• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDY ETHNOMATHEMATICS: PENGUNGKAPAN KARAKTERISTIK KULTURAL MATEMATIKA PADA AKTIVITAS BERTENUN MASYARAKAT ADAT BADUY.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "STUDY ETHNOMATHEMATICS: PENGUNGKAPAN KARAKTERISTIK KULTURAL MATEMATIKA PADA AKTIVITAS BERTENUN MASYARAKAT ADAT BADUY."

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

PADA AKTIVITAS BERTENUN MASYARAKAT ADAT BADUY

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Matematika

Oleh Asep Saeful Ulum

0905793

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

(2)

Karakteristik Kultural Matematika Pada

Aktivitas Bertenun Masyarakat Adat Baduy

Oleh Asep Saeful Ulum

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

© Asep Saeful Ulum 2013 Universitas Pendidikan Indonesia

Juni 2013

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

(3)

STUDY ETHNOMATHEMATICS:

PENGUNGKAPAN KARAKTERISTIK KULTURAL MATEMATIKA PADA AKTIVITAS BERTENUN MASYARAKAT ADAT BADUY

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PEMBIMBING:

Pembimbing I

Drs. Turmudi, M. Ed., M. Sc., Ph. D NIP. 196101121987031003

Pembimbing II

Dr. H. Dadang Juandi, M. Si NIP. 196401171992021001

Mengetahui,

(4)
(5)

Asep Saeful Ulum, 2013

Study Ethomathematic: Pengungkapan Karakteristik Kultural Matematiika Pada Aktivitas Bertenun ABSTRAK

Asep Saeful Ulum. Study Ethnomathematics: Pengungkapan Karakteristik Kultural Matematika Pada Aktivitas Bertenun Masyarakat Adat Baduy. Penelitian ini menyangkut tentang upaya untuk menunjukkan hubungan yang terjadi secara timbal balik antara matematika dengan budaya. Selama ini matematika dianggap tidak ada kaitannya sama sekali dengan budaya. Anggapan tersebut berperan besar dalam melahirkan praktik kolonialisasi pembelajaran matematika di beberapa negara, terutama di negara-negara di kawasan Asia, Afrika, dan Amerika Selatan. Upaya untuk menghilangkan praktik kolonialisasi pembelajaran matematika tersebut didiskusikan oleh para matematikawan dan ahli pendidikan matematika internasional dalam suatu wadah yang disebut ethnomathematics. Penelitian ini dilakukan di daerah adat Baduy, tepatnya di Kampung Gajeboh. Fokus situasi sosial yang diteliti adalah aktivitas bertenun masyarakat adat Baduy. Tujuannya yaitu mengungkap karakteristik kultural matematika (bentuk matematika yang tidak familiar) yang terdapat pada aktivitas bertenun masyarakat adat Baduy melalui study ethnomathematics. Metode penelitian terbaru dalam kajian ethnomathematics mengadopsi prinsip mutual interrogation berupa critical dialogues. Metode itu pula yang digunakan dalam penelitian ini. Sebagaimana penelitian-penelitian ethnomathematics di negara-negara lain, teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan prinsip-prinsip dalam ethnography, yaitu observasi, wawancara, dokumentasi, hingga pada pembuatan catatan lapangan (field notes). Hasil temuan dalam penelitian ini adalah pada proses awal bertenun, diungkap hubungan yang paralel antara praktik budaya tersebut dengan matematika. Di antaranya dari cara berpikir penenun dengan cara berpikir matematikawan. Kemudian status sosial keduanya di masing-masing kelompok. Hingga pada perbedaan dan kesamaan prinsip yang muncul dari keduanya. Sementara hasil temuan pada proses inti bertenun adalah sebuah model matematika yang mengakomodasi semua elemen-elemen budaya yang berada di sekitar konteks tersebut. Penelitian ini merekomendasikan terutama kepada para pemangku kepentingan penyelenggaraan pendidikan matematika di Indonesia bahwa pembelajaran matematika yang berdasarkan pada budaya bangsa sendiri bukanlah suatu harapan yang tidak mungkin untuk diwujudkan. Penelitian-penelitian ethnomathematics akan membuka lebar-lebar peluang untuk mewujudkan cita-cita tersebut.

(6)

ABSTRACT

Asep Saeful Ulum. Study Ethnomathematics: Revealing Cultural Characteristic of Mathematics on Weaving Activity in Baduy Society. This research is concern about some work to point out the interplay of mathematics and culture. For a long time mathematics is considered as a thing that has no connection with culture. Those consideration gave a big role in light of create colonial process in mathematics learning in many countries, particularly in region of Asia, Africa, and South of America. Endeavours to delete those colonial processes were discussed by mathematician and mathematics educator international who gathered on ethnomathematics topics. This research is undertaken in Baduy, particularly in Gajeboh Village. Social situation that focused here is weaving activity in Baduy society. The goal of this research is revealing the cultural characteristic of Mathematics (unfamiliar mathematics) which might lie behind the weaving activity through study ethnomathematics. The recent method on study ethnomathematics adopted a principle of mutual interrogation by critical dialogues. That method also adopted here in this research. Like other research in another country, gathering data technic on this research also adopted principles research in ethnography, such as observation, in depth interview, documentation, and field notes. As a result on this research are in early process of weaving we found parallelism between that cultural activity and mathematics. For example from the way of thinking by mathematician is parallel with the way of thinking from weaver. Another example also came from social status in each group. Therefore, it is also our way to reveal similarities and differences that appear both in cultural practise and mathematics. Meanwhile the result of main activity on weaving is a mathematics model that captures every element in culture which is around of that context. This research recommends particularly to all decision makers in practices of mathematics school in Indonesia that learning mathematics which based on our cultural self is not like a mission impossible. Ethnomathematicians believes that more research in field of ethnomathematics will open broadly more chance to realize that goal.

(7)

Asep Saeful Ulum, 2013

Study Ethomathematic: Pengungkapan Karakteristik Kultural Matematiika Pada Aktivitas Bertenun DAFTAR ISI

A. Latar Belakang Penelitian ……… 1

B. Identifikasi dan Perumusan Masalah ……….. 8

C. Pertanyaan Penelitian ……….. 9

D. Tujuan Penelitian ……… 9

E. Manfaat/Signifikansi Penelitian ………. 9

F. Struktur Organisasi Skripsi ………. 10

BAB II KAJIAN PUSTAKA ………... 12

A. Masyarakat Adat Baduy ………. 12

B. Seni Tenun Baduy ……….. 18

C. Ethnomathematics dan Karakteristik Kultural Matematika …... 38

D. Pengungkapan Karakeristik Kultural Matematika ………... 51

E. Proses Menenun di Era Modern ………... 57

F. Pengerucutan Kajian Pustaka ……….. 60

BAB III METODE PENELITIAN ………. 62

A. Pendekatan Penelitian ……….. 62

B. Kerangka Penelitian ………. 63

C. Prosedur Penelitian ………. 71

D. Fokus Penelitian ………. 73

E. Tempat dan Waktu Penelitian ……….. 73

F. Sampel Sumber Data Penelitian ………. 74

G. Instrumen Penelitian ………... 74

H. Teknik Pengumpulan Data ……….. 75

(8)

J. Rencana Pengujian Keabsahan Data ………... 80

K. Road Map Penelitian Ethnomathematics ………... 81

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……… 88

A. Hasil Penelitian ……….. 88

A.1 Profil Informan ………. 89

A.2 Data Hasil Catatan Lapangan ……….. 91

B. Pembahasan ………. 109

B.1 Deskripsi Proses Awal Bertenun Masyarakat Baduy ………….. 109

B.2 Deskripsi Proses Inti Bertenun Masyarakat Baduy ………. 129

B.3 Critical Dialogues ……… 139

B.3.1 Proses Awal Bertenun: Matematika Sebagai Kerangka Acuan ………... 141

B.3.2 Proses Inti Bertenun: Budaya Sebagai Kerangka Acuan ………... 150

B.3.3 Model-model Geometri Tenun Baduy ………. 161

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………. 176

A. Kesimpulan ………. 176

B. Saran ……… 178

DAFTAR PUSTAKA ……… 180

(9)

Asep Saeful Ulum, 2013

Study Ethomathematic: Pengungkapan Karakteristik Kultural Matematiika Pada Aktivitas Bertenun BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Alasan rasional dan esensial yang membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini di antaranya berdasarkan pada dua hal utama, yaitu 1) Opini masyarakat yang memandang bahwa matematika tidak ada pengaruh sama sekali terhadap budaya, atau sebaliknya; 2) Data penelitian yang menunjukkan bahwa memungkinkan untuk dilakukannya penelitian guna mengungkap pengaruh antara matematika dan budaya yang dilakukan oleh masyarakat adat Baduy.

Opini masyarakat yang memandang bahwa antara matematika dengan budaya tidak ada keterpengaruhan sama sekali adalah dasar pemikiran dalam memunculkan permasalahan pada penelitian ini (yang peneliti cantumkan pada bagian selanjutnya di identifikasi dan rumusan masalah). Dasar pemikiran itu didorong oleh gejala-gejala yang timbul. Gejala-gejala tersebut dinyatakan pula dalam Paket Pembinaan Penataran (2004), dan Turmudi (2009).

