• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia termasuk dalam salah satu Negara dengan pravelensi tuberkulosis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia termasuk dalam salah satu Negara dengan pravelensi tuberkulosis"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tuberkulosis

2.1.1 Definisi Tuberkulosis

Indonesia termasuk dalam salah satu Negara dengan pravelensi tuberkulosis terbanyak di dunia. Tuberkulosis (TB) adalah sebuah penyakit yang diakibatkan oleh infeksi bakteri mycobacterium tuberkulosis yang menyerang paru-paru. Tidak hanya menyerang paru-paru, bakteri dapat menyerang beberapa organ tubuh, seperti ginjal, meningen dan tulang. TB termasuk salah satu penyakit yang menular. Ini dikarenakan oleh cara penularan bakteri melalui droplet infection. Bakteri ini adalah basil yang tahan terhadap asam dan bersifat aerob (Somantri, 2009).

2.1.2 Patogenesis Tuberkulosis

Seorang penderita tuberkulosis memiliki resiko tinggi untuk menularkan penyakitnya pada orang lain. Saat penderita bicara, batuk dan bersin maka secara tidak langsung bakteri tuberkulosis akan keluar dan mengendap di udara. Seseorang yang sehat akan tertular ketika ia menghirup udara yang mengandung bakteri tuberkulosis. Bakteri yang telah terhirup akan masuk ke dalam tubuh manusia dan mengendap di alveoli.

Disinilah bakteri akan bertumpuk dan berkembang biak. Tidak hanya menetap di satu tempat, basil dapat menyerang organ tubuh lainnya, seperti ginjal, tulang dan korteks serebri (Somantri, 2009).

(2)

Sistem kekebalan tubuh manusia secara alami akan menghancurkan bakteri dengan cara inflamasi. Bakteri akan di fagositosis oleh neutrophil dan makrofag. Limfosit yang spesifik akan memakan basil dan jaringan normal. Reaksi ini akan menghasilkan terkumpulnya eksudat dalam alveoli dan terjadilah bronkopneumonia. Infeksi awal akan timbul pada waktu 2-10 minggu setelah terinfeksi. Bakteri TB yang berada dalam alveoli akan membentuk focus local atau yang disebut dengan infeksi primer. Jika pertahanan tubuh kuat, maka infeksi primer tidak akan berkembang biak dan bakteri akan tidur atau berubah menjadi dorman. Bakteri akan aktif kembali ketika system pertahanan tubuh lemah. inilah yang disebut dengan reaktivasi infeksi primer dan dapat terjadi setelah bertahun-tahun infeksi primer terjadi (Mutaqqin, 2012).

2.1.3 Klasifikasi Tuberkulosis

Berdasarkan klasifikasi menurut Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis tahun 2014 (KEMENKES Republik Indonesia Ditjen PP dan PL, 2014) sebagai berikut:

a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit

1. Tuberkulosis paru, adalah TB yang terjadi di paru atau adanya lesi dijaringan paru.

2. Tuberkulosis esktra paru, adalah TB yang terjadi diluar organ paru, seperti:

pleura, kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak dan tulang. Diagnosis ini ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis. Berdasarkan klasifikasi, tuberkulosis ekstra paru menunjukkan gambaran TB yang terberat.

(3)

b. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya

1. Pasien baru, adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT kurang dari 1 bulan (<28 dosis).

2. Pasien yang sudah pernah diobati, adalah pasien yang sebelumnya sudah pernah mendapatkan pengobatan selama 1 bulan atau lebih (>28 dosis).

Selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir yaitu:

pasien kambuh, pasien yang diobati kembali setelah gagal, pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow up) dan lain-lain.

3. Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui.

c. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat

1. Mono resistan (TB MR), resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama saja.

2. Poli resistan (TB PR), resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan.

3. Multi drug resistan (TB MDR), resistan terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan.

4. Extensive drug resistan (TB XDR), adalah TB MDR yang sekaligus juga resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin).

(4)

5. Resistan Rifampisin (TB RR), resistan terhadap Rifampisin dengan atau tanpa resistensi pada OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode genotip (tes cepat) atau metode fenotip (konvensional).

d. Klasifikasi pasien TB berdasarkan status HIV

1. Pasien TB dengan HIV positif (pasien ko-infeksi TB/HIV), adalah pasien dengan hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan ART atau hasil tes HIV positif pada saat diagnosis TB.

2. Pasien TB dengan HIV negatif, adalah pasien dengan hasil tes HIV negatif sebelumnya atau hasil tes negatif pada saat diagnosis TB.

