• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Tentang Pemerintahan Daerah a. Definisi Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Dasar Negara RI tahun 1945 merupakan hukum tertinggi dan instrument utama bagi pemerintah Indonesia. Sejak awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan sistem desentralisasi karena negara merupakan suatu organisasi kekuasaan atau sebuah bentuk pergaulan hidup yang harus memenuhi persyaratan tertentu, antara lain: ada pemerintah yang berdaulat, wilayah (daerah) tertentu dan rakyat yang harus hidup teratur, yang merupakan syarat minimum yang harus dimiliki oleh tiap-tiap negara serta harus ada tujuannya. Para pendiri negara telah menjatuhkan pilihannya pada prinsip pemencaran kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara Indonesia yang tujuannya tercantum pada alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945:

“…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.”

Untuk mencapai maksud itu, para pejabat di daerah-daerah membantu mewujudkan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan kesejahteraan sosial melalui pembangunan daerah karena daerah Indonesia terbagi dalam daerah yang bersifat otonom atau bersifat daerah administrasi. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di daerah diganti dengan Undang-Undang

(2)

12

Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, diikuti pula dengan perubahan pola pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Pipin Syarifin, 2005: 14).

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintah Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. Sedangkan Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Otonomi daerah merupakan esensi pemerintahan desentralisasi. Di dalam otonomi, hubungan kewenangan antara pusat dan daerah antara lain bertalian dengan cara pembagian urusan penyelenggaraan pemerintahan atau cara menentukan urusan rumah tangga daerah.

Otonomi daerah jika dilihat dari sudut wilayahnya, maka penyelenggaraannya ditentukan dalam batas-batas wilayah yang ditentukan pemerintah pusat (Ni’matul Huda, 2009: 84).

b. Asas-Asas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 1) Asas Umum Pemerintahan yang Baik

Asas memiliki arti dasar prinsip, pegangan, pedoman, sedangkan asas-asas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah dasar-dasar yang perlu diketahui setiap orang dalam pelaksanaan hukum pemerintahan daerah. Dalam arti luas, penyelenggaraan pemerintah daerah adalah Pemerintah Pusat maupun pemerintah daerah dapat menggunakan asas-asas umum pemerintahan yang

(3)

13

baik, asas keahlian dan kedaerahan, asas dekonsentrasi, asas desentralisasi (asas otonomi dan tugas pembantuan).

Penyelenggaraan pemerintahan di pusat dan pemerintahan di daerah berpedoman pada asas umum penyelenggaraan negara yang terdiri atas:

a) Asas kepastian hukum

b) Asas tertib penyelenggaraan negara c) Asas kepentingan umum

d) Asas keterbukaan e) Asas proporsionalitas f) Asas profesionalitas g) Asas akuntabilitas h) Asas efisiensi

i) Asas efektivitas (Pipin Syarifin, 2005: 90)

Perkembangan dari konsep pemerintah yang bersih dan berwibawa (clean government, good government) ke arah konsep mengelola pemerintahan yang baik (good governance) dapat dilihat pada kecenderungan global dalam paradigm baru manajemen pembangunan.

Menurut Bintoro Tjokroamidjojo, good governance adalah suatu sistem dan proses dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang mengindahkan prinsip-prinsip “supremasi hukum, kemanusiaan, keadilan, demokrasi, partisipasi, transparansi, profesionalitas, dan akuntabilitas serta memiliki komitmen tinggi terhadap tegaknya nilai-nilai dan prinsip desentralisasi, daya guna, hasil guna, kepemerintahan yang baik, bertanggung jawab, dan berdaya saing” (Bintoro Tjokroamidjojo, 2000: 7).

Melalui pendapat ini, tampak adanya tataran yang lebih tinggi untuk menentukan good governance yaitu pemerintah yang

(4)

14

sebenarnya sebagai kepala Pemerintahan daripada sebagai kepala Negara.

2) Asas Keahlian dan Kedaerahan

Asas keahlian adalah suatu asas yang menghendaki tiap-tiap urusan kepentingan umum diserahkan kepada para ahli untuk diselenggarakan secara fungsional. Hal ini terdapat pada susunan Pemerintahan Pusat, yaitu departemen-departemen dan lembaga pemerintah nondepartemen. Kemudian dengan berkembangnya tugas-tugas serta kepentingan-kepentingan yang harus diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat untuk kelancaran jalannya pemerintahan ditempuh asas dekonsentrasi dan asas desentralisasi.

3) Asas Dekonsentrasi

Dekonsentrasi adalah pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pejabat-pejabat bawahan dalam lingkungan administrasi sentral yang menjalankan pemerintahan atas nama pemerintah pusat, seperti Gubernur, Walikota, Camat. Tugasnya pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat pada alat-alat pemerintah pusat yang berada di daerah.

Ketentuan dasar hukum asas dekonsentrasi terdapat pada Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan: “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.” Kekuasaan pemerintahan ini disebut wewenang pemerintahan umum, meliputi segala tindakan dan kegiatan pemerintahan dalam rangka menyejahterakan rakyat yang adil berdasarkan Pancasila yang merupakan tujuan nasional dan menjadi tugas pokok pemerintahan pusat.

Pengaturan dan penyelenggaraan asas dekonsentrasi serta yang berkaitan dengan pembentukan daerah administrasi atau wilayah pemerintah administrasi harus diperhatikan antara lain:

(5)

15

a) Kehadiran wilayah pemerintahan administratif jangan sampai menggeser satuan pemerintahan otonom yang merupakan salah satu sendi sistem ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar 1945.

b) Kehadiran wilayah pemerintahan administratif jangan sampai menimbulkan dualisme penyelenggaraan pemerintahan tingkat daerah.

c) Kehadiran wilayah pemerintah administratif jangan sampai menimbulkan kesimpangsiuran wewenang, tugas, dan tangggung jawab dengan satuan pemerintahan otonom yang akan memengaruhi fungsi pelayanan terhadap masyarakat (Bagir Manan, 1994: 161).

4) Asas Desentralisasi

Asas desentralisasi adalah asas yang menyatakan penyerahan sejumlah urusan pemerintahan dari pemerintahan pusat kepada pemerintah daerah sehingga menjadi urusan rumah tangga daerah tersebut. Amrah Muslimin berpendapat bahwa desentralisasi berarti pelimpahan kewenangan-kewenangan oleh Pemerintah Pusat pada badan-badan otonom (swatantra) yang berada di daerah-daerah (Amrah Muslimin, 1986: 42).

Dalam suatu negara kesatuan dengan asas desentralisasi, terdapat daerah-daerah yang pemerintah daerahnya diberi wewenang mengatur rumah tangga daerahnya itu, yang biasa disebut “swatantra” atau “otonomi” (Solly Lubis M, 1983: 152).

Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Pasal 1 angka (8), desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan asas otonomi.

Asas dekonsentrasi dan asas desentralisasi sebagai asas-asas pemerintahan di daerah termasuk ke dalam sendi teritorial yang

(6)

16

merupakan salah satu sendi untuk memerintah negara. Hal itu pun dianut oleh Indonesia sebagai negara kesatuan yang berbentuk Republik, bahkan asas tugas pembantuan pun sebenarnya termasuk ke dalam politik (staatkundige) decentralisatie (Sjachran Basah:

1997: 29).