Sumardyono (Paket Pembinaan Penataran, 2004) menyatakan gejala-gejala tersebut dengan terlebih dahulu menyajikan hasil penelitian bahwa persepsi guru terhadap matematika mempengaruhi persepsi atau sikapnya terhadap pembelajaran matematika. Untuk menyebut salah satunya, Hersh (Paket Pembinaan Penataran, 2004: 1) menyatakan bahwa hasil pengamatan di kelas, menurut para peneliti, bagaimana matematika diajarkan di kelas dipengaruhi dengan kuat oleh pemahaman guru memandang sifat (karakteristik) matematika.

(10)

sikap yang kurang tepat dalam pembelajaran matematika, lebih disayangkan lagi dapat pula memunculkan sikap negatif terhadap matematika. Sumardyono (Paket Pembinaan Penataran, 2004) menuliskan bahwa untuk menghindari munculnya sikap yang kurang tepat dalam pembelajaran matematika, setidaknya ada 2 (dua) karakteristik matematika yang perlu dipahami secara utuh dalam memandang matematika. Kedua karakteristik itu adalah Karakteristik Filosofis Matematika dan Karakteristik Kultural Matematika.

Turmudi (2009) menyatakan gejala-gejala (sebagaimana dimaksud di atas) dengan menyajikan fakta bahwa paradigma yang berkembang dalam memandang matematika saat ini adalah paradigma absolut. Paradigma absolut itu ialah paradigma yang memandang bahwa matematika adalah ilmu pengetahuan yang sempurna dan kebenaran yang objektif, jauh dari urusan kehidupan manusia. Paradigma tersebut telah mendominasi sejak lebih dari 2000 tahun yang lalu.

Apa yang telah dikemukakan sebelumnya pada Paket Pembinaan Penataran (2004) dan Turmudi (2009) di atas boleh jadi adalah penyebab utama masyarakat memandang matematika sebagai “sesuatu” yang tidak ada pengaruh sama sekali dengan budaya, atau sebaliknya. Sebagai contoh, seperti dikutip pada salah satu artikel di surat kabar Tempo berjudul Mempersoalkan Kurikulum 2013. Pada salah

satu kalimatnya tersirat makna, “… kurikulum yang tidak esensial mendominasi ranah kognitif, mendewakan matematika, dan mengabaikan humaniora-sastra”

(Sumardianta, 2013). Menurut hemat peneliti, hingga muncul pernyataan tersebut pada sebuah artikel nasional adalah bukti selama ini matematika dipandang tidak bersinggungan sama sekali dengan budaya (humaniora, sastra).

(11)

dilakukan apabila semua kalangan telah memandang bahwa matematika memiliki pengaruh yang timbal balik dengan budaya.

Peneliti berkeyakinan bahwa memandang matematika sebagai sesuatu yang tidak ada pengaruh sama sekali dengan budaya adalah pandangan yang menyimpang dari apa yang seharusnya. Dikatakan menyimpang, salah satunya karena tidak bersesuaian dengan “jiwa” dari deskripsi matematika itu sendiri. Memang belum ada definisi formal yang mendeskripsikan apa itu matematika. Namun pendeskripsian yang diambil dari Buku panduan Lawrence University (Paket Pembinaan Penataran, 2004: 29) serta pendeskripsian apa itu matematika oleh Turmudi (2010) meyakinkan peneliti akan hal tersebut.

Lahir dari dorongan primitif manusia untuk menyelidiki keteraturan dalam alam semesta, matematika merupakan suatu bahasa yang terus menerus berkembang untuk mempelajari struktur dan pola. Berakar dalam dan dipengaruhi oleh realitas dunia, serta didorong oleh keingintahuan intelektual manusiawi, matematika menjulang tinggi menggapai alam abstraksi dan generalitas, tempat terungkapnya hubungan-hubungan dan pola-pola yang tak terduga, menakjubkan sekaligus amat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Matematika adalah rumah alami baik bagi pemikiran-pemikiran yang abstrak maupun bagi hukum-hukum alam semesta yang konkret. Matematika sekaligus merupakan logika yang murni dan seni yang kreatif (Paket Pembinaan Penataran, 2004: 29).

Potongan kalimat “menyelidiki keteraturan dalam alam semesta”, serta

“berakar dalam dan dipengaruhi oleh realitas dunia” jelas menunjukkan bahwa matematika memang dipengaruhi oleh aktivitas (budaya) manusia.

Ditambah pula menurut Turmudi (2010) dalam mendeskripsikan apa itu matematika, berikut ini adalah kutipannya:

1) Matematika adalah objek yang ditemukan dan diciptakan oleh manusia;

(12)

3) Sekali diciptakan objek matematika memiliki sifat-sifat yang ditentukan secara baik.

Kedua kutipan di atas memiliki makna bahwa matematika sebenarnya telah terlahir dan berkembang dari dan untuk kehidupan manusia. Kedua kutipan itulah yang dijadikan peneliti sebagai alasan bahwa telah terjadi penyimpangan antara apa yang seharusnya dengan apa yang terjadi.

Kompleksitas masalah yang mungkin akan muncul apabila penyimpangan di atas tidak segera diminimalisir kesenjangannya, salah satunya akan muncul pada proses pembelajaran matematika. Penyimpangan tersebut akan menimbulkan dampak-dampak yang menyulitkan, menghambat, mengganggu, bahkan mengancam pada terselenggaranya proses pembelajaran matematika yang optimal. Dampak itu dikarenakan, ketika matematika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang sudah sempurna, tidak mungkin ada pengaruh yang “baru” dari budaya, maka matematika dianggap sebagai barang yang siap saji dan peserta didik hanya tinggal menyantapnya saja.

Gambaran kompleksitas masalah yang ditimbulkan adalah sebagai berikut; peserta didik akan menjadi takut dengan matematika yang penuh akan hafalan rumus-rumus, karena ketakutan itu peserta didik menjadi tidak tahu bagaimana memanfaatkan ilmu matematika dalam kehidupannya sehari-hari dan dalam kehidupan bermasyarakat. Konsekuensi logis yang akan timbul kemudian adalah masyarakat umum akan sedikit sekali atau bahkan tidak dapat merasakan manfaat apapun dari matematika, sehingga muncullah opini di hampir setiap unit kecil masyarakat (keluarga) bahwa matematika adalah ilmu yang sulit dan menyulitkan. Ini jelas kontra produktif.

(13)

untuk menunjukkan bahwa matematika memiliki pengaruh yang timbal balik dengan budaya.

Alangui (2010: 5) di bagian awal disertasinya menyatakan bahwa jika melihat kepada alasan-alasan sejarah, budaya, sosial, politik, dan pendidikan, maka sudah

saatnya perlu ada “transformasi” dalam memandang matematika. Bentuk transformasi dalam memandang matematika itu, jika dikaji lebih mendalam, menjadi sebuah jalan lahirnya istilah yang kini dikenal dengan nama ethnomathematics (Alangui, 2010: 6). Alasan-alasan yang dimaksud di atas adalah sebagai berikut (Alangui, 2010: 3-5).

1. Untuk alasan sosial; di dalam kajian-kajian Sains dan Teknologi sangat sulit ditemukan sistem pengetahuan matematika yang berasal dari negara-negara non-Western.

2. Untuk alasan sejarah; matematika hasil pemikiran ilmuwan-ilmuwan Eropa telah dipaksakan masuk ke dalam pengajaran di negara-negara jajahan, dan mengesampingkan terjadinya konflik budaya. Lahirnya ide untuk mengkaji sejarah matematika adalah salah satu bentuk penolakan terhadap kolonialisme tersebut.

3. Untuk alasan budaya; hasil-hasil dokumentasi dan investigasi terhadap aktivitas budaya justru menunjukkan bahwa terdapat bentuk-bentuk

matematika yang “lain” yang berbeda dengan matematika hasil pemikiran negara-negara Western.

(14)

guru dan siswa dalam rangka memfasilitasi berkembangnya tingkat kreatifitas siswa untuk memecahkan permasalahan-permasalahan matematis.

Alasan-alasan yang telah dikemukakan oleh Alangui (2010) di atas secara langsung membawa arah pembicaraan ini kepada ranah ethnomathematics. Secara singkat, membahas ethnomathematics sama artinya dengan mentransformasi matematika. Sebagaimana dikemukakan Alangui (2010: 6) bahwa

“…ethnomathematics is about transforming mathematics,” ini karena

ethnomathematics adalah kajian penelitian yang menginvestigasi pengaruh timbal

balik antara matematika, budaya, dan sosial; “…research that investigates the

interplay of mathematics, culture, and society” (Alangui, 2010: 21). Terkait dengan

kelompok manusia yang tidak terfasilitasi oleh sistem pendidikan dewasa ini (indigenous people), Alangui (2010: 25) meyakini bahwa “… ethnomathematics

offers an arena where indigenous people can assert their alternative views and

knowledge about the world.” Dengan kata lain, ethnomathematics diyakini dapat

menyediakan sebuah tempat bagi para indigenous people untuk menyuarakan pengetahuan dan pandangan alternatif mereka tentang dunia ini.

