• Tidak ada hasil yang ditemukan

3. PENAFSIRAN DALAM HUKUM PAJAK DAN KETETAPAN PAJAK

N/A
N/A
suko iswahyudi

Academic year: 2022

Membagikan "3. PENAFSIRAN DALAM HUKUM PAJAK DAN KETETAPAN PAJAK"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

MATA KULIAH PERPAJAKAN MATERI 3 :

PENAFSIRAN DALAM HUKUM PAJAK DAN KETETAPAN PAJAK

A. PENDAHULUAN

Pajak merupakan sumber keuangan yang sangat besar bagi suatu negara, bahkan merupakan penyokong utama keuangan negara dalam menggerakkan roda pemerintahan.

Ketentuan perpajakan harus memuat hal - hal yang dapat membuat wajib pajak memiliki kesadaran yang tinggi untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya.

Pemungutan pajak dan pengelolaan hasil pajak yang dihimpun dari masyarakat dilakukan secara bertanggung jawab, akuntabilitas dan transparan. Pemungutan pajak dan pengelolaan hasil pajak yang baik akan berpengaruh positif bagi wajib pajak untuk ikut bertanggung jawab dalam melaksanakan hak dan kewajibannya.

Ketentuan perpajakan pun harus melihat berbagai aspek yang berkembang dalam masyarakat, agar ketentuan perundangan yang ada dapat dijadikan pedoman bagi penyelenggara pemerintahan ataupun wajib pajak dalam menjalankan hak dan kewajibannya dalam perpajakan.

B. PENAFSIRAN DALAM HUKUM PAJAK

Suatu peraturan adakalahnya tidak dimengerti secara jelas atau kurang jelas sehingga perlu suatu cara atau upaya penafsiran (interpretasi) agar suatu aturan dapat dimengerti dan dipahami, yang selanjutnya dapat dijalankan. Suatu aturan mempunyai pengertian yang bermacam - macam menurut bahasa yang ada (secara tertulis) yang dibaca oleh pembaca peraturan tersebut.

1. Definisi Penafsiran Hukum (Interpretasi Hukum)

Penafsiran atau interpretasi hukum adalah mencari dan menetapkan pengertian asas dalil - dalil yang tercantum dalam Undang-undang sesuai dengan yang dikehendaki serta yang dimaksud oleh pembuat Undang-undang.

Penafsiran hukum adalah suatu upaya yang pada dasarnya menerangkan, menjelaskan, dan menegaskan, baik dalam arti memperluas, membatasi, maupun mempersempit pengertian hukum yangg ada untuk memecahkan masalah atau persoalan yang sedang dihadapi.

Penafsiran hukum sangat penting karena isi Undang-Undang yang kadang-kadang tidak jelas susunan katanya, dan tidak jarang mempunyai lebih dari satu arti. Oleh karena itu, penafsiran hukum terhadap Undang-undang merupakan suatu hal yang perlu dilakukan.

(2)

2. Metode Penafsiran Hukum Perpajakan

Peraturan perpajakan disusun berdasarkan kekuatan hukumnya, yaitu sebagai berikut.

a. Penafsiran Tata Bahasa (Gramatikal)

Penafsiran tata bahasa atau disebut juga penafsiran objektif merupakan cara penafsiran yang paling sederhana untuk mengetahui makna ketentuan Undang- undang dengan menguraikannya menurut bahasa, susunan kata, atau bunyinya.

Ketentuan Undang-undang dijelaskan menurut bahasa sehari-hari yang umum. Hal ini tidak berarti bahwa hakim terikat erat pada bunyi kata-kata dari Undang-undang.

Penafsiran menurut bahasa juga harus logis.

Contoh : KUH Pidana Pasal 372 kata “memiliki” dan “menggelapkan” dalam pasal 372 tidak selalu mangandung sifat bermanfaat bagi diri pribadi. Perbuatan terdakwa tidak merupakan penggelapan, tetapi suatu kasus perdata.

b. Penafsiran Sahih (Autentik atau Resmi)

Tafsiran autentik adalah penafsiran peraturan dengan melihat maksud perumus Undang-undang atau peraturan tersebut. Dalam hal ini, peraturan sudah memberikan definisi-definisi yang dijelaskan berkaitan dengan pengertian.

