54
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Gambaran Umum Rumah Sakit Dustira Cimahi
Rumah Sakit Dustira merupakan rumah sakit kebanggaan prajurit di wilayah Kodam III/Siliwangi yang dibangun pada tahun 1887 di masa penjajahan Hindia-Belanda sebagai rumah sakit Militer (Militare Hospital).
Pada perkembangan selanjutnya Rumah Sakit Dustira, bukan saja menerima pasien dari kalangan militer tetapi masyarakat umum. Saat ini Rumah Sakit Dustira mampu mengupayakan pelayanan kesehatan kuratif dan rehabilitatif yang terpadu dengan pelaksanaan kegiatan kesehatan promotif dan preventif sehingga menjadi rumah sakit rujukan tertinggi.
Pelayanan yang ada Rumah Sakit Dustira meliputi instalasi gawat darurat, instalasi rawat jalan, hemodialisa, endoscopy UGD, instalasi rehabilitasi medik, instalasi rawat inap dan instalasi diagnostic radiologi.
Adapun pelayanan rawat jalan di Rumah Sakit Dustira terbagi atas Poli Anak, Poli Penyakit Dalam, Poli Bedah, Poli Obstetric & Gynaecology, Poli Penyakit Jantung, Poli Penyakit Gigi & Mulut, Poli Penyakit Mata, Poli Jiwa, Poli Penyakit Syaraf, Poli Penyakit THT, Poli Gizi, Poli Kulit & Kelamin, Poli Fisioterapi, Poli Akupuntur dan Poli VCT.
Rumah Sakit Dustira Cimahi adalah Rumah Sakit Tingkat II kelas B.
Rumah sakit ini melayani pasien diabetes melitus pada Poli Penyakit Dalam Instalasi Rawat Jalan. Menurut data yang diperoleh dari Medical Record Poliklinik Penyakit Dalam didapat bahwa prevalensi DM pada tahun 2017 di Rumah Sakit TK II Dustira sebesar 32,1% berada diatas angka nasional.
Berdasarkan data bulan Oktober s.d Desember 2017
penyakit DM termasuk ke dalam 10 besar jenis penyakit pada rawat jalan dengan urutan ketiga.
5.2 Analisis Univariat
Pada hasil analisis univariat ini dapat menggambarkan hasil distribusi frekuensi dari masing-masing variabel yang diteliti, baik variabel independen maupun dependen.
5.2.1 Pengetahuan
Tingkat pengetahuan diperoleh dari kuesioner yang telah diisi oleh sampel. Tingkat pengetahuan dikategorikan menjadi dua kelompok yaitu kurang dan baik. Kategori pengetahuan kurang yaitu apabila skor yang diperoleh ≤ 60%, sedangkan pengetahuan baik yaitu apabila skor yang diperoleh > 60%. Distribusi frekuensi pengetahuan dapat dilihat pada tabel 5.1 berikut ini:
TABEL 5. 1
DISTRIBUSI FREKUENSI BERDASARKAN PENGETAHUAN PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2
DI RS DUSTIRA KOTA CIMAHI
Pengetahuan n %
`Kurang Baik
28 12
70 30
Total 40 100
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa sebagian besar sampel memiliki pengetahuan kurang yaitu sebanyak 28 sampel (70%), sedangkan sampel yang memiliki pengetahuan baik yaitu sebanyak 12 sampel (30%). Rata-rata skor pengetahuan yang diperoleh oleh sampel yaitu sebesar 53,33 yang termasuk dalam kategori pengetahuan kurang.
Sedangkan untuk skor terendah yang diperoleh oleh sampel yaitu sebesar 26,67 dan skor tertinggi yaitu 93,33.
Berdasarkan kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini, pengetahuan tentang diabetes mellitus yang kurang terutama tentang jadwal makan yang dianjurkan bagi penderita diabetes melitus yaitu
sebanyak 34 sampel (85%) menjawab salah, serta tentang jenis makanan yang harus dibatasi bagi penderita diabetes melitus yaitu sebanyak 24 sampel (60%) menjawab salah.
5.2.2 Kepatuhan Diet
Kepatuhan diet sampel diperoleh dari hasil recall 1 x 24 hour kemudian dijabarkan berdasarkan kepatuhan diet terhadap jenis makanan, jumlah makanan, dan jadwal makan, selanjutnya hasilnya dicompositkan menjadi kepatuhan diet. Kepatuhan diet sampel dikategorikan menjadi dua kelompok yaitu tidak patuh dan patuh. Distribusi frekuensi kepatuhan diet dapat dilihat pada tabel 5.2 berikut ini:
TABEL 5. 2
DISTRIBUSI FREKUENSI SAMPEL BERDASARKAN KEPATUHAN DIET PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2
DI RS DUSTIRA KOTA CIMAHI
Kepatuhan Diet n %
Tidak Patuh Patuh
33 7
82,5 17,5
Total 40 100
Berdasarkan tabel 5.2, data kepatuhan diet yang didapatkan yaitu sampel yang tidak patuh dalam menjalankan diet yaitu sebanyak 33 sampel (82,5%), sedangkan sampel yang patuh dalam menjalankan diet yaitu sebanyak 7 sampel (17,5%). Dari data tersebut, dapat diketahui bahwa sebagian besar sampel tidak mematuhi rekomendasi diet yang dianjurkan bagi penderita diabetes melitus. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Vinti (2015), bahwa sebanyak 53,8% atau lebih dari separuh sampel tidak patuh terhadap rekomendasi diet.
Kepatuhan diet merupakan terapi diet yang terdapat dalam penatalaksanaan DM untuk pengendalian kadar gula darah. Dimana kepatuhan merupakan wujud tingkah laku pasien dalam mengontrol kadar gula darah. Kepatuhan diet didasarkan pada aspek 3J, yaitu patuh jadwal, jenis dan jumlah (Vinti, 2015).