Terkait konteks pendidikan, Urbiratan D’Ambrosio pernah menyatakan bahwa terdapat dua alasan utama penggunaan ethnomathematics dalam dunia pendidikan. Alasan yang pertama adalah ethnomathematics digunakan untuk mereduksi anggapan bahwa matematika itu bersifat final, permanen, absolut (pasti), dan unik (tertentu). Alasan yang kedua adalah ethnomathematics digunakan untuk mengilustrasikan perkembangan intelektual dari berbagai macam kebudayaan, profesi, jender, dan lain-lain (Paket Pembinaan Penataran, 2004: 22).

(15)

kemudian gejala-gejala kesenjangan yang timbul, berikut dengan kompleksitas masalah, dan pendekatan teoretis yang digunakan untuk mengatasi masalah, hal kedua yang menjadi alasan peneliti tertarik melakukan penelitian ini adalah data penelitian yang menunjukkan bahwa memungkinkan untuk mengungkap keterhubungan antara matematika dengan budaya.

Data penelitian tersebut diperoleh setelah peneliti terlebih dahulu melakukan pengamatan pendahuluan terhadap masyarakat adat Baduy di Kampung Gajeboh (Ulum, 2012). Pengamatan pendahuluan dilakukan selama lima hari di bulan Mei 2012. Pengamatan pendahuluan itu pada mulanya dimaksudkan untuk melihat kemungkinan dilakukannya penelitian pada produk masyarakat Baduy. Hasilnya menunjukkan bahwa dimungkinkan untuk dilakukannya pencatatan, pendokumentasian, dan pembukuan nilai-nilai matematis pada produk-produk masyarakat Baduy, seperti penanggalan, kesenian, gelas bambu, dan tenun. Melalui study ethnomathematics, peneliti meyakini bahwa hasil pengamatan pendahuluan

tersebut adalah modal untuk dilakukannya penelitian lanjutan untuk mengungkap keterhubungan timbal balik antara matematika dan budaya pada masyarakat adat Baduy.

(16)

Hasil pengamatan pendahuluan juga membawa peneliti memilih Kampung Gajeboh sebagai tempat untuk dilakukannya penelitian. Pemilihan Kampung Gajeboh salah satunya demi memenuhi unsur perpanjangan pengamatan (sebagai salah satu uji kredibilitas data kualitatif). Peneliti bermaksud membentuk rapport, keakraban dengan sumber data yang sama pada pengamatan pendahuluan sehingga terbentuk rasa saling percaya dan tidak ada informasi yang disembunyikan.

Gambar 1.1.

Suasana kampung gajeboh di baduy luar

Dengan mengamati situasi sosial, yaitu aktivitas bertenun yang dilakukan oleh masyarakat di Kampung Gajeboh di Baduy, hasil penelitian ini diharapkan dapat menunjukkan bahwa antara matematika dan budaya terdapat pengaruh yang saling timbal balik. Karakteristik kultural matematika yang diungkap, selain digunakan untuk menunjukkan adanya keterpengaruhan tersebut, diharapkan pula sebagai

konsep matematika yang “baru”, sehingga melahirkan pemahaman yang lebih

(transformasi) dalam memandang matematika. B. Identifikasi dan Perumusan Masalah

(17)

dilakukannya penelitian guna mengungkap pengaruh yang terjadi antara matematika dan budaya pada aktivitas masyarakat Baduy, maka penelitian ini disusun dengan menggunakan bentuk rumusan masalah deskriptif, yaitu “Bagaimanakah karakteristik kultural matematika pada aktivitas bertenun masyarakat Kampung

Gajeboh di Baduy?”

C. Pertanyaan Penelitian

Rumusan masalah deskriptif dirinci kembali menjadi beberapa pertanyaan penelitian, yaitu:

1) Bagaimana karakteristik kultural matematika pada proses awal bertenun masyarakat adat Baduy?

2) Bagaimana karakteristik kultural matematika pada proses inti bertenun masyarakat adat Baduy?

3) Aspek matematis apa yang dapat diungkap dari motif-motif tenunan Baduy?

D. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengungkap karakteristik kultural matematika yang terdapat pada aktivitas bertenun masyarakat Kampung Gajeboh di Baduy.

E. Manfaat/Signifikansi Penelitian

1) Dari segi teori, belum ada yang mengungkap karakteristik kultural matematika sebagai salah satu kajian ethnomathematics pada masyarakat adat Baduy, khususnya pada aktivitas bertenun. Penelitian ini bermanfaat untuk mengisi kekosongan tersebut.

(18)

mereka sudah melakukan kegiatan matematis melalui kegiatan-kegiatan budaya, terutama bertenun.

3) Dari segi praktik, penelitian ini bisa menjadi panduan bagi peneliti lain yang tertarik mengungkap karakteristik kultural matematika pada domain ethnomathematics sebagai akibat dari pengaruh timbal balik antara matematika dan

budaya.

4) Dari segi isu sosial, penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk merubah opini selama ini yang memandang bahwa matematika tidak ada pengaruh sama sekali dengan budaya. Dengan berubahnya opini tersebut maka para peserta didik di dalam pembelajaran matematika tidak akan lagi merasa takut ketika belajar matematika dan manfaat matematika akan secara sadar semakin dirasakan oleh masyarakat secara luas.

F. Struktur Organisasi Skripsi

Secara garis besar, isi dari skripsi ini disusun ke dalam lima bab. Bab yang pertama berisi latar belakang penelitian, identifikasi dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat/signifikansi penelitian, dan deskripsi dari struktur organisasi skripsi.

Bab kedua adalah kajian pustaka tentang lima hal, yakni pustaka tentang masyarakat adat Baduy, pustaka tentang seni tenun Baduy, pustaka tentang ethnomathematics dan karakteristik kultural matematika, pustaka tentang pengungkapan karakteristik kultural matematika melalui kajian ethnomathematics, serta pustaka tentang proses menenun di era modern.

(19)

pengumpulan data, teknik analisis data, rencana pengujian keabsahan data, dan road map penelitian ethnomathematics.

(20)

Asep Saeful Ulum, 2013

Study Ethomathematic: Pengungkapan Karakteristik Kultural Matematiika Pada Aktivitas Bertenun BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Apabila melihat kembali pada Bab Kajian Pustaka, ethnomathematics dalam perspektif Barton (1996) membuat penelitian ethnomathematics memungkinkan untuk didekati dengan pendekatan penelitian kualitatif. Hal tersebut disetujui pula oleh Alangui (2010: 61). Oleh karena itu, skripsi ini disusun pula dengan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif.

Selain itu, pemilihan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini didasarkan pula kepada pendapat Bogdan dan Biklen (Sugiyono, 2012: 15) bahwa karakteristik penelitian kualitatif adalah: (a) dilakukan pada kondisi yang alamiah, langsung ke sumber data dan peneliti adalah instrumen kunci, (b) lebih bersifat deskriptif, (c) lebih menekankan pada proses daripada produk atau outcome, (d) melakukan analisis data secara induktif, (e) lebih menekankan makna (data dibalik yang teramati).

Pendapat yang serupa pula dikemukakan oleh Erickson (Sugiyono, 2012: 16) bahwa ciri-ciri penelitian kualitatif itu dilakukan secara intensif, peneliti ikut berpartisipasi lama di lapangan, mencatat secara hati-hati apa yang terjadi, melakukan analisis reflektif terhadap berbagai dokumen yang ditemukan di lapangan, dan membuat laporan penelitian secara mendetail.

(21)

acuan, menampilkan pula pembahasan apabila budaya yang dijadikan sebagai kerangka acuan, keduanya dituliskan dalam suatu Critical Dialogues

“mempertemukan” pendapat dan pandangan dari masing-masing matematikawan dan pelaku budaya, hingga didapatkan konsepsi (karakteristik kultural) matematika yang

“baru”.

B. Kerangka Penelitian

Sebagaimana diungkap pada bagian akhir Bab Kajian Pustaka skripsi ini, perkembangan ethnomathematics terkini adalah melibatkan „mutual interrogation‟ di dalam metodologi penelitiannya yang dicetuskan oleh Alangui (2010). Kerangka penelitian ethnomathematics yang memfokuskan kepada praktik budaya, berdasarkan Alangui (2010: 63) dibangun terlebih dahulu dengan empat pertanyaan umum. Keempat pertanyaan tersebut adalah intisari dari pemanfaatan prinsip ethnography, yaitu:

1. Dimana kita harus memulai pengamatan? 2. Bagaimana cara mengamatinya?

3. Bagaimana cara untuk mengetahui bahwa kita telah menemukan sesuatu yang signifikan?

4. Terhadap apa-apa yang telah kita temukan, bagaimana cara kita untuk memahaminya?

(22)

antaranya legenda dan mitos, arsip-arsip budaya yang tertulis, ritual dan tradisi, hingga monumen-monumen bersejarah. Tidak semuanya menjamin kaya akan unsur-unsur matematis, namun jika ditanyakan dimanakah tempat bersemayamnya pengetahuan matematika di kehidupan sosial, jawabannya akan merujuk kepada hal-hal dan tempat-tempat di atas.

Pertanyaan yang kedua, bagaimanakah cara mengamatinya? Alangui (2010) masih menggunakan bagian awal dari definisi ethnomathematics yang dikemukakan oleh Barton (1996), bahwa ethnomathematics adalah upaya untuk menyelidiki konsep-konsep dan praktik-praktik matematika yang tidak familiar. Dengan kata lain, konsep-konsep dan praktik-praktik itu secara konvensional tidak dibicarakan di dalam

disiplin matematika. Menurut Alangui (2010: 64) kata “tidak familiar” di atas tidak

berarti bahwa hal-hal yang diselidiki tidak dikenal sama sekali oleh peneliti.

