iii Universitas Kristen Maranatha
ABSTRAK
Pada masa sekarang ini, dari jenis kelamin dan lapisan mana saja berpotensi melakukan kejahatan, tidak terkecuali wanita. Di daerah bandung, terdapat satu lapas khusus untuk menampung para narapidana wanita, yaitu lapas sukamiskin kelas IIA Bandung.
Menjalani status sebagai narapidana tentulah tidak mudah bagi wanita di lapas tersebut. Banyak tekanan mental dan perubahan dalm hidup yang dirasakan oleh wanita tersebut dan hal itu dapat mempengaruhi Psychological well being (PWB) nya. Berdasarkan teori dari Ryff, dilakukanlah penelitian untuk mengetahui Psychological well being pada narapidana wanita di Lapas sukamiskin kelas IIA Bandung.
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat ukur asli yaitu The Ryff Scales of Psychological Well – Being (SPWB,1989) yang terdiri dari 84 item yang diterjemahkan dan dimodifikasi oleh peneliti. Alat ukur yang awalnya berjumlah 84 item, namun setelah dilakukan validitas dan reliabilitas, kemudian menjadi 47 item, yang diberikan kepada 35 narapidana wanita yang telah menjalani masa tahanan minimal 1 tahun sebagai respondennya. Hasil Validitas 47 item berkisar antara 0,053-0,768 dan hasil reliabilitasnya 0,912.
Having status as convict is not easy for a woman, a lot of pressure and environmental change is affecting her Psychological well being (PWB). Based on theory of Ryff, a research is conducted to discover Psychological well being on women convicts in Lapas Sukamiskin Class IIA Bandung.
Measuring instrument that used is a translation from the original Ryff Scales of Psychological Well - Being (SPWB, 1989), that consists of 84 item and translated into Indonesian and then modified by the researcher. Measuring that used in this paper was 84 items, but after doing some validity and reliability,47 items finalized to be given for 35convicts that have been confined in a prison at least 1 year as the criteria of respondents. This measure has a validity value from 0.053 to 0.768 and a realiability value 0.912
vii Universitas Kristen Maranatha DAFTAR ISI
COVER ... i
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
ABSTRAK ... iii
ABSTRACT ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR BAGAN ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Masalah ... 1
1. 2 Identifikasi Masalah ...11
1. 3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 11
1. 3. 1 Maksud Penelitian ... 11
1. 3. 2 Tujuan Penelitian ... 11
1. 4 Kegunaan Penelitian ... 12
1. 4. 1 Kegunaan Teoretis ... 12
1. 4. 2 Kegunaan Praktis ... 12
1. 5 Kerangka Pemikiran ...13
1.1 Bagan Kerangka Pikir... 24
2. Dimensi Psychological Well – Being ... 27
3. Faktor yang Mempengaruhi Psychological Well – Being ... 32
2. Narapidana ...35
1. Definisi Narapidana ... 35
2. Dampak Psikologis Pidana Penjara ...36
3. Faktor Penyebab Kejahatan ...37
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian ... 40
3.2 Bagan Rancangan Penelitian ... 40
3.3 Variabel Penelitian, Definisi Konseptual, dan Definisi Operasional... 41
3.3.1 Variabel Penelitian ...41
3.3.2 Definisi Konseptual ... 41
3.3.3 Definisi Operasional ...41
3.4 Alat Ukur ... 43
3.4.1 Kuesioner Psychological Well – Being ...43
3.4.2 Sistem Penilaian ... 46
3.4.3 Data Penunjang ... 47
3.5 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 47
3.5.1 Validitas Alat Ukur ... 47
ix Universitas Kristen Maranatha
3.6 Populasi, Karakteristik Sampel dan Teknik Sampling...49
3.6.1 Populasi ... 49
3.6.2 Karakteristik Sampel... 50
3.6.3 Teknik Penarikan Sampel... 50
3.7 Teknik Analisis Data ... 50
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian... 52
4.1.1 Gambaran PWB Subjek dan Dimensinya ...52
4.2Tabulasi Silang PWB dengan Dimensi-Dimensinya... 54
4.3Pembahasan ... 58
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1Kesimpulan ... 67
5.2Saran ... 67
5.2.1 Saran Teoretis ... 67
5.2.2 Saran Praktis ... 68
DAFTAR PUSTAKA ... 70
DAFTAR RUJUKAN ... 71
Tabel 3.3 Kriteria Validitas Guildford ... 49
Tabel 4.1.1 Gambaran PWB Subjek... 52
Tabel 4.1.2 Gambaran Dimensi PWB Pada Subjek... 52
Tabel 4.2.1 Tabulasi Silang PWB dengan Self-Acceptance... 54
Tabel 4.2.2 Tabulasi Silang PWB dengan Purpose in Life... 54
Tabel 4.2.3 Tabulasi Silang PWB dengan Personal Growth... 55
Tabel 4.2.4 Tabulasi Silang PWB dengan Enviromental Mastery... 56
Tabel 4.2.5 Tabulasi Silang PWB dengan Positive Relation with Others... 56
Tabel 4.2.3 Tabulasi Silang PWB dengan Autonomy... 57
xi Universitas Kristen Maranatha DAFTAR BAGAN
Bagan 1. 1 Bagan Kerangka Pikir ...24
LAMPIRAN 2 KUESIONER
LAMPIRAN 3 DATA PENUNJANG SAMPEL
LAMPIRAN 4 DATA SKOR TOTAL 84 ITEM
LAMPIRAN 5 DATA SKOR TOTAL 47 ITEM
LAMPIRAN 6 DATA GAMBARAN SUBJEK PENELITIAN
LAMPIRAN 7 PERHITUNGAN VALIDITAS DAN RELIABILITAS 84 ITEM
1 Universitas Kristen Maranatha BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak
dapat dipisahkan dari masyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia
memerlukan norma atau aturan untuk dapat menjaga keseimbangan dalam
melakukan hubungan-hubungan kemasyarakatan agar tidak terjadi kekacauan.
Salah satu norma yang berlaku di masyarakat adalah norma hukum yang memiliki
sifat memaksa untuk ditaati dan dipatuhi setiap individu. Apabila norma hukum
tersebut dilanggar oleh individu, misalnya ia melakukan kejahatan, maka individu
tersebut akan dikenakan hukuman berupa sanksi pidana.
