka.

A

Ya, memang, mungkin dengan tanda-tanda itu kita dipermudah. Tapi, saudara,

mempermuda itu mungkin dalam arti mempermuda benar atau mungkin mempermudah salah! Aku sudah cukup kerap tertipu oleh tanda-tanda semacam itu. Kalian juga tentunya. (Berjalan mendekat tanda-tanda dan menyentuh) Lihat tanda seperti ini.

Astaga. (Tonggak itu roboh terpukul tangannya) BC

(Menjerit melankolis, kemudian diam kaku ketika ada dentang-dentang bergaung) A

Betapa rapuhnya! (Mendirikan kembali tanda itu, namun ternyata terbalik arahnya, kanan Neraka, kiri Surga)

BC

Syukurlah, selamat kita semua! (Bernapas lega) A

Betapa rapuhnya!

BC

Apa? Apa kata saudara?

A

Betapa rapuhnya pendirian itu.

B Oh!

C

Bukan rapuh! Tapi saudara yang kurang ajar! Saudara telah lancang mengutik-utiknya hingga roboh. Itu berarti saudara meragukan kebenaran ini, berarti saudara tidak mempercayai kebenaran ini, berarti saudara menentang setiap pemakai jalan ini, berarti pula saudara adalah pengacau! Pemberontak! Pengkhianat laknat! (Emosi makin memuncak)

A

Ampuuuuun! Saya sama sekali tidak bermaksud menjadi semacam itu, saudara. Saya hanya merasa lucu pada papan itu, pada tulisan itu, mengapa begitu hebat

kemampuannya, membuat orang tunduk, patuh, menurut, tanpa bertanya-tanya lagi, tanpa pikir-pikir lagi!

C

Itulah kepercayaan!

B

Itulah keyakinan!

A

Kepercayaan? Keyakinan?

B

Setiap orang harus percaya dan yakin kalau ingin selamat.

C

Dan papan penunjuk itu sudah berabad-abad berdiri di situ, diuji waktu dan musim….

A

Dan ternyata rapuh.

C Astaga!

B Astaga!

C Gila!

B Sinting.

C Konyol.

B Kemplu.

C

Brengsek.

B Tolol.

C Kerbau.

B Sapi.

C Tikus.

B Anjing.

C Kucing.

B Babi!

C Kuda!

B

Jangkrik!

A

Ampuuuuun! Aku tida bermaksud menjadi semacam itu-itu tadi. Aku toh hanya merasa lucu, mengapa tonggak penunjuk yang tampaknya kokoh itu ternyata mudah benar tumbangnya. Saudara harap mengerti.

C

Kita diburu waktu. Kita tidak tahu apakah Surga sudah dekat atau masih jauh dari sini.

Mari kita teruskan langkah kita dengan kepercayaan. Agar selamat, kita harus percaya dan yakin.

B

Ya, mari kita melangkah dengan keyakinan. Tidak usah mengurusi orang abnormal itu.

Keyakinan kita adalah satu-satunya kebenaran! Ayo! (Melangkah ke arah kanan) A

(Tertegun, kemudian terkejut) Hai, saudara, kalian menuju ke Neraka!!

BC Hah?!

B

Ngaco lagi, ya? Kali ini tak kuampuni.

A

Sabar, lihat papan itu. Ke sana adalah menuju Neraka. Jurusan Surga itu ke sana.

Benar, kan?!

B

Tidak percaya.

C

Ya, tidak percaya.

B

Aneh, ya?

C

Ya, aneh.

B

Sangat aneh!

A

Lalu bagaimana?

C

Ya, kalau demikian bagaimana?

B

Ya, kalau demikian bagaimana? Ah, yang terang kita harus terus jalan.

A

Ke mana?

BC Ke mana?

B

Ke Surga, tentu saja!

A

Lewat mana?

C

Lewat jalan kanan, ke sana! (Menghadap penonton, menunjuk kanan) B

Bukan, ke sana! Tapi ke sana! (Membelakangi penonton, menunjuk kanan) C

Ah, coba kau ingat-ingat lagi. Pasti yang benar ke sana!

B

Tidak, engkau yang salah, kanan itu ke sana!

C

Tetapi papan itu juga menunuk arah Surga ke sana!