Lalu, apa makna dari “tidak familiar” itu? Alangui mengutip pendapat Kunzi

(Alangui, 2010: 64) bahwa matematika, baik jika dipandang sebagai sesuatu yang formal ataupun dipandang sebagai ekspresi dari kehidupan sehari-hari, kedua-duanya memiliki konsep-konsep dan ekspresi-ekspresi yang konvensional. Beberapa konsep dapat dengan eksplisit dijelaskan, begitu pula dengan counter example-nya. Melihat

sesuatu yang “tidak familiar” berarti memahami apa arti dari “tidak familiar” itu, dan

hal tersebut harus sejalan dengan metode, dan pendekatan yang dipilih dalam penelitian. Ketidaksejalanan antara metode, pendekatan, dengan concepts atau practices matematika yang “tidak familiar”, sering dilakukan oleh para ethnomathematician, dan itu akan menjadi kelemahan dalam penelitian.

Pertanyaan yang ketiga, kapan kita tahu bahwa kita telah menemukan sesuatu? Menjawab pertanyaan tersebut, Alangui (2010: 68) menjawabnya dengan

“… when it comes from a cultural group and when it is mathematics.” Dengan kata

(23)

belum dapat dikatakan cukup sebelum merubah pandangan peneliti terhadap ide-ide matematika (sebelum mendapatkan perceptual shift about mathematics).

Sekali lagi, Alangui (2010) merujuk kepada Barton (1996) yang menyatakan bahwa objek yang diteliti dalam ethnomathematics adalah QRS (quantitative, relational, and spatial realities), dan hasil abstraksi terhadap QRS tersebut adalah practices dan concepts yang bersifat matematika. Namun dalam kerangka penelitian

ethnomathematics gubahan Alangui (2010) QRS tersebut dimodifikasi menjadi QRS

Conseptual System. Ini karena unsur-unsur kuantitatif, hubungan (relational), dan

kemampuan ruang (spatial) di dalam suatu budaya perlu ditemukan dengan menggunakan asumsi bahwa unsur-unsur tersebut adalah bentuk penegasan dari apa yang dikonsepsikan oleh budayanya sendiri, bukan dari apa yang dikonsepsikan oleh matematika saja.

Dari objek yang diteliti tersebut, Alangui (2010: 67) menggunakan istilah external configuration of mathematics sebagai sesuatu yang kita temukan. External

configuration of mathematics adalah gambaran dari objek budaya yang diteliti terkait

dengan aspek-sapek di dunia ini. Khususnya jika dikaitkan dengan sains dan teknologi. Sebagai contoh, Alangui (2010) menunjukkan hasil kajian Ascher bahwa pernah ada penelitian tentang vedic mathematics, yaitu penggambaran praktik-praktik dari matematika yang terkait erat dengan agama.

Pertanyaan yang keempat, bagaimana cara kita memaknai terhadap apa-apa yang telah kita temukan? Alangui (2010) memperjelas pertanyaan itu dengan ungkapannya bahwa ketika objek penelitian dalam study ethnomathematics telah diidentifikasi, pertanyaan akhir adalah bagaimana cara kita memahami concept dan practices tersebut? Bagaimanakah sebuah concept atau practices dapat dipahami

(24)

Pertanyaan di atas adalah salah satu pertanyaan dalam kajian antropologi. Bagaimana bisa seseorang yang berasal dari satu budaya, atau dari satu era budaya tertentu, memahami secara layak sesuatu yang berasal dari budaya atau era budaya yang berbeda, bahkan tidak menjadi bagian penuh dari budaya tersebut? Pertanyaan tersebut dijawab dengan teknik metodologi ethnografi, dan teknik tersebut sering digunakan oleh para ethnomathematician (Alangui, 2010: 69).

Alangui (2010) berpendapat bahwa ethnomathematics tidak sama dengan antropologi. Tugas para antropolog adalah memahami budaya. Sementara ethnomathematics adalah tentang matematika. Tugas dari ethnomathematics yaitu

memperluas konsepsi-konsepsi matematika dengan menggunakan budaya sebagai konteks. Dari sudut pandang matematika, kesuksesan ethnomathematics bergantung

kepada bagaimana dia mampu memodelkan “realita”. Namun fakta tersebut tidak lantas membuat peneliti ethnomathematics berlepas tangan dari pertanggungjawaban atas proses penelitiannya terhadap budaya (antropologi). Bagaimana cara menampilkan budaya adalah satu komponen penting dalam proses penelitian ethnomathematics. Namun pula, berdasarkan pandangan-pandangan terkini di

antropologi, kita tidak akan pernah bisa mendapatkan pemahaman yang utuh tentang konteks, yang bisa dilakukan hanyalah mendekati kebenaran dalam memahaminya (Alangui, 2010: 69). Dengan kata lain, jawaban dari pertanyaan keempat ini adalah peneliti ethnomathematics baru dapat memahami terhadap apa-apa yang ditemukan jika sudah menggunakan sudut pandang matematika dan sudut pandang budaya.

(25)

6

orang-orang yang memiliki pengetahuan dan praktik

bertenun Baduy.

Menggambarkan bagaimana dunia modern kini

mempraktikkan tenun.

Menggambarkan bagaimana aktivitas bertenun

masyarakat Baduy.

Menentukan ide-ide QRS apa saja yang terdapat pada

aktivitas bertenun masyarakat Baduy, dan

memperhatikan pula aspek budaya lain seperti bahasa,

mitos-mitos pada tenunan.

Mengidentifikasi karakteristik-karakteristik

matematika yang terkait dengan QRS pada aktivitas

bertenun masyarakat Baduy.

Menggambarkan keterhubungan yang terjadi antara

(26)

Generic supervisor dari Alangui (2010). Dalam pesan E-mailnya kepada peneliti, tulisan

Barton (2013) yang berjudul A Methodology for Ethnomathematics menyebutkan bahwa ada 4 (empat) ide penting dalam metodologi penelitian ethnomathematics, yaitu konstruksi dari budaya, konsep alternatif, filosofi matematika, dan hubungan antara ethnomathematics dengan antropologi. Sebagaimana diungkapkannya dengan

“… discussion on four critical ideas: the construct of culture, the concept of alterity, the philosophy of mathematics, and the relationship between ethnomathematics and

anthropology” (Barton, 2013: 1).

Mengawali penjelasan dari keempat ide penting di atas, Barton (2013: 2) menuliskan bahwa objek kajian study ethnomathematics akan selalu berupa bentuk matematika yang tidak familiar, yang oleh karenanya kita semua merasakan ketertarikan. Para peneliti/pengkaji study ethnomathematics berharap untuk menggali concepts dan practices, yang dirasa memiliki unsur-unsur matematis, namun tidak

menjadi bagian dari “dunia” matematika yang telah dikenal peneliti/pengkaji.

(27)

masalah terakhir adalah bagaimana untuk memahami apakah yang sudah kita temukan itu. Penjelasan singkat dari keempat masalah yang perlu dijawab oleh setiap peneliti study ethnomathematics tersebut adalah:

The place to start looking is within an identifiable cultural context. The

way to look is to seek „unfamiliarities‟ within the quantitative, relational and

spacial aspects of the cultural milieu. In order to recognise that something is significant it is necessary to be clear about mathematical characteristics. The way to understand what has been identified is to place it in its cultural context (Barton, 2013: 2).

Dari penjelasan singkat di atas, diketahui bahwa tempat untuk memulai pengamatan ada pada konteks budaya yang memungkinkan untuk diidentifikasi.

Kemudian cara untuk melihat “ketidakfamiliaran” adalah dengan melihat aspek-aspek QRS (Quantitave, Relational, dan Spatial) dari lingkungan persekitaran budaya. Selanjutnya, dalam rangka untuk menyadari signifikansi dari sesuatu yang kita amati maka penting untuk melihat karakteristik-karakterisitik matematika. Terakhir, cara yang digunakan untuk memahami apa yang telah diidentifikasi ialah dengan menempatkannya pada konteks budaya.

Pengelaborasian jawaban dari keempat pertanyaan tersebut telah dikemukakan di bagian atas (mengutip Alangui, 2010). Namun, Barton (2013) menambahkan beberapa informasi penting. Peneliti merasa perlu untuk mengemukakannya di bagian ini.

(28)

bahkan bagi pelaku budaya sendiri. Namun, Barton (2013) mengingatkan bahwa tidak semua konteks yang dianggap sangat penting bagi suatu komunitas itu bisa dijadikan sebagai tempat awal pengamatan ethnomathematics, karena yang terpenting bukanlah seberapa penting konteks itu melainkan seberapa banyak dugaan adanya unsur-unsur matematis dalam konteks budaya tersebut.

