• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Kalkulus Subgingiva Dan Ketinggian Tulang Alveolar Pada Perokok Kretek Dan Sigaret - The Differences Of Subgingival Calculus And Alveolar Bone Height In Cigarette And Kreteks Smokers.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perbedaan Kalkulus Subgingiva Dan Ketinggian Tulang Alveolar Pada Perokok Kretek Dan Sigaret - The Differences Of Subgingival Calculus And Alveolar Bone Height In Cigarette And Kreteks Smokers."

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN KALKULUS SUBGINGIVA

Tujuan : Untuk mengetahui perbedaan deposit kalkulus subgingiva dan ketinggian tulang alveolar pada perokok kretek, perokok sigaret secara radiografis menggunakan Digital Orthopantomogram (OPG)/Panoramic.

Bahan dan Metoda : Subyek penelitian terdiri dari 3 kelompok, perokok sigaret (n=10), perokok kretek (n=10) dan bukan perokok (n=10). Pengukuran banyaknya kalkulus subgingiva dan ketinggian tulang alveolar dilakukan menggunakan foto Röntgen Orthopantomogram (OPG)/Panoramic Digital dengan sistem pemeriksa tersamar sepihak. Hasil pemeriksaan disajikan dalam rata-rata.

Hasil : Rata-rata banyaknya kalkulus subgingiva pada perokok kretek, perokok sigaret dan bukan perokok berturut-turut adalah 29,3%, 22,8% dan 10,1% sedangkan rata-rata ketinggian tulang pada perokok kretek, perokok sigaret dan bukan perokok, berturut-turut adalah 72.7%, 75,3% dan 83.1%.

Kesimpulan : Hasil penelitian memperlihatkan jumlah kalkulus subgingiva yang lebih banyak pada perokok dibandingkan bukan perokok dan proporsi tulang alveolar yang lebih rendah pada perokok dibandingkan bukan perokok. Sedangkan perokok kretek memiliki kalkulus subgingiva dan kerusakan tulang yang lebih parah dibandingkan perokok sigaret

Abstract

Objective : to study the differences of subgingival calculus and alveolar bone height in cigarette and kreteks smokers.

Materials and Methods : Subjects were divided into three groups, cigarette smokers (n=10), kreteks smokers (n=10) and non-smokers (n=10). The assessments of subgingival calculus and alveolar bone height were made based on Orthopantomogram (OPG)/Panoramic Digital using examiner’s blinded. Results were presented as means.

Results : Means subgingival calculus load in cigarette, kreteks and non-smokers were 29.2%, 22.8% and 10.1%, respectively, while means alveolar bone height were 72.7%, 75.3% and 83.1%, respectively.

Conclusion : The present study shows more subgingival calculus load and lower alveolar bone height in smokers compared to non-smokers. In addition, kreteks smokers had more prevalence of subgingival calculus and more severe alveolar bone loss compared to cigarettes smokers.

*Dibiayai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, PDM #

Bagian Periodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran +

(2)

PENDAHULUAN

Merokok sigaret telah lama dianggap sebagai faktor resiko dalam terjadinya

berbagai penyakit gigi dan mulut, termasuk periodontitis. Kedalaman probing,

kehilangan perlekatan klinis, kehilangan tulang alveolar dan tanggalnya gigi-geligi

pada usia dini telah dilaporkan lebih prevalen dan lebih parah pada individu perokok

dibandingkan pada bukan perokok (Chen et al. 2001, van der Weijden et al. 2001,

Albandar 2003, Natto et al. 2005). Merokok sigaret juga dihubungkan dengan

kalkulus supra- dan subgingiva. Bergström (1999, 2004) menunjukkan adanya

hubungan yang kuat dan independen antara merokok sigaret dan tingkat akumulasi

deposit kalkulus supra- dan subgingiva. Secara signifikan, terdapat peningkatan

deposit kalkulus supra- dan subgingiva pada perokok sigaret, dibandingkan pada

bukan perokok dan mantan perokok.