Memerintah negara berdasarkan sendi teritorial pada hakikatnya mengenai hak setiap penguasa pemerintahan pusat dan atau pemerintahan daerah terhadap suatu daerah tertentu, yang menyangkut kewenangan secara umum atas “regeling” dan

“bestuur”. Urusan-urusan pemerintah pusat, kepala-kepala kesatuan hukum adat pun, menjalankan “madebewind” (Amrah Muslimin, 1986: 15).

c. Otonomi Daerah

Otonomi daerah merupakan esensi pemerintahan desentralisasi yang bermakna membuat perundang-undangan sendiri. Di dalam otonomi, hubungan kewenangan antara pusat dan daerah, antara lain bertalian dengan cara pembagian urusan penyelenggaraan pemerintahan atau cara menentukan urusan rumah tangga daerah. Cara penentuan ini akan mencerminkan suatu bentuk otonomi terbatas atau otonomi luas (Ni’matul Huda, 2009: 83).

Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya artinya daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintahan yang ditetapkan dalam undang-undang. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan,

(7)

17

peningkatan peran, serta prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat (Widjaja, 2007: 133).

Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan otonomi yang luas, nyata, bertanggung jawab di daerah secara proporsional dan berkeadilan, jauh dari praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme serta adanya perimbangan antara keuangan pemerintah pusat dan daerah (Widjaja, 2007: 7). Dengan demikian prinsip otonomi daerah adalah sebagai berikut:

1) Prinsip otonomi seluas-luasnya

Prinsip otonomi seluas-luasnya mengandung arti bahwa daerah diberi kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan pemerintah pusat yang ditetapkan dalam undang-undang pemerintahan daerah.

2) Prinsip otonomi yang nyata

Prinsip otonomi yang nyata adalah prinsip bahwa dalam pelaksanaan atau penanganan urusan pemerintahan daerah didasarkan pada tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup, dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah.

3) Prinsip otonomi yang bertanggung jawab

Prinsip otonomi yang bertanggung jawab artinya bahwa otonomi dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi.

4) Prinsip otonomi yang dinamis

Prinsip otonomi yang dinamis artinya bahwa pelaksanaan otonomi daerah tidak tetap, tetapi dapat berubah. Perubahan pelaksanaan otonomi daerah ini bisa bertambah dan berkurang.

5) Prinsip otonomi yang serasi

(8)

18

Prinsip otonomi yang serasi artinya bahwa pelaksanaan pembangunan yang terkait dengan otonomi daerah tetap dijaga keseimbangan antara daerah dengan pemerintah daerah lainnya.

2. Tinjauan Tentang Pemerintahan Desa a. Definisi Desa

Istilah “Desa” secara etimologis berasal dari kata “swadesi”

Bahasa Sansekerta yang berarti wilayah, tempat, atau bagian yang mandiri dan otonom (M Iwan Satriawan, 2013: 149). Secara historis, desa merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia jauh sebelum negara ini terbentuk. Struktur sejenis desa, masyarakat adat, dan sebagainya telah menjadi institusi nasional yang otonom dengan tradisi, adat istiadat dan hukumnya sendiri relatif mandiri. Hal ini antara lain ditunjukkan dengan tingkat keragaman yang tinggi.

Pemerintahan desa adalah pemerintahan terkecil pemerintahan lokal, pemerintahan yang berhubungan langsung dengan masyarakat desa. Ukuran keberhasilan pemerintahan desa ditentukan oleh kinerja pemerintah desa, kepala desa dan lembaga konsultasi desa termasuk lembaga adat sebagai instrumen utama pemerintahan di desa, maka unsur sinergi antar lembaga menjadi pendorong utama dalam pembangunan desa (Lutfi Rumkel, Belinda Sam, M Chairul Basrun Umanailo, 2019: 1058).

Menurut Taliziduhu Ndraha (1981: 13), desa adalah kesatuan organisasi pemerintahan yang terendah, mempunyai batas wilayah tertentu, langsung di bawah kecamatan, dan merupakan kesatuan masyarakat hukum yang berhak menyelenggarakan rumah tangganya.

Desa merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan hak

(9)

19

asal usul dan adat istiadat yang diakui dalam Pemerintahan Nasional dan berada di daerah Kabupaten.

Menurut HAW. Widjaja (2003: 3) dalam bukunya yang berjudul

“Otonomi Desa” menyatakan bahwa “Desa adalah sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal usul yang bersifat istimewa. Landasan pemikiran dalam mengenai Pemerintahan Desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat”.

Menurut Soetardjo dalam Winardi (1988: 21), desa dapat dipahami sebagai suatu daerah kesatuan hukum dimana bertempat tinggal di suatu masyarakat yang berkuasa (memiliki wewenang) mengadakan pemerintahan sendiri. Daerah perdesaan sebagai lingkungan buatan manusia, adalah suatu tatanan kehidupan yang mengandung unsur-unsur fisik penataan ruang sebagai ruang kegiatan dan unsur-unsur nonfisik dalam bentuk nilai-nilai serta akumulasi kegiatan masyarakat (Vincentia Reni Vitasurya, 2016: 99).

Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengartikan Desa sebagai berikut : “Desa atau yang disebut nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 ayat 12).

Unsur yang merupakan karakteristik dari sebuah desa:

1) Penduduk Desa

Setiap orang yang bertempat tinggal di wilayah desa yang bersangkutan selama waktu tertentu, biasanya dalam waktu

(10)

20

6 bulan atau satu tahun berturut-turut, menurut peraturan daerah yang berlaku.

2) Daerah atau Wilayah Desa

Wilayah desa harus memiliki batas-batas yang jelas, berupa batas alam seperti sungai, jalan dan sebagainya atau batas buatan seperti patok atau pohon yang dengan sengaja ditanam. Tidak ada ketentuan defeniti tentang berapa jumlah luas minimal atau maksimal bagi wilayah suatu desa.

3) Pemimpin Desa

Badan yang memiliki kewenangan untuk mengatur jalannya pergaulan sosial atau interaksi masyarakat. Pemimpin Desa disebut Kepala Desa atau dengan sebutan lain sesuai dengan tempat wilayahnya.

4) Urusan atau Rumah Tangga Desa

Kewenangan untuk mengurus kepentingan rumah tangga desa atau yang dikenal dengan otonomi desa. Otonomi desa berbeda dengan otonomi daerah karena merupakan otonomi asli desa yang telah ada dari jaman dahulu dimana hak otonomi bukan dari pemberian pemerintah atasan melainkan dari hukum adat yang berlaku.

Hal ini lebih ditegaskan dalam pengaturan mengenai desa yaitu dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa. Prinsip dasar sebagai landasan pemikiran pengaturan mengenai desa yaitu: keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi, dan pemberdayaan masyarakat. Pengertian pembangunan yang sederhana, yaitu sebagai “suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan secara terencana.” Pembangunan dalam paradigma bertujuan untuk mewujudkan interaksi antara Pemerintah, Dunia Usaha Swasta, dan

(11)

21

Masyarakat. Apabila sendi-sendi tersebut dipenuhi maka terwujudlah desa yang maju.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menggambarkan itikad negara untuk mengotonomikan desa dengan berbagai kemandirian pemerintahan desa seperti pemilihan umum calon pemimpin desa, anggaran desa, semacam DPRD desa, dan kemandirian pembuatan peraturan desa semacam perda menyebabkan daerah otonomi NKRI menjadi provinsi, kabupaten atau kota, dan desa.

