BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Batik Blora merupakan istilah atau sebutan untuk produk batik khas dari
daerah Blora (Ceviana, 2013). Penyebutan batik Blora pada awalnya digunakan
untuk menyebutkan kain batik yang dihasilkan pengrajin batik dari daerah Blora,
namun penyebutan batik Blora saat ini menjadi populer di kalangan masyarakat
daerah Blora ataupun di daerah luar Blora sebagai identitas kerajinan khas daerah
setempat. Perajin batik Blora mulai memproduksi batik khas daerah Blora di
tahun 2010. Batik Blora muncul dari inisiatif pemerintah setempat melalui
pelatihan tenaga terampil. Pelatihan tenaga terampil dibagi menjadi beberapa
divisi, pelatihan kerajinan batik dan kerajinan kayu. Pelatihan Batik Blora
menjadi suatu hal baru yang belum pernah ada sebelumnya di Blora.
Motif-motif batik yang terdapat pada pola hias batik Blora pada dasarnya
termasuk dalam kategori motif batik Modern. Menurut Sewan Susanto dalam
buku Seni Kerajinan Batik Indonesia mengungkapkan bahwa, “batik Modern”
merupakan semua jenis batik yang motif dan gayanya tidak seperti batik
tradisional (Sewan, 1980:15). Motif batik yang tercipta di Blora
merepresentasikan kondisi sosial di tempat tersebut. Hal ini dikarenakan bahwa
motif yang tercipta merupakan motif yang terinspirasi dari kondisi alam sekitar.
Dilihat dari ciri-cirinya, batik Blora merupakan kategori batik kreasi baru yang
saat ini populer dan menjadi bagian dari ragam hias batik Nusantara.
Corak Batik Blora memiliki identitas daerah yang diwakilkan melalui
ragam hiasnya. Ragam hias batik Blora mempunyai asal usul jelas yang oleh
karenanya disebut dengan batik khas Blora. Berdasarkan pada observasi yang
telah dilakukan pada bulan Agustus 2014 didapati bahwa penciptaan motif sesuai
dengan kondisi geografis, maka dalam penciptaan motif juga berpedoman dari
pengalaman yang dilihat masyarakat sekitar. Kondisi geografis daerah Blora
mempunyai struktur tanah cadas,dan tumbuhan yang tumbuh di Blora mayoritas
adalah tumbuhan jati menjadi sumber inspirasi pada batik Blora. Pohon jati
menjadi ikon yang tidak bisa dipisahkan dari Blora, pasalnya Blora memiliki
hutan jati yang sangat luas. Ikon jati itulah yang menjadi ciri khas pada batik
Blora. Motif batik Blora yang saat ini berkembang adalah mengeksplorasi bentuk
unsur-unsur dari elemen yang ada pada pohon jati. Bentuk-bentuk tersebut yaitu
daun jati, gelondongan, bunga jati, dan Uwung (lingkaran tahunan).
Motif-motif batik Blora yang ada saat ini masih perlu dikembangkan dari
sisi visual. Berdasar pada observasi yang dilakukan penulis pada bulan Agustus
2014 ditemukan beberapa hal terkait visual motif batik yang masih berpeluang
untuk dikembangkan1. Secara visual, batik Blora saat ini belum mampu keluar
dari bentuk-bentuk realis dari sumber ide visual, semisal visualisasi pada motif gelondongan kayu yang masih digambar dengan karaker kayu yang terkesan kaku.
Selain itu, dalam pengolahan komposisi masih terlihat kurang menyatu antara
motif satu dengan yang lain sehingga motif terkesan berdiri sendiri. Dari analisa
tersebut mendorong penulis menawarkan desain yang lebih dinamis dengan
stillisasi bentuk-bentuk yang lebih luwes tanpa menghilangkan karakter khas batik
Blora.
1
Penggunaan visual jati sebagai icon batik Blora akan berdampak pada
visual jati sebagai ikon akan berfungsi pula sebagai promosi kayu jati itu sendiri.
Selain itu adanya batik Blora tentu akan membantu pertumbuhan ekonomi dari
sisi peluang usaha batik yang ada di Blora. Batik Blora yang baru berumur 4
tahun berpotensi untuk dilakukannya inovasi baru sehingga memperkaya desain
motif batik di Blora.