Istilah-istilah tertentu dianggap penting sering diberikan definisi secara khusus, namun dalam praktiknya tidak semua peraturan menjelaskan mengenai istilah-istilah yang digunakan dalam peraturan tersebut.

Tafsiran yang ada di dalam memori penjelasan Undang-undang yang dapat diperdebatkan di muka pengadilan. Demikian juga, tafsiran yang dilakukan oleh fiskus ataupun wajib pajak tidak mengikat bagi pihak lainnya.

Penafsiran secara resmi berasal dari pembentuk undang-undang, bukan dari sudut pelaksana hukum, yakni hakim. Dalam penafsiran ini, kebebasan hakim dibatasi.

c. Penafsiran Historis

Tafsiran historis adalah penafsiran Undang - undang dengan melihat pada kronologi atau sejarah dibuatnya Undang-undang tersebut dikaitkan dengan perkembangan hukum secara umum atau masih ada hubungannya. Akan lebih baik jika dalam menafsirkan secara historis diperoleh juga draft RUU, risalah rapat para pembuat Undang-undang, memori penjelasan umum dan pasal per pasal, jawaban pemerintah kepada DPR, notulen sidang komisi, dan sebagainya.

Dengan memahami dokumen-dokumen tersebut, akan diketahui latar belakang aturan perpajakan. Hukum pajak memiliki kontinuitas yang memiliki sejarah perkembangannya dan tidak datang secara tiba-tiba. Oleh karena itu, suatu aturan perpajakan harus dapat dipahami sejarah perkembangannya hingga saat ini.

(3)

d. Penafsiran Sistematis

Tafsiran sistematis adalah penafsiran peraturan perpajakan dengan memerhatikan peraturan lain yang berkaitan dengan yang masih berhubungan. Hukum perpajakan yang terdiri atas Undang-undang sampai dengan keputusan Dirjen Pajak merupakan suatu kesatuan yang saling berhubungan secara logis sehingga penafsirannya harus dikaitkan antara peraturan yang satu dengan lainnya. Oleh karena itu, pemahaman seorang fiskus atau wajib pajak akan sangat ditentukan oleh penguasaannya di bidang perpajakan.

e. Penafsiran Teleologis atau Sosiologis

Penafsiran sosiologis adalah penafsiran atas suatu ketentuan dalam Undang-Undang yang disesuaikan dengan perkembangan kehidupan masyarakat. Hal tersebut dikarenakan kebutuhan manusia semakin meningkat dan selalu berubah menurut masanya, sedangkan bunyi undang-undang tetap dan tidak berubah. Oleh karena itu perlu adanya penyesuaian antara Undang - Undang yang sifatnya tertulis dengan perkembanggan (perubahan) kehidupan suatu masyarakat.

Contohnya di Indonesia masih banyak peraturan yang berlaku dan berasal dari zaman kolonial sehingga untuk menjalankan peraturan tersebut, hakim harus menyesuaikan dengan keadaan masyarakat pada saat ini.

f. Penafsiran Analogis

Penafsiran analogis merupakan penafsiran yang memberikan tafsiran pada peraturan hukum dengan mengibaratkan pada kata-kata tersebut sesuai dengan hukumnya.

Dengan demikian, suatu peristiwa yang sebenarnya tidak dimasukkan dianggap sesuai dengan peraturan tersebut.

Tafsiran analogis, yaitu penafsiran atas sesuatu peraturan dengan cara memperluas cakupan peraturan tersebut ke permasalahan yang sejenis, setara, atau analog yang tidak ada aturannya secara spesifik. Penafsiran cara ini akan bersifat ekstensif karena akan memperluas arti suatu peraturan.

