SIKAP TERHADAP PICTORIAL HEALTH WARNING DAN INTENSI MEROKOK SISWA SMP DI KOTA BANDUNG
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi pada Departemen Psikologi Universitas Pendidikan Indonesia
Oleh:
Agnia Aminuddin Kosnadi NIM. 1000621
DEPARTEMEN PSIKOLOGI FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
Sikap terhadap Pictorial Health Warning dan Intensi Merokok
Siswa SMP di Kota Bandung
Oleh
Agnia Aminuddin Kosnadi
Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi sebagian syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana psikologi pada Departemen Psikologi
Universitas Pendidikan Indonesia
© Agnia A. K 2015
Universitas Pendidikan Indonesia
April 2015
Hal Cipta dilindungi undang-undang.
Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhnya atau sebagian,
ABSTRAK
Agnia Aminuddin Kosnadi (1000621). Sikap terhadap Pictorial health warning dan Intensi Merokok Siswa SMP di Kota Bandung. Skripsi. Departemen Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung (2015).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variabel sikap terhadap pictorial health warning dan variabel intensi merokok pada siswa SMP di Kota Bandung. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan desain penelitian korelasional. Subjek penelitian adalah 384 siswa SMP di Kota Bandung yang berada pada rentang usia 12-15 tahun. Instrumen dalam penelitian ini terdiri dari skala sikap terhadap pictorial health warning dan skala intensi merokok yang dikembangkan oleh peneliti. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif sebesar -0,341 antara sikap terhadap pictorial health
warning dengan intensi merokok pada siswa SMP di Kota Bandung. Adapun
gambaran sikap terhadap pictorial health warning siswa SMP di Kota Bandung berada pada kategori sikap positif dan gambaran intensi merokok siswa SMP di Kota Bandung berada pada kategori intensi merokok yang rendah. Saran yang dapat diberikan yaitu (1) sekolah dihimbau untuk memberikan informasi sedini mungkin tentang informasi kesehatan dan bahaya merokok (2) pemerintah membatasi peredaran rokok dengan menaikan harga rokok, membatasi usia konsumen rokok, dan diharapkan mencantumkan pictorial health warning yang lebih bervariasi serta menayangkan iklan-iklan berdurasi pendek mengenai dampak nyata dari bahaya penggunaan rokok.
ABSTRACT
Agnia Aminuddin Kosnadi (1000621). Attitudes toward Pictorial health
warning and the Smoking Intention on Junior High School Students in Bandung. Thesis. Departement of Psychology, Faculty of Educational Science, Indonesia University of Education, Bandung (2015).
This research aims to analyze the correlation between variable of attitude toward the Pictorial health warning and the smoking intenton variable, on junior high school students in Bandung. This research uses quantitative approach with correlational research design. The subject of this research is 348 junior high school students at the age of 12-15 years old in Bandung. Instrumens of this research were scale of attitude toward Pictorial health warning and scale of intention to smoke developed by researchers. The result shows that there is a negative correlation of -0,341 between attitudes toward Pictorial health warning and smoking intention on junior high school students in Bandung. The representation of attitude toward Pictorial health warning is that the junior high school students in Bandung are in category of positive attitude and the representation of smoking intention of junior high school students in Bandung are in category of low of smoking intention. This research gives two suggestions: (1) schools are expected to give information about health and the dangerous of smoking as soon as possible and; (2) government should restrict the circulation of cigarette by increasing the price of cigarette, restricting the minimum age of cigaratte consumer, and sticking more variable Pictorial health warning also publishing more short advertisements about real negative impacts of consuming cigarette.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Merokok sudah menjadi hal yang lumrah dan sangat memprihatinkan
karena fenomena ini sudah dianggap sebagai kebiasaan dan kewajaran. Bahkan
untuk beberapa kasus merokok dapat dianggap sebagai indikator kedewasaan. Hal
ini cukup ironi dengan zat-zat kimia berbahaya yang terkandung dalam setiap
puntung rokok yang mulai mengancam kehidupan konsumennya (Zainu, 2003).
Menurut data yang diperoleh dari World Health Organization (WHO,
2008) menunjukkan bahwa 1 kematian karena tembakau di seluruh dunia terjadi
dalam setiap 6 detik. Kematian karena tembakau pada tahun 2005 tercatat ada
sebanyak 5,4 juta jiwa dan selama abad ke 20 terjadi sebanyak 100 juta kematian
akibat tembakau. Jika hal ini dibiarkan maka akan terjadi 8 juta kematian pada
tahun 2030 dan diperkirakan akan terjadi kematian sebanyak 1 milyar jiwa akibat
tembakau selama abad ke 21. Pada tahun 2030, diproyeksikan 80% kematian
terkait tembakau terjadi di negara berkembang.
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang (Bureau, 2013), di
Indonesia jumlah perokok terus meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan data
yang diperoleh dari website Sekertariat Kabinet Republik Indonesia oleh Pusat
Komunikasi Publik Kemenkes menunjukkan sebuah survei nasional di tahun 2011
mengenai representasi merokok. Survei ini diberi nama Global Adult Tobbaco
Survei (GATS). Hasil GATS menunjukkan bahwa bila dibandingkan dengan
negara lain, Indonesia menduduki posisi pertama dengan prevalensi perokok aktif
tertinggi yaitu 67.0% pada laki-laki dan 2.7% pada perempuan. Angka ini jauh
lebih tinggi dibandingkan dengan prevalensi perokok aktif di kawasan asia
lainnya seperti Filipina: laki-laki 47.9% dan perempuan 9.0%; Thailand: laki-laki
45.6% dan perempuan 3.1%; Vietnam: laki-laki 47.4% dan perempuan 1.4%
(Depkes, 2010).
Semakin meningkatnya perokok di Indonesia menjadi masalah nasional
yang perlu diprioritaskan upaya penanggulangannya karena menyangkut berbagai
remaja (Kemenkes RI, 2012). Ketua Komisi Nasional Pengendalian tembakau,
Farid A Moeloek (VOA, 2010) mengungkapkan bahwa rokok adalah pintu
gerbang menuju kemaksiatan, penurunan moral dan lost generation. Beberapa
masalah moral yang telah terjadi di kalangan remaja akibat rokok ialah tindakan
kriminal pencurian. Seorang remaja di Jember berinisial CAS terpaksa masuk
tahanan dikarenakan ketahuan mencuri. Ia mengaku hasil curian-nya ia gunakan
untuk membeli rokok dan berpesta karena ia merupakan perokok berat. Hal ini
juga terjadi pada AP, seorang pelajar di Sumsel yang kepergok sedang mencuri
beberapa rokok akibat merasa kecanduan akan rokok (Wibowo, 2014). Kedua
kasus ini hanya sedikit fakta dari dampak perilaku merokok pada remaja.