Reformasi telah mencapai akarnya. Kesadaran konstitusi desa dan dusun diramalkan akan mendorong proses reformasi berbasis otonomi daerah bersifat hakiki.

b. Otonomi Desa

Bagi masyarakat desa, otonomi desa bukanlah menunjuk pada otonomi pemerintah desa semata-mata tetapi juga otonomi masyarakat desa dalam menentukan diri mereka dan mengelola apa yang mereka miliki untuk kesejahteraan mereka sendiri. Otonomi desa berarti juga memberi ruang yang luas bagi inisiatif dari desa. Kebebasan untuk menentukan dirinya sendiri dan keterlibatan masyarakat dalam semua proses baik dalam pengambilan keputusan berskala desa, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan maupun kegiatan-kegiatan lain yang dampaknya akan dirasakan oleh masyarakat desa sendiri. Jika dilihat dari sejarah perkembangan otonomi daerah, telah terjadi perubahan pemerintahan dari sentralistik ke desentralistik, perencanaan pembangunan pedesaan terus berupaya membangun desa ke arah yang lebih baik. Dari kegiatan ini timbul ide dan rencana-rencana pembangunan yang antara lain bertujuan untuk membebaskan masyarakat dari belenggu keterbelakangan, kemiskinan, dan kepicikan berpikir yang tradisional (Buddy Prasadja, 1980: 1).

(12)

22

Otonomi yang dimiliki desa pada hakekatnya bertujuan untuk meningkatkan meningkatkan masyarakat desa, walaupun disadari benar bahwa meningkatkan kesejahteraan masyarakat berkesinambungan karena didalamnya terkait dengan akumulasi yang saling berkepentingan antara arah kebijakan pemerintah, kondisi masyarakat dan faktor eksternal desa. Dengan demikian, hak dan kewajiban bagi daerah untuk menyelenggarakan urusan-urusannya sepanjang sanggup untuk melakukannya dan penekanannya lebih bersifat otonomi yang luas (M Akbar Mofizar, 2015).

Otonomi desa merupakan hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal-usul dan nilai-nilai sosial budaya yang ada pada masyarakat untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan desa tersebut. Urusan pemerintahan berdasarkan asal- usul Desa, urusan yang menjadi wewenang pemerintahan Kabupaten atau Kota diserahkan pengaturannya kepada Desa. Namun harus selalu diingat bahwa tiada hak tanpa kewajiban, tiada kewenangan tanpa tanggung jawab dan tiada kebebasan tanpa batas. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan hak, kewenangan dan kebebasan dalam penyelenggaraan otonomi desa harus tetap menjunjung nilai-nilai tanggung jawab terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan menekankan bahwa desa adalah bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa dan negara Indonesia. Pelaksanaan hak, wewenang dan kebebasan otonomi desa menuntut tanggung jawab untuk memelihara integritas, persatuan dan kesatuan bangsa dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tanggung jawab untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang dilaksanakan dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku (HAW Widjaja, 2003: 166).

(13)

23

Pemerintahan desa adalah pemerintahan terkecil pemerintahan lokal, pemerintahan yang berhubungan langsung dengan masyarakat desa. Ukuran keberhasilan pemerintahan desa ditentukan oleh kinerja pemerintah desa, kepala desa dan lembaga konsultasi desa termasuk lembaga adat sebagai instrumen utama pemerintahan di desa, maka unsur sinergi antar lembaga menjadi pendorong utama dalam pembangunan desa (Luthfi Rumkel, Belinda San, dan M. Chairul Basrun Umanailo, 2019: 1).

c. Pembangunan Desa

Hakekat pembangunan adalah proses perubahan yang terus menerus yang merupakan kemajuan dan perbaikan menuju ke arah yang ingin dicapai, selanjutnya untuk memberikan ini. Siagian (1994), memberikan definisi sebagai berikut: “Pembangunan adalah suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan berencana yang dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, Negara dan pemerintah menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa”.

Pengertian tersebut menunjukkan bahwa dalam pembangunan itu sendiri terdapat inti pokok-pokok pengertian sebagai berikut:

1) Pembangunan adalah merupakan suatu proses, berarti suatu keinginan yang terus menerus dilaksanakan.

2) Pembangunan merupakan usaha sadar yang dilakukan.

3) Pembangunan mengarah kepada modernitas, yang diartikan sebagai cara hidup yang baru dan lebih baik dari sebelumnya serta kemampuan untuk lebih menguasai alam lingkungan dalam rangka peningkatan swasembada dan mengurangi ketergantungan dari pihak lain.

4) Pembangunan dilaksanakan secara berorientasi pada pertumbuhan dan Perubahan.

(14)

24

5) Bahwa modernitas yang dicapai melalui pembangunan itu bersifat multidimensional.

6) Bahwa kelima hal tersebut diatas ditunjukkan kepada usaha pembinaan bangsa (Nation Building) yang terus menerus harus dilaksanakan dalam rangka pencapaian tujuan bangsa dan Negara yang telah ditentukan sebelumnya (Arif Budiman: 2006).

Pasal 1 ayat (8) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 menjelaskan Pembangunan Desa adalah upaya peningkatan kualitas hidup dan kehidupan untuk sebesarbesarnya kesejahteraan masyarakat Desa.

Sementara itu, garis-garis besar perencanaan pembangunan lima tahun menyebutkan pembangunan masyarakat adalah meningkatkan taraf hidup masyarakat dengan jalan melakukan pembangunan yang integral dari masyarakat, berdasarkan azas kekuatan sendiri dari masyarakat dengan pembimbing serta bantuan alat-alat pemerintah yang bertindak sebagai suatu keseluruhan (kebutuhan) dalam rangka kebijaksanaan bersama. Azas pembangunan integral dimaksudkan ialah pembangunan yang seimbang dari semua segi-segi masyarakat (pertanian, pendidikan, kesehatan perumahan dan sebagiannya) sehingga menjamin suatu pembangunan yang selaras dan tidak berat sebelah. Azas kekuatan sendiri ialah bahwa tiap-tiap usaha pertama- tama harus didasarkan pada kekuatan atau kemampuan desa sendiri, dengan tidak menunggu-nunggu pemberian dari pemerintah.

Sedangkan azas pemufakatan bersama diartikan bahwa usaha pembangunan harus dilaksanakan dalam lapangan yang besar-besar dirasakan sebagai kekuatan oleh anggota masyarakat desa yang bersangkutan, sedangkan putusan itu melaksanakan proyek itu

(15)

25

bukannya berdasarkan perintah atasan, melainkan keputusan bersama anggota masyarakat desa.

