BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Sejak diberlakukannya Undang Undang No. 22 Tahun 1999 dan kemudian
dirubah menjadi Undang Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
sebagai penganti Undang Undang No. 5 Tahun 1974, diskusi tentang efektivitas
pelayanan publik dalam otonomi daerah menjadi semakin menarik untuk
dibicarakan.
Permasalahannya karena sudah 2 (dua) kali perubahan undang-undang
tersebut dilakukan, namun peningkatan pelayanan publik publik sebagai
sasarannya selalu dipertanyakan, bahkan ada diskusi yang membahas bahwa
Undang Undang No. 32 Tahun 2004 perlu lagi perubahan.
Undang-undang ini merupakan implimentasi pasal 18 ayat (1) UUD 1945
yang mengatakan bahwa Negara Republik Indonesia merupakan negara kesatuan
yang dibagi atas daerah-daerah propinsi dan propinsi terdiri dari daerah kabupaten
dan kota yang mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dalam undang-undang.
Selanjutnya, pasal 2 ayat (2) menyebutkan bahwa pemerintah daerah propinsi,
daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut azas otonomi dan tugas perbantuan. Dalam menjalankan otonomi dan
tugas perbantuan, kecuali urusan pemerintah pusat, pemerintah daerah berhak
menetapkan peraturan daerah dan peraturan lain sesuai dengan ketentuan berlaku.
Pada dasarnya, maksud pasal 18 UUD 1945 tersebut adalah mempercepat
pemberdayaan dan peran serta masyarakat.1 Selanjutnya dijelaskan bahwa
pemerintahan daerah dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan antar susunan
pemerintahan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah
dalam sistem Negara Kesatuan RI. Dalam berbagai aspek UU No. 32 Tahun 2004
mengatur hubungan keuangan pusat dan daerah, pelayanan umum, pemanfaatan
sumber daya alam dan sumber daya lainnya secara adil dan selaras.
Di samping itu, dalam menjalankan perannya, daerah diberikan
kewenangan yang seluas-luasnya disertai dengan pemberian hak dan kewajiban
menyelenggarakan Otonomi Daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan
pemerintahan negara.2
Masalah pelayanan publik di Indonesia masih sangat memprihatinkan,
karenanya pemerintah masih perlu membuat strategi dan kebijakan agar dapat
memenuhi hak azazi warga negara dan membutuhkan solusi menyeluruh untuk
membuat pelayanan publik yang baik.3 Sebagai gambaran dan fenomena pelayanan
publik di Provinsi Sumatera Barat saat ini seperti terlihat rendahnya tingkat kinerja
aparatur penyelenggara pemerintahan di daerah. Indikasi menunjukan bahwa
Pemerintah Daerah melalui Peraturan Gubenur Sumatera Barat Nomor 74 Tahun
2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Tahun
2006 - 2010 menempatkan hal ini sebagai skala prioritas utama. Dalam bagian IV,
(Agenda penyelenggaraan pemerintahan daerah yang baik dan bersih Bab II diatur
11 Penjelasan Umum, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
Publik CV. Jaya Jakarta, Cetakan Pertama, 2004. hal. 125.
22 Ibid, hal. 123, 124
3 Wacana HAM, Pandangan Publik yang memprihatinkan Edisi 17, Tahun III, 15 Oktober
tentang Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik)4 yang menerangkan bahwa
berdasarkan hasil identifikasi dalam pembinaan pelayanan publik masih banyak
permasalahan yang perlu ditindaklanjuti dan diselesaikan seperti : belum
kompetitif, transfaran dan akuntabilitas proses pelayanan publik, rendahnya etos
kerja aparatur, pelayanan publik belum didukung oleh teknologi informasi serta
belum ada instrumen yang jelas untuk mengevaluasi kualitas pelayanan.
Sasaran yang hendak dicapai dalam peningkatan kualitas pelayanan publik
tahun 2006-2010 ke depan adalah :
1. Terlaksananya pelayanan publik kepada masyarakat sesuai dengan standar
layanan yang ditetapkan.
2. Tercapainya transparansi dalam proses pelayanan publik.
3. Meningkatnya etos kerja, profesionalisme dan kompetensi aparatur.
4. Meningkatnya kemandirian masyarakat dalam mendapatkan pelayanan
publik.
5. Meningkatnya pengguna teknologi informasi dalam pemberian pelayanan
publik.
6. Meningkatnya peran masyarakat terhadap penilaian kinerja aparatur
pelayanan publik.
Dalam RPJMD tersebut ditetapkan arah kebijakan, program pengembangan
pelayanan publik dan pengembangan partisipasi publik (masyarakat) yang berada
dalam agenda penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih bersamaan
dengan sub-sub agenda lainnya, yaitu : peningkatan kemampuan pemerintah
daerah, peningkatan kualitas pelayanan publik, pemberantasan korupsi, kolusi dan
nepotisme, pembangunan hukum dan perlindungan hak azazi manusia, peningkatan
keamanan dan ketertiban.
Dengan demikian "masalah" Pelayanan publik sudah diakomodir dalam suatu
konsepsi dan strategi kebijakan untuk kurun waktu 2006-2010 mendatang yakni
dengan isu bagaimana meningkatkan kualitas pelayanan publik tersebut dari tahun
ke tahun yang disinyalir seakan-akan berjalan di tempat.
Berdasarkan fakta dalam RPJMD Propinsi Sumatera Barat, betapa rendahnya
kualitas pelayanan publik tersebut, salah satu diantaranya terdapat pada Perangkat
Daerah/Dinas (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yaitu Dinas Pendapatan Daerah.
Fakta lain menjelaskan, walaupun jumlah penerimaan daerah yang berasal dari
Pendapatan Asli Daerah (PAD) cenderung menunjukan peningkatan dan memberikan
kontribusi yang besar terhadap penerimaan daerah, pencapaian hasil relatif masih
dibawah target. Khususnya pencapaian target (realisasi) penerimaan pajak daerah
dari sub-sektor Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan
Bermotor (BBN-KB).
Bertitik tolak dari fakta dan kenyataan di atas, maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dan penulisan ilmiah dengan menyingkap dan
menganalisanya secara mendalam dengan penekanan yang diarahkan kepada
peningkatan pelayanan publik terutama terhadap sub sektor pajak daerah yang
berasal dari pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama kendaraan bermotor
melalui Dinas Pendapatan Daerah Cq. UPTD Pelayanan Pendapatan Provinsi
Sumatera Barat di Padang, melalui Kantor Bersama SAMSAT.
Pelaksanaan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh unit pelayanan
yaitu pihak Pemerintah Provinsi c.q. Dinas Pendapatan Daerah, Polri c.q.
Kepolisian Daerah dan PT. AK Jasa Raharja. Dengan adanya 3 unit kerja masalah
yang ditemukan dalam pelayanan adalah bertemunya 3 (tiga) kepentingan yang
berbeda yang saling membutuhkan dan saling berhubungan, namun menyatu dan
saling berkaitan (Simbiose Mutualistis).
Ketiga unit kerja ini sama-sama bertujuan memberikan pelayanan publik
secara prima kepada masyarakat. Pihak Pemda dalam memberikan pelayanan
bertujuan untuk peningkatan penerimaan daerah yang diperlukan bagi keperluan
dana pembangunan yang berasal dari sumber-sumber PAD, sedangkan di pihak lain
Polda lebih berkepentingan dalam masalah pengidentifikasian kepemilikan dan
keamanan.
Pengelolaan kebijakan melalui Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap
(SAMSAT) sudah sesuai dengan maksud Undang Undang 32 Tahun 2004, namun
efektivitas keberadaan pola dan sistem SAMSAT masih perlu penyempurnaan.
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan kajian karena sepengatahuan
penulis belum ada yang menelaahnya, terutama bila dikaitkan dengan suasana dan
nuansa tuntutan tatanan Pemerintahan yang Baik dan Bersih (Good Governance
and Clean Government). Penulisan dan penganalisaan mempedomani teori-teori
menurut Ilmu Hukum Administrasi Negara, dikaitkan dengan aspek normatif dari
berbagai ketentuan peraturan perundangan dengan judul : Efektivitas Pelayanan
Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor pada Dinas
Pendapatan Daerah Propinsi Sumatera Barat (Suatu Kajian Dalam Perspektif
B. Rumusan Permasalahan
Adapun pokok bahasan penelitian ini, akan ditinjau dari perspektif Hukum
Administrasi Negara yakni :
a. Sejauh mana pelayanan publik di bidang perpajakan pada Dispenda cq.