Kalkulus subgingiva adalah faktor retentif plak yang diyakini lebih berbahaya

dalam menimbulkan periodontitis dibandingkan kalkulus supragingiva (Christensson

et al. 1992), selain itu Albandar et al. (1998) melaporkan bahwa gigi dengan kalkulus

subgingiva cenderung untuk mengalami kehilangan perlekatan periodontal yang lebih

parah dibandingkan gigi tanpa kalkulus subgingiva; sedangkan ketinggian tulang

alveolar merupakan indikator untuk mengukur kehilangan tulang (Jansson dan

Lavstedt 2002, Bergström 2004b) sebagai dampak negatif merokok yang dapat

menimbulkan kegoyangan dan hilangnya gigi.

Bertolak belakang dengan fakta-fakta yang membuktikan merokok sigaret sebagai

faktor resiko penyakit periodontal, penelitian pada suatu populasi dewasa di

perkebunan teh Malabar, Jawa Barat, Indonesia, mengungkapkan bahwa merokok

tidak dapat dihubungkan dengan perkembangan periodontitis (van der Velden et al.

2006). Demikian juga pada penelitian selanjutnya, pada populasi yang sama,

merokok tidak terbukti berhubungan dengan keparahan hilangnya perlekatan klinis

jaringan periodontal (Amaliya et al. 2007). Penemuan-penemuan ini tidak sesuai

dengan hasil-hasil penelitian yang telah disebutkan pada artikel ini. Hipotesis yang

dikemukakan oleh peneliti (van der Velden et al. 2006, Amaliya et al. 2007) untuk

(3)

merokok kretek, bukan merokok sigaret. Dilihat dari komposisinya, rokok kretek

mengandung minyak cengkeh yang memiliki daya antimikroba kuat (Kalemba dan

Kunicka 2003), yang mungkin dapat mengkompensasi efek negatif tembakau pada

jaringan periodontal. Berdasarkan penelitian Fowles (2004), di Indonesia perokok

kretek lebih dominan dan lebih banyak ditemukan daripada perokok sigaret. Namun,

selama ini penelitian mengenai merokok lebih banyak terpusat pada pengaruh

merokok sigaret, sementara penelitian mengenai merokok kretek yang telah

dipublikasikan baru sebatas hubungannya dengan karies (Soetiarso 1999)

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi perbedaan deposit kalkulus

subgingiva dan ketinggian tulang alveolar pada perokok kretek dan perokok sigaret

secara radiografis menggunakan Digital Orthopantomogram (OPG)/Panoramic.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional. Subyek yang dipilih adalah

pasien yang datang ke Rumah Sakit Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran Gigi

Universitas Padjadjaran, jl. Sekeloa Selatan no. 1 Bandung.

Sampel dibedakan berdasarkan status merokok : perokok kretek (n=10), perokok

sigaret (n=10) dan bukan perokok (n=10). Paparan terhadap rokok dibagi ke dalam :

konsumsi rokok (batang rokok/hari), lamanya merokok (sudah berapa tahun merokok),

dan lifetime exposure, yaitu banyaknya konsumsi rokok dan lamanya merokok (batang

rokok per hari X berapa tahun lamanya merokok) [Bergström 2004a).

Berdasarkan konsumsi merokok, perokok dikategorikan menjadi :

1) Perokok berat (≥ 10 batang per hari),

2) Perokok ringan (< 10 batang per hari)

Lamanya merokok dibagi menjadi :

1) 1-10 tahun,

2) > 10 tahun.

Lifetime exposure dibagi menjadi :

1) 1-200 batang rokok-tahun

2) > 200 batang rokok-tahun (Bergström, 2004).

(4)

Pengukuran banyaknya kalkulus subgingiva dan ketinggian tulang alveolar

dilakukan menggunakan foto Röntgen Orthopantomogram (OPG)/Panoramic Digital

(EPX-IMPLA, 2006, Korea).

Seluruh gigi kecuali gigi molar ke tiga dimasukkan dalam pemeriksaan. Untuk

pencatatan kalkulus subgingiva, skor 0 berarti tidak terlihat deposit radiopak, sedangkan

skor 1 berarti terlihat deposit radiopak yang jelas. Hanya gambaran radiopak yang berada

di permukaan akar gigi sebelah apikal dari cemento-enamel junction yang dianggap

sebagai kalkulus subgingiva, sedangkan gambaran radiopak sebelah koronal dari

cemento-enamel junction diabaikan. Keparahan atau banyaknya kalkulus subgingiva

untuk setiap subyek penelitian, disebut sebagai beban kalkulus subgingiva, dihitung dari :

1) banyaknya sisi gigi yang terkena, dan

2) persentase banyaknya sisi gigi yang terkena dari keseluruhan sisi gigi yang

berisiko terkena kalkulus subgingiva.

