• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBELAJARAN DENGAN SCIENTIFIC DEBATE UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI, PENALARAN, DAN KONEKSI MATEMATIS MAHASISWA DALAM KONSEP INTEGRAL.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PEMBELAJARAN DENGAN SCIENTIFIC DEBATE UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI, PENALARAN, DAN KONEKSI MATEMATIS MAHASISWA DALAM KONSEP INTEGRAL."

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBELAJARAN DENGAN SCIENTIFIC DEBATE

UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI,

PENALARAN, DAN KONEKSI MATEMATIS MAHASISWA

DALAM KONSEP INTEGRAL

DISERTASI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Persyaratan Memperoleh

Gelar Doktor Pendidikan dalam Pendidikan Matematika

Promovenda

Yani Ramdani

NIM. 0907657

SEKOLAH PASCASARJANA

(2)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul “Pembelajaran dengan

Scientific Debate untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi, Penalaran, dan

Koneksi Matematis Mahasiswa dalam Konsep Integral” ini beserta seluruh isinya

adalah benar-benar karya saya sendiri, dan saya tidak melakukan penjiplakan atau

pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku

dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung risiko/sanksi

yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran

terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini, atau ada klaim dari pihak lain terhadap

keaslian karya saya ini.

Bandung, 11 Januari 2013

Yang membuat pernyataan

(3)
(4)

ABSTRAK

Yani Ramdani (2012). Pembelajaran dengan Scientific Debate untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi, Penalaran, dan Koneksi Matematis Mahasiswa dalam Konsep Integral.

Penelitian ini mengkaji pengaruh pembelajaran dengan scientific debate terhadap peningkatan kemampuan komunikasi, penalaran, dan koneksi matematis mahasiswa. Desain penelitian adalah kuasi eksperimen dengan perbandingan kelompok statis yang melibatkan 96 mahasiswa Jurusan Pendidikan Matematika di kota Bandung. Instrumen penelitian meliputi pengetahuan awal mahasiswa (PAM), tes kemampuan komunikasi, penalaran, dan koneksi matematis serta bahan ajar. Data dianalisis dengan Mann-Whitney U, ANAVA dua jalur, dan Kruskal Wallis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan komunikasi dan penalaran matematis mahasiswa dengan scientific debate tidak berbeda secara signifikan dibandingkan dengan konvensional dan peningkatan kemampuan koneksi matematis berbeda secara signifikan. Ini berarti bahwa mahasiswa yang mengikuti pembelajaran dengan scientific debate memiliki peningkatan kemampuan koneksi matematis lebih baik dibandingkan secara konvensional. Tidak terdapat perbedaan rata-rata peningkatan kemampuan komunikasi dan koneksi matematis antara mahasiswa yang mengikuti pembelajaran dengan scientific debate dengan mahasiswa yang mengikuti pembelajaran secara konvensional yang didasarkan pada PAM. Tidak terdapat interaksi antara PAM dengan pendekatan pembelajaran terhadap peningkatan kemampuan komunikasi dan koneksi matematis. Rata-rata peningkatan kemampuan penalaran matematis pada mahasiswa dengan scientific debate yang didasarkan pada PAM tidak berbeda secara signifikan. Rata-rata peningkatan kemampuan penalaran matematis pada kelas konvensional yang didasarkan pada PAM berbeda secara signifikan. Pada pembelajaran scientific debate, perbedaan latar belakang pendidikan mahasiswa tidak memberikan efek yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan komunikasi, penalaran, dan koneksi matematis. Pada pembelajaran konvensional perbedaan latar belakang pendidikan mahasiswa memberikan efek yang signifikan. Mahasiswa yang berlatar belakang Sekolah Menengah Umum memiliki peningkatan kemampuan komunikasi, penalaran, dan koneksi matematis yang lebih baik dibandingkan dengan mahasiswa yang berlatar belakang yang berlatar belakang Madrasah Aliyah. Strategi pemecahan masalah yang dilakukan mahasiswa adalah menyelesaikan masalah secara algoritmik, memberikan argumen dengan: mendefinisikan simbol matematika; menguraikan alasan model matematika yang digunakan; menjelaskan ide, situasi, dan relasi matematika dari tabel atau grafik; menguraikan perubahan model matematika menjadi bentuk representasi matematis lainnya; menggambarkan masalah dalam bentuk tabel atau grafik; menyebutkan bidang ilmu lain yang terkait dengan masalah; menjelaskan konsep-konsep yang digunakan; dan membuat generalisasi. Kekeliruan mahasiswa tergolong: (1) Structural errors; (2) Arbitrary errors; atau (3) Executive errors.

(5)

ABSTRACT

Yani Ramdani (2012). Scientific Debate Instructional to Enhance Students’ Mathematical Communication, Reasoning, and Connection Ability in the Concept of Integral.

This study examines the effect of scientific debate instructional strategy on the enhancement of students’ mathematical communication, reasoning, and connections ability in the concept of Integral. This quasi-experimental study with a static group comparison design involves 96 students from Department of Mathematics Education in Bandung. Research instruments include student’ prior knowledge (PAM), a test of mathematical communication, reasoning and connection ability as well as teaching materials. The data are analyzed by using Mann-Whitney U test, two-way ANOVA and Kruskal-Wallis Test. The study finds that the students’ enhancement in mathematical communication and reasoning abilities in students with the scientific debate is not significantly different from that of the conventional instruction. Students’ mathematical connection ability that follows instruction with scientific debate strategy is better than that of students who follow the conventional instruction. There was no difference in the average rate of the increasing mathematical communication and connection skills of students between the interactions of PAM with learning approach. There is no interaction between instructional factors and PAM factors on the increasing mathematical communication and connection skills. The enhancement of student’ mathematical reasoning abilities with a scientific debate based on the PAM, it is not completely distinctive. On the other hand, the enhancement of students’ mathematical reasoning abilities with a conventional instruction based on the PAM was considerably different. On the scientific debate, students’ educational background differences do not give major effect on the enhancement mathematical communication, reasoning and connection ability but on the conventional instruction provides a better effect. This means that, the students with background of Senior High School have enhanced mathematical communication, reasoning, and connections ability better than compare to the students of the Islamic Senior High School. There are several strategies that the students take to solve the problem; first, the students elucidate the algorithmic problems and then they give the answer as an argument like defining mathematical symbols, mathematical models and describing the reason why they use it; explaining ideas, situations, and mathematical relationships of tables or graphs; portraying the mathematical model into other forms of mathematical representation; depicting the problem in the form of tables or graphs, mentioning other disciplines related to the matter, illustrating the concepts used and make generalizations. There are three major errors of students in this research. The researcher classified them into three groups (1) structural errors, (2) arbitrary errors, (3) executive errors.

(6)

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN PENGESAHAN

RIWAYAT HIDUP

PERNYATAAN……….

KATA PENGANTAR ………..

ABSTRAK ………

ABSTRACT ………..

DAFTAR ISI ……….

DAFTAR TABEL ……….

DAFTAR LAMPIRAN ……….

i ii vi vii x xi xii xiv xvii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ………. B. Rumusan Masalah ……….. C. Tujuan Penelitian ……… D. Manfaat Penelitian ……….. E. Definisi Operasional ………...

1 12 13 15 16 BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Aliran Konstruktivisme (Constructivism) ……….. B. Teori Belajar yang Mendukung Penelitian ………. C. Kemampuan Berfikir Matematis Tingkat Tinggi ……… D. Mengembangkan Kemampuan Berfikir Matematis Tingkat

Tinggi ………..

E. Pendekatan Pembelajaran untuk Meningkatan Kemampuan Berfikir Matematis Tingkat Tinggi ………... F. Model Pembelajaran Scientific Debate ………...

20 22 27 40 42 51 BAB III METODE PENELITIAN

A. Disain Penelitian ……….. B. Populasi dan Sampel ………... C. Variabel Penelitian ……….. D. Teknik Pengumpulan Data dan Teknik Analisis Data ………… E. Waktu Penelitian ………. F. Pengembangan Instrumen ………... G. Pengembangan Bahan Ajar ………. H. Prosedur Penelitian

55 56 57 57 62 62 86 90 BAB IV PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian

(7)

2. Perbandingan Kemanpuan Komunikasi, Penalaran, dan Koneksi Matematis Manurut Interaksi antara Model Pembelajaran dengan PAM ………... 3. Kemanpuan Komunikasi, Penalaran, dan Koneksi

Matematis Menurut Hubungan antara Model Pembelajaran dengan Latar Belakang Pendidikan Mahasiswa

……….

4. Strategi Penyelesaian Masalah oleh Mahasiswa …………... 5. Analisis Kesalahan, Kekeliruan, atau Kekurangan dan

Kesulitan Mahasiswa dalam Proses Penyelesaian Masalah ...

B. Pembahasan

1. Model Pembelajaran ………... 2. Pengetahuan Awal Matematis ……… 3. Latar Belakang Pendidikan Mahasiswa ……….

96

127 139

142

171 177 182

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ……….. B. Implikasi ………...