Pembangunan di desa merupakan model pembangunan partisipatif yaitu suatu sistem pengelolaan pembangunan di desa bersama-sama secara musyawarah, mufakat, dan gotong royong yang merupakan cara hidup masyarakat yang telah lama berakar budaya wilayah Indonesia. Pembangunan partisipatif diantaranya direncanakan dengan pemberdayaan dan partisipatif. Pemberdayaan yaitu upaya untuk mewujudkan kemampuan dan kemandirian masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sedangkan partisipatif yaitu keikutsertaan dan keterlibatan masyarakat secara aktif dalam proses pembangunan.

Pembangunan memiliki tiga sasaran pembangunan yakni pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan. Apabila ketiganya mengalami penurunan, pembangunan memiliki arti penting. Namun apabila terjadi sebaliknya, sulit dikatakan adanya pembangunan (Hudiyanto, 2005: 67). Sayangnya ketidakmerataan pembangunan yang terjadi di Indonesia antara kawasan perkotaan dan pedesaan memiliki gap yang tinggi sehingga pembangunan pedesaan menjadi jauh tertinggal dibanding perkotaan. Oleh karena itu, fokus perhatian pemerintah saat ini adalah bagaimana membangun desa menjadi desa yang otonom dan mandiri (Nyimas Latifah Letty Aziz, 2016: 193-211).

Ndraha (1990) memberikan kesimpulan-kesimpulan tentang pembangunan sebagai berikut “pembangunan sebagai suatu proses didalam mana masyarakat berkenan mengambil bagian secara aktif atas dengan pendekatan ini berpartisispasi dan memberikan bimbingan, pembinaan, pengarahan, pengawasan dan bantuan. Pendapat tersebut diatas apabila kita analisa berdasarkan salah satu pendekatan perencanaan pembangunan yang harus dilakukan adalah perencanaan

(16)

26

pembangunan yang dilakukan dari bawah (button up) implikasinya, aspirasi dan partisipasi masyarakat memiliki arti yang sangat penting proses perencanaan, implementasi dan evaluasi serta kontrol terhadap dan kebijakan pemerintah daerah termasuk hal penggalian dana dan alokasinya.

Berdasarkan batasan atau konsep pembangunan desa yang dikemukakan para ahli tersebut diatas, maka pembangunan adalah suatu proses perubahan yang berencana untuk seluruh lapisan masyarakat dan bukan untuk golongan tertentu atau sebagian masyarakat. Oleh karena itu, konsekuensinya dalam realisasi pembangunan desa baik pelaksanaan proyek- proyek pembangunan yang bersifat fisik manfaatnya konsisten berdasarkan pada nilai-nilai hakikat kodrat manusia masyarakat. Pembangunan di desa dapat menyentuh seluruh lapisan masyarakat maka harus diterapkan prinsip-prinsip pembangunan, sasaran pembangunan dan ruang lingkup pembangunannya.

Berikut menjelaskan mengenai ketiga unsur tersebut menurut Adisasmita (2006):

1) Pembangunan pedesaan seharusnya menerapkan prinsip transparansi (keterbukaan), partisipatif, dapat dinikmati masyarakat, dapat dipertanggung jawabkan (akuintabilitas) dan berkelanjutan (sustainabtle).

2) Sasaran pembangunan pedesaan yaitu untuk terciptanya peningkatan produksi dan produktivitas, percepatan pertumbuhan desa, peningkatan keterampilan dalam berproduksi dan pengembangan lapangan kerja dan lapangan usaha produktif, peningkatan prakarsa dan partisipasi masyarakat serta perkuatan kelembagaan.

(17)

27

3) Pengembangan pedesaan yang mempunyai ruang lingkup pembangunan sarana dan prasarana pedesaan (meliputi pengairan, jaringan jalan, lingkungan, pemukiman dan lainnya), pemberdayaan masyarakat, pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM), penciptaan lapangan kerja, kesempatan berusaha, peningkatan pendapatan (khususnya terhadap kawasan- kawasan miskin) dan penataan keterkaitan antar kawasan pedesaan dengan kawasan perkotaan (interrural-urban relationship).

Pemerintah Kabupaten bertanggung jawab penuh dalam rangka pembangunan desa. Pemerintah kabupaten wajib melakukan pembangunan yang dibutuhkan masyarakat desa dan memberikan fasilitas kepada masyarakat. Menurut Ndraha (1990), membangun desa adalah setiap pembangunan yang ada didalam prosesnya masyarakat desa berpartisipasi aktif. Pembangunan desa adalah suatu proses dimana organisasi atau masyarakat mulai mendiskusikan dan menetukan keinginan mereka kemudaian mereka merencanakan dan mengerjakan bersama-sama untuk memenuhi kebutuhan hidup, Ndraha (1990).

Bidang pelaksanaan pembangunan Desa antara lain:

1) Pembangunan, pemanfaatan dan pemeliharaan infrasruktur dan lingkungan Desa antara lain: tambatan perahu; jalan pemukiman; jalan Desa antar permukiman ke wilayah pertanian; pembangkit listrik tenaga mikrohidro;

lingkungan permukiman masyarakat Desa; dan infrastruktur Desa lainnya sesuai kondisi Desa.

2) Pembangunan, pemanfaatan dan pemeliharaan sarana dan prasarana kesehatan antara lain: air bersih berskala Desa;

sanitasi lingkungan;

(18)

28

3) Pelayanan kesehatan Desa seperti posyandu; dan sarana dan prasarana kesehatan lainnya sesuai kondisi Desa.

4) Pembangunan, pemanfaatan dan pemeliharaan sarana dan prasarana pendidikan dan kebudayaan antara lain: taman bacaan masyarakat; pendidikan anak usia dini; balai pelatihan/kegiatan belajar masyarakat; pengembangan dan pembinaan sanggar seni; dan sarana dan prasarana pendidikan dan pelatihan lainnya sesuai kondisi Desa.

5) Pengembangan usaha ekonomi produktif serta pembangunan, pemanfaatan dan pemeliharaan sarana dan prasarana ekonomi antara lain:pasar Desa; pembentukan dan pengembangan BUM Desa; penguatan permodalan BUM Desa; pembibitan tanaman pangan; penggilingan padi; lumbung Desa; pembukaan lahan pertanian;

pengelolaan usaha hutan Desa; kolam ikan dan pembenihan ikan; kapal penangkap ikan; cold storage (gudang pendingin); tempat pelelangan ikan; tambak garam;

kandang ternak; instalasi biogas;mesin pakan ternak; sarana dan prasarana ekonomi lainnya sesuai kondisi Desa.

6) Pelestarian lingkungan hidup antara lain: penghijauan;

pembuatan terasering; pemeliharaan hutan bakau;

perlindungan mata air; pembersihan daerah aliran sungai;

perlindungan terumbu karang; dan kegiatan lainnya sesuai kondisi Desa.

Tetapi dalam menentukan pembangunan desa ini, banyak sekali hambatan yang dapat ditemui. Hambatan-hambatan itu menurut Butterfield dalam Ndraha (1990) adalah:

1) Perbedaan persepsi. Perencanaan pembangunan sering tidak tepat dalam menanggapi antara apa yang pemerintah dengan

(19)

29

apa yang benar-benar dibutuhkan masyarakat dipedesaan.