B

Itu dusta! Papan itu bohong!

C

Apakah keyakinanmu mulai goyah?

B

Tidak! Tidak goyah, tetapi berubah. Berubah tidak berarti goyah! Surga itu ke sana.

Papan itu salah!

C

Tidak! Papan itu benar. Lihat, saya menunjuk dengan tangan kanan ke arah kanan juga!

B

Tanganku yang kanan juga yang menunjuk arah kanan. Dan aku yakin, arah Surga itu ke sana! Kebenaranku tak dapat ditawar-tawar!

C

Aku tidak menawar kebenaranmu, melainkan aku menentang kebenaran yang tidak benar, kebenaran yang salah!

B

Eh! Berarti kau menentang kebenaranku, menentang aku? Berarti kau menentang setiap pemakai kebenaran ini? Berarti pula kau adalah pengacau, pengkhianat, pemberontak laknat yang harus ditindas, harus dimusnahkan!

C

Tidak! Kaulah yang menentang kebenaranku! Kaulah yang menghalang-halangi dan menentang setiap pemakan kebenaran ini, itu sama artinya kamu pengacau, pengkhianat, pemberontak laknat yang harus ditindas, dimusnahkan!

A

Ampuuuuun! Aku jadi bingung! Waduh! Kalian tadi rukun, sekarang jadi tidak rukun. Ya, Tuhan, kalian mau ke Surga. Untuk ke Surga harus melalui jalan kebenaran. Dan….jalan kebenaran itu arahnya kanan. Dan arah kanan itu sana… Atau sana….eh, sana…eh, eh…. Lho, aneh! Sana kanan, sana juga kanan, Sana juga kanan, sana juga kanan.

Bawah, juga kanan! Ampuuuun! Aku jadi bingung! Apa benar semua arah itu kanan?

Apa benar semua jalan itu benar? He?!

C

Semuanya salah! Tak ada kebenaran selain kebenaranku. Ya, kebenaran hanya satu, itulah kebenaranku! Persetan dengan kalian, dengan langkah penuh kepercayaan aku akan ke sana. Selamat tinggal orang-orang tolol. (Pergi ke arahnya sendiri, diikuti pandangan mata lainnya)

B

Kasihan, kebenaran benar-benar tidak benar!

A

Oh, tidak! Mungkin benar juga dia.

B

Heh? Jadi secara tidak langsung kau menyalahkan kebenaranku, ya?

A

Oh, tidak! Mungkin benar juga saudara.

B

Heh? O….. saya tahu sekarang, jadi secara tidak langsung saudara sendiri mengaku tidak benar, ya?

A

Oh, tidak! Mungkin benar juga saya.

B

Heh? Kalau begitu, jelasnya apa kebenaran saudara itu, he?

A

Begini. Kebenaran saya adalah, kebenaran, yaitu, kebenaran saya adalah….bingung.

B

(Tertawa) Bingung? Bingung yang kebenaran? Kebenaran yang bingung? Ya Allah, saudara telah mencari kesukaran sendiri dengan tidak mau yakin. Naaah! Selamat berbingung-bingung di persimpangan ini.

A

Ya, pergilah! Selamat melarikan diri ke dalam keyakinan.

B

Diam kau! (Lari ke arahnya sendiri, berdama dengan suara gemuruh dan cahaya yang meredup.)

BABAK II

GENDERANG MELEMAH. LAMPU MENERANG. MUSIK MENGALUN TERSENDAT-SENDAT. SEGEROMBOLAN ORANG MENDATANGI DENGAN TERHUYUNG-HUYUNG.

TOKOH A BANGKIT MENYONGSONGNYA.

A

Ahoi! Saudara-saudara, selamat datang! Jangan diam dan sedih, jangan ragu jangan bimbang. Di sini kita bebas memilih. Ke sana? Ke sana? Ke sana? Atau di sini saja menanti.

(Gerombolan orang it uterus bergerak dengan diam. Dengan mata terus menatap tanda jalan itu. Mereka menuruti petunjuk itu. Tokoh A terkejut dan memutar tanda.

Gerombolan itu berbalik arah dan berjalan lagi. Tokoh A mengubah tanda itu lagi.

