• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ANALISIS STRUKTURASI KEKUASAAN DALAM DRAMA

2.4 Modal

Modal merupakan sebuah hasil kerja yang terakumulasi (dalam

bentuk yang “terbendakan” atau bersifat “menubuh” –terjiwai dalam diri seseorang) (Martono, 2012: 32).

Modal merupakan sesuatu yang dianggap berharga dalam arena,

digunakan sebagai sumber sekaligus tujuan dari strategi kekuasaan. Jika arena adalah tempat habitus menempuh strategi, modal adalah bagian dari mekanisme strategi habitus dalam menguasai arena (Yuliantoro, 2016: 50-51).

2.4.1 Modal Sosial

Modal sosial adalah sekumpulan sumber daya yang aktual atau potensial yang terkait dengan pemilikan jaringan hubungan saling mengenal dan/atau saling mengakui yang memberi anggotanya dukungan modal yang dimiliki bersama (Martono, 2012: 32-33).

Modal sosial mengandung unsur kepercayaan, solidaritas, loyalitas, dan koneksi, sehingga dapat menjamin penerimaan eksistensi agen dalam ruang-ruang sosial yang terkait seperti keluarga, kelas sosial, paetai, sekolah, dan ruang-ruang sosial lain (Yuliantoro, 2016: 52-53).

Dalam naskah persimpangan, modal sosial dilakukan oleh tokoh A ketika menyambut gerombolan orang yang datang di persimpangan itu. Tokoh A seakan-akan tahu tujuan dan arah yang ingin dituju dari gerombolan orang tersebut.

A: Ahoi! Saudara-saudara, selamat datang! Jangan diam dan sedih, jangan ragu, jangan bimbang. Di sini kita bebas memilih. Ke sana?

Ke sana? Ke sana? Atau di sini saja menanti.

Dialog yang diucapkan oleh tokoh A menunjukkan bahwa ia tahu kemana gerombolan orang itu akan pergi. Ia tidak berusaha untuk mendominasi gerombolang orang itu akan keberadaanya. Tokoh A sengaja menyambut mereka karena tahu kejadian yang terjadi di babak I (kejadian sebelumnya). Kehadiran gerombolan itu juga menjadi gambaran bahwa tokoh A mengetahui apa yang akan terjadi pada mereka.

2.4.2 Modal Budaya

Modal budaya adalah serangkaian kemampuan atau keahlian individu, termasuk di dalamnya adalah sikap, cara bertutur kata, berpenampilan, cara bergaul, dan sebagainya (Martono, 2012: 32-33).

Modal budaya bersifat institusional, yakni diobjektifikasi dalam bentuk aturan-aturan tertentu yang diasumsikan memberi jaminan mutu secara sosial, seperti gelar pendidikan atau jabatan politik (Yuliantoro, 2016: 52).

Pada drama persimpangan, penulis melihat pada kebiasaan tokoh A yang bertutur kata layaknya orang bingung dan juga memengaruhi keyakinan tokoh lain. Walaupun memang modal budaya tidak terlalu terlihat dalam setiap dialog di naskah persimpangan ini, tetapi penulis mencoba melihat pada kebiasan yang dilakukan oleh tokoh A.

(1)A: Ampuuuuun! Saya sama sekali tidak bermaksud menjadi semacam itu, saudara. Saya hanya merasa lucu pada papan itu, pada tulisan itu, mengapa begitu hebat kemampuannya, membuat orang tunduk, patuh, menurut, tanpa bertanya-tanya lagi, tanpa pikir-pikir lagi!

(2)A: Ampuuuuun! Aku jadi bingung! Waduh! Kalian tadi rukun, sekarang jadi tidak rukun. Ya Tuhan, kalian mau ke surga. Untuk ke surga harus melalui jalan kebenaran. Dan…jalan kebenaran itu arahnya kanan. Dan arah kanan itu sana….atau sana…..eh, sana….eh, eh….. Loh, aneh! Sana kanan, sana juga kanan. Sana juga kanan, sana juga kanan. Bawah juga kanan! Ampuuuunn! Aku jadi bingung! Apa benar semua arh itu kanan? Apa benar semua jalan itu benar? He?

(3)A: Begini, saya mau Tanya pada saudara-saudara masing-masing sebagai pribadi. Kata orang surga itu letaknya jauh, kata orang kita harus lewat jalan kebenaran, kata orang kebenaran itu kanan. Nah! Menurut saudara, mana kebenaran itu? Mana arah kanan itu?

Dialog (1)A yang diungkapkan tokoh A pada babak I, terlihat bahwa tokoh A berusaha untuk mempertanyakan kebenaran dari papan persimpangan itu.