Tambahan informasi dari Barton (2013) ketika menjawab bagaimana cara yang harus dilakukan untuk melakukan pengamatan adalah para ethnomathematician perlu untuk mempelajari kawasan ilmu/pengetahuan yang lain. Kawasan pengetahuan yang lain misalnya adalah bahasa. Di dalam suatu komunitas budaya, pasti ada banyak istilah kata-kata yang khusus, gaya bahasa, metafora, dan seterusnya. Menguasai etimologi (asal-usul kata) akan sangat mungkin menjadi penghubung antara tingkah laku budaya atau objek pengamatan dengan konsep-konsep matematika. Pertanyaan-pertanyaan yang dapat diajukan (misalnya pada pengucapan bilangan dan orientasi arah) adalah seperti apa bilangan-bilangan disebutkan dalam bahasa mereka? Beda bahasa maka beda pula metaforanya, jika di satu konteks budaya ada metafor bahasa yang bersifat matematis, lalu pada konteks budaya apa lagi metafor tersebut digunakan? Apa yang membedakan metafor tersebut dengan pengetahuan matematika yang telah kita kenal? Beberapa pertanyaan (terkait dengan kebahasaan) akan sangat mungkin membawa kita kepada bentuk matematika yang tidak familiar (Barton, 2013: 6).

(29)

muncul para pengkritik yang mengatakan tidak mungkin para penenun tradisional telah mengetahui Teorema Phytagoras. Padahal Gerdes hanya mendeskripsikan aktivitas penenun tradisional kemudian dia menghubungkan temuannya itu dengan pengajaran matematika di sekolah.

Tambahan informasi dari Barton (2013) ketika menjawab kapan kita mengetahui bahwa kita telah menemukan sesuatu, seperti telah diungkap di atas pada Alangui (2010) yang berpendapat bahwa kita telah telah menemukan sesuatu jika kita sudah mengkaitkannya dengan konfigurasi eksternal dari matematika, misalnya yang kita temukan itu erat kaitannya dengan dunia teknologi. Barton (2013) merasa hal tidak cukup apabila hanya melihat hubungan antara matematika dengan kawasan pengetahuan tertentu. Sebagai contoh, Barton (2013: 9) mempertanyakan, ketika seseorang mengkaji pola-pola yang ada pada sebuah tikar, bagaimanakah cara ia membedakan mana yang merupakan anyaman dan mana yang merupakan matematika? Atau (jika yang dikaji adalah aktivitas seorang tukang kayu) lantas bagaimanakah kita tahu bahwa seorang tukang kayu itu sedang melakukan sesuatu yang bersifat matematika? Oleh karena itu, Barton (2013) menyatakan bahwa ketika melakukan pengidentifikasian kriteria-kriteria untuk menjadikan suatu practice atau concept dari konteks budaya sebagai sesuatu yang matematis, ketika proses tersebut

berlangsung, secara bersamaan perlu pula untuk disadari bahwa ada kategori-kategori lain yang melekat pada konteks tersebut (tidak hanya kategori matematika).

Demikianlah penjelasan dari Barton (2013) terkait kerangka penelitian ethnomathematics yang memanfaatkan prinsip-prinsip ethnography. Pemanfaatan

prinsip-prinsip tersebut dirangkum dalam 4 (empat) pertanyaan umum sebagaimana telah dijelaskan di atas.

C. Prosedur Penelitian

(30)

1. Analisis Pra-lapangan

Pada tahapan ini, peneliti merumuskan masalah, melakukan pengamatan pendahulaun, menganalisis data hasil studi pendahuluan, menentukan masalah penelitian, memilih metode penelitian, dan sumber data. Selanjutnya membuat proposal, mengajukan kepada koordinator skripsi, melakukan seminar, konsultasi kepada pembimbing, dan mengajukan surat izin penelitian dari Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UPI. Kemudian, peneliti mengajukan surat perizinan penelitian ke DISPORABUDPAR Kabupaten Lebak Propinsi Banten, dan terakhir ke Kantor Kepala Desa Kanekes (Jaro Dainah) di Kampung Kaduketug wilayah adat Baduy Luar.

2. Analisis selama di lapangan

Pada langkah ini, peneliti melakukan penelitian dengan cara mengumpulkan data dari lapangan. Tahapan kegiatan ini adalah sebagai berikut.

a. Melakukan penelitian dengan mengumpulkan data dalam bentun catatan lapangan dari beberapa narasumber penting berupa hasil wawancara, foto, rekaman;

b. Mereduksi data untuk mempermudah dalam melakukan pengumpulan data selanjutnya dan mencarinya bila diperlukan;

c. Menampilkan data dalam bentuk tabel dan diagram agar data dapat terorganisasikan, tersusun dalam pola hubungan, dan dapat dengan mudah dipahami;

d. Memverifikasi data dengan cara menyimpulkan dan menjawab rumusan masalah yang diperkuat oleh bukti-bukti penelitian.

(31)

Pada langkah ini, peneliti menuangkan hasil penelitian ke dalam bentuk karya ilmiah berupa skripsi. Tahapan pada kegiatan ini meliputi:

a. Pengumpulan data hasil penelitian dan studi dari berbagai sumber, seperti jurnal, prosiding, buku, majalah, surat kabar, dan internet; b. Pengelompokkan data penelitian;

c. Penyusunan data sesuai fokus kajian permasalahan dan tujuan penelitian;

d. Penganalisisan data, membahas dan mendeskripsikan temuan-temuan dari hasil penelitian ke dalam karya ilmiah;

e. Penyimpulan hasil penelitian. D. Fokus Penelitian

Sebagai lanjutan dari pengamatan pendahuluan yang dilakukan oleh Ulum (2012), skripsi ini mengambil fokus peneilitian, yaitu aktivitas bertenun masyarakat adat Baduy. Hal tersebut didasarkan kepada hasil Ulum (2012) yang menyebutkan bahwa dimungkinkan untuk dilakukannya penelitian ethnomathematics pada aktivitas bertenun masyarakat adat Baduy. Aktivitas bertenun, dibalik pengetahuan budaya yang melingkupinya, dipandang memiliki karakteristik-karakteristik matematika. Pengungkapannya melalui ethnomathematics diyakini akan menunjukkan adanya keterhubungan antara matematika dengan budaya, juga sebaliknya.

Oleh karena itu, sebagai lanjutan dari pengamatan pendahuluan tersebut, study ethnomathematics ini mengambil fokus penelitian, yaitu aktivitas bertenun yang

dilakukan oleh masyarakat adat Baduy. E. Tempat dan Waktu Penelitian

(32)

(sebagai salah satu uji kredibilitas data kualitatif). Peneliti bermaksud membentuk rapport, keakraban dengan sumber data yang sama dengan saat pengamatan

pendahuluan sebelumnya, sehingga terbentuk rasa saling percaya dan tidak ada informasi yang disembunyikan. Pada proses pengamatan pendahuluan untuk penelitian ini, ketika itu peneliti juga menjadikan keluarga Mang Uncil sebagai objek pengamatan.

Secara lebih spesifik, tempat yang diteliti adalah tempat-tempat dimana proses bertenun dilakukan. Lebih seringnya proses bertenun dilakukan di beranda setiap rumah adat di Kampung Gajeboh. Bahkan hampir sepenuhnya penelitian dilakukan di beranda rumah keluarga Mang Uncil. Tetapi pada beberapa kesempatan, proses bertenun juga membutuhkan tempat yang lapang (terutama ketika proses awal bertenun) dan tempat yang lapang di sekitar rumah pun menjadi salah satu tempat yang diteliti dalam penelitian ini.

Pelaksanaan penelitian dilakukan dalam 2 (dua) tahapan, yaitu pengamatan pendahuluan selama lima hari pada 29 Mei 2012 hingga 5 Juni 2012, dan penelitian selama sembilan hari pada 28 Desember 2012 hingga 5 Januari 2013.

F. Sampel Sumber Data Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, karenanya dalam penelitian ini tidak menggunakan istilah populasi dan sampel melainkan situasi sosial dan nara sumber dari situasi sosial yang diamati. Di dalam situasi sosial, terdapat tiga elemen, yaitu tempat, pelaku, dan aktivitas. Sering pada beberapa situasi, pelaku dalam situasi sosial yang diteliti menjadi nara sumber pula dalam penelitian ini.

(33)

orang-orang yang dipandang tahu tentang tenun Baduy. Penentuan sumber data pada orang yang diwawancarai dilakukan secara purposive, yaitu dipilih dengan pertimbangan dan tujuan tertentu.

G. Instrumen Penelitian

Dalam penelitian kualitatif ini, yang menjadi instrumen adalah peneliti sendiri. Dalam hal ini peneliti melakukan wawancara, observasi dan studi artefak (foto, video), serta melakukan analisis, memberi arti dan makna terhadap data yang ditemukan, hingga membuat kesimpulan.

Dengan kata lain, sebagai instrumen dalam penelitian ini, peneliti menentukan siapa yang tepat digunakan sebagai sumber data, peneliti melakukan pengumpulan data dan analisis data kualitatif, dan selanjutnya menyimpulkan secara kualitatif mengapa para wanita penenun di Kampung Gajeboh di Baduy melakukan kegiatan-kegiatan yang memiliki karakteristik matematika dalam proses bertenunnya, menggambarkan pula bagaimana mereka melakukan kegiatan-kegiatan tersebut, hingga pada penggambaran hubungan apa yang terjadi antara matematika dan budaya pada konteks tersebut.

H. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan gambaran yang lengkap mengenai fenomena sosial yang diteliti, maka pengumpulan data skripsi ini diusahakan sekomprehensif mungkin. Seperti diungkap sepintas pada bagian Kerangka Penelitian, penelitian ethnomathematics menggunakan prinsip-prinsip ethnography dalam mengumpulkan

data yang terkait dengan budaya. Oleh karena itu, sebagai respon atas prinsip-prinsip ethnography, skripsi ini menekankan pada 3 (tiga) hal utama dalam teknik

pengumpulan data, yaitu setting, sumber, dan cara.