C. Rekomendasi ………

189 192 197

DAFTAR PUSTAKA ………... 199

(8)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1 Rancangan Anova Dua Jalur ……….. 60

Tabel 3.2 Matriks Rancangan Tes ………. 68

Tabel 3.3 Hasil Pertimbangan Instrumen Tentang Validitas Isi ……… 74

Tabel 3.4 Uji Hasil Pertimbangan Validitas Isi ………. 74

Tabel 3.5 Hasil Pertimbangan Instrumen Tentang Validitas Muka ……….. 75

Tabel 3.6 Uji Hasil Pertimbangan Validitas Muka ……… 75

Tabel 3.7 Pedoman Penskoran ………... 76

Tabel 3.8 Data Skor Mahasiswa Hasil Ujicoba Instrumen ……… 77

Tabel 3.9 Validitas Butir Soal ……… 79

Tabel 3.10 Tingkat Reliabilitas ……… 80

Tabel 3.11 Tingkat Kesukaran Soal ………. 80

Tabel 3.12 Klasifikasi Daya Pembeda ………. 81

Tabel 3.13 Daya Pembeda Soal ………... 81

Tabel 4.1 Uji Normalitas Skor PAM ………. 93

Tabel 4.2 Uji Homogenitas Varians Populasi Skor PAM ……….. 94

Tabel 4.3 Deskripsi Data PAM Kelas Eksperimen dan Kontrol …………... 94

Tabel 4.4 Uji-t Skor PAM ……….. 95

Tabel 4.5 Kelompok PAM Siswa berdasarkan Asal Sekolah ……… 96

Tabel 4.6 Peningkatan Kemampuan Komunikasi, Penalaran, dan Koneksi Matematis Mahasiswa ……… 97

Tabel 4.7 Uji Normalitas Skor Peningkatan Kemampuan Komunikasi, Penalaran, dan Koneksi Matematis ……… 98

Tabel 4.8 Deskripsi Data Peningkatan Kemampuan Komunikasi, Penalaran, dan Koneksi Matematis ……… 101

(9)

Tabel 4.10 Uji Mann-Whitney U Skor Peningktan Kemampuan Komuniksi, Penalaran, dan Koneksi Matematis ………

103

Tabel 4.11 Deskripsi Data Peningkatan Kemampuan Komunikasi,

Penalaran, dan Koneksi Matematis Mahasiswa Kelas Eksperimen berdasarkan PAM ……….. 105

Tabel 4.12 Deskripsi Data Peningkatan Kemampuan Komunikasi, Penalaran, dan Koneksi Matematis Mahasiswa Kelas Kontrol

berdasarkan PAM ……….. 106

Tabel 4.13 Uji Normalitas Skor Peningkatan Kemampuan Komunikasi, Penalaran, dan Koneksi Matematis Mahasiswa Kelas Eksperimen berdasarkan PAM ……….. 108

Tabel 4.14 Uji Normalitas Skor Peningkatan Kemampuan Komunikasi, Penalaran, dan Koneksi Matematis Mahasiswa Kelas Kontrol

berdasarkan PAM ……….. 109

Tabel 4.15 Uji Homogenitas Varians Populasi Skor Peningkatan

Kemampuan Komunikasi, Penalaran, dan Koneksi Matematis

Mahasiswa Kelas Eksperimen berdasarkan PAM ………. 113

Tabel 4.16 Kelompok Mahasiswa berdasarkan PAM dan Metode ………….. 115

Tabel 4.17 Deskripsi Data Peningkatan Kemampuan Komunikasi

berdasarkan PAM dan Metode ……….. 115

Tabel 4.18 ANOVA Skor Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis

berdasarkan PAM dan Metode ……….. 116

Tabel 4.19 Perbandingan Selisih Peningkatan Kemampuan Komunikasi

Matematis berdasarkan Pendekatan Pembelajaran dengan PAM... 117

Tabel 4.20 Homogeneous Subsets Peningkatan Kemampuan Komunikasi

Matematis ………... 118

Tabel 4.21 Deskripsi Data Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis

berdasarkan PAM dan Metode ……….. 120

Tabel 4.22 ANOVA Skor Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis

berdasarkan PAM dan Metode ……….. 122

Tabel 4.23 Perbandingan Selisih Peningkatan Kemampuan Koneksi

Matematis berdasarkan Pendekatan Pembelajaran dengan PAM .. 123

Tabel 4.24 Homogeneous Subsets Peningkatan Kemampuan Koneksi

Matematis ………... 123

Tabel 4.25 Rank Skor Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematis Kelas

(10)

Tabel 4.26 Uji Kruskal Wallis Skor Peningkatan Kemampuan Penalaran

Matematis Kelas Eksperimen ……… 126

Tabel 4.27 Rank Skor Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematis Kelas

Kontrol berdasarkan PAM ………. 126

Tabel 4.28 Uji Kruskal Wallis Skor Peningkatan Kemampuan Penalaran

Matematis Kelas Kontrol ……… 127

Tabel 4.29 Uji Normalitas Skor Peningkatan Kemampuan Komunikasi, Penalaran, dan Koneksi Matematis Mahasiswa Kelas

Eksperimen berdasakan Latar Belakang Pendidikan ………… 128

Tabel 4.30 Uji Normalitas Skor Peningkatan Kemampuan Komunikasi, Penalaran, dan Koneksi Matematis Mahasiswa Kelas Kontrol

berdasakan Latar Belakang Pendidikan ………. 129

Tabel 4.31 Uji Homogenitas Varian Populasi Skor Peningkatan Kemampuan Komunikasi, Penalaran, dan Koneksi Matematis Mahasiswa

Kelas Eksperimen berdasakan Latar Belakang Pendidikan …… 130

Tabel 4.32 Uji Homogenitas Varian Populasi Skor Peningkatan Kemampuan Komunikasi, Penalaran, dan Koneksi Matematis Mahasiswa

Kelas Kontrol berdasakan Latar Belakang Pendidikan …………. 131

Tabel 4.33 Deskripsi Data Peningkatan Kemampuan Komunikasi, Penalaran, dan Koneksi Matematis Mahasiswa Kelas

Eksperimen berdasakan Latar Belakang Pendidikan Mahasiswa. 133

Tabel 4.34 Rank Skor Peningkatan Kemampuan Komunikasi, Penalaran, dan Koneksi Matematis Mahasiswa Kelas Eksperimen

berdasakan Latar Belakang Pendidikan Mahasiswa ……… 134

Tabel 4.35 Uji Mann-Whitney U Skor Peningkatan Kemampuan Komunikasi, Penalaran, dan Koneksi Matematis Mahasiswa Kelas Kontrol berdasakan Latar Belakang Pendidikan

Mahasiswa ……… 135

Tabel 4.36 Deskripsi Data Peningkatan Kemampuan Komunikasi, Penalaran, dan Koneksi Matematis Mahasiswa Kelas Kontrol

berdasakan Latar Belakang Pendidikan Mahasiswa ……… 136

Tabel 4.37 Rank Skor Peningkatan Kemampuan Komunikasi, Penalaran, dan Koneksi Matematis Mahasiswa Kelas Kontrol berdasakan

Latar Belakang Pendidikan Mahasiswa ………... 137

Tabel 4.38 Uji Mann-Whitney U Skor Peningkatan Kemampuan Komunikasi, Penalaran, dan Koneksi Matematis Mahasiswa

(11)

Mahasiswa ……….

Tabel 4.39 Karakteristik Model Pembelajaran ……… 172

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A Lampiran A-1 Lampiran A-2 Lampiran A-3 Lampiran B Lampiran B-1 Lampiran B-2 Lampiran B-3 Lampiran B-4 Lampiran C Lampiran C-1 Lampiran C-2 Lampiran C-3 Lampiran C-4 Lampiran C-5 Lampiran C-6

Lembar Pertimbangan ……….

Hasil Pertimbangan Mengenai Validitas Isi dan Muka Tes Kemampuan Komunikasi, Penalaran, dan Koneksi

Matematis Mahasiswa………..

Data Hasil Uji Coba Soal Tes Kemampuan Komunikasi, Penalaran, dan Koneksi Matematis Mahasiswa …………..

Rencana Pembelajaran ………

Lembar Kerja Mahasiswa Pembelajaran Scientific Debate.

Lembar Observasi Pembelajaran Scientific Debate………..

Kisi-kisi dan Soal Kemampuan Komunikasi, Penalaran dan Koneksi Matematis Mahasiswa ………

Skor Pretes dan Postes Kemampuan Komunikasi

Matematis Mahasiswa Kelas Eksperimen ………..

Skor Pretes dan Postes Kemampuan Penalaran Matematis Mahasiswa Kelas Eksperimen ………

Skor Pretes dan Postes Kemampuan Koneksi Matematis Mahasiswa Kelas Eksperimen ………

Skor Pretes dan Postes Kemampuan Komunikasi

Matematis Mahasiswa Kelas Kontrol ……….

Skor Pretes dan Postes Kemampuan Penalaran Matematis Mahasiswa Kelas Kontrol ………...

Skor Pretes dan Postes Kemampuan Koneksi Matematis Mahasiswa Kelas Kontrol ………...

(12)

Lampiran C-7

Lampiran C-8

Skor PAM dan Asal Sekolah Kelas Eksperimen …………

Skor PAM dan Asal Sekolah Kelas Kontrol ………...