UPTD Pelayanan Pendapatan Prop. Sumbar di Padang melalui Kantor
Bersama Samsat terhadap Pengelolaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea
Balik Nama Kendaraan Bermotor (PKB dan BBN-KB) efektivitasnya
(efektif dan efisien) mewujudkan "Pemerintahan Yang Baik dan Bersih
(Good Governance and Glean Government)?
b. Faktor-faktor dominan apa saja yang mempengaruhi efektivitas pelayanan
sesuai Standar Pelayanan Minimal (SPM) kepada wajib pajak agar sejalan
dengan peningkatan pemasukan pendapatan daerah (pemungutan Pajak
Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor) baik
secara intensifikasi maupun ekstensifikasi?
C. Tujuan Penelitian
Mengetahui efektivitas pelayanan umum yang diberikan oleh instansi
Pemerintah Provinsi Sumatera Barat Cq. Dinas Pendapatan Daerah cq.
UPTD PPP di Padang, melalui kantor bersama SAMSAT kepada wajib
pajak (masyarakat pemilik kendaraan bermotor).
Mengetahui peranan dan fungsi UPTD PPP di Padang dalam mengelola
kewenangannya dalam mengelola sumber pendapatan daerah yang menjadi
tugas dan urusan sesuai dengan kewenangan dalam kompetensi wilayah
D. Manfaat Penelitian
Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dari hasil penelitian diharapkan dapat memberikan
kontribusi dan sumbangan pemikiran untuk pengembangan Hukum
Administrasi Negara di Bidang Tata Pemerintahan Daerah pada umumnya,
serta Hukum Perpajakan/Pajak Daerah pada khususnya.
Manfaat Praktis
Manfaat praktis, hasil penelitian diharapkan sebagai kontribusi sumbangan
pemikiran dalam upaya meningkatkan kinerja SKPD serta kualitas kerja
aparat pemerintahan daerah dalam memberikan pelayanan publiknya
kepada wajib pajak/masyarakat.
E. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1 Kerangka Teoritis
1) Otonomi Daerah
Pengertian otonomi daerah yang melekat dalam keberadaan
pemerintah daerah, juga sangat berkaitan dengan desentralisasi. Baik
pemerintahan daerah, desentralisasi maupun otonomi daerah, adalah bagian
dari suatu kebijakan dan praktek penyelenggaraan pemerintahan, tujuannya
adalah demi terwujudnya kehidupan masyarakat yang tertib, maju dan
sejahtera, setiap orang bias hidup tenang, nyaman, wajar oleh karena
memperoleh kemudahan dalam segala hal di bidang pelayanan
masyarakat.5
5 Parjoko, Filosofi Otonomi Daerah Dikaitkan dengan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22
Oleh karena itu keperluan otonomi di tingkat lokal pada hakekatnya
adalah untuk memperkecil intevensi pemerintah pusat kepada daerah.
Dalam Negara Kesatuan (unitarisme) otonomi daerah itu diberikan oleh
pemerintah pusat (central government), sedangkan pemerintah daerah
hanya menerima penyerahan dari pemerintah pusat.6 Berbeda halnya
dengan otonomi daerah di Negara federal, dimana otonomi daerah sudah
melekat pada negara-negara bagian.
Secara normatif, penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada
pihak lain (pemerintah daerah) untuk dilaksanakan disebut dengan
desentralisasi. Desentralisasi sebagai suatu system yang dipakai dalam
system pemerintahan merupakan kebalikan sentralisasi. Dalam system
sentralisasi, kewenangan pemerintah baik di pusat maupun di daerah,
dipusatkan dalam tangan pemerintahan pusat.7
Dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan negara yang
menganut prinsip pemencaran kekuasaan secara vertikal, membagi
kewenangan kepada pemerintah daerah bawahan dalam bentuk penyerahan
kewenangan. Penerapan prinsip ini melahirkan model pemerintahan daerah
yang menghendaki adanya otonomi dalam penyelenggaraannya. Dalam
sistem ini, kekuasaan negara terbagi antara pemerintah pusat di satu pihak
dan pemerintah daerah di lain pihak. Penerapan pembagian kekuasaan
dalam rangka penyerahan kewenangan otonomi daerah, antara negara yang
6 Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, Pustaka SInar Harapan, Jakarta, Cetakan
1, Juli, 1999.
satu dengan negara yang lain tidak sama, termasuk Indonesia yang
menganut negara kesatuan.8
Philip Mawhood menyatakan desentralisasi adalah pembagian dari
sebagian kekuasaan pemerintah oleh kelompok yang berkuasa di pusat
terhadap kelompok-kelompok lain yang masing-masing memiliki otorisasi
dalam wilayah tertentu suatu negara.9
Sementara itu, B.C. Smith mendefenisikan desentralisasi sebagai
proses melakukan pendekatan kepada pemerintah daerah yang
mensyaratkan terdapatnya pendelagasian kekuasaan (power) kepada
pemerintah bawahan dan pembagian kekuasaan kepada daerah. Pemerintah
pusat diisyaratkan untuk menyerahkan kekuasaan kepada Pemerintah
Daerahseagai wujud pelaksanaan desentralisasi.10
Tujuan desentralisasi secara umum oleh Smith dibedakan atas 2
(dua) tujuan utama, yakni tujuan politik dan ekonomis. Secara politis,
tujuan desentralisasi antara lain untuk memperkuat pemerintah daerah,
untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan politik para
penyelenggara pemerintah dan masyarakat, dan untuk mempertahankan
integritas nasional. Sedangkan secara ekonomi, tujuan desentralisasi,
antara lain adalah untuk meningkatkan kemampuan pemerintah daerah
dalam menyediakan public good and service, serta untuk meningkatkan
efisiensi dan efektifitas pembangunan ekonomi di daerah.11
8 Bambang Yudoyono, makalah Telaah Kritis Implementasi UU NO. 22/1999, Upaya Mencegah
Desintegrasi Bangsa, disampaikan pada seminar dalam rangka kongres ISMAHI di Bengkulu, 22 Mei 2000.
9 Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006. 10 Ibid.
Sedangkan D. Juliantara, dkk memberikan pengertian desentralisasi
dengan merujuk pada asal katanya, bahwa istilah desentralisasi berasal dari
bahasa latin, de artinya lepas dan centrum artinya pusat.12 Lebih jauh ia
menyebutkan desentralisasi yang dimaknai dalam konteks yang lebih luas,
bahwa konstek negara-negara demokrasi modern, kekuasaan politik
diperoleh melalui pemilihan umum yang diselenggarakan secara regular
dan serentak di setiap daerah untuk memberikan legitimasi terhadap tugas
dan wewenang lembaga-lembaga politik di tingkat nasional dan juga di
tingkat local sendiri. Dengan kata lain, kekuasaan pemerintah daerahlah
yang memintah dan menarik kembali sebagian kewenangan yang telah
diberikan kepada pemerintah pusat, bukan karena kebaikan hati pemerintah
pusat.13
Dengan demikian jelaslah, bahwa desentralisasi akan melahirkan
otonomi daerah dan bahkan kadangkala sulit untuk membedakan
pengertian diantara keduanya secara terpisah. “Desentralisasi dan otonomi
daerah bagaikan dua sisi mata uang yang saling memberi makna satu sama
lainnya. Lebih spesifik, ungkin tidak berlebihan ila dikatakan ada atau
tidaknya otonomi daerah sangat ditentukan oleh beberapa jauh wewenang
yang telah didesentralisasikan oleh Pemerintah Pusat ke Pemerintah
Daerah. Itulah sebabnya, dalam studi Pemerintahan Daerah, para analis
sering menggunakan istilah desentralisasi dan otonomi daerah secara
bersamaan, interchange”.
12 D. Juliantara, dkk. Desentralisasi Kerakyatan, Gagasan da Praksis, Pondok Edukasi, Bantul,
2006.
Adanya otonomi daerah dalam negara, dilatarbelakangi oleh
pengalaman masa lalu dimana keberadaan negara hanya dianggap sebagai
instrument oleh kaum kapitalis. Kondisi ini kemudian melahirkan konsep
Marxis tentang Instrumental State. Demikian halnya paham Sosialis yang
menghendaki adanya otonomi dari pengaruh partai politik (partai komunis)
yang cenderung mengintervensikan kehidupan negara. Dalam hubungan ini
negara menginginkan otonomi untuk memperkecil dan bahkan
menghilangkan pengaruh-pengaruh ataupun intervensi kaum-kaum
kapitalis dan sosialis. Berbeda halnya dengan pemberian otonomi dengan
pemerintah local, yaitu untuk memperbesar kewenangan mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri.14
Oleh karena itu, keperluan otonomi di tingkat local pada hakikatnya
adalah untuk memperkecil intervensi pemerintah pusat kepada daerah.
