4 A. Definisi dan Pengertian
Down Syndrome merupakan suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental anak yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom. Kromosom merupakan serat khusus yang berada di dalam setiap sel di dalam tubuh manusia, yang mana terdapat bahan-bahan genetik yang menentukan sifat seseorang. Down Syndrome terjadi karena kelainan susunan kromosom ke 21 dari 23 kromosom manusia. Manusia normal memiliki 23 kromosom yang saling berpasangan hingga jumlahnya 46. Penderita Down Syndrome, pada kromosom 21 tersebut berjumlah 3 trisomi, sehingga 47 kromosom. Jumlah yang berlebihan tersebut mengakibatkan abnormalitas pada sistem metabolisme sel yang akhirnya muncul Down Syndrome (Wiyani 2014 dalam Wijayanti 2015).
Menurut Kosasih (2012) down syndrome merupakan kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental anak yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom. Komunikasi juga dapat terhambat, salah satu faktornya adalah karena memiliki gangguan bahasa dan bicara seperti hal yang dialami anak Down Syndrome. Menurut Judarwanto ( 2012) Down Syndromeadalah suatu kondisi keterbelakangan fisik dan mental anak yang diakibatkan adanya abormalitas perkembangan kromosom. Kromosom ini terbentuk akibat kegagalan sepasang kromosom untuk saling memisahkan diri saat terjadi pembelahan.
Gangguan bahasa dapat dikategorikan kedalam dua kelompok yaitu gangguan pada masa perkembangan, artinya gangguan akibat kelainan yang dibawa sejak lahir.Pada sebagian anak, terjadi kesulitan dalam pemerolehan bahasa akibat kelainan tumbuh kembang.Gangguan bahasa yang diperoleh, artinya gangguan akibat operasi, stroke, kecelakaan atau penuaan.Anak dengan Down Syndrome masuk ke dalam kategori gangguan bahasa pada masa perkembangan Indah, (2017).
B. Etiologi
Berdasarkan pengertian diatas diketahui bahwa Down Syndrome disebabkan oleh kelainan kromosom 21.Tubuh manusia terdiri dari sel-sel, di dalam sel terdapat inti dan di dalam inti terdapat kromosom yang pada orang normal jumlahnya 46. Jumlah tersebut terdiri dari
kromosom 1 dan 22 masing-masing sepasang (jumlahnya menjadi 44) ditambanh 2 kromosom penanda kelamin, yaitu sepasang kromosom X pada wanita dan kromosom X dan Y pada laki- laki. Pada penderita Down Syndrome, jumlah kromosom 21 tidak sepasang melainkan 3 sehingga jumlah total kromosom menjadi 47 (Fadhli,2010).
Menurut Sudiono (2010) dalam bukunya Gangguan Tumbuh Kembang Dentokraniofacial, etiologi dan Down Syndromeyaitu :
1. Trisomi
Trisomi merupakan 3 buah salinan kromosom yang berjumlah lebih banyak dari normal yang seharusnya sepasang.Kebanyakan trisomi pada embrio terjadi pada awal kehamilan.Kelangsungan hidup embrio dengan trisomi 21 bergantug atas keseimbangan genetik dari kromosom sepesifik yang terlibat.Usia ibu saat kehamilan berperan penting terhadap terjadinya trisomi 21. Orang tua pada usia berapapun, yang mempunyai pasien dengan trisomi 21 mempunyai faktor resiko yang siknifikan untuk mempunyai pasein yang sama, resiko frekuensi ditrntukan pada ibu berusia diatas 45 tahun.
2. Translokasi
Translokasi merupakan perpindahan kromosom yang terjadi pada badan sel. Sebanyak 5%
pada kasus down syndrome dihasilkan oleh translokasi seimbang dari salah satu orang tua, pada umumnya translokasi antara kromosom 14 dan 21 dapat pula terjadi pada kromosom 14 dan 22 meskipun jarang. Bayi dengan down syndrome tipe translokasi akan mempunyai 46 kromosom, salah satunya mempunyai badan genetic dari kromosom 14 dan 21. Down syndrome tipe translokasi banyak terjadi pada usia ibu-ibu muda akan meningkatkan risikonya pada orang tua yang merupakan pembawa sifat (Familial Down Syndrome).
