KABAR HARIAN PAGI J AWA POS
(Studi Semiotik Tentang Pemaknaan Kar ikatur “Clekit” Kualitas
Ka binet Indonesia Ber satu II pada Har ian Pagi J awa Pos Edisi 24 September 2011 )
SKRIPSI
Nur iski Robby Cahyadi NPM. 0743010187
YAYASAN KESEJ AHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAH AN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “ VETERAN” J AWA TIMUR
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU PO LITIK
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa, atas berkat dan
rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul : “Pemaknaan
Karikatur Clekit Pada Surat Kabar Harian Pagi Jawa Pos” (Studi Semiotik Tentang
Pemaknaan karikatur Kualitas Kabinet Indonesia Bersatu II pada Harian Pagi Jawa Pos Edisi
24 September 2011 ).
Penyelesaian skripsi ini dapat terselesaikan berkat dorongan, bantuan dan bimbingan
dari berbagai pihak. Mengingat hal tersebut, maka pada kesempatan ini penulis juga
menyampaikan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan Skripsi ini, diantaranya :
1. Dra. Hj. Suparwati, M.Si, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
2. Juwito, S.sos, M.si., Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan
Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
3. Ir. H. Didiek Tranggono, M.si, Dosen pembimbing yang selalu memberikan koreksi dan
sudah menyempatkan waktunya untuk membimbing penulis.
4. Papa dan Mama yang selalu mendukung dan mendoakan dalam segala keadaan dan
selalu memberi motivasi dan semangat.
5. Om H. Budiono dan tante H. Ies, Om Agus Wismono, S.pd dan tante Rusmiati, S.pd
karena dukungan dan bantuan dari mereka saya bisa menyelesaikan semua ini.
6. Saudaraku Rahadian, Wiwoho, dan Adhit Glewow yang selalu memberikan
penulis namun tidak tersebutkan, penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dan masih
banyak kekurangannya meskipun penulis sudah berusaha sebaik-baiknya. Hal tersebut karena
masih kurangnya ilmu, penulis bersedia menerima saran dan kritik yang bersifat membangun
demi perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini.
Surabaya, Oktober 2011
Halaman
HALAMAN J UDUL...i
HALAMAN PERSETUJ UAN UJ IAN SKRIPSI...ii
KATA PENGANTAR...iii
DAFTAR ISI...iv
DAFTAR GAMBAR...v
ABSTRAKSI...vi
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah...1
1.2. Perumusan Masalah...11
1.3. Tujuan Penelitian...11
1.4. Manfaat Penelitian...11
BAB II KAJ IAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori...12
2.1.1 Surat Kabar...12
2.1.1.1 Ciri-ciri Surat Kabar...16
2.1.1.2 Komunikasi Politik...17
2.1.1.3 Karikatur...19
2.1.1.7 Kualitas Kabinet Indonesia Bersatu II...29
2.1.1.8 Pendekatan Semiotika...31
2.1.1.9 Semiotik Charles Sanders Peirce...33
2.1.1.10 Konsep Makna...36
2.2. Kerangka Berpikir...38
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Metode Penelitian...40
3.2. Korpus...41
3.3. Unit Analisis...42
3.3.1 Ikon...42
3.3.2 Indeks...43
3.3.3 Simbol...43
3.4. Teknik Pengumpulan Data...44
3.5. Teknik Analisis Data...44
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Obyek Penelitian...46
4.2. Karikatur Clekit Pada Harian Surat Kabar Jawa Pos Edisi Sabtu, 24 September 2011 Dalam kategori Tanda Peirce...49
4.3.2 Indeks...56
4.3.3 Simbol...58
4.4 Makna Keseluruhan Pemaknaan Karikatur “Clekit” (dalam model triangle of meaning Peirce)...59
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan...61
5.2 Saran...63
DAFTAR PUSTAKA...66
KABAR HARIAN PAGI J AWA POS (Studi Semiotik Tentang Pemaknaan Karikatur “Clekit” Kualitas Kabinet Indonesia Bersatu II Pada Harian Pagi Jawa Pos Edisi 24 September 2011)
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pemaknaan karikatur Clekit pada harian Jawa Pos Edisi Sabtu, 24 September 2011. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Semiotik Charles Sanders Peirce, Karikatur dalam Media Massa.
Unit analisis dalam penelitian ini adalah tanda yang ada dalam karikatur yang berupa gambar dan tulisan yang terdapat dalam karikatur Clekit pada Surat Kabar Jawa Pos edisi Sabtu, 24 September 2011, kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan ikon, indeks, dan simbol. Sedangkan teknik analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif. Penelitian ini menggunakan metode semiotik.
Hasil analisis dan interpretasinya yang menampilkan gambar karikatur Clekit pada Surat Kabar Jawa Pos edisi sabtu, 24 September 2011 adalah Kabinet indonesia bersatu II mendapat protes tentang kualitasnya di program kerjanya dalam mensejahterakan masyarakat dan tentang menteri-menteri yang berada di dalam kabinet indonesia bersatu II.
Kesimpulan yang didapat adalah masyarakat memprotes kabinet indonesia bersatu II dalam menjalankan program kerjanya untuk mensejahterahkan masyarakat masih belum terbukti, hingga membuat masyarakat bersikap tegas dan memberikan perhatian terhadap kualitas kabinet indonesia bersatu II yang kurang maksimal kinerjanya di dalam memilih menteri-menteri yang berkualitas di kabinet indonesia bersatu II.
Kata Kunci : Pemaknaan, Karikatur, Semiotik, Surat Kabar Jawa Pos, Clekit
ABSTRACTION
Nur iski Robby Cahyadi, MEANING CARICATURE CLEKIT DAILY NEWSPAPER IN THE MORNING J AVA POST (Semiotics Studies About Purport Caricature “CLEKIT” The Quality of United Indonesia Cabinet II in The Daily Morning Edition Java Post September 24, 2011)
Goals be achieved in this study was determine the meaning caricature Clekit at Java Post Daily Edition Saturday, September 24, 2011. The method used in this study is semiotics Charles Sanders Peirce, caricature in the mass media.
The unit of analysis is a sign that there in the form caricature drawings and writings contained in caricature Clekit at Java Post newspaper edition, september 24, 2011 and then interpreted with the use icons, indexes, and symbols. While the data techniques used in this research in descriptive method. This study uses semiotics method.
The result of the analysis and interpretation that displays images on a caricature Clekit newspaper at Java Post edition of Saturday, september 24, 2011 is a unified Indonesia cabinet II had protest about hte quality in its work program in the welfare of society and of the ministers who are in the United Indonesia Cabinet II.
The conclusion is that people protest the Indonesian cabinet united II in running the program of work for advance society is still not proven, to make people stand firm and give attention to the quality of United Indonesia cabinet II is less than the maximum performance in selecting qualified ministers in the cabinet indonesia united II.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belaka ng Masalah
Media adalah alat atau sarana yang digunakan untuk menyampaikan
pesan dari komunikator pada khalayak. Masyarakat membutuhkan informasi,
sehingga media massa menjadi faktor kebutuhan utama masyarakat. Media
massa terdiri dari media massa cetak, dan media massa elektronik. Media
massa cetak terdiri dari majalah, surat kabar, dan buku. Sedangkan media
massa elektronik terdiri dari televisi, radio, film, dan internet. Media cetak
seperti majalah,buku, surat kabar justru mampu memberikan pemahaman
yang tinggi kepada pembacanya, karena ia sarat dengan analisa yang
mendalam dibanding media lainnya (Cangara, 2005:128).
Selama ini media cetak seperti surat kabar tidak hanya berperan
sebagai pencarian informasi yang utama dalam fungsinya, tetapi bisa juga
mempunyai suatu karakteristik yang menarik yang perlu diperhatikan untuk
memberikan analisis yang sangat krisis yang akan menumbuhkan motivasi,
mendorong serta dapat mengembangkan pola pikir bagi masyarakat agar
semakin kritis dan selektif dalam menyikapi berita-berita yang ada di dalam
media. Belakangan ini media pers indonesia menampilkan komik kartun dan
karikatur sebagai ungkapan kritis terhadap berbagai masalah yang
merenungkan dan memahami pesan-pesan yang tersurat dan tersirat dalam
gambar tersebut (Sobur, 2006:140).
Keberadaan karikatur pada surat kabar, bukan berarti hanya
melengkapi surat kabar dan memberikan hiburan selain berita-berita utama
yang disajikan. Tetapi juga dapat memberikan informasi dan tambahan
pengetahuan terhadap masyarakat. Karikatur membangun masyarakat
melalui pesan-pesan sosial yang dikemas secara kreatif dengan pendekatan
simbolis.