Orang-orang itu menjerit bertanya.) E

Apa ini?

F

Ada apa sebenarnya?

G

Apa ayng terjadi?

H

Itu lihat itu!

I Itu, anu!

J

Tiba-tiba begitu!

K

Tiba-tiba begini!

L

Ya, dulunya tidak apa-apa lho! Lalu…blum!

M

Mengapa? Kenapa, he?

N

Mengapa begitu? Mengapa, blum? Wah pastu anu…!

E

Bagaimana, ya?

F

Aneh sih!

G

Mengherankan!

H Ajaib!

I Heboh!

J

Dahsyat man!

K

Abnormal!

L

Mengerikan!

M

Mencemaskan!

N

Menakutkan!

E

Mengharukan!

F

Waduh, waduh! Ya, Gusti, lalu bagaimana?

G

Ya, Allah jabang bayi, mengapa begitu? Seperti mimpi saja!

D

(Membunyikan peluit) Tenang! Coba tenang. Ingat, hati boleh mendidih, tapi….kepala harus dingin! Nah, bagaimana ini?

H

Aku bilang, ini alamat celaka bagi kita!

I

Ya! Firasat saya juga mengatakan jalan ke Surga tertutup bagi kita!

J Wah!

K

Kalau begitu bagaimana kita?

J

Wah! Wah!

L

Iya! Bagaimana nanti saya?

J

Wah! Wah! Wah!

M

Kita jalan terus saja bagimana. Ini hanya usul saya, lho!

J

Wah! Wah! Wah! Wah!

N

Usul sih, boleh-boleh saja, tapi pikir, sampai kapan kita mau jalan. Apa kita asal jalan saja?

L

Wah! Wah! Wah! Wah!

E

Dulu jalan! Kemarin jalan! Sekarang disuruh jalan! Besok jalan! Wah! Kapan kita akan berhenti, he?

F

Iya ya? Kapan berhenti?

G Kapan?

H

Ya, coba jawablah, kapan? Masak kita selama ini selalu menyerah saja. Tahu-tahu kita telah jalan. Itu boleh-boleh saja, tapi paling tidak kan perlu juga pikir-pikir, kapan berhenti? Gitu, kan?

I

Betul! Itu betul! Setuju!

J

Akoooor!

D

Tenang! Tenang! Semua saja tenang! Dengar, kita akan berhenti setelah sampai di tujuan.

K

Tujuan? Itu tujuan siapa, bung?

D

Tujuan kita bersama tentu! Surga kebahagiaan!

L

Betul, saya setuju!

M

Lalu kapan kita sampai di sana?

N

Ya, kira-kira saja kapan?

D

Kalau kita terus berjalan, kita akan sampai di sana. Percayalah!

E

Jadi kita harus jalan terus?

D

Iya! Kita harus jalan terus!

F

Jalan terus, terus, terus, terus? Waduh!

G

Oh, ya, jadi setelah terus, terus, terus, terus….lalu berhenti?

D

Pasti! Kita berhenti setelah sampai tujuan.

H

Lu kapan sampainya di tujuan?

D

Setelah kita jalan terus, tentu saja!

A

Ampuuuuun! Aku jadi bingung! (Berteriak) I

Wah, apa itu?

J

Orang! Orang asing itu!

K

Ya, Allah kusangka demit!

L

Harus jalan, siapa dia? E, jangan-jangan dia yang mencuri hati saya kemarin. Apa hal macam begini perlu dilaporkan?

D

Perlu sekali! Nah, awas, saudara-saudara. Disinyalir orang itu mempunyai keahlian yang jahat. Maka diharap kita semua waspada. Coba periksa hati, pikiran, mata, telinga, hidung, tangan, dan kaki saudara-saudara! Jangan-jangan telah hilang tercuri. (Orang-orang itu saling memeriksa dengan ributnya.)

M

Ini, ini, ini masih ada. Tapi yang itu kok nggak tampak?

N

Lha ini malah serong begini!

E

Punyamu juga gitu kok!

F

Masak, kemarin saja masih baik, kok!

G

Wah ini sih masih baik. Tapi yang itu sudah berabe.

H

Wah gawat. Gawat! Gawat, nggak ketulungan!