Sehingga terjadi permasalahan dalam pembangunan desa, karena masyarakat desa memilki persepsi yang buruk terhadap pembangunan yang dilakukan didesanya.

2) Kesukaran memilih model pembangunan yang tepat.

Kesulitan ini muncul karena masyarakat pedesaan itu pada umumnya tertutup dan masih bingung dalam menerima hal- hal baru sehingga pemerintah pun menjadi bingung dalam menentukan model pembangunan apa yang sebaiknya diterapkan bagi masyarakat pedesaan.

3) Batasan waktu, dimana pembangunan pedesaan/lambat sekali kelihatan hasilnya sehingga pemerintah sering merasa kurang sabar dalam menangani usaha pembangunan desa.

4) Persoalan praktis. Hambatan ini muncul bila hal-hal dalam tarap pelaksanaanya membuat pembangunan desa terlambat, misalnya saja kurangnya teknologi, kurangnya pengelola yang terlatih dan sebagianya. memperhatikan kekurangan dan kegagalan perencanaan pembangunan di desa pada masa lalu, maka perlu dilakukan penyempurnaan terhadap pendekatan pembangunan di desa atau pedesaan yang sesuai dengan kompleksitas pembangunan serta aspirasi masyarakat.

3. Tinjauan Tentang Lembaga Kemasyarakatan Desa a. Definisi Lembaga Kemasyarakatan Desa

Lembaga kemasyarakatan merupakan salah satu wujud dari struktur perantara yang ada di Indonesia. Di satu sisi masyarakat memerlukan adanya unsur perantara dengan pemerintah dan di sisi yang lain pemerintah juga perlu adanya unsur perantara dengan masyarakat,

(20)

30

sehingga keberadaan lembaga kemasyarakatan sama-sama dibutuhkan, baik oleh masyarakat maupun oleh pemerintah. Lembaga kemasyarakatan merupakan lembaga bentukan masyarakat bukan bentukan pemerintah, dan pembentukannya harus disesuai dengan kebutuhan masyarakat dan pemerintah desa serta menjadi mitra bagi kepala desa dengan tujuan untuk memberdayakan masyarakat.

Berdasarkan Permendagri Nomor 18 Tahun 2018, Lembaga Kemasyarakatan Desa yang selanjutnya disingkat LKD adalah wadah partisipasi masyarakat, sebagai mitra Pemerintah Desa, ikut serta dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan, serta meningkatkan pelayanan masyarakat Desa.

Peranan lembaga kemasyarakatan dalam membantu tugas kepala desa meliputi; membantu kepala desa dalam pelaksanaan urusan pemerintahan, membantu kepala desa dalam pelaksanaan urusan pembangunan, membantu kepala desa dalam pelaksanaan urusan sosial kemasyarakatan dan pemberdayaan (Fitria, 2017:15).

Lembaga Kemasyarakatan memiliki peran penting dalam pembangunan di daerah-daerah khususnya di tingkat kelurahan atau desa yang mana pembentukannya juga didasari oleh ketidakmampuan kelurahan atau desa untuk menjalankan tugas pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan sekaligus. Maka kehadiran lembaga kemasyarakatan dalam rangka membantu tugas-tugas kelurahan atau desa dalam hal ini tugas lurah atau kepala desa tidak bisa dipandang sebelah mata dan berpengaruh besar terhadap efektivitas roda pemerintahan (Ryan Anggria Pratama dan Askarmin Harun., 2017: 64).

Desa Celep sangat membutuhkan peranan dari Lembaga Kemasyarakatan terlihat dari bagaimana program-program pemerintah yang menjadi kewajiban kepala desa ternyata mampu dilaksanakan

(21)

31

dengan baik oleh lembaga kemasyarakatan yang ada di Desa Celep seperti LPM, PKK, Karang Taruna, RT dan RW.

Pengertian lembaga kemasyarakatan menurut para ahli yaitu:

1) Menurut Koentjaraningrat

Lembaga kemasyarakatan adalah suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas untuk memenuhi kompleksitas kebutuhan khusus dalam kehidupan manusia.

2) Menurut Soerjono Soekanto

Lembaga kemasyarakatan adalah himpunan norma dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok dalam kehidupan masyarakat.

Lembaga kemasyarakatan yang dibentuk masyarakat yang merupakan mitra pemerintah desa seperti yang dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (6) Peraturan Pemerintah Nomor 73 tahun 2005, Lembaga Kemasyarakatan atau sebutan lain adalah lembaga yang dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan merupakan mitra kepala desa dalam memberdayakan masyarakat. Lembaga Kemasyarakatan memiliki berbagai fungsi dalam kehidupan bermasyarakat diantaranya terdiri dari memberikan berbagai bentuk pedoman dan petunjuk kepada masyarakat atau bagaimana masyarakat bersikap dalam menghadapi berbagai masalah yang terus ada dan berkembang di tengah-tengah masyarakat, menjaga berbagai keutuhan dalam kehidupan bermasyarakat, dan memberikan pegangan dalam sistem pengendalian sosial yang ada di masyarakat bahkan sampai pada fungsi pengawasan baik terhadap tingkah laku masyarakat maupun pengawasan terhadap tingkah laku pemerintah setempat.

(22)

32

b. Tugas dan Fungsi Lembaga Kemasyarakatan Desa

Tugas Lembaga Kemasyarakatan menurut Pasal 10 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 dibentuk dalam upaya untuk membantu tugas-tugas kepala desa yakni Lembaga Kemasyarakatan Desa sebagaimana yang dimaksud pasal 10 mempunyai tugas membantu kepala desa dalam pelaksanaan urusan pemerintah, pembangunan dan sosial kemasyarakatan dan pemberdayaan masyarakat.

Pembangunan di desa menjadi tanggung jawab Kepala desa sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 ditegaskan bahwa Kepala Desa mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan. Kegiatan pembangunan direncanakan dalam forum Musrenbangdes. Hasil musyawarah tersebut ditetapkan dalam RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Desa) selanjutnya ditetapkan dalam APBDesa. Dalam pelaksanaan pembangunan Kepala Desa dibantu oleh perangkat desa dan dapat dibantu oleh Lembaga Kemasyarakatan di Desa. Membantu tugas Kepala Desa yang dimaksudkan dalam pasal di atas dalam bentuk membantu pelaksanaan pelayanan pemerintahan, pelayanan pembangunan, pelayanan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat seperti yang diatur dalam penjelasan pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005; yang dimaksud dengan membantu dalam pelaksanaan pelayanan pemerintahan, pelayanan pembangunan, pelayanan sosial kemasyarakatan dan pemberdayaan masyarakat adalah membantu dalam pelaksanaan kegiatan pemerintahan kelurahan, dalam bentuk pemberdayaan masyarakat, penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum, pemeliharaan prasarana dan fasilitas umum.

(23)

33

Tugas Lembaga Kemasyarakatan Desa dijelaskan dalam Pasal 4 Permendagri Nomor 18 Tahun 2018 tentang Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa. LKD bertugas:

1) melakukan pemberdayaan masyarakat Desa;

2) ikut serta dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan;

3) meningkatkan pelayanan masyarakat Desa.

