• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi dan Pengertian

Pengertian secara harfiah, syndrome diartikan sebagai suatu gejala atau tanda yang muncul secara bersama-sama (Alwi, 2002 dalam Rohmadheny, 2016).

Sementara kata down yang digunakan dalam hal ini adalah istilah yang diambil dari nama seorang dokter berkebangsaan Ingris yaitu John Langdon Down (Rohmadheny, 2016).

Down Syndrome adalah suatu keadaan fisik yang disebabkan oleh mutasi gen

ketika anak masih berada dalam kandungan. Ahli pertama yang mengidentifikasi gangguan ini adalah John Langdon Down. Mutasi yang terjadi adalah mutasi gen pada kromosom 21, yaitu adanya tambahan bagian pada kromosom tersebut. Down syndrome merupakan suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental anak yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom. Kromosom merupakan serat-serat khusus yang terdapat didalam setiap sel yang berada didalam tubuh manusia, dimana terdapat bahan-bahan genetik yang menentukan sifat seseorang (Wiyani, 2014 dalam Wijayanti, 2015).

Down Syndrome merupakan kondisi dimana terdapat kelainan kongenital

yang ditandai dengan berlebihnya jumlah kromosom nomor 21 yang seharusnya dua buah menjadi tiga buah sehingga jumlah seluruh kromosom mencapai 47 buah. Pada manusia normal jumlah kromosom sel mengandung 23 pasangan kromosom.

Kelainan kromosom ini menyebabkan keterlambatan perkembangan anak, dan kadang mengacu pada retardasi mental. Klasifikasi Sindrom Down berdasarkan patogenesisnya dimulai dari pembelahan sel (nondisjunction), Mosaic Down Syndrome yaitu terdapat campuran 2 tipe sel yang terdiri dari 46 kromosom dan 47

kromosom, serta adanya translokasi kromosom. Penderita yang mengalami kelainan jumlah kromosom ini pada umumnya memiliki karakteristik fisik yang khas diantaranya, bagian belakang kepala rata, mata sipit, alis mata miring (slanting of the eyelids), telinga lebih kecil, mulut yang mungil, otot lunak, persendian longgar, dan tangan kaki yang mungil (Rayman, dkk 2017). Gangguan yang juga termasuk

(2)

dalam kondisi cacat sejak lahir seperti retardasi mental, perbedaan fisik tertentu seperti bentuk wajah yang sedikit datar dan meningkatnya beberapa resiko pada kondisi medis termasuk gangguan hati, cacat yang berhubungan dengan usus dan kerusakan visual atau pendengaran. Anak-anak ini juga cenderung mengalami infeksi pada telinga dan cuaca dingin (Brain Resersch Succee Stories, 2005 dalam Rina, 2016).

Chamidah (2017) memaparkan bahwa Down Syndrome sama dengan anak lain dimana harus sudah bisa berkomunikasi sejak usia dini, namun mereka memiliki beberapa hambatan seperti fisik dan kognitif (Kumin, 2003) yang membuat bahasa lisan sulit digunakan dalam komunikasi mereka (Marder dan Cholmáin, 2006). Anggraini (2017) juga memaparkan bahwa anak yang memiliki kemampuan intelektual yang rendah berbeda dalam pemerolehan bahasanya dengan anak pada umunya, seperti anak Down Syndrome yang memiliki hambatan kecerdasan. Hambatan tersebut dapat berpengaruh terhadap terhambatnya dalam kemampuan berbahasa diantaranya yaitu kemampuan kosakata yang kurang serta kemampuan penguasaan pengucapan serta pemahaman kosakata.

B. Etiologi

Menurut Rayman, dkk (2017) Sindrom Down Syndrome dikategorikan menjadi tiga macam berdasarkan patogenesisnya yaitu gagal memisah (nondisjunction), translokasi, dan mosaik. Berikut penjabarannya.

1. Gagal memisah (nondisjunction) / Trisomi 21

Trisomi 21 memiliki frekuensi kemunculan tertinggi yaitu 95% dengan mekanisme gagalnya kromosom homolog untuk memisah selama pembelahan meiosis darioosit primer. Wiyani (2014) menjelaskan bahwa down syndrome terjadi karena adanya kelainan susunan kromosom ke 21, dari 23 kromosom manusia. Pada manusia normal, 23 kromosom tersebut berpasang-pasangan hingga jumlahnya mennjadi 46. Pada penderita Down Syndrome, kromosom nomor 21 tersebut berjumlah tiga (trisomi), sehingga totalnya menjadi 47 kromosom. Jumlah yang berlebihan tersebut mengakibatkan kegoncangan pada sistem metabolisme sel, yang akhirnya memunculkan Down Syndrome. Berikut merupakan faktor yang menyebabkan trisomi.