Global Youth Tobacco Survei (Depkes, 2010) melaporkan bahwa 26,8%
pelajar Indonesia memulai kebiasaan merokok, dengan perbandingan prevalensi
merokok usia 13-15 sebesar 24,5% para remaja laki-laki dan 2,3% pada remaja
perempuan. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Smet (Komalasari
& Helmi, 2000) bahwa prevalensi usia perokok pemula (yang pertama kali
mencoba atau memulai kebiasaan merokok) berada di rentang usia 12-13 tahun
dan pada umumnya individu akan mengonsumsi rokok sebelum usianya mencapai
18 tahun. Pada rentang usia inilah seorang individu memasuki fase yang
dinamakan masa remaja, yaitu masa transisi dalam periode perkembangan
manusia, dimana pada masa ini akan terjadi perubahan dalam berbagai aspek
kehidupan (Papalia, Old, & Feldman, 2009). Menurut Rosseau (Sarwono, 2007)
perubahan yang terjadi pada masa remaja seringkali membuat mereka bingung
akan dirinya, sehingga di masa ini remaja akan melakukan pencarian identitas dan
tidak sedikit remaja yang melakukan sesuatu didasarkan metode trial and error
atau coba-coba.
Remaja juga melakukan sesuatu berdasarkan proses mencontoh
(modelling). Nochyandi seorang psikolog pendidikan (2014) mengungkapkan
bahwa salah satu alasan yang menyebabkan para remaja merokok ialah
dikarenakan perilaku mencontoh (modelling). Mereka mencontoh perilaku
merokok dari keluarga, teman, atau senior-seniornya dan mereka tidak melihat
efek secara langsung akibat dari merokok. Oleh karena itu, perilaku merokok pada
3
Banyak upaya yang dilakukan pemerintah untuk mencegah perilaku
merokok, salah satunya dengan mengeluarkan berbagai peraturan yang harus
dipatuhi oleh semua pihak, mulai dari memberlakukan larangan merokok di
tempat umum, menyediakan tempat khusus merokok hingga aturan bagi para
produsen untuk mencantumkan label peringatan bahaya merokok pada iklan
maupun kemasan rokok. Untuk aturan mengenai pencantuman label peringatan,
ditetapkan pemerintah dalam PP No.19/2003 mengenai pengamanan rokok bagi
kesehatan. Aturan ini ditetapkan tanggal 10 Maret 2003 untuk dipatuhi oleh para
produsen rokok. Pada bagian ketiga aturan tersebut diterangkan bahwa rokok
dianggap legal untuk dipasarkan oleh produsen rokok jika memuat label
peringatan bahaya merokok atau label rokok. Label rokok adalah setiap
keterangan mengenai peringatan rokok yang berbentuk tulisan, gambar,
kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang disertakan pada rokok, dimasukkan ke
dalam, ditempatkan pada, atau merupakan bagian kemasan rokok (Depkes, 2003).
Hingga akhir tahun 2012, label rokok yang wajib dicantumkan dalam
kemasan rokok di Indonesia baru berupa tulisan. Hal ini termuat dalam pasal 8 PP
No.19/2003 yang berbunyi (1) Peringatan kesehatan pada lebel harus berbentuk tulisan (2) Tulisan yang dimaksud dalam ayat 1 berupa “merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, gangguan kehamilan dan janin”. Namun demikian, berdasarkan hasil survei yang dilakukan PPK-UI (2007) tentang peringatan kesehatan dibungkus rokok yang berbentuk tulisan hanya pada
permukaan belakang berukuran 3 mm dan terdiri dari 5 pesan sekaligus yang tidak
pernah diganti, menunjukkan 42,5% responden mengetahui resiko merokok bagi
kesehatan yang tertera di peringatan tersebut namun tidak percaya karena belum
terbukti, 26% tidak termotivasi untuk berhenti merokok dan 26% tidak peduli
akan peringatan tersebut karena sudah merasa kecanduan.
Menyikapi hal tersebut, Pemerintah Indonesia kembali mengeluarkan
peraturan yakni PP Nomor 109 tahun 2012. Dalam peraturan ini pemerintah
mengharuskan setiap produsen rokok untuk mencantumkan label peringatan, yang
mulanya hanya berupa tulisan menjadi tulisan dan gambar (pictorial health
warning) pada setiap kemasan rokok. Peringatan kesehatan bergambar atau
mengandung suatu makna akan peringatan bahaya merokok yang tercetak menjadi
satu dengan kemasan produk tembakau dan bukan merupakan stiker yang
ditempelkan pada kemasan produk tembakau (Pasal 3 Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 28 tahun 2013). Adapun gambar peringatan yang termasuk
dalam pictorial health warning yang berlaku di Indonesia berupa gambar kanker/
kerusakan mulut, kanker/ kerusakan paru-paru, kanker/ kerusakan tenggorokan,
bahaya/ ancaman bagi masa depan anak dan gambar mengenai ancaman kematian
(Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 tahun 2013). Label peringatan
berupa gambar tersebut diberlakukan sebagai sebuah iklan yang dianggap dapat
menakut-nakuti sasaran khalayaknya (Suryani, 2008).
Pencantuman pictorial health warning (PHW) dalam kemasan rokok
mulai berlaku di Indonesia sejak tanggal 24 Juni 2014. Menteri Kesehatan RI,
dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH menyatakan bahwa penerapan peringatan kesehatan
dalam bentuk gambar bertujuan untuk: 1) memberikan hak masyarakat untuk
mendapatkan informasi yang jelas, benar, dan jujur; 2) masyarakat memilih
berdasarkan informasi yang lebih audiovisual, sehingga lebih mudah memahami
sebelum membuat inform decission; serta 3) mencegah hadirnya perokok pemula
(Kementerian Kesehatan RI, 2014).
Bagi setiap konsumen, label peringatan atas bahaya merokok yang
tercantum dalam iklan dan kemasan rokok merupakan suatu stimulus yang akan
diterima, sehingga respon yang muncul setelah diterimanya suatu stimulus berupa
tulisan dan gambar tersebut akan direspon sebagai informasi tentang bahaya
merokok. Proses sosialisasi dimana seseorang bereaksi atau berespon sesuai
dengan rangsangan/ stimulus yang diterimanya disebut dengan sikap (Mar’at,
1981). Sikap memiliki beberapa komponen, salah satunya ialah komponen
perceptual, sehingga setiap informasi yang diperoleh dari proses mempersepsi dan
menghendaki adanya suatu respon maka akan disikapi. Begitupun informasi yang
diperoleh dari proses mempersepsi pictorial health warning akan disikapi dan
respon yang dihasilkan akan berakhir di suatu perilaku yaitu perilaku untuk mulai
merokok, tetap merokok, serta tidak merokok atau berusaha berhenti dari perilaku
merokok. Sebelum berperilaku, biasanya seseorang berniat terlebih dahulu, karena
5
kehendak untuk menampilkan perilaku tertentu (Fishbein & Ajzen, 1975).