Dalam buku desain komunikasi visual, kusmiati (1999:36),
mengatakan bahwa visualisasi adalah cara atau sarana untuk membuat
sesuatu yang abstrak menjadi lebih jelas secara visual yang mampu menarik
emosi pembaca, dapat menolong seseorang untuk menganalisa,
merencanakan dan memutuskan suatu problema dengan mengkhayalkannya
pada kejadian yang sebenarnya. Media verbal gambar merupakan media
yang paling cepat untuk menanamkan pemahaman. Informasi bergambar
lebih disukai dibandingkan dengan informasi tertulis karena menatap
gambar jauh lebih mudah dan sederhana. Gambar berdiri sendiri, memiliki
subjek yang mudah dipahami dan merupakan simbol yang jelas dan mudah
dikenal (Waluyanto, 2000:128).
Karikatur sebagai wahana penyampai kritik sosial seringkali kita
temui didalam berbagai media massa baik cetak maupun elektronik.
Didalam media ini, karikatur menjadi pelengkap artikel dan opini.
Keberadaannya biasa disajikan sebagai selingan atau dapat dikatakan
serius dengan sederetan huruf yang cukup melelahkan mata dan pikiran.
Meskipun sebenarnya pesan-pesan yang disampaikan dalam sebuah
karikatur sama seriusnya dengan pesan-pesan yang disampaikan lewat berita
dan artikel, namun pesan-pesan dalam karikatur lebih mudah dicerna karena
sifatnya yang menghibur. Seringkali gambar itu terkesan lucu dan
menggelikan sehingga membuat kritikan yang disampaikan oleh karikatur
tidak begitu dirasakan melecehkan atau mempermalukan (Indarto, 1999:5).
Karikatur sebenarnya memiliki arti sebagai gambar yang didistorsikan,
deplesetkan atau dipelototkan secara karakteristik tanpa bermaksud
melecehkan si pemilik wajah. Karikatur membangun masyarakat melalui
pesan-pesan sosial yang dikemas secara kreatif dengan pendekatan simbolis.
Jika dilihat dari wujudnya, karikatur mengandung tanda-tanda komunikatif.
Lewat bentuk-bentuk komunikasi itulah pesan tersebut menjadi bermakna.
Disamping itu, gabungan antara tanda dan pesan yang ada pada karikatur
diharapkan mampu mempersuasi khalayak yang dituju. Tulisan ini bertujuan
untuk mengkaji tanda verbal (terkait dengan judul, subjudul, dan teks) dan
tanda visual (terkait dengan ilustrasi, logo, tipografi dan tata visual)
karikatur dengan pendekatan semiotika.
Dalam sebuah karikatur yang baik, kita menemukan perpaduan dari
unsur-unsur kecerdasan, ketajaman, dan ketepatan berpikir secara kritis
serta ekspresif melalui seni lukis dalam menanggapi fenomena
permasalahan yang muncul dalam kehidupan masyarakat luas, yang secara
keseluruhan dikemas secara humoris, dengan demikian memahami karikatur
yang ingin disampaikan oleh karikaturisnya. Tokoh isi, maupun metode
pengungkapan kritik yang dilukiskan secara karikatural sangat bergantung
pada isu besar yang berkembang yang dijadikan headline.
Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa karikatur merupakan salah satu
wujud lambang (symbol) atau bahasa visual yang keberadaannya
dikelompokkan dalam kategori komunikasi non verbal dan dibedakan
dengan bahasa verbal yang berwujud tulisan atau ucapan. Karikatur
merupakan ungkapan ide atau pesan dari karikaturis kepada publik yang
dituju melalui simbol yang berwujud gambar, tulisan dan lainnya.
Gagasan menampilkan tokoh atau simbol yang relistis diharapkan
membentuk suasana emosional, karena gambar lebih mudah dimengerti
dibandingkan tulisan. Sebagai sarana komunikasi, gambar merupakan pesan
nonverbal yang dapat menjelaskan dan memberikan penekanan tertentu
pada isi pesan. Gambar dalam karikatur sangat berpengaruh, karena gambar
lebih mudah diingat daripada kata-kata, paling cepat pemahamannya dan
mudah dimengerti, karena terkait dengan maksud pesan yang terkandung
dalam isi dan menampilkan tokoh yang sudah dikenal. Gambar mempunyai
kekuatan berupa fleksibilitas yang tinggi untuk menghadirkan bentuk atau
perwujudan gambar menurut kebutuhan informasi visual yang diperlukan.
Simbol atau tanda pada sebuah karikatur mempunyai makna yang dapat
digali kandungan faktualnya. Dengan kata lain, bahasa simbolis
menciptakan situasi yang simbolis pula. Dimana didalamnya terkandung
Simbol pada gambar merupakan simbol yang disertai maksud (signal).
Sobur (2003:163) menyatakan bahwa pada dasarnya simbol adalah sesuatu
yang berdiri atau ada sesuatu yang lain, kebanyakan diantaranya
tersembunyi atau tidak jelas. Sebuah simbol dapat berdiri untuk institusi, ide,
cara berpikir, dan harapan. Dapat disimpulkan bahwa simbol atau tanda
pada sebuah gambar memiliki makna yang dapat digali, dengan kata lain
bahasa simbolis menciptakan situasi yang simbolis pula atau memiliki
sesuatu yang mesti diungkap maksud dan artinya.
Sementara itu pesan yang dikemukakan dalam karikatur,
disosialisasikan kepada khalayak sasaran melalui tanda. Secara garis besar,
tanda dapat dilihat dari dua aspek, yaitu tanda verbal dan tanda visual.
Tanda verbal akan didekati dari ragam bahasanya, tema dan pengertian
yang didapatkan, sedangkan tanda visual akan dilihat dari cara
menggambarkannya apakah secara ikon, indeks, maupun simbolis.
Digunakannya gambar karikatur dari harian Jawa Pos edisi 24
September 2011 sebagai objek penelitian, dikarenakan gambar karikatur
tersebut merupakan penggambaran peristiwa yang dialami oleh indonesia
dalam Kabinet Indonesia Bersatu II yang kurang berkualitas dalam
membangun negeri ini menjadi lebih baik dan maju, adanya protes dari
beberapa pihak, menunjukkan bahwa masih adanya kendala didalam kabinet
indonesia bersatu II hingga menuai protes dari masyarakat. Walaupun
pemerintah mengklaim sejumlah keberhasilan, adanya gelombang protes di
mana-mana menunjukkan ketidakpercayaan publik. Program 100 hari
kebijakan dalam menjawab segala persoalan. Salah satunya, sambung
Donatus, adalah soal kemerosotan kualitas hidup manusia dan ancaman
kegagalan. Tetapi secara kultural, batasan waktu yang diberlakukan
terhadap Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II tidak sejalan dengan budaya
waktu yang melembaga di masyarakat.
(
http://www.starbrainindonesia.com/site/mpm/161/sby-dinilai-gagal-sejahterakan-rakyat)
Sebab, pada umumnya orang Indonesia, tanpa terkecuali elite politik,
dalam menjalankan tugas menyuarakan kepentingan rakyat, cenderung
mempermainkan waktu objektif. Parpol yang menempatkan kadernya di
kabinet merasa berhasil dalam menjalankan tugas. Artinya, akan muncul
persaingan sengit antara kubu SBY-Demokrat dan partai koalisi dalam
memperebutkan kursi menteri yang dilengserkan. Karena itu, batasan waktu
dua ratus hari, bukan mustahil menjadi bumerang bagi pemerintahan
SBY-Boediono. Dipastikan penafsiran dari partai pendukung koalisi, yang harus
dilengserkan adalah menteri dari kubu Partai Demokrat atau para
profesional yang mengisi KIB II. Pada kondisi ini, yang paling mudah
dikorbankan ialah para profesional yang tidak mempunyai dukungan partai
politik. menteri agar lebih berpihak kepada rakyat. Meski penunjukan
menteri merupakan hak prerogatif presiden, sebaiknya pemerintahan
SBY-Boediono tidak lagi mengeluarkan batasan waktu untuk mengevaluasi
kinerja para menteri yang sarat dengan maksud unfuk melengserkan menteri.