3. Masaicism
Merupakan tipe yang sangat jarang.Pada tipe masaicism, embrio memiliki 2 deretan sel dengan kromosom yang berbeda meskipun berasal dari zigot tunggal yang disebabkan oleh non-disjunction atau lambatan penyusutan kromosom pada awal embryogenesis atau pada saat pembelahan sel.
Sedangkan penyebab down syndrome menurut Soetjiningsih (2013) dalam buku “Tumbuh Kembang Anak” edisi kedua yaitu:
a. Genetik
Pada translokasi, 25% bersifat familial. Bukti yang mendukung teori ini didasarkan atas
hasil penelitian epidemiologi yang menyatakan bahwa ada peningkatan risiko berulang bila dalam keluarga terdapat anak dengan Down Syndrome. Bila terdapat translokasi pada kedua orangtua, sebaiknya dilakukan studi familial tambahan dan konseling untuk menentukan adanya karier atau tidak. Kalau orangtuanya adalah karier, anggota keluarga lainnya juga harus diperiksa, sehingga akan teridentifikasi risiko Down Syndrome. Tipe nondisjunction juga diperkirakan berhubungan dengan genetik.
b. Umur ibu
Setelah umur lebih dari 30 tahun, risiko Down Syndrome mulai meningkat, dari 1:800 menjadi 1:32 pada umur 45 tahun, terutama pada tipe nondisjunction. Peningkatan insiden ini berhubungan dengan perubahan endokrin, terutama hormon seks, antara lain meningkatnya sekresi androgen, menurutnya kadar hidroepiandosteron, menurutnya konsentrasi estradiol sistemik, perubahan konsentrasi reseptor hormon, dan peningkatan secara tajam kadar LH (Luteinizing Hormone) dan FSH (Follicular Stimulating Hotmone) secara tiba-tiba sebelum dan selama menopause.
c. Radiasi
Pengaruh radiasi masih kontroversial. Suatu literatur menyebutkan bahwa radiasi meningkatkan predisposisi nondisjunction pada Down Syndrome ini. Sekitar 30% ibu yang melahirkan Down Syndrome, pernah mengalami radiasi di daerah perut sebelum terjadinya konsepsi, tetapi peneliti lain tidak menemukan hubungan tersebut.
d. Infeksi
Virus diduga menjadi salah satu penyebab terjadinya Down Syndrome, tetapi sampai saat ini belum dapat dibuktikan bagaimana virus dapat menyebabkan terjadinya nondisjunction pada kromosom 21.
e. Autoimun
Terutama autoimun tiroid atau penyakit yang dikaitkan dengan tiroid diduga berhubungan dengan Down Syndrome. Secara konsisten mendapatkan adanya perbedaan autoantibodi tiroid pada ibu yang melahirkan anak dengan Down Syndrome dengan ibu kontrol yang umurnya sama (Falkow 1996 dalam Soetjiningsih 2013).
C. Prevalensi
World Healt Organization (WHO) memperkirakan terdapat 8 juta penyandang Down Syndrome didunia.Spesifiknya, ada 3.000-5.000 anak lahir dengan kelainan kromosom pertahunnya. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdes) Kementrian Kesehatan menyebutkan, di Indonesia, terdapat 0,12% penyandang Down Syndrome pada tahun 2010. Angka itu meningkat hingga 0,13% di tahun 2013, dan pada tahun 2018 meningkat lagi menjadi 0,21%.Jumlah pasien Down Syndrome di Klinik Intan Fisoterapi Anak Boyolali terdapat 3 dari 32 pasien terapi wicara.