Kehendak seseorang untuk melakukan perilaku tertentu disebut dengan intensi.
Menurut Fisbein & Ajzen (1975) intensi muncul secara sadar, disengaja, dan
biasanya akan segera terlaksana jika suatu perilaku yang telah diniatkan. Maka
dapat dikatakan bahwa intensi untuk berperilaku merupakan niat individu (secara
sadar dan disengaja) untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku.
Perilaku merokok juga didahului oleh adanya niat atau intensi untuk merokok atau
tidak merokok (Sagitania, 2014). Ajzen (2005) mengungkapkan bahwa semakin
kuat intensi yang dimiliki seseorang untuk berperilaku, maka semakin besar pula
kemungkinan dilakukannya perilaku tersebut di masa mendatang. Apabila
individu memiliki intensi merokok yang kuat, maka dapat diperkirakan bahwa
kemungkinan besar perilaku merokok akan ia lakukan di masa mendatang.
Begitupun sebaliknya, semakin rendah intensi merokok yang dimiliki individu,
maka semakin kecil pula kemungkinan ia merokok di masa mendatang.
Berdasarkan hal tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa perilaku merokok atau
tidaknya seorang remaja dapat dilihat salah satuya dengan mengetahui seberapa
besar intensi yang dimilikinya saat ini.
Penelitian mengenai intensi merokok pada remaja sebelumnya telah
dilakukan oleh Sagitania (2014) dimana penelitiannya menunjukkan bahwa sikap,
norma subjektif, dan perceived behavioral control memberikan kontribusi dalam
intensi merokok. Subjek dari penelitian ini melibatkan 191 siswa SMP dengan
rentang usia 12-15 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa intensi merokok
pada siswa SMP di kota Bandung berada pada kategori tinggi. Namun demikian,
penelitian ini dilakukan sebelum diberlakukannya pencantuman label peringatan
kesehatan bergambar/ pictorial health warning sehingga salah satu kemungkinan
tingginya intensi merokok disebabkan karena informasi pada label yang belum
disikapi oleh subjek. Penelitian lain mengenai intensi dilakukan oleh Bashori
(2005), hasil penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat intensi (niat) dari
individu untuk berhenti merokok setelah mempersepsikan resiko akan bahaya
merokok yang tertulis pada label peringatan pemerintah. Seseorang yang
berpersepsi positif terhadap informasi resiko yang tertulis pada label peringatan
berhenti merokok. Dan seseorang yang berpersepsi negatif terhadap informasi
resiko yang tertulis pada label peringatan akan mengabaikan pengaruh buruk dari
rokok yang dihisapnya sehigga ia tetap akan merokok. Menurutnya seseorang
yang memiliki berbagai informasi hasil dari mempersepsi akan mengadakan
evaluasi yang membawa keyakinannya terhadap rokok (Bashori, 2005). Evaluasi
yang membawa keyakinan disebut sebagai sikap (Thurstone, Likert, dan Osgood
dalam Azwar, 2008).
Berdasarakan fenomena yang ada dan hasil penelaahan pada kedua
penelitian yang telah dipaparkan, peneliti bermaksud melakukan penelitian
lanjutan terkait intensi merokok siswa SMP dan sikap (bentuk evaluasi atau
respon perasaan) mereka pada label peringatan kesehatan dalam bentuk gambar
(pictorial health warning) yang tercantum dalam setiap kemasan dan iklan rokok.
Hal ini mengingat penggunaan label peringatan dari pemerintah dalam bentuk
gambar atau pictorial health warning belum pernah dilakukan penelitiannya.
Melalui pictorial health warning diduga akan lebih efektif untuk meningkatkan
kesadaran seseorang akan bahaya merokok sehingga dapat mencegah hadirnya
perokok pemula dan mengurangi jumlah perokok dikalangan remaja (Hammond,
2011). Dengan demikian, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Sikap terhadap Pictorial health warning dan Intensi Merokok Siswa SMP di Kota Bandung”.
B. Rumusan Masalah Penelitian
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “apakah terdapat
hubungan antara sikap terhadap pictorial health warning dengan intensi
merokok pada siswa SMP di Kota Bandung?”
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui hubungan antara sikap
terhadap pictorial health warning dengan intensi merokok pada siswa SMP di
7
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi literatur bagi kajian psikologi konsumen yang berhubungan dengan
penggunaan label peringatan kesehatan dalam bentuk gambar/ pictorial health
warning dan perilaku remaja tingkat pendidikan SMP dalam mengonsumsi
rokok serta memberikan manfaat bagi Dinas Kesehatan Kota Bandung berupa
data empiris mengenai sikap terhadap pictorial health warning pada siswa
SMP di Kota Bandung. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat
memperluas wawasan mengenai sikap dan intensi, serta menjadi referensi bagi
penelitian yang akan dilakukan selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
Melalui penelitian ini, diharapkan dapat mewakili salah satu tugas Dinas
Kesehatan Kota Bandung dalam menekan angka peningkatan perokok dari
kalangan remaja melalui pemberian pengetahuan dan pemahaman secara
langsung, sehingga para siswa SMP yang berperan sebagai konsumen dapat
lebih menyadari akan keberadaan pictorial health warning tersebut dan
memberikan stimulus untuk tidak memiliki intensi (niat) merokok. Selain itu,
penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi akan data empiris
mengenai intensi merokok siswa SMP setelah diberlakukannya pictorial
health warning sehingga pihak sekolah bisa ikut mengawasi dan mengontrol
perilaku merokok di sekolah sebagai upaya mengurangi/ menghambat angka
pertumbuhan prevalensi perokok pemula di kalangan remaja.
E. Struktur Organisasi Skripsi
Struktur organisasi dari skripsi ini terdiri dari lima bab yang
masing-masing didalamnya terfokus pada titik berat yang berbeda, namun masih dalam
suatu kesatuan yang saling mendukung dan saling melengkapi. Secara berurutan
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab pendahuluan ini dikemukakan tentang latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta struktur organisasi skripsi.
BAB II LANDASAN TEORITIS
Dalam bab kajian pustaka ini memuat landasan teori dan kerangka
pemikiran teoritik tentang sikap, pictorial health warning, dan intensi merokok
yang dijadikan sebagai landasan dalam menganalisis masalah penelitian, kerangka
penelitian, dan hipotesis penelitian sebagai jawaban sementara dari permasalahan.