Contoh penafsiran analogis dengan mengambil kata “penjualan” dijadikan menjadi

“pemindahan ketangan lain” (dari peraturan yang ada ditarik keperaturan ynag bersifat umum) selanjutnya kata “pemindahan ketanggan lain” ditarik suatu kesimpulan yang juga termasuk khibah, pemasukan harta (inbreng) dan wasiat.

g. Penafsiran a Contrario

Penafsiran a contrario adalah penafsiran undang-undang yang didasarkan atas pengingkaran, artiya berlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dengan soal yang diatur dalam suatu pasal dalam undang-undang. Berdasarkan pengingkaran ini ditarik kesimpulan bahwa masalah perkara yang dihadapi tidak termasuk pasal yang dimaksud, masalahnya berada di luar peraturan perundang-undangan.

(4)

Tafsiran a contrario dapat diartikan juga sebagai penafsiran suatu peraturan perpajakan dengan mendasarkan pada kebalikan atau perlawanan pengertian suatu masalah yang belum diatur dengan persoalan yang diatur secara tegas dalam ketentuan perpajakan.

3. Cara Menerapkan Metode Penafsiran

Hal pertama dalam melaksanakan penafsiran peraturan perundang-undangan adalah penafsiran gramatikal, karena untuk memahami teks peraturan perundang-undangan, kita harus dimengerti lebih dahulu arti katanya. Apabila perlu, dilanjutkan dengan penafsiran autentik atau penafsiran resmi yang ditafsirkan oleh pembuat undang- undang. Kemudian, dilanjutkan dengan penafsiran historis, penafsiran sistematis, penafsiran nasional, penafsiran teleologis atau sosiologis, penafsiran ekstensif, penafsiran restriktif, penafsiran analogis, dan penafsiran a contrario.

4. Asas-asas dalam Penyusutan Hukum Pajak

Asas-asas di dalam penyusunan hukum pajak, terdiri atas sebagai berikut.

a. Yuridis

Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 Pasal 23 ayat 2. Hal ini memberikan jaminan hukum untuk menyatukan keadilan, baik bagi negara maupun warganya.

b. Ekonomis

Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi ataupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat.

c. Finansial

Sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya

5. Manfaat Penafsiran Hukum Pajak

Selain memiliki tujuan keadilan, hukum pajak juga memiliki berbagai fungsi yang berdasarkan asas-asas ynag bertujuan menyejahterakan penduduknya.

Manfaat penafsiran kegunaan hukum pajak, yaitu sebagai berikut.

a. Sebagai acuan dalam menciptakan sistem pemungutan pajak yang harus memenuhi syarat keadilan, efisien, dan sederhana dalam undang-undang hukum pajak.

b. Sebagai sumber yang menerangkan tentang subjek ataupun objek yang perlu dan tidak perlu dijadikan sumber pemungutan pajak yang berfungsi untuk meningkatkan potensi pajak. Adapun hukum pajak berfungsi sebagai acuan dalam pembagian beban pajak kepada rakyat yang didasarkan pada kepentingan tiap-tiap orang.

c. Sebagai penjelas tentang penggunaan / pemanfaatan dai hasil pemungutan pajak, baik dalam memenuhi anggaran APBN serta APBD maupun memenuhi target perolehan pajak yang akan digunakan untuk kepentingan sosial dan kesejahteraan umum.

d. Hukum pajak juga memiliki fungsi dalam menetapkan kepastian yang berupa sanksi administrasi ataupun sanksi tata usaha, sanksi pidana berupa penjara ataupun kurungan

(5)

C. KETETAPAN PAJAK

1. Macam-Macam Ketetapan Pajak

Reformasi didalam manajemen keuangan negara diawali dengan diberlakukannya undang – undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan undang – undang No. 01 tahun 2004.

Paradigma baru pengelolaan keuangan negara sesuai dengan peraturan perundang- undangan di bidang keuangan negara meliputi :

• Undang - undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara,

• Undang - undang No. 01 tahun 2004 tentang Pembendaharaan Negara, dan

• Undang - undang No. 15 tahun 2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara

Berbagai produk hukum yang dapat diterbitkan direktorat jendral pajak dalam hal ini Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KPP/KPPBB) untuk mengetahui adanya kewajiban atau wajib pajak (WP) adalah berupa surat ketetapan pajak terdiri atas 6 (enam) macam yaitu:

a. Surat Tagihan Pajak (STP)

Surat tagihan pajak adalah surat yang diterbitkan untuk melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga atau denda.

surat tagihan pajak diatur dalam pasal 14 Undang- Undang No. 06 Tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.16 tahun 2000.

