• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERFORMANCE ASSESSMENT BASED LEARNING PROBLEM ON MODELS TEAM ASSISTED INDIVIDUALIZATION (TAI)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERFORMANCE ASSESSMENT BASED LEARNING PROBLEM ON MODELS TEAM ASSISTED INDIVIDUALIZATION (TAI)"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Evaluasi Pendidikan Vol. 2 No. 2, Oktober 2011, 193-205 http://doi.org/10.21009/JEP

PERFORMANCE ASSESSMENT BASED LEARNING PROBLEM ON

MODELS TEAM ASSISTED INDIVIDUALIZATION (TAI)

Roeth A. O. Najoan

Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Manado Matani II, Tomohon Tengah, Tomohon

ruthnajoan@yahoo.co.id DOI: doi.org/10.21009/JEP.022.07

Abstract

The study examined the effects of instructional Team Assisted Individualization (TAI) models and assessment performance based on problems on the elementary school students’ previous knowledge on Mathematics by controlling the first students’ competency. The method of the study was experimental method with factorial design 2 x 2. The population was 128 students in Grade 4 in Elementary School Students in Tomohon City. The findings showed that: there was an interaction effect between assessment performances based on problems and instructional TAI models after controlling the students’ previous knowledge. The result of the students’ achievement in which the students were given the assessment problems solving by using TAI was higher than the result of the classical instructional models, after controlling the students’ previous knowledge. The result of the students in which the students applied group classical instructional models was higher than the students with assessment performance problem solving after controlling the students previous.

Keywords: instructional models, performance assessment, students’ achievement in mathematic, students’ previous knowledge

(2)

ASSESMEN KINERJA BERBASIS MASALAH PADA MODEL

PEMBELAJARAN TEAM ASISTED INDIVIDUALIZATION (TAI)

Roeth A. O. Najoan

Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Manado Matani II, Tomohon Tengah, Tomohon

ruthnajoan@yahoo.co.id

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran Team Assisted Individualization (TAI) dan asesmen kinerja berbasis masalah terhadap hasil belajar Matematika siswa SD dengan mengontrol kemampuan awal atematika siswa Penelitian dilakukan menggunakan desain faktorial 2 x 2 dengan sampel eksperimen dipilih melalui random selection 128 siswa kelas IV Sekolah Dasar di Kota Tomohon. Hasil penelitian menunjukkan terdapat pengaruh interaksi antara asesmen kinerja berbasis masalah dan model pembelajaran terhadap hasil belajar matematika dengan mengontrol kemampuan awal. Pada kelompok siswa yang diberi asesmen pemecahan masalah, hasil belajar matematika siswa yang belajar dengan model pembelajaran TAI lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran klasikal setelah mengontrol kemampuan awal matematika. Untuk kelompok siswa yang belajar melalui model pembelajaran klasikal, hasil belajar matematika kelompok siswa yang diberi asesmen kinerja pengajuan masalah lebih tinggi dari kelompok siswa yang diberi asesmen kinerja pemecahan masalah setelah mengontrol kemampuan awal matematika siswa.

Kata kunci: model pembelajaran, asesmen kinerja, hasil belajar Matematika,

kemampuan awal siswa

PENDAHULUAN

Matematika salah satu cabang ilmu pengetahuan yang diperlukan membantu memahami dan menguasai ilmu pengetahuan lain. Hadi (2005: 5) menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi yang dicapai saat ini banyak ditunjang oleh penemuan dalam bidang matematika. Untuk menguasai matematika diperlukan suatu proses pembelajaran yang terarah dan sistematik agar pembelajaran dapat mengkonstruksi suatu pengetahuan. Sejalan dengan pandangan konstruktivisme bahwa belajar matematika merupakan proses yang menjadikan siswa secara aktif mengkonstruk pengetahuan matematika. Hal ini sesuai dengan tujuan utama pembelajaran matematika di sekolah adalah untuk mempersiapkan siswa menghadapi perubahan dunia yang dinamis dengan menekankan pada penalaran logis, rasional, dan kritis. Pengajaran matematika bertujuan memberikan keterampilan kepada siswa supaya mampu menggunakan penalaran matematika dalam memecahkan berbagai masalah dalam berbagai

(3)

bidang dan kehidupan sehari-hari. Sebagai salah satu ilmu pasti yang mengkaji abstraksi ruang, waktu, angka, merumuskan gagasan-gagasan atau konsepkonsepnya kedalam bahasa lambang dan angka untuk mendeskripsikan realitas alam semesta serta secara deduktif konsepnya menetapkan sebuah sistem pengukuran tertentu yang berkenaan dengan angka-angka dan keruangannya yang berguna dalam kehidupan kita dan ilmu lainnya (Aziz, 2010).