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah

Integral dan turunan adalah konsep yang penting dalam matematika. Integral

dan turunan merupakan dua operasi utama di dalam kalkulus. Prinsip-prinsip integral

diformulasikan oleh Isaac Newton and Gottfried Leibniz pada abad 17 dengan

memanfaatkan hubungan erat yang ada antara anti turunan dan integral tentu, yaitu

suatu hubungan yang memungkinkan kita untuk menghitung secara mudah nilai yang

sebenarnya dari banyak integral tentu tanpa perlu memakai jumlah Riemann.

Hubungan ini disebut teorema dasar kalkulus. Melalui teorema dasar kalukulus

mereka mengembangkan konsep integral yang dikaitkan dengan turunan. Sehingga

integral dapat didefinisikan sebagai anti turunan.

Definisi secara modern tentang integral dikemukakan oleh Riemann dengan

gagasan pertamanya adalah jumlah Riemann. Gagasan ini memunculkan kaitan antara

integral tentu dengan luas daerah. Secara umum, integral tentu menyatakan batasan

luas daerah yang tercakup di antara kurva y = f(x) dan sumbu-x dalam selang [a,b].

Luas bagian-luas bagian yang berada di bagian atas sumbu-x diberikan tanda positif,

sedangkan luas bagian-luas bagian yang berada di bagian bawah sumbu-x diberikan

tanda negatif.

Integral memiliki aplikasi yang luas dalam bidang sains dan industri. Sebagai

(14)

tertentu, penggunaan kecepatan pesawat ulang-alik Endeavour untuk menentukan

ketinggian yang dicapai pada waktu tertentu, penggunaan pengetahuan tentang

konsumsi energi untuk menentukan energi yang digunakan di suatu tempat pada suatu

hari. Selain itu, dalam beberapa bidang, integral juga digunakan untuk memecahkan

persoalan yang berkaitan dengan volume, panjang kurva, perkiraan populasi, keluaran

kardiak, gaya pada bendungan, usaha, surplus konsumen, bisbol, dan lain-lain.

Berdasarkan peta konsep integral, integral tak tentu diperoleh dari konsep

turunan. Turunan digunakan untuk mendefinisikan konsep anti turunan yang

menghasilkan sifat-sifat aljabar integral dan dengan teorema dasar kalkulus digunakan

untuk mendefinisikan integral tentu dan memunculkan sifat-sifat aljabar integral tentu.

Dari integral tentu dapat digunakan untuk mendefinisikan dan menghitung panjang,

luas, volume yang memuat juga konsep volume benda putar, usaha/kerja, momen, dan

pusat masa. Untuk menyelesaikan persoalan pada konsep integral tentu maka muncul

teknik pengintegralan yang bersifat integral parsial dan dengan menggunakan aturan

rantai maka muncul aturan substitusi yang mencakup juga substitusi trigonometri.

Di Perancis, konsep integral diperkenalkan pada siswa secondary education

(17 - 18) tahun, yang disajikan dalam bentuk definisi secara tradisional dalam bentuk

fungsi primitif. Pada tahun 1972, diperkenalkan integral kalkulus yang meliputi:

definisi jumlah Riemann untuk fungsi numerik dari variabel real pada interval

terbatas; teorema terintegrabel dari fungsi kontinu dan fungsi monoton. Setelah

reformasi tahun 1982, kembali lagi melihat integral sebagai fungsi primitif dan

sebagai daerah yang berada dibawah fungsi positif, serta memperkenalkan contoh

(15)

Di Indonesia, konsep integral diberikan pada siswa-siswa Sekolah Menengah

Atas (SMA) yang meliputi: (1) pengertian integral; (2) integral tak tentu; (3) integral

tertentu; (4) menentukan luas daerah; dan (5) menentukan volume benda putar. Untuk

tingkat Perguruan Tinggi, kalkulus integral merupakan bagian dari mata kuliah

Kalkulus, materi yang diberikan meliputi: (1) integral tentu sebagai pengabstrakan

berbagai permasalahan nyata; (2) definisi integral fungsi kontinu dengan aturan lima

langkah dan interpretasi setiap langkah; (3) perumusan bentuk integral untuk berbagai

situasi nyata; (4) aljabar integral: sifat kelinearan, integral pada suatu selang dan

integral pada sub selangnya; (5) pengertian fungsi primitif dan sifatnya. Integral suatu

fungsi sebagai fungsi batas atasnya, teorema dasar I dan II dalam kalkulus, primitif

suatu fungsi sebagai integral tak tentu, primitif dan integral tentu fungsi-fungsi

sederhana; (6) sifat kelinearan integral tak tentu, pengintegralan parsial, metode

substitusi sederhana; serta (7) teknik pengintegralan yang meliputi: metode substitusi,

substitusi trigonometri, integral fungsi rasional dengan menguraikan atas fungsi

rasional sederhana (partial fraction), integral fungsi trigonometri yang dijadikan

integral fungsi rasional, pengintegralan parsial.

Kemampuan integral yang diujikan untuk tingkat SMU dan sederajat adalah:

(1) menghitung integral tak tentu; (2) menghitung integral tertentu fungsi aljabar dan

fungsi trigonometri; (3) menghitung luas daerah; dan (4) menghitung volume benda

putar. Kemampuan yang diujikan tersebut, masih berkisar sekitar pemahaman konsep,

dan termasuk dalam kategori tingkat rendah dalam tingkat berfikir matematis tingkat

tinggi. Hal ini dicirikan dengan soal yang berbentuk: mengingat, menerapkan rumus

(16)

dalam kasus sederhana atau dalam kasus serupa. Menurut Polya kemampuan yang

diujikan ini termasuk pada: (1) pemahaman mekanikal yang dicirikan oleh mengingat

dan menerapkan rumus secara rutin dan menghitung secara sederhana dan (2)

pemahaman induktif, yaitu menerapkan rumus atau konsep dalam kasus sederhana

atau dalam kasus serupa. Kemampuan ini tergolong pada kemampuan tingkat rendah.

Padahal standar kompetensi lulusan (SKL) yang harus dicapai untuk konsep integral

adalah memahami konsep integral dari fungsi aljabar dan fungsi trigonometri serta

mampu menerapkannya dalam pemecahan masalah.

Walaupun kemampuan yang diujikan masih termasuk dalam kategori tingkat

rendah dan belum sesuai dengan SKL, namun beberapa hasil penelitian membuktikan

bahwa dalam tingkat rendah pun hasil belajar siswa untuk konsep integral ini masih

termasuk dalam kategori rendah dibandingkan dengan materi matematika lainnya.

Rendahnya kemampuan siswa dalam memahami konsep integral dikemukakan oleh

Orton (1983) bahwa nilai rata-rata hasil evaluasi untuk materi integral memiliki nilai

terendah, yaitu 1,895 untuk tingkat persekolahan dan 1,685 untuk tingkat perguruan

tinggi pada skala 0 s.d 4, dibandingkan dengan materi dalam Kalkulus yang lainnya

seperti: barisan, limit, dan turunan. Orton mengklasifikasi kesalahan siswa ke dalam

tiga kategori yaitu: (1) Structural errors: muncul dari beberapa kesalahan dalam

melihat hubungan-hubungan yang terlibat dalam masalah atau pada grafik beberapa

prinsip-prinsip yang penting untuk menyelesaikan masalah. (2) Arbitrary errors:

kesalahan tidak sesuai aturan atau muncul secara kebetulan dan kesalahan pada

mengambil perhitungan dari pembatas. (3) Executive errors: melibatkan

(17)

dipahami. Selain itu, kesulitan lain yang muncul melibatkan kesulitan tentang

penggunaan penyajian grafik yang relevan. Siswa biasanya dapat menghitung integral

dari fungsi polinomial secara benar dan berhasil untuk soal-soal yang berbentuk

tentukanlah atau hitunglah, tetapi untuk soal yang berupa aplikasi atau terapan pada

umumnya mereka kesulitan dalam membentuk model matematikanya. Serta sangat

minimnya siswa dalam memahami simbol yang digunakan.

Sabella dan Redish (2011) menyatakan bahwa kebanyakan mahasiswa di

perguruan tinggi pada kelas konvensional memiliki pemahaman yang dangkal dan

tidak lengkap tentang konsep dasar dalam kalkulus. Romberg and Tufte (1987)

menyatakan bahwa para mahasiswa memandang matematika sebagai kumpulan dari

konsep dan teknis yang statis untuk diselesaikan tahap demi tahap. Dalam

pembelajaran matematika, mahasiswa hanya diminta untuk menyelesaikan,

menggambarkan dalam bentuk grafik, menemukan, mengevaluasi, menentukan, dan

menghitung dalam suatu model yang sudah jelas. Mereka jarang ditantang untuk

menyelesaikan masalah-masalah matematika tingkat tinggi (Ferrini-Mundy 627).

Hasil uji coba UN 2010 yang diberikan kepada 879 siswa SMA di kota

Bandung menunjukkan bahwa siswa yang mampu menjawab benar untuk konsep

integral hanya 30,22%. Kondisi ini tentu saja belum mencapai ketuntasan secara

kelompok, artinya suatu pembelajaran dikatakan berhasil bila ketuntasan belajar siswa

secara kelompok mencapai 65%. Sedangkan hasil uji coba UN 2011 yang diikuti oleh

1578 siswa di kota Bandung, juga menunjukkan kemampuan siswa yang masih

rendah dalam konsep integral yaitu hanya 6,7% siswa yang mampu menjawab benar

(18)

Hal ini merupakan masalah yang cukup serius tentang pemahaman siswa SMA untuk

konsep integral. Kelemahan ini dapat dipandang dari berbagai aspek seperti: siswa,

guru, materi, dan pendukung lainnya.