Bone level (BL) atau ketinggian tulang didefinisikan sebagai tepi tulang yang terletak

paling koronal yang terdekat dengan ruang membran periodontal yang masih utuh dan

jelas terlihat. Panjang akar diukur dari cemento-enamel junction hingga ke apex dari sisi

mesial dan distal setiap gigi. Ketinggian tulang alveolar yang masih ada diukur dari BL

sampai ke apex pada sisi mesial dan distal setiap gigi. Kemudian perbandingan antara

ketinggian tulang alveolar dan panjang akar diukur dan dikali 100%. Tulang alveolar

dikategorikan rendah bila proporsi tulang alveolar : akar < 82% dan tinggi bila ≥ 82%

(Bergström 2004a).

Panjang akar = jarak dari cemento-enamel junction sampai dengan apex (dalam mm)

Tinggi tulang alveolar yang masih ada = jarak dari BL sampai dengan apex (dalam mm)

Proporsi tulang alveolar : akar = tinggi tulang alveolar yang masih ada X 100% panjang akar

Pengukuran hasil Röntgen dilakukan dengan sistem examiner blinded (pemeriksa

Röntgen tidak mengetahui status merokok subjek).

(5)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada penelitian ini didapatkan dari 30 subyek penelitian yang dibagi menjadi 3

kelompok, yaitu kelompok perokok sigaret (N=10), perokok kretek (N=10) dan bukan

perokok (N=10). Rentang usia subyek antara 18-55 tahun. Jumlah keseluruhan gigi yang

diperiksa adalah 746 gigi.

Pengukuran banyaknya kalkulus subgingiva dan ketinggian tulang alveolar dilakukan

menggunakan foto Röntgen Orthopantomogram (OPG)/Panoramic Digital

(EPX-IMPLA, 2006, Korea). Pengambilan foto Röntgen Orthopantomogram terstandardisasi

dilakukan operator yang sama. Sedangkan pengukuran hasil foto secara digital dilakukan

oleh salah seorang peneliti (FO) yang tidak mengetahui status merokok subyek yang

diperiksa.

N ♂ ♀ rata-rata usia (tahun)

Perokok Sigaret 10 10 - 32,5

Perokok Kretek 10 9 1 39,1

Bukan Perokok 10 1 9 23,6

Tabel 1. Jumlah subjek penelitian, jenis kelamin dan rata-rata umur menurut status Merokok

Berdasarkan konsumsi merokok, perokok dikategorikan menjadi perokok berat (B)

(≥10 batang per hari) dan perokok ringan (R) (< 10 batang per hari), lama merokok

dibagi menjadi 10 tahun dan > 10 tahun, sedangkan lifetime exposure dibagi menjadi

1-200 batang rokok-tahun dan > 1-200 batang rokok-tahun.

N B R 1-10 thn >10 thn 1-200 btg-thn > 200 btg-thn

Perokok sigaret 7 3 5 5 5 5

Perokok kretek 8 2 4 6 4 6

(6)

Berdasarkan kelompoknya, perokok kretek memiliki jumlah rata-rata gigi 21,5,

perokok sigaret 25,7 dan bukan perokok 27,4. Ketinggian tulang dalam persen

memperlihatkan perokok kretek memiliki ketinggian tulang terendah (72,77%)

dibandingkan kelompok perokok sigaret dan bukan perokok. Sementara beban kalkulus

subgingiva pada perokok kretek memperlihatkan beban terbesar dibandingkan kelompok

perokok sigaret dan bukan perokok (29,34%).

N Gigi Ketinggian Tulang Kalkulus Subgingiva

(%) (%)

Perokok Sigaret 25,7 75,31 22,82

Perokok Kretek 21,5 72,77 29.34

Bukan Perokok 27,4 83,12 10.16

Tabel 3. Persentase ketinggian tulang dan kalkulus subgingiva menurut status merokok.