Kepatuhan diet merupakan masalah besar yang terjadi pada penderita DM Tipe 2 saat ini. Hal ini disebabkan karena nilai rata-rata kepatuhan terendah pada pengobatan penderita DM Tipe 2 yaitu salah satunya adalah kepatuhan diet. Diet merupakan kebiasaan yang paling sulit diubah dan paling rendah tingkat kepatuhannya dalam manajemen diri seorang penderita DM Tipe 2 (Lestari, 2012).
Pada penelitian ini, jika dilihat dari masing-masing aspek kepatuhan diet dapat dijabarkan menjadi kepatuhan dalam jumlah makanan, kepatuhan pemilihan jenis makanan dan kepatuhan jadwal makan. Aspek- aspek kepatuhan diet pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
(a) Kepatuhan Jenis Makanan
Kepatuhan jenis makanan didapat dari pemilihan jenis makanan sampel yang diperoleh dari hasil recall 1 x 24 hour. Kepatuhan jenis makanan dikategorikan menjadi dua kelompok yaitu tidak patuh dan patuh.
Distribusi frekuensi kepatuhan jenis makanan dapat dilihat pada tabel 5.3 berikut ini:
TABEL 5. 3
DISTRIBUSI FREKUENSI SAMPEL BERDASARKAN KEPATUHAN JENIS MAKANAN PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2
DI RS DUSTIRA KOTA CIMAHI
Kepatuhan Jenis Makanan n %
Tidak Patuh Patuh
16 24
40 60
Total 40 100
Berdasarkan tabel 5.3, data kepatuhan jenis makanan yang didapatkan yaitu sampel yang tidak patuh dalam menjalankan diet yaitu sebanyak 16 sampel (40%), sedangkan sampel yang patuh dalam menjalankan diet yaitu sebanyak 24 sampel (60%). Dari data tersebut, dapat diketahui bahwa sebagian besar sampel telah mematuhi rekomendasi diet berdasarkan pemilihan jenis makanan yang dianjurkan bagi penderita diabetes melitus. Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Lestari (2012), bahwa kepatuhan responden dalam pemilihan jenis makanan lebih tinggi daripada kepatuhan dalam jumlah dan jadwal makan yaitu sebanyak 80% dari sampel penelitian.
Pemilihan jenis makanan yang tepat sangat penting bagi penderita DM Tipe 2 karena baerkaitan dengan kadar gula darah dan pencegahan penyakit komplikasi diabetes (ADA, 2010). Penderita DM Tipe 2 harus mengetahui dan memahami jenis makanan apa yang boleh dimakan secara bebas, makanan yang harus dibatasi, dan makanan apa yang harus dibatasi secara ketat (Waspadji, 2007).
(b) Kepatuhan Jumlah Makanan
Kepatuhan jumlah makanan didapat dari jumlah asupan energi, karbohidrat, gula murni, dan lemak jenuh yang diperoleh dari hasil recall 1x24 hour. Kepatuhan jumlah makanan dikategorikan menjadi dua kelompok yaitu tidak patuh dan patuh. Distribusi frekuensi kepatuhan jumlah makanan dapat dilihat pada tabel 5.4 berikut ini:
TABEL 5. 4
DISTRIBUSI FREKUENSI SAMPEL BERDASARKAN KEPATUHAN JUMLAH MAKANAN PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2
DI RS DUSTIRA KOTA CIMAHI
Kepatuhan Jumlah Makanan n %
Tidak Patuh Patuh
31 9
77,5 22,5
Total 40 100
Berdasarkan tabel 5.4, data kepatuhan jumlah makanan yang didapatkan yaitu sampel yang tidak patuh dalam menjalankan diet yaitu sebanyak 31 sampel (77,5%), sedangkan sampel yang patuh dalam menjalankan diet yaitu sebanyak 9 sampel (22,5%). Sampel masih banyak yang belum mematuhi aturan diet dalam batasan jumlah asupan energi, karbohidrat, gula murni, dan lemak jenuh. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Magdalena (2016), bahwa dari 84 sampel sebanyak 50 sampel (59,5%) memiliki penerapan jumlah makanan yang tidak baik.
Kepatuhan jumlah makanan merupakan salah satu yang menjadi masalah dalam kepatuhan diet penderita DM Tipe 2 karena lebih sulit dikendalikan dibandingkan kepatuhan pemilihan jenis makanan dan jadwal makan (Lestari, 2012). Pengaturan jumlah asupan energi bagi penderita DM dimaksudkan agar tidak menyebabkan overweight dan obesitas yang akan memperburuk kondisi diabetes, sedangkan pengaturan jumlah karbohidrat (termasuk gula) juga penting karena merupakan deteriminan kadar glukosa darah postprandial. Selain itu, jumlah asupan lemak jenuh perlu dibatasi berkaitan dengan tujuan utama diet DM yaitu untuk mencegah penyakit komplikasi diabetes seperti penyakit kardiovaskular (ADA, 2010).
(c) Kepatuhan Jadwal Makan
Kepatuhan jadwal makan didapat dari waktu makan sampel yang diperoleh dari hasil recall 1 x 24 hour. Kepatuhan jadwal makan dikategorikan menjadi dua kelompok yaitu tidak patuh dan patuh. Distribusi frekuensi kepatuhan jadwal makan dapat dilihat pada tabel 5.5 berikut ini:
TABEL 5. 5
DISTRIBUSI FREKUENSI SAMPEL BERDASARKAN KEPATUHAN JADWAL MAKAN PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2
DI RS DUSTIRA KOTA CIMAHI
Kepatuhan Jadwal Makan n %
Tidak Patuh Patuh
24 16
60 40
Total 40 100
Berdasarkan tabel 5.5, data kepatuhan jadwal makan yang didapatkan yaitu sampel yang tidak patuh dalam menjalankan diet berdasarkan jadwal makan yaitu sebanyak 24 sampel (60%), sedangkan sampel yang patuh dalam menjalankan diet berdasarkan jadwal makan yaitu sebanyak 16 sampel (40%). Dari data tersebut dapat diketahui bahwa masih banyak sampel yang belum mematuhi aturan diet berdasarkan aturan jadwal
makan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Magdalena (2016), bahwa sebanyak 76 sampel (90,5%) dari 84 sampel memiliki penerapan jadwal makan yang tidak baik.
