iii ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai tipe
forgiveness pada pejabat gerejawi di Gereja “X” di Kota Bogor. Sampel dalam
penelitian ini berjumlah 95 orang.
Alat ukur yang digunakan merupakan modifikasi dari Decisional Forgiveness Scale (DFS) dan Emotional Forgiveness Scale (EFS) dari 16 item menjadi 32 item. Berdasarkan hasil uji validitas dengan rumus Rank Spearman, 3 item dinyatakan tidak valid. Koefisien validitas item berkisar antara 0.163–0.804. Uji reliabilitas dilakukan dengan rumus Alpha Cronbach. Koefisien reliabilitas item sebesar 0,908.
Dari hasil penelitian, secara individual diketahui bahwa sebanyak 52,6% subjek menggunakan tipe emotional forgiveness, 43,2% menggunakan tipe decisional forgiveness, dan sebanyak 4,2% subjek menggunakan decisional dan emotional forgiveness.
Bagi penelitian selanjutnya, disarankan untuk memperdalam faktor-faktor yang memengaruhi, seperti karakteristik peristiwa, sikap rendah hati dan kemampuan melakukan empati, serta kepribadian. Selain itu, pejabat gerejawi mempertahankan yang cenderung menggunakan emotional forgiveness. Peneliti juga menyarankan pada pihak gereja yang terkait membuat kegiatan bersama, sharing dan konseling untuk meningkatkan emotional forgiveness.
iv ABSTRACT
This research was conducted to describe the types of forgiveness church activits in the Church “X” Bogor. The sample in this research consisted of 95 people.
Measuring instrument that used in this research is a modification of Decisional Forgiveness Scale (DFS) and Emotional Forgiveness Scale (DFS) from 16 items to 32 items. Based on the validation process with Rank Spearman formula, 3 items proved not to be valid. Validity coefficients were ranging between 0.163–0.804. The reliability testing was done by Alpha Cronbach formula. Reliability coefficients was 0,908.
From this research, the results showed that in the individual context, 52,6% of the subjects using emotional forgiveness, 43,2% using decisional forgiveness, and 4,2% using decisional and emotional forgiveness.
For further research, it is suggested to study the affecting factors such as the characteristic of painful event, humble behavior and the ability to empathize and personalities. Furthermore, maintain that using emotional forgiveness. Researcher suggests the related church to hold more group activities, sharing, and counseling to increase emotional forgiveness.
viii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
ABSTRAK...iii
ABSTRACT...iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR BAGAN ... xi
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Identifikasi Masalah ... 7
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 7
1.4 Kegunaan Penelitian ... 7
1.5 Kerangka Pemikiran ... 8
1.6 Asumsi ... 13
BAB II LANDASAN TEORITIS ... 16
ix
2.2 Tipe Forgiveness ... 16
2.3 Faktor yang memengaruhi seseorang untuk memaafkan ... 18
2.4 Teori The Big Five ... 20
2.5 Forgiveness dan Jenis Kelamin ... 21
2.6 Teori Perkembangan ... 22
2.7 Pejabat Gerejawi di Gereja “X” ... 26
BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 30
3.1 Rancangan Penelitian ... 30
3.2 Bagan Prosedur Penelitian ... 30
3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 31
3.4 Alat ukur ... 32
3.5 Populasi ... 35
3.6 Teknik Analisis Data ... 36
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 37
4.1. Gambaran Subjek Penelitian ... 37
4.2 Hasil Penelitian ... 38
4.3 Pembahasan ... 38
4.6 Diskusi ... 50
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 55
x
5.2. Saran ... 57
DAFTAR PUSTAKA ... 59
DAFTAR RUJUKAN ... 60
xi
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR BAGAN
xii
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Perbedaan decisional dan emotional forgiveness... 18
Tabel 3.1 Kisi-kisi alat ukur ... 32
Tabel 3.2 Sistem Penilaian Alat Ukur Forgiveness ... 33
Tabel 3.3 Kriteria Validitas ... 34
Tabel 3.4 Kriteria Reliabilitas ... 35
Tabel 4.1 Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin...37
Tabel 4.2 Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Usia...37
xiii
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Kisi-kisi Alat Ukur
Lampiran 2 : Kuesioner Decisional dan Emotional Forgiveness Lampiran 3 : Hasil Validitas
Lampiran 4 : Skor Total
Lampiran 5 : Tipe Forgiveness Individual
1
Universitas Kristen Maranatha BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Agama Kristen Protestan merupakan salah satu agama yang diakui di Indonesia. Pada Agama Kristen biasanya memiliki suatu organisasi di gereja yang melibatkan orang-orang yang biasa disebut dengan pejabat gerejawi. Pejabat gerejawi adalah seseorang yang menduduki posisi dan fungsi khusus dalam pelayanan yang ada di gereja, yang bermula dari panggilan Allah melalui Kristus oleh kuasa Roh Kudus melalui gereja. Pejabat gerejawi terdiri atas Penatua, Penatua Khusus dan Pendeta yang biasa juga dikenal sebagai Majelis Jemaat. Pada Gereja “X” di Kota Bogor ini, Majelis Jemaat membuat badan-badan pembantu yang juga dapat disebut sebagai pejabat gerejawi. Fungsi utama pejabat gerejawi adalah memimpin dan membangun gereja (dalam arti utuh, terutama spiritual). Mereka menjalankan kepemimpinan fungsional sendiri-sendiri tetapi juga secara bersama-sama (kolektif) dalam kerekanan yang saling berhadapan (kolegial).