BAB III METODE PENELITIAN
Bab ini menjabarkan secara terperinci mengenai metode dan desain
penelitian yang akan digunakan, populasi dan sampel penelitian, lokasi dan waktu
penelitian, definisi operasional variabel, instrumen penelitian, prosedur penelitian,
dan teknik analisis data.
BAB IV TEMUAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini, peneliti menjelaskan mengenai penemuan utama dari
penelitian, yaitu hubungan antara sikap terhadap pictorial health warning dengan
intensi merokok. Peneliti membahas penemuan berdasarkan analisis dan
interpretasi data, peneliti juga mencantumkan keterbatasan penelitian.
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI
Dalam bab terakhir ini akan disajikan tentang kesimpulan sebagai hasil
dari penelitian yang berlandaskan pada bab-bab sebelumnya dan dilanjutkan
dengan implikasi serta rekomendasi konkrit yang sekiranya dapat dijadikan bahan
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ialah
pendekatan kuantitatif, yaitu pendekatan yang dilakukan melalui pencatatan dan
penganalisisan data penelitian dengan menggunakan perhitungan-perhitungan
statistik (Zuriah, 2006). Adapun desain yang digunakan dalam penelitian ini ialah
desain penelitian korelasional. Menurut Silalahi (2010) desain korelasional
berusaha untuk menyelidiki nilai-nilai dari dua atau lebih variabel dan menguji
atau menentukan hubungan-hubungan (relations) yang ada dalam suatu
lingkungan tertentu. Desain penelitian yang digunakan untuk melihat hubungan
antara variabel atau beberapa variabel dengan variabel lainnya disebut desain
korelasional (Yatim dalam Zuriah, 2006).
B. Populasi dan Sampel
Menurut Arikunto (2006) populasi adalah keseluruhan subjek penelitian
dan sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Sampel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah siswa pada remaja awal (usia 12-15 tahun)
yang berada dalam jenjang pendidikan SMP di Kota Bandung, karena remaja awal
merupakan suatu masa dimana munculnya keingintahuan serta keinginan
coba-coba (Rousseau dalam Sarwono, 2007). Adapun teknik pengambilan sampel yang
akan digunakan dalam penelitian ini ialah teknik quota sampling. Menurut Idrus
(2009) teknik quota sampling digunakan apabila peneliti membatasi jumlah
subjek yang diinginkanya terlebih dahulu sebelum melakukan penelitian.
Penentuan jumlah sampel dalam penelitian ini dibatasi dengan menggunakan
quota sampling dikarenakan peneliti akan melanjutkan penelitian sebelumnya
yang dilakukan oleh Sagitania (2014) mengenai intensi merokok pada Siswa SMP
di Kota Bandung serta dikarenakan jumlah populasi siswa SMP di Kota Bandung
yang mencapai angka ribuan (LPLP, 2014). Adapun jumlah subjek untuk
(Krejcie & Morgan, 1970)
Berdasarkan tabel Krejcie & Morgan tersebut, diketahui bahwa untuk
populasi yang berjumlah 401.440 orang (LPJP, 2014), maka jumlah sampel yang
termasuk ke dalam kuota penelitian ini ialah berjumlah 384 subjek. Untuk
memperoleh data subjek yang representatif atau mewakili populasi yang ada,
peneliti mengambil sampel dari lokasi sekolah yang tersebar di setiap rayon Kota
Bandung. Adapun sampel dalam penelitian ini adalah siswa SMP yang bersekolah
di MtsN 1 dan SMP YPKKP (Rayon Bandung Barat), SMPN 16 dan SMP Kartika
XIX-2 (Rayon Bandung Utara), SMPN 20 dan SMP Taman Siswa (Rayon
Bandung Selatan), SMPN 37 dan SMP Vijaya Kusuma (Rayon Bandung
Tenggara), serta SMPN 41 dan Pasundan 4 (Rayon Bandung Timur). Dasar
pertimbangan yang digunakan dalam menentukan sekolah-sekolah tersebut
sebagai lokasi penelitian ialah karena sekolah tersebut bervariasi dari segi
lingkungan dan tipe sekolahnya (sekolah negeri dan swasta) sehingga dapat
mewakili keseluruhan SMP di Kota Bandung. Dari setiap sekolah diwakili oleh Tabel 3. 1
24
kurang lebih 30-40 orang siswa sebagai subjek penelitian, sehingga jumlah
keseluruhannya sesuai dengan kuota yang ditentukan yaitu 384 subjek.
C. Variabel Penelitian
Variabel-variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah:
Variabel 1 : Sikap terhadap Pictorial health warning
Variabel 2 : Intensi Merokok
D. Definisi Operasional
1. Sikap terhadap pictorial health warning yang dimaksud dalam penelitian
ini adalah kecenderungan siswa SMP untuk merespon (mengevaluasi dan
merasakan) suatu gambar peringatan kesehatan/ pictorial health warning
tentang bahaya merokok (dalam ranah kognitif dan afektif).
a. Sikap positif (favorable) yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
penilaian atau evaluasi positif (ranah kognitif) siswa SMP mengenai
informasi peringatan bahaya merokok yang tercantum dalam pictorial
health warning. Artinya, ketika siswa SMP diberikan pernyataan
mengenai informasi peringatan bahaya merokok yang tercantum dalam
pictorial health warning, ia akan menerima (menyadari),
mempercayai, dan menyetujui akan informasi bahaya merokok yang
tercantum dalam pictorial health warning serta memiliki perasaan
takut, jijik, tidak nyaman, dsb terhadap pictorial health warning.
Karena dengan demikian berarti pictorial health warning dianggap
telah menginformasikan bahaya merokok dan berarti para responden
akan menyetujui dan mendukung adanya pictorial health warning
guna menginformasikan bahaya merokok (bersikap favorable secara
afektif).
b. Sikap negatif (unfavorable) yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
penilaian atau evaluasi negatif (ranah kognitif) siswa SMP mengenai
informasi peringatan bahaya merokok yang tercantum dalam pictorial
health warning. Artinya, ketika siswa SMP diberikan pernyataan
pictorial health warning, ia akan mengabaikan (tidak menyadari),
tidak mempercayai, dan menolak atau tidak setuju akan informasi
bahaya merokok yang tercantum dalam pictorial health warning serta
memiliki perasaan tidak takut, merasa terbiasa, nyaman, dsb terhadap
pictorial health warning. Karena dengan demikian berarti gambar
peringatan kesehatan/ pictorial health warning kurang berfungsi dalam
menginformasikan bahaya merokok dan berarti para responden akan
mengabaikan dan menolak informasi bahaya merokok.
2. Intensi Merokok yang dimaksud dalam penelitian ini adalah niat atau
kehendak remaja (siswa SMP) yang secara sadar dan sengaja untuk
memunculkan atau tidak memunculkan perilaku merokok di masa
mendatang.