PEMBAHASAN

Hasil penelitian ini adalah bahwa merokok dapat diasosiasikan dengan kehilangan

tulang yang lebih parah yang terukur dari ketinggian tulang alveolar pada foto Röntgen

Panoramik Digital (OPG) dan juga diasosiasikan dengan adanya kalkulus subgingiva

yang lebih banyak. Selain itu, perokok kretek memperlihatkan kehilangan tulang dan

beban kalkulus subgingiva yang lebih banyak dibandingkan perokok sigaret.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Chen et al. 2001, van der Weijden et al.

2001, Albandar 2003 dan Natto et al. 2005 bahwa kerusakan tulang alveolar lebih

prevalen dan lebih parah pada individu perokok dibandingkan bukan perokok. Selain itu,

terdapat peningkatan deposit kalkulus subgingiva pada perokok dibandingkan bukan

perokok (Bergström 1999, 2004).

Hal yang mengherankan, adalah bahwa perokok kretek memiliki kerusakan tulang

(7)

kretek mengandung minyak cengkeh, yang menurut Kalemba dan Kunicka (2003),

minyak cengkeh memiliki daya anti mikroba kuat, yang mungkin dapat mengkompensasi

efek negatif tembakau pada jaringan periodontal. Namun, pada penelitian ini, mungkin

kerusakan jaringan periodontal akibat tembakau dapat terakumulasi oleh banyaknya

konsumsi rokok per hari, terlihat dari lebih banyaknya perokok berat pada perokok kretek

dibandingkan perokok sigaret, serta lamanya merokok dan lifetime exposure yang lebih

besar pada kelompok perokok kretek dibandingkan perokok sigaret.

Penggunaan radiografi memberikan keuntungan untuk mengurangi bias, karena

pemeriksa tidak mengetahui kondisi mulut subjek secara klinis dan juga tidak mengetahui

status subyek yang sedang diperiksa radiografinya. Baik pada kelompok perokok sigaret

maupun kelompok perokok kretek memiliki rata-rata ketinggian tulang kurang dari 82%,

yang dikategorikan rendah (Bergström 2004a). Sedangkan kelompok bukan perokok

memiliki rata-rata ketinggian tulang lebih dari 82% yang berarti normal.

Sejauh ini belum ada hipotesa yang menerangkan mengapa kalkulus subgingiva lebih

banyak terdapat pada perokok dibandingkan bukan perokok. Kalkulus subgingiva terjadi

dari plak yang termineralisasi oleh kandungan kalsium dan fosfor pada cairan sulkus

gusi. Pembentukannya memiliki kesamaan dengan pengapuran yang terjadi pada bagian

tubuh yang lain, dan ternyata merokok merupakan faktor risiko utama terjadinya

kalsifikasi ektopik pada organ tubuh lain (Manger et al. 2002).

Kesimpulannya, pada penelitian ini, terbukti bahwa proporsi tulang alveolar

dibandingkan dengan panjang akar pada kelompok perokok lebih rendah dibandingkan

bukan perokok. Perokok kretek mengalami kehilangan tulang alveolar yang lebih parah

dibandingkan perokok sigaret. Kalkulus subgingiva lebih prevalen pada kelompok

perokok dibandingkan bukan perokok. Kelompok perokok kretek memiliki kalkulus

subgingiva lebih banyak daripada perokok sigaret.

Saran penulis adalah sebaiknya dokter gigi menyarankan setiap pasiennya untuk

berhenti merokok untuk mencegah kerusakan jaringan tulang alveolar yang lebih parah,

informasi mengenai bahaya merokok terhadap kesehatan gigi khususnya jaringan

periodontal sebaiknya lebih digalakkan dan dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai

keadaan jaringan periodontal pada perokok kretek dan perokok sigaret secara klinis dan

(8)

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi

Departemen Pendidikan yang telah memberikan dana penelitian ini, Dekan FKG

UNPAD, Ketua Lembaga Penelitian UNPAD dan segenap sivitas akademika FKG

UNPAD yang telah membantu terlaksananya penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Albandar, J.M. (2002) Global risk factors and risk indicators for periodontal diseases. Periodontology 2000 29, 177-206.

Albandar, J.M., Kingman, A., Brown, L., et al. (1998) Gingival inflammation and subgingival calculus as determinants of disease progression in early-onset periodontitis. Journal of Clinical Periodontology 25, 231.