Yang dilakukan oleh tokoh A tentu membuat tokoh B dan C mempertanyakan kebenaran papan persimpangan tersebut.

Kemudian dialog (2)A pada babak I, tokoh A kembali mempertanyakan arah menuju ke surga melalui arah tangan kanannya tertuju. Tokoh A merasa semua arah itu adalah kanan, hal itulah yang semakin membuatnya menjadi bingung. Hal yang dilakukan tokoh A tentu membuat tokoh B dan C semakin

bingung dengan arah yang mereka pilih sehingga akhirnya tokoh B dan C pergi menuju arah yang mreka yakini masing-masing.

Dialog (3)A pada babak II yang diungkapkan pula oleh tokoh A, membuat semua orang (segerombolan yang ingin menuju ke surga) menjadi bingung dengan arah tujuan mereka. Alhasil, setiap orang di persimpangan itu menunjuk arah ke surga sesuai dengan yang mereka pikirkan. Mereka terhasut oleh perkataan tokoh A sehingga mereka bingung dengan arah menuju ke surga.

2.4.3 Modal Simbolik

Modal simbolik adalah sebuah bentuk modal yang berasal dari jenis yang lain, yang disalahkenali bukan sebagai modal yang semena, melainkan dikenali dan diakui sebagai sesuatu yang sah dan natural (Martono, 2012: 32-33).

Modal simbolik menurut Bourdieu adalah jenis modal yang sebenarnya tidak berbentuk, bahkan bersumber dari kekeliruan pengenalan, tetapi diakui, diterima, dan bahkan dapat dikonversi dengan modal-modal lain (Yuliantoro, 2016: 52).

Modal simbolik pada naskah drama persimpangan terlihat pada dialog-dialog yang terjadi antara tokoh A, B dan C. Mereka memperdebatkan mengenai papan persimpangan yang sudah lama terletak di persimpangan itu.

C: Saudara! Saya harap jangan membikin hinaan yang lain lagi.

Kebenaran kita inin telah dipermudah dengan tanda-tanda. Lihat itu. Lihat itu! Papan itu sudah menunjukkan mana jurusan surga, mana jurusan ke neraka.

A: Ya, memang, mungkin dengan tanda-tanda itu kita dipermudah.

Tapi, saudara, memeprmudah itu mungkin dalam arti mempermudah benar atau mungkin mempermudah salah! Aku sudah cukup kerap tertipu oleh tanda-tanda semacam itu. Kalian juga tentunya. (Berjalan mendekat tanda-tanda dan menyentuh)

Lihat tanda seperti ini. Astaga. (Tonggak itu roboh terpukul tangannya)

BC: (Menjerit melankolis, kemudian diam kaku ketika ada dentang-dentang bergaung)

A: Betapa rapuhnya! (Mendirikan kembali tanda itu, namun ternyata terbalik arahnya, kanan neraka, kiri surga)

BC: Syukurlah, selamat kita semua! (Bernapas lega) A: Betapa rapuhnya!

BC: Apa? Apa kata saudara?

A: Betapa rapuhnya pendirian itu.

B: Oh!

C: Bukan rapuh! Tapi saudara yang kurangajar! Saudara telah lancang mengutik-utiknya hingga roboh. Itu berarti saudara meragukan kebenaran ini, berarti saudara tidak mempercayai kebenaran ini, berarti saudara menentang setiap pemakai jalan ini, berarti pula saudara adalah pengacau! Pemberontak! Pengkhianat laknat! (emosi makin memuncak)

A: Ampuuuuun! Saya sama sekali tidak bermaksud menjadi semacam itu, saudara. Saya hanya merasa lucu pada papan itu, pada tulisan itu, mengapa begitu hebat kemampuannya, membuat orang tunduk, patuh, menurut, tanpa bertanya-tanya lagi, tanpa pikir-pikir lagi!

Dalam dialog itu terlihat bahwa tokoh A tidak sengaja menjatuhkan papan persimpangan dan mengubah arahnya. Sementara tokoh C berusaha mencela tokoh A dengan mengatakan bahwa papan persimpangan itu adalah jalan kebenaran menuju surga. Modal simbolik yang terlihat adalah papan persimpangan itu seakan-akan menjadi acuan bagi tokoh C. Ia merasa bahwa papan persimpangan itu benar karena sudah diuji waktu dan musim sehingga papan itu benar-benar menunjukkan arah surga ke arah kanan.

Berdasarkan pembahasan mengenai modal, naskah persimpangan memiliki bagian-bagian yang dapat dimasukkan dalam penjabaran modal.

Penjabaran tersebut pula yang akan membawa penulis pada pemahaman akan doksa yang terjadi dalam naskah drama persimpangan.

Dokumen terkait