I

Coba-coba diginikan bagaimana? Sakit? Nggak toh?

J

Lailah, punyamu sudah bobrok gini? Nggak pernah dibersihkan, ya?

K

Nggak, memang gitu kok sejak lahir!

L

Hati-hati kamu kalau pegang-pegang!

M

Sudah, pokoknya selamat! Selamat nggak ada yang hilang!

N

Ya, paling nggak kita nggak merasa kehilangan, gitu aja! Ya! Selamat!

(Setelah semua sibuk berdiri, lalu mereka mengamat-amati orang yang berteriak tadi.) E

Hei, siapa sih kamu itu? Orang baik-baik saja kan?

F

Iya, siapa sih kamu itu?

G

Kamu siapa, he?

A Aku?

H

Lha iya, kamu itu siapa?

A

Lha kalau kamu siapa?

I

Waduh, berlagak macam wayang ya? Ditanya malah ganti tanya. Nggak bisa.

J

Di sini aturannya kalau ditanya musti jawab, nggak boleh lain!

K

Udah, jawab saja, dik!

L

Kok, dik sih?! om! Udah, om, jawab aja baik-baik.

M

Masak om? Tante! Udah deh, tante, jawab aja!

N

Kayak begitu kok tante?! Itu kakek. Ya, kek, jawab aja terus terang.

E

Ah, sebenarnya masih belum jelas. Perhatikan saja, mana tanda-tandanya? Kan belum tampak? Maka untuk amannya, kita musti pakai kata-kata yang netral. Panggil saja orang. Hei, orang, siapa namamu?

F

Ya, siapa kamu itu, orang?

A

Aku orang bingung.

G He?

H

Astagfirulah!

I

Nah, betul kan? Kan tadi udah ngira! Orang bingung dia!

J

Gawat! Gawat!

K

Wah tentu kamu tidak punya kepercayaan, iya. Iya saja!

L

Ya, kasihan benar dia….

M

Itu sih, sudah sepantasnya. Lha potongannya saja meragukan gitu?!

N

Maklum saja, masih kanak-kanak sih! Kutaksir masih kelas nol kecil!

E

Bukan, toh. Itu yang namanya sudah terlalu tua.

F

Ah, nggak, ah! Nggak bongkok gitu kok. Coba tenang sebentar. Nah kalau lihat gayanya, sih… wah, nggak salah lagi…....Michael Jackson!

G

Waduh, waduh, waduuuuuh! Clila-clili macam anak ayam, ha, ha, ha, ha, ha!

(Semua orang itu tertawa terpingkal-pingkal sambil melontarkan berbagai komentar untuk mengejek tokoh A.)

H

Sudah, Ah, sudah, jangan digoda, kasihan.

J

Ya, sudah, jangan digoda, kasihan.

D

(Membunyikan peluitnya) Tenang, tenang! Demi ketertiban dan keamanan semua harap tenang. Akan kutanyai dia. Saudara bingung?

A

Iya. Dan sebab itu aku menghentikan langkah saudara-saudara, kare….

D

Stop! Cukup! Kami sudah tahu apa yang akan saudara katakana. Nah, kami merasa terpanggil untuk menolong saudara.

A

Lho, mengapa?

D

Maaaa! Pinter! Itu memang pertanyaan yang bagus. Tapi saying tidak kami perlukan.

Bukan mengapanya yang penting.

A

Ya, Allah! Saya ini harus bertanya pada saudara?

D

Tentu! Dengan sendirinya! Otomatis! Sebab saudara adala orang bingung, sedang kami manusia-manusia yakin! Orang bingugn harus bertanya pada orang yakin agar ikut menikmati keyakinan.

K

Benar, saudara, nggak usah sangsi! Ya, itu sungguh-sungguh benar!

L

Ya, itu mutlak benar!

M

Coba pakai itak sedikit. Itu benar, saudara, percayalah.

N

Saya sendiri tidak mungkin menyangsikan lagi, kok, percayalah!

E

Situ lagi, lha wong om saya, ayah saya, teman saya, yang di sana malah guru saya dan pacar saya aja juga begitu, kok!

F

Lha, pengemis yang kemarin minta-minta kepadaku, di rumahku aja ya cerita begitu kok.

