• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektivitas Pelayanan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor pada Dinas Pendapatan Daerah Propinsi Sumatera Barat (Suatu Kajian Dalam Perspektif Hukum Administrasi Negara).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efektivitas Pelayanan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor pada Dinas Pendapatan Daerah Propinsi Sumatera Barat (Suatu Kajian Dalam Perspektif Hukum Administrasi Negara)."

Copied!
158
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Sejak diberlakukannya Undang Undang No. 22 Tahun 1999 dan kemudian

dirubah menjadi Undang Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

sebagai penganti Undang Undang No. 5 Tahun 1974, diskusi tentang efektivitas

pelayanan publik dalam otonomi daerah menjadi semakin menarik untuk

dibicarakan.

Permasalahannya karena sudah 2 (dua) kali perubahan undang-undang

tersebut dilakukan, namun peningkatan pelayanan publik publik sebagai

sasarannya selalu dipertanyakan, bahkan ada diskusi yang membahas bahwa

Undang Undang No. 32 Tahun 2004 perlu lagi perubahan.

Undang-undang ini merupakan implimentasi pasal 18 ayat (1) UUD 1945

yang mengatakan bahwa Negara Republik Indonesia merupakan negara kesatuan

yang dibagi atas daerah-daerah propinsi dan propinsi terdiri dari daerah kabupaten

dan kota yang mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dalam undang-undang.

Selanjutnya, pasal 2 ayat (2) menyebutkan bahwa pemerintah daerah propinsi,

daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan

menurut azas otonomi dan tugas perbantuan. Dalam menjalankan otonomi dan

tugas perbantuan, kecuali urusan pemerintah pusat, pemerintah daerah berhak

menetapkan peraturan daerah dan peraturan lain sesuai dengan ketentuan berlaku.

Pada dasarnya, maksud pasal 18 UUD 1945 tersebut adalah mempercepat

(2)

pemberdayaan dan peran serta masyarakat.1 Selanjutnya dijelaskan bahwa

pemerintahan daerah dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas

penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan antar susunan

pemerintahan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah

dalam sistem Negara Kesatuan RI. Dalam berbagai aspek UU No. 32 Tahun 2004

mengatur hubungan keuangan pusat dan daerah, pelayanan umum, pemanfaatan

sumber daya alam dan sumber daya lainnya secara adil dan selaras.

Di samping itu, dalam menjalankan perannya, daerah diberikan

kewenangan yang seluas-luasnya disertai dengan pemberian hak dan kewajiban

menyelenggarakan Otonomi Daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan

pemerintahan negara.2

Masalah pelayanan publik di Indonesia masih sangat memprihatinkan,

karenanya pemerintah masih perlu membuat strategi dan kebijakan agar dapat

memenuhi hak azazi warga negara dan membutuhkan solusi menyeluruh untuk

membuat pelayanan publik yang baik.3 Sebagai gambaran dan fenomena pelayanan

publik di Provinsi Sumatera Barat saat ini seperti terlihat rendahnya tingkat kinerja

aparatur penyelenggara pemerintahan di daerah. Indikasi menunjukan bahwa

Pemerintah Daerah melalui Peraturan Gubenur Sumatera Barat Nomor 74 Tahun

2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Tahun

2006 - 2010 menempatkan hal ini sebagai skala prioritas utama. Dalam bagian IV,

(Agenda penyelenggaraan pemerintahan daerah yang baik dan bersih Bab II diatur

11 Penjelasan Umum, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,

Publik CV. Jaya Jakarta, Cetakan Pertama, 2004. hal. 125.

22 Ibid, hal. 123, 124

3 Wacana HAM, Pandangan Publik yang memprihatinkan Edisi 17, Tahun III, 15 Oktober

(3)

tentang Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik)4 yang menerangkan bahwa

berdasarkan hasil identifikasi dalam pembinaan pelayanan publik masih banyak

permasalahan yang perlu ditindaklanjuti dan diselesaikan seperti : belum

kompetitif, transfaran dan akuntabilitas proses pelayanan publik, rendahnya etos

kerja aparatur, pelayanan publik belum didukung oleh teknologi informasi serta

belum ada instrumen yang jelas untuk mengevaluasi kualitas pelayanan.

Sasaran yang hendak dicapai dalam peningkatan kualitas pelayanan publik

tahun 2006-2010 ke depan adalah :

1. Terlaksananya pelayanan publik kepada masyarakat sesuai dengan standar

layanan yang ditetapkan.

2. Tercapainya transparansi dalam proses pelayanan publik.

3. Meningkatnya etos kerja, profesionalisme dan kompetensi aparatur.

4. Meningkatnya kemandirian masyarakat dalam mendapatkan pelayanan

publik.

5. Meningkatnya pengguna teknologi informasi dalam pemberian pelayanan

publik.

6. Meningkatnya peran masyarakat terhadap penilaian kinerja aparatur

pelayanan publik.

Dalam RPJMD tersebut ditetapkan arah kebijakan, program pengembangan

pelayanan publik dan pengembangan partisipasi publik (masyarakat) yang berada

dalam agenda penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih bersamaan

dengan sub-sub agenda lainnya, yaitu : peningkatan kemampuan pemerintah

daerah, peningkatan kualitas pelayanan publik, pemberantasan korupsi, kolusi dan

(4)

nepotisme, pembangunan hukum dan perlindungan hak azazi manusia, peningkatan

keamanan dan ketertiban.

Dengan demikian "masalah" Pelayanan publik sudah diakomodir dalam suatu

konsepsi dan strategi kebijakan untuk kurun waktu 2006-2010 mendatang yakni

dengan isu bagaimana meningkatkan kualitas pelayanan publik tersebut dari tahun

ke tahun yang disinyalir seakan-akan berjalan di tempat.

Berdasarkan fakta dalam RPJMD Propinsi Sumatera Barat, betapa rendahnya

kualitas pelayanan publik tersebut, salah satu diantaranya terdapat pada Perangkat

Daerah/Dinas (Satuan Kerja Perangkat Daerah) yaitu Dinas Pendapatan Daerah.

Fakta lain menjelaskan, walaupun jumlah penerimaan daerah yang berasal dari

Pendapatan Asli Daerah (PAD) cenderung menunjukan peningkatan dan memberikan

kontribusi yang besar terhadap penerimaan daerah, pencapaian hasil relatif masih

dibawah target. Khususnya pencapaian target (realisasi) penerimaan pajak daerah

dari sub-sektor Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan

Bermotor (BBN-KB).

Bertitik tolak dari fakta dan kenyataan di atas, maka penulis tertarik untuk

melakukan penelitian dan penulisan ilmiah dengan menyingkap dan

menganalisanya secara mendalam dengan penekanan yang diarahkan kepada

peningkatan pelayanan publik terutama terhadap sub sektor pajak daerah yang

berasal dari pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama kendaraan bermotor

melalui Dinas Pendapatan Daerah Cq. UPTD Pelayanan Pendapatan Provinsi

Sumatera Barat di Padang, melalui Kantor Bersama SAMSAT.

Pelaksanaan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh unit pelayanan

(5)

yaitu pihak Pemerintah Provinsi c.q. Dinas Pendapatan Daerah, Polri c.q.

Kepolisian Daerah dan PT. AK Jasa Raharja. Dengan adanya 3 unit kerja masalah

yang ditemukan dalam pelayanan adalah bertemunya 3 (tiga) kepentingan yang

berbeda yang saling membutuhkan dan saling berhubungan, namun menyatu dan

saling berkaitan (Simbiose Mutualistis).

Ketiga unit kerja ini sama-sama bertujuan memberikan pelayanan publik

secara prima kepada masyarakat. Pihak Pemda dalam memberikan pelayanan

bertujuan untuk peningkatan penerimaan daerah yang diperlukan bagi keperluan

dana pembangunan yang berasal dari sumber-sumber PAD, sedangkan di pihak lain

Polda lebih berkepentingan dalam masalah pengidentifikasian kepemilikan dan

keamanan.

Pengelolaan kebijakan melalui Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap

(SAMSAT) sudah sesuai dengan maksud Undang Undang 32 Tahun 2004, namun

efektivitas keberadaan pola dan sistem SAMSAT masih perlu penyempurnaan.

Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan kajian karena sepengatahuan

penulis belum ada yang menelaahnya, terutama bila dikaitkan dengan suasana dan

nuansa tuntutan tatanan Pemerintahan yang Baik dan Bersih (Good Governance

and Clean Government). Penulisan dan penganalisaan mempedomani teori-teori

menurut Ilmu Hukum Administrasi Negara, dikaitkan dengan aspek normatif dari

berbagai ketentuan peraturan perundangan dengan judul : Efektivitas Pelayanan

Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor pada Dinas

Pendapatan Daerah Propinsi Sumatera Barat (Suatu Kajian Dalam Perspektif

(6)

B. Rumusan Permasalahan

Adapun pokok bahasan penelitian ini, akan ditinjau dari perspektif Hukum

Administrasi Negara yakni :

a. Sejauh mana pelayanan publik di bidang perpajakan pada Dispenda cq.