Romizowski (1981: 5) menyatakan hasil belajar diperoleh dalam bentuk pengetahuan dan keterampilan. Pengetahuan menunjukkan pada informasi yang tersimpan dalam pikiran, sedangkan keterampilan menunjukkan kepada aksi atau reaksi yang dilakukan seseorang dalam mencapai suatu tujuan. Hasil belajar dapat dihubungkan dengan terjadinya perubahan suatu tingkah laku seseorang dalam kecenderungan dengan kecakapan dan keterampilan dalam proses pertumbuhan.

Untuk mencapai hasil belajar yang sesuai dengan tujuan pembelajaran matematika, guru perlu melakukan evaluasi terhadap cara mengajarnya. Dalam pembelajaran matematika siswa tidak hanya menerima tetapi mengkonstruk pengetahuan. Cara mengkonstruksi pengetahuan matematika dapat dilakukan dengan berbagai aktifitas pembelajaran dan dapat diterapkan dalam kehidupan siswa. Guru yang beraliran konstruktivistime berupaya mengelola keragaman dalam penataan lingkungan belajar agar siswa termotivasi. Orientasi pembelajaran tidak bersifat teacher centered ataupun student centered, konstruktivisme memposisikan kesetaraan guru dan siswa dalam proses pembelajaran. Kurikulum matematika yang dipakai di sekolah-sekolah saat ini menuntut pembelajaran yang berpusat pada siswa. Sebagaimana yang diungkapkan pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Pemilihan model pembelajaran yang tepat diharapkan mampu merubah tingkat kognitif dari mengingat atau menghafal kearah berpikir dan pemahaman. Selain itu situasi belajar diharapkan mengalami perubahan dari belajar individual ke belajar kooperatif (Hadi, 2005: 3). Model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk merancang kurikulum, bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas (Rusman, 2010: 133). Model pembelajaran merupakan pola umum yang terdiri dari urutan kegiatan, metode dan media untuk menyusun suatu materi pembelajaran dengan mengkondisikan siswa belajar secara efektif guna mencapai tujuan yang ditetapkan.

Model pembelajaran Team Assisted Individualization (TAI) merupakan salah satu model pembelajaran kooperatif yang dikembangkan oleh Slavin untuk mengadaptasi pengajaran terhadap perbedaan individual berkaitan dengan

(4)

kemampuan maupun prestasi siswa. Slavin (2005: 4), para siswa memasuki kelas dengan pengetahuan, kemampuan, dan motivasi yang sangat beragam. Saat guru menyampaikan materi besar kemungkinan ada siswa mudah memahami dan ada siswa yang sulit memahami. Model pembelajaran TAI merupakan usaha merancang bentuk pengajaran individual yang dapat mengatasi masalah metode pengajaran individual yang tidak efektif. TAI melibatkan siswa bekerja dalam timtim pembelajaran kooperatif dan bertanggung jawab menyelesaikan tugas secara bersama-sama, saling membantu dalam menghadapi masalah, serta saling memotivasi untuk dapat memahami materi yang diajarkan. Pada model pembelajaran TAI setiap individu siswa belajar materi yang sudah dipersiapkan guru. Hasil belajar individual dibawa ke kelompok untuk didiskusikan dan dibahas oleh anggota kelompok dan anggota kelompok bertanggung jawab atas keseluruhan jawabannya. Hal ini berbeda dengan model klasikal yang mengasumsikan bahwa siswa memiliki kesamaan dalam hal kemampuan awal atau kemampuan prasyarat, minat, kepentingan, dan kecepatan belajar.

Asesmen kinerja menitik beratkan pada proses. Asesmen kinerja memberi kesempatan siswa untuk mewujudkan kinerja yang ditunjukkan melalui unjuk kerja, tingkah laku, atau interaksi siswa. Selain itu, asesmen kinerja merupakan pemahaman terbaik berupa respon siswa dari yang paling sederhana sampai yang paling kompleks. Asesmen kinerja merupakan salah satu bentuk asesmen yang meminta siswa untuk menunjukkan kinerja sehingga dapat diketahui pengetahuannya serta menuntut siswa untuk aktif karena penilaian bukan hanya produk, tetapi yang lebih penting adalah keterampilan yang mereka punyai.