Definisi kejahatan menurut Kartono (2003 :125) bahwa : kejahatan adalah
bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan (immoril),
asosial sifatnya dan melanggar hukum serta undang-undang pidana”. Selain itu
Kartono juga mengemukakan definisi kejahatan (2003 :126) bahwa : “secara
sosiologis kejahatan adalah semua ucapan, perbuatan dan tingkah laku yang
secara ekonomis, politis dan sosial-psikologis sangat merugikan masyarakat,
melanggar norma norma susila, menyerang keselamatan warga masyarakat (baik
yang telah tercakup dalam undang undang maupun yang belum tercantum dalam
undang-undang pidana).
Sanksi pidana itu merupakan peraturan yang menentukan perbuatan
pidana dapat berupa kurungan dalam lembaga permasyarakatan (Lapas). Lapas
itu juga berfungsi sebagai tempat pembinaan bagi para narapidana agar dapat
lebih mengembangkan diri lagi selama menjalani masa tahanan sehingga nantinya
dapat menjadi pribadi yang lebih baik setelah keluar dari Lapas. Pemberian sanksi
pidana ini juga bertujuan untuk menyadarkan perilaku menyimpang dari diri
pelanggar sehingga pelanggar menyadari perbuatannya dan memperbaiki
kesalahannya atau dirinya agar dapat lebih bermanfaat dan dapat diterima kembali
dalam masyarakat.
Pada masa sekarang ini, dari jenis kelamin apa saja dan dari lapisan mana
saja dalam masyarakat dapat berpotensi melakukan kejahatan, tidak terkecuali
anak anak dan wanita dewasa. Bahkan pada saat ini tidak sedikit anak anak dan
wanita yang melanggar hukum dan mendapatkan sanksi pidana berupa kurungan
dalam Lembaga Permasyarakatan (Lapas). Berdasarkan Undang-Undang
Republik Indonesia nomor 12 tahun 1995, tentang permasyarakatan, yaitu Pasal
12 yang berbunyi "Pembinaan Narapidana Wanita di Lapas dilakukan di Lapas
Wanita. Oleh karena itulah pemerintah membangun Lapas khusus untuk
menampung para narapidana wanita.
Salah satu Lapas khusus untuk menampung tahanan wanita yang didirikan
pemerintah adalah Lapas Wanita Sukamiskin kelas IIA Bandung. Dari data yang
dilansir pada situs resmi Lapas ini menunjukkan bahwa jumlah penghuni Lapas
wanita Sukamiskin kelas IIA Bandung menunjukkan peningkatan dari tahun ke
3
Universitas Kristen Maranatha kejahatan yang dilakukan oleh wanita di Indonesia, terutama di wilayah kota
Bandung.
Berdasarkan wawancara peneliti terhadap 5 orang masyarakat sipil di Kota
Bandung, semuanya masih berpendapat bahwa dalam pandangan mereka, wanita
adalah makhluk yang lemah lembut, memiliki sosok keibuan, dan apabila wanita
melakukan kejahatan hingga harus masuk ke Lapas, maka akan dianggap aneh,
tidak biasa, dan kurang wajar. Dampak dari perbuatan wanita yang melakukan
kejahatan tersebut, adalah ia akan dinilai negatif oleh masyarakat.
Penilaian penilaian negatif dari masyarakat dapat menyebabkan seorang
narapidana wanita, yang pada dasarnya wanita itu memiliki perasaan yang lebih
sensitif daripada laki laki, akan lebih mudah tertekan secara mental, karena ada
perasaan sangat malu terhadap keluarga, teman teman, dan lingkungan
masyarakatnya. Keadaan ini bahkan dapat juga menimbulkan rasa rendah diri
dalam diri mereka karena menyandang predikat yang berat sebagai narapidana
dan dicap negatif oleh masyarakat.
Selain itu ada pula tekanan mental lain yang harus dihadapi oleh
narapidana wanita, karena dengan tinggal di dalam Lapas, akan ada banyak
perubahan yang akan dialami oleh mereka selama berada dalam Lapas. Perubahan
tersebut antara lain berkaitan dengan penggunaan waktu, karir dan peran, serta
relasi sosial. Perubahan yang terjadi dalam penggunaan waktu akan sangat
terlihat, misalnya dahulu sebelum masuk ke Lapas, narapidana wanita bisa
memiliki banyak waktu untuk bebas melakukan banyak kegiatan, misalnya
sedangkan setelah masuk ke Lapas waktu yang digunakan untuk hal hal tersebut
akan menjadi kosong . Mereka tidak bisa mempergunakan waktunya secara bebas
karena selama 24 jam harus berada di dalam Lapas.
Perubahan dalam hal karier dan peran juga terjadi pada narapidana wanita.
Misalkan sebelumnya narapidana tersebut bekerja dan menduduki suatu jabatan di
Perusahaan, jabatan tersebut bisa menjadi suatu identitas bagi narapidana. Ketika
masuk ke Lapas, tentunya mereka harus melepas jabatan itu karena sudah tidak
bisa lagi bekerja. Hal tersebut juga menyebabkan hilangnya identitas narapidana
tersebut. Narapidana wanita yang sebelumnya tidak bekerja pun, akan kehilangan
peran mereka, misalnya narapidana yang sebelumnya berperan sebagai Ibu
Rumah Tangga yang mengurus anak dan suami. Sebelum masuk ke Lapas,
mereka bisa berperan dengan baik mengurus suami dan merawat anak. Namun,
setelah masuk Lapas hal tersebut tentu tidak bisa lagi mereka lakukan dan hal ini
dapat menyebabkan hilangnya salah satu peran penting dalam rumah tangga.
