• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A."

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang

Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Dasar-dasar perkawinan dibentuk oleh unsur-unsur alami darikehidupan manusia itu sendiri yang meliputi kebutuhan dan fungsi biologis.

Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 disebutkan bahwa perkawinan menururut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqon gholidzonuntuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.1Perkawinan memiliki tujuan untuk menata keluarga sebagai subjek untuk membiasakan pengalaman-pengalaman ajaran Agama. Fungsi keluarga adalah menjadi pelaksana pendidikan yang paling menentukan. Sebab keluarga merupakan salah satu lembaga pendidikan informal, ibu bapak yang dikenal mula pertama oleh putra-putrinya dengan segala perlakuan yang diterima dan dirasakannya, dapat menjadi dasar pertumbuhan peribadi/kepribadian sang putra- putri itu sendiri.2

Setelah terjadinya perkawinan, maka akan menimbulkan akibat hukum sekaligus menimbulkan hak dan kewajiban selaku suami istri dalam keluarga.

Adapun hak bersama suami istri yaitu dihalalkannya mengadakan hubungan seksual, haram melakukan perkawinan yaitu istri haram dinikahi oleh ayah

1Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta : Akademika Persindo, 2007), 114.

2Tihami, Fikih Munakahat (Jakarta: PT. RajaGrafindo persada, 2010), 16.

(2)

suaminya dan sebaliknya. Selain itu suami istri berhak saling mewarisi, wajib berperilaku yang baik dan anak mereka merupakan keturunan yang jelas dari suaminya. Adapun kewajiban suami istri sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 77 dan 78 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yaitu suami istri wajib menegakkan rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah, saling mencintai, menghormati serta memberikan bantuan lahir batin. Mempunyai kewajiban mengasuh dan memelihara anak mereka, memelihara kehormatan dan bilamana melalaikan kewajiban dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama (PA).3

Pemeliharaan anak adalah pemenuhan berbagai aspek kebutuhan primer dan sekunder anak. Pemeliharaan meliputi berbagai aspek, yaitu pendidikan, biyaya hidup, kesehatan ketentraman dan segala aspek yang berkaitan dengan kebutuhannya. Oleh karena itu, amat penting mewujudkan kerjasama dan saling membantu antara suami dan istri dalam memlihara anak sampai dewasa.Menurut Muhammad Jawad Mughniyah, ketika anak itu masih kecil, dia dilarang melakukan tindakan hukum. Dan anak kecil yang dilarang melakukan tindakan hukum harus mempunyai wali untuk mengasuh dan menangani berbagai hal sebagai wakil dari pelaku aslinya. Dan dalam hal ini adalah perwalian atas harta benda yang dimiliki oleh anak tersebut termasuk harta warisan dari orang tuanya.

Sedangkan wali anak kecil adalah ayahnya sedangkan ibunya tidak mempunyai hak perwalian kecuali menurut pendapat sebagian ulama Syafi’i.4

Perwalian yang dilakukan oleh orang tuanya adalah ketika mereka masih kecil yang mereka belum pandai dan mengerti tentang hal yang berhubungan

3Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat(Jakarta: Kencana, 2003), 155.

4Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab(Jakarta: PT Lentera Basritama, 1996), 693.

(3)

dengan pembelanjaan harta. Namun ketika anak-anak tersebut sudah besar dan mengerti tentang harta, maka segala tindakan yang berkaitan dengan harta diberlakukan kembali. Hal ini juga dijelaskan dalam firman Allah yang berbunyi:















































































































Artinya: Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.

Dan ujilahanak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.

kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.

dan janganlah kamu Makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan Barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia Makan harta itu menurut yang patut. kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).5

5Al-Qur’an, 4:5-6. Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemahnya Dilengkapi dengan Asbabun Nuzul dan Hadits Sahih (Bandung: PT Sygma Examedia Arkanleema, 2010), 77.

(4)











































Bagi orang Islam di Indonesia, aturan tentang perwalian berlaku sebagai hukum positif yang digunakan di Pengadilan Agama. Perwalian diatur dalam KHI dan Undang-Undang (UU) No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Dalam KHI dijelaskan pada BAB XV Perwalian pasal 107 dijelaskan bahwa perwalian itu hanya pada anak yang belum berumur 21 tahun dan belum pernah melangsungkan perkawinan. Perwalian itu mengenai diri dan harta kekayaannya. Ketika wali itu tidak mampu atau lalai dalam menjalankan tugas perwaliannya. Pengadilan Agama dapat menunjuk kerabat terdekatnya menjadi wali. Dan wali itu diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang dewasa, sehat, adil, jujur, dan berperilaku baik atau bisa juga wali tersebut adalah suatu badan hukum.6Dan pasal 50 UU No.1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa: “anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan dan tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, dia berada di bawah kekuasaan wali. Perwalian tersebut mengenai pribadi anak itu dan harta bendanya”.7

Dari pasal tersebut dapat diketahui bahwa, anak di bawah umur yang belum pernah melakukan perkawinan, membutuhkan seorang wali untuk mengurus dirinya dan harta bendanya. Dan perwalian itu akan selalu melekat dan tetap ada di tangan orang tuanya sebelum kekuasaannya dicabut. Hal ini diperjelas

6Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,2002), 95.

7Undang-undang R.I. Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan&Kompilasi Hukum Islam (Bandung: Citra Umbara, 2012), 16.

(5)

oleh pasal 47 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 yang menjelaskan bahwa: “anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tua selama mereka tidak dicabut kekuasaannya.

Dan Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang menjelaskan bahwa: Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalm garis lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal:

a. Ia sangat melalaikan kewajibannya kepada anaknya b. Ia berkelakuan buruk sekali.8

Seperti keterangan tersebut diatas, dalam perkara pelimpahan perwalian ini terjadi pada kasus keluarga Soeto bin Suwardi, Soeto bin Suardi memiliki seorang anak perempuan yang bernama Sunti Dwi Aryanti, pada tanggal 22 Nopember 2013 anaknya tersebut telah meningagal dunia, Sunti Dwi Aryanti merupakan seorang karyawan yang bekerja di Unit Industri Bobbin PT. Perkebunan Nusantara X Persero, selama hidupnya Sunti Dwi Aryanti menikah dengan seorang laki-laki yang bernama Suprapto. Sejak tahun 2008 Suprapto tidak pernah pulang dan tidak diketahui alamatnya. Perkawinan alamarhuamah Sunti Dwi Aryanti dengan Suprapto telah dikaruniai seorang anak perempuan yang bernama Dinar Alvianti yang lahir pada tanggal 23 oktober 2007. Semenjak meninggalnya almarhumah Sunti Dwi Aryanti anak permpuan yang bernama Dinar Alvianti

8Ibid., 89.

(6)

diasuh oleh kakeknya yakni Soeto, termasuk seluruh keperluan hidupnya, seperti pendidikan dan kesehatannya, karena ayahnya yang bernama Suprapto tidak pernah pulang dan tidak diketahui alamatnya. Almarhumah Sunti Dwi Aryanti meninggalkan beberapa ahli waris yaitu:Seoto bin Suardi (Ayah Kandung),Arbasah binti Dulloh (Ibu kandung), Suprapto bin Sanusi (Suami), Dinar Alvianti binti Suprapto (anak).

Dikarenakan anak perempuan yang bernama Dinar Alvianti masih dibawah umur dan belum cukup untuk melakukan perbuatan hukum, maka si kakek yakni soeto meminta permohonan kepada Ketua Pengadilan Agama Jember untuk menetapkan ahli waris almarhumah Sunti Dwi Aryanti binti Soeto dan juga menetapkan Soeto bin Suardi agar dapat bertindak sebagai wali dari anak tersebut.