Masih banyaknya sampel yang belum mematuhi aturan jadwal makan bisa terjadi karena beberapa hal seperti sampel belum terbiasa dengan jadwal makan yang memiliki interval 3 jam dan jam yang sudah ditentukan dari standar diet DM. Selain itu, mayoritas sampel menghindari makan makam dan selingan.
Pengaturan jadwal makan sangatlah penting bagi penderita DM Tipe 2 karena dengan membagi waktu makan menjadi porsi kecil tetapi sering, karbohidrat dicerna dan diserap secara lebih lambat dan stabil. Selain itu, kebutuhan insulin pun menjadi lebih rendah dan sensitivitas insulin menjadi meningkat sehingga metabolism tubuh dapat berjalan dengan lebih baik (Waspadji, 2007).
5.2.3 Kebiasaan Olahraga
Kebiasaan olahraga sampel pada penelitian ini dikategorikan menjadi dua kelompok yaitu kebiasaan olahraga baik dan kebiasaan olahraga tidak baik. Kebiasaan olahraga baik apabila sampel melakukan olahraga dengan frekuensi, durasi, jeda waktu, dan jenis olahraga sesuai dengan rekomendasi penalatalaksanaan diabetes melitus. Distribusi frekuensi kebiasaan olahraga dapat dilihat pada tabel 5.6 berikut ini:
TABEL 5. 6
DISTRIBUSI FREKUENSI SAMPEL BERDASARKAN KEBIASAAN OLAHRAGA PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RS
DUSTIRA KOTA CIMAHI
Kebiasaan Olahraga n %
Tidak Baik Baik
33 7
82,5 17,5
Total 40 100
Berdasarkan tabel 5.6, data kebiasaan olahraga yang didapatkan yaitu sampel yang memiliki kebiasaan olahraga tidak baik yaitu sebanyak 33 sampel (82,5%), sedangkan sampel yang memiliki kebiasaan olahraga baik yaitu sebanyak 7 sampel (17,5%). Dari data tersebut, dapat diketahui bahwa sebagian besar sampel memiliki kebiasaan olahraga yang tidak baik.
Berdasarkan kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini, diketahui bahwa sebenarnya sampel yang telah melakukan olahraga yaitu sebanyak 27 sampel (67,5%) dengan jenis olahraga yang dilakukan terbanyak adalah berjalan sebanyak 19 sampel (76% dari sampel yang melakukan olahraga).
Jenis olahraga yang dilakukan lainnya yaitu jogging, senam aerobik, senam santai dan sepak bola. Frekuensi olahraga yang dilakukan dalam 1 minggu yaitu < 3 kali sebanyak 13 sampel (48,1%) dan ≥ 3 kali sebanyak 14 sampel (51,9%) dengan durasi waktu setiap olahraga yaitu 5-14 menit sebanyak 4 sampel (14,8%), 15-29 menit 6 sampel (22,2%), dan ≥ 30 menit sebanyak 17 sampel (63%).
5.2.4 Kadar Glukosa Darah Puasa
Pada penelitian ini, kada glukosa darah diperoleh dari hasil pemeriksaan darah sampel pada hari yang sama saat penelitian. Kadar glukosa darah yang diteliti adalah kadar glukosa darah puasa sampel yang diambil setelah sampel melakukan puasa selama minimal 8 jam sebelum pemeriksaan. Kadar glukosa darah dikategorikan menjadi 2 kelompok yaitu kadar glukosa darah tidak terkontrol dan kadar glukosa darah terkontrol.
Distribusi frekuensi kadar glukosa darah dapat dilihat pada tabel 5.7 berikut:
TABEL 5. 7
DISTRIBUSI FREKUENSI SAMPEL BERDASARKAN KADAR GLUKOSA DARAH PUASA PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE
2 DI RS DUSTIRA KOTA CIMAHI
Kadar Glukosa Darah n %
Tidak Terkontrol Terkontrol
32 8
80 20
Total 40 100
Berdasarkan data pada tabel di atas, dapat diketahui bahwa sebagian besar sampel memiliki kadar glukosa darah puasa yang tidak terkontrol yaitu sebanyak 32 sampel (80%). Sedangkan sampel yang memiliki kadar glukosa darah terkontrol yaitu sebanyak 8 sampel (20%). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Vinti (2015), bahwa lebih dari separuh sampel yaitu 69,2% memiliki kadar glukosa darah puasa yang tidak terkontrol.
Rata-rata kadar glukosa darah puasa sampel yaitu 207,2 mg/dl yang termasuk ke dalam kategori tidak terkontrol. Sedangkan untuk kadar glukosa darah puasa terendah yaitu 84 mg/dl dan kadar glukosa darah puasa tertinggi yaitu 600 mg/dl.
Tingginya kadar gula darah yang tidak terkontrol disebabkan oleh berbagai faktor yang mempengaruhi, diantaranya pengetahuan pasien terhadap pengendalian gula darah yang masih rendah yang disebabkan kurangnya memperoleh informasi tentang pengendalian gula darah /penatalaksanaan DM, kemudian kesadaran pasien dalam menjalankan program diet yang kurang patuh, aktifitas fisik yang kurang (olahraga) disebabkan karena masih rendahnya kesadaran untuk menjalankan pola hidup sehat dan asupan obat yang tidak teratur (Vinti, 2015).