Selain itu, perubahan lain yang terjadi pada saat narapidana wanita masuk
ke Lapas adalah perubahan dalam hal relasi sosial. Pada saat narapidana masih
bebas, mereka memiliki relasi yang luas, bisa berteman dan menjalin komunikasi
dengan siapa saja dan kapan saja, baik itu dengan teman, sahabat atau rekan
kerja. Namun ketika narapidana tersebut masuk ke Lapas, relasi yang telah
terjalin bisa saja hilang karena mereka sudah tidak berhubungan dengan
5
Universitas Kristen Maranatha Meskipun narapidana wanita banyak mengalami perubahan dalam hal
penggunaaan waktu, karier dan peran serta relasi sosial ketika masuk ke dalam
Lapas, namun setiap narapidana akan memiliki penghayatan yang berbeda-beda
terhadap perubahan tersebut. Ada narapidana yang menilai perubahan dalam fase
hidupnya ini sebagai sesuatu yang positif, misalnya tidak terbebani dengan
statusnya sebagai narapidana dan mengambil hikmah dari kejadian ini, misalnya
bisa menjadi lebih dekat dan selalu mengingat Tuhan. Namun ada pula yang
menilai perubahan ini sebagai sesuatu yang negatif. Mereka merasa tidak nyaman
dengan statusnya sebagai narapidana dan terus terusan menyesali masa lalu
mereka. Penilaian positif dan negatif ini berkaitan dengan hasil evaluasi individu
terhadap kualitas diri dan hidupnya, yang dapat berdampak pada kesejahteraan
psikologis mereka, atau yang biasa disebut dengan Psychological Well-Being
(PWB). Psychological Well-Being adalah keadaan dimana individu melihat serta
mengevaluasi kualitas diri dan hidupnya (Ryff, 1989). Evaluasi tersebut
mencakup keenam dimensi dari PWB yaitu, kemampuan individu menerima diri
apa adanya (self acceptance), membina hubungan positif dengan orang lain
(positive relations with others), otonomi atau mampu mengarahkan dirinya sendiri
(autonomy), mampu mengatur dan menguasai lingkungan (environmental
mastery), mampu merumuskan tujuan hidup (purpose in life), dan mampu
menumbuhkan serta mengembangkan potensi pribadi (personal growth).
Selain itu, perbedaan PWB pada setiap individu juga dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu diantaranya faktor sosiodemografis yang meliputi usia,
dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental dan
dukungan informasional, serta faktor religiusitas.
PWB menjadi penting bagi narapidana wanita karena dengan memiliki
PWB yang tinggi, narapidana dapat menilai saat-saat menjadi tahanan di Lapas
sebagai sesuatu hal yang bermanfaat positif dan bermakna bagi diri mereka.
Sehingga dengan begitu narapidana dapat optimal mengikuti pembinaan di dalam
Lapas yang akan diharapkan dapat menjadikan mereka pribadi yang lebih baik
dari sebelumnya. Mereka tidak akan merasa diri mereka tidak berarti setelah
menjadi narapidana, karena ada beberapa kegiatan yang bisa mereka lakukan di
dalam Lapas, seperti mengerjakan kegiatan merajut, tata rias, membuat hiasan,
dan lain sebagainya. Hal ini berbeda dengan narapidana yang memiliki PWB yang
rendah. Mereka menilai saat-saat menjadi tahanan di Lapas sebagai sesuatu hal
yang negatif dan tidak bermanfaat. Mereka akan merasa diri tidak berarti setelah
menjadi narapidana dan akan sulit menyesuaikan diri saat berada di dalam Lapas.
Narapidana wanita di Lapas Sukamiskin kelas IIA Bandung yang memiliki
PWB tinggi dapat melakukan evaluasi yang positif terhadap diri dan kualitas
hidup mereka yang dapat dilihat dari keenam dimensi PWB. Dari hasil survei
melalui wawancara yang dilakukan peneliti terhadap 10 orang narapidana wanita
yang telah menjalani masa tahanan diatas 1 tahun di Lapas Sukamiskin kelas IIA
Bandung, diperoleh data bahwa evaluasi yang dihasilkan oleh setiap narapidana
wanita berbeda pada setiap dimensinya.
Dalam dimensi self acceptance (penerimaan diri), 8 orang narapidana
7
Universitas Kristen Maranatha adanya saat ini, walaupun setelah masuk ke dalam Lapas mereka tidak bisa
melakukan kegiatan rutin yang biasa mereka lakukan dengan bebas, namun
mereka mengatakan bahwa setelah masuk Lapas, sekarang mereka lebih
memandang positif segala kejadian di masa lalu karena mereka semua dapat lebih
dekat dengan Tuhan dibandingkan sebelum masuk ke dalam Lapas. Sedangkan 2
orang lainnya (20%) mengatakan bahwa mereka merasa masih sangat menyesali
masa lalu yang menyebabkan mereka harus masuk ke Lapas, karena hal itu
membuat mereka tidak bebas dan jauh dari lingkungan sosialnya.
Pada dimensi kedua yaitu hubungan positif dengan orang lain (positive
relations with others), 6 orang narapidana (60%) mengatakan bahwa setelah
masuk ke dalam Lapas mereka memiliki hubungan yang semakin dekat dengan
keluarga masing masing. Keluarga mereka menjadi lebih peduli kepada mereka
dibandingkan sebelum mereka masuk ke dalam Lapas. Selain itu, walaupun
tinggalnya cukup jauh dari Lapas, keluarga rutin datang mengunjungi untuk
sekedar berbagi cerita, membawakan makanan, menghibur serta berusaha
menguatkan mental mereka. Sedangkan 4 orang narapidana lain (40%)
mengatakan bahwa semenjak masuk Lapas, keluarga dan temannya jarang
mengunjungi ke Lapas, ataupun sekedar menelepon untuk memberi kabar berita.
Salah satu dari keempat narapidana diatas mengatakan bahwa ia sudah putus
kontak dengan ibunya, karena ibunya mengatakan tidak mau menganggapnya lagi
sebagai anak. Dalam bersosialisasi dengan orang orang yang berada di lingkungan
Lapas, sebanyak 8 orang dari subjek penelitian (80%) mengatakan bahwa mereka
Lapas, sedangkan 2 orang lainnya (20%) mengatakan bahwa mereka tidak
memiliki teman dekat sesama narapidana selama berada dalam Lapas.
Dalam dimensi kemandirian (Autonomy), sebanyak 9 orang narapidana
(90%) mengatakan bahwa mereka mampu dalam menyelesaikan masalah yang
dihadapi dengan cara mereka masing masing. Misalnya saat mengalami masalah
dengan orang lain atau saat harus mengambil keputusan. Mereka dapat
menyelesaikan masalah dengan lebih tenang dan tidak terburu buru. Dalam
mengambil keputusan, mereka pun tidak terpengaruh oleh pendapat orang lain.