Bertolak dari kesemua tersebut, maka batik Blora memiliki potensi yang
baik dari seni dan budaya maupun pertumbuhan ekonomi. Potensi-potensi yang
ada tersebut berpeluang untuk dilakukannya inovasi motif baru guna memperkaya
khasanah motif batik di Blora. Untuk itu proyek perancangan tugas akhir ini
mencoba merancang desain sebagai suatu inovasi baru.
Menangkap dari apa yang telah terurai diatas, proyek Tugas Akhir ini akan
merancang desain batik Blora dengan inovasi motif yang terfokuskan pada visual
jati. Ide visual yang ditawarkan dalam perancangan desain ini adalah dengan
mengolah bentuk serta unsur-unsur jati. Pertimbangan yang diambil dari
pemilihan visual jati dikarenakan jati merupakan bagian yang tidak bisa
dipisahkan dari Blora mengingat Blora merupakan daerah yang kaya akan hutan
jati. Selain itu, bentuk jati yang mempunyai detail yang unik berpeluang untuk
diolah.
B. Kajian Pustaka
Penelitian terkait batik Blora sudah dilakukan oleh beberapa peneliti.
Penelitian batik Blora dilakukan oleh Christian Ceviana (tahun 2013) yang
berjudul “Munculnya Batik Blora”. Penelitian tersebut mengkaji batik Blora yaitu,
penelitiannya, Ceviana menuliskan munculnya batik Blora belum diketahui secara
pasti namun disebabkan oleh beberapa faktor. Menurutnya, kemunculan batik
Blora disebabkan beberapa faktor yakni faktor Institusi Sosial, Ekonomi, dan
Teknologi (Tahun 2013). Pertumbuhan penduduk yang besar dan banyaknya
pengangguran memunculkan ide bagi pemerintah daerah untuk menggerakkan
perekonomian. Pemerintah dalam langkahnya untuk menggerakkan perekonomian
yaitu dengan memunculkan embrio usaha. Untuk mewujudkan langkahnya
tersebut, pemerintah melakukan perekrutan tenaga terampil dari desa yang
tertinggal untuk menjalani serangkaian latihan usaha. Pelatihan usaha yang
ditawarkan bermacam-macam mulai dari pelatihan kerajinan kayu dan juga pada
kerajinan batik.
Faktor sosial budaya yang melandasi munculnya batik Blora adalah
dorongan dan semangat bersama dalam membentuk dan menonjolkan identitas
daerah melalui batik dan sekaligus melestarikan batik sebagai warisan dari nenek
moyang yang perlu dijaga. Ceviana juga menyinggung sedikit tentang visual
motif batik Blora. Secara visual, batik Blora terinspirasi oleh lingkungan alam
sekitar dan juga beberapa kesenian khas Blora.
Penelitian terkait batik Blora juga dilakukan oleh Maharta dkk dengan
judul “ Potensi Batik Blora Terhadap Perkembangan Perekonomian Masyarakat
Blora” (2011). Dalam penelitiannya disebutkan bahwa batik di Blora mulai
popular semenjak pasca pengakuan Malaysia yang mengklaim kesenian batik.
Melihat adanya klaim batik dari Malaysia maka Blora sebagai bagian dari
Indonesia berpartisipasi dalam pelestarian kesenian batik. Daerah Blora yang
perajin batik yang mengolah kreasi motif dari daerah setempat untuk dijadikan
motif khas. Maka dari itu timbullah ekonomi grafik dimana Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah (BAPPEDA) dan kantor-kantor lainnya membina para
ibu-ibu di pedesaan untuk menjadikan satu kelompok pengrajin batik Blora.
Dalam artikel ilmiah yang ditulis Maharta dkk juga disebutkan
perkembangan perekonomian daerah Blora melalui adanya batik terbukti dalam
adanya motif yang menggambarkan keanekaragaman kebudayaan, kesenian khas
Blora yakni motif barongan, motif tayub, motif sate dan motif jati. Batik Blora yang baru muncul tersebut mendapatkan apresiasi dari berbagai kalangan terutama
bagi masyarakat daerah setempat yang menyukai batik Blora. Banyaknya batik
Blora yang diminati masyarakat menjadikan pergerakan perekonomian mulai
meningkat.
Penelitian-penelitian diatas lebih mendalami batik Blora dari sisi histori
dan dampak terhadap perekonomian saja (penelitian Ceviana, dan Maharta) dan
penelitian riset lapangan sehingga belum merambah pada pengembangan desain.
Untuk lebih memperkaya khasanah batik Blora maka perancangan ini
menawarkan inovasi desain baru dengan visual yang lebih estetis, ikonografis.