E. Instrumen Penelitian
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan kuesioner. Menurut
Sugiyono (2011) kuesioner adalah alat pengumpul informasi yang dilakukan
dengan memberikan seperangkat pernyataan atau pernyataan tertulis untuk
dijawab oleh responden. Kuesioner merupakan salah satu bentuk tes performansi
tipikal, dimana tes ini akan ditampakkan oleh individu sebagai proyeksi dari
kepribadian individu sehingga indikator perilaku yang diperlihatkannya
merupakan kecenderungan umum diri individu bersangkutan dalam menghadapi
situasi tertentu (Azwar, 2011). Kuesioner sebagai alat ukur yang digunakan dalam
penelitian ini menggunakan skala sikap terhadap pictorial health warning yang
dibuat oleh peneliti dan skala intensi merokok yang peneliti modifikasi dari
penelitian Sagitania (2014). Dalam setiap instrumen terdiri dari seperangkat
pernyataan atau pertanyaan berkaitan dengan dimensi atau indikator atas suatu
konsep. Adapun konsep dalam penelitian ini mengenai sikap terhadap pictorial
health warning dan intensi merokok. Berikut merupakan instrumen dari
26
1. Instrumen Penelitian Sikap terhadap Pictorial health warning
Dalam mengukur sikap terhadap pictorial health warning, peneliti
menyusun skala yang terbagi atas dimensi kognitif dan afektif. Skala ini
disusun oleh peneliti sendiri dengan bantuan ahli. Skala sikap terhadap
pictorial health warning ini terdiri dari 3 item dari dimensi kognitif dan 4 item
dari dimensi afektif, sehingga keseluruhan terdapat 7 item.
Tabel 3. 2
Kisi-kisi instrumen sikap terhadap pictorial health warning
Variabel Dimensi Indikator Item No Jml
Sikap terhadap pictorial health warning Kognitif, yaitu evaluasi positif ataupun evaluasi negatif
siswa SMP
mengenai informasi peringatan bahaya merokok yang tercantum dalam pictorial health warning.
Siswa SMP
menyadari informasi
bahaya merokok
ketika melihat
pictorial health
warning.
Saya sadar bahawa
pictorial health
warning bertujuan
untuk
menginformasikan
bahaya merokok.
(+)
1 3
Siswa SMP
mempercayai
informasi bahaya
merokok yang
terkandung dalam
pictorial health
warning
Saya percaya efek
yang ditimbulkan
dari merokok akan
sesuai dengan apa
yang ada pictorial
health warning.
(+)
2
Siswa SMP
meyetujui informasi
tentang bahaya
merokok yang
terkandung dalam
pictorial health warning. Saya menyetujui pencantuman pictorial health warning dalam
iklan dan kemasan
rokok sebagai
upaya pemerintah
memberikan
informasi karena
rokok itu
berbahaya. (+)
Afektif, yaitu perasaan positif ataupun perasaan negatif
siswa SMP
mengenai informasi peringatan bahaya merokok yang tercantum dalam pictorial health warning.
Siswa SMP merasa
takut akan bahaya
merokok yang
terkandung dalam
pictorial health
warning.
Saya takut bahaya
merokok yang
tercantum di
pictorial health
warning dialami
yang merokok. (+)
4 4
Siswa SMP merasa
jijik akan bahaya
merokok yang
terkandung dalam
pictorial health
warning.
Saya merasa jijik
melihat pictorial
health warning
pada iklan dan
kemasan rokok.
(+)
5
Siswa SMP
cenderung tidak
senang saat melihat
pictorial health
warning.
Saya merasa
terganggu saat
melihat pictorial
health warning
pada iklan dan
kemasan rokok.
(+)
6
Siswa SMP merasa
kaget/ terkejut akan
bahaya merokok
yang terkandung
dalam pictorial
health warning.
Saya tidak
menyangka
melihat keparahan
bahaya merokok
melalui pictorial
health warning.
(+)
28
2. Instrumen Penelitian Intensi Merokok
Untuk mengukur intensi merokok, peneliti memodifikasi skala intensi
merokok yang disusun oleh Sagitania (2014), yang terdiri dari 14 item dalam
bentuk kuesioner. Alat ukur ini digunakan untuk mengetahui sejauh mana
keinginan atau niat subjek (remaja siswa SMP) untuk merokok.
Tabel 3. 3
Kisi-kisi instrumen intensi merokok
Variabel Indikator Item No Jml
Intensi merokok Sejauh mana keinginan subjek untuk merokok.
Saya berniat akan merokok di masa depan.
(+)
1 7
Saya yakin jika saya ingin, saya pasti bisa
untuk merokok. (+)
2
Merokok adalah hal yang tidak mungkin
saya lakukan. (-)
3
Saya tidak harus menunggu SMA untuk
merokok. (+)
4
Saya ingin tahu bagaimana rasanya
merokok. (+)
5
Saya ingin mencoba-coba untuk merokok.
(+)
6
Ketika saya dewasa, saya akan merokok.
(+)
7
Sejauh
mana atau
seberapa besar usaha subjek untuk merokok
Ketika saya ingin merokok, saya akan
berusaha untuk bisa merokok. (+)
8 7
Ketika saya tidak punya uang, saya akan
meminjam uang kepada teman untuk
membeli rokok. (+)
9
Ketika ada teman yang membawa rokok,
saya akan meminta untuk ikut merokok. (+) 10
Saya tidak akan menghabiskan uang jajan
untuk merokok. (-)
11
sembunyi untuk merokok. (+)
Ketika saya ingin merokok, saya mencari
tempat yang tidak diketahui orangtua. (+)
13
Ketika saya ingin merokok, saya akan
mengajak teman saya untuk sama-sama
merokok. (+)
14
3. Penyekoran dan Penafsiran
Pada penelitian ini, alat ukur yang digunakan untuk mengetahui skor
atas suatu variabel tertentu dibuat dengan model skala semantic differential.
Skala semantic differential merupakan skala yang berupa garis kontinum,
dimana pada garis tersebut terdiri dari serangkaian karakteristik yang memiliki
dua kutub dengan sifat yang berlawanan, seperti sangat baik-sangat buruk,
sangat sering-sangat jarang, dan sebagainya (Sunarto & Riduwan, 2012).