Jika mereka memiliki pandangan pribadi mengenai suatu masalah, mereka akan
menyelesaikannya dengan cara mereka sendiri, walaupun orang lain tidak
sependapat. Misalnya saja saat terjadi salah paham dengan sesama narapidana di
Lapas, walaupun ada teman lain yang menghasut untuk berkelahi, narapidana
tersebut mengatakan bahwa tidak akan terhasut oleh temannya yang lain dan lebih
memilih untuk menyelesaikan masalah dengan tenang. Sedangkan satu orang
narapidana lainnya (10%) mengatakan bahwa sangat mementingkan harapan dan
evaluasi dari orang lain, sehingga dalam mengambil keputusan tertentu sering
mengikuti pendapat orang lain daripada memutuskan sesuai dengan pandangan
diri sendiri, karena ia menghayati bahwa pendapat orang lain lebih benar daripada
pandangannya. Selain itu, narapidana ini juga merasa takut apabila mengambil
keputusan sesuai dengan pandangan dirinya sendiri, karena takut dinilai keliru
oleh orang lain. Hal ini akhirnya membuatnya selalu bergantung kepada orang
9
Universitas Kristen Maranatha Dalam dimensi Environmental mastery atau penguasaan lingkungan, 8
orang narapidana (80%) memperlihatkan kemampuan mereka dalam memilih dan
membentuk lingkungannya, serta mampu mengontrol aturan yang rumit dan
menggunakan kesempatan di sekelilingnya dengan efektif. Misalnya saja saat
mereka harus mengerjakan berbagai macam tanggung jawab di Lapas, mereka
mampu untuk mengerjakannya dengan baik dan tidak melanggar aturan yang
ditetapkan di Lapas. Selain itu, walaupun berada dalam Lapas dan terkurung dari
dunia luar, mereka mampu untuk memanfaatkan kesempatan di sekeliling agar
tidak terlalu ketinggalan dengan informasi di dunia luar, yaitu dengan menitip
buku kepada keluarga atau teman yang datang menjenguk, sehingga dapat tetap
mengetahui perkembangan di luar Lapas. Sedangkan 2 orang narapidana lain
(20%) mengatakan bahwa ia seringkali malas untuk mengerjakan berbagai macam
tanggung jawab yang ada di Lapas dan pernah beberapa kali melanggar aturan
sehingga akhirnya terkena hukuman. Selain itu mereka juga mengatakan bahwa
seringkali bingung dan tidak tahu harus melakukan kegiatan apa di Lapas jika
sudah tidak ada hal atau kewajiban yang harus diselesaikan, sehingga akhirnya
mereka lebih memilih untuk mengisi waktu dengan tidur.
Dimensi kelima adalah tujuan hidup (purpose in life), dalam dimensi ini
sebanyak 10 orang narapidana (100%) mengatakan bahwa mereka mampu
memberi makna pada hidupnya baik masa sekarang maupun masa lalu. Mereka
menyadari arti hidupnya di masa lalu dan masa sekarang, misalnya saja mereka
mengatakan bahwa dengan masuknya mereka ke Lapas mungkin ada rencana
Setelah keluar dari Lapas, mereka berencana untuk menjalani hidup
dengan lebih baik lagi dari sebelumnya dan akan berusaha untuk tidak terjebak ke
dalam hal hal negatif lagi agar tidak masuk lagi ke dalam Lapas.
Dimensi yang keenam adalah menumbuhkan dan mengembangkan potensi
pribadi (personal growth). Dalam dimensi ini 8 orang narapidana (80%)
mengatakan bahwa selama berada di dalam Lapas mereka merasakan dirinya
banyak mendapatkan pengalaman baru dan hal ini membuat mereka menyadari
potensi lain dalam dirinya. Misalnya saja, dengan mengikuti berbagai kegiatan
yang berada di dalam Lapas, yang sebelumnya tidak pernah mereka lakukan,
seperti membuat kerajinan tangan, mereka akhirnya menyadari bahwa mereka
memiliki potensi dan kemampuan untuk mengerjakan hal tersebut. Sedangkan 2
narapidana lain (20%) mengatakan bahwa tidak berminat mengikuti kegiatan yang
sebelumnya tidak pernah ia lakukan selama berada di dalam Lapas, misalnya
merajut atau membuat kerajinan tangan seperti temannya yang lain. Selain itu ,
kegiatan tersebut juga tidak diwajibkan oleh pihak Lapas untuk diikuti, sehingga
mereka lebih memilih untuk tidur dibandingkan mengerjakan hal hal yang baru.
Dari pemaparan diatas terlihat bahwa evaluasi mengenai keenam dimensi
PWB pada setiap narapidana bervariasi. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian mengenai gambaran kesejahteraan psikologis
(Psychological well-Being) narapidana wanita di Lapas Sukamiskin kelas IIA
11
Universitas Kristen Maranatha 1.2 IDENTIFIKASI MASALAH
Identifikasi dari masalah yang akan diteliti adalah peneliti ingin
mengetahui bagaimana gambaran Psychological well being pada narapidana
wanita di Lapas sukamiskin kelas IIA Bandung.
1.3 MAKSUD DAN TUJUAN PENELITIAN
1.3.1 Maksud penelitian
Untuk memperoleh data empiris mengenai derajat Psychological well
being pada narapidana wanita di Lapas Sukamiskin kelas IIA Bandung.
1.3.2. Tujuan penelitian
Untuk memperoleh pemahaman yang lebih rinci mengenai gambaran
derajat psychological well being (PWB) pada narapidana wanita di Lapas
Sukamiskin kelas IIA Bandung, ditinjau dari dimensi dimensi dan faktor yang
mempengaruhinya.
1.4. KEGUNAAN PENELITIAN
1.4.1. Kegunaan Teoretis
Diharapkan bahwa penelitian ini dapat menjadi penelitian awal yang dapat
memberikan gambaran mengenai derajat Psychological well being (PWB) pada
1.4.2. Kegunaan Praktis
Memberikan tambahan informasi melalui sosialisasi secara langsung
kepada narapidana wanita mengenai Psychological well being dan
faktor-faktor yang memengaruhinya, sehingga dapat dimanfaatkan untuk lebih
mengembangkan dirinya.
Memberikan tambahan informasi melalui sosialisasi secara langsung
kepada keluarga narapidana wanita mengenai Psychological well being,
sehingga dapat memberikan pendampingan yang tepat pada narapidana
wanita tersebut selama menjalani masa tahanan mereka.