Pemilihan pejabat gerejawi di Gereja “X” dengan cara membuka
2
Universitas Kristen Maranatha melancarkan fitnah ataupun kritik yang beralasan), memiliki suami atau istri hanya satu orang, dapat menahan diri dari keinginan-keinginannya dan tidak hidup secara mewah, bijaksana dan sopan, murah hati, bukan pemabuk, bukan pemarah atau suka berkelahi, harus berelasi dengan orang lain dan bisa mengerti kekurangan orang lain, bukan hamba uang, cakap dalam mengajar dan sudah bertobat serta memiliki nama baik diluar jemaat. (Hendriks, 2000).
Salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh pejabat gerejawi adalah sudah bertobat. Ciri-ciri orang yang sudah bertobat adalah mau belajar sabar, belajar mengasihi, belajar memaafkan, belajar setia, belajar untuk mendengar perintah Tuhan, belajar untuk menguasai diri, belajar menahan diri dari kemarahan dan masih banyak lagi. (Hendriks, 2000). Salah satu dari ciri tersebut yang sulit untuk dilakukan adalah belajar memaafkan. Hal tersebut juga menjadi bagian dari syarat yang harus dimiliki oleh seorang pejabat gerejawi, setidaknya mulai belajar untuk memaafkan. Jemaat dan orang-orang disekitar kehidupan para pejabat gerejawi akan melihat relasi yang rusak jika tidak adanya forgiveness antar pejabat gerejawi, antar jemaat dan juga dengan orang-orang disekitar kehidupannya, seperti keluarga, teman, rekan kerja, tetangga dan lain-lain.
3
Universitas Kristen Maranatha gerejawi menuntut pejabat gerejawi untuk menunjukkan sikap hidup yang dapat menjadi teladan. Merupakan suatu kesenangan dan kepuasan ketika seorang pejabat gerejawi merasa bahwa mereka melakukan sesuatu dengan tidak sia-sia, seperti mendapatkan ucapan terimakasih dari jemaat yang mereka layani. (Abineno, 1997). Namun pada kenyataannya ketika pejabat gerejawi menjalankan tugas-tugasnya, tidak jarang terjadi konflik, baik dengan jemaat maupun pejabat gerejawi lainnya, yang menyebabkan seorang pejabat gerejawi menjadi kecewa bahkan tidak lagi mau melanjutkan tugas panggilannya sebagai pejabat gerejawi.
Menurut salah seorang pendeta yang telah melayani di Gereja “X” selama kurang lebih 10 tahun, ada beberapa pejabat gerejawi yang tidak lagi datang untuk beribadah ke Gereja “X” bahkan sebelum masa jabatannya berakhir. Hal ini disebabkan oleh pejabat gerejawi tersebut memiliki konflik yang tidak terselesaikan dengan rekan pelayanannya yang lain dan tidak ada kerendahan hati untuk saling menunjukkan forgiveness. Fenomena ini cukup sering terjadi pada pejabat gerejawi di Gereja “X” dan terjadi pada hampir semua kalangan usia.