Sebab, dalam perspektif komunikasi politik, evaluasi dan perbaikan
bisa dilakukan setiap saat, tanpa menunggu batasan waktu objektif. Idealnya,
memang menteri KIB II bekerja tetap menghargai waktu, namun sebaiknya
mereka tidak ditekan dengan batasan waktu. Lingkaran dalam Presiden
Yudhoyono dan Partai Demokrat harus menilai kinerja menteri berdasarkan
prestasi kerja dan tidak dikaitkan dengan sikap partai tempat menteri itu
bernaung. Sedangkan bagi elite politik, seharusnya tidak menilai kinerja
menteri secara subjektif sebatas mengunggulkan nafsu menggusur dan
memperoleh kaveling baru, tetapi didasarkan pada aspek faktual pencapaian
kinerja menteri terkait. Namun persoalannya, koalisi partai politik
pendukung pemerintahan SBY-Boediono memang rapuh, tidak integratif
dan jauh dari nilai kohesivitas aliansi partai politik. Alhasil, batasan waktu
dua ratus hari pemerintahan SBY merupakan saat yang ditunggu-tunggu
untuk memperebutkan posisi menteri dan memperkuat kekuasaan dari
sejumlah entitas politik di lingkaran pemerintahan.
(http://ekoharrysusanto.wordpress.com/2010/10/19/508/)
Saat ini media massa lebih menyentuh persoalan – persoalan yang
terjadi di masyarakat secara aktual, seperti harus lebih spesifik dan
proporsional dalam melihat sebuah persoalan sehingga mampu menjadi
media edukasi dan informasi sebagaimana diharapkan oleh masyarakat.
Sebagai lembaga edukasi, media massa harus dapat memilah kepentingan
pencerahan dengan kepentingan media massa sebagai lembaga produksi
sehingga kasus-kasus pengaburan berita tidak harus terjadi dan merugikan
Clekit merupakan opini redaksi media Jawa Pos yang dituangkan
dalam bentuk gambar karikatur yang menggambarkan berbagai
permasalahan bangsa ini. Baik masalah sosial, ekonomi, politik, budaya,
bahkan musibah yang sedang dialami masyarakat. Isi pesan dari gambar
tersebut biasanya ditujujukan untuk mengkritik kebijakan atau langkah
pemerintah atau lembaga dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang
berkaitan dengan kepentingan masyarakat luas. Tentu saja kritik yang
diopinikan media tersebut adalah kritik yang membangun, kritik yang
ditujukan kearah perbaikan untuk semua pihak yang bersangkutan.
Dalam gambar editorial Clekit edisi 24 september 2011, ditampilkan
di antaranya dengan visualisasi gambar orang laki-laki menggunakan topi
dengan berbicara. Orang itu berusaha memberikan komentar tentang
kualitas Kabinet Indonesia Bersatu II, dan sebuah mobil yang meletus
bannya dan bertuliskan “Kabinet Indonesia Bersatu II”.
Peneliti memilih Jawa Pos karena merupakan salah satu media yang
memberikan porsi pada idealisme yang termasuk pula pada visinya “Selalu
ada yang baru” yang sekaligus menjadi merek dagang Jawa Pos yang
membidik pasar kelas menengah ke atas. Media Jawa Pos merupakan salah
satu saluran komunikasi politik di indonesia sela era reformasi, realitas
media dapat dilakukan dengan berbagai macam cara. Di samping
menggunakan bahasa tulis sebagai media utama penyampaian informasi,
juga dapat menggunakan dengan memaknai gambar kartun. Sebagai koran
nasional peredaran Jawa Pos meliputi hampir seluruh kota di indonesia dan
Dalam rubrik karikatur Jawa Pos yang disebut “Clekit”. Jawa Pos
lebih kritis dan menggambarkan situasi sosial yang terjadi di masyarakat.
Sekmen karikatur pada koran Jawa Pos yaitu Clekit lebih berani dalam
mengkritisi sosial yang sedang terjadi. Clekit berani menggambarkan
seorang yang berbicara kualitas Kabinet Indonesia Bersatu II. Dalam kasus
ini Jawa Pos berani mengkritik dengan menggunakan gambar lelaki yang
menilai tentang kualitas dan mobil yang bertuliskan kabinet indonesia
bersatu II. Hal ini yang membuat peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian dengan studi semiotik Peirce pada gambar karikatur tersebut.
Dari beberapa uraian di atas, pemilihan gambar karikatur Clekit
sebagai objek penelitian karena gambar karikaturnya yang unik, karena apa
yang disajikan dalam gambar karikatur editorial tersebut seakan-akan
menggambarkan tanggapan permasalahan yang terjadi dalam sudut pandang
masyarakat indonesia yang diwakili oleh kartunis. Dalam mengungkapkan
makna pesan gambar karikatur tersebut, peneliti menggunakan pendekatan
semiotik menurut Charles Sanders Peirce yaitu tanda atas ikon, indeks, dan
simbol yang berhubungan dengan acuannya.
Semiotik untuk studi media massa tidak hanya terbatas sebagai
kerangka teori, namun sekaligus juga sebagai metode analisis (Sobur,
2004:83). Menurut Peirce salah satu bentuk tanda adalah kata. Sedangkan
objek adalah sesuatu yang dirujuk tanda. Sesuatu yang digunakan agar tanda
dapat berfungsi, oleh Peirce disebut ground. Sementara itu, pesan yang
dikemukakan dalam pesan karikatur, disosialisasikan kepada khalayak
yaitu tanda verbal dan tanda visual. Tanda verbal akan didekati dengan
ragam bahasanya, tema, dan pengertian yang didapatkan. Sedangkan tanda
visual akan dilihat dari cara menggambarkan, apakah secara ikonis,
indeksikal, atau simbolis, dan bagaimana cara mengungkapkan idiom
estetiknya dimana hal tersebut terangkum dalam teori Charles Sanders
Peirce. Tanda-tanda yang telah dilihat dan dibaca dari dua aspek secara
terpisah, kemudian diklasifikasikan dan dicari hubungan antara yang satu
1.2 Per umusan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :
Bagaimana makna karikatur “Clekit” pada Koran Jawa Pos edisi Sabtu, 24
September 2011?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana
makna yang dikomunikasikan karikatur “Clekit” pada Koran Jawa Pos edisi
Sabtu, 24 September 2011 dengan menggunakan pendekatan semiotika.
1.3 Manfaat Penelitian
1. Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
pada Ilmu Komunikasi mengenai karikatur “Clekit” pada Koran Jawa
Pos edisi Sabtu, 24 September 2011.
2. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan atau
masukan untuk mengetahui penerapan tanda dalam studi semiotik
sehingga dapat memberi makna bagi para pembaca Koran Jawa Pos
KAJ IAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teor i
2.1.1 Sur at Kabar
Salah satu komunikasi massa dalam bentuk media cetak adalah surat
kabar. Dengan sendirinya surat kabar juga mempunyai fungsi-fungsi
komunikasi massa. Hal ini dapat diketahui batasan ataupun kriteria standar
surat kabar.
Menurut Assegaf (1991:140) surat kabar adalah penerbitan yang
berupa lembaran yang berisi berita-berita, karangan-karangan dan iklan
yang dicetak dan terbit secara tetap dan periodik dan dijual untuk umum.
Selain itu surat kabar juga mempunyai beberapa karakteristik. Menurut
Pareno (2005:24) karakteristik surat kabar adalah sebagai berikut :
1. Berita merupakan unsur utama yang dominan
2. Memiliki ruang yang relatif lebih leluasa
3. Memiliki waktu untuk dibaca ulang lebih lama
4. Umpan balik relatif lebih lamban
5. Kesegaran (immediately) relatif lebih lamban
6. Dalam hal kenyataan relatif kurang kredibel
Ada beberapa alasan orang membaca surat kabar. Seseorang ingin
tahu sesuatu karena berbagai alasan: untuk meraih prestise, menghilangkan
kebosanan, agar merasa lebih dekat dengan lingkungannya, atau untuk
menyesuaikan perannya di masyarakat. Bagi sebagian orang, koran
merupakan sumber informasi dan gagasan tentang berbagai masalah publik
yang serius. Bagi sebagian yang lain, koran bukan untuk mencari informasi,
melainkan untuk mengisi rutinitas. Sebagian pembaca juga menjadikan
koran untuk membuang kejenuhan dari kehidupan sehari-hari. (Rivers dan
Peterson, 2003:313).
Komunikasi massa berfungsi menyiarkan informasi, gagasan dan
sikap kepada komunikan yang beragam dalam jumlah yang banyak dengan
menggunakan media (Effendy, 2003:80).
Banyak definisi tantang komunikasi massa yang telah dikemukakan
para ahli komunikasi. Banyak ragam dan titik tekan yang dikemukakannya.
Namun, dari sekian banyak definisi itu ada benang merah kesamaan definisi
satu sama lain. Pada dasarnya komunikasi masssa adalah komunikasi
melalui media massa (media cetak dan elektronik). Sebab, awal
perkembanggannya saja, komunikasi massa berasal dari pengembangan kata
media of mass communication (media komunikasi massa) yang dihasilkan
oleh teknologi modern (Nurudin, 2007:4).