Memberikan tambahan informasi kepada pihak Lapas, khususnya Lapas
Sukamiskin Bandung mengenai Psychological well being pada narapidana
wanita yang ada di tempat tersebut, sehingga nantinya dapat digunakan
sebagai bahan pertimbangan agar dapat membina narapidana dengan lebih
13
Universitas Kristen Maranatha 1.5 Kerangka Pemikiran
Narapidana menurut kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai
orang hukuman (orang yang menjalani hukuman) karena melakukan tindak pidana
(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001:612). Seorang individu yang telah
ditetapkan oleh pengadilan sebagai narapidana akan menjalani masa hukumannya
di dalam Lembaga Permasyarakatan (Lapas) untuk kemudian dibina sehingga
dapat menjadi pribadi yang lebih baik lagi daripada sebelumnya.
Setelah narapidana memulai masa tahannya di dalam Lapas, mereka harus
bisa menyikapi peristiwa tersebut dengan bijaksana agar bisa menyesuaikan diri
dengan masa tersebut. Narapidana yang memiliki kebijaksanaan dapat
merefleksikan apa yang telah mereka dapatkan dimasa lalu, dan bisa
mengevaluasi saat saat menjadi tahanan dengan positif. Evaluasi yang dilakukan
oleh narapidana adalah evaluasi terhadap kualitas diri dan hidupnya. Jika seorang
narapidana dapat mengevaluasi kualitas diri dan hidupnya dengan positif, hal ini
dapat membuat mereka mendapatkan kesejahteraan psikologis atau biasa disebut
dengan Psychological Well-Being (PWB). Menurut Carol. D. Ryff (1995)
Psychological Well-Being adalah bagaimana seseorang mengevaluasi kualitas diri
dan hidupnya.
Pada narapidana, Psychological Well-Being diartikan dengan bagaimana
narapidana tersebut bisa mengevaluasi diri dan kualitas hidupnya pada masa
tahanan. Untuk dapat mengevaluasi diri dan kualitas hidupnya pada masa tahanan,
Well-Being (PWB) yang dirumuskan oleh Carol. D. Ryff (1995), yaitu penerimaan diri
(self acceptance), hubungan positif dengan orang lain (positive relations with
others), kemandirian (autonomy), penguasaan lingkungan (enviromental mastery),
tujuan hidup (purpose in life), dan pertumbuhan pribadi (personal growth).
Dimensi self acceptance pada narapidana wanita di Lapas Sukamiskin
kelas IIA Bandung, yaitu kemampuan evaluasi narapidana dalam hal mengakui
dan menerima berbagai aspek dalam dirinya baik yang positif maupun yang
negatif. Selain itu, aspek ini juga mencakup bagaimana narapidana memandang
positif kejadian di masa lalunya. Narapidana wanita yang memiliki self
acceptance yang tinggi dapat menerima keadaan dirinya sebagai seorang tahanan
di Lapas, tidak menyesali masa lalunya dan merasa bahwa dirinya masih mampu
berbuat sesuatu yang berguna walaupun berada di dalam Lapas. Sedangkan
narapidana wanita yang memiliki self acceptance rendah akan menunjukkan
ketidakpuasan terhadap dirinya dan merasa kecewa terhadap masa lalunya serta
ingin menjadi seseorang yang berbeda dari dirinya saat ini.
Dimensi positive relations with others, yaitu kemampuan narapidana
wanita di Lapas Sukamiskin kelas IIA Bandung untuk dapat memiliki hubungan
yang hangat, dapat berempati, mampu memiliki persahabatan yang mendalam
dengan orang lain. Narapidana wanita yang memiliki positive relations with
others yang tinggi, walaupun berada di dalam Lapas akan tetap dapat
mempertahankan relasi sosialnya supaya tetap hangat dengan orang di luar Lapas,
misalnya dengan keluarga dan kerabatnya. Selain itu, mereka juga akan mampu,
15
Universitas Kristen Maranatha dengan orang lain yang berada dalam Lapas, misalnya dengan teman sesama
narapidana atau para petugas yang ada di Lapas. Sedangkan narapidana wanita
yang memiliki positive relations with others yang rendah akan sulit bersikap
hangat, terbuka dan menjalin hubungan yang dekat dengan orang lain, baik itu
dengan keluarga, kerabat ataupun dengan teman teman sesama narapidana dan
petugas yang ada di dalam Lapas. Mereka bisa saja menjadi kurang ramah, suka
menyendiri dan tidak memperdulikan orang lain.
Dimensi autonomy pada narapidana wanita di Lapas Sukamiskin kelas IIA
Bandung, terkait dengan kemampuannya untuk mengarahkan diri sendiri, dapat
bertahan dari tekanan sosial ketika berpikir dan bertindak, dapat mengontrol
prilakunya serta mampu meregulasi emosi. Narapidana wanita yang memiliki
autonomy yang tinggi akan mampu mengambil keputusan sesuai dengan
keyakinannnya sendiri, walaupun orang lain tidak sependapat dengannya. Mereka
tidak mudah terpengaruh pendapat orang lain dan mereka juga dapat
menyelesaikan masalah dengan lebih tenang dan tidak terburu buru. Jika
mendapat saran atau pendapat dari orang lain, mereka hanya menjadikannya
sebagai bahan pertimbangan. Sedangkan narapidana wanita yang memiliki
autonomy yang rendah, tidak mampu untuk mempertahankan keyakinannya
sendiri dan ketika harus mengambil keputusan seringkali dipengaruhi orang lain.
Dimensi enviromental mastery pada narapidana wanita di Lapas
Sukamiskin kelas IIA Bandung, terkait kemampuannya untuk memilih dan
menciptakan lingkungan sesuai dengan kondisi psikis dirinya serta mampu
wanita yang memiliki enviromental mastery tinggi, walaupun tinggal di dalam
Lapas dan berada dalam ruang gerak yang terbatas, akan mampu menciptakan
situasi agar dia tetap merasa nyaman berada di dalam Lapas. Sedangkan
narapidana wanita yang memiliki enviromental mastery yang rendah, tidak
mampu menciptakan situasi di dalam Lapas yang sesuai dengan nilai dan
kebutuhannya.