Dalam negara kesatuan (unitarisme) otonomi daerah itu diberikan oleh
pemerintah pusat (central government), sedangkan pemerintah daerah
hanya menerima penyerahan dari pemerintah pusat. Berbeda halnya
dengan otonomi daerah di negara federal, di mana otonomi daerah sudah
melekat pada negara-negara bagian.
Reuter, mengemukakan, desentralisasi adalah sebagian pengakuan
atas penyerahan wewenang oleh badan-badan umum yang lebih tinggi
kepada badan-badan umum yang lebih rendah untuk secara mandiri dan
berdasarkan pertimbangan kepentingan sendiri mengambil keputusan
pengaturan dalam pemerintahan, serta struktur wewenang yang terjadi.
Dalam hal itu Rondineli, mengatakn bahwa desentralisasi dari arti luas
mencakup setiap penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat baik
kepada daerah maupun kepada pejabat pemerintah pusat yang ditugaskan
di daerah.15
Koeswara, mengemukakan, bahwa pengertian desentralisasi pada
dasarnya mempunyai makan bahwa melalui proses desentralisasi
urusan-urusan pemerintahan yang semua termasuk wewenang dan tanggung jawab
pemerintah pusat, sebagian diserahkan kepada badan/lembaga
pemerintahan di daerah.16
Prakarsa untuk menemukan prioritas, memilih alternatif dan
mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan daerahnya, baik
dalam hal menentukan kebijaksanaan, perencanaan, maupun pelaksanaan
sepenuhnya diserahkan kepada daerah.
Lebih dalam lagi, bila kita cermati prinsip-prinsip hukum dalam
pengelolaan masalah-masalah bangsa (nation affairs) ke depan governance
dikatakan baik (good atau sound) apabila sumber daya dan
masalah-masalah publik dikelola secara efektif dan efisien serta aspiratif yang
didasarkan kepada transparansi, akuntabilitas dan partisipasi masyarakat
serta rule of law.
Oleh karena itu pelaksanaan kewenangan politik, ekonomi dan
administrasi dalam mengelola masalah-masalah layanan tersebut perlu
memperhatikan prinsip-prinsip hukum pengelolaan sumber daya yang
15 Oentara Sm, dkk, Menggagas Format Otonomi Daerah Masa Depan, Samitra Media Utama,
Jakarta, 2004.
16 Koeswara, Prospek Pengembangan desentralisasi dan Otonomi Daerah dengan Titik Berat
dimiliki, seperti prinsip good governance, subsidiarity, equity, privaty use,
prier appropriation (first in time, first in right), sustainable development,
good sustainable development govermance dan participatory
development.
Menurut peneliti prinsip subsidiarity dalam pelaksanaan otonomi
daerah dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia sangat relevan
dan tepat dipedomani dan diterapkan dalam pengelolaan sumber daya
pendapatan daerah, karena menurut teori subsidiarity secara lugas dan
tegas dikatakan bahwa kewenangan yang telah diberikan oleh pemerintah
tingkat lebih atas (pusat) kepada pemerintah tingkat lebih rendah (seperti
provinsi dan atau kabupaten/kota) akan dapat ditarik kembali oleh tingkat
lebih atas bila ternyata tingkat lebih rendah yang menerimanya tidak dapat
melaksanakan kewenangan (urusan/administrasi)-nya sebagai mana
mestinya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kemampuan pemerintah
provinsi dalam menjalankan urusan otonomi daerahnya di bidang
perpajakan including/ termasuk di dalamnya pemberian pelayanan publik
yang baik terhadap wajib pajak sektor tertentu jelas akan menjadi ukuran
tingkat kemampuan yang realistas bagi suatu pemerintah provinsi tersebut.
Artinya bila pemerintah provinsi ternyata tidak mampu mengelola
kewenangan dan administrasi pengelolaannya dengan baik, maka
pemerintah pusat memiliki otoritas penuh untuk menarik kembali
penyerahan/pemberian kewenangan untuk mengelola urusan seperti
Berdasarkan penjelasan di atas, kita dapat memahami bahwa salah
satu tujuan otonomi yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang
semakin baik. Untuk itu dengan desentralisasi diharapkan daerah akan
memberikan pelayanan yang lebih baik dibandingkan dengan sistem
sentralistik. Pelayanan pemerintah dengan sistem sentralistik. Pelayanan
pemerintah di era otonomi, diharapkan akan lebih baik dan aspiratif,
sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Sasaran dari kemandirian daerah adalah agar daerah dapat
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Kertergantungan daerah
terhadap pusat dalam pengambilan berbagai keputusan publik
diminimalkan. Diharapkan keputusan publik yang dibuat oleh daerah bagi
kepentingan masyarakatnya akan lebih cermat, lebih tepat dan lebih cepat
atau dengan kata lain pelayanan akan lebih berdaya guna dan berhasil
guna.17
Kemandirian daerah ini adalah dimaksudkan untuk tujuan
pemberian pelayanan yang efisien, partisipatif dan akhirnya peningkatan
daya saing daerah. Keputusan publik yang cermat, tepat dan cepat itu
adalah merupakan cerminan dari efisiensi pelayanan. Pendirian sebuah
sekolah dikatakan efisien bila daya tampungnya terpenuhi. Keputusan
pembuatan jalan raya efisien bila jalan tersebut bermanfaat oleh
masyarakat yang ada di sekitarnya. Begitu juga halnya dengan pendirian
rumah sakit pada lokasi tertentu.
17 Syahruddin dan Werry Darta Taifur, Peranan DPRD untuk Mencapai Tujuan Desentralisasi
Dalam rangka itu reposisi daerah hendaknya dipahami sebgai upaya
mengaktualisasikan berbagai potensi dan aspirasi masyarakat daerah,
sehingga rakyat di daerah dapat mengekspresikan kepentingan dan
kehendaknya. Untuk itu pemerintah daerah perlu menyusun kerangka kerja
yang memungkinkan terserapnya berbagai potensi dan aspirasi rakyat
terutama prinsip pelayanan.
Mengingat tujuan utama dibentuknya pemerintahan adalah untuk
menjaga sistem ketertiban di dalam masyarakat, sehingga bisa menjalani
kehidupannya secara wajar. Pemerintah diadakan tidaklah untuk melayani
dirinya sendiri tetapi juga untuk melayani masyarakat,18 dalam
mengembangkan kemampuan dan kreatifitasnya demi mencapai tujuan
bersama.
Untuk mencapai pelaksanaan pelayanan umum tersebut dibutuhkan
oaparatur yang berkualitas, memiliki kemampuan dalam melayani,
memenuhi kebutuhan, menanggapi keluhan masyarakat secara
memuaskan, sesuai dengan ekspektasi (harapan) mereka melalui
kebijaksanaan, perangkat hukum yang berfungsi sebagai acuan dalam
pengendalian, pengaturan agar kekuatan sosial dan aktivitas masyarakat
tidak membahayakan negara dan bangsa.
Teori pemerintahan modern mengajarkan bahwa untuk
mewujudkan good governance perlu dijalankan desentralisasi
pemerintahan.19 Dengan desentralisasi pemerintahan maka pemerintahan
18 Ryaas Rasyid, Makna Pemerintahan : Tinjauan dari Segi Etika dan Kepemimpinan, PT. Yarsif
Watampone, Jakarta, 1997.
akan semakin dekat dengan rakyat. Asumsinya pemerintahan yang dekat
denagn rakyat, maka pelayanan yang diberikan menjadi lebih cepat, hemat,
murah, responsif, inovatif, akomodatif dan produktif. Ryaas Rasyid
mengatakan ”the closer givernment, the better it service”.20 Dalam
desentralisasi terkandung makna otonomi dan demokratisasi. Dua kata
tersebut yakni otonomi dan demokrasi tidak mungkin dipisahkan, ia ibarat
dua sisi mata uang yang satu dan yang lain saling memberi nilai. Otonomi
tanpa demokratisasi merupakan suatu keniscayaan21 dan sebaliknya
demokratisasi tanpa otonomi adalah kebohongan. Dalam sejarah otonomi
di Indonesia sejak kemerdekaan memang sarat dengan kebohongan.