Berdasarkan kronologi kasus yang tealah dituangkan dalam posita Putusan Pengadilan Agama Jember dalam perkara No: 008/Pdt.P/2015/PA.Jr dan juga berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum yang ada akhirnya majelis hakim Pengadilan Agama jember dalam putusannya mengabulkan permohonan dari Soeto tersebut, dengan menetapkan para ahli waris dari Sunti Dwi Aryanti dan juga menetapkan Soeto bin Suardi sebagai wali dari Dinar Alvianti.

Dari putusan yang dikeluarkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama Jember dalam perkara No: 008/Pdt.P/2015/PA.Jr Peneliti menemukan sebuah titik permasalahan,yakni mengapa Majelis Hakim dalam menetapkan perwalian terhadap Pemohon, Majelis Hakim Langsung melimpahkan perwalian terhadap Pemohon dengan tanpa adanya pencabutan terlebih dahulu, padahal ketentuan yang ada dalam Pasal 47 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 menegaskan bahwa

(7)

kekuasaan perwalian orang tua akan selalu melekat dan tetap ada pada orang tuanya, selama kekuasaannya tersebut belum dicabut. Dalam perkara tersebut, ketika kekuasaan Suprapto yang dinyatakan mafqud belum dicabut, tentu akan menimbulkan permasalahan baru, yakni ketika Suprapto datang dan Muncul kembali diantara mereka. Tentu hal ini akan menimbulkan dua ketentuan hukum, yang pertama yaitu suprapto masih memiliki hak perwalian terhadap anaknya, karena berdasarkan Undang-Undang hak perwaliannya masih melekat padanya karena belum dicabut, dan yang kedua Suprato sudah tidak punya hak perwalian teradap anaknya karena pengadilan telah memutuskan bahwa perwaliannya sudah dialihkan kepada mertuanya (kakek), Oleh karena itu hal ini menjadi sebuah permasalahan yang menarik untuk diteliti.

Dari latar belakang diatas peneliti tertarik untuk melakukan sebuah penelitian yang berjudul:

PELIMPAHAN PERWALIAN ANAK DIBAWAH UMUR KEPADA KAKEK KARENA BAPAK MAFQUD (Analisis Penetapan Pengadilan Agama Jember Nomor: 0081/Pdt.P/2015/PA.Jr

B. Fokus Penelitian

Fokus penelitian atau rumusan masalah merupakan hal yang sangat penting didalam suatu penelitian, masalah menjadi bagian kebutuhan seseorang yang harus dipecahkan, orang-orang mengadakan penelitian karena berhasrat

(8)

mendapat jawaban dari masalah yang dihadapi.9Kemudian untuk memecahkan masalah yang ada maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana ketentuan pelimpahan perwalian terhadap anak dibawah umur Menurut Majelis Hakim?

2. Bagaimana pertimbangan Majelis Hakim dalam menetapkan Pelimpahan perwalian anak dibawah umur kepada kakek dengan tanpa adanya pencabutan terlebih dahulu dalam penetapan Nomor: 0081/Pdt.P/2015/PA.Jr?

3. Apa dasar hukum yang digunakan Majelis Hakim dalam menetapkan pelimpahan perwalian anak dibawah umur kepada kakek karena bapak mafqud dalam penetapan Nomor: 0081/Pdt.P/2015/PA.Jr?

C. Tujuan Penelitian

Berawal dari fokus permasalahan yang ada, maka selanjutnya memunculkan tujuan yang ingin ditemukan dari pemecahan fokus pemasalahan tersebut. Tujuan permasalahan tersebut antara lain:

1. Untuk menjelaskanketentuan pelimpahan perwalian terhadap anak dibawah umur, yang menjadi salah satu dasar pemikiran Majelis Hakim dalam mnyelesaikan perkara pelimpahan perwalian anak dibawah umur.

2. Untuk menjelaskan pertimbangan Majelis Hakim dalam menetapkan peralihan perwalian anak dibawah umur kepada kakek dengan tanpa adanya pencabutan terlebih dahulu dalam penetapan Nomor: 008/Pdt.P/2015/PA.Jr.

9Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), 25.

(9)

3. Untuk menjelaskan dasar hukum yang digunakan Majelis Hakim dalam menetapkan pelimpahan perwalian anak dibawah umur kepada kakek dalam Penetapan Nomor: 008/Pdt.P/2015/PA.Jr.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat membawa manfaat secara teoritis dan praktis terhadap khalayak terutama bagi Peneliti, antara lain:

1. Manfaat teoritis

Sebagai khasanah pembendaharaan keilmuan Islam terutama dalam bidang Hukum Islam dan Hukum normatif agar dapat merespon perkembangan permasalahan yang timbul di masyarakat secara tepat dan sesuai hukum yang berlaku.

2. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai suatu masukan atau kontribusi pemikiran bagi para hakim dilingkungan Pengadilan Agama Jember dalam hal harus ada atau tidak adanya pencabutan perwalian dalam suatu perkara pelimpahan perwalian anak dibawah umur.

a. Bagi Masyarakat

Sebagai salah satu hasil temuan terkait dengan permasalahan tentang penetapan pelimpahan perwalian anak dibawah umur, yang dapat dijadikan sebagai khazanah keilmuan dan sumber informasi yang dapat dibaca dan telaah oleh masayarkat secara umum.

b. Bagi IAIN Jember

(10)

Dengan adanya penelitian ini, diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu bentuk hasil karya ilmiah IAIN Jember, sebagai sumbangsih pemikiran dan jawaban terhadap permasalahan tentang penetapan pelimpahan perwalian anak dibawah umur di lingkungan peradilan.

c. Bagi Peneliti

Dapat mengetahui dan memahami terhadap dinamika permasalahan dan juga istimbath hukum yang di gunakan oleh majelis hakim Pengadilan Agama Jember tentang pelimpahan perwalian anakdibawah umur dalam suatu lingkungan peradilan.

E. Definisi Istilah

Untuk menghindari terjadinya kesalahan interpretasi dalam dalam memahami istilah yang tedapat dalam penelitian ini, maka sangat diperlukan adanya definisi istilah, sehingga peneitian dapat konsisten dan konheren.

Adapun definisi istilah yang berkaitan dengan judul dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Pelimpahan perwalian

Pelimpahan perwalian adalah hak perwalian seseorang atau badan hukum yang dialihkan kepada pihak lain karena wali tersebut melalaikan tanggung jawabnya terhadap anak yang berada dibawah kekuasaannya.10Pelimpahan perwalian tersebut melalui proses di Pengadilan Agama.

2. Anak dibawah Umur

10Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, 96.

(11)

Anak dibawah umur adalah anak yang belum dewasa, yaitu anak yang belum mencapai umur 18 tahun (menurut Undang-Undang Perkawinan) dan 21 tahun menurut (Kompilasi Hukum Islam) atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

3. Orang hilang (mafqud)

Orang hilang (mafqud) adalah orang yang meninggalkan tempat untuk beberapa lamanya tanpa diketahui peri keadaannya.11 Orang hilang (mafqud) ini dipandang hidup dalam hal-hal yang menyangkut hak-haknya dan dipandang mati dalam hal menyangkut hak orang lain hingga dapat diketahui mati atau hidupnya, atau terdapat putusan hakim tentang mati atau hidup.

F. Sistematika Pembahasan

Dalam penyusunan skripsi ini, sistematika pembahasan disajikan dan diperinci dalam bab-bab secara sistematis dan saling memiliki keterkaitan. Secara umum sistematika pembahasan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

BAB I: Pendahuluanyang merupakan dasar atau pijakan dalam penelitian yang meliputi: latar belakang masalah, fokus penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi istilah, metode dan prosedur penelitian serta sistematika pembahasan. Fungsi bab ini adalah untuk memperoleh gambaran secara umum mengenai pembahasan dalam skripsi.