Melalui model skala ini, peneliti dapat mengetahui arti atau makna dari
konsep-konsep, hal yang diasumsikan (tersirat) dari sebuah kata yang
ditetapkan lataknya pada dua kutub yang berlawanan berdasarkan
karakteristiknya (Suryabrata, 2010). Adapun bentuk dari skala diferensial
semantik (semantic differential) ialah sebagai berikut:
Sangat buruk : ____ : ____ : ____ : ____ : Sangat baik
Dua karakteristik berlawanan yang terdapat di dua kutub dalam suatu
garis horizontal ini akan membentuk suatu format jawaban dari skala semantic
differential. Jawaban yang paling positif ialah jawaban yang berada di paling
kanan sedangkan jawaban paling negatif ialah jawaban yang berada di paling
kiri. Pada pernyataan yang favorable, semakin ke kanan jawaban subjek maka
semakin tinggi skornya dan semakin ke kiri jawaban subjek maka semakin
rendah skornya. Sedangkan pada pernyataan unfavorable, semakin ke kanan
jawaban subjek maka semakin rendah skornya dan semakin ke kiri jawaban
subjek maka semakin besar skornya. Adapun contoh teknik skoringnya ialah
30
Pernyataan favorable
Sangat tidak setuju : ____ : ____ : ____ : ____ : Sangat setuju
1 2 3 4
Pernyataan unfavorable
Sangat tidak setuju : ____ : ____ : ____ : ____ : Sangat setuju
4 3 2 1
4. Uji Validitas
Menurut Azwar (2011) validitas merupakan ketepatan suatu alat ukur
dalam menjalankan fungsi pengukuran demi tercapainya tujuan pengukuran.
Validitas mengacu pada aspek ketepatan dan kecermatan hasil pengukuran
yang dikonsepkan sebagai sejauh mana tes dapat mampu mengukur atribut
yang seharusnya diukur (Azwar, 2014). Untuk melihat ketepatan fungsi alat
ukur tersebut maka dilakukan uji validitas isi dan validitas construct.
Uji validitas isi dilakukan untuk mengetahui sejauh mana elemen
instrumen relevan dan mewakili konstruk alat ukur yang ditargetkan untuk
tujuan tertentu, kemudian uji validitas konstruk dilakukan untuk mengetahui
sejauh mana tes mengungkap suatu konstruk teoritik yang hendak diukurnya
(Cozby & Bates, 2012). Kedua pengujian ini dilakukan dengan cara mengkaji
teori yang digunakan dan kemudian merevisi butir-butir item berdasarkan
saran atau pendapat para penelaah yang profesional (Suryabrata, 2010). Uji
validitas isi dan konstruk dalam penelitian ini dilakukan oleh tiga judgement
experters, yaitu Ibu Dr. Tina Hayati Dahlan, M.Pd., Psikolog, Bapak M. Zein
Permana, M.Si, dan Ibu Niken Cahyorinarti, M.Psi, Psikolog. Para judgement
experters memberikan pendapat pada setiap item dalam skala sikap terhadap
pictorial health warning. Hasilnya beberapa item direvisi, diperbaiki susunan
redaksionalnya dan dihilangkan beberapa pernyataan yang memiliki makna
yang sama.
Untuk alat ukur intensi merokok, para judgement experters
mempercayakannya pada peneliti sebelumnya dimana secara keseluruhan
pengukurannya. Namun demikian, karena subjek dalam penelitian ini adalah
siswa SMP maka judgement experters menyarankan untuk memodifikasi alat
ukur tersebut dalam hal redaksionalnya menjadi menggunakan bahasa yang
lebih sederhana atau disesuaikan dengan bahasa subjek dengan tujuan agar
subjek lebih memahami pernyataan-pernyatan tersebut, karena ini merupakan
kriteria informal dalam menyusun pernyataan berdasarkan face validity
(Susianto, 1992). Validitas muka merupakan bagian dari uji validitas isi,
dimana sebuah fomat penampilan suatu alat ukur yang disesuaikan dengan
keadaan subjek (dalam hal ini konteks bahasa) akan memotivasinya untuk
menjawab dengan jawaban yang sesuai (Cozby & Bates, 2012). Berdasarkan
saran dari ketiga judgement experters, sebelum peneliti melakukan uji coba
peneliti diarahkan untuk melakukan uji keterbacaan kepada 11 orang siswa
SMP untuk mengetahui face validity dari instrumen-instrumen tersebut. Uji
keterbacaan instrumen dimaksudkan untuk mengetahui efektifitas
kalimat-kalimat yang dipakai yang berfungsi sebagai aspek penilaian. Setelah
diperoleh hasil dari uji keterbacaan, peneliti mendiskusikannya kembali
dengan judgement experters sehingga alat ukur yang digunakan ialah alat ukur
yang menggunakan bahasa sehari-hari siswa SMP. Peneliti kemudian
melakukan uji coba instrumen pada 240 responden di SMPN 12 Bandung dan
SMP Daarut Tauhid Boarding School Bandung, pada tanggal 22-24 Desember
2014.
5. Pemilihan Item yang Layak
Setelah penilaian item dilakukan oleh para judgement expert, peneliti
kemudian melakukan uji coba (try out) instrumen. Setelah try out dilakukan,
peneliti menentukan item kembali melalui koreksi korelasi item-total atau
corrected item-total correlation, yaitu cara mengkorelasikan skor setiap item
dengan skor total instrumen. Melalui koreksi ini, peneliti memperoleh hasil
pemilihan item yang layak digunakan untuk penelitian di lapangan, yaitu item
yang memiliki keofisien korelasi sama dengan atau lebih besar dari 0,30
(Ihsan, 2013). Pemilihan item ini diperoleh dari hasil analisis item dengan
32
merokok pada 240 orang siswa SMP. Berikut ini akan diuraikan hasil analisis
item dari masing-masing instrumen.
a. Instrumen Sikap terhadap Pictorial health warning
Berdasarkan perhitungan analisis item dengan uji corrected item-total
correlation yang telah dilakukan terhadap instrumen sikap terhadap
pictorial health warning, maka diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa 6
item dari 7 item yang diuji dinyatakan layak untuk digunakan, dan 1 item
dinyatakan tidak layak untuk digunakan.
b. Instrumen Intensi Merokok
Berdasarkan hasil analisis item dengan uji corrected item-total
correlation yang telah dilakukan terhadap 14 item pada instrumen intensi
merokok, maka diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa 13 item dari 14
item yang diuji dinyatakan layak untuk digunakan, dan 1 item dinyatakan
tidak layak untuk digunakan.
6. Reliabilitas
Reliabilitas mengacu pada konsistensi, keajegan, dan kepercayaan alat
ukur, dimana tinggi rendahnya reliabilitas ditunjukkan melalui keofisien
reliabilitas tersebut (Azwar, 2014). Pada prinsipnya, jika suatu alat ukur
mampu memberikan hasil pengukuran yang relative sama bila dilakukan
pengukuran kembali pada subjek yang sama, maka instrumen yang digunakan
dalam pengukuran tersebut dikatakan reliabel.