2.1.4 Pengobatan Tuberkulosis

a. Dalam tingkat internasional dibawah naungan badan WHO, akademisi dan praktisi kesehatan menciptakan sebuah seri panduan ilmiah yang membahas tentang perkembangan penyakit tuberkulosis yang berjudul International Standards for Tuberkulosis Care (ISTC). Berdasarkan International Standards for Tuberkulosis Care (ISTC) edisi 3 (Hopewell, 2014), terdapat 7 standar yang digunakan dalam pedoman ini:

1. Petugas kesehatan harus meresepkan pengobatan yang tepat dan memantau kepatuhan pasien dalam meminum obat, jika perlu catat faktor-faktor yang menyebabkan putusnya pengobatan. Untuk menunjang keberhasilan pemantauan pengobatan pasien, diperlukan koordinasi atau kerjasama dengan layanan kesehatan masyarakat atau lembaga lain.

(5)

2. Semua pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan sebelumnya dan tidak memilik factor resiko resisten obat harus menerima pengobatan tuberkulosis lini pertama. Obat-obatan fase awal yang harus dikonsumsi selama 2 bulan adalah isoniazid, rifampisin, pirazinamid dan etambutol. Dan fase lanjutan terdiri dari isoniazid dan rifampisin diberikan selama 4 bulan.

Dosis obat antituberkulosis yang digunakan harus sesuai dengan rekomendasi WHO.

3. Pendekatan yang berpusat pada pasien harus dikembangkan untuk meningkatkan kepatuhan pengobatan, meningkatkan kualitas hidup, dan mengurangi penderitaan. Pendekatan ini harus didasarkan pada kebutuhan pasien dan rasa saling menghormati antara pasien dan petugas kesehatan.

4. Selama masa pengobatan dilakukan pemantauan dan ketika telah menyelasaikan pengobatan selama dua bulan akan dievaluasi melalui pemeriksaan sputum smear microscopy. Jika sputum BTA positif, maka pengecekan sputum mikroskopi harus dilakukan lagi dan jika positif, harus dilakukan tes kepekaan obat molekuler cepat (tes probe line atau Xpert mtb/riF). Untuk pasien dengan ekstrapulmoner dan pada anak-anak, evaluasi pengobatan paling baik dinilai secara klinis.

5. Penilaian kemungkinan resistensi obat, berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, kemungkinan terpapar penderita yang resisten obat dan prevalensi resistensi obat di masyarakat (jika diketahui), harus dilakukan pada semua pasien. Pengujian kerentanan obat harus dilakukan pada awal terapi

(6)

untuk semua pasien yang beresiko resisten obat. Pasien yang dahak nya tetap BTA positif setelah pengobatan selama 3 bulan pengobatan, pasien yang pengobatannya gagal dan pasien yang hilang untuk ditindaklanjuti atau kambuh setelah satu atau lebih menjalankan pengobatan harus selalu dinilai untuk resisten obat. Untuk pasien yang dianggap resistan terhadap obat, harus menjalani pemeriksaan diagnostik awal yaitu tes Xpert mtb/riF. Jika pasien resistan terhadap Rifampisin, harus dilakukan tes kultur dan pengujian kerentanan terhadap Isoniazid, Fluorokuinolon dan obat suntik lini kedua harus dilakukan dengan tepat. Untuk pada kasus ini, harus segara dilakukan konseling, pendidikan kesehatan dan pengobatan lini kedua untuk meminimalkan penularan. Langkah-langkah pengendalian infeksi yang sesuai harus segera diterapkan.

6. Pasien yang telah dinyatakan resistan (terutama MDR/XDR) harus melakukan pengobatan dengan obat-obatan lini kedua. Dosis obat anti tuberkulosis yang diberikan sesuai dengan rekomendasi WHO. Regimen obat yang digunakan dipilih berdasarkan pola kerentanan obat yang terkonfirmasi, setidaknya obat-obatan yang terlarang (pyrazinamide dan empat obat yang diketahui rentan, termasuk obat suntik) harus digunakan dalam fase intensif 6-8 bulan dan setidaknya 3 obat yang diketahui rentan harus digunakan dalam fase lanjutan. Perawatan yang diberikan setidaknya selama 18-24 bulan. Penilaian yang berpusat pada pasien, termasuk pengamatan pengobatan diperlukan untuk mengetahui kepatuhan pasien

(7)

dalam menjalankan pengobatan. Pasien juga dapat berkonsultasi pada dokter spesialis atau yang telah berpengalaman dalam pengobatan pasien dengan TB MDR/XDR.

7. Dokumentasikan semua pengobatan yang telah diberikan, hasil pengobatan, respon bakkteriologis dan efek samping yang merugikan pasien harus di minimalisir.

b. Tatalaksana pengobatan TB menurut Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis pada tahun 2014 (KEMENKES, 2014), terdiri dari dua tahap yaitu:

1. Tahap awal

Pada tahap intensi pasien mendapati obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif dalam 2 bulan.