Yuridis formal dalam undang-undang pemerintahan daerah otonomi diakui,
tetapi dalam implementasinya terjadi pemasungan-pemasungan melalui
filter-filter yuridis peraturan pelaksanaan undang-undang tersebut,
akibatnya kemandirian dan otoaktivitas daerah menjadi tersumbat. Hal
itulah yang kemudian melahirkan resistensi daerah terhadap pusat yang
sangat menguras energi menyelesaikannya. Adanya otonomi kebijakan
otonomi khusus bagi Propinsi Aceh dan Irian Jaya memang lahir di tengah
derasnya tuntutan disintegrasi. Hal itu jika pusat menyadari secara filosofis
dan sosiologis otonomi yang dibangun bikan linear atau simetris tetapi
suatu asymmetric decentralization.22
20 M. Ryaas Rasyid, Desentralisasi dalam Rangka Menunjang Pembangunan Daerah, dalam
Administrasi Pembangunan Indonesia, LP3ES, 1998, hal. 140.
21 Yuslim, Titik Berat Otonomi pada Daerah Tingkat II, Tesis, Pascasarjana Unpad, 1997. Kasus
Pemilihan Gubernur Riau tanggal 2 September 1985 di mana Ismail Suko yang memperoleh dukungan DPRD dengan 19 suara, sementara H. Imam Munandar yang memperoleh dukungan 17 suara, karena kuatnya arus sentralisasi Ismail Siko menyatakan mundur dari pencalonan Gubernur setelah diminta menghadap Ketua Golkar, waktu itu Wakil Presiden Sudarmono.
22 Kebijakan otonomi yang uniformitas tidak sesuai dengan esensi kebhinekaan di Indonesia, dan
2) Pelayanan Umum
Pelayanan pemerintahan daerah merupakan tugas dan fungsi utama
pemerintah daerah. Hal ini berkaitan dengan fungsi dan tugas
pemerintahan secara umum, yaitu memberikan pelayanan kepada
masyarakat. Dengan pemberian pelayanan yang baik kepada masyarakat,
maka pemerintah akan dapat mewujudkan tujuan negara yaitu menciptakan
kesejahteraan masyarakat. Pelayanan kepada masyarakat tersebut
terintegrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.23
Pelayanan publik berhubungan dengan pelayanan yang masuk kategori
sektor publik, bukan sektor privat. Pelayanan tersebut dilakukan oleh
pemerintah pusat, pemerintah daerah dan BUMN/BUMD. Ketiga
komponen yang menangani sektor publik tersebut menyediakan layanan
publik, seperti kesehatan, pendidikan, keamanan, dan ketertiban, bantuan
sosial dan penyiaran.24 Dengan demikian yang dimaksud pelayanan publik
adalah pelayanan yang diberikan oleh negara/daerah dan perusahaan milik
negara kepada masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam
rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat.
Pemerintah baik pusat maupun daerah mempunyai tiga fungsi
utama : 1) memberikan pelayanan (service) baik pelayanan perorangan
maupun pelayanan publik/khalayak, 2) melakukan pembangunan fasilitas
ekonomi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi (development for
economic growth), dan 3) memberikan perlindungan (protective)
23 Hanif Nurcholish, Teori dan Pratek Pemerintahan dan Otonomi Daerah, PT. Grasindo, 2005,
hal. 175.
masyarakat.25 Sebagai fungsi public services, pemerintah wajib
memberikan pelayanan publik secara perorangan maupun khalayak/publik.
Pelayanan untuk orang perorangan misalnya pemberian KTP, SIM, IMB,
Sertifikat tanah, paspor, surat izin dan keterangan. Pelayanan publik
misalnya pembuatan lapangan sepakbola, taman kota, hutan lindung,
trotoar, waduk, taman nasional, panti anak yatim/jompo/cacat/miskin,
tempat pedagang kaki lima dan lain-lain.26
Oleh karena itu pemerintah daerah wajib memberikan pelayanan
perorangan dengan biaya murah, cepat dan baik, harus mendapatkan
pelayanan yang sama. Disamping itu juga harus diperlakukan oleh petugas
dengan sikap yang sopan dan ramah. Semua orang tanpa kecuali baik kaya,
miskin, pejabat, orang biasa, orang desa atau kota, harus diperlakukan
sama.
Tidak boleh dibeda-bedakan baik dengan sikap, biaya maupun
waktu penyelesaian. Pelayanan pemerintah daerah kepada khalayak juga
harus adil dan merata. Pemerintah Daerah tidak boleh menganakemaskan
atau menganaktirikan kelompok masyarakat tertentu, sehingga yang satu
diberi lebih dan yang lain diberi sedikit.27
Dengan demikian pelayanan publik oleh pemerintah daerah harus
dapat memuaskan publik. Untuk mengetahui sejauh mana kualitas
pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah bisa diukur dengan
indikator-indikator : mudah, murah, cepat, tidak berbelit, petugasnya
25 Ibid, hal. 178. 26 Ibid.
murah senyum, petugasnya membantu jika ada kesulitan, adil dan merata
serta memuaskan.
3) Kualitas Pelayanan
Vincent Gesperz, mengemukakan bahwa kualitas pelayanan,
meliputi dimensi-dimensi berikut :28
- Ketaatan waktu pelayanan, berkaitan dengan waktu tunggu dan waktu
proses
- Akurasi pelayanan, berkaitan dengan keakuratan pelayanan dan bebas
dari kesalahan-kesalahan.
- Kesopanan dan keramahan dalam memberikan pelayanan, berkaitan
dengan prilaku orang-orang yang berintegrasi langsung kepada
pelanggan eksternal.
- Tanggung jawab, berkaitan dengan penerimaan pesanan dan
penanganan keluhan pelanggan eksternal (masyarakat).
- Kemudahan mendapatkan pelayanan, berkaitan dengan banyaknya
petugas yang melayani dan fasilitas pendukung.
- Kenyamanan mendapat pelayanan, berkaitan dengan lokasi, ruangan
tempat pelayanan, tempat parkir, ketersediaan informasi dan petunjuk
panduan lainnya.
- Atribut pendukung lainnya, seperti lingkungan, kebersihan, ruang
tunggu, fasilitas musik, AC, dan lain-lain.
Vincent Gesperz juga mengemukakan manajemen perbaikan
kualitas yang dikenal dengan konsep Vincent.
Konsep ini terdiri dari strategi perbaikan kualitas yaitu :
- Visionary transformation (tranformasi misi)
- Infrastructure (infrastruktur)
- Need for Improvement (kebutuhan untuk perbaikan)
- Customer Focus (Fokus Pelanggan)
- Empowerment (Pemberdayaan)
- NewViews of Quality (pandangan baru tentang kualitas)
- Top Management ( Komitmen manajemen puncak)
4) Prinsip Good Governance
Word Bank maupun UNDP mengembangkan istilah baru yaitu
”governace” sebagai pendamping kata ”government”. Istilah tersebut
sekarang sedang sangat populer digunakan dikalangan akademisi maupun
masyarakat luas. Kata ”governace” kemudian diterjemahkan ke dalam
Bahasa Indonesia dalam berbagai kata. Ada yang menterjemahkan menjadi
”tata pemerintahan”, ada pula yang menterjemahkan menjadi
”kepemerintahan”.29
Perubahan penggunaan istilah dengan pengertiannya akan
mengubah secara mendasar pratek-pratek penyelenggaraan pemerintahan
di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Perubahannya akan mencakup tiga
dimensi yaitu dimensi struktural, dimensi fungsional serta dimensi
kultural. Perubahan struktural menyangkut struktur hubungan antara
pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah, struktur hubungan antara
eksekutif dan legislatif maupun struktur hubungan antara pemerintah
29 Sadu Wasistiono, Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Alqprint Jatinangor,
dengan masyarakat. Perubahan fungsional menyangkut perubahan
fungsi-fungsi yang dijalankan pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun
masyarakat. Sedangkan perubahan kultural menyangkut perubahan pada
tata nilai dan budaya-budaya yang melandasi hubungan kerja
intraorganisasi, antarorganisasi maupun eksraorganisasi.30
United Nation Development Programe (UNDP), memberikan
batasan pada kata governance sebagai “pelaksanaan kewenangan politik,
ekonomi, dan administrasi dalam mengelola masalah-masalah bangsa”.