D. Karakteristik
Menurut Olds, London, & Ladewing (dalam anonymous, 2013), karakteristik yang muncul pada anak yang mengalami down syndrome dapat bervariasi, mulai dari yang tidak nampak sama sekali, tampak minimal, hingga muncul tanda yang khas. Tanda yang paling khas pada anak yang mengalami down syndrome adalah adanya keterbelakangan perkembangan mental dan fisik.Penderita down syndrome biasanyamempunyai tubuh pendek dan puntung, lengan atau kaki kadang-kadang bengkok, kepala lebar, wajah membulat, mulut selalu terbuka, ujung lidah besar, hidung lebar dan datar, kedua lubang hidung terpisah lebar, jarak lebar antar kedua mata, kelopak matamempunyai lipatan epikantus, sehingga mirip dengan orang oriental, iris mata kadang-kadang berbintik, yang disebut bintik “Brushfield”.Suryo menyebutkan berdasarkan tanda-tanda yang mencolok itu, biasanya dengan mudah kita dapat mengenalnya pada pandangan pertama. Tangan dan kaki kelihatan lebar dan tumpul, telapak tangan kerap kali memiliki garis tangan yang khas abnormal, yaitu hanya mempunyai sebuah garis mendatar saja.Ibu jari kaki dan jari kedua adakalanya tidak rapat.Mata, hidung, dan mulut biasanya tampak kotor serta gigi rusak. Hal ini disebabkan karena ia tidak sadar untuk menjaga kebersihan dirinya sendiri (anonymous, 2013).
Down Syndrome memiliki cirri khas yaitu, tonus otot rendah, wajah datar, hidung pesek, hipermobilitas sendi, ruas pada jari-jari memiliki space yang luas, ukuran lidah cenderung lebih panjang dari ukuran normal. Anak down syndrome akan mengalami keterlambatan perkembangan motorik seperti merangkak, duduk, berdiri dan berjalan (Hazmi,2014).
Menurut Wiyani (2014) mencatat beberapa gejala yang muncul akibat Down Syndrome.
Disebutkan oleh Wiyani bahwa gejala tersebut dapat muncul bervariasi dari mulai yang tidak
tampak sama sekali, tampak minimal, hingga muncul ciri-ciri yang dapat diamati seperti berikut ini:
1. Penampilan fisik tampak melalui kepala yang relatif lebih kecil dari normal (microchepaly) dengan bagian anteroposterior kepala mendatar.
2. Paras wajah yang mirip seperti orang Mongol, sela hidung datar, pangkal hidung kemek.
3. Jarak antara dua mata jauh dan berlebihan kulit di sudut dalam. Ukuran mulutnya kecil, tetapi ukuran lidahnya besar dan menyebabkan lidah selalu terjulur (macroglossia).
4. Pertumbuhan gigi penderita Down Syndrome lambat dan tidak teratur.
5. Paras telinga lebih rendah dan leher agak pendek. Seringkali mata menjadi sipit dengan sudut bagian tengah membentuk lipatan (epicanthol folds) sebesar 80%.
6. Hypogenitalism (penis, scrotum, dan testis kecil), hypospadia, cryptorchism, dan keterlambatan perkembangan pubertas.
7. Penderita Down Syndrome memiliki kulit lembut, kering, dan tipis. Sementara itu, lapisan kulit biasanya tampak keriput (dermatologlyphics).
8. Tangannya pendek, ruas-ruas jarinya serta jarak antara jari pertama dan kedua pendek, baik pada tangan maupun kaki melebar. Mereka juga mempunyai jarijari yang pendek dan jari kelingking membengkok ke dalam. Tapak tangan mereka biasanya hanya terdapat satu garisan urat dinamakan “simian crease”.
9. Kaki agak pendek dan jarak di antara ibu jari kaki dan jari kaki kedua agak jauh terpisah.
10. Ototnya lemah sehingga mereka menjadi lembek dan menghadapi masalah dalam perkembangan motorik kasar. Masalah-masalah yang berkaitan seperti masalah kelainan organ-organ dalam terutama jantung dan usus.
11. Tulang-tulang kecil di bagian lehernya tidak stabil sehingga menyebabkan berlakunya penyakit lumpuh (atlantaoxial instability).
12. Sebagian kecil penderita berpotensi untuk mengalami kanker sel darah putih atau leukimia.
13. Penderita down syndrome mengalami gangguan mengunyah, menelan, dan bicara.
14. IQ penderita down syndrome ada di bawah 50.
15. Pada saat berusia 30 tahun, mereka kemungkinan dapat mengalami demensia (hilang ingatan, penuruanan kecerdasan, dan perubahan kepribadian).
16. Masalah perkembangan belajar penderita down syndrome secara keseluruhan mengalami keterbelakangan perkembangan dan kelemahan akal. Pada tahap awal perkembangannya, mereka mengalami masalah lambat dalam semua aspek perkembangan, yaitu lambat untuk berjalan, perkembangan motor halus, dan bercakap.