Menurut Gerbner (1967) dalam (Rakhmat, 2002:188) komunikasi
massa adalah produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi dan
lembaga dari arus pesan yang continue serta paling luas dimiliki orang
Komunikasi massa (masa communication) adalah komunikasi yang
dilakukan melalui media massa modern meliputi surat kabar yang
mempunyai sirkulasi yang luas, siaran radio dan televisi yang ditujukan
kepada umum dan film yang dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop
(Effendy, 2003:79).
Secara teoritis, berbagai media masssa memiliki fungsi sebagai
saluran informasi, saluran pendidikan, dan saluran hiburan, namun
kenyataannya media massa memberikan efek lain diluar fungsinya. Efek
media massa tidak hanya mempengaruhi perilaku, bahkan pada tataran yang
lebih jauh efek media massa dapat mempengaruhi sistem-sistem sosial
maupun sistem budaya masyarakat. Bekaitan dengan efek media massa
maka salah satu media massa yang juga dapat memberikan efek kepada
khalayaknya adalah surat kabar. Surat kabar merupakan kumpulan dari
berita, artikel, cerita, iklan dan sebagainya yang dicetak ke dalam lembaran
kertas ukuran plano yang diterbitkan secara teratur, terbit setiap hari atau
seminggu satu kali (Djuroto, 2002:11)
Surat kabar merupakan salah satu kajian dalam studi ilmu komunikasi,
khususnya pada studi komunikasi massa. Dalam buku “Ensiklopedi Pers
Indonesia” disebutkan bahwa pengertian surat kabar sebagai sebutan bagi
penerbit pers yang masuk dalam media massa cetak yaitu berupa
lembaran-lembaran berisi berita-berita , karangan-karangan dan iklan yang diterbitkan
secara berkala dan diedarkan secara umum (Junaedhi, 1991:257).
Surat kabar pada perkembanggannya, menjelma sebagai salah satu
sebuah kontrol sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal
tersebut disebabkan karena falsafah pers yang selalu identik dengan
kehidupan sosial, budaya dan politik.
Menurut (Sumadiria, 2005:32-35) dalam jurnalistik indonesia
menunjukkan 5 fungsi dari pers yaitu:
1. Fungsi Informasi, sebagai sarana untuk menyampaikan informasi
secepat-cepatnya kepada masyarakat yang seluas-luasnya yang aktual, akurat,
faktual dan bermanfaat.
2. Fungsi Edukasi, informasi yang disebarluaskan pers hendaknya dalam
kerangka mendidik. Dalam istilah sekarng pers harus mau dan mampu
memerankan dirinya sebagai guru pers.
3. Fungsi Hiburan, pers harus mampu memerankan dirinya sebagai wahana
hiburan yang menyenangkan sekaligus menyehatkan bagi semua lapisan
masyarakat.
4. Fungsi kontrol sosial atau koreksi, pers mengemban fungsi sebagai
pengawas pemerintah dan masyarakat. Pers akan senantiasa menyalahkan
ketika penyimpangan dan ketidak adilan dalam suatu masyarakat atau
negara.
5. Fungsi Mediasi, dengan fungsi mediasi, pers mampu menjadi fasilisator
atau mediator menghubungkan tempat yang satu dengan yang lain,
peristiwa yang stu dengan yang lain, atau orang yang satu dengan yang
2.1.1.1 Cir i-Cir i Surat Kabar
Adapun ciri-ciri surat kabar menurut (Effendy, 2003:31) adalah
sebagai berikut:
1. Publisitas
Yang dimaksud dengan publisitas adalah penyebaran kepada publik
atau khalayak. Karena diperuntukkan khalayak, maka sidat surat kabar
adalah umum. Isi surat kabar terdiri dari berbagai hal yang erat
kaitannya dengan kepentingan umum.
2. Periodisitas
Periodisitas adalah ciri surat kabar yang kedua. Keteraturan terbitnya
surat kabar bisa satu kali sehari, bisa dua kali sehari, dapat pula satu
kali atau dua kali seminggu.
3. Universalitas
Yang dimaksud Universalitas sebagai ciri ketiga surat kabar ialah
kesemestaan isinya, aneka ragam dan dari seluruh dunia.
4. Aktualitas
Aktualitas sebagai ciri keempat dari surat kabar adalah mengenai berita
yang disiarkannya. Hal-hal yang disiarkan media cetak lainnya bisa saja
mengandung kebenaran, tetapi belum tentu mengenai sesuatau yang
baru terjadi. Diantara media cetak, hanyalah surat kabar yang
2.1.1.2 Komunikasi Politik
Politics, dalam bahasa inggris, adalah sinonim dari kata atau ilmu
politik dalam bahasa indonesia, bahasa yunani mengenal beberapa istilah
yang terkait dengan kata politik, seperti politics (menyangkut warga negara),
polities (seorang warga negara), polis (kota negara), dan politeia
(kewargaan). Pengertian leksikal seperti ini mendorong lahirnya penafsiran
politik sebagai tindakan-tindakan, termasuk tindakan komunikasi atau relasi
sosial dalam konteks bernegara atau dalam urusan publik. Penafsiran seperti
ini selaras dengan konsepsi seorang antropolog semisal Smith yang
menyatakan bahwa politik adalah serangkaian tindakan yang mengarahkan
dan menata urusan-urusan publik (Nie dan Verb, 1975:146).
Selain terdapat fungsi administratif pemerintahan, dalam sistem
politik juga terjadi penggunaan kekuasaan (power) dan perebutan
sumber-sumber kekuasaan . Smith sendiri memahami kekuasaan sebagai pengaruh
atas pembuatan keputusan-keputusan dan kebijakan-kebijakan yang
berlangsung secara terus-menerus. Konsep lain yang berkaitan dengan
politik adalah otoritas (authority), yaitu kekuasaan (formal) yang
terlegitimasi.
Dalam pandangan (Surbakti, 1993:31), politik didefinisikan sebagai
“The Management oc Conflict”. Definisi ini didasarkan pada satu anggapan
bahwa salah satu tujuan pokok pemerintahan adalah untuk mengatur konflik.
Jadi pemerintahan sendiri pada dasarnya diperlukan untuk memberikan
kemungkinan terjadinya konflik diantara individu ataupun kelompok dalam
masyarakat. Pengertian ini memang didasarkan pada realitas politik di
negara-negara bagian di Amerika.
(http://kompol.wordpress.com/2008/03/25/pengantar-komunikasi-politik/)
Dalam proses politik, terlihat kemudian posisi penting komunikasi
politik terutama sebagai jembatan untuk menyampaikan pesan-pesan. Proses
ini berlangsung di semua tingkat masyarakat di setiap tempat yang
memungkinkan terjadinya pertukaran informasi di antara individu-individu
dengan kelompok-kelompoknya. Sebab dalam kehidupan bernegara, setiap
individu memerlukan informasi terutama mengenai kegiatan masing-masing
pihak menurut fungsinya. Jadi dalam kerangka fungsi seperti ini, Rush dan
(Althoff, 1997:24) mendefinisikan komunikasi politik sebagai, proses
dimana informasi politik yang relevan diteruskan dari suatu bagian sistem
politik kepada bagian lainnya, dan diantara sistem-sistem sosial dengan
sistem-sistem politik.
Merupakan suatu gejala sosial yang banyak memperoleh perhatian
para ilmuwan sosial terutama para ahli komunikasi, ilmu politik, dan
sosiologi. (McQuail, 1992:472-473) mengatakan bahwa komunikasi politik
merupakan “All processes of information (including facts, opinions, beliefs,
etc) transmission, exchange and search engaged in by participants in the
course of institutionalized political activities” (semua proses penyampaian
pesan informasi termasuk fakta, pendapat-pendapat, keyakinan-keyakinan
oleh para partisipan dalam konteks kegiatan politik yang lebih bersifat
melembaga).
Sekarang ini komunikasi politik banyak sekali yang berlangsung
dengan menggunakan media massa (mass media), seperti surat kabar, radio,
dan televisi. Konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh
penyebarluasan pesan-pesan (informasi dan citra) melalui media massa.
Media massa tidak hanya menjadi bagian yang integral dari politik,
tetapi juga memiliki posisi yang sentral dalam politik. Rancangan kebijakan
harus disebarluaskan agar rakyat mengetahui dan ikut mendiskusikan dalam
berbagai bentuk forum diskusi publik. Semuanya membutuhkan media
untuk menyampaikannya. Informasi media kemudian membentuk persepsi,
pendapat, sikap dan akhirnya tindakan publik. Disisi lain, media massa juga
diuntungkan dengan perkembangan politik karena media massa memperoleh
bahan publikasi yang diminati oleh publik. Oleh sebab itulah, media massa
tidak dapat lepas dari politik, dan begitu pula sebaliknya, politik tidak dapat
lepas dari media massa (Pawito, 2009:28-91-92).