(3)

a. Infeksi virus.

Rubela merupakan salah satu jenis infeksi virus tersering pada prenatal yang bersifat teratogen lingkungan yang dapat memengaruhi embriogenesis dan mutasi gen sehingga menyebabkan perubahan jumlah maupun struktur kromosom (Irwanto, dkk 2019).

b. Usia Ibu

Menurut Oltmanns (2012), peristiwa down syndrome berkaitan dengan umur ibu.Untuk perempuan yang berumur kurang dari 30 tahun, sekitar 1 di antara 1.000 kelahiran adalah bayi-bayi down syndrome.

Peristiwa itu meningkat menjadi 1 di antara 750 kelahiran untuk ibu-ibu yang berumur antara 30 dan 34, 1 di antara 300 pada ibu-ibu yang berusia antara 35 dan 39 tahun, dan lebih dari 1 di antara 100 kelahiran setelah usia 40.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, down syndrome terjadi karena kelainan kromosom. Kelainan ini terjadi karena pembelahan sel yang abnormal atau biasa disebut dengan nondisjunction. Hal ini akan menghasilkan embrio denga tiga copy kromosom. Hingga saat ini, penyebab utama terjadinya nondisjunction belum diketahui. Salah satu faktor yang meningkatkan risiko bayi lahir dengan down syndrome ini adalah usia ibu hamil. Umur ibu ketika hamil merupakan faktor yang lebih meningkatkan risiko melahirkan anak dengan Down Syndrome. Ibu yang melahirkan anak di atas usia 35 tahun berisiko melahirkan anak dengan Down Syndrome 4,8 kali lebih besar dibandingkan yang berusia di bawah 35 tahun (Purnamasari, 2018).

Kejadian Down Syndrome bertambah sesuai dengan meningkatnya usia ibu hamil. Penelitan di Amerika Serikat (Tabel 1) menunjukkan terdapat 1 dari 2000 kelahiran yang menderita kecacatan ini. Insidensi ini terus meningkat pada usia ibu 30 tahun terdapat 1 dari 900 kelahiran yang menderita Down Syndrome. Sementara itu pada ibu yang berusia lebih dari 35 tahun, insidensi meningkat sampai 1 dari 300 kelahiran. Sedangkan pada ibu usia di atas 40 tahun, insidensi meningkat secara drastis mencapai 1 dari 10 kelahiran.

(4)

Tabel 1. Insidensi Down Syndrome Berdasarkan Usia Ibu Maternal Age Incidence of Down Syndrome

20 1 in 2000

21 1 in 1700

22 1 in 1500

23 1 in 1400

24 1 in 1300

25 1 in 1200

26 1 in 1100

27 1 in 1050

28 1 in 1000

29 1 in 950

30 1 in 900

31 1 in 800

32 1 in 720

33 1 in 600

34 1 in 450

35 1 in 350

36 1 in 300

37 1 in 250

38 1 in 200

39 1 in 150

40 1 in 100

41 1 in 80

42 1 in 70

43 1 in 50

44 1 in 40

45 1 in 30

46 1 in 25

47 1 in 20

48 1 in 15

49 1 in 10

Sumber : National Down Syndrome Society (2013)

Riset yang dilakukan oleh National Down Syndrome Society menyatakan bahwa terdapat hubungan antara Down Syndrome

“nondisjunction” dengan usia ibu. Hal ini berkaitan dengan kejadian nondisjunction yang terjadi pada oosit ibu yang tua. Nondisjunction yang

terjadi menyebabkan embrio memiliki tiga salinan kromosom 21, bukan dua salinan normal. Sebelum atau sewaktu konsepsi, sepasang kromosom 21 pada sperma atau ovum gagal membelah. Ketika embrio berkembang, kromosom ekstra tersebut direplikasi di dalam setiap sel tubuh (Rayman, dkk 2018).

(5)

c. Radiasi

Radiasi merupakan salah satu penyebab dari nondisjunctinal pada Down Syndrome. Sekitar 30% ibu yang melahirkan anak dengan Sindrom

Down pernah mengalami radiasi di daerah perut sebelum terjadinya konsepsi (Irwanto, dkk 2019).

d. Penuaan sel telur.