UPTD Pelayanan Pendapatan Prop. Sumbar di Padang melalui Kantor

Bersama Samsat terhadap Pengelolaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea

Balik Nama Kendaraan Bermotor (PKB dan BBN-KB) efektivitasnya

(efektif dan efisien) mewujudkan "Pemerintahan Yang Baik dan Bersih

(Good Governance and Glean Government)?

b. Faktor-faktor dominan apa saja yang mempengaruhi efektivitas pelayanan

sesuai Standar Pelayanan Minimal (SPM) kepada wajib pajak agar sejalan

dengan peningkatan pemasukan pendapatan daerah (pemungutan Pajak

Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor) baik

secara intensifikasi maupun ekstensifikasi?

C. Tujuan Penelitian

Mengetahui efektivitas pelayanan umum yang diberikan oleh instansi

Pemerintah Provinsi Sumatera Barat Cq. Dinas Pendapatan Daerah cq.

UPTD PPP di Padang, melalui kantor bersama SAMSAT kepada wajib

pajak (masyarakat pemilik kendaraan bermotor).

Mengetahui peranan dan fungsi UPTD PPP di Padang dalam mengelola

kewenangannya dalam mengelola sumber pendapatan daerah yang menjadi

tugas dan urusan sesuai dengan kewenangan dalam kompetensi wilayah

(7)

D. Manfaat Penelitian

Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis dari hasil penelitian diharapkan dapat memberikan

kontribusi dan sumbangan pemikiran untuk pengembangan Hukum

Administrasi Negara di Bidang Tata Pemerintahan Daerah pada umumnya,

serta Hukum Perpajakan/Pajak Daerah pada khususnya.

Manfaat Praktis

Manfaat praktis, hasil penelitian diharapkan sebagai kontribusi sumbangan

pemikiran dalam upaya meningkatkan kinerja SKPD serta kualitas kerja

aparat pemerintahan daerah dalam memberikan pelayanan publiknya

kepada wajib pajak/masyarakat.

E. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1 Kerangka Teoritis

1) Otonomi Daerah

Pengertian otonomi daerah yang melekat dalam keberadaan

pemerintah daerah, juga sangat berkaitan dengan desentralisasi. Baik

pemerintahan daerah, desentralisasi maupun otonomi daerah, adalah bagian

dari suatu kebijakan dan praktek penyelenggaraan pemerintahan, tujuannya

adalah demi terwujudnya kehidupan masyarakat yang tertib, maju dan

sejahtera, setiap orang bias hidup tenang, nyaman, wajar oleh karena

memperoleh kemudahan dalam segala hal di bidang pelayanan

masyarakat.5

5 Parjoko, Filosofi Otonomi Daerah Dikaitkan dengan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22

(8)

Oleh karena itu keperluan otonomi di tingkat lokal pada hakekatnya

adalah untuk memperkecil intevensi pemerintah pusat kepada daerah.

Dalam Negara Kesatuan (unitarisme) otonomi daerah itu diberikan oleh

pemerintah pusat (central government), sedangkan pemerintah daerah

hanya menerima penyerahan dari pemerintah pusat.6 Berbeda halnya

dengan otonomi daerah di Negara federal, dimana otonomi daerah sudah

melekat pada negara-negara bagian.

Secara normatif, penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada

pihak lain (pemerintah daerah) untuk dilaksanakan disebut dengan

desentralisasi. Desentralisasi sebagai suatu system yang dipakai dalam

system pemerintahan merupakan kebalikan sentralisasi. Dalam system

sentralisasi, kewenangan pemerintah baik di pusat maupun di daerah,

dipusatkan dalam tangan pemerintahan pusat.7

Dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan negara yang

menganut prinsip pemencaran kekuasaan secara vertikal, membagi

kewenangan kepada pemerintah daerah bawahan dalam bentuk penyerahan

kewenangan. Penerapan prinsip ini melahirkan model pemerintahan daerah

yang menghendaki adanya otonomi dalam penyelenggaraannya. Dalam

sistem ini, kekuasaan negara terbagi antara pemerintah pusat di satu pihak

dan pemerintah daerah di lain pihak. Penerapan pembagian kekuasaan

dalam rangka penyerahan kewenangan otonomi daerah, antara negara yang

6 Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, Pustaka SInar Harapan, Jakarta, Cetakan

1, Juli, 1999.

(9)

satu dengan negara yang lain tidak sama, termasuk Indonesia yang

menganut negara kesatuan.8

Philip Mawhood menyatakan desentralisasi adalah pembagian dari

sebagian kekuasaan pemerintah oleh kelompok yang berkuasa di pusat

terhadap kelompok-kelompok lain yang masing-masing memiliki otorisasi

dalam wilayah tertentu suatu negara.9

Sementara itu, B.C. Smith mendefenisikan desentralisasi sebagai

proses melakukan pendekatan kepada pemerintah daerah yang

mensyaratkan terdapatnya pendelagasian kekuasaan (power) kepada

pemerintah bawahan dan pembagian kekuasaan kepada daerah. Pemerintah

pusat diisyaratkan untuk menyerahkan kekuasaan kepada Pemerintah

Daerahseagai wujud pelaksanaan desentralisasi.10

Tujuan desentralisasi secara umum oleh Smith dibedakan atas 2

(dua) tujuan utama, yakni tujuan politik dan ekonomis. Secara politis,

tujuan desentralisasi antara lain untuk memperkuat pemerintah daerah,

untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan politik para

penyelenggara pemerintah dan masyarakat, dan untuk mempertahankan

integritas nasional. Sedangkan secara ekonomi, tujuan desentralisasi,

antara lain adalah untuk meningkatkan kemampuan pemerintah daerah

dalam menyediakan public good and service, serta untuk meningkatkan

efisiensi dan efektifitas pembangunan ekonomi di daerah.11

8 Bambang Yudoyono, makalah Telaah Kritis Implementasi UU NO. 22/1999, Upaya Mencegah

Desintegrasi Bangsa, disampaikan pada seminar dalam rangka kongres ISMAHI di Bengkulu, 22 Mei 2000.

9 Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006. 10 Ibid.

(10)

Sedangkan D. Juliantara, dkk memberikan pengertian desentralisasi

dengan merujuk pada asal katanya, bahwa istilah desentralisasi berasal dari

bahasa latin, de artinya lepas dan centrum artinya pusat.12 Lebih jauh ia

menyebutkan desentralisasi yang dimaknai dalam konteks yang lebih luas,

bahwa konstek negara-negara demokrasi modern, kekuasaan politik

diperoleh melalui pemilihan umum yang diselenggarakan secara regular

dan serentak di setiap daerah untuk memberikan legitimasi terhadap tugas

dan wewenang lembaga-lembaga politik di tingkat nasional dan juga di

tingkat local sendiri. Dengan kata lain, kekuasaan pemerintah daerahlah

yang memintah dan menarik kembali sebagian kewenangan yang telah

diberikan kepada pemerintah pusat, bukan karena kebaikan hati pemerintah

pusat.13

Dengan demikian jelaslah, bahwa desentralisasi akan melahirkan

otonomi daerah dan bahkan kadangkala sulit untuk membedakan

pengertian diantara keduanya secara terpisah. “Desentralisasi dan otonomi

daerah bagaikan dua sisi mata uang yang saling memberi makna satu sama

lainnya. Lebih spesifik, ungkin tidak berlebihan ila dikatakan ada atau

tidaknya otonomi daerah sangat ditentukan oleh beberapa jauh wewenang

yang telah didesentralisasikan oleh Pemerintah Pusat ke Pemerintah

Daerah. Itulah sebabnya, dalam studi Pemerintahan Daerah, para analis

sering menggunakan istilah desentralisasi dan otonomi daerah secara

bersamaan, interchange”.

12 D. Juliantara, dkk. Desentralisasi Kerakyatan, Gagasan da Praksis, Pondok Edukasi, Bantul,

2006.

(11)

Adanya otonomi daerah dalam negara, dilatarbelakangi oleh

pengalaman masa lalu dimana keberadaan negara hanya dianggap sebagai

instrument oleh kaum kapitalis. Kondisi ini kemudian melahirkan konsep

Marxis tentang Instrumental State. Demikian halnya paham Sosialis yang

menghendaki adanya otonomi dari pengaruh partai politik (partai komunis)

yang cenderung mengintervensikan kehidupan negara. Dalam hubungan ini

negara menginginkan otonomi untuk memperkecil dan bahkan

menghilangkan pengaruh-pengaruh ataupun intervensi kaum-kaum

kapitalis dan sosialis. Berbeda halnya dengan pemberian otonomi dengan

pemerintah local, yaitu untuk memperbesar kewenangan mengatur dan

mengurus rumah tangganya sendiri.14

Oleh karena itu, keperluan otonomi di tingkat local pada hakikatnya

adalah untuk memperkecil intervensi pemerintah pusat kepada daerah.