Silver dan Cai (1996: 523) mengemukakan istilah “pengajuan masalah” pada tiga bentuk kognitif matematis: (1) sebelum mengajukan solusi, yaitu suatu pengembangan masalah awal dari suatu situasi stimulus yang diberikan, (2) saat pengajuan solusi, yaitu merumuskan kembali masalah agar menjadi mudah untuk diselesaikan, dan (3) setelah pengajuan solusi, yaitu memodifikasi tujuan atau kondisi dari masalah yang sudah diselesaikan untuk merumuskan masalah baru. Penulis memilih bentuk pertama yang akan dilakukan dalam penelitian ini dengan pertimbangan bentuk kedua dan ketiga lebih merupakan bagian dari pemecahan masalah. Dalam pembelajaran matematika, pemecahan masalah memiliki arti khusus, yaitu menyelesaikan soal cerita. Strategi sederhana dalam memecahkan masalah matematika mengacu pada empat langkah Polya dalam Hudojo dan Sutawidjaja (1996: 158), yaitu: (1) memahami masalah, (2) memilih strategi, (3) melaksanakan strategi, dan (4) memeriksa kembali. Dalam penilaian strategi pemecahan masalah maka butir tes disusun untuk tiap langkah sehingga memuat seluruh proses pemecahan masalah.

Pengetahuan dan keterampilan awal akan memberikan kemudahan dalam mengerjakan kegiatan yang dilakukan. Kegiatan belajar akan berjalan dengan baik jika terdapat unsur-unsur yang identik atau berkaitan antara kegiatan yang pernah dilakukan siswa dengan kegiatan baru dihadapinya. Gredler (2008: 16) berpendapat efektifitas pembelajaran dipengaruhi perbedaan

(5)

individu seperti kemampuan kognitif dan tingkat kemampuan belajar dan kemampuan awal. Kemampuan awal adalah pengetahuan dan keterampilan sebagai bagian integral yang dimiliki seseorang. Keterampilan awal berupa pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk mengawali pembelajaran.

Kemampuan awal merupakan kemampuan untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran dan prasyarat sebelum siswa mempelajari pengetahuan yang lebih tinggi. Pandangan ini sejalan dengan Reigeluth (1983: 88) mengatakan bahwa kemampuan awal adalah seluruh kompetensi pada level dasar yang seharusnya telah dikuasai sebelum siswa memulaikan rangkaian pembelajaran. Hal serupa dikemukakan Gagne dan Briggs (1979: 9) yang menyatakan pengetahuan awal dapat diidentifikasikan sebagai informasi atau pengetahuan faktual siswa. Pengetahuan faktual tersebut berupa hal yang pernah dipelajari oleh siswa, Kemampuan awal dibagi dalam dua tipe yaitu kemampuan awal esensi dan kemampuan awal pendukung. Kemampuan awal esensi ditemukan dalam analisis tugas bagian-bagian kemampuan awal esensi merupakan bagian dari keseluruhan keterampilan sedangkan kemampuan awal pendukung adalah kemampuan awal yang mungkin membantu dalam mempelajari suatu yang baru. Gredler (2008: 32) menyatakan bahwa dasar kemampuan awal berada satu dengan lainnya dalam proses pembelajaran.

Hasil penelitian Kadir (2005: 237), menyimpulkan bahwa pengaruh faktor asesmen kinerja berbasis masalah terhadap metakognitif dan hasil belajar matematika bergantung kepada faktor model pembelajaran. Sementara itu Silver dan Cai (1996: 528) dalam penelitiannya menemukan bahwa dari 1465 respon yang diberikan oleh responden, terdapat 70% respon berupa masalah matematika, 10% pertanyaan non matematika, dan 20% pernyataan dan dari 90% soal yang dirumuskan responden dapat diselesaikan sesuai dengan situasi yang diberikan. Penelitian lainnya Haerulsyam (2008) menyimpulkan bahwa problem solving dalam pembelajaran matematika dapat membantu siswa memahami materi.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode eksperimen faktorial 2 x 2 dengan perlakuan dua faktor yaitu Asesmen Kinerja Berbasis Masalah (AKBM) yang terdiri dari pengajuan masalah dan pemecahan masalah, sedangkan model pembelajaran yang terdiri atas model pembelajaran TAI dan Model Pembelajaran Klasikal (MPK).

Variabel dalam penelitian ini terdiri dari: 1) Variabel bebas meliputi: (a) asesmen kinerja berbasis masalah dan (b) model pembelajaran; 2) variabel terikat adalah hasil belajar matematika siswa. Variabel bebas asesmen kinerja berbasis masalah terdiri dari dua bentuk, yakni: (1) pengajuan masalah, dan (2) pemecahan masalah sedangkan variabel bebas model pembelajaran terdiri dari: (1) model pembelajaran TAI, dan (2) model pembelajaran klasikal. Sebelum

(6)

pelaksanaan eksperimen terlebih dahulu dilakukan pengukuran kemampuan awal matematika kepada siswa kelompok perlakuan. Oleh karena itu kemampuan awal matematika siswa dinyatakan sebagai variabel kovariat.