Sedangkan dalam melaksanakan tugasnya, Lembaga kemasyarakatan desa memiliki fungsi yang diatur dalam pasal 5 Permendagri Nomor 18 Tahun 2018 tentang Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa yaitu:

1) menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat;

2) menanamkan dan memupuk rasa persatuan dan kesatuan masyarakat;

3) meningkatkan kualitas dan mempercepat pelayanan Pemerintah desa kepada masyarakat desa;

4) menyusun rencana, melaksanakan, mengendalikan, melestarikan, dan mengembangkan hasil pembangunan secara partisipatif;

5) menumbuhkan, mengembangkan, dan menggerakkan prakarsa, partisipasi, swadaya, serta gotong royong masyarakat;

6) meningkatkan kesejahteraan keluarga; dan 7) meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

c. Tujuan Lembaga Kemasyarakatan Desa

Memberikan pedoman kepada anggota masyarakat bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap di dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat yang terutama menyangkut kebutuhan pokok. Menjaga pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial yang artinya sistem

(24)

34

pengawasan dari masyarakat terhadap tingkah laku anggota- anggotanya.

Lembaga kemasyarakatan yang paling banyak berperan dalam membantu tugas lurah atau kepala desa adalah lembaga RT, lembaga RW, LMPK, lembaga PKK, lembaga karang taruna, dan lembaga kemasyarakatan desa lainnya, dikarenakan lembaga RT juga di tugaskan dengan tugas-tugas umum lainnya yang diberikan pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kota (Fitria, 2017: 19).

Dalam rangka meningkatkan pembangunan desa, berbagai upaya dilakukan oleh Lembaga Kemasyarakatan Desa. Upaya tersebut dilakukan dengan cara mengembangkan organisasi-organisasi kemasyarakatan melalui pembinaan kelompok-kelompok. Contohnya program PNPM-Mandiri, Program Pengembangan Kecamatan (PPK), dan Pemberdayaan Kesejateraan Keluarga (PKK). Dalam hal ini, kaum perempuan juga punya bagian untuk terlibat dalam sebuah organisasi tertentu. Mereka juga pun dapat ikut berpartisipasi dalam pembangunan desa dengan menggerakkan partisipasi masyarakat desa.

4. Tinjauan Tentang Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) a. Definisi Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK)

Salah satu wadah organisasi perempuan dimasyarakat desa dan kelurahan adalah Pemberdayaan Kesejateraan Keluarga (PKK). PKK adalah sebuah organisasi kemasyarakatan desa yang mampu menggerakkan partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan, juga berperan dalam kegiatan pertumbuhan desa. PKK mempunyai peran untuk membantu pemerintah Desa dalam meningkatkan kesejahteraan lahir batin menuju terwujudnya keluarga yang berbudaya, bahagia, sejahtera, maju, mandiri, dan harmonis serta mempunyai peran dalam menumbuhkembangkan potensi dan peran perempuan dalam meningkatkan pendapatan keluarga. Selain itu, peran PKK sebagai

(25)

35

penggali, pengembang potensi masyarakat khususnya keluarga, pembina, motivator, serta penggerak prakarsa, gotong royong dan swadaya perempuan dalam pembangunan (Susatin, 2019: 139-152).

PKK sebagai gerakan yang tumbuh dari bawah dengan perempuan sebagai penggerak dalam membangun, membina, dan membentuk keluarga guna mewujudkan kesejahteraan keluarga sebagai unit kelompok terkecil dalam masyarakat. Berawal dari seminar Home Economic di Bogor tahun 1957 dan sebagai tindak lanjut dari seminar tersebut, pada tahun 1961 panitia penyusunan tata susunan pelajaran pada pendidikan kesejahteraan keluarga.

Gerakan PKK di masyarakatkan lewat kepedulian istri gubernur Jawa Tengah pada tahun 1967 (Ibu Isriati Moenadi) yang membentuk upaya untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga melalui 10 program pokok keluarga dengan membentuk tim penggerak PKK di semua tingkatan yang keanggotaan timnya secara relawan dan terdiri dari tokoh masyarakat, para isteri Kepala Dinas/Jawatan dan isteri Kepala Daerah sampai dengan tingkat Desa dan Kelurahan (Lilik Aslichati, 2011: 1-7). Kegiatannya didukung dengan anggaran pendapatan dan belanja daerah dan terus mengalami perkembangan sehingga pada tanggal 27 desember 1972 Mendagri mengeluarkan Surat Kawat No.

Sus 3/6/12 kepada seluruh Gubernur yang ada di Indonesia, agar mengubah nama Pendidikan Kesejahteraan Keluarga menjadi Pembinaan Kesejahteraan Keluarga.

Perkembangan akhirnya berganti nama menjadi Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). PKK ini lebih diarahkan kepada perannya dalam mengembangkan partisipasi perempuan dalam pembangunan Desa melalui program-program yang dijalankan. PKK diharapkan mampu membebaskan perempuan dari belenggu budaya patriarki, sehingga membawa kaum perempuan memiliki kemandirian

(26)

36

serta sebagai agen yang sangat penting bagi kesejahteraan keluarga dan masyarakat (Ima Wati, Irawan Suntoro, dan Hermi Yanzi., 2015: 13).

Gerakan PKK adalah gerakan nasional dalam pembangunan masyarakat yang tumbuh dari bawah, pengelolaannya dari, oleh dan untuk masyarakat menuju terwujudnya keluarga yang beriman dan bertaqwa kapada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, dan berbudi luhur, sehat sejahtera, lahir dan batin. Pemberdayaan Keluarga memiliki arti segala upaya bimbingan dan pembinaan kepada keluarga dalam upaya meningkatkan kemampuan keluarga untuk hidup sehat sejahtera lahir dan batin. Kesejahteraan Keluarga adalah kondisi tentang terpenuhinya kebutuhan dasar manusia dari setiap anggota keluarga secara material, social, mental dan spiritual sehingga dapat hidup layak sebagai manusia yang bermanfaat (Tim Penggerak PKK Pusat, 2015: 9- 10).

b. Tujuan Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK)

Kesejahteraan keluarga menjadi tujuan utama PKK. Hal ini dikarenakan keluarga merupakan unit terkecil masyarakat yang akan berpengaruh besar terhadap kinerja pembangunan dalam mendukung program-program pemerintah. Dari keluarga yang sejahtera ini, maka tata kehidupan berbangsa dan bernegara akan dapat melahirkan ketentraman, keamanan, keharmonisan dan kedamaian. Dengan demikian, kesejahteraan keluarga menjadi salah satu tolak ukur dan barometer dalam pembangunan dengan program-program pemerintah.

PKK menjadi gerakan untuk membantu dan mendukung program- program pemerintah dengan mendata beberapa aspek yang diperlukan seperti data warga, ibu hamil, bayi dan balita, kelahiran, kematian, sampai kegiatan masyarakat (Ima Wati, Irawan Suntoro, dan Hermi Yanzi., dkk, 2015: 15).

(27)

37

Menurut Hasibuan (2012:72) pengertian program dapat dirumuskan secara jelas bahwa program adalah suatu jenis rencana yang konkret karena didalamnya sudah tercantum sasaran, kebijaksanaan, prosedur, anggaran, dan waktu pelaksanaannya (Hasibuan, 2012).