5.3 Gambaran Umum Sampel
(a) Gambaran Kepatuhan Diet berdasarkan Karakteristik Sampel Gambaran kepatuhan diet berdasarkan karakteristik sampel dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
TABEL 5. 8
GAMBARAN KEPATUHAN DIET BERDASARKAN KARAKTERISTIK SAMPEL PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2
DI RS DUSTIRA KOTA CIMAHI Gambaran
Umum Sampel
Kepatuhan Diet Total Tidak Patuh Patuh
n %
n % n %
Usia
< 45 Tahun 7 100 0 0 7 100
≥ 45 Tahun 26 78,8 7 21,2 33 100
Jenis Kelamin
Laki-laki 15 88,2 2 11,8 17 100
Perempuan 18 78,3 5 21,7 23 100
Pendidikan
Dasar 15 78,9 4 21,1 19 100
Lanjut 18 85,7 3 14,3 21 100
Pekerjaan
Tidak Bekerja 25 78,1 7 21,9 32 100
Bekerja 8 100 0 0 8 100
Status Gizi
Kurus 2 100 0 0 2 100
Normal 20 83,3 4 16,7 24 100
Gemuk 11 78,6 3 21,4 14 100
Lama
Menderita DM
≤ 5 Tahun 21 87,5 3 12,5 24 100
> 5 Tahun 12 75,0 4 25,0 16 100
Konsumsi Obat
Tidak Rutin 6 66,7 3 33,3 9 100
Rutin 27 87,1 4 12,9 31 100
Total 33 82,5 7 17,5 40 100
(b) Gambaran Kebiasaan Olahraga berdasarkan Karakteristik Sampel
Gambaran kebiasaan olahraga berdasarkan karakteristik sampel dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
TABEL 5. 9
GAMBARAN KEBIASAAN OLAHRAGA BERDASARKAN
KARAKTERISTIK SAMPEL PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RS DUSTIRA KOTA CIMAHI
Gambaran Umum Sampel
Kebiasaan Olahraga Total Tidak Baik Baik
n %
n % n %
Usia
< 45 Tahun 5 71,4 2 28,6 7 100
≥ 45 Tahun 28 84,8 5 15,2 33 100
Jenis Kelamin
Laki-laki 11 64,7 6 35,3 17 100
Perempuan 22 95,7 1 4,3 23 100
Pendidikan
Dasar 18 94,7 1 5,3 19 100
Lanjut 15 71,4 6 28,6 21 100
Pekerjaan
Tidak Bekerja 28 87,5 4 12,5 32 100
Bekerja 5 62,5 3 37,5 8 100
Status Gizi
Kurus 2 100 0 0 2 100
Normal 20 83,3 4 16,7 24 100
Gemuk 11 78,6 3 21,4 14 100
Lama
Menderita DM
≤ 5 Tahun 20 83,3 4 16,7 24 100
> 5 Tahun 13 81,3 3 18,8 16 100
Konsumsi Obat
Tidak Rutin 8 88,9 1 11,1 9 100
Rutin 25 80,6 6 19,4 31 100
Total 33 82,5 7 17,5 40 100
(c) Gambaran Kadar Glukosa Darah Puasa berdasarkan Karakteristik Sampel
Gambaran kadar glukosa darah puasa berdasarkan karakteristik sampel dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
TABEL 5. 10
GAMBARAN KADAR GLUKOSA DARAH PUASA BERDASARKAN KARAKTERISTIK SAMPEL PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2
DI RS DUSTIRA KOTA CIMAHI Gambaran
Umum Sampel
Kadar Glukosa Darah Puasa Total Tidak Terkontrol Terkontrol
n %
n % n %
Usia
< 45 Tahun 6 85,7 1 14,3 7 100
≥ 45 Tahun 26 78,8 7 21,2 33 100
Jenis Kelamin
Laki-laki 13 76,5 4 23,5 17 100
Perempuan 19 82,6 4 17,4 23 100
Pendidikan
Dasar 16 84,2 3 15,8 19 100
Lanjut 16 76,2 5 23,8 21 100
Pekerjaan
Tidak Bekerja 25 78,1 7 21,9 32 100
Bekerja 7 87,5 1 12,5 8 100
Status Gizi
Kurus 2 100 0 0 2 100
Normal 19 79,2 5 20,8 24 100
Gemuk 11 78,6 3 21,4 14 100
Lama
Menderita DM
≤ 5 Tahun 18 75,0 6 25,0 24 100
> 5 Tahun 14 87,5 2 12,5 16 100
Konsumsi Obat
Tidak Rutin 6 66,7 3 33,3 9 100
Rutin 26 83,9 5 16,1 31 100
Total 33 82,5 7 17,5 40 100
5.3.1 Usia
Usia sampel penelitian ini berkisar antara 37 tahun sampai dengan 76 tahun, dengan rata-rata usia 57,50 tahun yang dibulatkan menjadi 58 tahun.
Selanjutnya dikategorikan menjadi dua kelompok yaitu <45 tahun dan ≥45 tahun. Berdarkan penelitian yang dilakukan di negara berkembang bahwa kelompok usia yang berisiko untuk menderita DM Tipe 2 adalah usia 46-64 tahun karena pada usia tersebut terjadi intoleransi glukosa. Proses penuaan menyebabkan menurunnya kemampuan sel ᵝ pancreas dalam memproduksi insulin (Budhiarta, Aryana, & Saraswati, 2005).
Dari hasil analisis Riskesdas 2007, terlihat bahwa semakin tua usia maka semakin tinggi risiko untuk menderita Diabetes Melitus. Orang yang berusia 26-35 tahun berisiko 2,32 kali, usia 36-45 tahun berisiko 6,88 kali, dan usia lebih dari 45 tahun berisiko 14,99 kali untuk menderita DM Tipe 2 dibandingkan usia 15-25 tahun (Irawan, 2010).