2.1.1.3 Kar ikatur
Karikatur adalah deformasi berlebihan atas wajah seseorang, biasanya
orang terkenal, dengan mempercantiknya dengan penggambaran ciri khas
lahiriahnya untuk bertujuan mengejek. (Sudarta, 1987 dalam Sobur,
2006:138).
Senada dengan Sudarta, Pramono berpendapat bahwa sebetulnya
kaprah. Karikatur yang sudah diberi beban pesan, kritik, dan sebagainya
berarti telah menjadi kartun opini. Dengan kata lain, kartun yang membawa
pesan kritik sosial, yang muncul di setiap penerbitan surat kabar adalah
political cartoon atau editorial cartoon, yakni versi lain dari editorial, atau
tajuk rencana dalam versi gambar humor. Inilah yang disebut sebagai
karikatur (Sudarta, 1987 dalam Sobur, 2006:139).
Dalam Encylopedia of The Art dijelaskan, karikatur merupakan
representasi sikap atau karakter seseorang dengan cara melebih-lebihkan
sehingga melahirkan kelucuan. Karikatur juga sering dipakai sebagai sarana
kritik sosial dan politik (Sumandiria, 2005:8).
Secara singkat dapat dijelaskan, bahwa karikatur seperti halnya kartun
strip, kartun gags (kartun kata), kartun komik dan kartun animasi adalah
bagian dari apa yang dinamakan kartun.
Karikatur adalah suatu produk keahlian seorang karikaturis, baik dari
segi pengetahuan, intelektual, teknik melukis, psikologis, cara melobi,
referensi bacaan, maupun bagaimana dia memilih topik isu yang tepat.
Karena itu, kita bisa mendeteksi intelektual seorang karikaturis dari sudut
ini. Juga, cara dia mengkritik yang secara langsung membuat orang yang
dikritik justru tersenyum. (Sobur, 2006:140)
Karikatur adalah bagian dari opini penerbit yang dituangkan dalam
bentuk gambar-gambar khusus. Semula, karikatur ini hanya merupakan
selingan atau ilustrasi belaka. Namun, pada perkembangan selanjutnya,
Dikatakan kritik yang sehat karena penyampaiannya dilakukan dengan
gambar-gambar lucu dan menarik (Sobur, 2006:40).
Kartun sendiri merupakan produk keahlian seorang kartunis, baik dari
segi pengetahuan, intelektual, teknik menulis, psikologis, cara melobi,
referensi, bacaan, maupun bagaimana tanggapan atau opini secara subjektif
terhadap suatu kejadian, tokoh, suatu soal, pemikiran, atau pesan tertentu,
karena itu kita bisa mendeteksi tingkat intelektual sang kartunis dari sudut
ini. Juga cara dia mengkritik yang secara langsung membuat orang yang
dikritik justru tersenyum (Sobur, 2003:140).
Kartun merupakan symbolic speech (komunikasi tidak langsung),
artinya bahwa penyampaian pesan yang terdapat dalam gambar kartun tidak
dilakukan secara langsung tetapi dengan menggunakan bahasa simbol.
Dengan kata lain, makna yang terkandung dalam gambar kartun tersebut
merupakan makna yang terselubung. Simbol-simbol pada gambar kartun
tersebut merupakan simbol yang disertai signal (maksud) yang digunakan
dengan sadar oleh orang yang mengirimnya dan mereka yang menerimanya.
2.1.1.4 Kar ikatur Dalam Media Cetak
Komunikasi massa secara umum diartikan sebagai komunikasi yang
dilakukan melalui media cetak seperti majalah, surat kabar, radio, televisi,
dan lain sebagainya. Komunikasi massa merupakan komunikasi dimana
penyampaian pesan kepada sejumlah orang dilakukan melalui media cetak.
Baik kartun maupun karikatur di indonesia belakangan ini sudah bisa
estetika, disamping kadar humornya. Karikatur penuh dengan
perlambangan-perlambangan yang kaya akan makna, oleh karena itu
karikatur merupakan ekspresi dari situasi yang menonjol di dalam
masyarakat. Setajam atau sekeras apapun kritik yang disampaikan sebuah
gambar karikatur, tidak akan menyebabkan terjadinya evolusi. Dengan kata
lain, karikatur dapat mengetengahkan suatu permasalahan yang sedang
hangat di permukaan.
Menurut Anderson, dalam memahami situdi komunikasi politik di
indonesia akan lebih muda dianalisa mengenai konsep politik indonesia
dengan membedakan dalam dua konsep, yaitu dengan Direct Speech
(komunikasi langsung) dan Symbolic Speech (komunikasi tidak langsung).
Komunikasi langsung merupakan konsepsi politik yang analisanya dipahami
sejauh penelitian tersebut ditinjau dari komunikasi yang bersifat langsung,
seperti humor, gossip, diskusi, argumen, intrik, dan lain-lain. Sedangkan
komunikasi tidak langsung, tidak dapat secara langsung dipahami maupun
diteliti seperti patung, monument, dan simbol-simbol lainnya (Bintoro
dalam Marliani, 2004:49).
Peran karikatur yang tertulis seperti yang telah diuraikan di atas,
merupakan alasan utama dijadikannya karikatur sebagai objek studi ini.
Selain karena karikatur merupakan suatu penyampaian pesan lewat kritik
yang sehat dan juga suatu keahlian karikaturis adalah bagaimana dia
2.1.1.5 Tipogr afi Hur uf
Tipografi didefinisikan sebagai suatu proses seni untuk menyusun
bahan publikasi menggunakan huruf cetak. Oleh karena itu, menyusun
meliputi merancang bentuk huruf cetak hingga merangkainya dalam sebuah
komposisi yang tepat untuk memperoleh suatu efek tampilan yang
dikehendaki. Huruf cetak memang huruf yang akan dicetakkan pada suatu
media tertentu, baik menggunakan mesin cetak offset, mesin cetak dekstop,
cetak sablon pada body pesawat terbang, bordir pada kostum pemain sepak
bola, maupun publikasi di halaman web.
Pemilihan huruf tidak semudah yang dibayangkan, ribuan bahkan
jutaan jumlah huruf menyebabkan desainer harus cermat dalam memilih
tipografi yang tepat untuk karyanya. Rangkaian huruf dalam sebuah kata
atau kalimat bukan saja bisa berarti suatu makna yang mengacu kepada
sebuah objek ataupun gagasan, tetapi juga memiliki kemampuan untuk
menyuarakan suatu citra ataupun kesan secara visual. Hal itu dikarenakan
terdapatnya nilai fungsional dan nilai estetika dalam suatu huruf. Pemilihan
jenis huruf disesuaikan dengan citra yang ingin diungkapkan.
Ada berbagai cara pendekatan untuk memperdalam ilmu maupun
wawasan mengenail ilmu tentang huruf :
1. Melalui pengenalan sejarah tentang huruf
2. Mengenali anatomi bentuk huruf
3. Membandingkan ciri masing-masing bentuk huruf
4. Mempelajari tata letak huruf
Mempelajari ilmu bentuk huruf dengan emosi pesan yang hendak
disampaikan (Kusrianto, 2007:190).
Teks menurut Aart Van Zoest, tak pernah lepas dari ideologi dan
memiliki kemampuan untuk memanipulasi pembaca kearah suatu ideologi
(Zoest, 1991:70). Ideologi adalah sistem ide-ide yang diungkapkan dalam
komunikasi.
Tipografi juga merupakan bagian teks. Tipografi, atau sering juga
disebut jenis huruf. Biasanya, jenis huruf yang dipakai dalam pembuatan
poster tidak banyak, maksimal 3 jenis. Itu pun, huruf-huruf yang jelas tegas,
tidak berkaitan. Teorinya jangan menyulitkan audience memahami pesan
anda! Dibuat mudah saja orang sering malas membaca, apalagi kalau
tulisannya tidak jelas dan ada bayang-bayangnya (Putra, 2007:74).
Perancang poster dapat memilih jenis-jenis huruf yang tersedia, ada
begitu banyak pilihan, dengan mempertimbangkan keindahan dan
karakternya (Putra, 2007:74). Sebagai contoh :
1. Broadway
2. Kodchiang UPC
3. Lucida Bright
4. Arial Black
5. AvantGarde Md BT
6. Bodoni MT Black
7. Gill Sans Ultra Bold
8. Century, Century Gothic
Arial dirancang untuk jenis yang satu pada tahun 1982 oleh Robin
Saunders Patricia Nicholas dan desain kontemporer san serif, Arial berisi
karakteristik lebih humanis daripada banyak dari pendahulunya dan sebagai
tersebut lebih cocok dengan suasana dekade terakhir abad kedua puluh.