Dalam buku Tim Penggerak PKK (2015:13) ada 10 program pokok PKK, yaitu:

1) Penghayatan dan Pengamalan Pancasila;

2) Gotong Royong;

3) Pangan;

4) Sandang;

5) Perumahan dan Tata Laksana Rumah Tangga;

6) Pendidikan dan Keterampilan;

7) Kesehatan;

8) Pengembangan Kehidupan Berkoperasi;

9) Kelestarian Lingkungan Hidup; Serta 10) Perencanaan Sehat.

Dalam menjalankan program kerjanya PKK memiliki Tim Penggerak atau yang biasa disebut TP PKK, yaitu mitra kerja pemerintah dan organisasi kemasyarakatan lainnya yang berfungsi sebagai fasilitator, perencana, pelaksana, pengendali dan penggerak pada masing-masing jenjang untuk terlaksananya program PKK. TP PKK terdiri atas Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris, Bendahara, dan Kelompok Kerja I, II, III, IV. Demi lancarnya program kerja, terdapat pula Anggota PKK, Kelompok PKK, Kader Umum dan Kader Khusus.

5. Tinjauan Tentang Pelaksanaan Peraturan a. Definisi Pelaksanaan Peraturan

Pelaksanaan peraturan atau sering disebut juga implementasi peraturan merupakan sebuah pelaksanaan dari sebuah keputusan atau peraturan yang telah dirumuskan. Pelaksanaan peraturan merupakan

(28)

38

yang lebih penting dari pembuatan peraturan, sebab tahap ini merupakan langkah yang menjembatani suatu peraturan untuk menuju tujuan awal yang telah dirumuskan. Di samping itu, pelaksanaan peraturan nantinya juga akan memasuki ranah permasalahan atau konflik mengenai siapa memperoleh apa dalam suatu pelaksanaan peraturan tersebut (Nurul Qamar, 2013: 32).

Implementasi peraturan di Indonesia sebagian besar menganut model top- down yaitu sebuah keputusan peraturan yang dirumuskan dan dibuat oleh pemerintah yang memiliki wewenang lebih tinggi ditujukan pada pemerintahan yang berada pada hieprrarki dibawahnya yang bertujuan untuk mensejahterakan masyarakatnya. Dalam upaya memperkuat efektivitas implementasi maka muncul beberapa pendekatan implementasi (Abdul Wahab, 2012: 23). Pertama, pendekatan struktural yang menyelaraskan rancangan peraturan dengan rancangan organisasi pelaksana peraturan agar keduanya dapat berjalan bersamaan. Kedua, pendekatan prosedural dan manajerial, dalam pendekatan ini implementasi dipandang sebagai rangkaian masalah teknis kegiatan atau masalah manajerial dalam mengeksekusi sebuah peraturan. Sedangkan prosedur-prosedur yang dimaksud adalah yang berhubungan dengan penjadwalan, perencanaan dan pengawasan.

Ketiga, pendekatan perilaku yang bertujuan untuk menciptakan suasana saling percaya antara para pemilik kewenangan dan masyarakat sasaran. Keempat, pendekatan politik yang mengacu pada pola- pola kekuasaan dan pengaruhnya didalam lingkungan organisasi tersebut.

Pelaksanaan peraturan dapat dikatakan suatu proses yang dinamis, dimana pelaksana peraturan melakukan suatu aktivitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran peraturan itu sendiri. Keberhasilan

(29)

39

suatu pelaksanaan peraturan dapat diukur atau dilihat dari proses dan pencapaian tujuan hasil akhir (output), yaitu: tercapai atau tidaknya tujuan-tujuan yang ingin diraih.

Budi Winarno (2002: 31) mengatakan bahwa implementasi peraturan dibatasi sebagai menjangkau tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu pemerintah dan individu-individu swasta (kelompok-kelompok) yang diarahkan untuk mencapai tujuan- tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijaksanaan sebelumnya. Solihin membatasi pelaksanaan peraturan sebagai tindakan yang dilakukan individu-individu (kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan- tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan sebelumnya (Sholihin A W, 2005: 24).

Dari definisi diatas dapat diketahui bahwa pelaksanaan peraturan terdiri dari tujuan atau sasaran peraturan, aktivitas, atau kegiatan pencapaian tujuan dari hasil kegiatan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan peraturan merupakan suatu proses yang dinamis, dimana pelaksana peraturan melakukan suatu aktivitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran peraturan itu sendiri. Secara efektif hukum atau perundangan akan dapat berfungsi apabila memenuhi tiga syarat laku ialah filosofis, sosiologis, serta yuridis (Marten, 2019). Keberhasilan pelaksanaan peraturan dapat diukur atau dilihat dari proses dan pencapaian tujuan hasil akhir (output), yaitu:

tercapai atau tidaknya tujuan-tujuan yang ingin diraih.

Dalam konteks pembuatan kebijakan publik manfaat partipasi adalah (Rahendro Jati, 2012: 335):

1) Memberikan landasan yang lebih baik untuk pembuatan kebijakan publik.

(30)

40

2) Memastikan adanya implementasi yang lebih efektif karena warga mengatahui dan terlibat dalam pembuatan kebijakan publik.

3) Meningkatkan kepercayaan warga kepada eksekutif dan legislatif.

4) Efisiensi sumber daya, sebab dengan keterlibatan masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik dan mengetahui kebijakan publik, maka sumber daya yang digunakan dalam sosialisasi kebijakan publik dapat dihemat.

Meter dan Horn dalam Suharsono mengemukakan bahwa terdapat 6 (enam) variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi, yakni (Suharsono, 2010: 21):

1) Standar dan sasaran peraturan, di mana standar dan sasaran peraturan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisir apabila standar dan sasaran peraturan kabur.

2) Sumber daya, dimana implementasi peraturan perlu dukungan sumber daya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya non manusia.

3) Hubungan antar organisasi, yaitu dalam banyak program, implementor sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain, sehingga diperlukan koordinasi dan kerja sama antar instansi bagi keberhasilan suatu program.

4) Karakteristik pelaksana yaitu mencakup stuktur birokrasi, norma-norma dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi yang semuanya itu akan mempengaruhi implementasi suatu program.

(31)

41

5) Kondisi sosial, politik, dan ekonomi. Variable ini mencakup sumber daya ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi peraturan, sejauh mana kelompok-kelompok kepentingan memberikan dukungan bagi implementasi peraturan, karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak, bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan, serta apakah elite politik mendukung implementasi peraturan.

6) Disposisi implementor yang mencakup tiga hal yang penting, yaitu respon implementor terhadap peraturan, yang akan mempengaruhi kemauannya untuk melaksanakan peraturan, kognisi yaitu pemahaman terhadap peraturan, intensitas disposisi implementor, yaitu preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor.

b. Faktor Penghambat Pelaksanaan Peraturan

Menurut Bambang Sunggono, pelaksanaan atau implementasi peraturan mempunyai beberapa faktor penghambat, yaitu (Bambang Sunggono, 2010: 23):

1) Isi Peraturan

Pertama, implementasi peraturan gagal karena masih samarnya isi peraturan. Apa yang menjadi tujuan tidak cukup terperinci, sarana-sarana dan penerapan prioritas, atau program-program peraturan terlalu umum atau sama sekali tidak ada. Kedua, karena kurangnya ketetapan intern maupun ekstern dari peraturan. Ketiga, peraturan yang akan diimplementasikan dapat juga menunjukkan adanya kekurangan-kekurangan yang sangat berarti. Keempat, penyebab lain dari timbulnya kegagalan implementasi suatu peraturan publik dapat terjadi karena kekurangan-

(32)

42

kekurangan yang menyangkut sumber daya pembantu, misalnya yang menyangkut waktu, biaya/dana dan tenaga manusia.