Dimensi purpose in life pada narapidana wanita di Lapas Sukamiskin kelas
IIA Bandung, yaitu kemampuannya untuk dapat menentukan tujuan hidup dan
memiliki kebermaknaan dalam hidup. Narapidana wanita yang memiliki purpose
in life yang tinggi, dapat merasakan makna dari hidupnya walaupun menyandang
status sebagai narapidana. Mereka masih dapat merasakan diri mereka berarti
serta memiliki tujuan yang telah ditetapkan dan terarah untuk hidupnya di masa
depan. Sedangkan narapidana wanita dengan purpose in life yang rendah, akan
merasa bahwa mereka tidak memiliki tujuan yang dapat dicapai dalam hidupnya,
dan tidak dapat merasakan makna dari hidupnya. Mereka merasa diri tidak berarti
karena menyandang status sebagai narapidana.
Dimensi personal growth pada narapidana wanita di Lapas Sukamiskin
kelas IIA Bandung, terkait dengan kemampuannya untuk dapat mengembangkan,
dan meluaskan potensi atau fungsi dirinya. Narapidana wanita yang memiliki
personal growth tinggi akan terus mengembangkan potensi dirinya walaupun
berada dalam Lapas dengan mengikuti berbagai kegiatan dan mau mencoba
mengerjakan hal hal baru yang tidak pernah dilakukan sebelumnya, misalnya
17
Universitas Kristen Maranatha memiliki personal growth yang rendah, akan merasa tidak mampu untuk
mengembangkan potensi dirinya dan tidak terbuka terhadap pengalaman akan hal
hal baru, misalnya tidak mau mengikuti kegiatan kegiatan pengembangan diri
yang ada di dalam Lapas.
Selain memiliki 6 dimensi, Psychological Well-Being juga dipengaruhi
berbagai faktor, yaitu faktor demografis seperti usia, status sosial ekonomi dan
budaya. Dalam hal usia, berdasarkan penelitian Ryff, penguasaan lingkungan
(enviromental mastery) dan kemandirian (autonomy) akan meningkat seiring
bertambahnya usia, khususnya dari masa dewasa muda ke dewasa madya. Pada
masa dewasa madya, individu sudah memiliki berbagai pengalaman dalam
hidupnya, dan mereka juga melakukan evaluasi mengenai apa yang telah mereka
lakukan dalam hidupnya, sehingga mereka bisa mengetahui lingkungan seperti
apa yang sesuai bagi diri mereka dan dapat menyelesaikan tugas tugas kompleks
dalam hidupnya. Dengan keadaan seperti inilah, maka dimensi penguasaan
lingkungan (enviromental mastery) dapat meningkat di usia dewasa madya.
Begitu juga dengan narapidana wanita di Lapas Sukamiskin kelas IIA Bandung
yang telah berada pada usia dewasa madya, mereka dapat mencari strategi
penyelesaian masalah kompleks dalam hidup mereka karena pemikiran dan
pengalaman mereka juga sudah berkembang.
Selain itu, pada masa dewasa madya individu juga memiliki standar hidup
pribadi dan tidak mengikuti standar hidup orang lain. Hal ini dapat membuat
individu bisa menghadapi berbagai masalah dan menyelesaikannya sesuai dengan
(autonomy) nya meningkat. Begitu juga dengan narapidana wanita di Lapas
Sukamiskin kelas IIA Bandung yang telah berada pada usia dewasa madya.
Mereka telah memiliki standar hidup pribadi, sehingga pada saat menjalani masa
tahanan, mereka dapat menyelesaikan masalah sesuai dengan keyakinannya
sendiri dan tidak terpengaruh oleh orang lain.
Pengaruh usia pada Psychological Well-Being individu juga dapat dilihat
pada dimensi lainnya, yaitu pertumbuhan pribadi (personal growth) dan tujuan
hidup (purpose in life) yang mengalami penurunan dari usia dewasa madya ke
dewasa lanjut. Pada masa dewasa lanjut, kesehatan dan beberapa fungsi kognitif
pada individu dapat mengalami penurunan. Kondisi seperti ini dapat menghambat
individu untuk bisa mengembangkan potensi yang dimilikinya, serta menghambat
individu untuk membuat dan mencapai tujuan tujuan hidup yang mereka inginkan.
Keadaan seperti inilah yang membuat dimensi personal growth dan purpose in
life menurun pada masa dewasa lanjut. Begitu juga pada narapidana wanita di
Lapas Sukamiskin kelas IIA Bandung yang berada pada usia dewasa lanjut.
Kesehatan dan beberapa fungsi kognitif yang menurun, akan membuat mereka
mengalami hambatan untuk mengembangkan diri misalnya ketika mengikuti
kegiatan kegiatan baru seperti membuat kerajinan tangan, mereka akan sulit untuk
melakukannya.
Faktor budaya juga ikut berperan dalam menentukan Psychological
Well-Being seseorang. Ryff and Singer (1996) menyatakan bahwa sistem nilai
individualistik dan kolektivistik yang dianut oleh suatu masyarakat akan memberi
19
Universitas Kristen Maranatha sistem nilai individualistik akan tinggi dalam dimensi penerimaan diri (self
acceptance) dan kemandirian (autonomy). Narapidana wanita di Lapas
Sukamiskin kelas IIA Bandung yang menganut sistem nilai individualistik, ketika
dalam masa tahanan mereka akan dapat menunjukkan kemampuan dalam
menyelesaikan masalahnya sendiri, tidak bergantung dan mengandalkan orang
lain. Mereka mengandalkan pengetahuan, pengalaman dan kemampuan yang
mereka miliki untuk dapat berhasil menyelesaikan berbagai hal yang mereka
hadapi. Dengan keberhasilan yang mereka capai tersebut, mereka juga akan lebih
menilai diri secara positif dan lebih mampu menerima diri mereka yang sekarang
dengan apa adanya.
Sedangkan masyarakat yang menganut sistem nilai kolektivistik akan
tinggi dalam dimensi hubungan positif dengan orang lain (positive relations with
others). Narapidana wanita di Lapas Sukamiskin kelas IIA Bandung yang
memiliki sistem nilai kolektivistik, pada masa tahanan akan senang melakukan
kegiatan bersama dengan orang lain. Misalnya dengan mengikuti kegiatan
membuat kerajinan tangan dengan sesama teman narapidana yang lain. Selain itu,
walaupun berada dalam Lapas mereka akan berusaha untuk tetap menjalin
hubungan yang dekat dengan keluarga. Hal ini lah yang dapat membuat dimensi
positive relations with others nya menjadi tinggi.