Perlakuan keseluruhan kurva adalah lebih lembut dan lebih lengkap
dibandingkan di sebagian besar industri gaya sans serif wajah. Stroke
Terminal yang dipotong diagonal yang membantu untuk memberikan wajah
penampilan kurang mekanis. Arial adalah sebuah keluarga yang sangat
serbaguna dari tipografi yang dapat digunakan dengan keberhasilan yang
sama bagi teks pengaturan dalam laporan, presentasi, majalah dll, dan untuk
menampilkan digunakan dalam surat kabar, periklanan dan promosi
(http://www.searchfreefonts.com/font/arial.htm).
2.1.1.6 Kr itik Sosial
Indonesia terbangun ketika budaya tulis sudah menyebar luas,
ketika segala tatanan kehidupan dirumuskan secara tertulis dan tidak tertulis
baik dalam bentuk buku, majalah, surat kabar, radio, televisi, dan internet.
Semakin luas melalui pendidikan modern dan yang tak kalah pentingnya,
ketika segala bentuk tulisan sebagian besar memyampaikan berbagai
informasi melalui bahasa indonesia dijadikan media resmi pendidikan
nasional dan sebagai alat komunikasi dalam birokrasi (Masoed, 1992:42).
Dengan demikian melestarikan atau mempertahankan kritik
terselubung dalam konteks budaya yang tidak lagi menopangnya, sama saja
lahir dari kebutuhan pengembang hidup bersama manusia. Dalam konteks
budaya tulis, budaya modern materialistis yang berpenopang pada budaya
tulis di atas pembangunan, pengembangan, dan penyebaran kritik sama
statusnya dengan pembangunan dan pengembangan, dan penyebaran kritik
itu sendiri.
Dalam beberapa pengertian kritik sosial mengandung konotasi negatif
seperti “celaan”, namun kata “kecaman” mengandung kemungkinan kata
positif yaitu dukungan, usulan, atau saran, penyelidikan yang cermat
(Masoed, 1999:36). Definisi “kritik” menurut kamus Oxford adalah “one
who appreises literaryor artistic work” atau suatu hal yang membentuk dan
memberikan penilaian untuk menemukan kesalahan terhadap sesuatu. Kritik
awalnya dari bahasa Yunani (Kritike = pemisahan, Krinoo = memutuskan)
dan berkembang dalam bahasa inggris “critism” yang berarti evaluasi atau
penilaian tentang sesuatu. Sementara sosial adalah suatu kajian yang
menyangkut kehidupan dalam bermasyarakat menciptakan suatu kondisi
sosial yang tertib dan stabil (Susanto, 1986:7).
Dalam kritik sosial, pers, dan politik indonesia adalah salah satu
bentuk komunikasi dalam masyarakat yang bertujuan atau berfungsi sebagai
sumber kontrol terhadap jalannya sebuah sistem sosial atau proses
bermasyarakat. Dalam konteks inilah kritik sosial merupakan salah satu
unsur penting dalam memelihara sistem sosial. Dengan kata lain, kritik
sosial dalam hal ini berfungsi sebagai wahana untuk kontroversi dan
reproduksi sebuah sistem sosial atau masyarakat (Abar dalam Masoed,
Kritik sosial juga dapat berarti sebuah inovasi sosial dalam arti bahwa
kritik sosial menjadi sarana komunikasi gagasan baru, sembari menilai
gagasan lama, untuk suatu perubahan sosial. Kritik sosial konservatif, status
quo dalam masyarakat untuk perubahan sosial, kritik sosial dalam
pengertian ini sering muncul ketika masyarakat atau sejumlah orang atau
kelompok sosial dalam masyarakat yang menginginkan suasana baru,
suasana yang lebih baik dan lebih maju, atau secara kritik sosial yang
demikian yang lebih banyak dianut kaum oleh kritis dan struktualis. Mereka
melihat kritik sosial adalah wahana komunikatif untuk suatu tujuan
perubahan sosial. Suatu kritik sosial selalu menginginkan perbaikan, ini
berarti bahwa suatu kritik sosial yang murni kurang didasarkan pada
peneropongan kepentingan diri saja, melainkan justru menitikberatkan dan
mengajak masyarakat atau khalayak untuk memperhatikan
kebutuhan-kebutuhan nyata dalam masyarakat. Suatu kritik sosial kiranya didasarkan
pada rasa tanggung jawab atas perkembangan lingkungan sosialnya,
sehingga diharapkan dapat menuju ke arah perbaikan dalam masyarakat
untuk mewujudkan suatu ketertiban sosial (susanto, 1986:105).
Kritik sosial dapat disampaikan melalui berbagai wahana, mulai dari
cara yang paling tradisional, seperti berjemur diri, ungkapan-ungkapan
sindiran melalui komunikasi antar personal dan komunikasi sosial melalui
berbagai pertunjukan sosial dan kesenian dalam komunikasi publik, seni
sastra, dan melalui media massa. Kritik dari masyarakat ini hendaknya
ditanggapi dengan serius oleh pemerintah. Memang dalam menanggapi
menunjukkan adanya perhatian dari pemerintah. Perhatian inilah yang
secara akumulatif membentuk kesan, pemerintah mempunyai kepedulian
yang tinggi terhadap rakyatnya. Apabila masyarakat sudah diperhatikan
aspirasinya, masyarakat tidak akan lupa budi, sehingga apabila pemerintah
mempunyai program kerja maka partisipasi mayarakat akan muncul dengan
sendirinya (Panuju, 1999:49).
Kritik sosial itu sebenarnya merupakan sesuatu yang positif karena ia
mendorong sesuatu yang terjadi didalam masyarakat untuk kembali ke
kriteria yang dianggap wajar dan telah disepakati bersama. Menurut Aris
Susanto dalam bidang politik istilah kritik sosial seringkali memperoleh
konotasi negatif karena diartikan mencari kelemahan-kelemahan pihak lain
dalam pertarungan politik sehingga arti yang substansial dari kritik sosial itu
menjadi kabur (Masoed, 1999:71).
Kesan oposisi sejauh mungkin harus dapat dihindarkan, masyarakat
awam menanggap kritik sama dengan oposisi, yang artinya “pihak sana”
(out group) sehingga kritik tertuju kebijaksanaan atau oknum aparat
pemerintah, diidentifikasi sebagai penentang atau melawan pemerintah.
Padahal, kritik bukanlah seperti itu. Kritik tidak selamanya berati melawan.
Kritik itu mengandung muatan-muatan saling memberi arti. Setidaknya
menjadi masukan yang dapat dipertimbangkan dalam merumuskan
kebijaksanaan dan tindak lanjutnya (Ali, 1999:84).
Kritik-kritik terbaik, sesuai dengan setting sosial, politik, dan budaya
kita adalah kritik yang membuat saran kritik menangis, tapi dalam mimik
sasaran tertentu, kritik tersebut tidak boleh membuat malu sasaran kritik
dihadapkan publik, apalagi secara meluas.
Sesuai dengan ciri makhluk rasional, maka keterbukaan kritik harus
mengandung beberapa unsur utama. Diantaranya adalah peningkatan
supremasi individu, kompetisi dan membuka peluang pengarahan bagi
tindakan manusia untuk meraih sukses dan keuntungan di planet bumi ini
(Ali, 1999:194).
Dengan demikian, melestarikan atau mempertahankan kritik
terselubung dalam konteks budaya yang tidak lagi menopangnya sama saja
membunuh eksistensi kritik sebagai sebuah institusi sosial yang lahir dari
kebutuhan pengembangan hidup kebersamaan manusia. Dalam konteks
budaya tulis, budaya modern materealistis yang berpenopang pada budaya
tulis di atas, pembangunan, pengembangan, penyebaran kritik sama
statusnya dengan pembangunan, pengembangan, dan penyebaran kritik itu
sendiri.
2.1.1.7 Kualitas Kabinet Indonesia Ber satu II
Kepemimpinan SBY-Budiono telah gagal memegang amanah rakyat.
Meski SBY telah melakukan pergantian menterinya dan penambahan untuk
wakil menteri dijajaran Kabinet Indonesia Bersatu II.
(http://berita.liputan6.com/read/358932/mahasiswa-gelar-demo-anti
sbyboediono)
Masalah loyalitas terutama ketika banyak orang dari parpol dalam
baik Presiden SBY menaruh orang-orang profesional di kementrian sesuai
latar belakangnya. Sebenarnya presiden SBY nyaris tidak mempunyai
pilihan lain, selain memilih menteri dari kalangan profesional. Hal tersebut
seharusnya dilakukan apabila ingin memberikan warisan yang diingat
publik setelah menjabat selama 10 tahun. Ini adalah tahun ketujuh, mau
tidak mau Presiden SBY harus memilih menteri dari jajaran profesional.