Reliabilitas alat ukur dalam penelitian ini diketahui dengan
menggunakan program SPSS melalui teknik koefisien alpha cronbach, yaitu
dengan membelah item sebanyak jumlah itemnya, sehingga diketahui
seberapa konsisten tiap-tiap item dalam suatu alat ukur atau instrumen. Rumus
koefisien alpha cronbach (Sugiyono, 2011) adalah sebagai berikut.
α = [ − ] [1 − ∑��² ��²]
α = koefisien reliabilitas alpha
k = banyaknya belahan tes
= varians belahan tes
� = varians skor total tes
Menurut Azwar (2011), secara teoritis koefisien reliabilitas berkisar
antara 0,0 sampai dengan 1,0. Apabila koefisien reliabilitas semakin
mendekati angka 1,0 maka dapat dikatakan semakin reliabel, begitupun
sebaliknya. Adapun kriteria tinggi rendahnya suatu koefisien reliabilitas
instrumen dikategorikan dalam tabel berikut:
Tabel 3. 4
Kategori Koefisien reliabilitas
Koefisien Kategori
0, 90 ≤ α ≤ 1,00 Sangat Reliabel
0, 70 ≤ α ≤ 0,90 Reliabel
0, 40 ≤ α ≤ 0,70 Cukup Reliabel
0,20 ≤ α ≤ 0,40 Kurang Reliabel
α ≤ 0,20 Tidak Reliabel
(Guilford dalam Sugiyono, 2013)
Berdasakan tabel tersebut, suatu alat ukur akan dinyatakan reliabel jika
menunjukkan koefisien lebih besar atau sama dengan 0,70. Berikut merupakan
hasil reliabilitas masing- masing instrumen pada penelitian ini.
a. Reliabilitas Sikap terhadap Pictorial health warning
Reliabilitas sikap terhadap pictorial health warning diperoleh dengan
bantuan SPSS versi 18. Peneliti melakukan pencarian reliabilitas sebanyak
tiga kali, pertama dilakukan ketika item tidak layak telah dibuang sehingga
menunjukkan koefisien reliabilitas uji coba sebesar 0,631 dengan jumlah
item sebanyak 7 buah dan kedua dilakukan ketika item tidak layak telah
dibuang sehingga menunjukkan koefisien reliabilitas uji coba sebesar 0,700
dengan jumlah item sebanyak 6 buah. Adapun hasil tersebut diperoleh
setelah membuang item tidak layak Setelah item tidak layak dibuang
diperoleh koefisien reliabilitas instrumen sikap terhadap pictorial health
34
perhitungan ketiga dilakukan saat telah melakukan pengambilan data
penelitian sehingga diperoleh koefisien reliabilitas sebesar 0,659 dengan
tetap berada pada kategori cukup reliabel melalui teknik alpha cronbach,
sehingga alat ukur sikap terhadap pictorial health warning bersifat cukup
reliabel.
b. Reliabilitas Intensi Merokok
Pada instrumen intensi merokok, peneliti juga melakukan pencarian
reliabilitas sebanyak tiga kali. Pertama dilakukan ketika item tidak layak
belum dibuang, sehingga menunjukkan koefisien reliabilitas uji coba
sebesar 0,850 dengan jumlah item sebanyak 14 buah. Uji reliabilitas kedua
dilakukan ketika item tidak layak telah dibuang sehingga jumlah item yeng
tersisa sebanyak 13 buah, dan memiliki koefisien reliabilitas uji coba
sebesar 0,877. Setelah item tidak layak dibuang, koefisien reliabilitas
instrumen intensi merokok tetap berada pada kategori yang sama yaitu
reliabel. Selanjutnya perhitungan ketiga dilakukan ketika pengambilan data
penelitian telah dilakukan sehingga diperoleh koefisien reliabilitas sebesar
0,929 dengan kategori yang berubah menjadi sangat reliabel. Hal ini berarti
koefisien reliabilitas ketika pengambilan data lebih baik daripada hasil
reliabilitas uji coba, sehingga alat ukur intensi merokok bersifat sangat
reliabel.
7. Kategorisasi Skor
Tujuan dari kategorisasi ialah untuk memposisikan individu ke dalam
kelompok-kelompok yang posisinya berjenjang berdasarkan suatu kontinum
dari atribut yang diukur (Azwar, 2011). Sejalan dengan pendapat Ihsan
(2013), kategorisasi digunakan untuk menginterpretasikan skor subjek dengan
cara membandingkan skor subjek dengan kelompoknya. Untuk mengetahui
kategori dari variabel dalam penelitian ini secara jelas, maka kategorisasi skor
dalam penelitian ini dibagi menjadi 4 kategori. Adapun nilai yang menjadi
pembanding dalam kategorisasi skala untuk dua kategori ialah berdasarkan
nilai persentil (P25, P50, P75) skor responden. Dimana kategori skala sikap
dan sangat negatif. Untuk kategori skala intensi merokok terdiri atas: sangat
tinggi, tinggi, rendah, sangat rendah. Jika skor subjek berada di bawah P25
maka termasuk dalam kelompok kategori sangat negatif atau sangat rendah,
jika skor subjek sama dengan P25 atau berada diantara P25 dan dibawah P50
maka termasuk dalam kategori negatif atau rendah, jika skor subjek sama
dengan P50 atau berada diantara P50 dan dibawah P75 maka termasuk dalam
kategori positif atau tinggi, dan jika skor subjek berada di atas P75 atau sama
dengan P75 maka termasuk dalam kategori sangat positif atau sangat tinggi.
Berikut adalah tabel pengelompokkanya:
Tabel 3. 5 Rumusan Kategorisasi Skor
Perhitungan
Norma
Kategori pada skala sikap
terhadap pictorial health warning
Kategori pada skala
intensi merokok
X ≥ P75 Sangat Positif Sangat Tinggi
P50≤ X < P75 Positif Tinggi
P25≤ X < P50 Negatif Rendah
X < P25 Sangat Negatif Sangat Rendah
Kategorisasi skor ini kemudian menjadi norma dalam
pengelompokkan skor sampel berdasarkan norma kelompoknya, baik pada
skor sikap terhadap pictorial health warning maupun pada skor intensi
merokok.