Perbedaan status kelas sosial ekonomi juga turut mempengaruhi
Psychological Well-Being seseorang , yaitu dalam dimensi penerimaan diri (self
acceptance), tujuan hidup (purpose in life), penguasaan lingkungan (enviromental
Deci, 2001). Faktor yang tercakup di dalamnya meliputi pendidikan, pendapatan
dan pekerjaan. Melalui penelitian longitudinal terhadap sampel dewasa madya,
didapatkan hasil bahwa tingkat Well-Being individu akan lebih baik bila memiliki
status pendidikan dan pekerjaan yang tinggi. Begitu juga dengan narapidana
wanita yang memiliki status pendidikan dan pekerjaan yang tinggi sebelum masuk
ke Lapas. Dngan ilmu pengetahuan dan pengalaman pengalaman yang
sebelumnya mereka miliki tentunya mereka akan dapat menguasai lingkungan
dan mengoptimalkan pengembangan dirinya.
Selain faktor demografis, PWB juga dipengaruhi oleh faktor dukungan
sosial seperti dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan
instrumental dan dukungan informasional. Menurut Davis (dalam Pratiwi, 2000),
individu yang mendapatkan dukungan sosial memiliki tingkat Psychological
Well-Being yang lebih tinggi. Dukungan sosial dapat diartikan sebagai rasa nyaman,
perhatian, penghargaan ataupun pertolongan yang dipersepsikan oleh seorang
individu didapat dari diri orang lain atau kelompoknya.
Narapidana Wanita di Lapas Sukamiskin kelas IIA Bandung yang
walaupun berada di dalam Lapas tetap mendapatkan dukungan emosional berupa
perhatian, kepedulian dan empati dari orang lain, misalnya dari keluarganya, akan
tetap merasa nyaman, aman dan dicintai walaupun berstatus sebagai narapidana.
Hal ini dapat membuat Psychological Well-Being nya cenderung menjadi tinggi.
Sedangkan narapidana wanita lain yang setelah menjadi tahanan tidak
mendapatkan perhatian, kepedulian dan empati dari keluarganya akan
21
Universitas Kristen Maranatha Selain dukungan emosional, dukungan penghargaan pun berpengaruh
terhadap PWB individu. Hal ini dapat dilihat dari pengungkapan perhargaan yang
positif, dorongan dan persetujuan terhadap pemikiran atau perasaan, serta
perbandingan yang positif antara individu dengan orang lain. Narapidana yang
selama menjalani masa tahanan tetap dihargai oleh keluarganya, dan tetap
mendapatkan perlakuan verbal yang positif dari keluarganya akan menunjukkan
Psychological Well-Being yang cenderung tinggi dibandingkan dengan
narapidana yang mendapatkan perlakuan verbal yang negatif dari keluarganya
yang akhirnya dapat membuatnya kehilangan perasaan dihargai.
Dukungan selanjutnya yaitu dukungan instrumental yang melibatkan
tindakan konkrit atau pemberian pertolongan secara langsung. Narapidana wanita
di Lapas Sukamiskin kelas IIA Bandung yang apabila menghadapi masalah cukup
berat, langsung mendapatkan bantuan berupa tindakan konkrit, seperti pemberian
konseling atau terapi, akan menunjukkan Psychological Well-Being yang
cenderung tinggi dibandingkan dengan narapidana wanita yang ketika
menghadapi masalah cukup berat tidak mendapatkan perlakuan berupa tindakan
konkrit.
Selain itu, dukungan yang juga memengaruhi Psychological Well-Being
seseorang adalah dukungan informasional yang meliputi pemberian nasehat,
petunjuk, saran atau umpan balik terhadap tingkah laku seseorang. Narapidana
wanita yang mendapatkan saran atau nasehat sebagai bahan pertimbangan dari
lingkungan sekitarnya, misalnya keluarga apabila menghadapi masalah atau harus
tinggi dibandingkan dengan narapidana yang tidak mendapatkan saran atau
nasehat dari lingkungan sebagai bahan pertimbangan ketika menghadapi masalah
atau mengambil keputusan.
Faktor lain yang memengaruhi Psychological Well-Being individu adalah
religiusitas. Penelitian yang dilakukan mengenai psikologi dan religiusitas yang
dilakukan oleh Ellison dan Levin (1998), Ellison el.at (2001), Koenig (2004),
Krause dan Ellison (2003) menemukan hubungan positif antara religiusitas dan
PWB yang dimiliki seorang individu. Narapidana wanita yang lebih aktif dalam
kegiatan keagamaan cenderung memiliki tingkat PWB yang tinggi dan hal ini
akan berdampak pada tingginya persepsi rasa penguasaan lingkungannya, serta
dapat meningkatkan self esteem nya. Hal ini juga dapat menjadikan prediktor
evaluasi kepuasan hidupnya.
Dilihat dari dimensi dan faktor faktor yang mempengaruhi Psychological
Well-Being, serta fenomena yang terjadi dapat dikatakan bahwa narapidana wanita
yang mampu menghadapi tantangan dan perubahan dalam masa tahanan, dapat
mengoptimalkan dan mengembangkan potensi yang dimilikinya, dapat membuat
lingkungan yang nyaman, serta dapat menghayati perubahan dalam hidup sebagai
sesuatu yang positif akan memiliki PWB yang tinggi. Sedangkan narapidana
wanita yang tidak mampu menghadapi tantangan dan perubahan dalam masa
tahanan, tidak dapat mengoptimalkan dan mengembangkan potensi yang
dimilikinya, tidak dapat membuat lingkungan yang nyaman, serta tidak dapat
menghayati perubahan dalam hidup sebagai sesuatu yang positif akan memiliki
23
Universitas Kristen Maranatha teori yang digunakan, apabila digambarkan secara singkat akan tertuang dalam
1.1 Bagan Kerangka Pikir Narapidana
wanita di Lapas sukamiskin kelas IIA Bandung
Psychological well being
Dimensi Dimensi :
1. Penerimaan diri (self acceptance)
2. Hubungan positif dengan orang lain(positive relation with others) 3. Kemandirian (autonomy)
4. Penguasaan Lingkungan (enviromental mastery) 5. Tujuan hidup (purpose in life)
6. Pertumbuhan pribadi (personal growth)
1. Faktor demografis (usia, status sosial ekonomi dan budaya)
2. Dukungan sosial (dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental dan dukungan informasional)
3. Religiusitas
Tinggi
25
Universitas Kristen Maranatha 1.6 Asumsi Penelitian
1. Narapidana wanita di Lapas Sukamiskin kelas IIA Bandung memiliki
Psychological well being yang berbeda-beda, yaitu menunjukkan derajat
yang tinggi atau rendah.