Peningkatan usia ibu berpengaruh terhadap kualitas sel telur. Sel telur akan menjadi kurang baik dan pada saat terjadi pembuahan oleh spermatozoa, sel telur akan mengalami kesalahan dalam pembelahan. Sel telur wanita telah dibentuk pada saat masih dalam kandungan yang akan dimatangkan satu per satu setiap bulan pada saat wanita tersebut mengalami menstruasi. Pada saat wanita memasuki usia tua, kondisi sel telur tersebut terkadang menjadi kurang baik, sehingga pada saat dibuahi oleh spermatozoa, sel benih ini mengalami pembelahan yang salah. Proses selanjutnya disebabkan oleh keterlambatan pembuahan akibat penurunan frekuensi bersenggama pada pasangan tua. Faktor selanjutnya disebabkan oleh penuaan sel spermatozoa laki-laki dan gangguan pematangan sel sperma itu sendiri di dalam epididimis yang akan berefek pada gangguan motilitas sel sperma itu sendiri juga dapat berperan dalam efek ekstra kromosom 21 yang berasal dari ayah (Irwanto, dkk 2019).

2. Translokasi

Translokasi memiliki frekuensi kemunculan 4% dengan mekanisme translokasi Robertsonian dimana seluruh atau sebagian dari kromosomekstra nomor 21 bergabung dengan kromosom 14. Translokasi adalah suatu keadaan di mana tambahan kromosom 21 melepaskan diri pada saat pembelahan sel dan menempel pada kromosom yang lainnya. Kromosom 21 ini dapat menempel dengan kromosom 13, 14, 15, dan 22. Pada beberapa kasus, translokasi Down Syndrome ini dapat diturunkan dari orang tua kepada anaknya. Gejala yang

ditimbulkan dari translokasi ini hampir sama dengan gejala yang ditimbulkan oleh trisomi 21 (Irwanto, dkk 2019). Sejalan dengan pendapat Mirawari, dkk (2013) bahwa Down Syndrome tipe translokasi didapatkan dari pewarisan oleh orang tua yang merupakan pembawa translokasi seimbang. Kemungkinan

(6)

translokasi seimbang pada orang tua penderita Down Syndrome adalah translokasi kromosom 21 dengan jenis kromosom akrosentrik lainnya (kromosom 22, 13, 14, 15). Khususnya pada individu normal yang pembawa translokasi seimbang antara kromosom 21 dan 21 maka resiko 100%

mempunyai anak dengan Down Syndrome.

3. Mosaik

Mosaik memiliki frekuensi kemunculan 1% dan merupakan campuran antara sel-sel normal diploid dan trisomi 21. Tipe mosaik merupakan yang paling sedikit menjadi penyebab down syndrome. Pada tipe ini, hanya sel tertentu dalam tubuh yang memiliki kelebihan kromosom 21 (Purnamasari, 2018). Irwanto, dkk (2019) memaparkan bahwa bayi yang lahir dengan Down Syndrome mosaik akan memiliki gambaran klinis dan masalah kesehatan yang

lebih ringan dibandingkan bayi yang lahir dengan Down Syndrome trisomi 21 klasik dan translokasi.

C. Prevalensi

World Health Organization (WHO) memperkirakan terdapat 8 juta Down Syndrome di dunia. Spesifiknya, ada 3.000-5.000 anak lahir dengan kelainan

kromosom per tahunnya. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan menyebutkan, di Indonesia, terdapat 0,12% penyandang DS pada tahun 2010. Angka itu meningkat hingga 0,13% di tahun 2013 (Msn. com, 2017). Sumber yang sama menyebutkan bahwa prevelensi anak Down Syndrome di Indonesia mencapai 300.000 jiwa dengan perbandingan 1:1000 kelahiran bayi (dalam Zahro, Mustikasari, 2004).

Di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pravelensi anak dengan kasus Down Syndrome sebanyak 27 kasus (9,6%) dari total kasus keseluruhan 280 klien pada periode Desember 2019 – Februari 2020.

D. Karakteristik 1. Karakter fisik

Anak Sindrom Down dapat dikenali dari karakteristik fisiknya. Beberapa karakteristik fisik khusus menurut Irwanto, dkk (2019), meliputi:

(7)

a. Kepala

Bentuk kepala yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan orang normal (microchephaly) dengan area datar di bagian tengkuk. Ubun-ubun berukuran lebih besar dan menutup lebih lambat (rata-rata usia 2 tahun).