Berdasarkan tabel 5.8, 5.9 dan 5.10 , dapat diketahui bahwa sebanyak 78,8% sampel dengan usia ≥45 tahun tidak patuh dalam dalam menjalankan diet, sebanyak 84,8% memiliki kebiasaan olahraga tidak baik, dan sebanyak 78,8% memiliki kadar glukosa darah puasa tidak terkontrol.
Hal ini menandakan bahwa sebagian sampel dengan usia ≥ 45 tahun tidak memiliki kontrol yang baik terhadap penatalaksanaan diabetes melitus.
5.3.2 Jenis Kelamin
Jenis kelamin sampel pada penelitian ini dikategorikan menjadi dua kelompok yaitu laki-laki dan perempuan. Penelitian yang dilakukan oleh (Hermita, 2006), menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kejadian diabetes melitus dengan jenis kelamin dengan OR 1,35, artinya perempuan lebih mudah untuk menderita diabetes melitus 1,35 kali dibanding laki-laki.
Secara prevalensi, wanita dan pria mempunyai peluang yang sama terkena diabetes. Hanya saja, dari faktor risiko, wanita lebih berisiko
mengidap diabetes karena secara fisik wanita memiliki peluang peningkatan indeks masa tubuh yang lebih besar. Sindroma siklus bulanan (premenstrual syndrome), pasca-menopouse yang membuat distribusi lemak tubuh menjadi mudah terakumulasi akibat proses hormonal tersebut sehingga wanita berisiko menderita diabetes melitus tipe 2 (Damayanti, 2010).
Berdasarkan tabel 5.8, 5.9 dan 5.10 , dapat diketahui sebanyak 88,2%
sampel yang berjenis kelamin laki-laki tidak patuh dalam menjalankan diet.
Sedangkan sebanyak 95,7% sampel yang berjenis kelamin perempuan memiliki kebiasaan olahraga yang tidak baik serta sebanyak 82,6% sampel berjenis kelamin perempuan memiliki kadar glukosa darah tidak terkontrol.
5.3.3 Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan sampel pada penelitian ini dikategorikan menjadi dua kelompok yaitu pendidikan dasar dan pendidikan lanjut. Pendidikan dasar meliputi tidak tamat SD, tamat SD, dan tamat SMP. Sedangkan pendidikan lanjut meliputi lulus SMA dan Perguruan Tinggi.
Tingkat pendidikan memiliki pengaruh terhadap kejadian penyakit Diabetes Melitus Tipe 2. Orang yang tingkat pendidikannya tinggi biasanya akan memiliki banyak pengetahuan tentang kesehatan. Dengan adanya pengetahuan tersebut orang akan memiliki kesadaran dalam menjaga kesehatannya (Irawan, 2010).
Namun selain dari pengetahuan, tingkat pendidikan juga mempengaruhi aktivitas fisik seseorang karena terkait dengan pekerjaan yang dilakukan. Orang dengan tingkat pendidikan tinggi biasanya lebih banyak bekerja di kantoran dengan aktivitas fisik sedikit. Sementara itu, orang dengan tingkat pendidikan rendah lebih banyak menjadi buruh maupun petani dengan aktivitas yang cukup atau berat (Irawan, 2010).
Berdasarkan tabel 5.8, 5.9 dan 5.10 , dapat diketahui sebanyak 85,7%
sampel dengan pendidikan lanjut tidak patuh dalam menjalankan diet.
Sedangkan sebanyak 94,7% sampel dengan pendidikan dasar memiliki kebiasaan olahraga yang tidak baik, serta sebanyak 84,2% sampel memiliki kadar glukosa darah puasa tidak terkontrol.
5.3.4 Tingkat Pekerjaan
Pada penelitian ini, tingkat pekerjaan dibedakan menjadi dua kelompok yaitu bekerja (pegawai negeri, pegawai swasta, wiraswasta, dan buruh) dan tidak bekerja (IRT, pensiunan, dan tidak bekerja). Kelompok yang tidak bekerja memiliki risiko yang lebih besar untuk terkena diabetes.
Tingginya risiko diabetes pada kelompok tidak bekerja erat kaitannya dengan kurangnya aktivitas fisik pada kelompok ini. Sedangkan pada kelompok yang bekerja, lebih banyak yang tergolong dalam kategori sangat aktif (Garnita, 2012).
Berdasarkan tabel 5.8, 5.9 dan 5.10 , dapat diketahui sebanyak 100%
sampel yang bekerja patuh dalam menjalankan diet. Sedangkan sebanyak 87,5% sampel yang tidak bekerja memiliki kebiasaan olahraga yang tidak baik, serta sebanyak 87,5% sampel yang bekerja memiliki kadar glukosa darah yang tidak terkontrol.
5.3.5 Status Gizi
Status gizi berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT) diperoleh dari berat badan dan tinggi badan sampel. Kemudian dikonversikan menjadi IMT. Status gizi dikategorikan menjadi tiga kelompok yaitu kurus, normal, dan gemuk. Berdasarkan data yang diperoleh, IMT sampel berkisar antara 17,58 kg/m2 sampai 33,3 kg/m2 dengan nilai IMT rata rata yaitu sebesar 24,14 kg/m2. IMT rata-rata tersebut termasuk ke dalam kategori normal.
Obesitas merupakan faktor risiko yang penting terhadap terjadinya penyakit diabetes melitus. Pada orang yang obesitas, karena masukan makanan yang berlebih, kelenjar pankreas akan bekerja lebih keras untuk menormalkan kadar glukosa darah akibat masukan makanan yang berlebihan. Mula-mula kelenjar pankreas masih mampu mengimbangi
dengan memproduksi isulin yang lebih banyak, sehingga kadar glukosa darah masih dapat dijaga agar tetap normal. Tetapi pada suatu ketika sel beta kelenjar pankreas akan mengalami kelelahan dan tidak mampu untuk memproduksi insulin yang cukup untuk mengimbangi kelebihan masukan kalori. Akibatnya kadar glukosa darah akan tinggi dan akan mengalami toleransi glukosa terganggu yang akhirnya akan menjadi diabetes mellitus (Waspadji, 2007).