Surat tagihan pajak dapat diterbitkan dalam ha l- hal sebagai berikut:

• Apabila pajak penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;

• Apabila dari hasil penelitian surat pemberitahuan terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan salah hitung;

• Apabila wajib pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda atau bunga;

• Apabila pengusaha dikenakan pajak berdasarkan undang – undang PPN dan perubahannya tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kenak pajak (PKP);

• Apabila pengusa yang tidak dikukuhkan sebagai pengusaha kenak pajak tetapi memebuat faktur pajak;

• Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kenak pajak tidak membuat atau membuat factor pajak, tetapi tidak tepat waktu atau tidak mengisi selengkapnya faktor pajak;

Penerbit surat tagihan pajak akan ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan untuk paling lama 24 bulan dihitung sejak terutangnya pajak atau bagian tahun pajak atau tahun pajak sampai dengan diterbitknnya surat tagihan pajak.

(6)

b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)

SKPKB adalah surat ketetapan pajak yang diterbitkan untuk menentukan besarnya jumlah pokok pajak jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang harus dibayar.

SKPKB diatur dalam pasal 13 UU KUP yang dapat diterbitkan dalam jangka waktu 10 tahun sesudah terutangnya pajak, berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak yaitu hal - hal sebagai berikut:

• Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang bayar.

• Apabila surat pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan dan telah ditegur secara tertulis, tidak disampaikan juga seperti ditentukan dalam surat teguran.

• Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atas PPN dan PPnBM ternyata tidak seharusnya di konpensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenakan tarif 0%.

• Apabila wajib pajak tidak melakukan kewajiban pembukaan dan tidak memenuhi permintaan dalam pemeriksaan pajak, sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang.

Berdasarkan sistem yang dianut Undang - Undang perpajakan, bahwa seharusnya setiap wajib pajak, wajib membayar pajak yang terutang berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak.

Adanya batasan jangka waktu 10 tahun adalah batas waktu untuk menentukan adanya kepastian hukum dalam menerbitkan ketetapan pajak tersebut, artinya fiksus dalam kurun waktu 10 tahun diberi kesempatan untuk menerbitkan SKPKB sepanjang dalam pemeriksaan diketahui wajib pajak masih mempunyai utang pajak.

Bahkan SKPKB juga masih dapat diterbitkan oleh fiksus setelah lewat jangka waktu 10 tahun, ditambah sanksi bunga sebesar 48% dari jumlah yang tidak atau kurang dibayar, apabila diketahui wajib pajak tersebut terbukti telah melakukan tindak pidana dibidang perpajakan dan telah diputus oleh hakim serta mempunyai ketetapan hukum tetap (in kracht van gewijsde)

c. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)

SKPKBT adalah surat ketetapan pajak yang diterbitkan untuk menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan dalam SKPKBT.

SKPKBT diatur dalam pasal 15 UU KUP yang diterbitkan untuk menampung beberapa kemungkinan yang terjadi seperti :

• Adanya SKPKBT yang telah ditetapkan ternyata lebih rendah dari pada perhitungan yang sebenarnya.

(7)

• Adanya proses pengembalian pajak yang telah ditetapkan dalam SKPLB yang seharusnya tidak dilakukan.

• Adanya pajak terutang dalam surat ketetapan pajak nihil (SKPN) yang ditetapkan ternyata lebih rendah.

Penerbitan SKPKBT dilakukan apabila ditemukan data baru (movum) atau data yang semula belum terungkap yang dapat menyebabkan bayaran pajak yang terutang.