Governance dikatakan baik (good atau sound) apabila sumber daya publik
dan masalah-masalah publik dikelola secara efektif dan efisien, yang
merupakan respon terhadap kebutuhan masyarakat. Tentu saja pengelolaan
yang efektif dan efisien dan responsive terhadap kebutuhan rakyat
menuntut iklim demokrasi dalam pemerintahan, pengelolaan sumber daya
alam dan pengelolaan masalah-masalah publik yang didasarkan pada
keterlibatan masyarakat, akuntabilitas, serta transparan.
Governance berarti pelaksanaan pemerintahan. Ini berarti good
governance adalah pemerintahan yang baik (lembaga), sedangkan (good
governance) adalah pelaksanaan pemerintahan yang baik
(penyelenggaraannya). Clean government mengandung arti pemerintahan
yang bersih (lembaga), sedangkan Clean government berarti pelaksanaan
pemerintahan yang bersih.
Baik buruknya suatu pemerintahan bisa dinilai bila ia telah
bersinggungan dengan semua unsur prinsip-prinsip good governance
sebagaimana tersebut di bawah ini.31 Partisipasi (Participation)
Sebagai pemilik kedaulatan rakyat, setiap warga negara
mempunyai hak dan kewajiban untuk mengambil bagian dalam
bernegara, berpemerintahan serta bermasyarakat. Partisipasi tersebut
dapat dilakukan secara langsung maupun melalui institusi intermediasi
seperti DPRD, LSM dan lain sebagainya. Partisipasi rakyat warga
negara dilakukan tidak hanya pada tahapan implementasi, tetapi secara
menyeluruh mulai dari tahapan penyusunan kebijakan, pelaksanaan,
evaluasi serta pemanfaatan hasil-hasilnya. Syarat utama warga negara
disebut transparansi dalam kegiatan berbangsa, bernegara dan
berpemerintahan, yaitu :
- Ada rasa kesukarelaan (tanpa paksaan)
- Ada keterlibatan secara emosional
- Memperoleh manfaat secara langsung maupun tidak langsung dari
keterlibatannya.
Penegakan Hukum (Rule of Law)
Good governance dilaksanakan dalam rangka demokratisasi
kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu syarat kehidupan
demokratisasi adalah adanya penegakan hukum yang adil dan
31 Sadu Wasistiono, Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Alqaprint
dilaksanakan tanpa pandang bulu. Tanpa penegakan hukum yang tegas,
tidak akan tercipta kehidupan yang demokratis, melainkan anarki.
Tanpa penegakan hukum, orang secara bebas berupaya mencapai
tujuannya sendiri tanpa mengindahkan kepentingan orang lain,
termasuk menghalalkan segala cara. Oleh karena itu, langkah awal
penciptaan good governance adalah membangu sistem hukum yang
sehat, baik perangkat lunak (software), perangkat keras (hardware)
maupun sumber daya manusia yang menjalankan sistemnya (human
ware).
Transparansi (Transparancy)
Salah satu karakteristik good governance adalah keterbukaan.
Karakteristik ini sesuai dengan semangat zaman yang serba terbuka
akibat adanya revolusi informasi. Keterbukaan tersebut mencakup
semua aspek aktivitas yang menyangkut kepentingan publik mulai dari
proses pengambilan keputusan, penggunaan dana-dana publik sampai
pada tahap evaluasi.
Daya Tanggap (Responsiveness)
Sebagai konsekwensi logis dari keterbukaan, maka setiap
komponen yang terlibat dalam proses pembangunan good governance
perlu memiliki daya tanggap terhadap keinginan maupun keluhan para
pemegang saham (satake holder). Upaya peningkatan daya tanggap
tersebut terutama ditujukan pada sektor publik yang selama ini
cendrung tertutup, arogan serta berorientasi pada kekuasaan. Untuk
oleh sektor publik, secara periodik perlu dilakukan survey tingkat
kepuasan konsumen (custumer satisfaction).
Berorientasi pada Konsenseus (Consensus Orientation)
Kegiatan bernegara, berpemerintahan dan bermasyarakat pada
dasarnya adalah kreatifitas politik, yang berisi dua hal utama yaitu
konflik dan konsensus. Di dalam good governance, pengambilan
keputusan maupun pemecahan masalah bersama lebih diutamakan
berdasarkan konsensus, yang dilanjutkan dengan kesedian untuk
konsisten melaksanakan konsensus yang telah diputuskan bersama.
Konsensus bagi bangsa Indonesia sebenarnya bukanlah hal baru,
karena nilai dasar kita dalam memecahkan persoalan bangsa adalah
melalui “musyawarah”.
Keadilan (Equity)
Melalui prinsip good governance, setiap warga negara memiliki
kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan. Akan tetapi
karena kemampuan masing-masing warga negara berbeda-beda, maka
sektor publik perlu memainkan peranan agar kesejahteraan dan
keadilan dapat berjalan seiring sejalan.
Keefektifan dan Efisiensi (Effectiveness and Efficiency)
Agar mampu berkompetisi secara sehat dalam percaturan dunia,
kegiatan domain dalam governance perlu mengutamakan efektivitas
dan efisiensi dalam setiap kegiatan. Tekanan perlunya efektivitas dan
menjalankan aktivitasnya secara monopolistik. Tanpa adanya
kompetensi tidak akan tercapai efisiensi.
Akuntabilitas (Accountability)
Setiap aktivitas yang berkaitan dengan kepentingan publik perlu
mempertanggungjawabkan kepada publik. Tanggung gugat dan
tanggung jawab tidak hanya diberikan kepada atasan saja melainkan
juga pada para pemegang saham (stake holder), yakni masyarakat luas.
Secara teoritis, akuntabilitas itu sendiri dapat dibedakan menjadi lima
macam yaitu sebagai berikut :
- Akuntabilitas Organisasional / administratif.
- Akuntabilitas legal
- Akuntabilitas politik
- Akuntabilitas profesional
- Akuntabilitas moral
Visi Strategis (Strategic Vision)
Dalam era yang berubah secara dinamis seperti sekarang ini,
setiap domain dalam good governance perlu memiliki visi yang
strategis. Tanpa adanya visi semacam itu, maka suatu bangsa dan
negara akan mengalami ketertinggalan. Visi itu sendiri dapat dibedakan
antara visi jangka panjang (long term vision) antara 20 sampai 25 tahun
(satu generasi) serta visi jangka pendek (short term vision) sekitar 5
tahun.
2 Kerangka Konseptual
Sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah dan saat ini telah diperlakukannya
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 telah membawa berbagai implikasi sebagai
akibat adanya pergeseran kewenangan yang semua bersifat sentralistik
menjadi desentralistik. Artinya kewenangan –kewenangan yang semua
diatur dan ditentukan oleh Pemerintah Pusat otonotis berpindah dan telah
menjadi kewenangan dan tanggung jawab Daerah.
Dalam pada itu, bila dicermati pengertian Pasal 7 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 diterangkan bahwa kewenangan bidang
lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kebijakan tentang
perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara
makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan
lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber
daya manusia, pemberdayaan sumber daya alam serta teknologi tinggi
yang strategis, konservasi dan standardisasi nasional, disebutkan bahwa
posisi pemerintah pusat hanya sebatas menyiapkan dan berbuat yang
bersifat kebijakan-kebijakan saja, dengan pengertian tidak lagi bertindak
sebagai menetapkan setiap kebutuhan daerah.
Bila pergeseran kewenangan termasuk kewenangan yang bertalian
dalam menerbitkan berbagai bentuk tata usaha negara atau administrasi
negara yang semula terpusat/terkonsentrasi (dikuasai) oleh pemerintah
pusat tentu pergesaran tersebut akan termasuk berbagai kewenangan tata
usaha negara atau administrasi negara yang selama ini ditangani pusat akan
Selain itu, dalam Undang-Undang Pemerintaha Daerah disebutkan
pula bahwa otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan
pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan
kepada Daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh
Daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi tersebut berupa
peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik,
pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan.
Makna pengertian Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 dan pengertian otonomi bertanggung jawab, akan terlepasnya
hak dan kewenangan pusat berupa ijin yang meliputi pengesahan,
penghapusan, persetujuan, penetapan dan berbagai kewenangan lain
bergeser/berpindah menjadi hak dan kewenangan Daerah Propinsi,
Kabupaten/Kota.
Begitupun dalam pengertian otonomi luas vide Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya
saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,
keistimewaan dan kekhususan serta potensi dari Daerah dalam sistem
Negara Kesatuan RI inilah prinsip dari otonomi seluas-luasnya itu yaitu
berdasarkan asas otonomi dan urusan pembantuan.