2. Tahap lanjutan

Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka panjang waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

Panduan OAT (obat anti tuberkulosis) yang digunakan di Indonesia juga sesuai dengan rekomendasi dari WHO dan ISTC, yaitu sebagai berikut:

1. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3

(8)

2. Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3

3. Ketegori anak : 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZA(S)/4-10HR

Obat yang digunakan dalam tatalaksana pengobatan TB resisten obat di Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamisin, Kapreomisin, Levofloksasin, Etionamide, Sikloserin, Moksifloksasin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu pirazinamid dan etambutol.

2.1.5 Strategi DOTS

Indonesia merupakan negara ketiga di dunia dengan angka kejadian Tuberkulosis yang tinggi. Sebagai upaya pengendalian tuberkulosis di Indonesia, WHO membuat sebuah strategi untuk memberantas TB. Strategi yang dilakukan adalah Directly Observed Treatment Short-Course (DOTS). Fokus utama dari DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien yang terinfeksi, sehingga dapat menurunkan resiko penularan pada masyarakat sekitar. DOTS sendiri adalah salah satu strategi yang sangat efesien dan ekonomis. Pada sidang WHO pada tahun 2014, ditetapkan resolusi untuk bebas dari tuberkulosis pada tahun 2035.

Berdasarkan Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis tahun 2014, terdapat 3 pilar utama untuk mendukung resolusi diatas yaitu :

a. Integrasi layanan yang berpusat pada pasien dan upaya pencegahan 1. Diagnosa TB sedini mungkin.

2. Pengobatan untuk semua tipe TB, termasuk untuk penderita resisten obat.

3. Kegiatan kolaborasi HIV/TB dan tatalaksana komorbid yang lain.

(9)

4. Upaya pemberian pengobatan pada kelompok dengan kerentanan dan resiko yang tinggi, serta pemberian vaksin.

b. Kebijakan dan system pendukung yang jelas dan berani

1. Komitmen politis yang diwujudkan dalam pemenuhan kebutuhan layanan dan pencegahan TB.

2. Keterlibatan aktif masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, dan pemberi layanan kesehatan baik negeri maupun swasta.

3. Penerapan layanan kesehatan semesta dan kerangka kebijakan lain yang mendukung pengendalian TB seperti wajib lapor, registrasi vital, tata kelola dan penggunaan obat rasional serta pengendalian infeksi.

4. Jaminan social, pengentasan kemiskinan dan kegiatan lain utnuk mengurangi dampak determinan social terhadap TB.

c. Intensifikasi riset dan inovasi

1. Penemuan, pengembangan dan penerapan secara cepat alat, metode intervensi dan startegi baru pengendalian TB.

2. Pengembangan riset untuk optimalisasi kegiatan dan merangsang inovasi- inovasi baru untuk mempercepat pengembangan program pengendalian tb.

2.1.6 Keberhasilan Pengobatan

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 67 Tahun 2016 tentang Penanggulangann Tuberkulosis, pemeriksaan dahak mikroskopis langsung merupakan pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosa dan sekaligus menilai keberhasilan pengobatan. Pemeriksaan dahak yang dilakukan untuk menilai

(10)

keberhasilan pengobatan yaitu dengan pemeriksaan dua contoh uji dahak SPS (Sewaktu dan Pagi). Pemeriksaan ini dilakukan pada akhir bulan ke-3, akhir bulan ke-5 dan dilakukan pemeriksaan dahak ulang kembali pada akhir pengobatan. Pengobatan dikatakan berhasil ketika mengikuti ketiga tahapan pemeriksaan dahak dan pada akhir pemeriksaan dahak didapatkan hasil pemeriksaan negatif. Pemantauan kondisi klinis merupakan indikator yang bermanfaat untuk menilai hasil pengobatan, antara lain peningkatan berat badan pasien, berkurangnya keluhan dan lain-lain (Kementerian Kesehatan RI, 2016).

2.2 Health Belief Model

2.2.1 Pengertian Health Belief Model

Teori Health Belief Model (HBM) pertama kali dikenalkan oleh peneliti di US pada tahun 1950. Hochbaum (1968) dan Rosenstock (1966) (dalam Abraham & Sheeran, 2016) mengembangkan model psikologis yang dirancang untuk meningkatkan efektivitas program pendidikan kesehatan. Sehingga teori model ini paling umum digunakan dalam pendidikan kesehatan dan promosi kesehatan. Rosenstock menghubungkan penelitian model kepercayaan kesehatan pertama Hochbaum tentang penyerapan skrining x-ray tuberkulosis. Teori ini dikembangkan sebagai salah satu cara untuk menjelaskan mengapa program skrining medis yang ditawarkan oleh layanan kesehatan masyarakat AS khususnya untuk tuberkulosis, tidak terlalu berhasil (Abraham & Sheeran, 2016).