Memiliki dagu yang kecil (micrognatia).

b. Mata

Bentuk mata sipit dengan sudut bagian tengah membentuk lipatan (epicanthal folds). Lipatan mata tersebut disebabkan oleh bagian luar canthus lebih tinggi dari pada bagian dalam, sehingga mata terlihat sipit dan agak ke atas, secara klinis memberikan kesan seperti ras Mongol.

Karakteristik pada mata lainnya adalah dapat ditemukannya bintik putih pada iris yang dinamakan brushfield spots.

c. Mulut dan Lidah

Bentuk mulut yang kecil dengan lidah besar (macroglossia), sehingga lidah tampak menonjol keluar.

d. Telinga

Saluran telinga bisa lebih kecil sehingga mudah buntu dan dapat menyebabkan gangguan pendengaran.

e. Hidung

Jembatan hidung datar (depressed nasal bridge), cuping hidung dan jalan napas lebih kecil.

f. Tangan dan Kaki

Memiliki garis telapak tangan yang melintang lurus/horizontal (simian crease) dan, jarak antara jari kaki satu ke yang lainnya agak jauh.

g. Gigi

Gigi geligi kecil (microdontia), muncul lebih lambat dalam urutan yang tidak sebagaimana mestinya.

h. Postur tubuh

Memiliki tubuh yang pendek. Kebanyakan orang dengan Sindrom Down tidak mencapai tinggi dewasa rata-rata

(8)

2. Karakteristik bahasa dan bicara

Anak-anak dengan Down Syndrome memiliki beberapa kendala dalam menggunakan bahasa dan bicara. Bayi dengan Down Syndrome berbagi perasaan mereka dengan menggunakan tangisan, dan butuh waktu lama untuk bisa tersenyum dan tertawa (Chamidah, 2017).

Anak yang memiliki kemampuan intelektual yang rendah berbeda dalam pemerolehan bahasanya dengan anak pada umunya, seperti anak Down Syndrome yang memiliki hambatan kecerdasan. Hambatan tersebut dapat

berpengaruh terhadap terhambatnya dalam kemampuan berbahasa diantaranya yaitu kemampuan kosakata yang kurang serta kemampuan penguasaan pengucapan serta pemahaman kosakata (Angwidya, 2017). Sejalan dengan Chamidah (2017) bahwa sebagian besar, anak-anak dengan Down Syndrome cenderung reseptif daripada mengekspresikan dengan bahasa. Mereka biasanya memiliki celah ekspresif sebagai hasil pemahaman bahasa, dan ini menurut mereka lebih mudah daripada menyampaikan lewat kata-kata.

Pengucapan serta pemahaman kosakata memang sukar bagi anak yang mengalami Down Syndrome. Ciri anak down syndrome menurut Irwanto, dkk (2019) memiliki bentuk mulut yang kecil dengan lidah besar (macroglossia) sehingga membuat sebagian anak mempunyai kebiasaan untuk mengulurkan lidahnya. Hal tersebut membuat Down Syndrome kurang jelas dalam pengucapan kosakata (Chamidah, 2017).

3. Karakteristik kognitif

Karakteristik anak Down syndrome salah satunya adalah terbatasnya kemampuan kognitifnya. Kemampuan kognitif yang terbatas maka akan mempengaruhi akademiknya. Anak dengan down syndrome biasanya mengalami kesulitan dalam hal-hal yang berhubungan dengan belajar karena kemampuan atensinya, metacognition, mengingat, dan generalisasi yang lambat dibandingkan anak lain. Masalah ini dapat berasal dari lemahnya kemampuan persepsi dan menilai, kemampuan menggunakan ingatan pendek yang lemah pada anak down syndrome (Kusumawati, 2013).

Disabilitas intelektual dikenali sebagai salah satu karakteristik yang prominen pada Down Syndrome. Sebaliknya, Tingkat keparahan disabilitas

(9)

intelektual pada individu dengan Sindrom Down bervariasi dari nilai Intelligence Quotient (IQ) 30 hingga 70, dengan rata-rata nilai IQ sebesar 50 (Irwanto, dkk

2019).