Menurut Bagir Manan,32 ketentuan ini memberikan gambaran
bahwa otonomi daerah itu merupakan wewenang dari daerah.
2) Efektivitas Reformasi Perpajakan
32 Bagir Manan, Fungsi dan Materi Peraturan Perundang-undangan, makalah disampaikan
Upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak salah
satunya melalui:
Reformasi perpajakan (1983) dengan perubahan sistem perpajakan
yaitu dari sistem official assesment, menjadi sistem self assesment.
Perubahan sistem perpajakan didikuti dengan penyempurnaan
administrasi perpajakan melalui perubahan struktur organisasi
melalui reorganisasi, harus terus dilakukan secara
berkesinambungan. Dengan harapan dapat meningkatkan kinerja
yang dapat diukur berdasarkan produktivitas, responsivitas dan
akuntabilitas.
Sasaran Administrasi perpajakan adalah untuk meningkatkan
kepatuhan wajib pajak (Toshiyuki). : Target Akhir administrasi perpajakan
adalah untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak, bahwa dalam sistem
self assesment aktifitas utama administrasi perpajakan adalah untuk
mengawasi kepatuhan dan meyakinkan bahwa wajib pajak menjalankan
kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam hal:
- Pendaftaran wajib pajak
- Penilaian
- Menjalankan Prosedur pemungutan
- Pelaporan penghindaran dan penggelapan pajak
Menurut Bird dan Jantscher terdapat hubungan antara administrasi
ketidak patuhan. Bukan hanya melihat dari aspek peningkatan penerimaan
saja.33
Administrasi pajak yang baik pada dasarnya tidak mampu
mengumpulkan penerimaan pajak sebesar-besarnya. Administrasi
perpajakan yang mudah ditagih, seperti gaji pegawai, tetapi tidak mampu
untuk menagih pajak dari perusahaan-perusahaan dan profesional, jadi
penerimaan pajak bukan merupakan ukuran yang tepat atas efektivitas
administrasi perpajakan. Pengukuran lebih akurat untuk mengetahui
efektivitas administrasi perpajakan adalah berapa besarnya jurang
kepatuhan, yaitu selisih antara penerimaan pajak yang sesungguhnya
dengan penerimaan pajak potensial dengan tingkat kepatuhan dari
masing-masing sektor perpajakan.
Berdasarkan hal tersebut di atas dapat dikatakan bahwa kepatuhan
wajib pajak saat ini masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari aspek
pemenuhan kewajiban perpajakan, khususnya yang berkaitan dengan
kewajiban; pendaftaran, pelaporan SPT dan pelunasan pajak terhutang,
pendeknya kepatuhan WP dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
Pertama : Kepatuhan wajib pajak dalam mendaftarkan diri, jumlah
wajib pajak yang terdaftar pada administrasi pajak masih
sangat rendah (pada tahun 2002 dari 210 juta jumlah
penduduk wajib pajak orang pribadi dan badan yang terdaftar
hanya 2.583.960 wajib pajak. Artinya Sistem Perpajakan
Nasional belum dapat meningkatkan pembayaran beban pajak
33 Chaizi Nasuha, Reformasi Administrasi Publik Teori dan Praktek, Grasindo, Jakarta, 2004,
yang terdistribusi secara merata, karena hanya 10 % lebih
wajib pajak yang menanggung beban pajak (Tax Corverage
Ratio).
Kedua : Kepatuhan wajib pajak untuk menyetor kembali Surat
Pemberitahuan (SPT).
Ketiga : Kepatuhan wajib pajak dalam perhitungan dan pembayaran
pajak terhutang masih rendah (1.068.467 WP atau 41,35%
dari keseluruhan wajib pajak efektif yaitu 2.583.960 wajib
pajak).
Keempat : Kepatuhan dalam pembayaran tunggakan pajak, akumulasi
jumlah nominal tunggakan pajak cukup besar (sampai tahun
2000 Rp. 17,3 Triliun, besarnya jumlah tunggakan dan
rendahnya pencapaian penagihan pajak tiap tahun
menunjukkan bahwa penegakkan hukum melalui penagihan
aktif belum dilaksanakan secara optimal sesuai dengan
ketentuan.
Dengan demikian menurut Chaizi Naruha tersebut terlihat bahwa
ada hubungan/korelasi antara reformasi perpajakan dengan tingkat
kepatuhan wajib pajak.
Menurut Andreoni et, al; Kepatuhan wajib pajak dipengaruhi oleh
banyak faktor antara lain: Pelayanan Publik, kebijakan dan keuangan
publik, penawaran tenaga kerja, jenis pekerjaan, bentuk organisasi, moral
masyarakat, penegakan hukum (audit dan penalti), kompleksitas dan
amnesti pajak.
Mengingat banyaknya faktor yang mempengaruhi kepatuhan wajib
pajak, untuk membatasi permasalahan penelitian ini hanya difokuskan pada
pengaruh efektivitas reformasi administrasi perpajakan terhadap kepatuhan
wajib pajak yang meliputi reformasi organisasi, prosedur organisasi,
strategi organisasi dan budaya organisasi.
Berdasarkan gambaran di atas, terlihat bahwa tingkat kepatuhan
wajib pajak dipengaruhi oleh bagaimana administrasi perpajakan
dijalanka.34
Administrasi perpajakan yang lemah, baik yang menyangkut aspek
struktur organisasi, prosedur organisasi, strategi organisasi maupun budaya
organisasi dapat menyebabkan akuntabilitas organisasi dan tingkat
kepatuhan wajib pajak rendah dan ini berdampak juga pada rendahnya
kinerja perpajakan.
Permasalahan pokok yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah
apakah reformasi administrasi perpajakan yang telah dilakukan selama ini
sudah atau belum secara menyeluruh mencakup perubahan dari aspek
struktur organisasi, prosedur, strategi organisasi, dan budaya organisasi,
sehingga berpengaruh terhadap akuntabilitas organisasi, (SAMSAT/UPTD)
dalam meningkatkan kepatuhan wajib pajak.
3) Kinerja Sektor Publik
Kinerja merupakan tingkat pencapaian tujuan organisasi menurut,
Rue dan Bryan, kinerja adalah tingkat pencapaian (the degree of
accomplishment).
Kinerja bagi setiap organisasi sangat penting terutama penilaian
ukuran keberhasilan suatu organisasi dalam batas waktu tertentu. Berbagai
pendapat menyamakan kinerja (performance) dengan prestasi kualitas
pelaksanaan tugas atau aktivitas pencapaian tujuan dan misinya.35
Di samping itu ada pula pendapat yang menyamakan pengertian
kinerja dengan efisiensi dan efektivitas. (Miles dan Snow 1978, 77-78).
(Interplant, 1969 : 15)36
Atmo Sudirjo, berpendapat bahwa kinerja dapat berarti prestasi
kerja, prestasi penyelenggaraan sesuatu.
Levine, Lima indikator untuk mengukur kinerja sektor publik,
produktifitas, kualitas pelayanan, responsivitas, responsibilitas, dan
akuntabilitas.37
a. Produktivitas adalah ukuran seberapa pelayanan publik itu
menghasilkan yang diharapkan, dari segi efisiensi dan efektivitas.
b. Kualitas pelayanan adalah ukuran-ukuran citra yang diakui masyarakat
mengenai pelayanan yang diberikan yaitu masyarakat merasa puas atau
tidak puas.
c. Responsivitas adalah ukuran kemampuan organisasi untuk mengenali
kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan
publik sesuai kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
d. Responsibilitas adalah ukuran apakah pelaksanaan kegiatan sesuai
dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar.
e. Akuntabilitas adalah ukuran seberapa besar kebijakan dan kegiatan
organisasi publik dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat atau
konsisten dengan kehendak rakyat.