Apalagi itu, huh!

G

Pokoknya kalau normal mesti dapat menerima. Bayangkan; semua saja akor kok, romo pastor, suster, pak guru, pak RT, pak RK, pak Camat, pak Walikota, pak Gubernur, Sri Sultan, Sutan Takdir Alisjahbana, Ernest Hemingway, Putu Wijaya, Chairil Anwar, Pablo Picasso, Hitler, Moachtar Lubis, Marga T., Bung Karno, Rendra, Anton Chekov, Ali Sadikin, Profesor Driyarkara, Purwadarminta, Lenin, Russeau, Gorys Keraf, Langeveld, Romo Kardinal, Paus Johanes Paulus II, Ibu Kita Kartini, Mozart, Beethoven, Mao Tse Tung, Goenawan Mohamad, Yati Pesek, Marwoto, Arief Budiman, Iwan Simatupang, Romo Dick hartoko, Mbak Megawati, Permadi, Resi Wiyasa, Walmiki, Empu Kanwa, Empu Prapanca, Daendels, Raffles, Westerling, Kartosuwiryo, Kahar Muzakar, Untung, Aidit, Sadam Husein, Fidel Castro,…..

D

Stoooop! Untuk sementara sekian dulu. Semua itu meman harus dikenal, dihafal demi harga diri dan testing di Surga. Nah, jadi kesimpulannya, pendapat saya tadi benar, sebab banyak yang setuju, kalau perlu kami dapat mengutip kata-kata mereka sebagai argumentasi. Bagaimana, saudara?

A

Ah! Itu salah! Itu salah! Itu tadi salah.

H

Waduh-waduh! Hei!

SMA Hei!

H Amboi!

SMA Amboi!

H Fui!

SMA Fui!

H La la la!

SMA La la la!

H Li li li!

SMA Li li li!

H

He he he!

SMA He he he!

H

Ohuk ohuk!

SMA Ohuk ohuk!

A

Hea-hei-hea-hei-heah! Hea-hei-hea-heah! Heahei-hea-heah. Itu salah! Itu salah! Itu salah! Ampuuuun! Itu salah!

Semua terdiam oleh teriakan yang membelah itu.

A

Yang benar orang yakin itu harus bertanya pada orang bingung. Sebab orang bingung itu artinya menemukan persoalan, menghadapi persoalan. Ia hidup! Sedang orang yang tidak bingung, seperti kau, kau, kau, dank au adalah orang yang tidak menghadapi masalah lagi. Kalian hanya menghanyutkan diri pada kepercayaan, keyakinan dengan aman dan tenteram, tanpa pikiran, tanpa masalah, tanda hidup lagi. Sebenarnyalah kalian itu meyakini suatu kebingungan! Pikiran-pikiran, prasangka-prasangka, tujuan-tujuan semu, harapan-harapan kabur, semua itu adalah ujud kebingungan-kebingunan yang disamarkan ke dalam keyakinan! Camkan!

(Orang-orang itu mulai bergerak lagi, saling berbisik, ngomong lagi.)

I

Wah! Kok seperti pak guru, ya?

J

O, barangkali memang calon guru. Lihat saja potongannya!

K

Bukan. Saya jelas-jelas tahu, sebenarnya dia itu pensiunan guru. Lihat saja gerak-geriknya, kan tampak?!

L

Tapi, ini loh, kata-katanya tadi apa, ya, benar?

M

Barangkali benar!

N

Memang kalau ditinjau dari sudut sini agaknya benar. Dari sudut situ entah. Coba saja…..!

E

Kalau saya cuman kepingin bilang bohong!

F

Iya, bohong!

G Bohong!

H

Iya,saya kira juga bohong saja!

I

Ah, masak iya?!

J

Coba, diingat-ingat lagi, cocokkan dengan keterangan-keterangan lain. Nanti tahu-tahu…Cekcekcek….Benar? Kan nggak enak kita!

K

Ya, setelah saya renungkan, dia benar!

L

Jadi enaknya, dia benar saja? Apa bagaimana?

M

Gimana pertimbangan teman-teman?

N

Benar dah.

E Bohong!

F Benar!

G Bohong!

Dokumen terkait