Dalam kajian pustaka ini akan dipilih beberapa pustaka yang mendukung proyek
perancangan TA seperti buku, dan segala hal karya ilmiah yang berhubungan
dengan batik, kayu jati, dam pengembangan desain.
1. Batik Blora
Seni batik yang melalui proses membatik pada dasarnya sama dengan
melukis di atas sehelai kain putih. Sebagai alat melukis disebut canting dan
yang mempunyai carat dengan tangkai dari bambu. Carat mempunyai berbagai
ukuran, tergantung dari besar kecilnya titik-titik dan tebal halusnya garis-garis
yang hendak dilukis. Kegunaan mangkok kecil adalah sebagai tempat cairan
malam (Nian S. Djoemena, 1990:1).
Batik merupakan salah satu kebudayaan Indonesia yang telah mendunia.
Batik telah mengambil peran yang penting dalam perkembangan sejarah dan pada
tiap siklus kehidupan masyarakat. Sejarah penyebaran batik berkaitan erat dengan
adanya kraton-kraton di tanah Jawa. Menurut pendapat yang dikemukakan oleh
Santoso Doellah, bahwa batik yang pada mulanya hanya dikerjakan oleh putri dan
abdi kraton sebagai pemenuh kebutuhan sandang dilingkungan kraton, kini telah
mengalami perubahan yang semakin lama mengharuskan pengerjaan batik
dilakukan di luar kraton (Doellah, 2002:54).
Kata batik dalam bahasa Jawa berasal dari akar kata “mbatik”.Mempunyai
pengertian berhubungan dengan suatu pekerjaan membuat titik-titik halus, lembut,
dan kecil, yang mengandung unsur keindahan. Secara etimologis, berarti
menitikkan malam dengan canting sehingga membentuk corak yang terdiri atas
susunan titikan garisan. Batik sebagai kata banda merupakan hasil penggambaran
corak di atas kain dengan menggunakan canting sebagai alat gambar dan malam
sebagai zat perintang. Artinya bahwa secara teknis batik adalah suatu cara
penerapan corak di atas kain melalui proses celup rintang warna dan
menggunakan malam sebagai medium perintangnya (Biranul Anas dkk, 1997 :
14).
Seni batik pada hakikatnya menjadi suatu penyalur kreasi rasa yang
aspek kehidupan sehari-hari. Besarnya makna yang tersirat melalui sehelai kain
tersebut, batik mempunyai aspek yang menarik untuk diungkap dan
dikembangkan sehingga batik akan mengalami serangkaian siklus yang terus
berubah pada zamannya.
Perjalanannya yang sedemikian rupa, batik mulai dikenal dan popular di
kalangan masyarakat baik di dalam dan di luar negeri. Perkembangan batik juga
diikuti di berbagai daerah di Nusantara. Daerah Blora adalah salah satu dari
daerah di Indonesia yang mengembangkan batik di dekade akhir-akhir ini.
Perbatikan di Blora mulai muncul di tahun 2010 yang didasari semangat bersama
untuk menciptakan batik khas sebagai identitas daerah.2 melalui serangkaian
pelatihan yang diadakan pemerintah Daerah Blora kini batik Blora mulai
berkembang dan memunculkan embrio usaha batik baru.
Batik Blora masuk dalam kategori batik modern. Batik modern ialah semua
macam jenis batik yang sifat dan gayanya tidak seperti batik tradisional. Pada
batik tradisional susunan motifnya terikat oleh suatu ikatan (pakem) tertentu dan
isen-isen tertentu pula. Bila menyimpang dari kaidah yang ada maka dikatakan
menyimpang dari batik tradisional (Sewan Susanto, 1980 : 15). Berbicara batik
modern, nampaknya batik Blora masuk di dalamnya, pasalnya batik Blora lebih
menggambarkan kehidupan sehari-hari dan cenderung menggunakan motif yang
bebas. Selain itu, dalam praktiknya batik Blora mempunyai keterikatan pasar dan
permintaan konsumen tanpa memerdulikan paten-paten batik pada umumnya. Hal
2
ini berbeda dengan kaidah batik tradisi yang dengan laku yang sadar
menggunakan simbol dan memperhatikan makna filosofi dalam motifnya.