Tabel 1. Desain Penelitian Model Pembelajaran

(B1)

Asesmen Kinerja Berbasis Masalah (A)

Pengajuan Masalah (A1) Pemecahan Masalah (A2)

Model TAI (B1) A1B1 A2B1

Model Klasik (B2) A1B2 A2B2

Populasi penelitian adalah seluruh SD di Kota Tomohon Sulawesi Utara dan populasi terjangkaunya seluruh siswa kelas IV SD GMIM IV, SD GMIM I dan SD Katolik V. Pengambilan sampel dilakukan dengan simple random sampling dan terpilih empat kelas yaitu ; kelas IV A dan IV B SD GMIM, kelas IV SD GMIM I dan kelas IV SD Katolik

Instrumen tes menggunakan tes pilihan ganda dengan 25 butir soal dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,79. Pengujian hipotesis dilakukan dengan teknik analisis kovarian (ANKOVA).

HASIL PENELITIAN

Hasil ANKOVA tersebut kemudian dilanjutkan dengan Uji Tukey untuk mengetahui perbedaan rata-rata hasil belajar matematika dengan hasil sebagai berikut:

Tabel 2. Hasil ANKOVA dengan Uji F tentang Perbedaan Rerata Hasil Belajar Matematika

(Y) Setelah Mengontrol Kemampuan Awal (X)

Sumber Variansi JK db RJK Fhitung

Ftabel α=0,05 Kovariat X Antar A Antar B Interaksi A*B Kekeliruan Total direduksi 4075,244 112,698 124,072 350,577 4446,658 8886,367 1 1 1 1 123 127 4075,244 112,698 124,072 350,577 36,152 112,726 3,117 3,432 9,697* 3,92

Hasil analisis pengujian hipotesis 1 menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan hasil belajar matematika antara kelompok siswa yang diberi asesmen kinerja pengajuan masalah dengan kelompok siswa yang diberi asesmen kinerja pengajuan masalah setelah mengontrol kemampuan awal siswa.

Hasil analisis pengujian hipotesis 2 menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan hasil belajar matematika antara kelompok siswa yang diberi model pembelajaran TAI dan kelompok siswa yang diberi model pembelajaran klasikal.

(7)

Hasil analisis pengujian hipotesis 3 menunjukkan bahwa terdapat pengaruh interaksi antara asesmen kinerja berbasis masalah dan model pembelajaran terhadap hasil belajar matematika setelah mengontrol kemampuan awal matematika setelah mengontrol kemampuan awal siswa.

Pengujian dilanjutkan dengan menggunakan uji Tuckey sebagimana tabel berikut:

Tabel 3. Hasil Uji Tuckey

Pengujian Q Hitung F

α= 0,05

A1B1 dan A2B1 -25,34 -1,66

A1B1 dan A1B2 6,456 1,66

A1B1dan A2B1 -6,748 -1,66

A1B2 dan A2B2 26,049 1,66

Hasil analisis pengujian hipotesis 4 menunjukkan bahwa untuk kelompok siswa yang diberi asesmen kinerja pengajuan masalah, terdapat perbedaan hasil belajar matematika antara kelompok siswa yang diberi model pembelajaran TAI dan model pembelajaran klasikal setelah mengontrol kemampuan awal matematika siswa. Pada kelompok siswa yang diberi asesmen kinerja pengajuan masalah, hasil belajar matematika siswa yang belajar melalui model TAI mempunyai rata-rata dikoreksi sebesar 66,15. Sedangkan hasil belajar kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran klasikal mempunyai rata-rata dikoreksi 71,36. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa untuk kelompok siswa yang diberi asesmen kinerja pengajuan masalah, hasil belajar matematika yang belajar melalui model pembelajaran TAI lebih rendah dibanding dengan kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran klasikal.

Hasil analisis pengujian hipotesis 5 menunjukkan bahwa hasil belajar siswa yang diberi asesmen kinerja pemecahan masalah terdapat perbedaan yang signifikan antara siswa yang belajar dengan model TAI dan siswa yang belajar dengan model klasikal setelah mengontrol kemampuan awal matematika siswa. Untuk kelompok siswa yang diberikan asesmen kinerja pemecahan masalah, hasil belajar matematika siswa kelompok yang belajar dengan model pembelajaran TAI mempunyai rata-rata dikoreksi sebesar 71,36 sedangkan hasil belajar matematika siswa kelompok yang belajar dengan model klasikal mempunyai nilai ratarata dikoreksi sebesar 66,20. Dengan demikian dapat disimpulkan untuk kelompok siswa yang diberi asesmen pengajuan masalah, hasil belajar matematika siswa yang diajar dengan model pembelajaran TAI lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok siswa yang diajar dengan model pembelajaran klasikal setelah mengontrol kemampuan awal matematika siswa.