Mempelajari kecenderungan pembelajaran matematika saat ini, penerapan

keempat pilar UNESCO, serta pentingnya penguasaan kompetensi matematika untuk

kehidupan peserta didik, tentu saja kondisi di atas sangat memprihatinkan khususnya

bagi siswa yang melanjutkan pendidikannya pada jurusan matematika.

Ketidaktuntasan siswa dalam materi integral tersebut tentu saja akan berdampak pada

perkuliahan Kalkulus. Padahal Kalkulus ini sangat terkait dengan mata kuliah lainnya

dan merupakan pondasi untuk mempelajari mata kuliah selanjutnya seperti: Persamaan

Differensial, Analisis Real, Aljabar, Statistika Matematika, juga untuk mata kuliah

lain yang bersifat aplikasi seperti Fisika dan Kimia. Adapun tujuan yang ingin dicapai

oleh mata kuliah Kalkulus adalah:

1. Pemahaman konsep dengan baik dan benar, meliputi: kemampuan

mengungkapkan konsep dengan benar dengan kata-kata sendiri, mampu

mengidentifikasi penerapan konsep yang benar dan yang salah, serta mampu

menginterpretasikan konsep dalam berbagai situasi sehingga mampu

menggunakannya dengan baik dan benar.

2. Penguasaan keterampilan teknis, yaitu kemampuan dalam berbagai manipulasi

matematika yang tepat.

3. Terbiasa berfikir logis (logical reasoning), meliputi: mampu dan terbiasa

(19)

dilakukan serta mampu dan terbiasa mempertanyakan sesuatu yang baru dan

berusaha mencari jawabannya dengan mengemukakan alasan yang logis.

Berdasarkan sasaran yang ingin dicapai tersebut, nampak bahwa kemampuan

mahasiswa untuk materi kalukulus ini harus sampai pada kemampuan berfikir tingkat

tinggi yang meliputi kemampuan pemahaman, pemecahan masalah, komunikasi,

penalaran, dan koneksi matematis. Tetapi proses pembelajaran Kalkulus masih

disajikan dalam bentuk konsep-konsep dasar, penjelasan konsep melalui contoh, dan

latihan penyelesaian soal. Proses pembelajaran tersebut pada umumnya dilaksanakan

sejalan dengan pola sajian seperti yang tersedia dalam buku rujukan. Proses

pembelajaran seperti ini lebih cenderung mendorong proses berfikir reproduktif

sebagai akibat dari proses penalaran yang dikembangkan lebih bersifat imitatif. Situasi

seperti ini kurang memberikan ruang untuk meningkatkan kemampuan berfikir tingkat

tinggi serta berfikir kritis dan kreatif bagi mahasiswa, karena mahasiswa cenderung

untuk menyelesaikan masalah integral dengan melihat contoh yang sudah ada,

sehingga ketika diberikan soal non rutin, mahasiswa kesulitan.

Pengembangan kemampuan berfikir matematika tingkat tinggi ini sangat

penting bagi mahasiswa karena dalam semua disiplin ilmu dan dalam dunia kerja

mensyaratkan seseorang untuk mampu: (1) Mengekrepresikan gagasan melalui bicara,

menulis, mendemonstrasikan, dan menggambarkan secara visual dalam berbagai

penyajian yang berbeda; (2) Memahami, menginterpretasikan, dan mengevaluasi

gagasan yang disajikan secara lisan, dalam bentuk tulisan, atau dalam bentuk visual;

(3) Mengkonstruksi, menginterpretasi, dan menghubungkan representasi yang berbeda

(20)

dugaan, memformulasikan pertanyaan, dan menarik kesimpulan serta mengevaluasi

informasi; dan (5) Menghasilkan dan menyajikan argumentasi-argumentasi yang

meyakinkan (Secretary’s Commission on Achieving Necessary Skills, 1991).

Kemampuan-kemampuan di atas erat kaitannya dengan kemampuan

komunikasi, penalaran, dan koneksi matematis. Dengan demikian, kemampuan

mahasiswa dalam berkomunikasi, bernalar, dan kemampuan melakukan koneksi

merupakan kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap mahasiswa.

Dalam pendidikan matematika, kemampuan berkomunikasi, bernalar, dan

melakukan koneksi merupakan kemampuan tingkat tinggi yang harus dimiliki oleh

mahasiswa untuk menyelesaikan masalah matematika dan masalah kehidupannya

yang dapat dialihgunakan pada setiap keadaan, seperti berfikir kritis, logis dan

sistematis. Hal ini sesuai dengan karakteristik matematika sebagai ilmu yang bernilai

guna yang tercermin dalam peran matematika sebagai bahasa simbolik serta alat

komunikasi yang tangguh, singkat, padat, cermat, tepat, dan tidak memiliki makna

ganda (Wahyudin, 2003). Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa matematika

mempunyai peranan yang sangat penting bagi pengembangan pola berfikir mahasiswa

baik sebagai representasi pemahaman terhadap konsep matematika, alat komunikasi,

maupun sebagai alat yang melayani bidang ilmu lainnya.

Melalui kemampuan komunikasi matematis, mahasiswa dapat saling bertukar

pengetahuan dan mengklarifikasi pemahamannya. Proses komunikasi tersebut

membantu mahasiswa membangun makna dan kelengkapan gagasan serta

menghindari miskonsepsi. Aspek komunikasi juga membantu mahasiswa untuk dapat

(21)

mahasiswa ditantang dan diminta berargumentasi untuk mengkomunikasikan hasil

pemikiran mereka kepada orang lain baik secara lisan maupun tertulis, maka

mahasiswa belajar untuk menjelaskan dan meyakinkan orang lain, mendengarkan

gagasan atau penjelasan orang lain, dan memberikan kesempatan kepada dirinya untuk

mengembangkan pengalamannya.

Komunikasi matematis bisa terjadi dua arah di mana gagasan matematika

dieksplorasi dari berbagai sudut pandang untuk membantu mahasiswa mempertajam

pemikiran dan membuat hubungan-hubungan (koneksi) serta menilai kebenaran

penyelesaian suatu masalah. Kondisi ini akan membantu mahasiswa mengembangkan

bahasa untuk mengemukakan gagasan matematika dan apresiasi akan kebutuhan

berbahasa secara tepat.

Selain kemampuan komunikasi, kemampuan lain yang harus dikembangkan

adalah kemampuan bernalar. Kemampuan bernalar seseorang dapat terlihat dari

kemampuannya mengatasi berbagai persoalan hidup. Seseorang dengan kemampuan

bernalar tinggi akan selalu mampu dengan cepat mengambil keputusan dalam

menyelesaikan berbagai persoalan dalam kehidupannya. Kemampuan ini didukung

oleh kekuatan daya nalarnya sehingga mampu menghubungkan fakta dan bukti untuk

sampai pada suatu kesimpulan yang tepat. Dengan demikian, pengembangan

kemampuan bernalar menjadi esensial bagi setiap mahasiswa, sebagai bekal agar

mampu melakukan analisis sebelum membuat keputusan dan mampu membuat

argumen untuk mempertahankan pendapat.

Dalam matematika, penalaran diistilahkan sebagai penalaran matematis yang

(22)

penalaran matematis tidak hanya diperlukan untuk menyelesaikan masalah yang

berkaitan dengan bidang matematika, tetapi juga diperlukan dalam menyelesaikan

persoalan yang dihadapi dalam kehidupan. Penalaran matematis diperlukan seseorang

ketika dihadapkan pada persoalan, di mana kita harus mengevaluasi argumen dan

menyeleksi beberapa solusi fisibel. Kondisi ini mengisyaratkan bahwa ketika

seseorang dihadapkan pada sejumlah pernyataan atau argumen yang berkaitan dengan

persoalan yang dihadapinya, kemampuan penalaran matematis diperlukan untuk

membuat pertimbangan atau mengevaluasi pernyataan tersebut sebelum membuat

keputusan. Dengan demikian, kemampuan matematis yang dimiliki seseorang tidak

hanya digunakan untuk tujuan perhitungan tetapi juga untuk memberikan argumentasi

atau mengklaim penyajian yang memerlukan kelogisan untuk meyakinkan bahwa cara

berfikir yang dilakukan adalah benar.

Kemampuan lain yang juga penting untuk dikembangkan bagi mahasiswa

adalah kemampuan untuk melakukan koneksi matematis. Kemampuan koneksi ini

akan nampak pula pada kemampuan mahasiswa dalam melakukan komunikasi dan

penalaran. Kemampuan koneksi matematis (mathematical connection) erat kaitannya

dengan pemahaman relasional. Pemahaman relasional menuntut seseorang untuk dapat

memahami lebih dari satu konsep dan melihat hubungan antara konsep-konsep

tersebut serta mampu merelasikannya. Sedangkan kemampuan koneksi matematis

adalah kemampuan seseorang untuk menghubungkan berbagai macam

gagasan-gagasan atau ide-ide matematis yang ada pada dirinya baik dalam bidang matematika

maupun dalam bidang lain serta dunia nyata. Dengan demikian, agar kemampuan

(23)

matematis juga harus dikembangkan. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa

dengan meningkatnya kemampuan koneksi matematis untuk menghubungkan antar

konsep dan ide-ide matematika maka kemampuan pemahaman relasional siswa

tersebut akan ikut bertambah.