2) Informasi

Implementasi peraturan publik mengasumsikan bahwa para pemegang peran yang terlibat langsung mempunyai informasi yang perlu atau sangat berkaitan untuk dapat memainkan peranya dengan baik. Informasi ini justru tidak ada, misalnya akibat adanya gangguan komunikasi.

3) Dukungan

Pelaksanaan suatu peraturan publik akan sangat sulit apabila pada pengimplementasiannya tidak cukup dukungan untuk pelaksanaan peraturan tersebut.

4) Pembagian potensi

Sebab musabab yang berkaitan dengan gagalnya implementasi suatu peraturan publik juga ditentukan aspek pembagian potensi diantaranya para pelaku yang terlibat dalam implementasi. Struktur organisasi pelaksana dapat menimbulkan masalah-masalah apabila pembagian wewenang dan tanggung jawab kurang disesuaikan dengan pembagian tugas atau ditandai oleh adnya pembatasan- pembatasan yang kurang jelas.

Menurut James Anderson, faktor-faktor yang menyebabkan anggota masyarakat tidak mematuhi dan melaksanakan suatu peraturan publik, yaitu (James Anderson, 2006:137):

1) Adanya konsep ketidakpatuhan selektif terhadap hukum, dimana terdapat beberapa peraturan perundang-undangan atau peraturan publik yang bersifat kurang mengikat individu-individu.

(33)

43

2) Karena anggota masyarakat dalam suatu kelompok atau perkumpulan dimana mereka mempunyai gagasan atau pemikiran yang tidak sesuai atau bertentangan dengan peraturan hukum dan keinginan pemerintah.

3) Adanya keinginan untuk mencari keuntungan dengan cepat diantara anggota masyarakat yang mencenderungkan orang bertindak dengan menipu atau dengan jalan melawan hukum.

4) Adanya ketidakpastian hukum atau ketidakjelasan “ukuran”

peraturan yang mungkin saling bertentangan satu sama lain, yang dapat menjadi sumber ketidakpatuhan orang pada hukum atau peraturan publik.

5) Apabila suatu peraturan ditentang secara tajam (bertentangan) dengan sistem nilai yang dimuat masyarakat secara luas atau kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat.

Suyuthi Pulungan mengemukakan secara etimologi implementasi itu dapat dimaksudkan sebagai suatu aktifitas yang berhubungan dengan penyelesaian suatu pekerjaan dengan penggunaan sarana (alat) untuk memperoleh hasil (Suyuthi Pulungan, 2004: 40). Maka dapat disimpulkan bahwa suatu peraturan publik akan menjadi efektif apabila dilaksanakan dan mempunyai manfaat positif bagi anggota-anggota masyarakat. Tindakan atau perbuatan manusia sebagai anggota masyarakat harus sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Pemerintah atau Negara sehingga apabila perilaku atau perbuatan mereka tidak sesuai dengan keinginan pemerintah atau Negara, maka suatu peraturan publik tidaklah efektif.

(34)

44

B. Kerangka Pemikiran

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa

Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014

Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa

Perataturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 2018 Tentang Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat

Desa

Peraturan Desa Nomor 8 Tahun 2018 Desa Celep Tentang Lembaga Kemasyarakatan Desa

Lembaga Kemasyarakatan Desa Pemberdayaan

Kesejahteraan Keluarga (PKK)

(35)

45

Keterangan

Keberadaan Desa berhadapan langsung dengan masyarakat, sehingga menjadi ujung tombak pemerintahan yang terdepan. Oleh karena itu, dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa harus sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang kemudian diperjelas melalui Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Di desa terdapat suatu lembaga yang bermitra dengan pemerintah desa didalam aspek perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian pembangunan sebagai usaha memberdayakan masyarakat. Lembaga tersebut tidak lain ialah Lembaga Kemasyarakatan Desa. Dasar hukum dari kinerja Lembaga Kemasyarakatan Desa tersebut adalah Permendagri Nomor 18 Tahun 2018 dan Peraturan Desa Nomor 8 Tahun 2018 Desa Celep.

Ada beberapa lembaga didalam Lembaga Kemasyarakatan Desa salah satunya adalah Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). PKK berperan menggerakkan partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan, juga berperan dalam kegiatan pertumbuhan Desa. Pada saat ini PKK dinilai sudah berjalan cukup baik dan sudah sesuai dengan ketetapan yang ditetapkan, namun di sisi lain, dilihat dari sumber daya manusia yang tersedia belum semuanya mempunyai kompetensi dan kemampuan untuk menerapkan, menjalankan, serta membimbing masyarakat.

Faktor lain yang menjadi permasalahannya juga karena banyak anggota yang tidak mau melibatkan diri atau berpartisipasi didalam program ini. Motivasi yang kurang dari pemerintah dan tim PKK membuat masyarakat pun malas dan tidak mau untuk untuk melibatkan diri dalam program ini. Hal tersebut merupakan masalah yang perlu dicarikan solusi dan pemecahannya. Kerangka pemikiran di atas menjelaskan alur pemikiran penulis dalam memberikan jawaban atas permasalahan hukum yang diteliti yaitu tentang Implementasi Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 2018 terkait dengan Peran Kelompok Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dalam Pelaksanaan Pembangunan Desa di Desa Celep Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo.

Referensi

Dokumen terkait

Teknik analisa yang digunakan bersifat deskriptif dengan tujuan memberi gambaran mengenai partisipasi masyarakat didalam pemilihan umum, baik itu melalui pemberian suara

Tujuan penelitian adalah untuk mengkaji pengaruh limbah organik yang masuk ke perairan Waduk Panglima Besar Soedirman terhadap status tropik, Redfield rasio N dan P, dan mencari

Pembentukan ASEAN Cross Border Insolvency Regulation sebagai suatu ketentuan hukum kepailitan lintas batas di kawasan ASEAN sangat diharapkan untuk dapat menjadi

Pengembangan sistem Informasi De La Sirra Café & Resto dalam proses pengembangannya mengalami beberapa tahapan yang kami lakukan diantaranya kami mencari tau permasalahan

Desa Wisata ini sangat sesuai dengan karateristik masyarakat pedesaan karena memiliki strategi pengembangan community based-tourism yaitu masyarakat dituntut berperan

[r]

Transfer momentum akan lebih efektif pada periode hujan dibandingkan pada periode kemarau karena perbedaan besarnya kecepatan angin pada kedua periode tersebut

Menurut CGPI (Corporate Governance Perception Index) (2008) manfaat dari GCG untuk mengurangi agency cost, yaitu biaya yang harus ditanggung pemegang saham akibat