4
Universitas Kristen Maranatha jemaat antara lain disebabkan oleh jemaat mencemooh pelayanan pejabat gerejawi sebanyak 25% pejabat gerejawi dan kesalahpahaman sebanyak 35% pejabat gerejawi, namun terdapat 40% pejabat gerejawi yang mengatakan bahwa dirinya tidak pernah memiliki konflik dengan jemaat.
Berdasarkan hasil pengelompokan konflik yang dialami oleh pejabat gerejawi dengan sesama pejabat gerejawi dan jemaat tersebut, didapatkan data pengaruh dari konflik tersebut dilihat dari dengan siapa pejabat gerejawi memiliki konflik. Pejabat gerejawi yang berkonflik dengan sesama pejabat gerejawi, sebanyak 30% pejabat gerejawi merasa kecewa, 25% pejabat gerejawi merasa kesal, 10% pejabat gerejawi merasa tidak ada lagi damai sejahtera, namun sebanyak 35% pejabat gerejawi merasa biasa saja. Pejabat gerejawi yang mengaku pernah memiliki konflik dengan jemaat, sebanyak 10% pejabat gerejawi merasa kecewa, 15% pejabat gerejawi merasa sakit hati, 30% pejabat gerejawi merasa kesal, namun sebanyak 45% pejabat gerejawi merasa biasa saja. Perasaan negatif, seperti sakit hati, kekesalan, dan kekecewaan yang dirasakan oleh pejabat gerejawi ini akan berpengaruh pada relasinya dengan orang yang menyakiti hatinya, dan perasaan ini akan diselesaikan dengan mewujudkan forgiveness.
5
Universitas Kristen Maranatha Adapula 50% pejabat gerejawi yang menunjukkan bahwa mereka tetap menyapa dan memberikan salam setiap bertemu namun dalam hati terkadang ada kekesalan dan kekecewaan dan berusaha untuk tetap baik kepada pelaku walaupun luka dihati masih ada namun tidak ada dendam. Worthington (2005) menyebutkan bahwa perilaku itu berkaitan dengan decisional forgiveness.
Pejabat gerejawi yang tidak menunjukkan adanya pengampunan kepada rekan sepelayanannya walaupun dalam hatinya sudah memaafkan akan memperlihatkan banyak reaksi dan berpengaruh pada pelayanan mereka, seperti 4 dari 14 pejabat gerejawi di Gereja “X” yang memunculkan sikap bermusuhan, seperti tidak mau bertegur sapa dan mengacuhkan saat harus berada dalam satu pelayanan. Perilaku ini memungkinkan pejabat gerejawi yang seharusnya menjadi teladan dalam kehidupannya bagi jemaat tetapi yang dilihat oleh jemaat tidak bisa menjadi teladan. Selain itu ada juga pejabat gerejawi yang memilih untuk pura-pura bersikap baik dan terkesan tidak memiliki masalah walaupun dalam hati ada rasa kesal yang masih tersimpan. Akibat dari perilaku pejabat gerejawi tersebut, apapun yang dilakukan oleh pelaku akan dianggap salah dan negatif sehingga tanpa disadari perilaku memusuhi semakin lama akan semakin jelas. Selain dari 4 pejabat gerejawi yang memunculkan sikap kurang bersahabat tersebut, tetap ada 10 pejabat gerejawi lainnya yang berusaha menampilkan sikap yang lebih positif, seperti mau bertegur sapa, bersalaman dan menanyakan kabar.
6
Universitas Kristen Maranatha gerejawi memandang bahwa “posisi” atau kedudukan dalam struktural menjadi
yang paling tinggi atau merasa paling berkuasa maka mengambil keputusan untuk memaafkan (forgiveness) akan sulit. Dalam hal ini kepribadian seseorang menjadi pengaruh bagi pejabat gerejawi untuk memaafkan atau tidak.
Kesan buruk yang diperlihatkan dari hubungan yang tidak baik antar pejabat gerejawi akan tertangkap oleh jemaat di gereja tersebut. Kemudian kehidupan pelayanan pejabat gerejawi tersebut tidak lagi menjadi berkat dan teladan bagi jemaat yang melihatnya. Selain itu, jemaat yang ingin bergabung dalam pelayanan di gereja akan berpikir ulang bila kemungkinan yang akan dihadapi dalam pelayanannya adalah kekecewaan.