Tabel 3. 6 Kategorisasi Skor
Sikap terhadap Pictorial health warning dan Intensi Merokok
Kategori Sikap terhadap Pictorial
health warning
Intensi
Merokok
Sangat Positif Sangat Tinggi X ≥ 22 X ≥ 25
Positif Tinggi 20 ≤ X < 21 17 ≤ X < 24
Negatif Rendah 19 ≤ X < 19.9 13 ≤ X < 16
36
Selain itu, untuk mengetahui kategorisasi skor variabel secara lebih
spesifik maka akan ada norma dari setiap dimensi sikap terhadap pictorial
health warning dan dimensi intensi merokok berdasarkan norma
kelompoknya. Baik pada variabel sikap terhadap pictorial health warning
maupun intensi merokok. Hal ini bertujuan untuk memberikan skor pada tiap
dimensi, yang jika dijelaskan pada tabel berikut ini:
Tabel 3. 7
Kategori Dimensi-dimensi
Sikap terhadap Pictorial health warning dan Intensi Merokok
Variabel Dimensi Norma Kategori
Sikap terhadap
Pictorial health
warning
Kognitif X ≥ 12 Sangat Positif
11 ≤ X < 11.9 Positif
9 ≤ X < 10 Negatif
X < 8 Sangat Negatif
Afektif X ≥ 11 Sangat Positif
10 ≤ X < 10.9 Positif
9 ≤ X < 9.9 Negatif
X < 8 Sangat Negatif
Intensi Merokok Keinginan X ≥ 14 Sangat Tinggi
10 ≤ X < 13 Tinggi
7 ≤ X < 9 Rendah
X < 6 Sangat Rendah
Usaha X ≥ 10 Sangat Tinggi
7 ≤ X < 9 Tinggi
6 ≤ X < 6.9 Rendah
X < 5 Sangat Rendah
[image:30.596.130.513.268.679.2]a. Merumuskan masalah penelitian yang akan diteliti.
b. Menentukan variabel atau konstruk psikologis yang akan diukur dalam
penelitian.
c. Melakukan studi literatur mengenai kajian teoritis serta penelitian
terdahulu yang berkaitan dengan variabel-variabel penelitian.
d. Menyusun alat ukur yang akan digunakan dalam penelitian.
e. Menetapkan populasi dan sampel penelitian.
f. Mempersiapkan surat izin penelitian.
g. Melakukan perizinan pada pihak dinas dan sekolah untuk melakukan
penelitian serta memberikan penjelasan mengenai tujuan dari penelitian
yang akan dilaksanakan di sekolah tersebut.
2. Tahap Pengambilan Data
a. Melakukan uji keterbacaan untuk menentukan face validity instrumen
yang akan digunakan dalam try out.
b. Melaksanakan try out untuk menguji validitas dan reliabilitas alat ukur
yang telah disusun. Jika terdapat item-item yang tidak layak maka item
tersebut dihapus kemudian instrumen penelitian tersebut direvisi
seperlunya.
c. Memohon kesediaan sekolah (yang menjadi sampel penelitian) dan
kemudian menentukan waktu yang tepat untuk menyebarkan kuesioner
pada subjek penelitian.
d. Menyebarkan kuesioner penelitian, kemudian memberikan penjelasan
mengenai pictorial health warning sabagai hal yang dimaksud dalam
penelitian dilanjutkan dengan memberikan petunjuk pengisian
kuesioner kepada para siswa yang menjadi subjek penelitian.
e. Melaksanakan pengambilan data.
f. Memberikan reward kepada para siswa yang menjadi sampel
penelitian.
38
Pada tahap pengolahan data, pertama peneliti melakukan pemberian
skor untuk setiap data hasil kuesioner (scoring) kemudian menginputnya
sehingga diperoleh tabulasi atau rekapan data subjek. Setelah data diinput,
langkah selanjutnya ialah melakukan pencarian reliabilitas dan validitas untuk
mengetahui seberapa reliabel dan valid alat ukur yang digunakan dalam
penelitian ini. Kemudian peneliti mencari persentil dari keseluruhan data
untuk di buat norma pengkategorisasiannya dan melakukan kategorisasi.
Terakhir, melakukan pengujian hipotesis dengan cara uji korelasi antar
variabel.
4. Tahap Pembahasan
a. Mendeskripsikan hasil penelitian yang telah diolah sebagai penemuan
dari penelitian.
b. Membahas atau menginterpretasi data yang telah diolah.
c. Menjelaskan keterbatasan penelitian.
d. Membuat kesimpulan serta saran dari hasil penelitian.
G. Analisis Data
Penelitian ini merupakan penelitian korelasional, sehingga sebelum
menentukan teknik analisis data yang akan digunakan dalam penelitian ini,
peneliti melakukan uji normalitas data untuk menguji apakah penelitian ini
merupakan jenis distribusi normal dengan menggunakan Kolmogorov-Smirnov
Goodness of Fit Test terhadap masing-masing variabel dengan kaidah keputusan
jika signifikansi lebih besar dari alpha 0.05 (taraf kesalahan 5%) maka dapat
dikatakan bahwa data tersebut normal. Pengujian Kolmogrov-Smirnov ini
dilakukan dengan menggunakan bantuan SPSS versi 18. Berdasarkan hasil uji
normalitas terhadap variabel sikap terhadap pictorial health warning dengan
intensi merokok, diperoleh hasil berikut:
Tabel 3. 8 Uji Normalitas
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Sikap thd
PHW
Intensi
N 384 384
Normal Parametersa,b Mean 19.9844 19.7656
Std. Deviation 2.57722 7.79384
Most Extreme
Differences
Absolute .117 .204
Positive .060 .204
Negative -.117 -.193
Kolmogorov-Smirnov Z 2.293 3.993
Asymp. Sig. (2-tailed) .000 .000
a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
Tabel ini menunjukkan bahwa sig.normality pada variabel sikap terhadap
pictorial health warning maupun intensi merokok berada pada angka 0.000.
Angka ini lebih kecil dari 0.05 hal ini dapat diartikan bahwa variabel-variabel ini
berdistribusi tidak normal. Karena data semua variabel tidak berdistribusi normal
dan datanya berbentuk ordinal maka teknik analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini untuk menguji hipotesis ialah teknik korelasi rank spearman, yaitu
teknik analisis data yang bertujuan untuk mengetahui hubungan dan menguji
signifikansi hipotesis asosiatif dari data yang berbentuk ordinal (Ihsan, 2013).
Hasil dari analisis data menggunakan rank spearman akan diperoleh koefisien
korelasi, yaitu angka yang menunjukkan tinggi atau rendahnya kekuatan
hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat (Susetyo, 2010). Besarnya
koefisien korelasi berkisar antara −1 ≤ ≤ +1, dengan ketentuan bahwa
semakin mendekati 1 (terlepas dari – atau + ) berarti menunjukkan hubungan yang
tinggi diantara variabel yang dihubungkan (Sunarto & Riduwan, 2012). Untuk
lebih jelasnya, pedoman nilai untuk memberikan interpretasi koefisien korelasi,
[image:33.596.122.502.81.239.2]dapa dilihat pada tabel berikut.
Tabel 3. 9
Pedoman Interpretasi Koefisien Korelasi
Interval Koefisien Tingkat Hubungan
0,00 – 0,199 Sangat Rendah
0,20 – 0, 399 Rendah
[image:33.596.156.468.646.736.2]40
0,60 – 0,799 Kuat
0,80 – 1,00 Sangat Kuat