Hasil analisis pengujian hipotesis 6 menunjukkan untuk kelompok siswa yang diajar dengan model pembelajaran TAI tidak terdapat perbedaan hasil belajar matematika siswa antara kelompok yang diberi asesmen kinerja

(8)

pengajuan masalah dengan kelompok siswa yang diberi asesmen kinerja pemecahan masalah setelah mengontrol kemampuan awal siswa. Untuk kelompok siswa yang diajarkan melalui model pembelajaran TAI, hasil belajar matematika siswa yang diberi asesmen kinerja pengajuan masalah mempunyai rata-rata dikoreksi sebesar 66,15 sedangkan hasil belajar matematika siswa kelompok yang diberi asesmen kinerja pemecahan masalah mempunyai rata-rata sebesar 67,53. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa untuk kelompok siswa diajarkan melalui model pembelajaran TAI, hasil belajar matematika kelompok siswa yang diberi asesmen kinerja pengajuan masalah lebih rendah dari kelompok siswa yang diberi asesmen kinerja pemecahan masalah setelah mengontrol kemampuan awal matematika siswa.

Hasil pengujian hipotesis 7 menunjukkan bahwa untuk kelompok siswa yang diajarkan melalui model pembelajaran klasikal, terdapat perbedaan hasil belajar matematika siswa antara kelompok yang diberi asesmen kinerja pengajuan masalah dengan kelompok siswa yang diberi asesmen kinerja pemecahan masalah setelah mengontrol kemampuan awal siswa. Untuk kelompok siswa yang belajar melalui model pembelajaran klasikal, hasil belajar matematika kelompok siswa yang diberi asesmen kinerja pengajuan masalah mempunyai rata-rata dikoreksi sebesar 71,36, sedangkan hasil belajar matematika siswa kelompok yang diberi asesmen kinerja pemecahan masalah mempunyai rata-rata dikoreksi sebesar 66,20. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa untuk kelompok siswa diajarkan melalui model pembelajaran TAI, hasil belajar matematika siswa kelompok yang diberi asesmen kinerja pengajuan masalah lebih tinggi dari kelompok siswa yang diberi asesmen kinerja pemecahan masalah setelah mengontrol kemampuan awal matematika siswa.

PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukan bahwa hasil belajar matematika siswa dalam kelompok asesmen kinerja pengajuan masalah lebih tinggi dari kelompok siswa yang diberi asesmen kinerja pemecahan masalah, setelah mengontrol kemampuan awal matematika siswa. Hal ini menunjukan bahwa asesmen kinerja berbasis masalah mengarahkan kemampuan siswa menghadapi masalah-masalah yang ada dalam kehidupan dimana siswa berada, sehingga asesmen kinerja berbasis masalah membuat pembelajaran lebih relevan dengan kehidupan siswa. Asesmen kinerja berbasis masalah selalu didasarkan pada partisipasi aktif siswa sehingga tugas-tugas yang diberikan pada siswa tidak terpisahkan dari keseluruhan proses pembelajaran. Dengan kata lain melalui asesmen kinerja berbasis masalah siswa yang lebih berkompeten memiliki kemampuan lebih baik dalam memahami dan memecahkan masalah-masalah yang ada disekitarnya.

Asesmen kinerja berbasis masalah melatih siswa untuk dapat berpikir secara logis dan dapat mengkomunikasikan ide-idenya dengan jelas. Sedangkan asesmen kinerja pengajuan masalah bertujuan membentuk siswa untuk

(9)

mengkonstruksi sebanyak mungkin soal atau pertanyaan dari situasi atau tugas yang diberikan sehingga inti dari asesmen kinerja pengajuan masalah adalah penilaian kinerja siswa dalam membuat soal matematika yang dapat diselesaikan baik dengan menggunakan informasi baru maupun tanpa informasi baru. Suatu pertanyaan matematika dapat diselesaikan, jika pertanyaan itu memuat informasi yang cukup dari tugas yang ada untuk diselesaikan. Pertanyaan matematika yang dapat diselesaikan dengan informasi baru yang dihasilkan siswa dapat dibuat siswa berdasarkan kemampuannya menambahkan informasi atau mengadakan data baru yang dapat dihubungkan dengan tugas semula. Pertanyaan atau soal matematika yang dapat diselesaikan tanpa informasi baru yaitu pertanyaan atau soal yang dibuat siswa jika konstruksi pertanyaan matematika itu hanya menggunakan informasi yang ada pada tugas pengajuan masalah.