Jadi, pejabat gerejawi yang memiliki syarat utama untuk memiliki hidup yang sudah bertobat yang salah satu tandanya adalah mampu untuk belajar mewujudkan forgiveness atau memaafkan orang yang menyakitinya. Dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat gerejawi tidak selalu kesenangan dan kepuasan yang didapatkan tetapi juga adanya ketegangan yang berasal dari konflik dengan sesama rekan pelayanan atau pejabat gerejawi atau jemaat di gereja tersebut. Konflik tersebut menyebabkan hubungan antar pejabat gerejawi atau dengan jemaat menjadi tidak baik dan dapat menimbulkan kesan yang buruk bagi jemaat yang mengetahuinya dan juga tidak menjadi berkat bagi pelayanannya kepada Tuhan. Maka dari itu, pejabat gerejawi diharapkan mampu mewujudkan
emotional forgiveness, salah satu dari tipe forgiveness, kepada semua orang yang
7
Universitas Kristen Maranatha untuk meneliti lebih lanjut mengenai gambaran tipe forgiveness pada pejabat gerejawi di Gereja “X” di Kota Bogor.
1.2Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka peneliti ingin memperoleh gambaran mengenai tipe forgiveness pada pejabat gerejawi di Gereja “X” di Kota Bogor.
1.3Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud
Maksud dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai tipe forgiveness pada pejabat gerejawi di Gereja “X” di Kota Bogor.
1.3.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran lebih lanjut mengenai tipe forgiveness yang cenderung digunakan, yaitu tipe decisional
forgiveness, emotional forgiveness atau decisional dan emotional forgiveness oleh
pejabat gerejawi di Gereja “X” di Kota Bogor.
1.4Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis
1. Memberikan informasi mengenai forgiveness bagi ilmu psikologi, secara khusus untuk psikologi positif yang berkaitan dengan keagamaan.
8
Universitas Kristen Maranatha 1.4.2 Kegunaan Praktis
1. Memberikan informasi kepada pejabat gerejawi mengenai tipe forgiveness yang lebih baik digunakan dan pengaruhnya terhadap pelayanan di gereja. 2. Memberikan informasi kepada pihak gereja yang berkaitan dengan para
pejabat gerejawi mengenai forgiveness agar dapat mengadakan kegiatan yang dapat mewujudkan forgiveness.
1.5Kerangka Pemikiran
Pejabat gerejawi adalah seseorang yang menduduki posisi dan fungsi khusus dalam pelayanan yang ada di gereja, yang bermula dari panggilan Allah melalui Kristus oleh kuasa Roh Kudus melalui gereja. Menurut buku Tata Gereja di Gereja “X” tahun 2008, pejabat gerejawi terdiri atas Penatua, Penatua Khusus dan Pendeta yang biasa juga dikenal sebagai Majelis Jemaat, lalu Majelis Jemaat diberi wewenang untuk membentuk badan-badan pembantu.
9
Universitas Kristen Maranatha menyakitinya karena para pejabat gerejawi harus menunjukkan sikap hidup yang dapat menjadi teladan bagi jemaat dan sesama pejabat gerejawi.
Forgiveness adalah motivasi untuk mengurangi penghindaran dan
penarikan dari seseorang yang telah menyakiti kita, serta kemarahan, keinginan dan desakan untuk membalas terhadap orang itu. (Worthington, 1997, dalam
Dimensions of Forgiveness). Forgiveness juga memiliki dua tipe, yaitu decisional
forgiveness dan emotional forgiveness. Decisional forgiveness melibatkan niat
untuk melakukan perubahan perilaku terhadap pelaku dengan cara memperlakukan pelaku sebagai orang yang bernilai dan tidak balas dendam.
Emotional forgiveness melibatkan penggantian emosi negatif yang dirasakan
korban terhadap pelaku dengan emosi positif (seperti empati, simpati, iba dan kasih sayang) yang biasanya tergantung pada jenis hubungan dengan pelaku. Menurut Worthington, seseorang dapat memiliki kedua tipe forgiveness, yaitu
decisional dan emotional forgiveness, yang membedakan hanya derajat yang
muncul dalam peristiwa tertentu. Maka dari itu, sangat memungkinkan bahwa pejabat gerejawi memiliki kedua tipe forgiveness.