BAB II: Bab ini akan dipaparkan kajian kepustakaan terkait kajian terdahulu serta literatur yang berhubungan dengan skripsi. Penelitian terdahulu yang mencantumkan penelitian sejenis yang telah dilakukan sebelumnya.

11Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam (Yogyakarta: UII Press, 2001), 8.

(12)

Dilanjutkan dengan teori yang memuat pandangan tentang pelimpahan perwalian anak dibawah umur kepada kakek karena bapak mafqud. Fungsi ini adalah sebagai landasan teori pada bab berikutnya guna menganalisa penelitian.

BAB III: Bab ini akan dipaparkanmetode penelitian yang meliputi:

pendekatan dan jenis penelitian, lokasi penelitian, subyek penelitian, teknik pengumpulan data, analisis data, keabsahan data, dan tahap-tahap penelitian. Pada bab ini dipaparkan metode apa yang digunakan oleh peneliti, agar penelitian yang hendak dilakukan terarah serta tidak menyimpang.

BAB IV:Penyajian data dan analisis yang berisi gambaran obyek penelitian, penyajian data dan analisis serta pembahasan temuan.

BAB V: Bab ini merupakan bab terakhir yang memaparkan tentang kesimpulan dari penelitian yang dilengkapi dengan saran-saran dari penulis dan diakhiri dengan penutup. Bab ini berfungsi untuk memperoleh suatu gambaran dari hasil penelitian berupa kesimpulan penelitian akan dapat membantu memberikan saran-saran konstruktif yang terkait dengan penelitian ini.

(13)

A. Penelitian Terdahulu

Pertama, Penelitian terdahulu yang berjudul “Penetapan Wali terhadap Anak Dibawah Umur pada Pengadilan Agama Kelas 1 A Padang.1Penelitian ini memiliki tujuan untuk menjelaskan bagaimana alasan-alasan perlunya perwalian anak dibawah umur dalam prakteknya di Pengadilan Agama Padang, serta untuk untuk mengetahui bagaimana proses proses penetapan perwalian anak dibawah umur di Pengadilan Agama Padang.

Penelitian ini memiliki kesamaan dengan penelitian yang peneliti lakukan yaitu sama-sama membahas tentang perwalian terhadap anak dibawah umur. Dan yang membedakan antara penelitian ini dengan penelitian yang peneliti lakukan yaitu dari ruang lingkup pembahasannya, yang mana dalam penelitian ini membahas tentang proses ataupun prosedur penetapan perwalian anak dibawah umur dan juga alasan-alasan pentingnya perwalian anak dibawah umur dalam perakteknya, sedangkan penelitian yang peneliti lakukan adalah membahas tentang ketentuan pencabutan dalam hal pelimpahan perwalian anak dibawah umur terhadap kakeknya karena kemafqutan bapaknya.

Kedua, Penelitian terdahulu yang berjudul “Hak Perwalian Anak Dibawah Umur Yang beralih Pada Neneknya”. (Analisis Kasus Putusan

1Astridona, “Penetapan Wali terhadap Anak Dibawah Umur pada Pengadilan Agama Kelas 1 A Padang”http://repository.unand.ac.id/6067/(Jumat, 24 april, 2015).

(14)

Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 372K/Pdt/2008).2Penelitian ini memiliki tujuan untukmenjelaskan bagaiamana hak dan kedudukan anak dalam keluarga setelah terjadinya perceraian. Dan juga untuk mengetahui upaya hukum yang dilakukan oleh nenek untuk memperoleh hak perwalian atas cucunya serta mengetahui pertimbangan hukum Mahkamah Agung dalam memutuskan perkara perwalian.

Penelitian ini hampir sejenis atau memiliki kesamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti, yaitu sama-sama meneliti tentang perwalian anak dibawah umur dan juaga peralihan atau pelimpahan hak perwalian anak dibawah umur. Adapun yang membedakan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah dari obyek pembahasannya, yang mana obyek pembahasan dalam penelitian ini lebih menekankan pada upaya yang dilakukan seorang nenek untuk mendapat hak perwalian atas cucunya,Sedangkan obyek pembahasan yang dilakukan oleh peneliti yaitu lebih menekankan pada ketentuan hukum tentang ada atau tidaknya pencabutan dalam perkara pelimpahan perwalian anak dibawah umur terhadap kakeknya karena bapaknya mafqud.

Ketiga, Penelitian terdahulu yang berjudul “Pelaksanaan Perwalian Anak oleh Panti Asuhan Widya Kasih Boyolali Berdasrkan Hukum Yang Berlaku di Indonesia.3Penelitian ini memiliki tujuan untukmenjelaskan dan mendaptkan gambaran lebih lanjut tentang bagaimana pelaksanaan perwalian

2Septy Veronita, “Hak Perwalian Anak Dibawah Umur Yang beralih Pada Neneknya. (Analisis Kasus Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 372K/Pdt/2008)”, http//file=digital/20334093-T32539-Septy%20Veronita.pdf (Jumat, 24 april, 2015).

3Frisca Putri Prihandini, “Pelaksanaan Perwalian Anak oleh Panti Asuhan Widya Kasih Boyolali Berdasrkan Hukum Yang Berlaku di

Indonesia”http://eprints.uns.ac.id/9129/1/80712207200909161.pdf(Jumat, 24 april, 2015).

(15)

anak yang dilakukan oleh panti asuhan berdasarkan atas hukum yang berlaku di Indonesia pada saat ini.

Penelitian ini memiliki kesamaan dengan penelitian yang peneliti lakukan yaitu sama-sama membahas tentang perwalian terhadap anak. Dan yang membedakan antara penelitian ini dengan penelitian yang peneliti lakukan yaitu dari ruang lingkup pembahasannya, yang mana penelitian ini membahas tentang pelaksanaan perwalian yang dilakukan di sebuah panti asuhan berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia, sedangkan penelitian yang peneliti lakukan adalah membahas tentang ketentuan pencabutan di lingkungan Pengadilan Agama dalam hal pelimpahan perwalian anak dibawah umur terhadap kakenya karena bapaknya mafqut dan ibunya meninggal.

Keempat, Penelitian terdahulu yang berjudul “Permohonan Orang Tua Sebagai Wali Terhadap Anak Kandung (Analisis Komparatif Putusan pengadilan Agama Depok Nomor: 22/P.dt.P/2010/PA.Dpk.) dan Putusan

Pengadilan Agama Jakarta Pusat Nomor:

0046/Pdt.P/2009/PA.JP.)”.4Penelitian ini memiliki tujuan untuk menjelaskan hukum permohonan orang tua untuk menjadi wali dari anak kandungnya sendiri, serta untuk mengetahui tentang pertimbangan hakim yang memberikan atau menolak penetapan orang tua sebagai wali bagi anak kandung mereke sendiri.

4Muhammad Farid Wajdi,“Permohonan Orang Tua Sebagai Wali Terhadap Anak Kandung (Analisis Komparatif Putusan Pengadilan Agama Depok Nomor: 22/Pdt.P/2010/PA.Dpk. dan

Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat nomor:

0046/Pdt.P/2009/PA.JP.)”MuhammadFaridwajdi:http://repository.uinjkt.ac.id/.../MUHAMMAD

%20FARID%20WAJDI-FSH.pdf(Jumat, 24 april, 2015).

(16)

Penelitian ini memiliki kesamaan dengan penelitian yang peneliti lakukan yaitu sama-sama membahas tentang perwalian terhadap seorang anak. Adapun yang membedakan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah dari ruang lingkup pembahasannya, yang mana pembahasan dalam penelitian ini lebih menekankan pada, ketentuan hukum permohonan orang tuan untuk menjadi wali bagi anak kandungnya sendiri, sedangkan pada ruang lingkup pembahasan peneliti, lebih menekankan pada ketentuan hukum pencabutan dalam hal pelimapahan perwalian anak dibawah umurterhadap kakeknya karena bapaknya mafqud.