Dalam negara kesatuan (unitarisme) otonomi daerah itu diberikan oleh

pemerintah pusat (central government), sedangkan pemerintah daerah

hanya menerima penyerahan dari pemerintah pusat. Berbeda halnya

dengan otonomi daerah di negara federal, di mana otonomi daerah sudah

melekat pada negara-negara bagian.

Reuter, mengemukakan, desentralisasi adalah sebagian pengakuan

atas penyerahan wewenang oleh badan-badan umum yang lebih tinggi

kepada badan-badan umum yang lebih rendah untuk secara mandiri dan

berdasarkan pertimbangan kepentingan sendiri mengambil keputusan

pengaturan dalam pemerintahan, serta struktur wewenang yang terjadi.

(12)

Dalam hal itu Rondineli, mengatakn bahwa desentralisasi dari arti luas

mencakup setiap penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat baik

kepada daerah maupun kepada pejabat pemerintah pusat yang ditugaskan

di daerah.15

Koeswara, mengemukakan, bahwa pengertian desentralisasi pada

dasarnya mempunyai makan bahwa melalui proses desentralisasi

urusan-urusan pemerintahan yang semua termasuk wewenang dan tanggung jawab

pemerintah pusat, sebagian diserahkan kepada badan/lembaga

pemerintahan di daerah.16

Prakarsa untuk menemukan prioritas, memilih alternatif dan

mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan daerahnya, baik

dalam hal menentukan kebijaksanaan, perencanaan, maupun pelaksanaan

sepenuhnya diserahkan kepada daerah.

Lebih dalam lagi, bila kita cermati prinsip-prinsip hukum dalam

pengelolaan masalah-masalah bangsa (nation affairs) ke depan governance

dikatakan baik (good atau sound) apabila sumber daya dan

masalah-masalah publik dikelola secara efektif dan efisien serta aspiratif yang

didasarkan kepada transparansi, akuntabilitas dan partisipasi masyarakat

serta rule of law.

Oleh karena itu pelaksanaan kewenangan politik, ekonomi dan

administrasi dalam mengelola masalah-masalah layanan tersebut perlu

memperhatikan prinsip-prinsip hukum pengelolaan sumber daya yang

15 Oentara Sm, dkk, Menggagas Format Otonomi Daerah Masa Depan, Samitra Media Utama,

Jakarta, 2004.

16 Koeswara, Prospek Pengembangan desentralisasi dan Otonomi Daerah dengan Titik Berat

(13)

dimiliki, seperti prinsip good governance, subsidiarity, equity, privaty use,

prier appropriation (first in time, first in right), sustainable development,

good sustainable development govermance dan participatory

development.

Menurut peneliti prinsip subsidiarity dalam pelaksanaan otonomi

daerah dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia sangat relevan

dan tepat dipedomani dan diterapkan dalam pengelolaan sumber daya

pendapatan daerah, karena menurut teori subsidiarity secara lugas dan

tegas dikatakan bahwa kewenangan yang telah diberikan oleh pemerintah

tingkat lebih atas (pusat) kepada pemerintah tingkat lebih rendah (seperti

provinsi dan atau kabupaten/kota) akan dapat ditarik kembali oleh tingkat

lebih atas bila ternyata tingkat lebih rendah yang menerimanya tidak dapat

melaksanakan kewenangan (urusan/administrasi)-nya sebagai mana

mestinya.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kemampuan pemerintah

provinsi dalam menjalankan urusan otonomi daerahnya di bidang

perpajakan including/ termasuk di dalamnya pemberian pelayanan publik

yang baik terhadap wajib pajak sektor tertentu jelas akan menjadi ukuran

tingkat kemampuan yang realistas bagi suatu pemerintah provinsi tersebut.

Artinya bila pemerintah provinsi ternyata tidak mampu mengelola

kewenangan dan administrasi pengelolaannya dengan baik, maka

pemerintah pusat memiliki otoritas penuh untuk menarik kembali

penyerahan/pemberian kewenangan untuk mengelola urusan seperti

(14)

Berdasarkan penjelasan di atas, kita dapat memahami bahwa salah

satu tujuan otonomi yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang

semakin baik. Untuk itu dengan desentralisasi diharapkan daerah akan

memberikan pelayanan yang lebih baik dibandingkan dengan sistem

sentralistik. Pelayanan pemerintah dengan sistem sentralistik. Pelayanan

pemerintah di era otonomi, diharapkan akan lebih baik dan aspiratif,

sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Sasaran dari kemandirian daerah adalah agar daerah dapat

mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Kertergantungan daerah

terhadap pusat dalam pengambilan berbagai keputusan publik

diminimalkan. Diharapkan keputusan publik yang dibuat oleh daerah bagi

kepentingan masyarakatnya akan lebih cermat, lebih tepat dan lebih cepat

atau dengan kata lain pelayanan akan lebih berdaya guna dan berhasil

guna.17

Kemandirian daerah ini adalah dimaksudkan untuk tujuan

pemberian pelayanan yang efisien, partisipatif dan akhirnya peningkatan

daya saing daerah. Keputusan publik yang cermat, tepat dan cepat itu

adalah merupakan cerminan dari efisiensi pelayanan. Pendirian sebuah

sekolah dikatakan efisien bila daya tampungnya terpenuhi. Keputusan

pembuatan jalan raya efisien bila jalan tersebut bermanfaat oleh

masyarakat yang ada di sekitarnya. Begitu juga halnya dengan pendirian

rumah sakit pada lokasi tertentu.

17 Syahruddin dan Werry Darta Taifur, Peranan DPRD untuk Mencapai Tujuan Desentralisasi

(15)

Dalam rangka itu reposisi daerah hendaknya dipahami sebgai upaya

mengaktualisasikan berbagai potensi dan aspirasi masyarakat daerah,

sehingga rakyat di daerah dapat mengekspresikan kepentingan dan

kehendaknya. Untuk itu pemerintah daerah perlu menyusun kerangka kerja

yang memungkinkan terserapnya berbagai potensi dan aspirasi rakyat

terutama prinsip pelayanan.

Mengingat tujuan utama dibentuknya pemerintahan adalah untuk

menjaga sistem ketertiban di dalam masyarakat, sehingga bisa menjalani

kehidupannya secara wajar. Pemerintah diadakan tidaklah untuk melayani

dirinya sendiri tetapi juga untuk melayani masyarakat,18 dalam

mengembangkan kemampuan dan kreatifitasnya demi mencapai tujuan

bersama.

Untuk mencapai pelaksanaan pelayanan umum tersebut dibutuhkan

oaparatur yang berkualitas, memiliki kemampuan dalam melayani,

memenuhi kebutuhan, menanggapi keluhan masyarakat secara

memuaskan, sesuai dengan ekspektasi (harapan) mereka melalui

kebijaksanaan, perangkat hukum yang berfungsi sebagai acuan dalam

pengendalian, pengaturan agar kekuatan sosial dan aktivitas masyarakat

tidak membahayakan negara dan bangsa.

Teori pemerintahan modern mengajarkan bahwa untuk

mewujudkan good governance perlu dijalankan desentralisasi

pemerintahan.19 Dengan desentralisasi pemerintahan maka pemerintahan

18 Ryaas Rasyid, Makna Pemerintahan : Tinjauan dari Segi Etika dan Kepemimpinan, PT. Yarsif

Watampone, Jakarta, 1997.

(16)

akan semakin dekat dengan rakyat. Asumsinya pemerintahan yang dekat

denagn rakyat, maka pelayanan yang diberikan menjadi lebih cepat, hemat,

murah, responsif, inovatif, akomodatif dan produktif. Ryaas Rasyid

mengatakan ”the closer givernment, the better it service”.20 Dalam

desentralisasi terkandung makna otonomi dan demokratisasi. Dua kata

tersebut yakni otonomi dan demokrasi tidak mungkin dipisahkan, ia ibarat

dua sisi mata uang yang satu dan yang lain saling memberi nilai. Otonomi

tanpa demokratisasi merupakan suatu keniscayaan21 dan sebaliknya

demokratisasi tanpa otonomi adalah kebohongan. Dalam sejarah otonomi

di Indonesia sejak kemerdekaan memang sarat dengan kebohongan.