10
Universitas Kristen Maranatha emotional forgiveness akan mengganti kekesalan, kemarahan dan kekecewaannya
dengan empati, simpati dan kasih sayang. Mereka akan kembali menjalin hubungan yang baik seperti sebelum mereka berkonflik. Mereka akan menghadirkan emosi positif kepada pelaku dan secara perlahan namun pasti akan menghilangkan emosi negatif. Pejabat gerejawi yang memunculkan kedua tipe
forgiveness akan menunjukkan perubahan perilaku kepada pelaku sekaligus emosi
negatif yang dirasakan akibat peristiwa yang menyakitkan sudah berubah menjadi emosi positif.
Decisional forgiveness erat kaitannya dengan aspek kognitif, karena niat
yang ditunjukkan oleh pejabat gerejawi untuk memaafkan pelaku akan terlihat dimasa depan. Secara rasional, pejabat gerejawi tidak lagi memikirkan untuk membalas dendam dan berusaha untuk menghargai pelaku. Dalam emotional
forgiveness, aspek yang sangat berkaitan adalah emosi, karena respon emosi yang
ditunjukkan untuk mewujudkan forgiveness. Respon emosi tersebut muncul karena pejabat gerejawi merasakan adanya perubahan emosi negatif, seperti kecewa, marah dan dendam, dan mengganti dengan emosi positif, seperti empati, simpati, dan kasih sayang, yang berorientasi pada pelaku.
11
Universitas Kristen Maranatha diri orang yang pernah menyakitinya. Ia akan menganggap bahwa kesalahan tersebut mungkin juga terjadi pada dirinya karena mengetahui bahwa semua orang mungkin berbuat salah. Semakin rendah hati dan mampu berempati maka pejabat gerejawi akan semakin mudah untuk mewujudkan emotional forgiveness
Selain sikap rendah hati dan kemampuan untuk melakukan empati, karakteristik peristiwa yang menyakitkan pun menjadi faktor yang dapat memengaruhi seseorang dalam memberikan maaf. Faktor ini berkaitan dengan persepsi pejabat gerejawi terhadap peristiwa yang dihadapinya. Permintaan maaf dari pelaku yang disertai dengan perilaku sangat menyakitkan tidak terlalu mengurangi penilaian negatif pejabat gerejawi yang tersakiti terhadap pelaku. Semakin menyakitkan persepsi dari pejabat gerejawi mengenai peristiwa tersebut maka menentukan tingkat hukuman bagi pelaku, harga ganti ruginya bahkan sampai memutuskan untuk tidak memaafkan pelaku. Pejabat gerejawi yang terus berpikir bahwa peristiwa tersebut sangat menyakitkan maka mereka akan semakin sulit mewujudkan emotional forgiveness.
12
Universitas Kristen Maranatha Faktor yang terakhir yang dapat memengaruhi forgiveness adalah kepribadian. Menurut teori kepribadian The Big Five yang menguraikan dalam sebuah akronim OCEAN menjabarkan mengenai pengaruh tiap tipe pada
forgiveness. Tipe openness yaitu seseorang yang melihat pengalaman baru dan
menerima pengalaman tersebut, memiliki kaitan dengan pejabat gerejawi yang memiliki konflik dengan pejabat gerejawi lainnya dan tidak akan kesulitan mewujudkan sampai pada emotional forgiveness. Semakin openness maka akan semakin mudah untuk mewujudkan emotional forgiveness. Pada tipe
conscientiousness, yaitu seseorang yang memperhatikan tanggung jawab,
kewajiban dan detil. Setiap pejabat gerejawi yang menyadari tanggung jawab dan tugas yang dipertanggungjawabkan tidak hanya kepada gereja tetapi juga kepada Tuhan akan mempermudah mereka mewujudkan emotional forgiveness. Tipe
extraversion, dimana seseorang yang memiliki tipe ini akan mudah berinteraksi
dengan orang lain dan mengeluarkan apa yang ada pada dirinya. Pejabat gerejawi yang memiliki tipe ini tidak akan menemukan kesulitan dalam mewujudkan
emotional forgiveness. Pejabat gerejawi dengan tipe agreeableness, yaitu
seseorang yang bergaul dengan baik, tidak membiarkan situasi sulit dan tantangan, dan menekan kemarahan, akan mudah mewujudkan decisional
forgiveness. Terakhir, tipe neuroticism, pejabat gerejawi dengan tipe kepribadian
ini memiliki emosi yang labil dan reaktif. Tipe ini akan kesulitan untuk mewujudkan decisional forgiveness dan akan sangat sulit mewujudkan emotional
13
Universitas Kristen Maranatha
Bagan 1.1 Kerangka Pemikiran
1.6Asumsi
Pejabat gerejawi dapat mengalami kekecewaan terhadap rekan sepelayanan dan jemaat memerlukan forgiveness.