Melihat beberapa karya ilmiah yang disebutkan diatas, yang membahas tentang perwalian terhadap seorang anak, menurut pengamatan peneliti, belum dijumpai karya ilmiah yang membahas mengenai ketentuan pencabutan dalam hal pelimpahan perwalian anak dibawah umur terhadap kakek karena bapaknya mafqud atau hilang. Sehingga inilah yang membuat penelitian ini mempunyai karakteristik dan nuansa tersendiri yang pada akhirnya membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya.

(17)

B. KajianTeoritik

1. Kajian teoritik tentang ketentuan perwalian anak dibawah umur 1) Pengertian dan dasar hukum Perwalian

a. perwalian secara umum

Perwalian dalam arti umum, yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan wali.5Secara bahasa Perwalian berasal dari bahasa Arab dari kata dasar:

waliya, wilayah atau walayah yang memiliki beberapa arti. Diantaranya adalah cinta (al-mahabbah) dan pertolongan (al-nasroh), seperti yang terdapat dalam penggalan ayat ba’dluhum awliyaa’u ba’dhin. Dan ada juga yang mengartikan perwalian dengan kekuasaan/otoritas (al-sulthon wal qudroh)seperti dalm ungkapan (al-waliy)i, yakni orang yang mempunyai kekuasaan. Hakikat ari al- walayah ataupun al-wilayah adalah “tawalliyal-amr” yakni mengurus atau menguasai segala sesuatu. Orang yang mengurusi atau menguasai sesuatu (akad/transaksi), disebut wali seperti dalam enggalan ayat: fal yumlil waliyyuhu bil ‘adli. Kata al-waliymuannatsnya adalah lafadz al-waliyyah dan jama’nya berupa lafadz al-awliya’ berasal dari kata wala yali walyan wa wilayatan, secara harfiah berarti yang mencintai, teman dekat, sahabat, yang menolong, sekutu, pengikut, pengasuh dan orang yang mengurus perkara atau urusan orang lain.6

Secara istilah perwalian adalah suatu bentuk perlindungan dengan otoritas penuh atas dasar tanggung jawab dan cinta kasih, untuk memberikan pertolongan

5Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Tth), 1267.

6Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), 134.

(18)

atas ketidakmampuan seseorang dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum, baik yang berhubungan dengan harta ataupun yang berhubungan dengan dirinya.7

Ulama’ fikih mendefiniskan kata wilayah dengan: wewenang seseorang untuk bertindak hukum atas orang yang tidak cakap bertindak hukum, baik untuk kepentingan pribadinya maupun untuk kepentingan hartanya, yang diizinkan leh syara’. Orang yang masih dalam status ahliyah al-wujubi (hanya cakap menerima hak), belum dan tidak cakap bertindak huum sendiri perlu dibantu oleh seseorang yang sudah dewasa yang cerdas dalam mengayomi pribadi dan hartanya. Orang membantu mengelola harta dan mengayomi orang yang belum atau tidak cakap berbuat hukum dalam fikih Islam disebut wali. Apabila anak kecil atau orang gila bertindak hukum sendiri, maka tindakan hukumnya tidak sah dan tidak menimbulkan akibat hukum apapun. Anak kecil, orang gila dan orang-orang yang berada dibawah pengampuan memerlukan orang tang dapat membantu mareka dalam melakukan tindakan hukum, baik yang menyangkut diri mereka sendiri, maupun terhadap harta bendanya serta segala sesuatau yang bermanfaat untuk diri mereka. Dalam kaitan inilah islam mengemukakan konsep ahliyah al-wujub. Dari sudut ini wilayah sama dengan pengganti atau wakil dalam bertindak hukum.8

Adapun yang menjadi dasar hukum diadakannya perwalian yaitu,firman Allah SWT:















































7Andi Syamsu dan Muhammad Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam (Jakarta:

Pernada Media Group, 2008), 151.

8Ibid., 153.

(19)



































































































Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalahtidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur.

dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya.9

Ayat tersebut menunjukkan peran, kewajiban dan hak-hak wali terhadap anak dan harta yang dibawah perwaliannya. Perincian hak dan kewajiban wali dalam Hukum Islam dapat diungkapkan beberapa garis hukum, baik yang ada dalam Undang-Undang perkawinan maupun yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam.10

Atas dasar pengertian kata wali ataupun perwalian seperti yang telah dijelaskan diatas, dapatlah dipahami dengan mudah mengapa Hukum Islam menetapkan bahwa orang yang paling berhak untuk menjadi wali bagi kepentingan anaknya adalah ayah. Alasannya, karena ayah adalah tentu orang

9Al-Qur’an, 30:21.

10Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), 69.

(20)

yang paling dekat, siap menolong, bahkan yang selama itu mengasuh dan membiyayai anak-anaknya. Jika tidak ada ayahnya barulah hak perwaliannya digantikan oleh keluarga dekat lainnya dari pihak ayah sebagaimana yang telah dibahas panjang lebar oleh literatur buku-buku fikih.

Sebagian ulama’, terutama dari kalangan hanafiyyah, mebedakan perwalian kedalam tiga kelompok, yaitu:

(1) perwalian terhadap jiwa (al-walayah ‘ala-nafs) (2) Perwalian terhadap harta (al-walayah ‘alal mal)

(3) Perwalian terhadap jiwa dan harta (al-walayah ‘alan nafsi wal mali ma’an) Perwalian dalam nikah tergolong dalam golongan perwalian (al-walayah

‘alan nafs), yaitu perwalian yang bertalian dengan pengawasan (al-isyraf) terhadap urusan yang berhubungan dengan masalah-masalah keluarga seperti perkawinan, pemeliharaan, pendidikan anak, kesehatan dan aktivitas anak (keluarga) yang hak kepengawasannya pada dasarnya berada ditangan ayah atau kakek dan juga para wali yang lain. Perwalian terhadap harta ialah perwalian yang berhubungan dengan ihwal pengolahan kekayaan tertentu dalam pengembangan, pemeliharaan (pengawasan) dan pembelanjaan. Adapun perwalian terhadap jiwa dan harta ialah perwalian yang meliputi urusan-urusan pribadi dan harta kekayaan, dan hanya berada ditangan ayah dan kakek.11

Yang membedakan antara perwalian terhadap anak dibawah umur dengan perwalian dalam pernikahan yaitu dari segi kekuasaan perwaliannya, yang mana perwalian terhadap anak dibawah umur itu merupakan perwalian yang

11Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, 136.

(21)

kekuasaaannya itu berkaitan dengan tanggung jawab seorang wali terhadap jiwa maupun harta yang dimiliki oleh anak dibawah umur tersebut, sedangkan wali dalam pernikahan itu atau kekuasaannya hanya berkaitan dengan jiwa dari anak yang berada dibawah perwaliannya, yakni kekuasaan untuk menikahkan anak yang berada dibawah perwaliannya.

b. Perwalian menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia

Dalam hirarki perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, perwalian diatur didalam beberapa aturan, yakni aturan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam,Undang-Undang Perkawinan,dan Kitab Undang-Undang hukum Perdata, Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 1 poin (h) dijelaskan bahwa perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan suatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua yang masih hiduptidak cakap melakukan perbuatan hukum.12Perwalian yang dimaksud dalam peraturan ini adalah perwalian secara khusus, yaitu seorang anak yang salah satu atau kedua orang tuanya telah meninggal dunia atau tidak cakap bertindak hukum.

Dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata pengertian perwalian (voogdij) disebutkan pada pasal 330 ayat (3) yang menyebutkan bahwa: perwalian adalah bagi mereka yang belum dewasa dan tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah perwalian atas dasar dan cara sebagaimana diatur pada bagian ketiga, keempat, kelima dan bagian ke enam bab ini, dalam Kitab Undang-

12Kompilasi Hukum Islam (Bandung: Nuansa Aulia, 2012), 2.

(22)

Undang Hukum Perdata ini perwalian diatur dalam pasal 330 sampai dengan pasal 432.13

Sedangkan didalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, perwalian diatur mulai pasal 50 sampai dengan pasal 54 dengan ketentuan sebagai berikut:

Pertama: Pasal 50 ayat (1) dan (2) yang menyatakan bahwa anak yang belum menapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali. Perwalian tersebut juga mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.

Kedua: Pasal 50 sampai dengan Pasal 54 menetapkan atau mengatur tentang penunjukan wali, kewajiban dan tanggung jawab sebagai seorang wali, meliputi:

(1) Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum ia meningal, dengan surat wasiat atau dengan lisan dihadapn dua orang saksi.

(2) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa berfikiran sehat, adil jujur dan berkelakuan baik.

(3) Wali wajib mengurus anak yang dibawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya dengan menghormati agama dan kepercayaannya anak itu.

13Soedharyono Soimin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta: PT Karya Unipress, 1996), 89.

(23)

(4) Wali membuat daftar harta benda anak yang berada dibawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu.

(5) Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada dibawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya.

Ketiga: mengatur tentang larangan bagi wali untuk memindahkan hak, menggadaikan barang-barang tetap milik anak yang berada dibwah perwaliannya, bahwa terhadap wali berlaku juga pasal 48 Undang-Undang ini.

Keempat: mengatur tentang pencabutan kekuasaan wali yang dinyatakan:

(1) Wali dapat dicabut dari kekuasaannya, dalam hal-hal yang tersebut dalam pasal 49 Undang-Undang ini.

(2) Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, sebagaimana dimaksud pada ayat 1 pasal ini, oleh pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali.

Kelima: mengatur tentang kewajiban wali untuk mengganti kerugian terhadap anak ang berada dibawah perwaliannya yaitu: wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang berada dibawah kekuasannya, atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan keputusan pengadilan, yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut.14

2) Syarat-syarat perwalian

14Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), 206.

(24)

Para ulama’ madzhab sepakat bahwa wali dan orang-orang yang yang menerima wasiat untuk menjadi seorang wali, dipersyaratkan harus baligh, mengerti an seagama bahkan banyak diantara mereka bahwa seorang wali itu haruslah adil, sekalipun yang menjadi wali itu adalah bapak ataupun kakek.

Namun tidak diragukan sama sekali bahwa yang demikian itu dapat diibaratkan seperti halnya menutup pintu perwalian dengan semen beton, tidak sekedar hanya dengan menggunakan batu dan semen belaka, sebab a’dalah(adil) itu merupakan sarana untuk menjaga dan memelihara seorang anak yang berada dibawah perwaliannya.

Para ulama’ madzhab sepakat bahwa tindakan-tindakan hukum yang dilakukan oleh wali dalam harta seseorang yang berada dibawah perwaliannya, sepanjang hal itu baik dan bermanfaat, dinyatakan sah; sedangkan yang menimbulkan madharat tidak dianggap sah. Akan tetapi terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama’ madzhab tentang tindakan yang dianggap tidak bermanfa’at, tetapi juga tidak madharat. Sebagian ulam’ imamiyyah mengatakan:

hal itu dibenarkan manakala yang melakukannya adalah ayah ataupun kakek.

Sebab yang disyaratkan disitu adalah bahwa tindakan tersebut tidak merusak dan bukan harus membawa maslahat. Sedangkan tindakan yang dilakukan oleh hakim atau orang yang menerima wasiat untuk menjadi seorang wali, dibatasi pada tindakan-tindakan yang membawa manfa’at saja. Bahkan sebagian ulama’

madzhab imamiyyah tersebut mengatakan: tindakan yang dilakukan oleh ayah dinyatakan tetap berlaku, sekalipun membawa maslahat dan madharat bagi anak kecil tersebut.

(25)

Madzhab selain imamiyyah mengatakan: tidak ada perbedaan antara ayah, kakek, dan hakim serta orang yang diberi wasiat, yang mana tindakan yang mereka lakukan tidak dipandang sah kecuali membawa manfa’at. Pandangan yang serupa dengan pandangan ini juga banyak dianut oleh banyak ulama’ madzhab imamiyyah.15

Berdasarkan itu, maka wali boleh berdagang dengan menggunakan harta anak kecil, orang fila dan safih, atau menyerahkan sebagian modal bagi orang yang berdagang dengannya, membeli berbagai perabotan, ,emnjual sebagian hartanya, meminjamkan dan lain sebagainya. Semuanya itu disertai adanya syarat kemaslahatan yang terdapat pada hutang hanya terbatas pada kehawatiran akan hilangnya sebuah harta.

3) Orang yang berhak mendapatkan perwalian

Mengenai seseorang yang yang harus mendapatkan perwalian adalah terbagi menjadi dua, yaitu perwalian nikah dan perwalian diri secara umum dan harta. Dalam perwalian nikah (diri secara khusus), berdasarkan pasal 19 Kompilasi Hukum Islam yaitu sebagian rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya. Adapun perwalian terhadap masalah diri dan masalah harta secara umum yaitu terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun atau belum pernah melakukan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam, dan anak yang belum mencapai 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan yang tidak berada dibawah kekuasaan orang

15ghazali, Fiqh Munakahat, 697.

(26)

tua, menurut Undang-Undang perkawinan, Undang-Undan No. 1 Tahun 1974.

Pasal 50 ayat satu (1).16 4) Kekuasaan Orang tua

Seorang anak yang yang dilahirkan dari pernikahan yang sah, sampai ia mencapai usia dewasa atau kawin berada dibawaha kekuasaan orang tuanya (ouderijke macht) selama kesua orang tua itu masih terikat alam suatu hubungan perkawinan, dengan demikian kekuasaan orang tua itu mulai berlaku sejak lahirnya anak atau sejak hari pengesahannya, dan berakhir pada waktu anak itu menjadi dewasa atau kawin, atau pada waktu perkawinan orang tuanya yang dihapuskan. Ada pula kemungkinan kekuasaan orang tua oleh hakim dicabutatau orang tua tersebut dibebaskan dari kekuasaannya, karena suatu alasan, kekuasaan itu dimiliki oleh kedua orang tua bersama, akan tetapi lazimnya dilakukan oleh ayahnya. Hanyalah apabila sia ayah tersebut tidak mampu melaksankannya, misalkan karena sakit keras atau sakit ingatan maka kekuasaan tersebut dilakukan oleh istrinya.

Kekuasaan orang tua, terutama berisi kewajiban untuk mendidik dan memelihara anaknya, pemeliharaan meliputi pemberian nafkah, pakaian, perumahan dan segala sesuatu yang dibutukan oleh anaknya.

Pada umumnya seorang anak yang masih dibawah umur tidak cakap untuk bertindak sendiri untuk melakukan suatu tindakan hukum, oleh karena itu anak yang masih dibawah umur harus diwakili oleh orang tuanya, dalam setiap perbuatan dan tindakannya.

16Kompilasi Hukum Islam dan Undang No. 1 Tahun 1974 (Bandung: Nuansa Aulia, 2012), 16.