Disamping itu asesmen kinerja pengajuan masalah memuat suatu penilaian yang meminta siswa untuk mendemonstrasikan dan mengaplikasikan pengetahuan ke dalam berbagai macam konteks. Penilaian ini biasanya digunakan untuk menilai kualitas soal atau pertanyaan yang dihasilkan sebagai hasil kerja siswa dalam menyelesaikan suatu tugas (situasi) yang diberikan. Kualitas soal dinilai dari aspek struktur bahasa dan struktur matematika. Dari aspek struktur bahasa, soal yang dibuat siswa dinilai dari bentuk soal yang mengandung informasi baru maupun tidak mengandung informasi baru. Dari aspek struktur matematika, pertanyaan (soal) yang dibuat siswa dinilai dari banyaknya kombinasi operasi aritmatika yang digunakan dalam soal tersebut. Menurut Silver (1996: 294), makin banyak hubungan yang digunakan dalam suatu pertanyaan (soal) maka tingkat kesulitannya makin tinggi. Untuk itu penilaian kinerja pengajuan masalah menjadi sangat penting bagi guru untuk mengamati perkembangan belajar siswa.

Penelitian juga menunjukan hasil belajar matematika siswa dalam kelompok yang diajarkan dengan model pembelajaran TAI lebih rendah dari siswa dalam kelompok yang diajarkan melalui model pembelajaran klasikal, setelah mengontrol kemampuan awal matematika siswa. Hal ini menunjukan bahwa pada proses pembelajaran di kelas masih banyak menggunakan model klasikal dimana guru secara aktif mengajarkan matematika, kemudian memberikan contoh dan latihan. Kondisi ini menjadikan siswa berfungsi sebagai mesin karena siswa hanya duduk mendengar, mencatat, dan mengerjakan latihan yang diberikan guru. Disamping itu dalam pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran secara TAI belum terlaksana secara maksimal.

Penelitian ini juga menggambarkan adanya pengaruh yang signifikan antara faktor asesmen kinerja berbasis masalah dengan faktor model pembelajaran setelah mengontrol kemampuan awal matematika siswa. Hal ini menunjukan bahwa perbedaan hasil belajar matematika siswa setelah mengontrol kemampuan awal matematika siswa ditentukan oleh tingkat

(10)

asesmen kinerja berbasis masalah dan tingkat model pembelajaran. Artinya, pengaruh interaksi akan bermakna jika dilakukan pada efek dari setiap tingkat perlakuan.

Temuan penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa untuk siswa yang diberikan asesmen kinerja pengajuan masalah, terdapat perbedaan yang signifikan hasil belajar antara siswa yang belajar dengan model pembelajaran TAI, dengan siswa yang belajar dengan model klasikal. Pengalaman belajar pada prosedur accepting dan challenging pada asesmen kinerja pengajuan masalah melalui model pembelajaran klasikal memberikan pengalaman belajar yang lebih menguntungkan. Selain itu dalam pembelajaran klasikal siswa dapat membuat soal yang terselesaikan karena mendapat arahan-arahan dari gurunya. Semakin banyak arahan yang diberikan guru, maka akan semakin banyak soal yang dapat diselesaikan oleh siswa. Dari aspek struktur matematika, siswa merasa termotivasi untuk membuat soal dengan beberapa kombinasi operasi hitung. Soal yang dibuat siswa melalui model pembelajaran TAI umumnya mengandung struktur bahasa dan struktur matematika yang rendah. Hal ini disebabkan dalam proses pembelajaran yang diawali dengan belajar sendiri siswa hanya mampu membuat soal berdasarkan situasi yang ada. Saat siswa menambahkan informasi baru, ia akan menghubungkan pengalaman pribadinya sendiri. Akibatnya, kualitas soal yang dibuat tergantung pada banyak tidaknya pengalaman dari setiap siswa. Selanjutnya dalam pelaksanaaan diskusi kelompok, siswa yang dianggap pandai saja yang lebih mendominasi penyusunan soal. Siswa yang merasa diri kurang pandai hanya mengikuti dan menulis soal yang disepakati. Hal ini menyebabkan kualitas soal yang dibuat kelompok rendah.

Pada siswa yang diberikan asesmen kinerja pemecahan masalah hasil belajar matematika antara siswa yang diajar dengan model pembelajaran TAI lebih tinggi dari siswa yang diajar dengan model pembelajaran klasikal. Keberhasilan siswa yang diberikan asesmen kinerja pemecahan masalah dengan model pembelajaran TAI adalah siswa mendapat kesempatan berfikir dan bekerja bersama dengan teman-teman kelompok untuk membahas apa yang sudah dapat mereka temukan maupun yang belum mereka temukan pada saat bekerja sendiri. Disamping itu para siswa akan merasa lebih yakin akan pendapatnya setelah mereka mencocokannya dengan jawaban teman-teman lainnya pada saat berada dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 4 sampai 5 orang.