Health Belief Model (HBM) berfokus pada 2 aspek yang merepresentasikan kesehatan dan perilaku kesehatan: persepsi ancaman dan evaluasi perilaku. Persepsi

(11)

ancaman dibentuk dari dua kunci keyakinan yaitu persepsi yang dirasakan terhadap penyakit atau masalah kesehatan dan mengantisipasi keparahan sebagai akibat dari penyakit tersebut. Sedangkan evaluasi perilaku terdiri dari dua keyakinan yang berbeda:

hal-hal yang menyangkut manfaat atau efikasi perilaku kesehatan yang disarankan dan yang berkaitan dengan biaya, atau hambatan untuk memberlakukan perilaku. Selain itu model ini mengusulkan bahwa tindakan isyarat dapat mengaktifkan perilaku kesehatan ketika keyakinan yang dipegang. “Isyarat” ini mencakup beragam pemicu, termasuk persepsi individu terhadap gejala, influencer social dan kampanye pendidikan kesehatan (Hayden, 2008).

2.2.2 Kerangka Teori Health Belief Model

Health belief model merupakan sebuah model kesehatan yang terdiri dari beberapa variabel yang digunakan untuk memprediksi apakah seorang individu berusaha untuk mencegah, memeriksa, atau untuk mengendalikan suatu penyakit. Variabel-variabel tersebut meliputi persepsi kerentanan (persepsi seseorang tentang kemungkinan terpapar suatu penyakit), persepsi tingkat keparahan (persepsi seseorang tentang seberapa parah konsekuensi yang ditimbulkan suatu penyakit), persepsi manfaat (persepsi seseorang tentang manfaat kebebasan dari penyakit), hambatan yang dirasakan (kemungkinan kendala yang dirasakan dari perawatan yang direkomendasikan oleh petugas kesehatan), isyarat bertindak (dorongan atau pemicu untuk melakukan sebuah tindakan) dan kemandirian diri (keyakinan seseorang bahwa mereka mampu melakukan perilaku kesehatan tertentu) (Zein et al., 2017). Berikut adalah gambar dari Health Belief Model:

(12)

Gambar 2.1 Kerangka Teori HBM

Keparahan dan kerentanan yang dipersepsikan mewakili akumulasi keyakinan individu akan ancaman kesehatan (keyakinan akan ancaman kesehatan pribadi). Ini menyiratkan bahwa individu lebih cenderung mengadopsi gaya hidup yang lebih sehat jika risiko yang mereka rasakan tertular penyakit tertentu juga tinggi dan mereka percaya bahwa penyakit dapat sangat mempengaruhi kehidupan mereka. Namun, jika mereka percaya bahwa bahaya penyakit itu nyata, itu belum cukup untuk meyakinkan mereka mengadopsi perilaku preventif. Kemungkinan mengadopsi gaya hidup sehat meningkat jika mereka percaya bahwa perilaku preventif lebih menguntungkan (dirasakan manfaat) dan kendala dapat dikompromikan (hambatan yang dirasakan). Manfaat yang diterima dan hambatan yang dirasakan bersama-sama menentukan bagaimana individu mempersepsikan keefektifan perilaku kesehatan (Zein, et al., 2017).

(13)

2.2.3 Variabel Health Belief Model

HBM mencakup empat dimensi: persepsi kerentanan, persepsi tingkat keparahan, manfaat yang dirasakan, dan risiko yang dirasakan. Kerentanan yang dirasakan mengandaikan bahwa semakin individu melihat risiko suatu penyakit, semakin besar kemungkinan dia terlibat dalam perilaku untuk mengurangi risiko itu. Tingkat keparahan yang dirasakan meliputi beberapa evaluasi konsekuensi dari suatu penyakit berdasarkan pada informasi dan pengetahuan medis serta beberapa kepercayaan tentang konsekuensi negatif dari perilaku atau penyakit tertentu yang mungkin terjadi pada seseorang (Alsulaiman & Rentner, 2018).

Dimensi ketiga, dirasakan manfaat, menunjukkan bahwa individu merasakan nilai dan kegunaan mengadopsi perilaku baru dalam hal meminimalkan risiko penyakit dan kemungkinan akan mengadopsi perilaku baru berdasarkan persepsi mereka tentang manfaat mereka dalam mengurangi ancaman. Dimensi keempat, hambatan yang dirasakan, adalah dimensi HBM yang paling kuat, dalam hal individu mengevaluasi hambatan dan kesulitan yang mungkin mereka hadapi ketika mengadopsi perilaku baru.

Dimensi ini, bagaimanapun, dapat mengakibatkan individu menyerah pada mengadopsi perilaku baru. Individu biasanya mengevaluasi manfaat dan konsekuensi dari perilaku baru dibandingkan dengan perilaku kesehatan yang sedang ia lakukan (Alsulaiman &

Rentner, 2018).