Amaliya, Timmerman, M.F., Abbas, F., Loos, B.G., van der Weijden, G.A., van Winkelhoff, A.J., Winkel, E.G. & van der Velden, U. (2007) Java Project on Periodontal Diseases : the relationship between vitamin C and the severity of periodontitis. Journal of Clinical Periodontology 34, 299-304.

Bergström, J. (1999) Tobacco smoking and supragingival dental calculus. Journal of Clinical Periodontology 26, 541-547.

Bergström, J. (2004a) Tobacco smoking and subgingival dental calculus. Journal of Clinical Periodontology 32, 81-88.

Bergström, J. (2004b) Influence of tobacco smoking on periodontal bone height. Long-term observations and a hypothesis. Journal of Clinical Periodontology 31, 260-266.

Bergström, J. & Preber, H. (1986) The influence of tobacco smoking on the development of experimental gingivitis. Journal of Periodontal Research 21, 668-676.

Chen, X., Wolff, L., Aeppli, D., Guo, Z., Luan, W., Baelum, V. & Fejeskov, O. (2001) Cigarette smoking, salivary/gingival crevicular fluid cotinine and periodontal status. A 10-year longitudinal study. Journal of Clinical Periodontology 28, 331-339.

Christersson, L., Grossi, S., Dunford, R., Machtei, E. & Genco, R. (1992) Dental plaque and calculus. Risk indicators for their formation. Journal of Dental Research 71, 1425-1430.

Fowless, J. (2004) Novel tobacco products : health risk implications and internal concerns. www.ndp.govt.nz/tobacco/20040528_Novel-TobaccoProductsReport3revis.doc.

Jansson, L. & Lavstedt, S. (2002) Influence of smoking on marginal bone loss and tooth loss – a prospective study over 20 tears. Journal of Clinical Periodontology 29, 750-756.

Kalemba, D. & Kunicka, A. (2003) Antibacterial and antifungal properties of essential oils. Current Medical Chemistry 10, 813-829.

(9)

Soetiarso, F. (1999) The relationship between habitual clove cigarette smoking and specific pattern of dental decay in male bus drivers in Jakarta, Indonesia. Caries Research 33, 248-250.

van der Velden, U., Abbas, F., Armand, S., Loos, B.G., Timmerman, M.F., van der Weijden, G.A., van Winkelhoff A.J. & Winkel, E.G. (2006) Java Project on Periodontal Diseases : the natural development of periodontitis : risk factors, risk predictors and risk determinants. Journal of Clinical Periodontology 33, 540-548.

Gambar

Tabel 3. Persentase ketinggian tulang dan kalkulus subgingiva menurut status merokok.

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan respon siswa terhadap pembelajaran dengan pendekatan Cooperatif Learning dan hasil belajar siswa pada siklus 1 dan siklus II digunakan

Bab ini berisi penyajian dan pembahasan data yang telah didapat dari hasil penelitian, yang terdiri dari perbandingan perlindungan hukum pidana terhadap anak sebagai pelaku

Pada proses ini air dan katalis dialirkan arus listrik melalui 2 buah elektrodanya sehingga menghasilkan gas HHO (hydrogen hydrogen oksida) yang berfungsi sebagai

sesuai dengan hasil survei awal peneliti yang mendapatkan informasi bahwa pada SLB ABC TPI Medan terdapat anak Tunagrahita yang masih bersekolah dengan usia lebih 20

perdagangan orang ini. Aspek ini diatur dalam Pasal 59 sampai dengan Pasal 63.. Undang-undang No.21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana. perdagangan orang.

Berdasarkan hasil regresi logistik dan pembahasan yang dilakukan, maka diperoleh kesimpulan bahwa profitabilitas, ukuran Kantor Akuntan Publik, dan ukuran perusahaan

Berdasarkan hasil kajian di atas jelas terlihat bahwa klasifikasi fase retinopati diabetes menggunakan pendekatan eliminasi optic disc memberikan pengaruh yang sangat

Untuk kondisi load controlled, pipa yang dikenakan momen lentur, gaya aksial efektif dan overpressure internal harus didesain sehingga mememenuhi kondisi berikut untuk seluruh