Yuridis formal dalam undang-undang pemerintahan daerah otonomi diakui,

tetapi dalam implementasinya terjadi pemasungan-pemasungan melalui

filter-filter yuridis peraturan pelaksanaan undang-undang tersebut,

akibatnya kemandirian dan otoaktivitas daerah menjadi tersumbat. Hal

itulah yang kemudian melahirkan resistensi daerah terhadap pusat yang

sangat menguras energi menyelesaikannya. Adanya otonomi kebijakan

otonomi khusus bagi Propinsi Aceh dan Irian Jaya memang lahir di tengah

derasnya tuntutan disintegrasi. Hal itu jika pusat menyadari secara filosofis

dan sosiologis otonomi yang dibangun bikan linear atau simetris tetapi

suatu asymmetric decentralization.22

20 M. Ryaas Rasyid, Desentralisasi dalam Rangka Menunjang Pembangunan Daerah, dalam

Administrasi Pembangunan Indonesia, LP3ES, 1998, hal. 140.

21 Yuslim, Titik Berat Otonomi pada Daerah Tingkat II, Tesis, Pascasarjana Unpad, 1997. Kasus

Pemilihan Gubernur Riau tanggal 2 September 1985 di mana Ismail Suko yang memperoleh dukungan DPRD dengan 19 suara, sementara H. Imam Munandar yang memperoleh dukungan 17 suara, karena kuatnya arus sentralisasi Ismail Siko menyatakan mundur dari pencalonan Gubernur setelah diminta menghadap Ketua Golkar, waktu itu Wakil Presiden Sudarmono.

22 Kebijakan otonomi yang uniformitas tidak sesuai dengan esensi kebhinekaan di Indonesia, dan

(17)

2) Pelayanan Umum

Pelayanan pemerintahan daerah merupakan tugas dan fungsi utama

pemerintah daerah. Hal ini berkaitan dengan fungsi dan tugas

pemerintahan secara umum, yaitu memberikan pelayanan kepada

masyarakat. Dengan pemberian pelayanan yang baik kepada masyarakat,

maka pemerintah akan dapat mewujudkan tujuan negara yaitu menciptakan

kesejahteraan masyarakat. Pelayanan kepada masyarakat tersebut

terintegrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.23

Pelayanan publik berhubungan dengan pelayanan yang masuk kategori

sektor publik, bukan sektor privat. Pelayanan tersebut dilakukan oleh

pemerintah pusat, pemerintah daerah dan BUMN/BUMD. Ketiga

komponen yang menangani sektor publik tersebut menyediakan layanan

publik, seperti kesehatan, pendidikan, keamanan, dan ketertiban, bantuan

sosial dan penyiaran.24 Dengan demikian yang dimaksud pelayanan publik

adalah pelayanan yang diberikan oleh negara/daerah dan perusahaan milik

negara kepada masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dalam

rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat.

Pemerintah baik pusat maupun daerah mempunyai tiga fungsi

utama : 1) memberikan pelayanan (service) baik pelayanan perorangan

maupun pelayanan publik/khalayak, 2) melakukan pembangunan fasilitas

ekonomi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi (development for

economic growth), dan 3) memberikan perlindungan (protective)

23 Hanif Nurcholish, Teori dan Pratek Pemerintahan dan Otonomi Daerah, PT. Grasindo, 2005,

hal. 175.

(18)

masyarakat.25 Sebagai fungsi public services, pemerintah wajib

memberikan pelayanan publik secara perorangan maupun khalayak/publik.

Pelayanan untuk orang perorangan misalnya pemberian KTP, SIM, IMB,

Sertifikat tanah, paspor, surat izin dan keterangan. Pelayanan publik

misalnya pembuatan lapangan sepakbola, taman kota, hutan lindung,

trotoar, waduk, taman nasional, panti anak yatim/jompo/cacat/miskin,

tempat pedagang kaki lima dan lain-lain.26

Oleh karena itu pemerintah daerah wajib memberikan pelayanan

perorangan dengan biaya murah, cepat dan baik, harus mendapatkan

pelayanan yang sama. Disamping itu juga harus diperlakukan oleh petugas

dengan sikap yang sopan dan ramah. Semua orang tanpa kecuali baik kaya,

miskin, pejabat, orang biasa, orang desa atau kota, harus diperlakukan

sama.

Tidak boleh dibeda-bedakan baik dengan sikap, biaya maupun

waktu penyelesaian. Pelayanan pemerintah daerah kepada khalayak juga

harus adil dan merata. Pemerintah Daerah tidak boleh menganakemaskan

atau menganaktirikan kelompok masyarakat tertentu, sehingga yang satu

diberi lebih dan yang lain diberi sedikit.27

Dengan demikian pelayanan publik oleh pemerintah daerah harus

dapat memuaskan publik. Untuk mengetahui sejauh mana kualitas

pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah bisa diukur dengan

indikator-indikator : mudah, murah, cepat, tidak berbelit, petugasnya

25 Ibid, hal. 178. 26 Ibid.

(19)

murah senyum, petugasnya membantu jika ada kesulitan, adil dan merata

serta memuaskan.

3) Kualitas Pelayanan

Vincent Gesperz, mengemukakan bahwa kualitas pelayanan,

meliputi dimensi-dimensi berikut :28

- Ketaatan waktu pelayanan, berkaitan dengan waktu tunggu dan waktu

proses

- Akurasi pelayanan, berkaitan dengan keakuratan pelayanan dan bebas

dari kesalahan-kesalahan.

- Kesopanan dan keramahan dalam memberikan pelayanan, berkaitan

dengan prilaku orang-orang yang berintegrasi langsung kepada

pelanggan eksternal.

- Tanggung jawab, berkaitan dengan penerimaan pesanan dan

penanganan keluhan pelanggan eksternal (masyarakat).

- Kemudahan mendapatkan pelayanan, berkaitan dengan banyaknya

petugas yang melayani dan fasilitas pendukung.

- Kenyamanan mendapat pelayanan, berkaitan dengan lokasi, ruangan

tempat pelayanan, tempat parkir, ketersediaan informasi dan petunjuk

panduan lainnya.

- Atribut pendukung lainnya, seperti lingkungan, kebersihan, ruang

tunggu, fasilitas musik, AC, dan lain-lain.

Vincent Gesperz juga mengemukakan manajemen perbaikan

kualitas yang dikenal dengan konsep Vincent.

(20)

Konsep ini terdiri dari strategi perbaikan kualitas yaitu :

- Visionary transformation (tranformasi misi)

- Infrastructure (infrastruktur)

- Need for Improvement (kebutuhan untuk perbaikan)

- Customer Focus (Fokus Pelanggan)

- Empowerment (Pemberdayaan)

- NewViews of Quality (pandangan baru tentang kualitas)

- Top Management ( Komitmen manajemen puncak)

4) Prinsip Good Governance

Word Bank maupun UNDP mengembangkan istilah baru yaitu

”governace” sebagai pendamping kata ”government”. Istilah tersebut

sekarang sedang sangat populer digunakan dikalangan akademisi maupun

masyarakat luas. Kata ”governace” kemudian diterjemahkan ke dalam

Bahasa Indonesia dalam berbagai kata. Ada yang menterjemahkan menjadi

”tata pemerintahan”, ada pula yang menterjemahkan menjadi

”kepemerintahan”.29

Perubahan penggunaan istilah dengan pengertiannya akan

mengubah secara mendasar pratek-pratek penyelenggaraan pemerintahan

di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Perubahannya akan mencakup tiga

dimensi yaitu dimensi struktural, dimensi fungsional serta dimensi

kultural. Perubahan struktural menyangkut struktur hubungan antara

pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah, struktur hubungan antara

eksekutif dan legislatif maupun struktur hubungan antara pemerintah

29 Sadu Wasistiono, Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Alqprint Jatinangor,

(21)

dengan masyarakat. Perubahan fungsional menyangkut perubahan

fungsi-fungsi yang dijalankan pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun

masyarakat. Sedangkan perubahan kultural menyangkut perubahan pada

tata nilai dan budaya-budaya yang melandasi hubungan kerja

intraorganisasi, antarorganisasi maupun eksraorganisasi.30

United Nation Development Programe (UNDP), memberikan

batasan pada kata governance sebagai “pelaksanaan kewenangan politik,

ekonomi, dan administrasi dalam mengelola masalah-masalah bangsa”.

Governance dikatakan baik (good atau sound) apabila sumber daya publik

dan masalah-masalah publik dikelola secara efektif dan efisien, yang

merupakan respon terhadap kebutuhan masyarakat. Tentu saja pengelolaan

yang efektif dan efisien dan responsive terhadap kebutuhan rakyat

menuntut iklim demokrasi dalam pemerintahan, pengelolaan sumber daya

alam dan pengelolaan masalah-masalah publik yang didasarkan pada

keterlibatan masyarakat, akuntabilitas, serta transparan.

Governance berarti pelaksanaan pemerintahan. Ini berarti good

governance adalah pemerintahan yang baik (lembaga), sedangkan (good

governance) adalah pelaksanaan pemerintahan yang baik

(penyelenggaraannya). Clean government mengandung arti pemerintahan

yang bersih (lembaga), sedangkan Clean government berarti pelaksanaan

pemerintahan yang bersih.