Pejabat gerejawi dapat melakukan forgiveness untuk mengurangi kekecewaan yang dirasakan.
Aspek yang terkait : - Kognitif
- Emosi
Decisional forgiveness
Pejabat gerejawi Forgiveness Faktor yang memengaruhi : 1. Sikap rendah hati dan
kemampuan untuk melakukan empati
2. Karakteristik peristiwa yang menyakitkan
3. Kualitas hubungan interpersonal 4. Faktor kepribadian (The Big
Five)
Emotional forgiveness
14
Universitas Kristen Maranatha Forgiveness pada pejabat gerejawi yang mengalami kekecewaan dapat terdiri
dari decisional forgiveness, emotional forgiveness atau decisional dan
emotional forgiveness.
Pejabat gerejawi dikatakan melakukan decisional forgiveness bila forgiveness yang diberikan berupa niat untuk melakukan perubahan perilaku terhadap pelaku, mereka masih merasakan emosi negatif di dalam dirinya namun mereka mengatakan sudah memaafkan.
Pejabat gerejawi dikatakan melakukan emotional forgiveness bila forgiveness yang diberikan penggantian emosi negatif dengan emosi positif seperti empati, simpati, belas kasihan kepada orang yang telah menyakiti.
Pejabat gerejawi yang melakukan decisional dan emotional forgiveness secara bersamaan berarti pejabat gerejawi mengubah perilaku dan emosi yang dirasakan kepada pelaku yang pernah menyakitinya.
Forgiveness yang dimiliki pejabat gerejawi berbeda-beda karena dipengaruhi
55
Universitas Kristen Maranatha BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai tipe forgiveness
pada pejabat gerejawi di Gereja “X” di Kota Bogor, dapat ditarik beberapa
kesimpulan berikut ini :
1. Berdasarkan hasil penelitian, sebagian pejabat gerejawi di Gereja “X” cenderung menggunakan emotional forgiveness. Hal ini berarti pejabat gerejawi dapat mengubah emosi negatif yang dirasakan dengan emosi positif kepada rekan sepelayanan atau jemaat yang telah menyakiti. Kemudian
beberapa pejabat gerejawi di Gereja “X” cenderung mengunakan decisional
forgiveness dan ada sebagian kecil pejabat gerejawi yang cenderung
menggunakan keduanya.
2. Faktor yang paling memiliki keterkaitan dengan tipe forgiveness adalah karakteristik peristiwa yang menyakitkan. Semakin pejabat gerejawi mempersepsi peristiwa itu sangat menyakitkan maka semakin sulit mewujudkan tipe forgiveness. Sedangkan faktor kepribadian, khususnya trait
aggreableness dan neuroticism tidak memiliki keterkaitan dengan tipe
forgiveness. Semakin aggreableness maka semakin mudah mewujudkan tipe
forgiveness. Pejabat gerejawi yang memiliki neuroticism maka akan sulit
56
Universitas Kristen Maranatha 3. Dari seluruh pejabat gerejawi di Gereja “X”, sebagian besar pejabat gerejawi yang memiliki jenis kelamin wanita cenderung menggunakan tipe emotional
forgiveness. Pejabat gerejawi wanita cenderung melihat forgiveness sebagai
usaha untuk mempertahankan hubungan interpersonal dan lebih mudah mengontrol emosinya. Bagi pejabat gerejawi pria konsep forgiveness terasa tidak adil baginya.
4. Di dalam penelitian ini, emotional forgiveness pada pejabat gerejawi di
Gereja “X” yang berada pada tahap perkembangan adolescence, young
adulthood dan late adulthood. Pada tahap perkembangan adolescence, emosi
mereka terkadang masih belum terkontrol namun mereka sudah dapat memikirkan penyebab terjadinya peristiwa yang menyakitkan dan dampaknya sehingga mereka akan cenderung menggunakan emotional
forgiveness. Pada tahap young adulthood, mereka sudah semakin matang
dalam mengontrol emosi negatif yang dirasakan akibat dari peristiwa yang menyakitkan. Pada tahap late adulthood, pejabat gerejawi lebih banyak melakukan introspeksi diri sehingga mereka dapat mengubah dan mengontrol emosinya.