4) Pelayanan Publik dalam Administrasi Negara
Pengertian pelayanan adalah suatu proses bantuan kepada orang
lain dengan cara-cara tertentu yang memerlukan kepekaan dan hubungan
interpersonal agar terciptanya kepuasan dan keberhasilan.38 Sedangkan
pelayanan umum menurut Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan
Aparatur Negara ( Men-Pan ) No. 81 Tahun 1993 adalah segala bentuk
pelayanan umum yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah di pusat, di
daerah dan lingkungan Badan Usaha Milik Negara/Daerah dalam bentuk
barang dan atau jasa, bai dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan
masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Dari pengertian tentang pelayanan umu di atas, terkait beberapa
istilah dalam administrasi Negara, seperti instansi pemerintah, tata laksana,
tata kerja, prosedur kerja, sistem kerja, kewajiban dan seterusnya yang
diuraikan di bawah ini.39
1. Instansi Pemerintah
Yang dimaksud dengan instansi pemerintah di sini adalah sebutan
kolektif yang meliputi satuan kerja atau satuan organisasi suatu
departemen, lembaga pemerintah bukan departemen, instansi pemerintah
lainnya, baik instansi pemerintah di tingkat pusat maupun instansi
pemerintah di tingkat daerah, termasuk BUMN dan BUMD.
2. Tata Laksana
Yang dimaksud dengan tata laksana adalah segala aturan yang
ditetapkan oleh pimpinan instansi pemerintah yang menyangkut tata cara,
prosedur dan sistem kerja dalam melaksanakan kegiatan yang berkenaan
dengan penyelenggaraan tugas dan fungsi pemerintah dan pembangunan
pelayanan di bidang umum.
3. Tata Kerja
Tata kerja dimaksudkan sebagai cara-cara pelaksanaan kerja yang
efisien mengenai satu atau serangkaian tugas dengan memperhatikan
segi-segi tujuan, peralatan, fasilitas, tenaga waktu, ruang, biaya yang tersedia.
4. Prosedur Kerja
Yang dimaksud dengan prosedur kerja adalah rangkaian tata kerja
yang berkaitan satu sama lain, sehingga menunjukkan adanya urutan secara
jelas dan pasti serta cara-cara yang harus ditempuh dalam rangka
penyelesaian suatu bidang tugas.
Sistem kerja di sini diartikan dengan rangkaian tata kerja dan
prosedur kerja yang membentuk suatu kebulatan pola kerja tertentu dalam
rangka mencapai hasil kerja yang diharapkan.
6. Kewajiban
Kewajiban di sini diartikan sebagai aparatur penyelenggaraan
pelayanan umum untuk mengambil tindakan dalam rangka pelaksanaan
tugas dan fungsi sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Dalam
rangka memuaskan masyarakat sebagai pelanggan, kewajiban bukan hanya
melekat pada pejabat, tetapi setiap aparatur dalam lingkungan kerja ketika
bertemu dengan pelanggan. Misalnya wajib untuk menanyakan apa yang
diinginkan pelanggan yang hadir pada waktu itu. Artinya harus proaktif
dalam menyambut kedatangan pelanggan.
F Metode Penelitian a. Pendekatan
Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan empiris
menurut penelitian hukum sosiologis untuk mengetahui efektivitas dan
dampak hukum dari adanya kebijaksanaan publik pelayanan di bidang
perpajakan. Yang diukur dari standar waktu dan biaya berdasarkan Standar
Pelayanan Minimal (SPM). Dalam hal ini secara normatif apakah telah
berhasil atau gagal menciptakan kinerja (pencapaian target penerimaan/
pemungutan pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama kendaraan
bermotor) secara bersamaan yang ditilik dari aspek kepatuhan wajib pajak
(kesadaran hukum masyarakat) dan pemahaman aparat perpajakan dalam
ini menggunakan data kuantitatif dan kualitatif yang diperdapat saat survey
deskriptif, yang disampaikan dalam bentuk deskripsi kualitatif.
b. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan pada Kantor Bersama SAMSAT/ UPTD
Pelayanan Pendapatan Provinsi Sumatera Barat di Padang dengan wilayah
kerja meliputi wilayah otonom dan Administratif Kota Padang yang terdiri
dari sebelas Kecamatan, yaitu Kecamatan Padang Timur, Padang Barat,
Padang Utara, Padang Selatan, Lubuk Begalung, Kuranji, Nanggalo, Koto
Tangah, Teluk Kabung, Lubuk Kilangan dan Pauh dengan 103
kelurahannya. Pengambilan sampel penelitian diambil dari lima kecamatan
tertentu yang padat penduduknya di Kota Padang, sedangkan kecamatan
lain (6 kecamatan) hanya 2 kecamatan (diambil/dipilih) secara acak, sesuai
dengan kompetensi keperluan situasi dan kondisi sampel.
c. Metode dan Alat Pengumpulan bahan hukum.
Teknik pengumpulan data yang digunakan tergantung kepada data
dan sumber data yang dibutuhkan, antara lain adalah :
1) Dokumentasi; untuk mengumpulkan data primer dan sekunder, penulis
menganalisa dokumen-dokumen dalam bentuk tulisan. Data yang
dikumpulkan antara lain tentang APBD, Pendapatan Asli Daerah,
Hukum Pajak Daerah, data kepegawaian, data statistik berupa PDRB,
laporan-laparan dan lain-lain yang berkaitan dengan tujuan penelitian.
2) Observasi; untuk memperoteh informasi serta gambaran empirik
tentang data-data yang diperlukan dengan mengadakan pengamatan
3) Wawancara; adalah percakapan langsung dengan maksud untuk
memperkuat data sekunder yang diperlukan dalam penelitian.
Percakapan itu dilakukan aleh dua pihak yaitu pewawancara
(interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai
(responden). Tehnik wawancara yang digunakan adalah wawancara
terbuka (open interview) dengan maksud agar responden tahu bahwa
mereka sedang diwawancarai dan mengetahui pula maksud wawancara
tersebut. Untuk itu instrumen penelitian yang digunakan adalah
pedoman wawancara (indepth interview) yang merupakan penuntun
bagi peneliti dalam mengembangkan pertanyaan-pertanyaan yang
bersifat terbuka sehingga memberikan kebebasan yang seluas-luasnya
bagi responden untuk menyampaikan pendapatnya.
4) Untuk melengkapi sumber data primer dalam penelitian ini, juga
ditetapkan para fungsionaris pejabat terkait yang berkompeten
mengambil kebijakan terhadap kinerja Dinas Pendapatan Daerah
Provinsi Sumatera Barat dan UPTD Samsat Padang yakni pejabat yang
menempati tingkatan (top management, middle management, dan
lower rrranagement' serta staf) serta para penentu kebijakan pada
Pemerintah Propinsi Sumatera Barat dan Jajaran Polda Sumatera Barat.
d. Populasi dan Sampel
Dari populasi 420 yang didapatkan dari jumlah rata-rata wajib
pajak dan aparat perpajakan terkait setiap harinya, diambil sebagai sampel
sebanyak 42 orang (10%), yang ada pada Kantor Bersama
Padang, dari para wajib pajak dipilih sampelnya sebanyak 42 orang yang
berasal dari masyarakat Kota Padang dalam wilayah 5 kecamatan
sampel/terpilih yaitu Kecamatan Padang Timur 8 orang, Kecamatan
Padang Barat 8 orang, Kecamatan Koto Tangah 8 orang, Kecamatan Lubuk
Begalung 8 orang dan Kecamatan Bungus 28 orang dan 2 orang dari aparat
pajak yang berdomisili di luar Kota Padang.
Teknik yang dipakai dalam pengambilan sampel adalah Stratified
random sampling, karena dcngan cara ini sub kelompok yang spesifik akan
memiliki jumlah yang cukup terwakili dalam sampel, serta menyediakan
jumlah sampel sebagai sub analisis dari anggota kelompok tersebut. Dalam
strategi ini populasi dikategorikan dalam kelompok-kelompok yang
memiliki strata yang sama sesuai karakteristik masing-masing responden.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan
data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari
responden (wajib pajak) dan petugas pajak serta pejabat yang berwenang/
terkait. Untuk melengkapi data yang diperoleh secara langsung dari
responden tersebut, data juga diperoleh dari beberapa informan tertentu,
yaitu orang-orang yang relevan dianggap mengetahui masalah objek
penelitian dengan melakukan wawancara.
Sedangkan Data Sekunder merupakan data yang diperoleh
dari buku referensi dan data yang ada di Dispenda Provinsi Sumatera
Barat, Ditlantas Polda Sumatera Barat, PT. Jasa Raharja (Persero) Cabang
Sumatera Barat dan Kantor Bersama Samsat Sumatera Barat di Padang.
Samsat, seperti sumber daya yang tersedia, meliputi manusia (kualitas dan
kuantitas) dan prasarana serta wajib pajak yang dilayani.