Berdasarkan tabel 5.8, 5.9 dan 5.10 , dapat diketahui sebanyak 100%
sampel dengan status gizi kurus tidak patuh dalam menjalankan diet dan memiliki kebiasaan olahraga yang tidak baik serta memiliki kadar glukosa darah puasa yang tidak terkontrol
5.3.6 Lama Menderita Diabetes Melitus Tipe 2
Lamanya menderita DM Tipe 2 sampel pada penelitian ini berkisar antara 1 bulan sampai 33 tahun. Lama menderita DM Tipe 2 ini dikelompokan menjadi dua kategori yaitu ≤ 5 tahun dan > 5 tahun. Rata- rata sampel menderita DM Tipe 2 yaitu selama 6,5 tahun.
Lamanya menderita diabetes mellitus berpengaruh pada kualitas hidup pasien. Pasien yang telah menderita penyakit ≥5 tahun atau dikatakan menderita penyakit kronis memiliki efikasi diri yang baik dari pada pasien yang menderita suatu penyakit < 5 tahun atau menderita penyakit akut, hal itu disebabkan karena pasien telah berpengalaman dalam mengelola penyakitnya dan memiliki koping yang baik (Yusra, 2010).
Berdasarkan tabel 5.8, 5.9 dan 5.10 , dapat diketahui sebanyak 87,5%
yang telah menderita DM selama ≤ 5 tahun tidak patuh dalam menjalankan diet dan sebanyak 83,3% memiliki kebiasaan olahraga yang tidak baik.
Sedangkan sebanyak 87,5% sampel yang telah menderita DM selama > 5 tahun memiliki kadar glukosa darah puasa yang tidak terkontrol.
5.3.7 Riwayat Mengkonsumsi Obat
Pada penelitian ini riwayat mengkonsumsi obat dikategorikan menjadi dua yaitu tidak rutin dan rutin. Obat hipoglikemi oral (OHO) diberikan
dengan harapan bahwa diabetes dapat terkontrol dengan baik. Obat oral bekerja dengan cara merangsang sel pengahasil insulin (sel beta) di pankreas untuk memproduksi insulin lebih banyak sehingga kebutuhan insulin dapat tercukupi (Tara & Soetrisno, 2002).
Berdasarkan tabel 5.8, 5.9 dan 5.10 , dapat diketahui sebanyak 87,6%
sampel yang rutin mengkonsumsi obat tidak patuh dalam menjalankan diet dan sebanyak 80,6% memiliki kebiasaan olahraga yang tidak baik. Serta sebanyak 83,9% memiliki kadar glukosa darah tidak terkontrol.
5.4 Analisis Bivariat
Analisis Bivariat digunakan untuk mengetahui hubugan antara variabel independen (pengetahuan, kepatuhan diet, dan kebiasaan olahraga) dengan variabel dependen (kadar glukosa darah puasa) yang dianalisis menggunakan uji Chi Square.
5.4.1 Hubungan antara Pengetahuan dengan Kadar Glukosa Darah Puasa
Hasil analisis bivariat antara pengetahuan dengan kadar glukosa darah puasa di RS Dustira Kota Cimahi dapat dilihat pada tabel 5.11 di bawah ini:
TABEL 5. 11
HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN DENGAN KADAR GLUKOSA DARAH PUASA PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RS
DUSTIRA KOTA CIMAHI
Pengetahuan
Kadar Glukosa Darah
Puasa Total
p PR
(95% CI)
Tidak
Terkontrol Terkontrol
n %
n % n %
Kurang Baik Baik
25 7
89,3 58,3
3 5
10,7 41,7
28 12
100
100 0,039 1,531
Total 32 80 8 20 40 100
Berdasarkan tabel 5.11, dapat diketahui bahwa sampel yang memiliki pengetahuan kurang baik sebanyak 28 sampel, dimana 25 sampel (89,3%) memiliki kadar glukosa darah puasa tidak terkontrol dan 3 sampel (10,7%) memiliki kadar glukosa darah puasa terkontrol. Sedangkan sampel yang memiliki pengetahuan baik sebanyak 12 orang, dimana 7 sampel (58,3%) memiliki kadar glukosa darah puasa tidak terkontrol dan 5 sampel (41,7%) memiliki kadar glukosa darah puasa terkontrol. Proporsi sampel yang memiliki kadar glukosa darah puasa tidak terkontrol lebih besar pada sampel dengan pengetahuan kurang baik dibandingkan dengan sampel yang memiliki pengetahuan baik.
Berdasarkan hasil uji statistik, diperoleh nilai p value sebesar 0,039.
Hal ini menunjukkan bahwa nilai p value < 0,05, artinya ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan kadar glukosa darah puasa pada pasien diabetes melitus tipe 2 di RS Dustira Kota Cimahi. Nilai OR yang didapatkan menunjukkan bahwa orang yang memiliki pengetahuan kurang memiliki risiko 1,531 kali untuk memiliki kadar glukosa darah puasa yang tidak terkontrol dibandingkan dengan orang yang memiliki pengetahuan baik.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Vinti (2015), bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan gizi dengan kadar gula darah pasien Diabetes Melitus di RSUP Dr. M. Djamil Padang dengan nilai p 0,000. Dalam penelitian ini dapat diketahui bahwa kadar gula darah tidak terkontrol lebih banyak (90,3%) pada pasien DM dengan pengetahuan kurang dibandingkan pada pasien yang memiliki pengetahuan baik (38,1%).