HBM juga menunjukkan bahwa selain empat persepsi, perilaku individu dapat dipengaruhi oleh apa yang disebut isyarat untuk bertindak, yang mencakup isyarat

(14)

eksternal dan internal. Isyarat eksternal adalah peristiwa, orang, media massa, penyedia kesehatan, dan faktor eksternal apa pun yang dapat memicu orang untuk mengubah perilaku mereka. Isyarat internal termasuk isyarat psikologis, seperti rasa sakit dan gejala, yang memicu individu untuk mengadopsi perilaku baru. Selain itu, Bandura mengintegrasikan dimensi self-efficacy ke dalam model pada tahun 1988. Dimensi ini berkaitan dengan kemampuan dan kemampuan individu untuk melakukan perubahan, seperti mengadopsi perilaku baru yang lebih sehat. Studi menemukan bahwa individu yang percaya pada kemampuan mereka untuk mencapai, dan keterampilan dalam mencapai, tujuan tertentu lebih mungkin untuk mencapai tujuan itu (Alsulaiman &

Rentner, 2018). Faktor-faktor yang terdapat dalam teori Health Belief Model dapat dijelaskan sebagai berikut, yaitu:

1. Persepsi Keseriusan (Keparahan)

Persepsi keseriusan yang dirasakan ini berbicara kepada keyakinan seseorang tentang keseriusan atau keparahan suatu penyakit. Sementara persepsi keseriusan sering didasarkan pada informasi medis atau pengetahuan, mungkin juga berasal dari keyakinan seseorang tentang kesulitan yang akan ditimbulkan penyakit atau dampak pada kehidupannya secara umum. Misalnya kebanyakan dari kita melihat flu sebagai penyakit yang relative ringan. Bagaimanapun jika Asma, terjangkit flu bisa membuat seseorang berada di rumah sakit. Dalam kasus ini, persepsi seseorang tentang flu mungkin adalah bahwa itu adalah penyakit yang serius. Jika seorang wiraswasta, mengalami flu bisa berarti

(15)

seminggu atau lebih dari upah yang hilang. Sekali lagi ini akan mempengaruhi persepsi tentang keseriusan penyakit ini (Hayden, 2008).

Penderita tuberkulosis yang memiliki persepi bahwa penyakit yang diderita merupakan masalah yang serius dan akan menimbulkan dampak negatif pada kehidupan sehari-hari, akan berusaha untuk mencari informasi. Informasi yang didapat bisa berupa pengetahuan tentang penyakit itu sendiri ataupun tindakan pengobatan. Ketika penderita sadar akan kondisi nya, maka ia akan melakukan tindakan untuk mengobati dirinya sendiri.

Penelitian menunjukkan bahwa adanya hubungan antara persepsi keseriusan dengan persepsi terkait pencegahan kanker serviks. Dapat disimpulkan dari penelitian tersebut bahwa seseorang yang sadar akan bahaya kanker serviks dan dapat dicegah oleh vaksin HPV, maka akan melakukan tindakan pencegahan menggunakan vaksin HPV begitupun sebaliknya (Nugrahani, dkk. 2017).

2. Persepsi Kerentanan

Resiko atau kerentanan pribadi adalah salah satu persepsi yang lebih kuat dalam mendorong orang untuk mengadopsi perilaku yang lebih sehat. Semakin besar resiko yang dirasakan, semakin besar kemungkinan terlibat dalam perilaku untuk mengurangi resiko. Namun ketika orang-orang percaya bahwa mereka beresiko terhadap suatu penyakit, mereka akan cenderung melakukan sesuatu untuk mencegahnya terjadi.

Sayangnya, sebaliknya juga terjadi. Ketika orang percaya bahwa mereka tidak beresiko

(16)

atau memiliki resiko rendah terhadap kerentanan, perilaku tidak sehat cenderung terjadi (Hayden, 2008).

Seseorang yang memiliki persepsi bahwa dirinya rentan terkena sebuah penyakit, secara alami akan melakukan tindakan pencegahan. Seseorang yang menderita sebuah penyakit dan merasa penyakit yang diderita dapat semakin parah, akan melakukan tindakan untuk memperbaiki kondisinya. Contohnya pada pasien tuberkulosis, jika penderita tidak mengkonsumsi obat maka kesembuhan akan sulit dicapai dan jika tidak patuh pada pengobatan akan meningkatkan resiko terkena TB MDR.

Sebuah penelitian oleh Kurniawati dan Sulistyowati tahun 2014, bahwa adanya hubungan antara persepsi kerentanan terhadap perilaku pencegahan keputihan patologis pada remaja putri. Remaja yang sadar bahwa dirinya yang rentan terkena keputihan patologis maka akan melakukan tindakan pencegahan (Kurniawati & Sulistyowati, 2014).