Selain itu, Data Sekunder ini diperoleh melalui penelitian kepustakaan
yang bersumber dari :
1. Bahan Hukum Primer, antara lain :
a. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah;
b. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman
Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal.
c. Instruktur Presiden No. 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja
Instansi Pemerintahan.
d. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan Mutu
Pelayanan Aparatur Pemerintahan Kepada Masyarakat.
e. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 63/KEP/
M.PAN/2003 tentang Pedoman Umum Penyeleng-garaan Pelayanan
Publik.
f. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2006 tentang
Standarisasi Sarana dan Prasarana Kerja Pemerintah Daerah.
g. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu.
h. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara :
Kep/25/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks
i. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No.
Kep/26/M.PAN/2/2004 tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan
Akuntabilitas dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik.
j. Surat Keputusan Bersama Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima
ABRI, Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri Nomor
PoI/KEP/13/XII/1976, Nomor KEP.1693/MK/TU/12/1976 dan Nomor
311 Tahun 1976, tentang Peningkatan Kerjasama antara Pemerintah
Daerah Tingkat I, Komando Daerah Kepolisian dan Aparat
Departemen Keuangan dalam rangka peningkatan pelayanan kepada
masyarakat serta peningkatan Pendapatan Daerah khususrya
mengenai Pajak Kendaraan Bermotor;
k. Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pajak Kendaraan
Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
l. Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2003 tentang Bea Balik Nama
Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
m. Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2002 tentang Pajak Pengambilan
dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan;
n. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 1973 tentang Pembentukan Dinas
Pendapatan Daerah;
o. Surat Keputusan Gubernur Sumatera Barat Nomor 22 Tahun 2001
tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana
p. Keputusan Gubernur Sumatera Barat Nomor 57 Tahun 2004 tentang
Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik di lingkungan
Pemerintah Provinsi Sumatera Barat.
q. Surat Keputusan Bersama Direktur Lalu Lintas Kepolisian Daerah
Sumatera Barat dan Kepala Dinas Pendapatan Daerah Propinsi
Sumatera Barat dan Kepala Cabang Jasa Raharja ( Persero ) Sumatera
Barat Nomor : B/24/I/2006/DITLANTAS per Nomor: 973/043/
PAJAK-2006/ Nomor: P/1/SPP/2006, tanggal 24 Januari 2006,
tentang Standar Pelayanan Minimal Penerbit STNK, Pembayaran
Pajak Kendaraan Bermotor ( PKB ), Bea Balik Nama Kendaraan
Bermtor ( BBNKB ), dan Sumbangan Wajib dana Kecelakaan Lalu
Lintas Jalan ( SWDKLLJ ). Pada Kantor Bersama SAMSAT Di
Sumatera Barat.
r. Surat Edaran Kepala Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Sumatera
Barat Nomor 065/181/Dipenda-2006, 28 Februari Tahun 2006 tentang
Standar Pelayanan Minimal ”Penerbitan Naskah Dinas dalam bentuk
surat yang berkaitan dengan Pelayanan Umum yang diberikan oleh
Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Sumatera Barat.
s. Produk hukum yang berlaku dan relevan lainnya.
2. Bahan Hukum Sekunder
Dihimpun melalui kegiatan penelitian dengan memanfaatkan media cetak
dan elektronik berupa buku-buku, tesis, majalah, surat kabar, internet dan
sebagainya.
Yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum
sekunder, seperti ensiklopedi, kamus, dan lain-lain
d. Teknik Analisis Bahan Hukum (Kualitatif)
Teknik analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini dilakukan
secara kualitatif. Setelah data primer terkumpul, dilakukan pengelompokan
data dan pengeditan guna mengidentifikasi data yang relevan dengan pokok
permasalahan penelitian. Setelah itu data dianalisis.
Analisis data dimaksudkan adalah untuk menyederhana-kan data agar
menjadi informasi yang dapat digunakan dalam menjelaskan permasalahan
penelitian. Pada tahap ini analisis data dilakukan setelah semua informasi
dianggap cukup memadai oleh peneliti. Langkah yang dilakukan untuk
menganalisi data yaitu melakukan penyederhanaan informasi yang diperoleh
dengan memilah-milah informasi berdasarkan kategori yang telah disiapkan
dalam blanko tanggapan dan daftar wawancara dengan menggunakan aturan
positif yang ada dan teori-teori maupun pendapat yang disinggung dalam
tinjauan pustaka, sehingga dapat ditafsirkan untuk merumuskan kesimpulan
penelitian.
BAB II
PELAYANAN PUBLIK DIBIDANG PERPAJAKAN
1. Pengertian
Pelayanan adalah suatu cara melayani, membantu menyiapkan,
mengurus dan menyelesaikan keperluan kebutuhan mayarakat, baik
secara perorangan, kelompok dan atau golongan, organisasi ataupun
sekelompok anggota organisasi).40
Dalam pengertian pelayanan tersebut terkandung suatu kondisi
bahwa yang melayani memiliki suatu keterampilan, keahlian dibidang
tertentu. Berdasarkan keterampilan dan keahlian tersebut pihak aparat
yang melayani mempunyai posisi atau nilai lebih dalam kecakapan
tertentu, sehingga mampu memberikan bantuan dalam menyelesaikan
suatu keperluan, kebutuhan individu atau organisasi.
Dalam pengertian pelayanan tersebut secara konkrit diutarakan :
1) Pelayanan merupakan salah satu tugas utama aparatur pemerintah,
termasuk pelaku bisnis.
2) Obyek yang dilayani : masyarakat (publik)
3) Bentuk pelayanan itu berupa barang dan jasa yang sesuai dengan
kepentingan kebutuhan masyarakat dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Dengan demikian pelayanan publik dapat diartikan sebagai suatu
proses pemenuhan kebutuhan masyarakat terutama yang berkaitan
dengan kepentingan umum dan kepentingan golongan atau individu
dalam bentuk barang dan jasa.
40Sianipar, J.PG. Manajemen Pelayanan Masyarakat, (Jakarta:Lembaga Administrasi Negara
Pelayanan adalah suatu bentuk kegiatan pelayanan yang
dilaksanakan oleh instansi pemerintah baik di pusat dan daerah maupun
BUMN dan BUMD dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam kamus besar bahasa
Indonesia dinyatakan bahwa pelayanan publik adalah suatu usaha untuk
membantu menyiapkan (mengurus) apa yang diperlukan orang lain.41
Dalam pelaksanaannya pelayanan dilakukan secara pelayanan
profesional, dan prima artinya dilakukan secara konkrit bahwa yang
melayani harus memiliki suatu kemampuan dalam melayani, menanggapi
kebutuhan khas (unik, khusus, istimewa) orang lain agar mereka puas.
Pelayanan prima merupakan pelayanan yang memenuhi standar pelayanan
terhadap permintaan, keinginan, dan harapan masyarakat yang mempunyai
nilai yang tinggi dan bermutu (berkualitas).
Selanjutnya, Drs. H. Tamaruddin dalam Pengembangan Pelaksanaan
Pelayanan Prima menyebutkan : Tujuan dari pelayanan prima adalah
memuaskan dan atau sesuai dengan keinginan pelanggan. Untuk mencapai
hal itu, diperlukan kualitas pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan dan
atau keinginan pelanggan. Zeithaml et el, (1990) seperti dikutip Yun,
Yong, dan Loh (1998) menyatakan bahwa mutu pelayanan didefinisikan
oleh pelanggan, yaitu kesesuaian antara harapan dan atau keinginan
dengan kenyataan.
2. Konsepsi Pelayanan
41 Tamaruddin, Pengembangan Polaksanaan Polayanan Prima (Padang: Badan Pendidikan
Kekuasaan dan wewenang pemerintah bersumber dari rakyat.
Oleh karena itu, maju atau mundurnya suatu pemerintah ditentukan
dukungan rakyat. Untuk mempertahankan dan meningkatkan pelayanan
diperlukan dukungan, kepercayaan, loyalitas masyarakat, seyogyanya
aparat pemerintah pada semua bidang dan tingkat menerapkan suatu
konsep pelayanan berwawasan pada pemenuhan kebutuhan, keperluan,
kepentingan masyarakat. Segala kebijakan, peraturan, program yang
ditetapkan hendaknya berorientasi kepada kepuasan masyarakat. 42
Menurut Sianipar aparatur pemerintah hendaknya selalu lebih
mengutamakan kepentingan masyarakat, lebih mempercepat proses
penyelesaian urusan masyarakat, memberikan yang lebih berkualitas, lebih
baik, lebih murah, lebih cepat, lengkap dan tuntas.
Aparat pemerint