(34)

data primer, yaitu sumber data yang langsung memberikan data kepada peneliti. Untuk cara, penelitian ini menggunakan studi kepustakaan, teknik observasi, wawancara mendalam (in depth interview), dan artefak (foto, video).

Studi kepustakaan diperlukan untuk memperoleh gambaran tentang penelitian-penelitian lain yang berhubungan dengan penelitian dalam skripsi ini, menghubungkan penelitian skripsi dengan cakupan pembicaraan yang lebih luas dan berkesinambungan tentang topik yang sama, dan memberi kerangka untuk melakukan analisis terhadap topik penelitian.

Studi kepustakaan dalam skripsi ini dilakukan dengan cara mempelajari sejumlah literatur, jurnal, paper hasil prosiding, naskah akademis, dan skripsi-skripsi lain bahkan disertasi luar negeri yang dinilai mampu memberikan kerangka teori bagi penelitian ini. Peneliti juga mempelajari buku-buku yang diterbitkan oleh dinas-dinas terkait. Dengan mempelajari berbagai literatur, gambaran yang diperoleh peneliti kemudian digunakan untuk melakukan penggalian data lebih mendalam.

Untuk observasi, dilakukan 3 (tiga) tahapan, yaitu observasi deskriptif, observasi terfokus, dan observasi terseleksi. Observasi deskriptif dilakukan peneliti pada saat memasuki situasi sosial tertentu sebagai obyek penelitian. Pada tahap ini peneliti melakukan penjelajahan umum dan menyeluruh, melakukan deskripsi terhadap semua yang dilihat, didengar, dan dirasakan. Semua data direkam, oleh karena itu hasil dari observasi ini disimpulkan dalam keadaan yang belum tertata. Dalam penelitian ini, observasi deskriptif berarti peneliti melakukan penjelajahan umum di Kampung Gajeboh lalu mendeskripsikan apa saja yang dilihat, didengar, dan dirasakan dari proses bertenun yang dilakukan oleh para wanita di sana.

(35)

peneliti memfokuskan diri, salah satunya kepada aspek proses dan waktu dalam bertenun (proses awal bertenun, dan proses inti bertenun).

Tahapan observasi ketiga, yaitu observasi terseleksi. Pada tahap ini peneliti menguraikan fokus yang telah ditemukan sehingga datanya lebih rinci. Di tahapan ini peneliti menemukan karakteristik, kontras-kontras/perbedaan dan kesamaan antar kategori, serta menemukan hubungan suatu kategori dengan kategori yang lain. Dalam penelitian ini, peneliti memperinci data berdasarkan kategori-kategori yang telah diperoleh pada observasi terseleksi, salah satunya adalah kategori proses dan waktu dalam bertenun.

Kemudian, data primer diperoleh melalui wawancara mendalam (indepth interview) menggunakan pedoman wawancara terhadap berbagai informan yang

terlibat (baik aktif maupun pasif) dalam aktivitas bertenun masyarakat adat Baduy dan dipandang menguasai pengetahuan tentang konteks tersebut. Kelompok narasumber pertama adalah para wanita Baduy yang sedang melakukan aktivitas bertenun, baik mereka yang bertenun sejak proses awal, ataupun mereka yang melanjutkan tenunan wanita lain (di proses inti). Narasumber utama dalam kelompok yang pertama ini adalah Ibu Siwa (istri dari Mang Uncil), Serina (adik dari Ibu Siwa), dan Surni.

(36)

Tahapan wawancara mendalam pada penelitian skripsi ini, secara garis besar adalah sebagai berikut.

1) Menetapkan kepada siapa wawancara itu akan dilakukan;

2) Menyiapkan pokok-pokok masalah yang akan menjadi bahan pembicaraan;

3) Mengawali atau membuka alur wawancara; 4) Melangsungkan alur wawancara;

5) Mengkonfirmasikan ikhtisar hasil wawancara dan mengakhirinya; 6) Menuliskan hasil wawancara ke dalam catatan lapangan;

7) Mengidentifikasi tindak lanjut hasil wawancara yang telah diperoleh. Sementara tentang jenis-jenis pertanyaan dalam wawancara, dalam penelitian ini setiap jenis pertanyaan dikaitkan dengan aktivitas bertenun dan hal-hal lain yang terkait dengan matematika. Adapun jenis-jenis pertanyaan dalam wawancara pada penelitian ini adalah (1) pertanyaan yang berkaitan dengan pengalaman; (2) pertanyaan yang berkaitan dengan pendapat; (3) pertanyaan yang berkaitan dengan perasaan; (4) pertanyaan tentang pengetahuan; (5) pertanyaan yang berkaitan dengan indera; dan (6) pertanyaan yang berkaitan dengan latar belakang atau demografi.

Untuk artefak, secara umum data dikumpulkan dengan pengambilan banyak foto dan rekaman video. Hasil pengumpulan data dengan artefak ini terutama untuk dianalisis pasca penelitian (setelah berada di luar Kampung Gajeboh). Khususnya untuk membantu peneliti menemukan aspek-aspek tambahan pada QRS yang

“tertanam” pada motif kain tenun dan proses menenun.

I. Teknik Analisis Data

(37)

dengan fenomena sosial yang diteliti. Selanjutnya peneliti melakukan pengamatan pendahuluan, proses tersebut diapit oleh proses penggalian data pustaka untuk menyusun pedoman wawancara yang akan digunakan sebagai alat penggalian data kepada beberapa narasumber yang dipandang memiliki kompetensi dalam hal pengetahuan, praktik, hingga makna aktivitas bertenun masyarakat adat Baduy. Proses pengamatan pendahuluan sangat membantu peneliti untuk memilih narasumber yang kompeten. Proses wawancara direkam dalam bentuk transkrip wawancara, yang kemudian diolah melalui proses penandaan (koding) untuk memperoleh gambaran kesinambungan data antar narasumber dalam penelitian ini, sebelum hasilnya dimasukkan dalam catatan lapangan.

Informasi yang diperoleh melalui teknik pengumpulan di atas, selanjutnya digunakan untuk melakukan Critical Dialogues di antara dua sistem pengetahuan (matematika dan budaya) melalui prinsip mutual interrogation sebagai teknik analisis data pada penelitian ethnomathematics. Teknik analisis data tersebut sepenuhnya didasarkan kepada disertasi Alangui (2010). Proses penyelenggaraan critical dialogues melalui prinsip mutual interrogation pada penelitian ethnomathematics

dinyatakan oleh Alangui (2010: 87) sebagai berikut.

1. Merancang lahirnya dialog yang kritis antara pelaku budaya (mewakili sistem pengetahuan budaya) dan matematikawan (mewakili sistem pengetahuan matematika);

2. Gambarkan kesejajaran posisi antar keduanya, yaitu dengan menggunakan elemen-elemen yang terdapat pada satu sistem pengetahuan untuk ditanyakan kepada sistem pengetahuan yang lain;

3. Libatkan proses refleksi secara terus menerus untuk mempertanyakan konsepsi-konsepsi matematika;

(38)

Skripsi ini berusaha untuk membangun sebuah proses Critical Dialogues menggunakan prinsip mutual interrogation di antara dua sistem pengetahuan, yaitu pengetahuan penduduk Baduy yang tertanam pada aktivitas bertenunnya, dan pengetahuan-pengetahuan konvensional matematika. Study ethnomathematics ini, melalui Critical Dialogues dengan menggunakan prinsip mutual interrogation, diharapkan dapat memberikan kemungkinan-kemungkinan untuk melakukan

“transformasi”, melahirkan kembali perkembangan pengetahuan-pengetahuan di dalam matematika, dan budaya.

J. Rencana Pengujian Keabsahan Data

Berkenaan dengan pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, maka uji keabsahan data yang dilakukan ada empat, yaitu Uji Kredibilitas Data, Uji Transferability, Uji Depenability, dan Uji Confirmability. Di dalam uji yang pertama, yaitu Uji Kredibilitas Data, peneliti

melibatkan empat komponen. Untuk uji ketiga dan keempat, peneliti melakukannya secara bersamaan. Penguji Depenability dan Confirmability adalah pembimbing dalam penelitian ini.

(39)

lebih dalam tentang tenun Baduy, yaitu pada bulan Desember 2012 hingga awal Januari 2013.

Komponen Uji Kredibilitas yang kedua, yaitu peningkatan ketekunan, peneliti menyikapinya dengan membekali diri dengan membaca berbagai referensi tentang seni tenun Baduy. Peneliti mengamati pula secara lebih seksama dokumentasi-dokumetasi milik peneliti saat melakukan pengamatan pendahuluan.

Sementara untuk komponen yang ketiga, yaitu triangulasi, peneliti melakukan pengecekan data dengan tiga jenis triangulasi. Hampir seluruhnya, peneliti lakukan pengecekan data dengan triangulasi sumber (mengecek data dari berbagai sumber yang terkait), dan triangulasi waktu (mengecek data di waktu pagi, siang, sore, dan malam hari), sementara triangulasi teknik (observasi, dokumentasi, dan wawancara) hanya peneliti lakukan ketika mengecek data terkait dengan gambar pola/motif tenunan.