(27)

Orang tua mepunyai “urucht genot” atas benda atau kekayaan anaknya yang belum dewasa, yaitu mereka berhak untuk menikmati hasil atau bunga (renten) dari benda atau kekayaan si anak. Dari peraturan ini dikecualikan kekayaan yang diperoleh si anak sendiri dari pekerjaan dan kerajinannya sendiri. Sebaliknya pada orang tua yang mempunyai

“urucht genot” atas yaitu ia wajib memelihara dan menjaga benda itu sebaik-baiknya, sedangkan biaya pemeliharaan dan pendidikan si anak harus dianggap sebagai imbalan dari “urucht genot” tersebut.

Orang yang melakukan kekuasaan orang tua, dapat dibebaskan dari kekuasaan tersebut berdasarkan karena orang tuanya tidak cakap ataupun ia melalaikan kewajibannya sebagai orang tua untuk memelihara, mendidik, dan memenuhi kebutuhan anaknya tersebut. Sebagaimana ketentuan yang ada didalam perturan perunang-undangan yang ada.17

5) Pencabutan Perwalian

Ayah atau ibu yang melaksanakan kekuasaan orang tua dapat dibebaskan dari kekuasaan orang tua terhadap semua anak atau terhadap seorang anak atau lebih, atas permohonan dewan perwalian ataupun atas ketentuan pejabat yang berwenang, bila ternyata bahwa dia tidak cakap atau tidak mampu memenuhi kewajibannya untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya dan kepentingan anak-anak itu tidak bertentangan dengan pembebasan itu berdaskan hal yang lain.

Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang mengatur tentang kekuasaan orang tua pada pasal 47, 48 dan 49 dikatakan bahwa anak yang belum mencapai 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan akan selalu berada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum didalam dan diluar pengadilan dan orang tua tidak diperbolehkan

17Sobekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata (Jakarta:PT. Intermasa, 2003), 50.

(28)

memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.

Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan putusan pengadilan dalam hal-hal:

a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya b. Ia berkelakukan buruk sekali

Ketika hak kekuasaan perwalian yang dimiliki oleh orang tua telah dicabut oleh pengadilan maka kemudian pengadilan akan menunjuk seseorang untuk menjadi wali, hal ini sesuai dengan ketentuan yang ada pada pasal 53 ayat (2) yang berbunyi:

Dalam hal kekuasaan seorang wali telah dicabut, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, oleh pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali.

Dengan demikian kekuasan orang tua terhadap anaknya akan berpindah kepada seseorang yang telah ditunjuk oleh pengadilan untuk menjadi seorang wali atasnya, setelah adanya pencabutan terhadap kekuasaan orang tua tersebut.18

6) Berakhirnya perwalian

Adanya perwalian adalah karena seorang anak sudah tidak berada dibawah kekuasaan orang tuanya disebabkan orang tuanya telah meninggal, ataupun orang tuanya masih hidup akan tetapi telah dipecat kekuasannya sebagai wali. Perwalian

18Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Indonesia(Bandung: Cv. Mandar Maju, 2007), 139.

(29)

ini memiliki batas akhir, berakhirnya perwalian dapat ditinjau dari dua aspek yaitu:

(1) Dalam hubungan dengan keadaan anak

Dalam hubungan yang berkaitan dengan keadaan anak ini, perwalian akan berakhir dikarenakan beberapa hal, yitu:

a. Si anak yang berada dibawah perwalian telah dewasa (meerderjaring) b. Si anak meninggal dunia

c. Timbulnya kembali kekuasaan orang tua d. Pengesahan seorang anak luar kawin.

(2) Dalam hubungan dengan tugas seorang wali

Dalam hal yang berkaitan dengan tugas seorang wali, maka perwalian akan berakhir karena beberapa hal, yaitu:

a. Wali meninggal dunia

b. Dibebaskan atau dipecat ari perwalian

c. Ada alasan pembebasan dan pemecatan dari perwalian, sedangkan syarat utama untu dipecat sebagai seorang wali, ialah karena disandarkan pada kepentingan seorang anak itu sendiri.

Pada setiap akhir perwaliannya, seorang wali wajib mengadakan perhitungan tanggung jawab penututp. Perhitungan inidilakukan dalam hal : a. Perwalian yang sama sekali dihentikan pada kepada anak yang meninggal dunia

atau kepada ahli warisnya.

b. Perwalian yang dihentikan karena diri wali, yaitu kepada orang yang menggantikannya.

(30)

c. Anak yang sudah berada dibawah perwalian, kembali lagi berada dibawah kekuasaan orang tua, yaitu kepada bapak atau ibu dari anak tersebut.19

7) Anak dibawah umur

Pengertian anak menurut bahasa adalah turunan kedua, manusia yang masih kecil.20 Hukum perdata menjamin hak-hak dasar bagai seorang anak sejak lahir bahkan sejak masih dalam kandungan.

Dalam hukum perdata, pengertian anak dimaksudkan pada pengertian

“sebelum dewasa” karena menurut hukum perdata seorang anak yang belum dewasa sudah bisa mengururs kepentingan-kepentingan keperdataannya. Untuk memenuhi kepentingan ini maka diadakan peraturan tentang “handlichting”, yaitu suatu pernyataan tentang seseorang yang belum mencapai usia dewasa sepenuhnya atau hanya untuk beberapa hal saja dipersamakan dengan orang yang sudah dewasa.

Pada perakteknya perturan perihal “handlichting” sedikit sekali dipergunakan di dalam masyarkat terlebih setelah ditetapkannya batas umur didalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yang membuat lembaga “handlichting” kehilangan artinya dan pada akhirnya dicabut karena dianggap sudah tidak mengikuti dan tidak sesuai dengan perkembangan yang ada dimasyarakat sekarang ini.21

19Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional (Jakarta: Kencana, 2008), 92.

20Departement Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesai (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 661.

21Soebekti,Pokok-Pokok Hukum Perdata, 55.

(31)

Menurut Pasal 330 KUHPer belum dewasa adalah:22 “mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun, dan tidak lebih dahulu sudah kawin. Menurut pasal tersebut, bahwa semua orang yang belum genap berusia 21 tahun dianggap belum kawin dan dan tidak cakap dimata hukum, yang artinya belum bisa bersikap, bertindak atau berpriklakuan yang sesuai dimuka hukum.Namun batas usia dewasa menurut Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan adalah adalah anak yang masih berusia dibawah 18 tahun dan belum menikah.

Batas usia pada pasal yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu 21 tahun dan Undang-Undang Perkawinan yaitu 18 tahun. Hal inilah yang pada akhirnya digunakan sampai saat ini sebagai pengertian anak dibawah umur didalam hukum perdata.

8) Orang hilang (mafqud)

Kata mafqud menurut bahasa adalah isim maf’ul dari lafadz faoda yafqudufaqdan yang berarti hilang atau menghilangkan sesuatu.23Jadi yang dimaksud mafqud dalam konteks ini adalah seorang anak yang bapaknya hilang yang tidak diketahui keadaan serta keberadaannya. Menurut Wahbah Zuhaili, yang dimaksud dengan mafqud adalah orang yang hilang yang tidak diketahui apakah dia masih hidup sehingga tidak bisa dipastikan kedatangannya kembali atau apakah dia sudah mati.24

22R. Soebekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2009), 90.

23Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia (Jakarta: Yayasan penyelenggara Penterjemah/Penafsir al-Qur’an,1973), 642.

24Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami Waadillatuhu, Vol.4 (Beirut: Dar alfikr, t.th), 145.

(32)

Jadi Menurut istilah mafqud atau orang hilang adalah orang yang sudah jauh dan terputus kabar berita tentang dirinya sehingga tidak diketahui tempatnya dan tidak diketahui pula apakah ia masih hidup ataukah sudah mati.