Menurut Rina A.P. (2016) Down Syndrome, mempunyai kemampuan kognitif yang tergolong retardasi mental sedang, kesulitan mengkoordinasikan gerakan mata dan tangan, serta kemampuan life skill tergolong rendah. Berikut tingkat Intelligence Quotient (IQ) berdasarkan ICD-10 (2004) :

a. Mild mental retardation (IQ kisaran 50-69)

Individu dengan retardasi ringan mengalami keterlambatan kemampuan bahasa tetapi sebagian besar dapat mencapai kemampuan untuk menggunakan ucapan untuk keperluan sehari-hari, percakapan, dan untuk terlibat dalam wawancara klinis. Sebagian besar dari mereka juga mencapai kemandirian penuh dalam perawatan diri (makan, mencuci, berpakaian, buang air besar dan buang air kecil) dan dalam keterampilan praktis dan domestik, bahkan jika laju perkembangannya jauh lebih lambat dari biasanya. Kesulitan utama biasanya terlihat dalam kegiatan sekolah, akademik, dan banyak memiliki masalah khusus dalam membaca dan menulis. Individu yang mengalami retardasi ringan dapat sangat terbantu dengan pendidikan yang dirancang untuk mengembangkan keterampilan mereka dan mengimbangi keterbatasan mereka.

b. Moderate mental retardation (IQ kisaran 35-49)

Individu dalam kategori ini lambat dalam mengembangkan pemahaman dan penggunaan bahasa, dan pencapaian akhirnya mereka di bidang ini terbatas. Prestasi perawatan diri dan keterampilan motorik juga mengalami keterlambatan, dan beberapa membutuhkan pengawasan sepanjang hidup. Peningkatan dalam kegiatan sekolah terbatas, tetapi sebagian dari orang-orang ini mempelajari keterampilan dasar yang diperlukan untuk membaca, menulis, dan berhitung. Program pendidikan dapat memberikan kesempatan bagi mereka untuk mengembangkan potensi mereka yang terbatas dan untuk memperoleh beberapa keterampilan dasar, program semacam itu cocok untuk pelajar yang lambat dengan hasil prestasi yang rendah.

(10)

c. Severe mental retardation (IQ kisaran 20-34)

Kategori ini secara luas mirip dengan retardasi mental moderat dalam hal gambaran klinis. Sebagian besar individu dalam kategori ini menderita derajat kerusakan motorik yang signifikan atau deficit terkait, yang menunjukkan adanya kerusakan signifikan secara klinis atau maldevelopment sistem saraf pusat.

d. Profound mental retardation (IQ di bawah 20)

IQ dalam kategori ini diperkirakan di bawah 20, yang berarti dalam praktiknya individu yang terkena sangat terbatas dalam kemampuan mereka untuk memahami atau mematuhi permintaan atau instruksi. Sebagian besar individu semacam itu tidak dapat bergerak atau sangat terbatas dalam mobilitas, tidak mampu dan mampu pada sebagian besar bentuk komunikasi nonverbal yang sangat sederhana. Mereka memiliki sedikit atau tidak ada kemampuan untuk mengurus kebutuhan dasar mereka sendiri, dan membutuhkan bantuan dan pengawasan terus-menerus.

Berdasarkan DSM-V (2013) terdapat tiga kriteria anak yang mengalami intellectual disability, yaitu :

a. Defisit dalam fungsi intelektual, seperti penalaran, penyelesaian masalah, perencanaan, pemikiran abstrak, penilaian, pembelajaran akademis, dan pembelajaran dari pengalaman, diperkuat oleh penilaian klinis dan individual, pengujian kecerdasan terstandar.

b. Defisit dalam fungsi adaptif yang mengakibatkan kegagalan untuk memenuhi standar perkembangan dan sosiokultural untuk kemandirian pribadi dan tanggung jawab sosial. Tanpa dukungan berkelanjutan, defisit adaptif membatasi fungsi dalam satu atau lebih aktivitas kehidupan sehari- hari, seperti komunikasi, partisipasi sosial, dan kehidupan mandiri di berbagai lingkungan, seperti rumah, sekolah, pekerjaan, dan masyarakat.

c. Munculnya defisit intelektual dan adaptif selama periode perkembangan.

4. Karakteristik sensori

Menurut Irwanto, dkk (2019) Bayi dengan Down Syndrome memiliki keterlambatan proses sensoris. Perkembangan sensoris menggabungkan seluruh

(11)

indra, tidak hanya penglihatan dan pendengaran. Indra taktil diperlukan untuk gerakan tubuh, khususnya tangan. Ketika tidak ada sensoris di tangan, koordinasi motorik halus terganggu. Sensory integration adalah proses pengorganisasian masukan sensorik. Ada berbagai tingkat disfungsi integrasi sensorik pada anak-anak DS. Anak dengan Down Syndrome memiliki masalah untuk menjaga keseimbangan mereka, baik sambil berdiri dan berjalan.