Kemampuan matematika yang dikembangkan di atas, sesuai dengan

kompetensi matematika yang dikemukakan oleh Niss (dalam Kusumah, 2012:3) yaitu:

(1) Berfikir dan bernalar secara matematis (mathematical thinking and reasoning); (2)

Berargumentasi secara matematis (mathematical argumentation); (3) Komunikasi

matematis (mathematical communication); (4) Pemodelan (modeling); (5) Problem

possing dan problem solving; (6) Penyajian (representation); (7) simbol; dan (8) Alat

dan teknologi (tool and technology). NCTM (2000) telah mengidentifikasi bahwa,

kemampuan komunikasi, penalaran (reasoning), dan problem solving merupakan

proses yang penting dalam pembelajaran matematika dalam upaya menyelesaikan

masalah-masalah matematika. Kemampuan-kemampuan yang dimiliki mahasiswa

tersebut selanjutnya akan bermuara pada kemampuannya memecahkan masalah

kehidupan yang dihadapinya.

Kemampuan komunikasi, penalaran, dan koneksi matematis ini, hanya dapat

dicapai melalui pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan-kemampuan

khususnya dalam domain kognitif di samping kemampuan afektif dan psikomotor.

Penelitian Suryadi (2005) tentang pengembangan berfikir tingkat tinggi melalui

pendekatan tidak langsung, terdapat dua hal mendasar yang perlu mendapat

pengkajian serta penelitian lebih lanjut dan mendalam yaitu hubungan siswa-materi

(24)

mendorong terjadinya suatu aksi mental, proses pembelajaran harus diawali oleh

sajian masalah yang memuat tantangan bagi mahasiswa untuk berfikir. Selain itu

proses pembelajaran, juga harus dapat memfasilitasi mahasiswa untuk mengkonstruksi

pengetahuan atau konsep secara mandiri sehingga mahasiswa akan mampu

menemukan kembali pengetahuan (reinvention).

Salah satu model pembelajaran yang dapat memenuhi tuntutan di atas adalah

model pembelajaran scientific debate (debat ilmiah). Hal ini didukung oleh hasil

penelitian Legrand et al. (1986), yang mengungkapkan bahwa pengaruh dari

penerapan pembelajaran scientific debate dalam pembelajaran dapat memperbaiki

pemahaman mahasiswa dalam konsep integral pada saat ujian akhir. Hasil penelitian

lain, ditunjukkan oleh Alibert et al. (1987) bahwa penerapan scientific debate dalam

pembelajaran adalah mayoritas mahasiswa mencapai tingkat ketuntasan dalam

memahami konsep integral, selain itu mahasiswa dapat mengetahui bagaimana

mengeskplorasi pengetahuan mereka di mana penyelesaian secara algoritma tidak

diterapkan.

Model pembelajaran scientific debate mampu menciptakan nuansa

interaktivitas yang diharapkan dapat memunculkan collaborative learning, sehingga

peranan dosen dalam kelas tidak lagi dominan tetapi berfungsi sebagai fasilitor yang

akan berperan untuk mengarahkan dan membantu mahasiswa. Model pembelajaran

scientific debate ini berbasis teori belajar konstruktivisme. Dalam implementasi

pembelajarannya dicirikan antara lain: menganut model pembelajaran berbasis

masalah, berorientasi pada mahasiswa, dosen lebih berperan sebagai fasilitator,

(25)

(authentic assessment), serta mahasiswa dan dosen secara bersama-sama membentuk

suatu learning community.

Dalam penerapan model pembelajaran scientific debate, mahasiswa dilatih

untuk mengkomunikasikan pengetahuannya melalui debat, dan mahasiswa harus

mampu mempertahankan argumen yang dimilikinya sesuai dengan kebenaran dalam

konsep matematika. Kemampuan untuk berargumentasi ini akan memacu

mengembangkan kemampuan penalaran dan koneksi matematisnya, karena dengan

sendirinya mahasiswa harus mampu berfikir logis dan sistematis, serta mampu

mengaitkan berbagai konsep untuk mempertahankan argumentasinya. Hal ini sesuai

dengan teori konstruktivisme yang menyatakan bahwa pengetahuan diperoleh

mahasiswa, dimana mahasiswa mengkonstruksi pengetahuan sendiri melalui interaksi,

konflik, dan re-equilibration yang melibatkan pengetahuan matematika, mahasiswa

lain, dan berbagai persoalan. Interaksi diatur oleh dosen untuk mengambil

pilihan-pilihan persoalan yang mendasar. Teori belajar yang mendukung agar mahasiswa

mampu mengkonstruksi sendiri konsep atau pengetahuannya, menemukan kembali

(reinvention) dengan cara diskusi, berdebat, dan berbagi ide dengan temannya baik

pada kelompok kecil maupun dalam seluruh kelas dengan bimbingan dosen,

mengaitkan materi yang sedang dipelajari dengan pengetahuan yang telah ada pada

mahasiswa adalah teori belajar dari Piaget, Vygostky, Bruner, Ausubel, dan Dubinsky.

Untuk menunjang keberhasilan penerapan model pembelajaran scientific

debate dalam upaya meningkatkan kemampuan komunikasi, penalaran, dan koneksi

matematis mahasiswa, maka diperlukan suatu bahan ajar dan rencana pembelajaran

(26)

ajar serta rencana pembelajaran diperlukan penekanan-penekanan pada

mempertimbangkan materi matematika yang lebih bersifat pemecahan masalah,

menyadari adanya learning obstacles (hambatan pembelajaran), model pembelajaran

dengan scientific debate.

Berdasarkan kondisi di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji dan menganalisis

penerapan model pembelajaran scientific debate serta mengklasifikasi

kesulitan-kesulitan mahasiswa dalam mempelajari konsep integral dalam upaya meningkatkan

kemampuan komunikasi, penalaran, dan koneksi matematis. Adapun judul penelitian

yang dilakukan adalah: “Pembelajaran dengan Scientific Debate untuk Meningkatkan

Kemampuan Komunikasi, Penalaran, dan Koneksi Matematis Mahasiswa dalam

Konsep Integral.

B.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, peneliti dapat merformulasikan

rumusan masalah penelitian sebagai berikut:

1. Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi, penalaran,

dan koneksi matematis antara mahasiswa yang pembelajaran matematikanya

dengan model pembelajaran Scientific Debate dengan mahasiswa yang

pembelajaran matematikanya dengan model pembelajaran konvensional?

2. Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi dan koneksi

matematis menurut interaksi antara mahasiswa yang pembelajaran

(27)

mahasiswa yang pembelajaran matematikanya dengan model pembelajaran

konvensional ditinjau dari pengetahuan awal matematika (PAM) mahasiswa?

3. Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan penalaran matematis

antara mahasiswa yang pembelajaran matematikanya dengan model

pembelajaran Scientific Debate dengan mahasiswa yang pembelajaran

matematikanya dengan model pembelajaran konvensional ditinjau dari

pengetahuan awal matematika (PAM) mahasiswa?

4. Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi, penalaran,

dan koneksi matematis antara mahasiswa yang pembelajaran matematikanya

dengan model pembelajaran Scientific Debate dengan mahasiswa yang

pembelajaran matematikanya dengan model pembelajaran konvensional

ditinjau dari latar belakang pendidikan mahasiswa?

5. Bagaimana strategi penyelesaian mahasiswa terhadap

permasalahan-permasalahan yang diberikan terkait dengan materi integral baik mahasiswa

dengan model pembelajaran Scientific Debate maupun mahasiswa yang

pembelajaran matematikanya dengan model pembelajaran konvensional?

6. Kesalahan, kekeliruan, atau kekurangan serta kesulitan apa yang dialami

mahasiswa ditinjau dari proses penyelesaian soal matematika?

C.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai adalah

(28)

1. Menganalisis secara komprehensif perbedaan peningkatan kemampuan

komunikasi, penalaran, dan koneksi matematis antara mahasiswa yang

pembelajaran matematikanya dengan model pembelajaran Scientific Debate

dengan mahasiswa yang pembelajaran matematikanya dengan model

pembelajaran konvensional ditinjau dari keragaman serta sifat berfikir

matematis mahasiswa.

2. Menganalisis perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi dan koneksi

matematis menurut interaksi antara mahasiswa yang pembelajaran

matematikanya dengan model pembelajaran Scientific Debate dengan

mahasiswa yang pembelajaran matematikanya dengan model pembelajaran

konvensional ditinjau dari pengetahuan awal matematika (PAM) mahasiswa?

3. Menganalisis perbedaan peningkatan kemampuan penalaran matematis antara

mahasiswa yang pembelajaran matematikanya dengan model pembelajaran

Scientific Debate dengan mahasiswa yang pembelajaran matematikanya

dengan model pembelajaran konvensional ditinjau dari pengetahuan awal

matematika (PAM) mahasiswa?