(22)

Baik buruknya suatu pemerintahan bisa dinilai bila ia telah

bersinggungan dengan semua unsur prinsip-prinsip good governance

sebagaimana tersebut di bawah ini.31 Partisipasi (Participation)

Sebagai pemilik kedaulatan rakyat, setiap warga negara

mempunyai hak dan kewajiban untuk mengambil bagian dalam

bernegara, berpemerintahan serta bermasyarakat. Partisipasi tersebut

dapat dilakukan secara langsung maupun melalui institusi intermediasi

seperti DPRD, LSM dan lain sebagainya. Partisipasi rakyat warga

negara dilakukan tidak hanya pada tahapan implementasi, tetapi secara

menyeluruh mulai dari tahapan penyusunan kebijakan, pelaksanaan,

evaluasi serta pemanfaatan hasil-hasilnya. Syarat utama warga negara

disebut transparansi dalam kegiatan berbangsa, bernegara dan

berpemerintahan, yaitu :

- Ada rasa kesukarelaan (tanpa paksaan)

- Ada keterlibatan secara emosional

- Memperoleh manfaat secara langsung maupun tidak langsung dari

keterlibatannya.

Penegakan Hukum (Rule of Law)

Good governance dilaksanakan dalam rangka demokratisasi

kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu syarat kehidupan

demokratisasi adalah adanya penegakan hukum yang adil dan

31 Sadu Wasistiono, Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Alqaprint

(23)

dilaksanakan tanpa pandang bulu. Tanpa penegakan hukum yang tegas,

tidak akan tercipta kehidupan yang demokratis, melainkan anarki.

Tanpa penegakan hukum, orang secara bebas berupaya mencapai

tujuannya sendiri tanpa mengindahkan kepentingan orang lain,

termasuk menghalalkan segala cara. Oleh karena itu, langkah awal

penciptaan good governance adalah membangu sistem hukum yang

sehat, baik perangkat lunak (software), perangkat keras (hardware)

maupun sumber daya manusia yang menjalankan sistemnya (human

ware).

Transparansi (Transparancy)

Salah satu karakteristik good governance adalah keterbukaan.

Karakteristik ini sesuai dengan semangat zaman yang serba terbuka

akibat adanya revolusi informasi. Keterbukaan tersebut mencakup

semua aspek aktivitas yang menyangkut kepentingan publik mulai dari

proses pengambilan keputusan, penggunaan dana-dana publik sampai

pada tahap evaluasi.

Daya Tanggap (Responsiveness)

Sebagai konsekwensi logis dari keterbukaan, maka setiap

komponen yang terlibat dalam proses pembangunan good governance

perlu memiliki daya tanggap terhadap keinginan maupun keluhan para

pemegang saham (satake holder). Upaya peningkatan daya tanggap

tersebut terutama ditujukan pada sektor publik yang selama ini

cendrung tertutup, arogan serta berorientasi pada kekuasaan. Untuk

(24)

oleh sektor publik, secara periodik perlu dilakukan survey tingkat

kepuasan konsumen (custumer satisfaction).

Berorientasi pada Konsenseus (Consensus Orientation)

Kegiatan bernegara, berpemerintahan dan bermasyarakat pada

dasarnya adalah kreatifitas politik, yang berisi dua hal utama yaitu

konflik dan konsensus. Di dalam good governance, pengambilan

keputusan maupun pemecahan masalah bersama lebih diutamakan

berdasarkan konsensus, yang dilanjutkan dengan kesedian untuk

konsisten melaksanakan konsensus yang telah diputuskan bersama.

Konsensus bagi bangsa Indonesia sebenarnya bukanlah hal baru,

karena nilai dasar kita dalam memecahkan persoalan bangsa adalah

melalui “musyawarah”.

Keadilan (Equity)

Melalui prinsip good governance, setiap warga negara memiliki

kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan. Akan tetapi

karena kemampuan masing-masing warga negara berbeda-beda, maka

sektor publik perlu memainkan peranan agar kesejahteraan dan

keadilan dapat berjalan seiring sejalan.

Keefektifan dan Efisiensi (Effectiveness and Efficiency)

Agar mampu berkompetisi secara sehat dalam percaturan dunia,

kegiatan domain dalam governance perlu mengutamakan efektivitas

dan efisiensi dalam setiap kegiatan. Tekanan perlunya efektivitas dan

(25)

menjalankan aktivitasnya secara monopolistik. Tanpa adanya

kompetensi tidak akan tercapai efisiensi.

Akuntabilitas (Accountability)

Setiap aktivitas yang berkaitan dengan kepentingan publik perlu

mempertanggungjawabkan kepada publik. Tanggung gugat dan

tanggung jawab tidak hanya diberikan kepada atasan saja melainkan

juga pada para pemegang saham (stake holder), yakni masyarakat luas.

Secara teoritis, akuntabilitas itu sendiri dapat dibedakan menjadi lima

macam yaitu sebagai berikut :

- Akuntabilitas Organisasional / administratif.

- Akuntabilitas legal

- Akuntabilitas politik

- Akuntabilitas profesional

- Akuntabilitas moral

Visi Strategis (Strategic Vision)

Dalam era yang berubah secara dinamis seperti sekarang ini,

setiap domain dalam good governance perlu memiliki visi yang

strategis. Tanpa adanya visi semacam itu, maka suatu bangsa dan

negara akan mengalami ketertinggalan. Visi itu sendiri dapat dibedakan

antara visi jangka panjang (long term vision) antara 20 sampai 25 tahun

(satu generasi) serta visi jangka pendek (short term vision) sekitar 5

tahun.

2 Kerangka Konseptual

(26)

Sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999

tentang Pemerintahan Daerah dan saat ini telah diperlakukannya

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 telah membawa berbagai implikasi sebagai

akibat adanya pergeseran kewenangan yang semua bersifat sentralistik

menjadi desentralistik. Artinya kewenangan –kewenangan yang semua

diatur dan ditentukan oleh Pemerintah Pusat otonotis berpindah dan telah

menjadi kewenangan dan tanggung jawab Daerah.

Dalam pada itu, bila dicermati pengertian Pasal 7 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 diterangkan bahwa kewenangan bidang

lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kebijakan tentang

perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara

makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan

lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber

daya manusia, pemberdayaan sumber daya alam serta teknologi tinggi

yang strategis, konservasi dan standardisasi nasional, disebutkan bahwa

posisi pemerintah pusat hanya sebatas menyiapkan dan berbuat yang

bersifat kebijakan-kebijakan saja, dengan pengertian tidak lagi bertindak

sebagai menetapkan setiap kebutuhan daerah.

Bila pergeseran kewenangan termasuk kewenangan yang bertalian

dalam menerbitkan berbagai bentuk tata usaha negara atau administrasi

negara yang semula terpusat/terkonsentrasi (dikuasai) oleh pemerintah

pusat tentu pergesaran tersebut akan termasuk berbagai kewenangan tata

usaha negara atau administrasi negara yang selama ini ditangani pusat akan

(27)

Selain itu, dalam Undang-Undang Pemerintaha Daerah disebutkan

pula bahwa otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan

pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan

kepada Daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh

Daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi tersebut berupa

peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik,

pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan.

Makna pengertian Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22

Tahun 1999 dan pengertian otonomi bertanggung jawab, akan terlepasnya

hak dan kewenangan pusat berupa ijin yang meliputi pengesahan,

penghapusan, persetujuan, penetapan dan berbagai kewenangan lain

bergeser/berpindah menjadi hak dan kewenangan Daerah Propinsi,

Kabupaten/Kota.

Begitupun dalam pengertian otonomi luas vide Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya

saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,

keistimewaan dan kekhususan serta potensi dari Daerah dalam sistem

Negara Kesatuan RI inilah prinsip dari otonomi seluas-luasnya itu yaitu

berdasarkan asas otonomi dan urusan pembantuan.

Menurut Bagir Manan,32 ketentuan ini memberikan gambaran

bahwa otonomi daerah itu merupakan wewenang dari daerah.

2) Efektivitas Reformasi Perpajakan

32 Bagir Manan, Fungsi dan Materi Peraturan Perundang-undangan, makalah disampaikan

(28)

Upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak salah

satunya melalui:

Reformasi perpajakan (1983) dengan perubahan sistem perpajakan

yaitu dari sistem official assesment, menjadi sistem self assesment.

Perubahan sistem perpajakan didikuti dengan penyempurnaan

administrasi perpajakan melalui perubahan struktur organisasi

melalui reorganisasi, harus terus dilakukan secara

berkesinambungan. Dengan harapan dapat meningkatkan kinerja

yang dapat diukur berdasarkan produktivitas, responsivitas dan

akuntabilitas.