Gangguan fungsi pada extremitas bawah membuat dirinya berbeda dari orang normal. Kompensasi dari gangguan tersebut menyebabkan berlebihnya usaha/

upaya untuk mempertahankan agar tubuh mampu menjaga keseimbangan (Al Hazmi, dkk 2014).

5. Karakteristik motorik

Kebanyakan dari anak yang mengalami hambatan intelektual (Down Syndrome) mendapat kesulitan dalam melakukan gerak dasar seperti berlari,

melompat, meloncat maupun melempar, padahal gerak tersebut merupakan gerak dasar yang seharusnya dikuasai dan sering dilakukan pada awal masa tumbuh kembang anak. (Koenarso, dkk 2017)

Anak dengan down syndrome mempunyai otot yang lemah sehingga menyebabkan mereka mengalami masalah dalam perkembangan motor kasar maupun halus (Pitaloka, dkk 2015). Gallahue (2012) mengungkapkan bahwa kemampuan motorik kasar sangat berhubungan dengan kerja otot-otot besar pada tubuh manusia. Kemampuan ini berhubungan dengan kecakapan anak dalam melakukan berbagai gerakan, contohnya berjalan, berlari, merangkak dan makan. Anak Down Syndrome memiliki ciri motorik halus yang khas dan ciri lain berdasarkan derajat hambatan yang dimilikinya yaitu Jari-jari tangan kasar, kaku, otot-otot lemah, kondisi emosi sulit ditebak dan kurang terkendali secara wajar, ketergantungan pada orang dewasa dan sering menolak orang lain (Taiyeb, 2016), hambatan tersebut seperti menggenggam, menulis, dan aktivitas lain yang berkaitan dengan gerakan motorik halus.

6. Kaakteristik sosial

Menurut Rahma & imdrwati (2017) Down Syndrome juga mengalami keterlambatan dalam menjalankan fungsi adaptifnya dan berinteraksi dengan lingkungan sosial mereka. Sejalan dengan pendapat Renawati, dkk (2017)

(12)

kesulitan berinteraksi dengan orang lain terutama dialami oleh penyandang Down Syndrome anak-anak. Anak Down Syndrome akan lebih lambat belajar

dibandingkan dengan yang lainnya. Anak down syndrome mengalami kesulitan dalam belajar berbicara dan menangkap sinyal kontak dari orang lain. Sehingga, pada tahap ini orang tua harus lebih ekstra untuk mengajari anaknya berinteraksi dengan orang lain.

Referensi

Dokumen terkait

Perkembangan intelektual menghasilkan kemampuan untuk memahami makna yang sebelumnya tidak dimengerti, memperhatikan rangsangan dalam jangka waktu yang lebih lama, dan

Penelitian tersebut memaparkan bahwa karyawan yang memiliki Kecerdasan Emosional baik, mempunyai kemampuan untuk memotivasi diri untuk mengerjakan tugas dengan baik

Gangguan tidur memiliki kaitan erat dengan kejadian ansietas, stres psikososial, dan gangguan afek. 29 Gangguan tidur anak-anak berbeda dengan orang dewasa.

Empat jenis loyalitas yang berbeda bila keterikatan rendah dan tinggi di klasifikasikan silang dengan pola pembelian yang berulang yang rendah dan tinggi. a) Tanpa

Faktor-faktor penghambat dalam komunikasi terapeutik menurut Purwanto (1994), meliputi : kemampuan pemahaman yang berbeda, pengamatan atau penafsiran yang berbeda

Siang dkk, 2017 Metode : Menggunakan pengujian drop mass dan drop frame dengan metode Finite Element Analysis Hasil : Ukuran panjang top tube dan down tube yang telah divariasikan

Nitika Rani 2017 dalam jurnalnya yang berjudul “Design and Performance Analysis of Cockcroft-Walton Voltage Multiplier CWVM Energy Harvesting for Low Power Applications” memaparkan

Pengaturan diet anak down syndromejika anak memiliki berat badan yang lebih maka kadar karbohidrat dan lemak harus sesuai dengan kebutuhan kalori tiap harinya dan untuk protein juga