4. Menganalisis perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi, penalaran, dan

koneksi matematis antara mahasiswa yang pembelajaran matematikanya

dengan model pembelajaran Scientific Debate dengan mahasiswa yang

pembelajaran matematikanya dengan model pembelajaran konvensional dilihat

dari latar belakang pendidikan mahasiswa.

5. Menganalisis strategi penyelesaian mahasiswa terhadap

(29)

dengan model pembelajaran Scientific Debate maupun mahasiswa yang

pembelajaran matematikanya dengan model pembelajaran konvensional.

6. Mengidentifikasi dan mendeskripsikan secara komprehensip kesalahan,

kekeliruan, atau kekurangan serta kesulitan yang dialami mahasiswa ditinjau

dari proses penyelesaian soal matematika.

D.

Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah:

1. Dengan penerapan model pembelajaran scientific debate, mahasiswa akan

terlatih untuk mengkomunikasikan pengetahuannya melalui debat, sehingga

mahasiswa akan mampu mempertahankan argumen yang dimilikinya sesuai

dengan kebenaran dalam konsep matematika. Kemampuan untuk

berargumentasi ini akan memacu mengembangkan kemampuan komunikasi,

penalaran dan koneksi matematisnya, karena dengan sendirinya mahasiswa

ditantang untuk mampu mengkomunikasikan pengetahuannya, berfikir logis

dan sistematis, serta mampu mengaitkan berbagai konsep untuk

mempertahankan argumentasinya.

2. Model pembelajaran scientific debate mampu menciptakan nuansa

interaktivitas antara dosen dengan mahasiswa dan antara mahasiswa dengan

mahasiswa, sehingga dapat memunculkan collaborative learning. Dalam

kondisi ini dosen dapat pula memperoleh pengetahuan dari interaksi tersebut.

3. Bagi peneliti, dari hasil analisis terhadap perbedaan kemampuan serta

(30)

integral diharapkan dapat mengantisipasinya melalui penerapan model

pembelajaran scientific debate sehingga dapat menyusun dan mengembangkan

bahan ajar serta buku ajar yang dapat digunakan sebagai acuan bagi para

pengajar.

4. Pembuat kebijakan, agar lebih memahami bahwa model pembelajaran

scientific debate dalam matematika merupakan model pembelajaran yang

dapat meningkatkan aspek-aspek kognitif kemampuan matematis seperti

pemahaman, pemecahan masalah, penalaran, komunikasi, dan koneksi

matematis serta dapat meningkatkan aspek-aspek afektif ketika berkomunikasi

dan berdebat dalam kelompok.

E.

Definisi Operasional

Variabel-variabel dalam penelitian, didefinisikan sebagai berikut:

1. Kemampuan berfikir tingkat tinggi matematis adalah pemahaman matematis,

problem solving matematis, komunikasi matematis, penalaran matematis, dan

koneksi matematis. Adapun kemampuan berfikir tingkat tinggi matematis yang

dikembangkan dalam penelitian disertasi ini meliputi: komunikasi matematis,

penalaran matematis, dan koneksi matematis.

a. Komunikasi matematis adalah kemampuan untuk berkomunikasi yang

meliputi kegiatan penggunaan keahlian menulis, menyimak, menelaah,

menginterpretasikan, dan mengevaluasi ide, simbol, istilah, serta informasi

matematika yang diamati melalui proses mendengar, mempresentasi, dan

(31)

(1) kemampuan merepresentasikan objek-objek nyata dalam gambar,

diagram, atau model matematika; (2) kemampuan menjelaskan ide, situasi,

dan relasi matematika secara tulisan dalam bentuk gambar, tabel, diagram,

atau grafik; (3) kemampuan menyatakan peristiwa sehari-hari dalam

bahasa atau simbol matematika; (4) kemampuan mengubah suatu bentuk

representasi matematis ke bentuk representasi matematis lainnya.

b. Penalaran diartikan sebagai proses berfikir sebagai upaya penjelasan dalam

upaya memperlihatkan hubungan antara dua atau lebih berdasarkan

sifat-sifat, atau hukum-hukum tertentu yang sudah terbukti kebenarannya

melalui langkah-langkah tertentu dan berakhir dengan sebuah kesimpulan

(Kusumah, 1986). Kemampuan penalaran matematis yang dikembangkan

meliputi: (1) kemampuan memberikan penjelasan terhadap model, gambar,

fakta, sifat, hubungan, atau pola yang ada; (2) kemampuan memperkirakan

jawaban dan proses solusi, dan menggunakan pola dan hubungan untuk

menganalisis situasi matematik, menarik analogi dan generalisasi; (3)

kemampuan menyusun dan menguji konjektur, memberikan lawan contoh;

(4) kemampuan mengikuti aturan inferensi. Menyusun argumen yang valid,

memeriksa validitas argumen.

c. Koneksi matematis adalah keterkaitan antara konsep matematika,

matematika dengan ilmu lain, dan matematika dengan kehidupan

sehari-hari. Kemampuan koneksi matematis yang dikembangkan meliputi: (1)

kemampuan mencari dan memahami hubungan berbagai representasi

(32)

bidang studi lain atau kehidupan sehari-hari; (3) kemampuan memahami

representasi ekuivalen konsep atau prosedur yang sama; (4) kemampuan

mencari koneksi satu prosedur ke prosedur lain dalam representasi yang

ekuivalen; (5) kemampuan menggunakan koneksi antar topik matematika,

dan antara topik matematika dengan topik lain.

2. Model pembelajaran scientific debate adalah model pembelajaran yang

implementsinya menganut model pembelajaran berbasis masalah, berorientasi

pada mahasiswa, guru lebih berperan sebagai fasilitator, menganut sistem

asesmen yang bersifat menyatu dengan proses pembelajaran (authentic

assessment), serta mahasiswa dan guru secara bersama-sama membentuk suatu

learning community. Model pembelajaran scientific debate meliputi tiga tahap

yaitu: (1) Guru memulai dan mengorganisir hasil-hasil pernyataan siswa.

Hasil-hasil ini ditulis pada papan tulis tanpa mengevaluasi kebenaran

pernyataan tersebut; (2) Pernyataan diberikan kembali pada siswa untuk

mempertimbangkan dan mendiskusikannya. Kemudian siswa memberikan

kembali kepada guru setelah mereka mendiskusikannya, di mana setiap

persoalan telah didukung oleh beberapa cara, diberikan argumentasinya,

dibuktikan, pembuktian bahwa sesuatu tidak benar, dengan counter-examples,

dan lain-lain; (3) Pernyataan dibenarkan dengan menunjukkan

teorema-teorema atau aturan yang berlaku, sedangkan beberapa yang dibangun sebagai

pernyataan yang tidak benar disajikan sebagai “pernyataan yang salah”,

(33)

3. Pengetahuan awal matematika adalah pengetahuan yang dimiliki mahasiswa

sebelum pembelajaran berlangsung, pengetahuan ini diukur melalui hasil akhir

(34)

BAB III

METODE PENELITIAN

A.

Disain Penelitian

Penelitian ini adalah eksperimen dengan disain kelompok pretes postes.

Penelitian ini diawali dengan pengembangan perangkat pembelajaran dan instrumen

penelitian. Dalam penelitian ini, terdapat perlakuan terhadap kelompok eksperimen,

yaitu kelompok mahasiswa dengan pendekatan pembelajaran scientific debate (X).

Adapun kelompok kontrol memperoleh pendekatan pembelajaran matematika secara

konvensional. Setelah proses pembelajaran, diberikan tes kemampuan komunikasi,

penalaran dan koneksi matematis (O). Disain penelitiannya adalah disain kelompok

kontrol pretes-postes dengan bentuk:

O X O

O O

Di mana:

O = Pretes dan Postes pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.

X = Model pembelajaran Scientific Debate.

Data yang dianalisis adalah perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi,

penalaran, dan koneksi matematis mahasiswa antara kelompok eksperimen dan

kelompok kontrol. Data dikelompokkan berdasarkan pendekatan pembelajaran

(scientific debate dan konvensional), pengetahuan awal mahasiswa (tinggi, sedang,

(35)

B.

Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa Jurusan Pendidikan

Matematika di Indonesia, yang setingkat mutunya dengan Jurusan Pendidikan

Matematika Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung. Pemilihan subjek penelitian

mahasiswa dipertimbangkan berdasarkan kemampuan mahasiswa, yang diharapkan

dapat dioptimalkan melalui penerapan pendekatan pembelajaran scientific debate.

Sampel diambil dari mahasiswa Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas

Tarbiyah UIN Bandung, yang mengambil Mata Kuliah Kalkulus 2, yaitu mata kuliah

wajib yang diberikan pada semester II. Mata Kuliah Kalkulus 2 dipilih karena sangat

terkait dengan mata kuliah lainnya dan merupakan pondasi untuk pemahaman mata

kuliah selanjutnya seperti: Persamaan Differensial, Analisis Real, Aljabar, juga untuk

mata kuliah lain yang bersifat aplikasi. Dengan penerapan pendekatan scientific debate

diharapkan kemampuan komunikasi, penalaran, dan koneksi matematis mahasiswa ini

dapat meningkat.