57
Universitas Kristen Maranatha Intensitas bertemu yang tidak sering membuat pejabat gerejawi dapat mengubah emosi yang dirasakan.
5.2. Saran
5.2.1 Saran Teoretis
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, peneliti ingin memberikan saran bagi peneliti lain yang tertarik untuk melakukan penelitian mengenai tipe
forgiveness, antara lain :
1. Dalam proses pengambilan data untuk item pada faktor karakteristik peristiwa yang menyakitkan, perlu ditambahkan kapan peristiwa tersebut terjadi.
2. Pada item yang menjaring sikap rendah hati dan kemampuan melakukan empati lebih spesifik mengenai pengaruh pikiran, perasaan dan perbuatan yang positif atau negatif terhadap pelaku.
Selain itu, peneliti juga menyarankan kepada peneliti lain yang berminat untuk meneliti lebih lanjut mengenai :
1. Hubungan antara faktor kepribadian dengan tipe forgiveness..
5.2.1. Saran Praktis
Peneliti ingin memberikan saran yang dapat ditindaklanjuti oleh pihak-pihak terkait, sehubungan dengan hasil penelitian ini antara lain :
58
Universitas Kristen Maranatha hubungan antar pejabat gerejawi atau dengan jemaat yang dapat membuat pandangan negatif dari orang lain yang melihatnya, kemudian pelayanan sebagai pejabat gerejawi tidak menjadi berkat bagi orang lain. Pejabat gerejawi juga mengenal tipe forgiveness, yaitu decisional dan emotional
forgiveness melalui tema dalam khotbah di gereja.
2. Memberi informasi kepada pejabat gerejawi di Gereja “X” untuk dapat meningkatkan emotional forgiveness, yaitu dengan cara mengadakan kegiatan bersama yang rutin dilaksanakan guna meningkatkan kebersamaan dan keakraban antar pejabat gerejawi dari semua usia. Dengan membangun hubungan yang sehat antar pejabat gerejawi, diharapkan memudahkan pejabat gerejawi mengatasi konflik yang mungkin terjadi. Kegiatan ini bisa berupa
sharing dalam kelompok-kelompok kecil untuk memancing keterbukaan antar
59
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA
Abineno, J.L.Ch. 1997. Penatua, Jabatannya dan Pekerjaannya. Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Hendriks, A. N. 2000. Pengatur Rumah Allah. Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Nazir, Moh. 2003. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Papalia, Diane E. 2008. Human Development (Psikologi Perkembangan). Jakata:Prenada Media Group.
Ransley, Cynthia & Terri Spy. 2004. Forgiveness and The Healing Process. New York:Routledge.
Snyder, C R., & Shane J Lopez. 2002. Handbook of Positive Psychology. New York: Oxford University Press.
Sugiyono. 2005. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Worthington, Everett L. 1998. Dimensions of Forgiveness. London: Templeton Foundation Press.
Worthington, Everett L. 2005. Handbook of Forgiveness. New York : Routledge.
60
Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN
2008. Tata Gereja Gereja Kristus. Badan Pekerja Majelis Sinode Gereja Kristus : Jakarta Barat.
GKI Halimun. Serba-serbi Jabatan Gerejawi. (http://www.gkihalimun.org/ kegiatan-pembangunan-jemaat/artikel-bina-iman/serba-serbijabatan gerejawi, diakses 18 November 2013).
Miller, Andrea J., Everett L. Worthington & Michael A. McDaniel. Gender and
Forgiveness : A Meta-Analytic Review and Research Agenda. Virginia
Commonwealth University.
Studi Alkitab. Sistem Pemerintahan dan Jabatan Gereja.
(http://www.studialkitab.com/2010/05/sistem-pemerintahan-dan-jabatan-gereja.html, diakses 18 November 2013).
Worthington, Everett L. 2012. Sex, Forgiveness and Health. Virginia Commonwealth University.
Worthington, Everett L., Joshua N. Hook & Shawn O. Utsey. 2012. Decisional