Rendahnya pengetahuan yang dimiliki pasien mengenai penyakit DM sehingga pasien tidak mampu mengontrol kadar gula darah dan mengakibatkan kadar gula darah menjadi tinggi. Penderita DM perlu memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik mengenai DM, karena akan lebih terbantu dan mudah dalam mengikuti anjuran penatalaksanaan DM, tetapi sebaliknya bagi pasien yang memiliki tingkat pengetahuan
kurang, sulit untuk mengikuti pengobatan DM. Pengetahuan juga akan berpengaruh pada perilaku penderita diabetes yang akhirnya melakukan pengendalian kadar gula darah. (Vinti, 2015)
Namun penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Qurratuaeni (2009), bahwa berdasarkan hasil uji statistic didapatkan p value > 0,05 yaitu 2,571 maka dapat disimpulkan secara statistic belum cukup bukti untuk menyatakan adanya hubungan antara pengetahuan dengan terkendalinya kadar gula darah pada pasien Diabetes Melitus.
Tidak adanya hubungan antara pengetahuan dengan terkendalinya kadar gula darah pada pasien Diabetes Melitus kemungkinan disebabkan karena kurangnya kemampuan untuk mengendalikan keinginan pasien DM untuk patuh dalam melakukan penatalaksanaan atau pengobatan diabetes dengan teratur. Kepatuhan berkenaaan dengan perilaku dalam mengambil suatu tindakan untuk pengobatan, seperti melakukan diet, kebiasaan hidup dan ketepatan berobat (Niven, 2002).
5.4.2 Hubungan antara Kepatuhan Diet dengan Kadar Glukosa Darah Puasa
Hasil analisis bivariat antara kepatuhan diet dengan kadar glukosa darah puasa di RS Dustira Kota Cimahi dapat dilihat pada tabel 5.12 di bawah ini:
TABEL 5. 12
HUBUNGAN ANTARA KEPATUHAN DIET DENGAN KADAR GLUKOSA DARAH PUASA PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE
2 DI RS DUSTIRA KOTA CIMAHI
Kepatuhan Diet
Kadar Glukosa Darah
Puasa Total
P PR
(95% CI)
Tidak
Terkontrol Terkontrol
n %
n % n %
Tidak Patuh Patuh
27 5
81,8 71,4
6 2
18,2 28,6
33 7
100
100 0,611 1,145
Total 32 80 8 20 40 100
Berdasarkan tabel 5.12, dapat diketahui bahwa sampel yang tidak patuh dalam menjalankan diet yaitu sebanyak 33 sampel, dimana 27 sampel (81,8%) memiliki kadar glukosa darah puasa tidak terkontrol dan 6 sampel (18,2%) memiliki kadar glukosa darah puasa terkontrol. Sedangkan sampel yang patuh dalam menjalankan diet yaitu sebanyak 7 orang, dimana 5 sampel (71,4%) memiliki kadar glukosa darah puasa tidak terkontrol dan 2 sampel (28,6%) memiliki kadar glukosa darah puasa terkontrol. Proporsi sampel yang memiliki kadar glukosa darah puasa tidak terkontrol lebih besar pada sampel yang tidak patuh dalam menjalankan diet dibandingkan dengan sampel yang patuh dalam menjalankan diet.
Berdasarkan hasil uji statistik, diperoleh nilai p value sebesar 0,611.
Hal ini menunjukkan bahwa nilai p value < 0,05, artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara kepatuhan diet dengan kadar glukosa darah puasa pada pasien diabetes melitus tipe 2 di RS Dustira Kota Cimahi. Nilai OR yang didapatkan menunjukkan bahwa orang yang tidak patuh terhadap rekomendasi diet memiliki risiko 1,145 kali untuk memiliki kadar glukosa darah puasa yang tidak terkontrol dibandingkan dengan orang yang patuh terhadap rekomendasi diet.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Qurratuaeni (2009), bahwa tidak ada hubungan antara asupan/kebiaaan makan dengan terkendalinya kadar gula darah pada pasien Diabetes Melitus. Dalam penelitian ini, dari jumlah 75 sampel, sebanyak 24 sampel memiliki kebiasaan makan sesuai anjuran dengan 18 sampel (75%) memiliki kadar gula darah terkendali dan 6 sampel (25%) memiliki kadar gula darah tidak terkendali. Sedangkan dari 51 sampel yang memiliki kebiasaan makan tidak sesuai anjuran, sebanyak 36 sampel (70,6%) memiliki kadar gula darah terkendali dan sebanyak 15 sampel (29,4%) memiliki kadar gula darah tidak terkendali. Hal ini menunjukan bahwa lebih banyak sampel yang memiliki kebiasaan makan tidak sesuai anjuran namun memiliki kadar gula darah terkendali dibandingkan dengan sampel yang
memiliki kebiasaan makan sesuai anjuran dan memiliki kadar gula darah yang terkendali dengan nilai p value = 0,903.
Tidak adanya hubungan antara asupan/kebiasaan makan dengan terkendalinya kadar gula darah pada pasien Diabetes Melitus kemungkinan disebabkan karena asupan/kebiasaan makan bukan satu-satunya faktor yang berpengaruh dan memegang peranan penting dalam pengendalian kadar gula darah pada pasien Diabetes Melitus (Qurratuaeni, 2009).
Terdapat faktor lain yang mendukung tercapainya status kesehatan yang optimal (terkendalinya kadar gula darah) bagi pasien diabetes, seperti melakukan aktivitas atau olahraga yang rutin dan teratur serta mengkonsumsi obat antidiabetes sesuai dengan instruksi dari tim medis (Waspadji & dkk, 2009)
Namun penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Vinti (2015), bahwa ada hubungan antara kepatuhan diet dengan kadar gula darah sampel dengan nilai p yaitu 0,019. Hasil penelitian menunjukkan kadar gula darah tidak terkontrol lebih banyak (89,3%) pada pasien yang tidak patuh terhadap diet dibandingkan pada pasien yang patuh pada diet yang dianjurkan (45,8%).