Batik Blora yang muncul di tahun 2010 tersebut didasari oleh semangat
kebersamaan mulai dari perajin, pemerintah dan masyarakat. Tujuan dari
kesemuanya tidak lain adalah untuk memajukan daerah Blora dan sebagai icon
daerah. Hal ini diperkuat dari penelitian yang dilakukan Ceviana yang
menyebutkan bahwa batik Blora melalui faktor yang saling berkait antara institusi
sosial, ekonomi dan teknologi (Ceviana, 2013). Semangat bersama untuk
mamajukan batik Blora ditunjukkan melalui sinergi antar sektor pemerintah dan
perajin.
Visual batik Blora mempunyai motif yang unik dan berbeda dari batik lain.
Motif batik Blora mengangkat kesenian, kebudayaan, makanan khas Blora
sebagai suatu dayatarik dan identitas lokal Blora. Motif khas batik Blora terbagi
menjadi empat motif yang bersumber dari keanekaragaman budaya khas di Blora
yakni, (1) motif Barongan, yaitu motif yang terinspirasi dari kesenian khas Blora
yaitu topeng barong. (2) Motif Tayub,merupakan salah satu seni tari kebudayaan
yang ada di Blora. (3) Motif Jati, yaitu motif yang terinspirasi oleh kekayaan alam
khas Blora yang menjadi icon daerah Blora, (4) Motif Sate, yaitu motif yang
terinspirasi oleh makanan khas Blora.
Motif yang popular di Blora adalah motif jati, bahkan menurut Suherjan salah
satu perajin batik Blora mengatakan bahwa motif batik khas Blora tidak lepas dari
dalam motif pengembangannya.3 Penggunaan jati sebagai visual khas batik Blora
tidak lepas dari pengalaman sosialitas, ST Sunardi dalam bukunya esai-esai
estetika mengungkapkan pengalaman sosialitas sangat erat hubungannya dengan
ikatan geografis, etnik dan tradisi (Sunardi, 2012 : 321). Kondisi geografis Blora
yang merupakan alam kaya akan jati telah mendorong pengalaman sosialitas
dengan menerapkannya ke dalam motif batik. Hal ini berarti pohon jati
merupakan icon sebagai suatu identitas bersama yang telah disepakati dalam
konsep penciptaan motif batik walaupun sampai sekarang belum ada kesepakatan
tertulis untuk itu, namun dalam hal penyebaran batik ke masyarakat serta respon
dari masyarakat mengenai ikon jati yang diterima kalayak umum membuktikan
bahwa inilah yang menjadi cirikhas dari batik Blora.
Batik Blora mulai muncul di tahun 2010 dan mulai bekembang sampai saat
ini menjadi bukti dimana respon masyarakat sangat bagus dalam membantu
mengangkat nama daerah melalui peran batik. Perkembangan signifikan juga
terlihat dari banyaknya industri batik yang mulai tumbuh dan meningkat setelah
2010. Data penelitian Ceviana (2012) memperlihatkan adanya peningkatan jumlah
pengusaha batik di Blora. Tahun 2010 tercatat hanya satu pengusaha batik yaitu
batik “Lestari” yang dimiliki bapak Suherjan. Peningkatan jumlah usaha batik
Blora meningkat di tahun 2011 yang bertambah 9 unit, pada tahun 2012
meningkat 14 unit. Jadi jumlah usaha batik di blora sampai saat ini adalah 24 unit.
Meningkatnya jumlah usaha batik tersebut membuktikan meningkatnya pula
komoditi batik di kalangan masyarakat baik dari dalam maupun luar Blora. Batik
3
Blora saat ini menjadi populer dan diminati oleh banyak orang. Produk andalan
jati sebagai motif identitas daerah, kini batik Blora menjadi batik yang mampu
menunjukkan keaslian daerahnya. Batik Blora saat ini menjadi populer yang lahir
ditengah-tengah budaya konsumsi dan didukung teknologi informasi baru.
2. Jati, Desain, Estetika dan Pengembangan Desain
Pohon jati digolongkan sebagai kelompok kayu mewah (fancy wood) dan memiliki tingkat keawetan tinggi serta mampu bertahan hingga 500 tahun
(Suryana, 2001). Kayu jati jawa telah dimanfaatkan sejak zaman kerajaan
Majapahit. Jati terutama dipakai untuk membangun rumah dan alat pertanian.
Sampai dengan masa perang dunia kedua, orang Jawa pada umumnya hanya
mengenal kayu jati sebagai bahan bangunan. Kayu-kayu bukan jati disebut ‘kayu
tahun’. Artinya, kayu yang keawetannya untuk beberapa tahun saja.