Para ahli fiqih telah menetapkan hukum bagi orang yang hilang, yakni istri orang itu tidak boleh dikawinkan dan hartanya tidak boleh diwariskan, serta hak- haknya tidak boleh dibelanjakan atau ditukarkan sampai ia (orang yang hilang itu) diketahui dengan jelas keadaan dan statusnya, apakah ia telah mati ataupun masih hidup, atau meninggu beberapa waktu sampai menimbulkan dugaan bahwa ia sudah mati. Hanya hakimlah yang berhak menghukumi atau menetapkan kemtian orang yang hilang.

Orang yang hilang harus dianggap masih hidup sesuai dengan keadaan semula, yaitu pada asalnya orang yang hilang itu hidup hingga ada kejelasan atau kematiannya. Sebagaimana yang dikatakan Ali r.a. mengenai perempuan yang hilang suaminya, “perempuan itu terkena cobaan maka ia harus bersabar dan jangan dinikahkan sehingga datang keyakinan atas kematian suaminya.25

Ulama’ berbeda pendapat perihal tenggang waktu untuk menghukumi atau menetapkan kematian orang yang hilang, yaitu:

(1) Ulama’ hanafiyyah: Abu hanifah berpendapat bahwa orang yang hilang itu dianggap mati dengan melihat kematian teman-teman sebayanya yang menetap dinegaranya, apabila teman-temannya tidak ada seorangpun yang hidup, orang tersebut dihukumi sudah mati. Adapun menurut pendapat Abu hanifah, tenggang waktunya adalah 90 tahun

25Beni Ahmad Syaebani, Fiqih Mawarits (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009), 227.

(33)

(2) Ulama’ malikiyyah: Imam maliki berpendapat bahwa tenggang waktunya adalah 70 tahun. Pendapat ini disandarkan pada hadits masyhur yang mengatakan bahwa: Umur ummatku adalah antara empat puluh dan tujuh puluh tahun. Demikan pula diriwayatkan melalui Imam Malik bahwasanya, apabila apabila ada laki-laki yang hilang di negara Islam dan terputus beritanya, istrinya harus melapor kepada hakim. Hakim akan menyelidiki keadaan orang tersebut dengan menggunakan segala cara yang memungkinkan dapat mengetahui keadaannya.kalu sudah tidak mampu mendapatkannya, Istrinya diberi waktu menunggu selama empat tahun. Kalau sudah empat tahun, istrinya beriddah sebagaimana iddahnya orang perempuan yang ditinggal mati suaminya, setelah itu ia diperkenankan untuk menikah dengan laki-laki lain.

(3) Ulama’ syafi’iyyah. Imam Syafi’i berpendapat tenggang waktunya adalah 90 tahun, yaitu masa matinyateman-teman yang seangkatan dinegaranya.

Menurut pendapat yang sohih dari Imam Syafi’i, waktunya tidak dapat ditentukan dengan waktu tertentu, tapi ketetapan matinya orang tersebut ditetapkan oleh pengadilan. Dalam masalah ini, hakim berijtihaddan menghukumi kematiannya (orang yang hilang) setelah habisnya waktu menurut kebiasaan orang tidak lagi hidup diatas umur tersebut.

(4) Ulama’ Hanabilah: Imam Ahmad berpendapat bahwa apabila orang itu hilang dalam situasi yang menururt kebiasaannya ia akan binasa, seperti orang yang hilang ditengah-tengah berkecamuknya dua pasukan yang sedang berperang dan saling membunuh, atau tenggelam dalam pelayaran yang sebagin

(34)

temannya ada yang masih selamat, sedang yang lainnya mati tenggelam, orang yang hilang itu diselidiki selama 40 tahun. Jika tidak diketahui jejaknya, hartanya dibagikan kepada para ahli warisnyadan istrinya beriddah sebagaimana iddahnya orang perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya.26

2. Kajian teoritik tentang Pertimbangan hukum majelis hakim 1) Pengertian pertimbangan hukum

Dalam praktik pengadilan pertimbangan hukum yang dilakukan oleh Majelis Hakim disebut juga dengan considerans, yang mana considerans merupakan dasar dari suatu putusan hakim. Bahwa hakim dalam mempertimbangkan suatu putusan terhadap suatu perkara yang ditanganinya harus memuat alasan- alasan hukum kanun yaitu pasal-pasal dari peraturan perundang- undangan yang dipergunakan sebagai dasar tuntutan penggugat untuk mengabulkan atau tidak mengabulkan suatu tuntutan yang diajukan oleh pengugat, baik pasal-pasal yang diajukan oleh penggugat maupun yang tidak dikemukakan oleh penggugat di dalam petitumnya (pasal 184 ayat (1) dan (2) HIR Jo. Pasal 195 ayat (1) dan (2) Rbg. Jo. Pasal 50 ayat 1 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman). Jadi, penggugat ataupun pemohon tidak perlu khawatir karena walaupun dalam tuntutan atau permohonannya tidak menyebutkan atau salah mengemukakan pasal-pasal ari peraturan perundang- undangan yang dipakai dasar unutk gugatan atau permohonannya akan dibetulkan oleh hakim. Pemuatan alalasan-alasan hukum kanun tersebut adalah sangat

26Ibid., 228.

(35)

penting karena selain dapat dijadikan sebagai dasar hukum yang kuat dalam keputusan, juga dapat digunakan untuk menentukan dikabulkan atau tidaknya suatu tuntutan atau permohonan di lingkungan peradilan. Disamping itu, dapat juga dipergunakan untuk mempertanggung jawabkan atas keputusannya baik itu kepada para pihak yang bersengketa maupun kepada masyarakat, sehingga dengan demikian keputusan tersebut meiliki nilai yang obyektif.27

2) Hal-hal yang harus dilakukan Majelis Hakim dalam melakukan pertimbangkan hukum.

Dalam mempertimbangkan suatu putusan atau penetapan, para Hakim Pengadilan Agama sudah seharusnya menyadari bahwa tugas pokok mereka adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan. Dalam setiap putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim itu ada tiga hal yang tidak boleh di lupakan yaitu asas kepastian hukum (rechtischherheit), asas keadilan (gerechtigheit), dan asas manfaat (zwechmasigheit).

Ketiga Hal tersebut diatas Wajib mendapat perhatian dari Hakim dalam memutuskan setiap perkara yang masuk kepadanya. Asas tersebut harus mendapatkan perhatian yang seimbang dan proporsional, meskipun dalam praktikna sulit untuk mewujudkan sekaligus. Tetapi Hakim harus berusaha semaksimal mungkin agar setiap putusan hakim yang dijatuhkan itu setidak- tidaknya meliputi hal tersebut, dan bisa menghasilkan putusan yang seadil-adilnya bagi masyarakat khususnya bagi para pencari keadilan.28

27Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Peraktek (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), 232.

28Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Pengadilan Agama (Jakarta:

Kencana, 2005), 130.

(36)

Dalam sebuah putusan atau penetapan pertimbangan hukum itu merupakan jiwa atau intisari dari sebuah putusan atau penetapan pengadilan. Pertimbangan ini berisi analis, argumentasi, pendapat atau kesimpulan hukum dari hakim yang memeriksa perkara. Dalam pertimbangan dikemukakan analisis yang jelas berdasarkan Undang-undang pembuktian yang berkaitan dengan hal-hal berikut:

a. Apakah alat bukti yang diajukan penggugat dan tergugat memenuhi syarat formil dan materiil.

b. Alat bukti pihak mana yang mencapai batas minimal pembuktian c. Dalili-dalil apa saja yang terbukti

d. Sejauh mana nilai kekuatan pembuktian yang dimiliki oleh pemohon ataupun para pihak

Selanjutnya, diikuti analisis, hukum apa yang diterapkan dalam menyelesaikan perkara tersebut. Bertitik tolak dari analisis itu, pertimbangan majelis hakim melakukan argumentasi yang obyektif dan rasional, pihak mana saja yang mampu membuktikan dalil gugatannya sesuai degan ketentuan hukum yang diterapkan.