Untuk komponen Uji Kredibilitas yang keempat, yaitu diskusi dengan teman, peneliti melakukan diskusi dengan 3 (tiga) kawan yang sama-sama meneliti dengan tema kajian ethnomathematics. Diskusi dijadwalkan satu kali setiap satu pekan, terus menerus sejak bulan Maret hingga bulan Desember 2012, bahkan berlanjut hingga penyusunan laporan penelitian ini di tahun 2013. Topik diskusi adalah seputar kajian sejarah hingga perkembangan ethnomathematics, pendekatan penelitian kualitatif, metodologi penelitian dalam ethnomathematics, hingga teknik analisis data yang biasa dilakukan oleh para ethnomathematician.

(40)

Depenability dan Uji Confirmability, peneliti melakukannya hampir bersamaan

dengan melaporkan semacam “jejak langkah aktivitas” kepada pembimbing dalam

penelitian ini. Jejak langkah aktivitas tersebut diaudit oleh pembimbing pada Februari 2013 sekaligus hasil penelitian ini diuji dengan dikaitkan terhadap setiap proses yang dilakukan.

K. Road Map Penelitian Ethnomathematics

Road map penelitian ethnomathematics perlu untuk peneliti kemukakan

dengan pertimbangan agar dapat dilihat posisi penelitian ini terhadap penelitian-penelitian (perkembangan-perkembangan) sebelumnya pada area penelitian-penelitian ethnomathematics. Untuk menggambarkan road map penelitian ini, peneliti

menggunakan Causal Loop Diagrams dan Fishbone Diagrams.

Causal Loop Diagrams adalah sebuah diagram yang memperlihatkan

hubungan sebab akibat dari apa yang sedang terjadi. Ada feedback negatif, dan feedback positif untuk menyatakan keterhubungan sebab akibat dari dua kejadian

yang sedang terjadi. Jika dengan meningkatnya suatu kejadian (misal A) menyebabkan meningkatnya pula kejadian yang lain (B), maka hal tersebut dipandang sebagai feedback positif. Tidak hanya itu, feedback positif juga dilabelkan ketika menurunnya kejadian A menyebabkan menurunnya pula kejadian B. Feedback negatif adalah sebaliknya; jika dengan meningkatnya kejadian A justru menurunkan kejadian B, atau dengan menurunnya kejadian A justru meningkatkan kejadian B.

Langkah-langkah pembuatan Causal Loop Diagrams (Kim, 1992):

1. Pikirkan elemen-elemen yang nanti akan terdapat pada casual loop diagrams sebagai variabel-variabel yang bisa meningkat ataupun

menurun.

(41)

kejadian-kejadian yang terjadi pada casual loop diagrams ditentukan oleh arah panah, bukan oleh elemennya.

b. Meskipun begitu, pastikan bahwa istilah yang dijadikan elemen adalah sesuatu yang jelas apakah variabel (elemen) itu meningkat atau tidak.

Contoh, gunakanlah kata “Toleransi untuk kriminal” daripada kata “Sikap terhadap aksi kriminal.”

c. Secara umum, akan menjadi jelas apabila frase kata yang digunakan sebagai elemen adalah frase yang memiliki nilai positif. Contoh,

gunakanlah kata “Tumbuh” daripada kata “Kontraksi”.

d. Link-link pada casual loop diagrams harus berimplikasi pada arah sebab-akibat, dan bukan berupa plot waktu yang sederhana. Oleh karena itu, apabila ada link positif dari elemen A ke elemen B,

tidaklah dibaca sebagai “jika A terjadi maka B terjadi”, melainkan

dibaca sebagai “jika A meningkat maka B meningkat.”

2. Ketika mengkonstruksi link-link pada casual loop diagrams, pikirkanlah kemungkinan-kemungkinan lain yang sebelumnya tidak pernah diduga memiliki efek terhadap elemen-elemen yang disambungkan.

3. Untuk loop yang bernilai feedback negatif, biasanya disanalah tujuan yang harus dicapai itu berada.

4. Perbedaan antara apa yang telah terjadi dengan apa yang dirasakan terhadap suatu proses bisa sering menjadi hal yang penting dalam menjelaskan suatu kebiasaan. Maka dari itu penting untuk membuat causal loop antar 2 (dua) elemen untuk menilai yang mana yang sudah

(42)

biasanya ada sesuatu yang menunda/menghalangi. Penundaan/penghalang itu pun perlu untuk digambarkan causal loop-nya.

5. Terdapat perbedaan antara konsekuensi yang panjang (dirasakannya lama) dengan konsekuensi yang pendek (dirasakan seketika), dan hal tersebut sangat mungkin membedakan pula dalam penggambaran loop-nya.

6. Jika link antara dua elemen dipandang memiliki penjelasan yang panjang, pikirkanlah kemungkinan dibuatnya elemen perantara yang menjembatani kedua elemen tersebut untuk lebih memperjelas apa sebenarnya yang sedang terjadi.

(43)

Gambar 3.1.

Causal loop diagrams study ethnomathematics

Dari gambar causal loop diagrams di atas, misalkan kita ambil dua elemen,

yaitu “study ethnomathematics” dan elemen “tidak mengetahui timbal balik matematika dengan budaya.” Gambar tersebut menjelaskan bahwa jika study ethnomathematics meningkat (berarti ada gerakan yang masif dalam kajian-kajian

ethnomathematics) maka hal tersebut akan mengakibatkan turunnya level ketidak tahuan hubungan antara matematika dengan budaya. Namun, apabila ketidak tahuan adanya hubungan yang timbal balik antara matemaika dengan budaya meningkat, hal tersebut akan mengakibatkan tingginya study ethnomathematics.

(44)

menggunakan Fishbone Diagrams (diagram tulang ikan). Fishbone Diagrams (WBI Evaluation Group, 2007) adalah sebuah diagram sebab-akibat yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi potensi apa (yang aktual) yang dapat menjadi penyebab lahirnya sua tu kebutuhan (masalah). Fishbone Diagrams menyediakan sebuah struktur kelompok-kelompok diskusi di sekitar potensi (aktual) penyebab lahirnya kebutuhan (masalah). Beberapa keuntungan yang diperoleh dengan dibuatnya Fishbone Diagrams adalah: 1) Diagram ini memungkinkan lahirnya analisis yang

peka sehingga terhindar dari pengamatan yang tidak perlu terhadap kemungkinan-kemungkinan akar masalah yang harus diselesaikan; 2) Teknik Fishbone ini mudah untuk diimplementasikan dan menciptakan kemudahan untuk memahami representasi penyebab masalah (lahirnya kebutuhan) secara visual, bahkan hingga kepada kategori-kategori penyebab, dan apa yang harus diselesaikan; 3) Dengan menggunakan Fishbone Diagrams, di dalam sebuah “gambar yang besar” kita masih bisa fokus terhadap kemungkinan penyebab lahirnya kebutuhan (masalah) atau fokus kepada faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi lahirnya suatu kebutuhan (masalah); 4) Bahkan setelah dipetakan dengan jelas bagaimana kondisi kebutuhan (masalah), Fishbone Diagrams tetap akan memperlihatkan area of weakness (area yang masih lemah), yang sekalinya area tersebut ditunjukkan, akan sangat mungkin (menarik pihak-pihak lain) melakukan revisi-revisi dan membentuk diagram baru sehingga kesulitan-kesulitan lanjutan yang mungkin muncul akan dapat diantisipasi.

Prosedur umum pembuatan Fishbone Diagrams dijelaskan pada delapan tahapan di bawah ini (WBI Evaluation Group, 2007):

1. Lakukan identifikasi kesenjangan (celah, gap) yang perlu untuk dicapai dengan sempurna melalui hasil project (program) yang sedang dijalani. 2. Perjelaslah, dengan menggunakan kalimat yang singkat tentang apa yang

(45)

kelompok project (program) setuju dengan kalimat yang menggambarkan kebutuhan (masalah) tersebut.

3. Menggunakan selembar kertas yang panjang, gambar garis horizontal

sepanjang kertas. Garis tersebut akan menjadi “tulang belakang ikan”.

Tuliskanlah kalimat singkat yang menjadi kebutuhan (masalah) di

sepanjang “tulang belakang ikan” di sebelah kiri tangan.

4. Identifikasi hal-hal yang melenceng sebagai kategori penyebab lahirnya suatu kebutuhan (masalah). Teknik yang efektif untuk bisa mengidentifikasi kategori penyebab lahirnya kebutuhan (masalah) adalah dengan teknik brainstorming. Untuk setiap kategori penyebab, gambarlah

sebuah “tulang” berupa garis yang membentuk sudut 45 derajat terhadap “tulang belakang ikan”.Beri label pada setiap “tulang” tersebut.

5. Bentuk kelompok-kelompok brainstorm untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menjadi pengaruh lahirnya penyebab dan kebutuhan (masalah). Untuk setiap kategori penyebab, kelompok-kelompok itu harus

bertanya: “Mengapa hal ini dapat terjadi?” Tambahkan pula “alasan mengapa” di dalam diagram.

6. Ulangi prosedur bertanya “Mengapa hal ini dapat terjadi” untuk setiap jawaban yang telah ditemukan, hingga pertanyaan yang diajukan sudah tidak lagi berarti untuk dijawab.