Daun jati dimanfaatkan secara tradisional di Jawa sebagai pembungkus,
termasuk pembungkus makanan. Daun jati juga banyak digunakan di Yogyakarta,
Jawa Tengah dan Jawa Timur sebagai pembungkus tempe. Meskipun jati
tergolong tumbuhan yang kokoh, namun pohon jati tidak lepas dari hama.
Berbagai jenis serangga hama jati juga sering dimanfaatkan sebagai bahan
makanan orang desa. Dua di antaranya adalah belalang jati (Bhs Jw. walang kayu), yang besar berwarna kecoklatan, dan ulat-jati (Endoclita).Ulat jati bahkan kerap dianggap makanan istimewa karena lezatnya. Ulat ini dikumpulkan
menjelang musim hujan, di pagi hari ketika ulat-ulat itu bergelantungan turun dari
Kegunaan jati sebagai bahan kayu untuk berbagai keperluan, saat ini
menginspirasi ke sehelai kain yaitu dengan mengolah potensi visual untuk motif
batik di Blora. Adaptasi bentuk visual jati ke dalam batik memiliki keunikan dan
tantangan tersendiri yakni pengolahan motif batik yang keluar dari pakem dan
membentuk identitas daerah. Pengadaptasian desain tersebut berpeluang untuk
pengembangan desain yang lebih baik.
Desain merupakan kata dengan cakupan konsep yang luas dan memiliki
diferensiasi. Dalam bukunya, Walker mendefinisikan desain merujuk pada suatu
proses dan tindakan praktik pendesainan. Definisi desain menurut Walker
merupakan sesuatu yang tentative dan terus berubah sesuai zaman (Walker, 2011:
24). Ketidaksamaan definisi desain perlu di pahami dalam evolusi konsep desain
baik dari sejarahnya maupun barang hasil desain. Konsep desain pada zaman
renaisans dalam praktiknya berarti menggambar dan berkait dengan visual dan secara umum mengkonseptualisasikan terbentuknya patung, lukisan,dan
seterusnya. Desain dalam definisinya di abad ke-18 dan ke-19 merupakan bagian
dari revolusi industri. Sampai akhirnya definisi desain dirumuskan oleh Bayley
adalah sesuatu yang muncul ketika seni bertemu industri, dan ketika orang mulai
membuat keputusan mengenai seperti apa seharusnya produk dibuat secara masal
(Baylay, 1982 :9).
Desain dalam kaitanya pada batik akan berhubungan dengan Estetika. Estetik
disini diartikan keindahan mulai dari visual maupun apa yang dimaknai di
dalamnya. Estetika akan mengarahkan mata kita untuk melihat, takjub, dan
mampu membaca arah desain yang dimaksudkan. Sunardi mempunyai pendapat
2012:122). Dalam uraiannya disebutkan bahwa keindahan akan mengandung
beberapa hal yaitu pertama, meminjam istilah Gramsci yang mengandung idea, jadi seni yang berkait keindahan tentunya haruslah mempunyai idea yang tepat
dan pasti. Kedua, yaitu mengandung eksplorasi intelektual dan spiritual yang mengharuskan perancang seni dan desain mempunyai pengalaman intelektual
tinggi untuk menghasilkan karya yang estetik. Ketiga, mengandung unsur beautifikasi yang berarti pengerjaan yang melalui proses komposisi, warna,
bentuk yang akan memperpadukan gerak entah gerak dalam visual alam maupun
makhluk hidup. Dengan mempelajari keindahan sebagai bagian dari realitas
tersebut maka berpijak dari itupula pengembangan desain batik Blora akan di
lakukan.
Inovasi dalam kaitanya Batik Blora tentu menjadi perhatian khusus, sebab
batik Blora mempunyai potensi dari sisi nilai ekonomi, ciri, dan icon. Inovasi
didefinisikan sebagai aplikasi sistematis dari pengetahuan atau pemahaman,
diarahkan pada produksi, bahan yang bermanfaat, perangkat, dan sistematau
mode, termasuk desain,dengan tujuan peningkatan prioritas serta proses baru
untuk memenuhi persyaratan tertentu ( Putra, 2012 :70 ). Inovasi diarahkan/
ditekankan pada desain Batik Blora dengan langkah yaitu sebagian besar
merupakan suatu eksperimen dan studi untuk mengoptimalkan produk.
C. Fokus Permasalahan
Fokus permasalahan proyek perancangan ini adalah bagaimana