Untuk melihat secara lebih mendalam pengaruh penerapan kedua pendekatan

terhadap hasil belajar mahasiswa, maka penelitian ini melibatkan dua faktor yaitu

pengetahuan awal mahasiswa (PAM) dan latar belakang pendidikan mahasiswa. PAM

dikategorikan menjadi tinggi, sedang, dan kurang berdasarkan pada nilai mata kuliah

matematika yang sudah ditempuh oleh mahasiswa. Tingkatan kemampuan awal

mahasiswa ini sangat penting dan juga harus diperhatikan secara serius dalam

(36)

pendidikan mahasiswa dikelompokan menjadi SMU (Sekolah Menengah Umum) dan

MA (Madarasah Aliyah).

C.

Variabel Penelitian

Variabel penelitian merupakan suatu kondisi yang dimanipulasi, dikendalikan

atau diobservasi oleh peneliti. Penelitian ini melibatkan tiga jenis variabel: (1) variabel

bebas, yaitu pembelajaran scientific debate dan pembelajaran konvensional; (2)

variabel terikat, yaitu peningkatan kemampuan komunikasi, penalaran, dan koneksi

matematis; dan (3) variabel kontrol, yaitu tingkatan kemampuan awal mahasiswa

dalam matematika yang dikategorikan ke dalam tingkatan pandai, sedang, dan rendah,

serta latar belakang pendidikan mahasiswa.

D.

Teknik Pengumpulan Data dan Teknik Analisis Data

Teknik pengumpulan data diambil dari keluaran instrumen, berupa hasil pretes

dan postes serta data pengetahuan awal matematika (PAM). Sedangkan teknik

pengolahan data dilakukan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian

ini. Data yang dianalisis untuk tujuan 1, 2, 3, dan 4 adalah skor hasil pretes, postes,

dan PAM.

Untuk menganalisis data PAM yang diperoleh, terlebih dahulu dilakukan uji

normalitas dan homogenitas terhadap data PAM. Berdasarkan uji Shapiro-Wilk

diketahui bahwa skor pengetahuan awal mahasiswa berdistribusi normal dan

bervariansi homogen maka satistik uji yang digunakan untuk menguji apakah terdapat

(37)

dilakukan uji t. Pengujian terhadap PAM ini dilakukan dalam upaya ingin mengetahui

kondisi awal dari subyek yang diteliti. Pengujian hipotesis yang dilakukan yaitu:

Ho : 1 =2

H1 : 1 2

1 adalah rata-rata skor PAM kelompok eksperimen, sedangkan 2 adalah rata-rata

skor PAM kelompok kontrol. Adapun statistik uji yang digunakan adalah uji-t dengan

asumsi varians populasi tidak diketahui dan homogen. Rumus yang digunakan adalah:

2 1

2 1

1 1

n n s

x x t

 

Kriteria pengujian, terima Ho jika –t(1-1/2)  t  t(1-1/2) dimana t(1-1/2) didapat dari

daftar tabel distribusi t dengan derajat bebas n1 + n2– 2 dan peluang (1-1/2). Untuk

harga-harga t lainnya Ho ditolak.

Data hasil pretes dan postes digunakan untuk menganalisis perbedaan

peningkatan kemampuan hasil pembelajaran scientific debate yang dibandingkan

dengan pendekatan pembelajaran konvensional terhadap kemampuan komunikasi,

penalaran, dan koneksi matematis mahasiswa. Adapun faktor-faktor yang berinteraksi

dalam eksperimen ini adalah pendekatan pembelajaran (scientific debate dan

konvensional), pengetahuan awal mahasiswa (tinggi, sedang, dan rendah),

kemampuan komunikasi, penalaran, dan koneksi matematis, serta latar belakang

pendidikan mahasiswa yang diklasifikasi menjadi dua yaitu SMU dan MA.

Berdasarkan rumusan masalah dan hasil kajian secara teoritis, maka hipotesis

(38)

1. Peningkatan kemampuan komunikasi matematis mahasiswa yang

menggunakan model pembelajaran scientific debate lebih baik dari pada

mahasiswa yang menggunakan model pembelajaran konvensional.

2. Peningkatan kemampuan penalaran matematis mahasiswa yang menggunakan

model pembelajaran scientific debate lebih baik dari pada mahasiswa yang

menggunakan model pembelajaran konvensional.

3. Peningkatan kemampuan koneksi matematis mahasiswa yang menggunakan

model pembelajaran scientific debate lebih baik dari pada mahasiswa yang

menggunakan model pembelajaran konvensional.

4. Terdapat interaksi antara model pembelajaran yang digunakan (scientific

debate dan konvensional) dengan pengetahuan awal mahasiswa (PAM)

terhadap peningkatan kemampuan komunikasi matematis.

5. Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan penalaran antara mahasiswa

dengan model pembelajaran scientific debate dan mahasiswa dengan model

pembelajaran konvensional yang didasarkan pada pengetahuan awal

mahasiswa (PAM).

6. Terdapat interaksi antara model pembelajaran yang digunakan (scientific

debate dan konvensional) dengan pengetahuan awal mahasiswa (PAM)

terhadap peningkatan kemampuan koneksi matematis.

7. Perbedaan latar belakang pendidikan mahasiswa tidak memberikan efek yang

signifikan terhadap peningkatan kemampuan komunikasi matematis

(39)

8. Perbedaan latar belakang pendidikan mahasiswa tidak memberikan efek yang

signifikan terhadap peningkatan kemampuan penalaran matematis mahasiswa.

9. Perbedaan latar belakang pendidikan mahasiswa tidak memberikan efek yang

signifikan terhadap peningkatan kemampuan koneksi matematis mahasiswa.

Untuk tujuan 1 yaitu melihat kategori peningkatan kemampuan komunikasi,

penalaran, dan koneksi matematis antara mahasiswa yang pembelajaran

matematikanya dengan pendekatan Scientific Debate dan mahasiswa yang

pembelajaran matematikanya dengan pembelajaran konvensional digunakan uji gain

ternormalisasi menurut Meltzer (2002) dengan rumus:

.

Dengan kategori gain ternormalisasi (g) adalah: g < 0,3 adalah rendah; 0,3 ≤ g

< 0,7 adalah sedang; dan 0,7 ≤ g adalah tinggi. Selanjutnya, dilakukan uji normalitas

dan homogenitas terhadap data peningkatan kemampuan komunikasi, penalaran, dan

koneksi matematis. Berdasarkan uji Shapiro-Wilk diketahui bahwa data peningkatan

kemampuan komunikasi, penalaran, dan koneksi matematis tidak seluruhnya

berdistribusi normal. Dengan demikian, statistik uji yang digunakan untuk menguji

apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi, penalaran, dan

koneksi matematis antara mahasiswa yang mengikuti pembelajaran dengan scientific

debate dengan mahasiswa yang mengikuti pembelajaran secara konvensional

digunakan uji Mann-Whiney (U).

Untuk tujuan 2, yaitu hipotesis 4 dan 6 adalah melihat perbedaan peningkatan

kemampuan mahasiswa komunikasi dan koneksi matematis menurut interaksi antara

(40)

mahasiswa yang pembelajaran matematikanya dengan konvensional ditinjau dari

pengetahuan awal matematika mahasiswa (tinggi, sedang, dan kurang) digunakan

ANOVA dua jalur dan Uji Scheffe karena data berdistribusi normal dan bervariansi

[image:40.612.113.526.182.578.2]

homogen. Tabel Anova dua jalur disajikan dalam Tabel 3.1 berikut,

Tabel 3.1 Rancangan Anova Dua Jalur

Kemampuan PAM

Metode Belajar Konvensional

(A1)

Scientific Debate (A2)

Komunikasi (B1)

Tinggi (C1) Sedang (C2) Rendah (C3)

Koneksi (B2)

Tinggi (C1) Sedang (C2) Rendah (C3)

Untuk melihat faktor-faktor mana yang berinteraksi antara pendekatan

pembelajaran dengan PAM terhadap peningkatan kemampuan komunikasi dan

koneksi matematis mahasiswa maka dilanjutkan dengan Uji Scheffe.

Untuk tujuan 3 yaitu melihat perbedaan peningkatan kemampuan penalaran

matematis antara mahasiswa yang pembelajaran matematikanya dengan Scientific

Debate dengan mahasiswa yang pembelajaran matematikanya secara konvensional

ditinjau dari pengetahuan awal matematika mahasiswa (tinggi, sedang, dan kurang)

digunakan satistik uji nonparametrik dengan Uji Kruskal Wallis karena data skor

kemampuan penalaran matematis kelas eksperimen dan kelas kontrol pada level tinggi

tidak berdistribusi normal, sedangkan untuk level lainnya berdistribusi normal.

Untuk tujuan 4 yaitu melihat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi,

penalaran, dan koneksi matematis antara mahasiswa yang pembelajaran

(41)

pembelajaran matematikanya secara konvensional ditinjau dari latar belakang

pendidikan mahasiswa (SMU, MA, dan Kejuruan) digunakan uji nonparametrik

dengan uji Mann-Whitney (U). Karena, berdasarkan uji normalitas terhadap data skor

peningkatan kemampuan komunikasi, penalaran, dan koneksi matematis mahasiswa

yang didasarkan pada latar belakang pendidikan mahasiswa, diperoleh hasil bahwa

untuk kelas eksperimen menunjukkan data tersebut tidak berdistribusi normal.