3. Persepsi Manfaat

Persepsi manfaat yang dirasakan adalah pendapat seseorang tentang nilai atau kegunaan dari perilaku baru dalam mengurangi resiko mengembangkan suatu penyakit.

Orang cenderung mengadopsi perilaku yang lebih sehat ketika mereka percaya perilaku baru akan mengurangi peluang mereka untuk terkena sebuah penyakit. Manfaat yang dirasakan dalam bermain peran penting dalam penerapan perilaku pencegahan sekunder, seperti skrining (Hayden, 2008).

(17)

Ketika penderita tuberkulosis telah menyadari seberapa serius kondisinya maka ia akan mencari tindakan pengobatan. Apabila tindakan pengobatan yang dilakukan, penderita merasakan adanya manfaat maka ia akan mempertahankan perilaku tersebut hingga ia merasa perlu mengubah perilaku untuk mencapai kesehatan yang optimal.

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya hubungan antara persepsi manfaat dengan perilaku pencegahan tuberkulosis. Hal ini menjelaskan bahwa semakin positif persepsi penderita tentang manfaat yang didapat maka akan cenderung melakukan tindakan dan kepercayaan diri untuk menjalankan pencegahan penularan (Nurhayati, dkk. 2015).

4. Persepsi Hambatan

Karena perubahan bukanlah sesuatu yang mudah bagi kebanyakan orang, persepsi terakhir dari HBM membahas masalah hambatan yang dirasakan untuk berubah. Ini adalah evaluasi individu terhadap rintangan dalam mengadopsi perilaku baru. Dari semua persepsi, hambatan yang dirasakan yang paling signifikan dalam menentukan perubahan perilaku. Agar perilaku baru dapat diadopsi, seseorang perlu mempercayai manfaat dari perilaku baru yang melebihi konsekuensi dari perilaku lama. Ini memungkinkan hambatan untuk diatasi dan perilaku baru yang akan diadopsi (Hayden, 2008).

Ketika seseorang ingin merubah perilaku yang tidak sehat menjadi sehat, tentu saja mengalami kesusahan. Salah satu hambatan yang dirasakan oleh penderita tuberkulosis adalah kurangnya pengetahuan yang berdampak pada kepatuhan dalam pengobatan.

Ketika penderita kurang informasi mengenai pengobatan tuberkulosis dan diberikan

(18)

informasi oleh petugas kesehatan. Dengan sendirinya hambatan yang dirasakan dapat teratasi dan memungkinkan penderita untuk menjalani pengobatan dengan teratur.

5. Cues To Action (Isyarat bertindak)

Selain empat keyakinan atau persepsi HBM menunjukkan bahwa perilaku juga dipengaruhi oleh isyarat untuk bertindak. Isyarat untuk bertindak adalah peristiwa, orang atau hal-hal yang menggerakkan orang untuk mengubah perilaku mereka. Contoh termasuk penyakit anggota keluarga, laporan media, kampanye media massa, saran dari orang lain, pengingat kartu pos dari penyedia layanan kesehatan atau label peringatan kesehatan pada suatu produk (Hayden, 2008).

Jika seorang penderita tuberkulosis telah memiliki persepsi bahwa penyakit yang dideritanya serius, merasa rentan bahwa penyakitnya bisa bertambah parah, dan hambatan yang dirasakan telah terselesaikan maka hal terakhir yang harus dilakukan adalah melakukan aksi. Sehingga dibutuhkan dorongan yang terus menerus kepada penderita tuberkulosis agar dapat mempertahankan perilaku yang sudah ada.

6. Self-Eficacy (Efikasi Diri)

Pada tahun 1988, self-eficacy ditambahkan dalam teori HBM. Efikasi diri merupakan kepercayaan pada kemampuan sendiri untuk melakukan sesuatu. Self-efficacy didefinisikan sebagai kemampuan yang dirasakan oleh seorang individu dalam melakukan perilaku yang diinginkan (Williams & Rhodes, 2016). Orang pada umumnya tidak mencoba melakukan sesuatu yang baru kecuali mereka berpikir mereka dapat melakukannya. Jika

(19)

seseorang percaya bahwa perilaku baru itu berguna (persepsi manfaat), tetapi merasa bahwa ia tidak dapat melakukan hal itu (persepsi hambatan), kemungkinan besar seseorang tidak akan mencoba perilaku baru. Self-efficacy dapat menjelaskan mengapa orang termotivasi (atau tidak) untuk melakukan sebuah perilaku yang berhubungan dengan kesehatan, bukan hanya sekedar memprediksi orang termotivasi (atau tidak).

Efikasi diri mempengaruhi secara langsung dan pengaruhnya bisa dilihat yaitu seseorang melakukan sebuah perilaku baru (Williams & Rhodes, 2016).