(http://www.seputarindonesia.com/edisicetak/content/view/437070/).
Dalam usia pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono
SBY-Boediono yang baru saja menyelesaikan program seratus hari kerja, kritik
terhadap kinerja Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 11 terus menggelinding.
Padahal Presiden Yudhoyono sudah mengklaim bahwa ringkat keberhasilan
program yang ditetapkan mencapai 90%. Bahkan dengan percaya diri
menetapkan lagi batasan waktu dua ratus hari kerja ke depan, untuk
mengevaluasi kinerja para menteri dalam KIB II.
Batasan waktu secara umum bisa mendorong kinerja organisasi politik.
Tetapi secara kultural, batasan waktu yang diberlakukan terhadap Kabinet
Indonesia Bersatu Jilid II tidak sejalan dengan budaya waktu yang
melembaga di masyarakat. Sebab, pada umumnya orang Indonesia, tanpa
terkecuali elite politik, dalam menjalankan tugas menyuarakan kepentingan
rakyat, cenderung mempermainkan waktu objektif.
2.1.1.8 Pendekatan Semiotika
Kata “semiotika” berasal dari bahas Yunani, semeion yang berarti
tanda, atau Seme yang berarti penafsir tanda. Semiotika sendiri berakar dari
studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika, poetika. Semiotika
adalah cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang tanda. Tanda
terdapat dimana-mana “kata” adalah tanda, demikian pula gerak isyarat,
lampu lalu lintas, bendera, dan senagainya. Struktur kaya sastra, struktur
film, bangunan (arsitektur) atau nyanyian burung dapat dianggap sebagai
tanda. Segala sesuatu dapat menjadi tanda, tanda-tanda tersebut
menyampaikan suatu informasi atau pesan baik secara verbal maupun non
verbal sehingga bersifat komunikatif. Hal tersebut memunculkan suatu
proses pemaknaan oleh penerima tanda akan makna informasi atau pesan
dari pengirim pesan. Semiotika merupakan cabang ilmu yang semula
berkembang dalam bidang bahasa.
Dalam perkembanganya kemudian semiotika bahkan masuk pada
semua segi kehidupan manusia, sehingga Derrida (dalam Kurniawan,
2008:34), mengikrarkan bahwa tidak ada sesuatupun di dunia ini sepenting
bahasa. “there is nothing outside language”. Bahasa dalam hal ini dibaca
sebagai “teks” atau “tanda”.
Charles Sanders Peirce merupakan ahli filsafat dan tokoh terkemuka
dalam semiotika modern Amerika menegaskan bahwa, manusia hannya
dapat berfikir dengan sarana tanda dan manusia hanya dapat berkomunikasi
dengan tanda. Tanda yang dapat dimanfaakandalam seni rupa berupa tanda
warna, bentuk, tekstur, komposisi, dan sebagainya. Tanda-tanda yang
bersifat verbal adalah objek yang dilukiskan, seperti objek, manusia,
binatang, alam, imajinasi atau hal-hal lainnya yang abstrak. Apapun
alasannya (senirupawan, designer) untuk berkarya, karyanya adalah sesuatu
yang kasat mata, karena itu secara umum bahasa digunakan untuk
merangkul segala yang kasat mata dan merupakan media antara perupa
dengan pemerhati atau penonton. Seniman dan designer membatasi bahasa
rupa pada segitiga, estetis – simbolis – bercerita (Story Telling). Bahasa
merupakan imaji dan tata ungkapan. Imaji mencakup makna yang luas, baik
imaji yang kasat mata maupun imaji yang ada khayalnya.
Menurut Peirce model yang membahas mengenai makna dalam studi
semiotik mempunyai tiga fundamental (Sobur, 2006:41), yaitu :
1. Ikon
Adalah tanda yang berhubungan antara tanda dan acuannya bersifat
bersamaan bentuk alamiah (berupa hubungan kemiripan). Misalnya
adalah potret dalam peta. Potret merupakan ikonik dari pulau yang ada
dalam peta tersebut.
2. Indeks
Adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara tanda dan
acuannya yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda
yang langsung mengacu pada kenyataanya. Misalnya ada asap sebagai
3. Simbol
Adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara tanda dan
acuannya (berdasarkan hubungan konvensi atau perjanjian). Misalnya
orang yang menggelengkan kepalanya merupakan simbol yang
menandakan ketidak setujuan yang termasuk secara konvensional.
Dalam semiotik model yang digunakan dapat berasal dari berbagai ahli,
seperti Saussure, Peirce, dan sebagainya. Pada penelitian ini yang akan
digunakan adalah model semiotik milik Peirce karena adanya kelebihan
yang dimiliki yaitu tidak mengkhususkan analisisnya pada studi linguistik.
2.1.1.9 Semiotika Char les Sander s Peir ce
Semiotik untuk studi media massa tidak hanya terbatas sebagai
kerangka teori, namun sekaligus juga sebagai metode analisis (Sobur,
2004:83). Bagi Peirce tanda “is something which stand to somebody for
something in some respect or capacity”. Kita misalnya dapat menjadikan
teori Segitiga Makna (Triangle Meaning), menurut Peirce salah satu bentuk
tanda adalah kata. Sedangkan objek adalah sesuatu yang dirujuk tanda.
Sesuatu yang digunakan agar tanda dapat berfungsi, oleh Peirce disebut
ground. Konsekuensinya, tanda (sign atau Represetamen) selalu terdapat
dalam sebuah triadik, yakni ground dan interpretant (Sobur, 2004:41).
Sementara itu interpretant adalah suatu tanda yang ada dalam benak
seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Apabila ketiga elemen
Sign
Objek Interpretant
tentang sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut. Makna adalah persoalan
bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan
orang pada waktu berkomunikasi (Barthes dalam kurniawan, 2008:37).
Charles Sanders Peirce membagi antara tanda dan acuannya tersebut
menjadi kategori ikon, indeks, simbol adalah tanda yang hubungan antara
penanda dan petandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah. Atau dengan
kata lain ikon adalah hubungan antara tanda objek atau acuan yang bersifat
kemiripan, misalnya potret dan peta. Indeks adalah tanda yang menunjuk
adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal
atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada
kenyataan. Contoh yang paling jelas ialah asap sebagai tanda adanya api.
Tanda dapat pula mengacu pada denotatum melalui konvensi. Tanda seperti
itu adalah tanda konvensional yang biasa disebut simbol. Jadi, simbol tanda
yang menunjuk hubungan alamiah antara penanda dan petandanya.
Hubungan diantaranya bersifat arbitrer atau semena, hubungan berdasarkan
konvensi atau perjanjian masyarakat (Sobur, 2004:42). Hubungan segitiga
makna Peirce lazimnya ditampilkan dalam gambar berikut. (Fiske dalam
Icon
Symbol Index
Gambar 2.1 : Hubungan Tanda, Objek, dan Inter pr etant Peir ce
Menurut Peirce sebuah tanda itu mengacu pada sebuah acuan, dan
representasi adalah fungsi utamanya hal ini sesuai dengan definisi dari tanda
sendiri yaitu sebagai sesuatu yang memiliki bentuk fisik, dan harus merujuk
pada sesuatu yang lain dari tanda tersebut. Peirce ingin mengidentifikasikan
partikel dasar dari tanda dan mengembangkannya kembali semua komponen
dalam struktur tunggal. Dalam pendekatan semiotik model Charles S. Peirce,
diperlukan adanya 3 unsur utama yang bisa digunakan sebagai model
analisis, yaitu tanda, objek, dan interpretant.
Charles S. Peirce membagi antara tanda dan acuannya tersebut
menjadi tiga kategori, yaitu : ikon, indeks, simbol. Ketiga kategori tersebut
digambarkan dalam sebuah model segitiga sebagai berikut :
1. Icon: sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang serupa
dengan obyeknya.
2. Index: sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang
mengisyaratkan petandanya.
3. Symbol : sesuatu yang melaksanakan fungsi sebagai penanda yang
oleh kaidah secara konvensi telah lazim digunakan didalam
Gambar 2.2 : Model Kategor i Tanda Oleh Peir ce (Fisk e, 1990 : 47)
Dengan mengacu pada model Peirce, makna dalam suatu teks tidak
terjadi dengan sendirinya, tetapi diproduksi dalam hubungan antara teks
dengan pengguna tanda. Hal ini merupakan suatu tindakan dinamis, kedua
elemen (teks dan pengguna tanda) saling memberikan sesuatu yang sejajar.