Dari hasil argumentasi itulah Majelis Hakim menjelaskan pendapatnya apa saja yang terbukti dan yang tidak terbukti, lalukemudian dirumuskan menjadi sebuah kesimpulan hukum sebagai dasar atau landasan penyelesain perkara yang akan dituangkan dalam diktum putusan.29

3) Kekuasaan kehakiman

29Yahya aharahap, Hukum Acara Perdata (Jakarta: Sinar Grafika, 2012, 809.

(37)

Kekuasaan kehakiman ini ketentuannya diatur dalam UU No.14 Tahun 1970 TENTANG kekuasaan kehakiman, UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dan UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. UU No. 14 Tahun 1970 merupakan induk dan kerangka umum yang meletakkan dasar serta asas- asas peradilan serta pedoman bagi lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara.

Kekuasaan kehakiman ini merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri dan bebas dari campur tangan pihak-pihak di luar kekuasaan kehakiman untuk menyelengggarakan peradilan demi terselenggaranya negara hukum.

Kebebasan kekuasaan kehakiman, yang penyelenggaraanya diserahkan kepada badan-badan peradilan, merupakan ciri khas negara hukum. Pada hakekatnya kebebasan ini merupakan pembawaan dari pada setiap peradilan.

Hanya batas dan isi kebebasannya dipengaruhi oleh sistem pemerintahan, politik ekonomi dan lain sebagainya. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang judicieel UU No. 14 Tahun 1970 tentang kekuasaan kehakiman itupun tidak mutlak sifatnya, karena tugas dari pada hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar hukum serta asas-asas yang menjadi andasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapakan kepadanya, sehingga keputusannya mencerminkan prasaan keadilan bangsa dan rakyat Indonesia.30

Dalam kekuasaan kehakiman ini putusan para hakim di lembaga peradilan dituntut untuk mewujudkan asas sederhana, cepat dan biyaya ringan. Yang

30Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2002), 19.

(38)

dimaksud dengan sederhana adalah acara yang jelas, mudah difahami dan tidak berbelit. Makin sedikit formalitas-formalitas yang diwajibkan atau diperlukan dalam beracar dimuka peradilan, maka semakin baik. Yang dimaksud dengan cepat adalah menunjuk kepada jalnnya peradilan. Dalam hal ini bukan hanya jalannya peradilan dalam pemeriksaan dimuka persidangan saja, akan tetapi juga penyelesaian dari pada berita acara pemeriksaan di persidangan sampai pada enandatanganan putusan oleh hakim dan pelaksanaannya. Dan yang dimaksud dengan biyaya ringan adalah biyaya yang yang terjangkau dan bisa dipikul oleh masyarakat, karena biyaya yang tinggi bisa menyebabkan masyarakat enggan untuk mencari keadilan di lembaga peradilan.31

3. Kajian Teoriritik Tentang Dasar Hukum Suatu Putusan.

1) Ketentuan dan pengertian dasar hukum dalam sebuah putusan.

Dasar hukum merupakan suatu sumber hukum yang digunakan oleh majelis hakim sebagai dasar atau landasan hukum dalam menentukan sebuah putusan. Yang mana dalam menggunakan dasar hakum ini, para hakim harus menyebutkan pasal-pasal tertentu yang diterapkan dalam putusan dari peraturan yang ada dalam perundang-undangan, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 184 ayat 2 HIR yang menegaskan bahwa, apabila putusan didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang pasti maka aturan itu harus disebut. Jadi segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar hukum dari sebuah putusan, harus juga memuat pasal-pasal tertentu dan peraturan perundang- undangan yang menjadi landasan putusan.

31Ibid, 36.

(39)

Meskipun undang-undang memrintahkan pencantuman pasal-pasal yang diterapkan dalam putusan, namun hal itu ada yang tidak mengindahkanya. Pada masa belakangan ini, putusan pengadilan mulai dari tingkat pertama sampai kasasi, masih banyak yang mandul akan hal ini. Jarang dijumpai putusa yang lengkap mencantumkannya bahkan terkadang putusan itu membingungkan, karena tidak jelas pasal peraturan perundang-undangan mana yan dijadikan rujukan dan landasan pertimbangan.

Selain dari pada itu, putusan yang lalai mencantumkannya, dianggap bukan merupakan cacaat yang serius, oleh karena itu selalu ditolerir. Sikap ini memang rasional dan beralasan. Kalau cacat yang demikian dianggap membatalkan putusan, tindakan tersebut akan merugikan pihak yang berperkara dan sekaligus mengingkari asas sederhana, cepat dan biyaya ringan. Oleh karena itu, cukup dengan diperbaiki dalam tingkat banding atau kasasi.32

2) Dasar hukum yang digunakan majelis hakim dalam menetukan sebuah putusan

Hakim dalam mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya harus mengetahui dengan jelas fakta-fakta dan peristiwa yang ada dalam perkara tersebut. Oleh karena itu Majelis Hakim sebelum menjatuhkan putusannya terlebih dahulu harus menemukan fakta dan peristiwa yang terungkap dalam persidangan, serta alat-alat bukti yang diajukan oleh pihak yang berperkara di muka persidangan. Setelah Majelis Hakim menemukan peristiwa dan fakta secara

32Harahap, 810.

(40)

obyektif, maka Majelis Hakim berusaha menemukan hukumnya secara tepat dan akurat terhadap peristiwa yang terjadi tersebut.

Dalam rangka usaha menemukan sebuah hukum dalam suatu perkara yang sedang diperksa dalam persidangan, Majelis Hakim dapat mencarinya, dalam:

(1) Kitab perundang-undangan sebagai hukum yang tertulis

(2) Kepala adat dan penasehat agama sebagaimana tersebut dalam Pasal 44 dan 15 Ordonasi Adat bagi hukum yang tidak tertulis

(3) Sumber yurisprudensi, dengan catatan bahwa hakim sama sekali tidak boleh terikat dengan putusan-putusan terdahulu itu, ia dapat menyimpang dan berbeda pendapat jika iya yakin terhadap ketidakbenaran atas putusan atau tidak sesuai dengan perkembangan hukum kontemporer. Tetapi hakim dapat sepanjang putusan tersebut dapat memenuhi rasa keadilan bagi pihak-pihak yang berperkara.

(4) Tulisan-tulisan ilmiah para pakar hukum, dan bukuk-buku ilmu pengetahuan lain yang ada sangkut pautnya dengan perkara yang sedang diperiksa tersebut.33

33Manan, 278.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas layanan website tidak berpengaruh signifikan dengan kepuasan pengguna, sehingga perlu dilakukan perbaikan pada kualitas

Data yang dikumpulkan diperoleh dari citra landsat tahun 1981, 1994, 1999, 2004, 2009, dan 2014 dengan menggunakan landsat 1-3 Multispectral Scanner (MSS), landsat

Penulis memilih metode deskriptif dalam penelitian ini berdasar pada pertimbangan bahwa tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui atau mengungkap kontribusi

1) Tapak diolah sedemikian rupa sesuai dengan konsep dinamika geometri yang diterapkan dengan pola spline pada sirkulasi luar dengan pemakaian warna primer pada

Berdasarkan data penelitian yang dijadikan sampel, baik karya- karya yang diterbitkan oleh penerbit Balai Pustaka maupun non- Balai Pustaka, dapat diketahui bahwa tokoh nonpribumi

Untuk menghitung efisiensi termal pada sistem kompor briket digunakan. rumus sebagai

Hasil dari penelitian tersebut terbukti bahwa debt covenant yang diproksikan terhadap leverage memiliki pengaruh negatif yang signifikan terhadap konsrvatisme