2.2.4 Hubungan Health Belief Model dengan Tuberkulosis

Health Belief Model (HBM) adalah salah satu teori pertama dari perilaku kesehatan dan membahas masalah perilaku individu yang menimbulkan masalah kesehatan. Model kepercayaan kesehatan mengusulkan bahwa perilaku yang berhubungan dengan kesehatan seseorang tergantung pada persepsi seseorang tentang empat bidang penting:

keparahan penyakit potensial, kerentanan seseorang terhadap penyakit itu, manfaat dari mengambil tindakan pencegahan, dan hambatan untuk mengambilnya tindakan. Model ini menjelaskan hubungan antara keyakinan dan perilaku pribadi. Ini memberikan cara untuk memahami dan memprediksi bagaimana pasien akan berperilaku sehubungan dengan kesehatan mereka dan bagaimana mereka akan mematuhi terapi perawatan kesehatan (Azizi, et al., 2018).

HBM dikembangkan pada 1950-an dengan tujuan untuk menjelaskan dan memprediksi perilaku kesehatan individu. HBM adalah model psikologis yang dikembangkan oleh psikolog Hochbaum, Rosenstock, dan Kegels, yang bekerja untuk

(20)

Layanan Kesehatan Masyarakat AS, dan pertama kali digunakan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang mengapa program skrining kesehatan tuberkulosis (TB) gratis tidak terlalu sukses. Khususnya, HBM bertujuan untuk membantu memahami mengapa individu tidak mengadopsi strategi dan perilaku penyakit selama kampanye kesehatan dan menolak untuk terlibat dalam perilaku pencegahan (Alsulaiman &

Rentner, 2018).

Penelitian sebelumnya tentang penggunaan HBM dalam memahami pengendalian TB paru telah luas, tidak hanya pada pasien, tetapi juga pada orang awam dengan risiko tinggi tertular TB paru. Secara historis, HBM dan TB paru terkait erat karena HBM pertama kali digunakan untuk menyelidiki bagaimana orang menanggapi sinar-X dada gratis sebagai bagian dari program pencegahan TB paru di AS. Tidak lama setelah diperkenalkan, HBM telah banyak digunakan untuk menyelidiki respon pasien terhadap gejala awal dan untuk memprediksi kepatuhan mereka terhadap perawatan medis (Zein, et al., 2017).

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Hochbaum menunjukkan bahwa orang yang percaya bahwa peluang mereka untuk tertular TB paru tinggi dan yakin bahwa TB paru dapat mempengaruhi kesehatan mereka, lebih cenderung termotivasi untuk menjalani rontgen dada. Penelitian lain yang dilakukan oleh Barnhoorn dan Adriaanse menerapkan HBM untuk memperkirakan kepatuhan pasien TB paru terhadap pengobatan di India.

Pasien yang tidak patuh lebih cenderung memiliki tingkat keparahan yang dirasakan lebih

(21)

rendah, motivasi kesehatan, kepercayaan akan efektivitas perilaku kesehatan, dan kemanjuran diri (Zein, et al., 2017).

Menurut konsep HBM, pasien yang memakai pengobatan TB cenderung mematuhi rejimen obat mereka di bawah lima rangkaian kondisi tertentu: yaitu

1. Pertama, pasien harus memiliki tingkat pengetahuan dan motivasi penyakit TB minimal untuk tetap bebas dari TB.

2. Kedua, pasien harus menganggap diri mereka rentan terhadap TB dan mereka juga harus diyakinkan bahwa TB adalah masalah medis dan kesehatan yang serius.

3. Ketiga, pasien juga harus yakin bahwa memakai pengobatan TB dan kepatuhan efektif untuk menyembuhkan TB, bahwa memang mungkin untuk mendapatkan kontrol atas masalah pada hambatan sosial psikologis atau fisik yang dapat diterima dan bahwa hambatan tidak melebihi manfaat pengobatan TB.

4. Keempat, adanya stimulus internal atau eksternal, disebut sebagai “isyarat untuk bertindak” yang memicu perilaku kesehatan pasien seperti minum obat TB.

5. Kelima, keyakinan self-efficacy pasien untuk secara ketat mengikuti pengobatan TB harus dipertahankan sampai periode pengobatan akhir (Tola et al., 2016).

2.2.5 Instrument Health Belief Model

Dalam penelitian ini untuk instrument Health Belief Model diadopsi dan dimodifikasi dari beberapa penelitian dan kuisoner, yaitu:

1. Kuisoner Health Belief Model Scale for Measuring Beliefs Related to Tuberkulosis Treatment

(22)

among Vietnamese Immigrants with Latent Tuberkulosis Infection: A Mixed Design”.