Sasaran Administrasi perpajakan adalah untuk meningkatkan

kepatuhan wajib pajak (Toshiyuki). : Target Akhir administrasi perpajakan

adalah untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak, bahwa dalam sistem

self assesment aktifitas utama administrasi perpajakan adalah untuk

mengawasi kepatuhan dan meyakinkan bahwa wajib pajak menjalankan

kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam hal:

- Pendaftaran wajib pajak

- Penilaian

- Menjalankan Prosedur pemungutan

- Pelaporan penghindaran dan penggelapan pajak

Menurut Bird dan Jantscher terdapat hubungan antara administrasi

(29)

ketidak patuhan. Bukan hanya melihat dari aspek peningkatan penerimaan

saja.33

Administrasi pajak yang baik pada dasarnya tidak mampu

mengumpulkan penerimaan pajak sebesar-besarnya. Administrasi

perpajakan yang mudah ditagih, seperti gaji pegawai, tetapi tidak mampu

untuk menagih pajak dari perusahaan-perusahaan dan profesional, jadi

penerimaan pajak bukan merupakan ukuran yang tepat atas efektivitas

administrasi perpajakan. Pengukuran lebih akurat untuk mengetahui

efektivitas administrasi perpajakan adalah berapa besarnya jurang

kepatuhan, yaitu selisih antara penerimaan pajak yang sesungguhnya

dengan penerimaan pajak potensial dengan tingkat kepatuhan dari

masing-masing sektor perpajakan.

Berdasarkan hal tersebut di atas dapat dikatakan bahwa kepatuhan

wajib pajak saat ini masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari aspek

pemenuhan kewajiban perpajakan, khususnya yang berkaitan dengan

kewajiban; pendaftaran, pelaporan SPT dan pelunasan pajak terhutang,

pendeknya kepatuhan WP dapat diidentifikasikan sebagai berikut:

Pertama : Kepatuhan wajib pajak dalam mendaftarkan diri, jumlah

wajib pajak yang terdaftar pada administrasi pajak masih

sangat rendah (pada tahun 2002 dari 210 juta jumlah

penduduk wajib pajak orang pribadi dan badan yang terdaftar

hanya 2.583.960 wajib pajak. Artinya Sistem Perpajakan

Nasional belum dapat meningkatkan pembayaran beban pajak

33 Chaizi Nasuha, Reformasi Administrasi Publik Teori dan Praktek, Grasindo, Jakarta, 2004,

(30)

yang terdistribusi secara merata, karena hanya 10 % lebih

wajib pajak yang menanggung beban pajak (Tax Corverage

Ratio).

Kedua : Kepatuhan wajib pajak untuk menyetor kembali Surat

Pemberitahuan (SPT).

Ketiga : Kepatuhan wajib pajak dalam perhitungan dan pembayaran

pajak terhutang masih rendah (1.068.467 WP atau 41,35%

dari keseluruhan wajib pajak efektif yaitu 2.583.960 wajib

pajak).

Keempat : Kepatuhan dalam pembayaran tunggakan pajak, akumulasi

jumlah nominal tunggakan pajak cukup besar (sampai tahun

2000 Rp. 17,3 Triliun, besarnya jumlah tunggakan dan

rendahnya pencapaian penagihan pajak tiap tahun

menunjukkan bahwa penegakkan hukum melalui penagihan

aktif belum dilaksanakan secara optimal sesuai dengan

ketentuan.

Dengan demikian menurut Chaizi Naruha tersebut terlihat bahwa

ada hubungan/korelasi antara reformasi perpajakan dengan tingkat

kepatuhan wajib pajak.

Menurut Andreoni et, al; Kepatuhan wajib pajak dipengaruhi oleh

banyak faktor antara lain: Pelayanan Publik, kebijakan dan keuangan

publik, penawaran tenaga kerja, jenis pekerjaan, bentuk organisasi, moral

(31)

masyarakat, penegakan hukum (audit dan penalti), kompleksitas dan

amnesti pajak.

Mengingat banyaknya faktor yang mempengaruhi kepatuhan wajib

pajak, untuk membatasi permasalahan penelitian ini hanya difokuskan pada

pengaruh efektivitas reformasi administrasi perpajakan terhadap kepatuhan

wajib pajak yang meliputi reformasi organisasi, prosedur organisasi,

strategi organisasi dan budaya organisasi.

Berdasarkan gambaran di atas, terlihat bahwa tingkat kepatuhan

wajib pajak dipengaruhi oleh bagaimana administrasi perpajakan

dijalanka.34

Administrasi perpajakan yang lemah, baik yang menyangkut aspek

struktur organisasi, prosedur organisasi, strategi organisasi maupun budaya

organisasi dapat menyebabkan akuntabilitas organisasi dan tingkat

kepatuhan wajib pajak rendah dan ini berdampak juga pada rendahnya

kinerja perpajakan.

Permasalahan pokok yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah

apakah reformasi administrasi perpajakan yang telah dilakukan selama ini

sudah atau belum secara menyeluruh mencakup perubahan dari aspek

struktur organisasi, prosedur, strategi organisasi, dan budaya organisasi,

sehingga berpengaruh terhadap akuntabilitas organisasi, (SAMSAT/UPTD)

dalam meningkatkan kepatuhan wajib pajak.

3) Kinerja Sektor Publik

(32)

Kinerja merupakan tingkat pencapaian tujuan organisasi menurut,

Rue dan Bryan, kinerja adalah tingkat pencapaian (the degree of

accomplishment).

Kinerja bagi setiap organisasi sangat penting terutama penilaian

ukuran keberhasilan suatu organisasi dalam batas waktu tertentu. Berbagai

pendapat menyamakan kinerja (performance) dengan prestasi kualitas

pelaksanaan tugas atau aktivitas pencapaian tujuan dan misinya.35

Di samping itu ada pula pendapat yang menyamakan pengertian

kinerja dengan efisiensi dan efektivitas. (Miles dan Snow 1978, 77-78).

(Interplant, 1969 : 15)36

Atmo Sudirjo, berpendapat bahwa kinerja dapat berarti prestasi

kerja, prestasi penyelenggaraan sesuatu.

Levine, Lima indikator untuk mengukur kinerja sektor publik,

produktifitas, kualitas pelayanan, responsivitas, responsibilitas, dan

akuntabilitas.37

a. Produktivitas adalah ukuran seberapa pelayanan publik itu

menghasilkan yang diharapkan, dari segi efisiensi dan efektivitas.

b. Kualitas pelayanan adalah ukuran-ukuran citra yang diakui masyarakat

mengenai pelayanan yang diberikan yaitu masyarakat merasa puas atau

tidak puas.

(33)

c. Responsivitas adalah ukuran kemampuan organisasi untuk mengenali

kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan

publik sesuai kebutuhan dan aspirasi masyarakat.

d. Responsibilitas adalah ukuran apakah pelaksanaan kegiatan sesuai

dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar.

e. Akuntabilitas adalah ukuran seberapa besar kebijakan dan kegiatan

organisasi publik dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat atau

konsisten dengan kehendak rakyat.

4) Pelayanan Publik dalam Administrasi Negara

Pengertian pelayanan adalah suatu proses bantuan kepada orang

lain dengan cara-cara tertentu yang memerlukan kepekaan dan hubungan

interpersonal agar terciptanya kepuasan dan keberhasilan.38 Sedangkan

pelayanan umum menurut Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan

Aparatur Negara ( Men-Pan ) No. 81 Tahun 1993 adalah segala bentuk

pelayanan umum yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah di pusat, di

daerah dan lingkungan Badan Usaha Milik Negara/Daerah dalam bentuk

barang dan atau jasa, bai dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan

masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Dari pengertian tentang pelayanan umu di atas, terkait beberapa

istilah dalam administrasi Negara, seperti instansi pemerintah, tata laksana,

tata kerja, prosedur kerja, sistem kerja, kewajiban dan seterusnya yang

diuraikan di bawah ini.39

(34)

1. Instansi Pemerintah

Yang dimaksud dengan instansi pemerintah di sini adalah sebutan

kolektif yang meliputi satuan kerja atau satuan organisasi suatu

departemen, lembaga pemerintah bukan departemen, instansi pemerintah

lainnya, baik instansi pemerintah di tingkat pusat maupun instansi

pemerintah di tingkat daerah, termasuk BUMN dan BUMD.

2. Tata Laksana

Yang dimaksud dengan tata laksana adalah segala aturan yang

ditetapkan oleh pimpinan instansi pemerintah yang menyangkut tata cara,

prosedur dan sistem kerja dalam melaksanakan kegiatan yang berkenaan

dengan penyelenggaraan tugas dan fungsi pemerintah dan pembangunan

pelayanan di bidang umum.