7. Ketika kelompok telah sepakat dengan isi diagram yang telah cukup memuat informasi, analisislah diagram. Khususnya, temukan/lihat bagian penyebab yang muncul lebih dari satu kali pada bagian diagram.

(46)

yang harus diambil. Pengambilan sikap tersebut mungkin akan menyangkut kepada investigasi selanjutnya terhadap akar-akar penyebab yang lain.

Berdasarkan kepada penjelasan, dan pedoman membuat Fishbone Diagrams, serta kajian pustaka yang menggambarkan perkembangan penelitian ethnomathematics, maka peneliti kemudian menyusun Fishbone Diagrams penelitian

ethnomathematics seperti terlihat pada gambar berikut.

Gambar 3.2.

Fishbone diagrams penelitian ethnomathematics

(47)

Asep Saeful Ulum, 2013

Study Ethomathematic: Pengungkapan Karakteristik Kultural Matematiika Pada Aktivitas Bertenun BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Untuk menjawab pertanyaan deskriptif pada rumusan masalah, yaitu “Bagaimanakah karakteristik kultural matematika pada aktivitas bertenun

masyarakat Kampung Gajeboh di Baduy?” kesimpulan penelitian ini dibagi

berdasarkan proses awal bertenun, proses inti bertenun, dan motif tenunan Baduy. Karakteristik kultural matematika diungkap melalui study ethnomathematics dengan prinsip mutual interrogation yang memandang pengetahuan matematika dan pengetahuan budaya sebagai dua pengetahuan yang sejajar.

Pada proses awal bertenun, karakteristik kultural matematika diungkap dengan menggunakan matematika sebagai kerangka acuan. Penggunaan matematika sebagai kerangka acuan berarti proses interogasi dimulai dari elemen-elemen budaya pada proses tersebut.

Karakteristik kultural matematika yang terungkap pada proses persiapan bertenun masyarakat adat Baduy adalah:

1) Ada kesejajaran yang menarik antara penenun dengan matematikawan dalam hal bagaimana keduanya dipandang oleh komunitas atau perkumpulannya masing-masing.

(48)

sebagaimana para matematikawan berpikir, mengkomunikasikan sesuatu, hingga menyelesaikan permasalahan.

3) Dilihat dari segmentasi perbedaan, masyarakat Baduy adalah masyarakat adat yang masih memegang kuat tradisi lisan. Pengetahuan di sana berjalan melewati satu generasi ke generasi berikutnya dengan cara lisan dan melalui ritual-ritual budaya. Disimpulkan bahwa yang membedakan lingkungan matematikawan dengan lingkungan para penenun Baduy adalah penenun menyampaikan pengetahuannya melalui lisan saja, sementara matematikawan menyampaikan pengetahuannya dengan lisan dan tulisan.

4) Dilihat dari segmentasi kesamaan, penggunaan trial and error dalam strategi belajar dan pembelajaran dipandang cocok untuk menggambarkan sikap keduanya. Bagi para penenun, cara untuk belajar secara langsung dan mengajarkan tahapan-tahapan pada proses awal bertenun adalah sesuatu yang sentral. Di matematika, metode trial and error memiliki tempatnya sendiri dalam proses pemberian instruksi pembelajaran matematika.

5) Kemungkinan model matematika yang dapat dibentuk pada proses awal bertenun adalah untuk menyelesaikan persoalan: Bagaimana cara agar proses awal bertenun menghasilkan bentuk awal tenunan yang sempurna untuk dibawa pada proses inti bertenun. Kemungkinan konsep dan variabel-variabel yang dipertimbangkan adalah panjang tenunan; lebar tenunan; banyaknya warna yang akan dikombinasikan; banyaknya benang; banyaknya pajal; banyaknya karap; dan banyaknya pengelilingan benang pada pihanean.

(49)

Kemudian, pada proses inti bertenun, karakteristik kultural matematika diungkap dengan menggunakan budaya sebagai kerangka acuan. Penggunaan budaya sebagai kerangka acuan berarti proses interogasi dimulai dengan meninjau perspektif matematika pada proses tersebut. Karakteristik kultural matematika pada proses inti bertenun masyarakat adat Baduy adalah:

1) Diagram tahapan-tahapan pada proses inti bertenun sebagai model matematika dibentuk untuk memudahkan siapapun yang akan mengkaji proses inti bertenun. Diagram tersebut menunjukkan bahwa proses inti bertenun bermula dan berakhir pada aktivitas Menggeser Limbuhan (GL). 2) Model matematika, yaitu T = u x p x l dirumuskan untuk menyelesaikan salah

satu persoalan pada proses inti bertenun, yaitu berapakah total panjang benang pakan (T) yang dibutuhkan jika jejeran panjang benang lesian adalah p

dengan lebar l. Simbol u pada model di atas adalah sebuah Tetapan Ulum bernilai 12,8.

Terakhir, pada motif tenunan Baduy, ditemukan unsur-unsur geometris, terutama konsep tentang simetri, yaitu Simetri huruf H, Simetri huruf U, dan Simetri huruf C.

B. Saran

Saran pada penelitian ini lebih menitikberatkan pada output dari penggunaan prinsip mutual interrogation pada penelitian ethnomathematics. Ada 2 (dua) saran utama yang biasa dihasilkan oleh para ethnomathematician setelah menggunakan prinsip tersebut, yaitu:

1) Apa yang dapat disumbangkan terhadap praktik budaya yang diteliti; 2) Terkait dengan matematika, hal baru apa yang didapat.

(50)

Kesatu, bagi para penenun, penelitian ini memberikan rekomendasi model-model matematika yang dapat diterapkan untuk memudahkan para penenun Baduy. Baik itu untuk memudahkan proses transmisi pengetahuan menenun kepada generasi penenun selanjutnya, ataupun untuk memudahkan bagi para penenun (terutama penenun pemula) sehingga dapat lebih efisien dengan cara membuat perencanaan bertenun. Tentu saja dengan melibatkan pihak ketiga yang telah mahir dalam baca dan tulis, serta telah mendapat kepercayaan dari masyarakat adat Baduy.

Kedua, bagi para matematikawan, penelitian ini bermaksud memberikan rekomendasi bahwa aktivitas bertenun masyarakat adat Baduy dapat dipandang sebagai sesuatu yang berhubungan dengan matematika. Keterhubungan tersebut dapat dilihat dari hubungan antara penenun dan matematikawan, bagaimana cara mereka berpikir, mengambil keputusan, dan seterusnya. Dapat pula keterhubungan itu dilihat dari konsep-konsep dasar yang terdapat pada aktivitas bertenun, seperti kesejajaran, membilang, pengukuran, hingga pada model-model matematika yang telah dikonstruksi pada penelitian ini.

Saran untuk penelitian ethnomathematics selanjutnya yang akan mengkaji konteks bertenun masyarakat adat Baduy adalah apa yang belum selesai dari penelitian ini, yaitu pengembangan model matematika untuk memecahkan persoalan berapa banyak tenunan yang sebaiknya dibuat untuk satu kali proses pembuatan agar keuntungan yang diperoleh secara ekonomis dapat maksimal.

Saran tambahan ditujukan bagi para pemangku kebijakan arah Pendidikan Matematika di Indonesia. Peneliti melalui skripsi ini berkeyakinan bahwa pembelajaran matematika yang didasarkan kepada budaya bangsa sendiri bukanlah pepesan kosong semata. Study Ethnomathematics membuka lebar-lebar peluang bagi pembelajaran matematika di Indonesia dengan menggunakan budaya bangsa sebagai basic concept-nya. Selain diharapkan mampu memberikan motivasi lebih bagi para

Gambar

Gambar 1.1.
Tabel 3.1.
Gambar 3.1.
Gambar 3.2.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan perhitungan Gini Ratio, analisis ketimpangan di Kabupaten Jepara dari tahun 2011-2013 di Kabupaten Jepara adalah 0,322 ; 0,355 dan 0,330. Dari angka gini ratio

Sehingga didapatkan akurasi terbaik sebesar 82.35% dengan menggunakan metode GLCM ( Grey Level Co-occurrence Matrix) dengan parameter orde dua kontras,

Kepada peserta lain yang keberatan dengan hasil pelelangan ini diberi masa sanggah selama 5 (lima) hari kerja sejak pengumuman ini. Demikian disampaikan

4.8.1 Unsur-unsur struktur gedung yang memiliki kepekaan yang tinggi terhadap beban gravitasi seperti balkon, kanopi dan balok kantilever berbentang panjang, balok transfer

Banyak faktor yang menjadi penyebab tutupnya Sevel yang memiliki banyak toko di Indonesia pada saat itu, baik faktor eksternal maupun internal, salah satunya adalah besarnya beban yang

Langkah-Langkah Pembelajaran untuk Mengenalkan Lambang Bilangan Melalui Bermain Kartu Angka Bergambar .... Penelitian

Kecepatan gerak mesin selalu dinyatakan dalam kecepatan puncak (peak velocity). Kecepatan puncak gerakan terjadi pada simpul gelombang. Dalam getaran, kecepatan

Tugas Akhir yang berjudul “Studi Perbandingan Beberapa Produk Connecting Rod yang ada di Pasaran ditinjau dari Aspek Material” untuk memenuhi persyaratan dalam