Kuisoner ini merupakan versi adaptasi dari versi asli Champion Health Belief Model Scale yang pada awalnya dikembangkan untuk mengukur persepsi atau kepercayaan wanita Amerika tentang kanker payudara dan pemeriksaan payudara sendiri.

Terdapat 5 item dengan total 29 pertanyaan dalam kuisoner ini yaitu, persepsi kerentanan terdapat 5 pertanyaan (contoh “Saya mudah terkena tuberkulosis ”), persepsi keparahan terdapat 6 pertanyaan (contoh “Saya takut memikirkan TB”), persepsi manfaat terdapat 4 pertanyaan (contoh “Menyelesaikan pengobatan TB menurunkan peluang saya untuk meninggal karena TB”), persepsi hambatan terdapat 8 pertanyaan (contoh “Saya takut dengan efek samping yang akan muncul ketika pengobatan TB”) dan self-efficacy terdapat 6 pertanyaan (contoh “Saya yakin dapat menyelesaikan pengobatan”). Tiap skala ini diukur menggunakan skala Likert dari 1 hingga 5 (sangat setuju diberikan skor 5 dan sangat tidak setuju diberi skor 1). Dalam kuisoner ini peneliti mengambil item persepsi keparahan, persepsi manfaat dan persepsi hambatan untuk dimodifikasi dan menambahkan pertanyaan terkait ketiga item tersebut dalam instrument Health Belief Model dalam penelitian ini.

2. Kuisoner Self-Efficacy for Appropriate Medicatiton Use Scale (SEAMS). Skala ini digunakan untuk menilai efikasi diri seseorang dalam penggunaan obat dan terdapat 9 pertanyaan (contoh “Saya yakin dapat meminum obat meskipun sedang sibuk”

dan “Saya yakin dengan meminum obat, saya akan sembuh”). Kuisoner ini dinyatakan reliabel dan valid dalam melihat keyakinan diri seseorang dalam menjalankan pengobatan. Dalam kuisoner ini peneliti memodifikasi dan menambahkan

(23)

beberapa pertanyaan yang sesuai dalam instrument Health Belief Model dalam penelitian ini.

3. Kuisoner Health Belief Model yang diadopsi dari penelitian Akompab, et al (2013) yang berjudul “Heat Waves And Climate Change: Applying The Health Belief Model To Identify Predictors Of Risk Perception And Adaptive Behaviours In Adelaide”. Terdapat 5 items dengan 24 pertanyaan yaitu persepsi kerentanan dengan 4 pertanyaan (contoh “Saya piker, saya mungkin menderita dehidrasi selama gelombang panas”) , persepsi keseriusan dengan 5 pertanyaan (contoh “Jika saya mengalami dehidrasi selama gelombang panas, mungkin saya bisa dirawat di rumah sakit”), persepsi manfaat dengan 6 pertanyaan (contoh “Tinggal di lingkungan ber-AC akan mengurangi kemungkinan saya menderita dehidrasi”) dan hambatan dengan 4 pertanyaan (contoh “karena biaya listrik, saya enggan menyalakan AC selama gelombang panas”), dan persepsi cues to action dengan 5 pertanyaan (contoh “saya menonton tv, dan melihat bagaimana ambulan membawa seseorang ke rumah sakit karena dehidrasi akibat gelombang panas”). Pada kuisoner ini peneliti mengambil item cues to action untuk dimodifikasi dalam instrument Health Belief Model dalam penelitian ini.

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Teori HBM

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu administrasi, khususnya yang berkaitan dengan kualitas pelayanan dan kepuasan Pengusaha Di

Disarankan kepada peserta ujian menggunakan email GMAIL UBAYA (GOOAYA) untuk mendaftarkan diri/mengerjakan dan menggunakan NAMA yang sesuai dengan presensi

Penerapan konsep city walkakan di terapkan dalam perancangan Semarang Wedding Centre dengan menyediakan area pejalan kaki yang di lengkapi dengan beberapa area

Penyusunan Renstra Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Sidoarjo Tahun 2016 – 2021 dimaksudkan agar Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Sidoarjo mempunyai

menjalankan kewenangan Judicial Review; 1) Dalam melaksanakan pengujian MK tidak boleh membuat putusan yang bersifat mengatur, 2) Dalam melakukan pengujian, MK tidak boleh

Abstrak : Jenis penelitian ini adalah asosiatif yang bertujuan untuk mengetahui Pengaruh Struktur Modal Dan Profitabilitas Terhadap Nilai Perusahaan Dengan Insider

Uji pengaruh dimana nilai dari ttest 39,792 lebih besar dari nilai ttabel 2.032, berdasarkan hasil analisi tersebut maka dapat ditarik kesimpulan yang menjawab

Pesan artifaktual dalam pertunjukan Jaran Kepang nampak pada busana atau pakaian yang digunakan pemain Jaran Kepang dan juga riasan wajah yang digunakan oleh pemain