Sedangkan untuk kelas kontrol menunjukkan berdistribusi normal. Sedang untuk uji

homogenitas varians kedua kelompok baik eksperimen maupun kontrol menunjukkan

variansinya homogen.

Sementara untuk tujuan 5 dan 6 dianalisis menggunakan klasifikasi dari Orton,

di mana kesalahan dan kekeliruan mahasiswa dikelompokkan ke dalam tiga kategori

yaitu: (1) Structural errors: muncul dari beberapa kesalahan dalam melihat

hubungan-hubungan yang terlibat dalam masalah atau pada grafik beberapa prinsip-prinsip yang

penting untuk menyelesaikan masalah. (2) Arbitrary errors: kesalahan tidak sesuai

aturan atau muncul secara kebetulan dan kesalahan pada mengambil perhitungan dari

pembatas. (3) Executive errors: melibatkan kesalahan-kesalahan melakukan

manipulasi meskipun prinsip-prinsip yang dilibatkan telah dapat dipahami.

E.

Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juni 2011 sampai Juni 2012 dengan

rincian sebagai berikut:

(42)

September 2011 – Nopember 2011 : Uji instrumen penelitian dan

analisis

Desember 2011- Desember 2012 : Pretes, pembelajaran, postes.

Pengolahan dan analisis data serta

penulisan laporan.

F.

Pengembangan Instrumen

Instrumen utama yang digunakan dalam penelitian disertasi meliputi: 1) tes

kemampuan komunikasi matematis, penalaran matematis, dan koneksi matematis yang

akan digunakan untuk mengevaluai hasil belajar mahasiswa dan menganalisis

kesulitan-kesulitan mahasiswa dalam menyelesaikan masalah untuk konsep integral;

2) lembar observasi untuk dosen; dan 3) lembar observasi untuk mahasiswa.

1. Tes Kemampuan Komunikasi, Penalaran, dan Koneksi Matematis

Tipe soal tes kemampuan komunikasi, penalaran, dan koneksi matematis

yang dikembangkan berbentuk tes uraian dengan tujuan untuk mengukur higher level

learning outcomes. Alasan digunakannya tes bentuk uraian, karena dengan tes bentuk

uraian diharapkan kemampuan mahasiswa dalam penguasaan materi dapat terlihat

melalui langkah-langkah penyelesaian soal yang diberikan. Hanya mahasiswa yang

telah menguasai dengan benarlah yang dapat memberikan jawaban yang baik dan

benar. Adapun langkah-langkah pelaksanaan yang dilakukan dalam pengembangan

(43)

a. Menganalisis tujuan dan sasaran yang ingin dicapai

Pengembangan instrumen penelitian berupa tes harus mengacu pada aspek

kompetensi yang harus dikuasai oleh setiap mahasiswa, sehingga analisis tujuan dan

sasaran yang ingin dicapai mutlak diperlukan. Sebelum instrumen tes dibuat, maka

terlebih dahulu dilakukan analisis terhadap standar kompetensi dan kompetensi dasar

agar setiap item tes sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang

sudah ditentukan. Dengan demikian tujuan dan sasaran yang ingin dicapai oleh

instrumen tes tersebut dapat dicapai secara akurat. Disamping itu, analisis terhadap

standar kompetensi dan kompetensi dasar juga ditujukan untuk melihat apakah

instrumen tes tersebut telah memenuhi validitas konstruk sebagai dasar dalam

pengembangan instrumen tes. Validitas konstruk adalah validitas yang diperoleh

melalui penyusunan instrumen yang didasarkan kepada kharakteristik subjek yang

dituju atau perilaku subjek yang diharapkan. Validitas konstruk ditentukan oleh

perhatian terhadap perlakuan psikologis atau susun (konstruk) yang akan diukur oleh

soal tesnya.

Tes yang dikembangkan digunakan untuk dua tujuan utama meliputi: 1)

memberikan umpan balik bagi mahasiswa tentang hasil belajar mahasiswa dalam

setiap tahap proses belajarnya. Tes ini berfungsi juga sebagai tes formatif. Hasil tes ini

dijadikan petunjuk tentang kesulitan mahasiswa dalam bagian-bagian tertentu dari

bahan ajar yang digunakan dan 2) menilai efektifitas sistem pembelajaran secara

keseluruhan. Tes ini akan digunakan sebagai tes awal dan tes akhir dalam ujicoba

(44)

Yani Ramdani, 2013

Pembelajaran Dengan Scientific Debate Untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi, Penalaran, Dan Sasaran yang ingin dicapai dalam mengembangkan tes kemampuan

komunikasi, penalaran, dan komunikasi matematis meliputi: 1) meningkatkan tingkat

kemajuan mahasiswa; 2) mengukur pertumbuhan dan perkembangan mahasiswa; 3)

merangking mahasiswa berdasarkan kemampuannya; 4) mendiagnosis kesulitan

mahasiswa; 5) mengevaluasi hasil pengajaran; 6) mengetahui efektifitas pencapaian

kurikulum; dan 7) memotivasi.

b. Menyusun peta konsep utama berdasarkan tujuan dan sasaran

Instrumen tes yang dikembangkan harus benar-benar mampu mengukur apa

yang harus diukur, seperti berbagai kompetensi yang harus dikuasai oleh mahasiswa.

Untuk itu, diperlukan peta konsep untuk mengelompokkan berbagai kompetensi

tersebut secara esensial. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kumaidi (2008) bahwapeta

konsep merupakan pengelompokan kompetensi esensial dan level pemahaman seperti

yang diamanatkan dalam kurikulum, agar tes yang dikembangkan itu benar-benar

mampu mengukur berbagai pencapaian kompetensi yang harus dikuasai mahasiswa.

Formulasi materi pembelajaran dalam bentuk peta konsep akan memudahkan

penyusunan soal tes dan mampu mengidentifikasi keterkaitan kompetensi yang harus

dicapai, sehingga ketika soal tes dirancang kita akan memperoleh gambaran yang jelas

bagaimana sebuah tes harus dikembangkan sesuai dengan kompetensi yang harus

dikuasai oleh setiap mahasiswa. Dengan demikian, untuk mengembangkan bahan ajar

dan intrumen penelitian disusun peta konsep utama yang didasarkan pada tujuan dan

sasaran yang ingin dicapai. Adapun kegiatan penyusunan instrumen disajikan dalam

Diagram 3.1 sebagai berikut:

PERUMUSAN TUJUAN: 1.Menggunakan

KEGIATAN BELAJAR:

(45)

Diagram 3.1

Rancangan Penyusunan Instrumen Penelitian

Sedangkan peta konsep untuk integral adalah sebagai berikut, PENGEMBANGAN ALAT

EVALUASI:

1.Menentukan jenis tes yang akan digunakan untuk menilai tercapai tidaknya tujuan.

2.Menyusun tes untuk menilai masing-masing tujuan

PELAKSANAAN: 1. Mengadakan tes awal. 2. Menyampaikan materi

pelajaran.

3. Mengadakan tes akhir. 4. Perbaikan.

PENGEMBANGAN PROGRAM KEGIATAN:

1. Merumuskan materi pelajaran. 2. Menetapkan metode yang dipakai. 3. Memilih alat pelajaran dan sumber

(46)
(47)

Peta Konsep Integral

c. Menyusun matriks rancangan t

Gambar

Tabel 4.39
Tabel 3.1 Rancangan Anova Dua Jalur
grafik Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol
Gambarkan laju inflasi pada Tabel di bawah dalam bentuk grafik dengan berbagai bentuk yang berbeda! Jelaskan! Bidang ilmu apa yang terkait dengan soal di atas? Jelaskan!
+7

Referensi

Dokumen terkait

Untuk permudaan tingkat pancang jumlah keseluruhan yang ditemukan pada kegiatan inventarisasi biogeofisik di wilayah kelola KPHP Unit V Bengkalis sebanyak

Didukung dengan grafik echo radar yang memperlihatkan bahwa pada telah terjadi peningkatan echo radar yang sangat signifikan dari pukul 07.20 UTC dengan nilai echo

enam bagian yang terdapat dalam Kitab San Zi Jing , data yang diambil untuk dijadikan. data primer adalah bagian VI pada kitab San Zi Jing , yaitu bagian tentang cara

[r]

Hasil uji korelasi Pearson’s antara jumlah keempat insisivus rahang atas dengan nilai ukur interpremolar dan intermolar pada mahasiswa suku India Tamil Fakultas Kedokteran

Studi Perbandingan Kemampuan Komunikasi Matematik dan Kemandirian Belajar Siswa pada Kelompok Siswa yang Belajar Reciprocal Teaching dengan Pendekatan Metakognitif

Dolar Australia adalah mata uang yang paling diperdagangkan keenam di pasar valas dunia (setelah dolar AS, yen, euro, pound sterling dan dolar Kanada) dan mencakup sekitar 4–5 persen

Kinerja dan prestasi manajemen yang diukur dengan rasio-rasio keuangan kurang optimal, karena rasio keuangan yang dihasilkan sangat bergantung pada metode atau perlakuan akuntansi