3. Tata Kerja

Tata kerja dimaksudkan sebagai cara-cara pelaksanaan kerja yang

efisien mengenai satu atau serangkaian tugas dengan memperhatikan

segi-segi tujuan, peralatan, fasilitas, tenaga waktu, ruang, biaya yang tersedia.

4. Prosedur Kerja

Yang dimaksud dengan prosedur kerja adalah rangkaian tata kerja

yang berkaitan satu sama lain, sehingga menunjukkan adanya urutan secara

jelas dan pasti serta cara-cara yang harus ditempuh dalam rangka

penyelesaian suatu bidang tugas.

(35)

Sistem kerja di sini diartikan dengan rangkaian tata kerja dan

prosedur kerja yang membentuk suatu kebulatan pola kerja tertentu dalam

rangka mencapai hasil kerja yang diharapkan.

6. Kewajiban

Kewajiban di sini diartikan sebagai aparatur penyelenggaraan

pelayanan umum untuk mengambil tindakan dalam rangka pelaksanaan

tugas dan fungsi sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Dalam

rangka memuaskan masyarakat sebagai pelanggan, kewajiban bukan hanya

melekat pada pejabat, tetapi setiap aparatur dalam lingkungan kerja ketika

bertemu dengan pelanggan. Misalnya wajib untuk menanyakan apa yang

diinginkan pelanggan yang hadir pada waktu itu. Artinya harus proaktif

dalam menyambut kedatangan pelanggan.

F Metode Penelitian a. Pendekatan

Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan empiris

menurut penelitian hukum sosiologis untuk mengetahui efektivitas dan

dampak hukum dari adanya kebijaksanaan publik pelayanan di bidang

perpajakan. Yang diukur dari standar waktu dan biaya berdasarkan Standar

Pelayanan Minimal (SPM). Dalam hal ini secara normatif apakah telah

berhasil atau gagal menciptakan kinerja (pencapaian target penerimaan/

pemungutan pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama kendaraan

bermotor) secara bersamaan yang ditilik dari aspek kepatuhan wajib pajak

(kesadaran hukum masyarakat) dan pemahaman aparat perpajakan dalam

(36)

ini menggunakan data kuantitatif dan kualitatif yang diperdapat saat survey

deskriptif, yang disampaikan dalam bentuk deskripsi kualitatif.

b. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan pada Kantor Bersama SAMSAT/ UPTD

Pelayanan Pendapatan Provinsi Sumatera Barat di Padang dengan wilayah

kerja meliputi wilayah otonom dan Administratif Kota Padang yang terdiri

dari sebelas Kecamatan, yaitu Kecamatan Padang Timur, Padang Barat,

Padang Utara, Padang Selatan, Lubuk Begalung, Kuranji, Nanggalo, Koto

Tangah, Teluk Kabung, Lubuk Kilangan dan Pauh dengan 103

kelurahannya. Pengambilan sampel penelitian diambil dari lima kecamatan

tertentu yang padat penduduknya di Kota Padang, sedangkan kecamatan

lain (6 kecamatan) hanya 2 kecamatan (diambil/dipilih) secara acak, sesuai

dengan kompetensi keperluan situasi dan kondisi sampel.

c. Metode dan Alat Pengumpulan bahan hukum.

Teknik pengumpulan data yang digunakan tergantung kepada data

dan sumber data yang dibutuhkan, antara lain adalah :

1) Dokumentasi; untuk mengumpulkan data primer dan sekunder, penulis

menganalisa dokumen-dokumen dalam bentuk tulisan. Data yang

dikumpulkan antara lain tentang APBD, Pendapatan Asli Daerah,

Hukum Pajak Daerah, data kepegawaian, data statistik berupa PDRB,

laporan-laparan dan lain-lain yang berkaitan dengan tujuan penelitian.

2) Observasi; untuk memperoteh informasi serta gambaran empirik

tentang data-data yang diperlukan dengan mengadakan pengamatan

(37)

3) Wawancara; adalah percakapan langsung dengan maksud untuk

memperkuat data sekunder yang diperlukan dalam penelitian.

Percakapan itu dilakukan aleh dua pihak yaitu pewawancara

(interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai

(responden). Tehnik wawancara yang digunakan adalah wawancara

terbuka (open interview) dengan maksud agar responden tahu bahwa

mereka sedang diwawancarai dan mengetahui pula maksud wawancara

tersebut. Untuk itu instrumen penelitian yang digunakan adalah

pedoman wawancara (indepth interview) yang merupakan penuntun

bagi peneliti dalam mengembangkan pertanyaan-pertanyaan yang

bersifat terbuka sehingga memberikan kebebasan yang seluas-luasnya

bagi responden untuk menyampaikan pendapatnya.

4) Untuk melengkapi sumber data primer dalam penelitian ini, juga

ditetapkan para fungsionaris pejabat terkait yang berkompeten

mengambil kebijakan terhadap kinerja Dinas Pendapatan Daerah

Provinsi Sumatera Barat dan UPTD Samsat Padang yakni pejabat yang

menempati tingkatan (top management, middle management, dan

lower rrranagement' serta staf) serta para penentu kebijakan pada

Pemerintah Propinsi Sumatera Barat dan Jajaran Polda Sumatera Barat.

d. Populasi dan Sampel

Dari populasi 420 yang didapatkan dari jumlah rata-rata wajib

pajak dan aparat perpajakan terkait setiap harinya, diambil sebagai sampel

sebanyak 42 orang (10%), yang ada pada Kantor Bersama

(38)

Padang, dari para wajib pajak dipilih sampelnya sebanyak 42 orang yang

berasal dari masyarakat Kota Padang dalam wilayah 5 kecamatan

sampel/terpilih yaitu Kecamatan Padang Timur 8 orang, Kecamatan

Padang Barat 8 orang, Kecamatan Koto Tangah 8 orang, Kecamatan Lubuk

Begalung 8 orang dan Kecamatan Bungus 28 orang dan 2 orang dari aparat

pajak yang berdomisili di luar Kota Padang.

Teknik yang dipakai dalam pengambilan sampel adalah Stratified

random sampling, karena dcngan cara ini sub kelompok yang spesifik akan

memiliki jumlah yang cukup terwakili dalam sampel, serta menyediakan

jumlah sampel sebagai sub analisis dari anggota kelompok tersebut. Dalam

strategi ini populasi dikategorikan dalam kelompok-kelompok yang

memiliki strata yang sama sesuai karakteristik masing-masing responden.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan

data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari

responden (wajib pajak) dan petugas pajak serta pejabat yang berwenang/

terkait. Untuk melengkapi data yang diperoleh secara langsung dari

responden tersebut, data juga diperoleh dari beberapa informan tertentu,

yaitu orang-orang yang relevan dianggap mengetahui masalah objek

penelitian dengan melakukan wawancara.

Sedangkan Data Sekunder merupakan data yang diperoleh

dari buku referensi dan data yang ada di Dispenda Provinsi Sumatera

Barat, Ditlantas Polda Sumatera Barat, PT. Jasa Raharja (Persero) Cabang

Sumatera Barat dan Kantor Bersama Samsat Sumatera Barat di Padang.

(39)

Samsat, seperti sumber daya yang tersedia, meliputi manusia (kualitas dan

kuantitas) dan prasarana serta wajib pajak yang dilayani.

Selain itu, Data Sekunder ini diperoleh melalui penelitian kepustakaan

yang bersumber dari :

1. Bahan Hukum Primer, antara lain :

a. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah;

b. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman

Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal.

c. Instruktur Presiden No. 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja

Instansi Pemerintahan.

d. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan Mutu

Pelayanan Aparatur Pemerintahan Kepada Masyarakat.

e. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 63/KEP/

M.PAN/2003 tentang Pedoman Umum Penyeleng-garaan Pelayanan

Publik.

f. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2006 tentang

Standarisasi Sarana dan Prasarana Kerja Pemerintah Daerah.

g. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 tentang

Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu.

h. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara :

Kep/25/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks

(40)

i. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No.