Penjelasan pasal 15 Undang-Undang KUP menegaskan apa yang dimaksud dengan data baru dan data yang semula belum terungkap yaitu bahwa data baru adalah data atau keterangan mengenai segala sesuatu yang diperlukan untuk menghitung besarnya jumlah pajak terutang yang oleh wajib pajak belum diberitahukan pada waktu penetapan semula, baik dalam surat pemberitahuan dan lampiran- lampirannya maupun dalam pembukuan perusahaan yang diserahkan pada waktu pemeriksaan.

Sedangkan data yang semula belum terungkap adalah data atau keterangan lain mengenai segala sesuatu yang diperlukan untuk menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang, yang menyangkut :

• Tidak diungkapkan oleh wajib pajak dalam surat pemberitahuan beserta lampirannya (termasuk laporan keuangan).

• Pada waktu pemeriksaan untuk penetapan semula wajib pajak tidak mengungkapkan data atau memberikan keterangan lain secara benar, lengkap, dan terinci sehingga tidak memungkinkan fiksus dapat menetapkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dengan benar dalam menghitung jumlah pajak yang terutang.

d. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)

SKPLB adalah surat ketetapan pajak yang diterbitkan untuk menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar dari pada pajak yang terutang atau tidak seharusnya terutang.

SKPLB diatur dalam pasal 17 Undang-Undang KUP yang diterbitkan untuk hal-hal sebagai berikut :

• Untuk pajak penghasilan (PPh), jumlah kredit pajak lebih besar dari jumlah pajak yang terutang atau telah dilakukan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.

• Untuk pajak pertambahan nilai (PPN) jumlah kredit pajak lebih besar dari jumlah pajak yang terutang, atau telah dilakukan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang. Apabila terdapat pajak terutang yang dipungut oleh pemungutan oleh PPN, maka yang dimaksud dengan jumlah pajak terutang adalah jumlah pajak pengeluaran setelah dikurangi pajak yang dipunggut oleh PPN tersebut.

• Untuk pajak penjualan atas barang mewah (PPnBN), jumlah pajak yang dibayar lebih besar dari jumlah pajak yang terutang atau telah dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terhutang.

(8)

SKPLB akan diterbitkan jika ada permohonan tertulis wajib pajak, kepada kantor pelayanan pajak (KPP) harus sudah menerbitkan SKPLB paling lambat 12 bulan sejak permohonan diterima kecuali kegiatan tertentu akan ditetapkan oleh direktur jendral pajak, apabila jangka waktu 12 bulan telah lewat, maka permohonan wajib pajak diterima dan wajib pajak berhak mwemperoleh pengembalian atas kelebihan pajaknya.

Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata pajak yang lebih dibayar pajaknya lebih besar dari kelebihan pembayaran pajak yang telah ditetapkan, maka SKPLB masih dapat diterbitkan lagi.

e. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)

SKPN, adalah surat ketetapan pajak yang diterbitkan untuk menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak SKPN ini diatur dalam pasal 17 A Undang-Undang KUP yang akan diterbitkan sebagai berikut:

• Untuk PPh, jumlah kredit pajak sama dengan pajak yang terutang atau pajak yang tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.

• Untuk PPN jumlah kredit pajak sama dengan jumlah pajak yang terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. Apabila ada terdapat pajak terutang yang dipunggut oleh pemunggut PPN, maka yang dimaksud dengan jumlah yang terutang adalah jumlah pajak keluaran setelah dikurangi degan pajak yang dipungut oleh pemungutan PPN tersebut.

• Untuk PPMBN jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang dan tidak ada pembayaran pajak.

f. Surat Pemberitahuan Pajak Terutanag (SPPT)

SPPT adalah yang diterbitkan oleh direktur jendral pajak untuk memeberitahukan besarnya pajak yang terutang kepada wajib pajak. SPPT merupakan dokumen yang berisi besarnya hutang atas pajak bumi dan bangunan yang harus dilunasi oleh wajib pajak pada waktu yang telah ditentukan. SPTT diterbitkan berdasarkan surat pemberi tahuan objek pajak (SPOP) dan telah disampaikan oleh wajib pajak atau berdasarkan data objek pajak yang telah ada dikantor pelayanan PBB.