Pada siswa yang diajar dengan model pembelajaran TAI, hasil belajar matematika siswa yang diberi asesmen kinerja pengajuan masalah lebih rendah dari siswa yang diberi asesmen kinerja pemecahan masalah. Hal ini menunjukan bahwa dalam pembelajaran TAI, penggunaan asesmen kinerja pemecahan masalah lebih efektif dari pada asesmen kinerja pengajuan masalah. Kondisi ini menjelaskan bahwa asesmen kinerja pemecahan masalah yang memberi kesempatan siswa untuk memahami situasi yang ada dalam tugas dan mendiskusikannya dalam kelompok, sejalan dengan ciri khusus model

(11)

pembelajaran TAI yang memberi kesempatan siswa mempelajari materi secara individual.

Sedangkan pada siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran klasikal hasil belajar matematika siswa yang diberi asesmen kinerja pengajuan masalah lebih tinggi dari siswa yang diberi asesmen kinerja pemecahan masalah. Hal ini disebabkan oleh pembelajaran klasikal yang mendukung asesmen kinerja pengajuan masalah yang memberi peluang kepada siswa untuk mengajukan pertanyaan matematika baik yang mengandung informasi baru atau tidak. Temuan penelitian ini juga menunjukan bahwa kinerja pengajuan masalah siswa berada pada respon pertanyaan matematika yang dapat diselesaikan. Kemampuan siswa merumuskan pertanyaan yang terselesaikan ini menunjukan bahwa tingkat pemahaman, dan kualitas penguasaan konsep-konsep matematika yang diajarkan. Oleh karena itu, asesmen kinerja pengajuan masalah lebih efektif bila digunakan dalam pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran klasik.

Berdasarkan temuan penelitian, guru dalam melaksanakan pembelajaran matematika menjadi subyek penentu segalanya dalam proses pembelajaran matematika, sedangkan siswa hanya menjadi obyek. Dalam proses pembelajaran klasikal siswa hanya belajar angka-angka akibatnya siswa tidak mengerti tujuan dari materi yang sedang dipelajari. Hal tersebut terindikasi saat siswa diminta untuk mengungkapkan kembali apa yang sudah dipelajarinya siswa hanya diam karena tidak dilatih untuk bereksplorasi menyelesaikan masalah matematika. Selain itu dalam proses pembelajaran matematika hampir tidak pernah dijumpai pembelajaran matematika yang mengaitkan secara langsung dengan kehidupan dunia nyata.

Rendahnya kualitas soal yang dibuat oleh siswa yang belajar dengan model pembelajaran TAI menunjukkan bahwa proses pembelajaran yang diawali dengan belajar sendiri siswa hanya mampu membuat soal berdasarkan situasi yang ada. Akibatnya, kualitas soal yang dibuat tergantung pada banyak tidaknya pengalaman dari setiap siswa.

Keberhasilan siswa yang diberikan asesmen kinerja pemecahan masalah dengan model pembelajaran TAI adalah siswa mendapat kesempatan untuk berpikir dan bekerja bersama dengan teman-teman kelompok untuk membahas apa yang sudah dapat mereka temukan maupun yang belum mereka temukan pada saat bekerja sendiri. Selain itu siswa akan merasa lebih yakin akan pendapatnya setelah mereka membandingkan dengan jawaban teman-teman lainnya pada saat berada dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 4 sampai 5 orang. Sebaliknya, siswa yang belajar melalui model pembelajaran klasikal siswa yang belum mampu menyelesaikan soal akan berdiam diri menunggu jawaban dari teman-teman lain. Dalam proses pembelajaran klasikal siswa yang pendiam kurang diberi kesempatan untuk mengkomunikasikan pengetahuan yang sudah dimilikinya.

(12)

Pengalaman belajar yang diberikan secara klasikal akan mendukung asesmen kinerja pengajuan masalah karena dapat memberi peluang kepada siswa untuk mengajukan pertanyaan matematikanya baik yang mengandung informasi baru maupun yang tidak mengandung informasi baru. Melalui pembelajaran model klasikal siswa mendapat arahan-arahan dan bimbingan dari guru untuk memahami tugas dan menfokuskan pertanyaan yang dapat dirumuskan pada pertanyaan matematika yang terselesaikan. Akibatnya, pertanyaan-pertanyaan non matematika dapat dibuang.

Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian kinerja pengajuan masalah siswa berada pada respon pertanyaan matematika yang dapat diselesaikan. Kemampuan siswa merumuskan pertanyaan menunjukkan bahwa tingkat pemahaman dan kualitas penguasaan konsep-konsep matematika yang diajarkan. Hal ini membuktikan bahwa asesmen kinerja pengajuan masalah lebih efektif bila digunakan dalam pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran klasikal.

SIMPULAN

Terdapat pengaruh interaksi antara asesmen kinerja berbasis masalah dengan model pembelajaran terhadap hasil belajar matematika setelah mengontrol kemampuan awal siswa. Pada pembelajaran matematika, siswa yang dikenakan asesmen kinerja pengajuan masalah, lebih baik menggunakan model pembelajaran klasikal daripada model pembelajaran TAI; siswa yang dikenakan asesmen kinerja pemecahan masalah, lebih baik menggunakan model pembelajaran TAI daripada model pembelajaran klasikal; siswa yang diajarkan dengan model TAI, lebih baik menggunakan asesmen pemecahan masalah daripada asesmen pengajuan masalah; siswa yang diajarkan model pembelajaran klasikal lebih baik menggunakan pengajuan masalah daripada asesmen kinerja pemecahan masalah.

DAFTAR PUSTAKA

Aziz, Abdul. (2010). Hakekat Kebenaran Matematika. http://www. Matematika.blogspot.com.

Gagne, Robert M., Leslie J. Briggs, dan Walter W. Wager. (1992). Principles of Instructional Design. Orlando: Harcourt Brace Jovanovich College Publisher. Gredler, Margaret E. (2008). Learning and Instruction: Theory into Practice. New

York: Mac Millan International.

Hadi, Sutarto. (2005). Pendidikan Matematika Realistik dan Implikasinya. Banjarmasin: Tulip.

(13)

Hudojo, H dan A. Sutawidjaja. (1996). Matematika. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud.

M. Kadir. (2005). “Pengaruh Asesmen Kinerja Berbasis Masalah dan Model Pembelajaran Terhadap Metakognisi dan Hasil Belajar Siwa SMU.” Disertasi. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta.

Reigeluth, C. M. (1982). Instruction Design Theoris and Models. Lawrence Erelbaum Associates Publishers.

Romiszowski, A. J. (1981). Designing Instructional Systems: Decision Making in Course Planning and Curriculum Design. New York: Nichols Publishing Company.

Rusman. (2011). Model-model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Silver, Edward A., dan Jinfa Cai. (1996). "An Analysis of Arithmetic Problem Posing By Middle School Students." Journal for Research in Mathematics Education. Vol. 27.

Slavin, Robert E. (2005). Cooperative Learning: Theory, Research and Practice. London: Allymand.

Syam, Haerul. (2008). A Problem Posing Approach That Have Cooperative Instuctional Background to Increase Mathematics Instructional Effectiveness.http://karya-ilmiah.UM.Gc.id/index.pht/disertasi/article/view /B63.

Gambar

Tabel 2. Hasil ANKOVA dengan Uji F tentang Perbedaan Rerata Hasil Belajar Matematika  (Y) Setelah Mengontrol Kemampuan Awal (X)

Referensi

Dokumen terkait

Kadar zat terbang dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut :. Kadar zat terbang = k5?k6 k5 x

Penerapan Model Inkuiri Untuk Meningkatkan Keterampilan Gerak Dasar Bermain Sepakbola SMP Negeri 1 Losari.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Dari hasil p enelitian y ang telah dilakukan dap at ditarik kesimp ulan: Pertama, bahwa melih at dari berbagai asp ek korp orasi dap at dijadikan subjek delik dalam

Pertama, pada pola tumpangsari terjadi persaingan antar tanaman, yang terlihat pada saat jagung disisipi kedelai varietas Burangrang dan Lokon yang tidak ditambah

Sehubungan dengan telah berakhirnya masa sanggah terhadap Pengumuman Pemenang Seleksi Sederhana Nomor : 602.1/08/POKJA-PK.III/LEBANG/VIII/2016, tanggal 16 Agustus 2016 untuk paket

86 Siti Arbainah 4052760662210113 Sejarah Kebudayaan Islam MIS DURIAN LUNJUK Hulu Sungai Tengah ASRAMA HAJI BANJARBARU. 87 Ichsan Sugiharto 8460758659200012 Sejarah Kebudayaan Islam

Berdasarkan hasil prosentase yang didapatkan dari pengujian User Acceptence Test menggunakan kuisioner untuk pengguna yaitu para admin di Rumah sakit Telogorejo,

Wijoyo, Y., 2004, Efek Hepatoprotektif Sari Umbi Wortel (Daucus carota L.) pada Tikus Jantan Terinduksi Parasetamol : Kajian terhadap Lama Masa Praperlakuan,