Kep/26/M.PAN/2/2004 tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan

Akuntabilitas dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik.

j. Surat Keputusan Bersama Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima

ABRI, Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri Nomor

PoI/KEP/13/XII/1976, Nomor KEP.1693/MK/TU/12/1976 dan Nomor

311 Tahun 1976, tentang Peningkatan Kerjasama antara Pemerintah

Daerah Tingkat I, Komando Daerah Kepolisian dan Aparat

Departemen Keuangan dalam rangka peningkatan pelayanan kepada

masyarakat serta peningkatan Pendapatan Daerah khususrya

mengenai Pajak Kendaraan Bermotor;

k. Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pajak Kendaraan

Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;

l. Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2003 tentang Bea Balik Nama

Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;

m. Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2002 tentang Pajak Pengambilan

dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan;

n. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 1973 tentang Pembentukan Dinas

Pendapatan Daerah;

o. Surat Keputusan Gubernur Sumatera Barat Nomor 22 Tahun 2001

tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana

(41)

p. Keputusan Gubernur Sumatera Barat Nomor 57 Tahun 2004 tentang

Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik di lingkungan

Pemerintah Provinsi Sumatera Barat.

q. Surat Keputusan Bersama Direktur Lalu Lintas Kepolisian Daerah

Sumatera Barat dan Kepala Dinas Pendapatan Daerah Propinsi

Sumatera Barat dan Kepala Cabang Jasa Raharja ( Persero ) Sumatera

Barat Nomor : B/24/I/2006/DITLANTAS per Nomor: 973/043/

PAJAK-2006/ Nomor: P/1/SPP/2006, tanggal 24 Januari 2006,

tentang Standar Pelayanan Minimal Penerbit STNK, Pembayaran

Pajak Kendaraan Bermotor ( PKB ), Bea Balik Nama Kendaraan

Bermtor ( BBNKB ), dan Sumbangan Wajib dana Kecelakaan Lalu

Lintas Jalan ( SWDKLLJ ). Pada Kantor Bersama SAMSAT Di

Sumatera Barat.

r. Surat Edaran Kepala Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Sumatera

Barat Nomor 065/181/Dipenda-2006, 28 Februari Tahun 2006 tentang

Standar Pelayanan Minimal ”Penerbitan Naskah Dinas dalam bentuk

surat yang berkaitan dengan Pelayanan Umum yang diberikan oleh

Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Sumatera Barat.

s. Produk hukum yang berlaku dan relevan lainnya.

2. Bahan Hukum Sekunder

Dihimpun melalui kegiatan penelitian dengan memanfaatkan media cetak

dan elektronik berupa buku-buku, tesis, majalah, surat kabar, internet dan

sebagainya.

(42)

Yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum

sekunder, seperti ensiklopedi, kamus, dan lain-lain

d. Teknik Analisis Bahan Hukum (Kualitatif)

Teknik analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini dilakukan

secara kualitatif. Setelah data primer terkumpul, dilakukan pengelompokan

data dan pengeditan guna mengidentifikasi data yang relevan dengan pokok

permasalahan penelitian. Setelah itu data dianalisis.

Analisis data dimaksudkan adalah untuk menyederhana-kan data agar

menjadi informasi yang dapat digunakan dalam menjelaskan permasalahan

penelitian. Pada tahap ini analisis data dilakukan setelah semua informasi

dianggap cukup memadai oleh peneliti. Langkah yang dilakukan untuk

menganalisi data yaitu melakukan penyederhanaan informasi yang diperoleh

dengan memilah-milah informasi berdasarkan kategori yang telah disiapkan

dalam blanko tanggapan dan daftar wawancara dengan menggunakan aturan

positif yang ada dan teori-teori maupun pendapat yang disinggung dalam

tinjauan pustaka, sehingga dapat ditafsirkan untuk merumuskan kesimpulan

penelitian.

BAB II

PELAYANAN PUBLIK DIBIDANG PERPAJAKAN

(43)

1. Pengertian

Pelayanan adalah suatu cara melayani, membantu menyiapkan,

mengurus dan menyelesaikan keperluan kebutuhan mayarakat, baik

secara perorangan, kelompok dan atau golongan, organisasi ataupun

sekelompok anggota organisasi).40

Dalam pengertian pelayanan tersebut terkandung suatu kondisi

bahwa yang melayani memiliki suatu keterampilan, keahlian dibidang

tertentu. Berdasarkan keterampilan dan keahlian tersebut pihak aparat

yang melayani mempunyai posisi atau nilai lebih dalam kecakapan

tertentu, sehingga mampu memberikan bantuan dalam menyelesaikan

suatu keperluan, kebutuhan individu atau organisasi.

Dalam pengertian pelayanan tersebut secara konkrit diutarakan :

1) Pelayanan merupakan salah satu tugas utama aparatur pemerintah,

termasuk pelaku bisnis.

2) Obyek yang dilayani : masyarakat (publik)

3) Bentuk pelayanan itu berupa barang dan jasa yang sesuai dengan

kepentingan kebutuhan masyarakat dan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Dengan demikian pelayanan publik dapat diartikan sebagai suatu

proses pemenuhan kebutuhan masyarakat terutama yang berkaitan

dengan kepentingan umum dan kepentingan golongan atau individu

dalam bentuk barang dan jasa.

40Sianipar, J.PG. Manajemen Pelayanan Masyarakat, (Jakarta:Lembaga Administrasi Negara

(44)

Pelayanan adalah suatu bentuk kegiatan pelayanan yang

dilaksanakan oleh instansi pemerintah baik di pusat dan daerah maupun

BUMN dan BUMD dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat sesuai

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam kamus besar bahasa

Indonesia dinyatakan bahwa pelayanan publik adalah suatu usaha untuk

membantu menyiapkan (mengurus) apa yang diperlukan orang lain.41

Dalam pelaksanaannya pelayanan dilakukan secara pelayanan

profesional, dan prima artinya dilakukan secara konkrit bahwa yang

melayani harus memiliki suatu kemampuan dalam melayani, menanggapi

kebutuhan khas (unik, khusus, istimewa) orang lain agar mereka puas.

Pelayanan prima merupakan pelayanan yang memenuhi standar pelayanan

terhadap permintaan, keinginan, dan harapan masyarakat yang mempunyai

nilai yang tinggi dan bermutu (berkualitas).

Selanjutnya, Drs. H. Tamaruddin dalam Pengembangan Pelaksanaan

Pelayanan Prima menyebutkan : Tujuan dari pelayanan prima adalah

memuaskan dan atau sesuai dengan keinginan pelanggan. Untuk mencapai

hal itu, diperlukan kualitas pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan dan

atau keinginan pelanggan. Zeithaml et el, (1990) seperti dikutip Yun,

Yong, dan Loh (1998) menyatakan bahwa mutu pelayanan didefinisikan

oleh pelanggan, yaitu kesesuaian antara harapan dan atau keinginan

dengan kenyataan.

2. Konsepsi Pelayanan

41 Tamaruddin, Pengembangan Polaksanaan Polayanan Prima (Padang: Badan Pendidikan

(45)

Kekuasaan dan wewenang pemerintah bersumber dari rakyat.

Oleh karena itu, maju atau mundurnya suatu pemerintah ditentukan

dukungan rakyat. Untuk mempertahankan dan meningkatkan pelayanan

diperlukan dukungan, kepercayaan, loyalitas masyarakat, seyogyanya

aparat pemerintah pada semua bidang dan tingkat menerapkan suatu

konsep pelayanan berwawasan pada pemenuhan kebutuhan, keperluan,

kepentingan masyarakat. Segala kebijakan, peraturan, program yang

ditetapkan hendaknya berorientasi kepada kepuasan masyarakat. 42

Menurut Sianipar aparatur pemerintah hendaknya selalu lebih

mengutamakan kepentingan masyarakat, lebih mempercepat proses

penyelesaian urusan masyarakat, memberikan yang lebih berkualitas, lebih

baik, lebih murah, lebih cepat, lengkap dan tuntas.

Aparat pemerint

Gambar

Tabel 6 terlihat bahwa realisasi telah melampaui target yang ditetapkan. Dilihat dari segi  penerimaan daerah pencapaian target telah kinerja memuaskan.

Referensi

Dokumen terkait

NO NUPTK NAMA JENJANG TEMPAT TUGAS KECAMATAN BIDANG STUDI.. UKG TEMPAT UKG

Jumlah Kasus KONFIRMASI POSITIF Berdasarkan GEJALA Di kabupaten Ngawi. TIDAK BER GEJALA (TIDAK SAKIT)

Sesuai dengan judul penelitian yaitu “Penerapan Bimbingan Kelompok dengan Teknik Psikodrama untuk Meningkatkan Kecerdasan Emosinal Siswa dalam Bergaul dengan

Perancangan SIKEBO Tahap I Desain Tabel pada prinsipnya adalah memperkenalkan tabel-tabel apa saja yang harus dipersiapkan untuk membuat sebuah aplikasi SIKEBO yang berbasis

Referring to the research findings and the analysis of students’ test result, the researcher states the conclusion as follows: (1) Teaching reading comprehension by using

Menurut Hadari Nawawi (2012:68), terdapat beberapa bentuk penelitian dalam metode deskriptif, yaitu bentuk penelitian studi hubungan (Interrelationship studies) yang

Saat ini produk probiotik yang dipasarkan dalam bentuk susu fermentasi dan yoghurt. Namun kendalanya adalah jumlah kolesterol dan laktosa pada yoghurt tidak semuanya

(3) Selain memenuhi nilai/norma positif yang berlaku di masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Buku Teks Pelajaran maupun Buku Non Teks Pelajaran wajib