Bila suatu teks dan pengguna tanda berasal dari budaya yang relatif sama,
interaksi keduanya akan lebih mudah terjadi, konotasi (pengertian tambahan)
dan mitos (cara pencapaian suatu pengertian) dalam teks telah menjadi
referensi pengguna tanda yang bersangkutan. (Fiske, 1990:143).
2.1.1.10 Konsep Makna
Para ahli mengakui, istilah makna (meaning) memang merupakan kata
dan istilah yang membingungkan. Dalam bukunya The Meaning of Meaning,
(Odgen dan Richards dalam buku Kurniawan, 2008:27) telah
mengumpulkan tidak kurang dari 22 batasan mengenai makna.
Makna sebagaimana dikemukakan oleh (Fisher dalam Sobur,
2004:248), merupakan konsep yang abstrak yang telah menarik perhatian
para ahli filsafat dan para para teoritis ilmu sosial selama 2000 tahun silam.
Semenjak Plato mengkonseptualisasikan makna manusia sebagai salinan
“ultrarealitas”, para pemikir besar telah sering mempergunakan konsep itu
dengan penafsiran yang sangat luas yang merentang sejak pengungkapan
mental dari Locke sampai ke respon yang dikeluarkan dari Skinner.
“Tetapi”. (kata Jerold Katz dalam kurniawan, 2008:47), “setiap usaha untuk
Plato, telah terbukti terlalu samar dan pekulatif. Yang lainnya memberikan
jawaban salah”.
Menurut Devito, makna buka terletak pada kata-kata melainkan pada
manusia. “kita”, lanjut Devito, menggunakan kata-kata untuk mendekatai
makna yang ingin kita komunikasikan. Tetapi kata-kata untuk mendekati
makna yang ingin kita komunikasikan. Tetapi kata-kata ini secara sempurna
dan lengkap menggambarkan makna yang kita maksudkan. Demikian pula
makna yang didapat pendengar dari pesan-pesan akan sangat berbeda
dengan makna yang ingin kita komunikasikan. Komunikasi adalah proses
yang kita gunakan untuk memproduksi dibenak pendengar dan apa yang ada
dalam benak kita.
Ada tiga hal yang dijelaskan para filusuf dan linguis sehubungan dengan
usaha menjelaskan istilah makna (Kempson dalam Sobur, 2004:258), yaitu :
1. Menjelaskan makna secara ilmiah
2. Mendeskripsikan secara ilmiah
3. Menjelaskan makna adalah proses komunikasi
Berdasarkan landasan teori yang telah disampaikan, makna peneliti dalam
memaknai kartun editorial Clekit melakukan pemaknaan terhadap tanda dan
lambang berbentuk gambar dengan menggunakan teori segitiga makna
Peirce (Triangle Meaning) yang meliputi tanda, obyek, dan interpretan
sehingga diperoleh hasil interpretasi data mengenai kartun editorial Clekit
2.2 Ker angka Ber pikir
Setiap individu memiliki field of experience dan frame of referance yang
berbeda. Dengan demikian suatu tanda dari peristiwa atau fenomena yang
diberi makna menghasilkan pemaknaan yang beragam berbeda satu sama
lainnya. Penelitian ini akan menggunakan model pendekatan semiotika
triangle meaning theory yang dikemukakan oleh Charles Sanders Peirce.
Dalam teori tersebut Peirce menggunakan tanda (sign), yang merupakan
representasi dari sesuatu diluar tanda yaitu objek (object) dan dipahami oleh
peserta komunikasi (interpretant).
Dalam karikatur Editorial Clekit edisi 24 September 2011 tanda dikaitkan
dengan objeknya, yang terbagi atas ikon, indeks, dan simbol. Kemudian objek
tersebut ditafsirkan oleh interpretant. Penafsiran dalam triangle meaning
theory disebut dengan produksi tanda. Hasil dari produksi tanda adalah suatu
makna tertentu, makna itu merupakan hasil yang digunakan untuk memahami
suatu objek yang menjadi bahan penelitian.
Tanda yang dimaksud disini adalah gambar dalam media cetak yang
kemudian tanda tersebut dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu : ikon, indeks,
dan simbol. Obyek disini adalah karikatur Clekit pada surat kabar Jawa pos
yang pada edisi sabtu, 24 September 2011. Setelah menganilisis kategori
tanda tersebut, maka peneliti akan mengetahui makna gambar kartun editorial
Gambar 2.3 : Bagan Ker angka Ber pik ir
• Bentuk Permukaan Jalan yang tidak rata
• Asap yang keluar akibat letusan ban mobil
METODOLOGI P ENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan deskriptif kualitatif dengan menggunakan
pendekatan semiotik. Alasan digunakannya metode deskriptif kualitatif
terdapat beberapa faktor pertimbangan, yaitu pertama metode deskriptif
kualitatif akan lebih mudah menyesuaikan bila dalam penelitian ini
kenyataannya ganda, kedua metode deskriprif kualitatif menyajikan secara
langsung hubungan antara peneliti dengan objek peneliti, ketiga metode
deskriptif kualitatif lebih peka serta dapat menyesuaikan diri dengan banyak
pengaruh terhadap pola-pola nilai yang dihadapi (Moeloeng, 2002:33).
Selain itu pada dasarnya semiotik bersifat kualitatif interpretatif, yaitu
suatu metode yang memfokuskan dirinya pada tanda dan teks sebagai objek
kajian, serta bagaimana menafsirkan dan memahami kode dibalik tanda dan
teks tersebut (Christomy dan Yuwono dalam Marliani, 2004:48).
Oleh karena itulah peneliti harus memperhatikan beberapa hal dalam
penelitian ini, pertama adalah konteks atau situasi sosial di seputar dokumen
atau teks yang diteliti. Disini peneliti diharapkan dapat memahami makna
dari teks yang diteliti. Kedua adalah proses atau bagaimana suatu produksi
Ketiga adalah pembentukan secara bertahap dari makna sebuah pesan
melalui pemahaman dan interpretasi.
Dalam penelitian ini, menggunakan metode semiotik. Semiotik adalah
suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda (Sobur, 2004:15).
Dengan menggunakan metode semiotik, peneliti berusaha menggali realitas
yang didapatkan melalui interpretasi simbol-simbol dan tanda-tanda yang
ditampilkan sepanjang gambar dalam karikatur. Pendekatan semiotik
termasuk dalam metode kualitatif. Tipe penelitian ini adalah deskriptif,
dimana peneliti berusaha untuk mengetahui pemaknaan karikatur Clekit
pada Surat Kabar Jawa Pos edisi Sabtu, 24 September 2011.
3.2 Kor pus
Didalam penelitian kualitatif diperlukan adanya suatu pembahasan
masalah yang disebut korpus. Korpus sebagai kumpulan bahan yang
terbatas yang ditentukan perkembangannya oleh analisa dengan semacam
kesemenaan. Korpus itu juga bersifat sehomogen mungkin, baik homogen
pada taraf substansi maupun homogen pada taraf waktu (sinkroni).
(Kurniawan, 2001:70).
Tetapi sebagai analisis, korpus itu bersifat terbuka pada konteks yang
beraneka ragam, sehingga memungkinkan untuk memahami banyak aspek
dari sebuah pesan yang tidak ditangkap atas dasar suatu analisis yang
Sedangkan korpus pada penelitian ini adalah gambar karikatur Clekit
“Kualitas Kabinet Indonesia Bersatu II” pada Surat Kabar Jawa Pos Edisi
Sabtu, 24 September 2011.
3.3 Unit Analisis
Untuk mempermudah interpretasi dari digunakan tiga hubungan
dalam menyelami semiotik karikatur pada gambar karikatur Clekit “Kualitas
Kabinet Indonesia Bersatu II” pada Surat Kabar Jawa Pos Edisi Sabtu, 24
September 2011, yang menggambarkan seorang pria memakai topi serta
mulut terbuka dan tangan yang disilangkan kemudian berbicara
“BEGINILAH AKIBAT MEMILIH BAN TIDAK BERDASAR
KUALITAS” dan badan mobil yang bertuliskan “KABINET INDONESIA
BERSATU II” dengan ban mobil yang mengempes karena jalan yang tidak
rata membuat badan mobil menjadi bergoyang. Kemudian diinterpretasikan
dengan menggunakan ikon (icon), indeks (index), simbol (symbol).
3.3.1 Ikon
Ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat
kemiripan (Sobur, 2001:41). Dengan kata lain tanda memiliki ciri-ciri sama
dengan apa yang dimaksudkan. Pada karikatur Clekit “Kualitas Kabinet
Indonesia Bersatu II” ditujukkan dengan :
1. Seorang Pria
2. Mobil