2. Psychological well being pada Narapidana wanita di Lapas Sukamiskin
kelas IIA Bandung dibentuk oleh bagaimana dia menerima dirinya,
kemampuan dia dalam menciptakan hubungan yang positif dengan orang
lain, kemampuannya untuk mandiri, kemampuan dalam penguasaan
lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi.
3. Dimensi-dimensi Psychological well being pada Narapidana wanita di
Lapas Sukamiskin kelas IIA Bandung dipengaruhi oleh berbagai faktor,
yaitu sosiodemografis (usia, budaya, status sosial ekonomi), dukungan
sosial ( dukungan sosial, dukungan emosional, dukungan penghargaan,
dukungan instrumental dan dukungan informasional), serta faktor
Pada bab ini, akan dipaparkan interpretasi dan analisis yang telah dilakukan pada bab
sebelumnya beserta saran yang terarah sesuai dengan hasil penelitian.
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat Psychological Well Being yang
dilakukan pada Narapidana wanita di Lapas Sukamiskin kelas IIA Bandung, diperoleh
kesimpulan sebagai berikut :
1. Hampir seluruh Narapidana wanita memiliki derajat PWB yang tinggi
2. Setiap dimensi dari PWB yang dimiliki narapidana wanita, sebagian besar berada
pada derajat tinggi, namun diantara semua dimensi yang ada, dimensi Autonomy
lah yang memiliki persentase paling rendah dibanding dimensi lainnya.
3. Faktor faktor yang secara teoritis mempengaruhi PWB seperti faktor demografis,
faktor dukungan sosial dan religiusitas cukup memiliki keterkaitan terhadap
derajat PWB Narapidana.
5.2 Saran
5.2.1 Saran teoretis
1. Perlu dipertimbangkan untuk penelitian lanjutan agar dilakukan secara kualitatif
supaya hasil yang didapatkan lebih mendalam dan dapat lebih menjelaskan dinamika
dari keenam dimensi PWB
2. Disarankan untuk melakukan penelitian korelasi supaya dapat diketahui dinamika
68
Universitas Kristen Maranatha 3. Disarankan untuk melakukan penelitian lebih mendalam mengenai kontribusi
faktor faktor yang mempengaruhi PWB
5.2.2 Saran Praktis
1. Lapas Sukamiskin kelas IIA Bandung disarankan untuk mengadakan acara agar lebih
dapat meningkatkan kemampuan Narapidana wanita terutama dalam dimensi
kemandirian (Autonomy), misalnya dengan mengadakan seminar atau ceramah
mengenai kemandirian.
2. Lapas Sukamiskin kelas IIA Bandung juga disarankan untuk mengadakan kegiatan
yang bertujuan untuk meningkatkan penerimaan diri (Self Acceptance) Narapidana,
misalnya dengan mengadakan seminar mengenai kepercayaan diri.
3. Lapas Sukamiskin kelas IIA Bandung juga disarankan untuk mengadakan kegiatan
yang bertujuan untuk meningkatkan tujuan hidup (Purpose in life) Narapidana,
misalnya dengan mengadakan acara sharing dengan mantan narapidana yang telah
keluar dari Lapas dan sukses menjalani hidup di masyarakat.
4. Lapas Sukamiskin kelas IIA Bandung juga disarankan untuk mengadakan kegiatan
yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan pribadi (Personal growth)
Narapidana, misalnya dengan menambah kegiatan kegiatan kreatif yang dapat
mengasah kemampuan dan memperkaya wawasan Narapidana di dalam Lapas.
Misalnya, kegiatan menyulam atau membuat kerajinan tangan dari barang bekas.
5. Lapas Sukamiskin kelas IIA Bandung juga disarankan untuk mengadakan kegiatan
yang bertujuan untuk meningkatkan penguasaan lingkungan (Enviromental mastery)
dan beradaptasi dengan lingkungan di dalam Lapas.
6. Lapas Sukamiskin kelas IIA Bandung juga disarankan untuk mengadakan kegiatan
yang bertujuan untuk meningkatkan hubungan baik dengan orang lain (Positive
relations with others) Narapidana, misalnya dengan mengadakan kegiatan bermain
games bersama atau sharing yang dapat menambah keakraban diantara sesama
70 Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA
Graziano, Anthony M. 2000. Research Methods : A process of inquiry 4th edition.
Boston : Allyn and Bacon Publ.
Nazir, M. 1988. Metode Penelitian. Bogor : Ghalia Indonesia
Ryff, D. Carol. 1989. Happiness Is Everything, or Is It? Explorations on the
Meaning of Psychological Well-Being. Journal of Personality and Social
Psychology. Vol 57, No. 6, 1069-1081.
Ryff, C., & Keyes, C. (1995). The Structure of Psychological Well Being
revisited. Journal of Personality and Social Psychology, 69, 719-727.
Siegel, Sidney. 1997. Statistik Non Parametrik untuk Ilmu Ilmu Sosial. Jakarta :
PT Gramedia.
Sugiyono. 2009. Statistika untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta.
Wells, Inggrid E. 2010. Psychological Well Being : Psychology of Emotions
Aprilianti, Putri,. Studi Deskriptif mengenai Psychological Well Being pada
Pensiunan Perusahaan Swasta “X” Kota Bandung. Juni 2011. Bandung :
Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.
Nurrisyad, Arinal. “ Pedoman Pemberian Pembebasan Bersyarat Kepada Narapidana di Lembaga Permasyarakatan Purwokerto. http://fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/SKRIPSI%20ARINAL%20NH.pdf . Diakses pada tanggal 9 September 2014 09:13:45 PM
Pedoman Penulisan Skripsi Sarjana Edisi Revisi III. Februari 2009. Bandung:
Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.
Rosadhy, Christopher,. Studi Deskriptif mengenai Psychological Well Being pada penderita Lupus di Rumah Sakit “X” Kota Bandung. Desember 2014. Bandung : Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.
Yudianto, Fifi. “Dinamika Psychological Well Being Narapidana”.