SPPT diatur dalam pasal 10 ayat (1) Undang- Undang No.12 tahun 1994 tentang pajak bumi dan bangunan (PBB). SPTT harus dilunasi paling lambat enam bulan sejak tanggal diterimanya SPPT. Apabila SPTT tidak dilunasi, akan dikenakan sanksi denda administrasi sebesar 2% sebulan sejak dihitung dari saat jatuh tempo sampai hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 bulan.

2. Daluarsa Penetapan

Daluarsa penetapan merupakan suatu batasan waktu yang ditentukan Undang-Undang untuk dapat menerbitkan surat ketetapan pajak atas utang pajak wajib pajak, yang tujuannya agar wajib pajak memperoleh kepastian hukum atas hutang pajaknya.

(9)

Pasal 13 Undang - Undang KUP menetapkan daluarsa penetapan adalah selama sepuluh (10) tahun. Artinya, direktorat jendral pajak (fiskus) diberikan batas waktu sampai dengan sepuluh (10) tahun sesudah saat terutangnya pajak untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB).

Apabila dalam waktu sepuluh (10) tahun fiskus tidak memberikan SKPKB, maka penerbit SKPKB setelah lewat batas daluarsa penetapan tidak dapat lagi dilakukan dan atas hutang pajak wajib pajak menjadi daluarsa.

Namun demikian fiskus masih tetap dapat menerbitkan SKPKB sekalipun jangka waktu sepuluh (10) tahun yang telah lewat yaitu apabila wajib pajak setelah jangka waktu sepuluh (10) tahun tersebut dipidana karena melakukan tindak pidana dibidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (in cracht vandewijet).

EVALUASI PEMBELAJARAN

Setelah mempelajari materi Penafsiran Dalam Hukum Pajak Dan Ketetapan Pajak diatas, sebagai evaluasi pembelajaran jawablah pertanyaan berikut ini dengan jelas dan benar.

1. Jelaskan mengapa perlu adanya penafsiran (interpretasi) dalam hukum pajak 2. Jelaskan bagaimana pelaksanaan interpretasi dalam hukum pajak

3. Jelaskan produk hukum apa saja yang dapat diterbitkan direktorat jendral pajak dalam hal ini kantor pelayanan pajak atau kantor pelayanan pajak bumi dan banggunan (KPP/KPPBB) untuk mengetahui adanya kewajiban wajib pajak (WP) 4. Apabila batas waktu penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) sudah

habis, apakan fiskus masih tetap dapat menerbitkan SKPKB, jelaskan

(10)

1. Surat Tagihan Pajak (STP) 2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)

(11)

3. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) 4. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)

(12)

5. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) 6. Surat Pemberitahuan Pajak Terutanag (SPPT)

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara konformitas dengan kecenderungan gaya hidup hedonis pada hijabers community di kota

Bila populasi besar dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi, misalnya karena keterbatasan dana, tenaga dan waktu, maka peneliti dapat

agar para orang tua mendidik anak-anak mereka tanpa kekerasan dan hendaknya menggunakan pendekatan efektif untuk meningkatkan disiplin anak, dengan memberikan pengarahan

Secara patofisiologi pada hernia indirek, sebagian usus keluar melalui duktus spermatikus sebelah lateral dari arteri epigastrika inferior mengikuti kanalis inguinalis

Keikutsertaan guru IPA dalam penyusunan Program Kerja Laboratorium IPA dapat dilihat dari hasil kuesioner tampak guru-guru IPA di SMAN 1 Tambun Utara dan SMAN 2

Selain itu komunikasi interpersonal, guru juga memberikan contoh-contoh yang masuk akal ketika proses pembelajaran sehingga dapat menimbulkan keaktifan belajar

DESKRIPSI UNIT : Unit kompetensi ini berhubungan dengan pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja dalam mengembangkan inisiatif untuk mengambil tindakan secara

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa untuk kelompok siswa diajarkan melalui model pembelajaran TAI, hasil belajar matematika kelompok siswa yang diberi asesmen