Kepatuhan diet sampel diukur dengan kepatuhan pemilihan jenis makanan, kepatuhan dalam jumlah makanan dan kepatuhan dalam jadwal makanan. Menurut Almatsier (2006), jumlah kalori yang dikonsumsi secara berlebihan akan meningkatkan kadar gula darah pasien. Pengaturan jumlah karbohidrat dan gula penting karena merupakan determinan kadar gula darah. Sedangkan menurut ADA (2010), pemilihan jenis makanan yang tepat sangat penting bagi penderita DM Tipe 2 karena berkaitan dengan kadar gula darah dan pencegahan penyakit komplikasi. Menurut PERKENI (2011), membagi makanan menjadi beberapa porsi kecil dengan frekuensi lebih sering pada makan besar dan selingan lebih efektif untuk menjaga gula darah terus berada pada dalam batas normal.
5.4.3 Hubungan antara Kebiasaan Olahraga dengan Kadar Glukosa Darah Puasa
Hasil analisis bivariat antara kebiasaan olahraga dengan kadar glukosa darah puasa di RS Dustira Kota Cimahi dapat dilihat pada tabel 5.17 di bawah ini:
TABEL 5. 13
HUBUNGAN ANTARA KEBIASAAN OLAHRAGA DENGAN KADAR GLUKOSA DARAH PUASA PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE
2 DI RS DUSTIRA KOTA CIMAHI
Kebiasaan Olahraga
Kadar Glukosa Darah
Puasa Total
P PR
(95% CI)
Tidak
Terkontrol Terkontrol
n %
n % N %
Tidak Baik Baik
29 3
87,9 42,9
4 4
12,1 57,1
33 7
100
100 0,020 2,051
Total 32 80 8 20 40 100
Berdasarkan tabel 5.17, dapat diketahui bahwa sampel yang memiliki kebiasaan olahraga tidak baik sebanyak 33 sampel, dimana 29 sampel (87,9%) memiliki kadar glukosa darah puasa tidak terkontrol dan sampel (12,1%) memiliki kadar glukosa darah puasa terkontrol. Sedangkan sampel yang memiliki kebiasaan olahraga baik sebanyak 7 orang, dimana 3 sampel (42,9%) memiliki kadar glukosa darah puasa tidak terkontrol dan 4 sampel (57,1%) memiliki kadar glukosa darah puasa terkontrol. Proporsi sampel yang memiliki kadar glukosa darah puasa tidak terkontrol lebih besar pada sampel dengan kebiasaan olahraga tidak baik dibandingkan dengan sampel yang memiliki kebiasaan olahraga baik baik.
Berdasarkan hasil uji statistik, diperoleh nilai p value sebesar 0,020.
Hal ini menunjukkan bahwa nilai p value < 0,05, artinya ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan olahraga dengan kadar glukosa darah puasa pada pasien diabetes melitus tipe 2 di RS Dustira Kota Cimahi. Nilai OR yang didapatkan menunjukkan bahwa orang yang memiliki kebiasaan
olahraga tidak baik memiliki risiko 2,051 kali untuk memiliki kadar glukosa darah puasa yang tidak terkontrol dibandingkan dengan orang yang memiliki kebiasaan olahraga baik.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sugiyarti, Meikawati, & Salawati (2011), bahwa berdasarkan hasil uji statistic didapatkan nilai p 0,041 yang artinya ada hubungan antara kebiasaan olahraga dengan kadar gula darah. Dalam penelitian ini diketahui bahwa mayoritas sampel yang melakukan olahraga kategori salah memiliki kadar gula darah buruk yaitu sebanyak 14 orang (93,3%), sedangkan dari 17 sampelyang melakukan olahraga benar, 10 sampel (58,8%) memiliki kadar gula darah buruk.
Kebiasaan olahraga yang baik meliputi frekuensi latihan, lama latihan dan jenis latihan yang sesuai dengan penyakit DM yang diderita. Olahraga yang baik akan bermanfaat dalam pengaturan kadar glukosa darah pada penderita DM yang akan mempengaruhi dalam pengendalian kadar gula darah mereka (Sugiyarti et al., 2011).
Selain itu, penelitian ini sesuai juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Gebrila, Rompas, & Bataha (2016), bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara perilaku olahraga terhadap pengendalian kadar gula darah secara statistik, dimana aktifitas sedang yang teratur dapat menormalkan kadar gula darah.
Selama aktivitas fisik/olahraga, terjadi peningkatan masukan glukosa ke otot dikarenakan adanya insulin independent yang mempengaruhi terjadinya peningkatan jumlah transporter GLUT-4 pada membran sel dan terjadi selama beberapa jam setelah aktivitas atau lebih panjang lagi disertai peningkatan sensitivitas insulin dengan aktivitas yang tetap (Gebrila et al., 2016)
Aktivitas olahraga sangat berpengaruh terhadap pengendalian kadar gula darah. Melakukan olahraga yang baik dan teratur membuat peningkatan aliran ke otot dengan cara pembukaan kapiler (pembuluh darah kecil diotot) dan hal ini akan menurunka tekanan pada otot yang pada
gilirannya akan meningkatkan penyediaan dalam jaringan otot itu sendiri.
Dengan demikian akan mengurangi gangguan metabolisme karbohidrat pada penderita diabetes mellitus sehingga menurunkan kadar glukosa darah (Wiarto, 2013).
Menurut Wiarto (2013), melakukan olahraga yang baik dan teratur dapat menurunkan kadar gulanya, begitupun sebaliknya perilaku olahraga yang buruk dan tidak teratur menyebabkan kadar gula darah tidak terkontrol. Upaya penanganan pada penderita diabetes mellitus sekaligus pencegahan terjadinya komplikasi adalah melakukan upaya pengendalian DM yang salah satunya yaitu melakukan aktivitas olahraga yang teratur bagi penderita DM. dengan berolahraga diharapkan memperbaiki kadar gula dalam darah. Aktivitas fisik yang juga sering dianjurkan adalah senam diabetes.