HUBU
UNGAN A
ANTARA
A SIKAP
ASERT
AGRESI
TIF
F DENGA
AN SIKA
AP
Skripsi
Diajjukan untuuk Memenuuhi Salah Saatu Syarat Memperolleh Gelar SSarjana Psikologi
Proggram Studii Psikologi
P
PROGRAM
Disusun ooleh : T
Tri Wahyu AAprinta N
NIM : 0391114007
M STUDI PPSIKOLOGGI JURUSAAN PSIKOOLOGI
FAKULTAS PSSIKOLOGII
UNIVERSSITAS SANNATA DHAARMA Y
YOGYAKAARTA
HUBU
UNGAN A
ANTARA
A SIKAP
ASERT
AGRESI
TIF
F DENGA
AN SIKA
AP
Skripsi
Diajjukan untuuk Memenuuhi Salah Saatu Syarat Memperolleh Gelar SSarjana Psikologi
Proggram Studii Psikologi
P
PROGRAM
Disusun ooleh : T
Tri Wahyu AAprinta N
NIM : 0391114007
M STUDI PPSIKOLOGGI JURUSAAN PSIKOOLOGI
FAKULTAS PSSIKOLOGII
UNIVERSSITAS SANNATA DHAARMA Y
YOGYAKAARTA
20111
Karya ini kupersembahkan kepada :
Bapak dan Mamak tersayang,
Ababg-abang & Adik-adikku yang sangat kusayangi (Ruly, Aan, Kris Nova,
& Yolly),
Dan semua keluarga besar P. Bangun.
v
“Tuhan tak menuntut kita untuk sukses; Dia
hanya meminta kita untuk mencoba
”HUBUNGAN ANTARA SIKAP AGRESIF DAN SIKAP ASERTIF
Tri Wahyu Aprinta
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan korelasi antara variabel sikap agresif dengan sikapa asertif. Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif. Subjek dalam penelitian ini adalah 100. mahasiswa Universitas Sanata Dharma angkatan 2009 dan 2010. Data yang diperoleh dari skala agresif dan skala asertif yang disusun oleh peneliti. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya hubungan negatif antara variabel sikap agresif dengan sikap asertif. Hal ini ditunjukkan dengan adanya korelasi sebesar -0,411.
Kata kunci: sikap asertif, sikap agresif
viii
CORRELATION BETWEEN
AGGRESSIVE ATTITUDE WITH ASSERTIVE ATTITUDE Tri Wahyu Aprinta
ABSTRACT
This research was aimed to prove correlation between aggressive attitude with assertive attitude. This research was cuantitative research. Subjects in this research was 100 University Of Sanata Dharma college students class of 2009 and 2010. Data obtained from aggressive and assertive attitude scales which composed by researcher. The result showed that there was negative correlation between aggressive attitude and assertive attitude. This was showed by the correlation value of -0,411.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kasih setia Tuhan Yang Maha Esa yang
selalu memberikan berkat dan pengampunan-Nya sehingga penulis bisa
menyelesaikan skripsi ini. Demikian pula dengan dukungan material maupun
spritual dari orang lain yang menjadikan skripsi ini ada, oleh karena itu pada
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapa Yang Bertahta di Kerajaan Surga, terima kasih atas kesempatan yang
telah diberikan kepada saya untuk merasakan hidup...
2. Ibu Dr. Christina Siwi Handayani selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma.
3. Bapak Drs. H. Wahyudi, M.Si selaku dosen pembimbing saya, yang tetap
memberikan kesempatan kepada saya untuk menjadi anak bimbingan
dalam waktu penyelesaian skripsi yang lama. Maaf jika saya sering
membuat bapak kesal dan jengkel.
4. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si selaku dosen pembimbing akademik.
Terima kasih Pak buat pena semangatnya.
5. Mas Gandung, Mbak Naniek, Mas Muji, Mas Doni, dan Pak Gi yang telah
banyak membantu di sekretariat Psikologi, lab, dan Ruang Baca.
6. Dosen-dosen Fakultas Psikologi yang telah memberikan ilmunya kepada
saya selama 7 tahun ini.
7. Bapak dan Mamak, Bang Ruly, Bang Aan, Kris Nova Anugrah dan
Yoliana terima kasih untuk dukungan material dan spiritualnya, sehingga
saya bisa melewati tingkatan hidup ini. Juga pengertiannya atas
penyelesaian Study yang begitu lama
8. Ronald, Cuki, Taman dan Junius. Teman angkatan 2003 yang pernah dan
akan selalu berkibar bersama dimanapun kita berada.
9. Vivin, Clare, Wulan, dan Vivi. Trimakasih sudah membantui skoring
skala, dan juga atas pinjaman buku-bukunya.
10.Martin. Makasih atas bantuan ngetik dan menemani begadang yang penuh
penderitaan.
11.Dodo, Fajar, Dwi, Nadi, Yunus, Agus dan teman penghuni kos tercinta.
Trimakasih atas tingkah aneh kalian yang selalu menghibur, mari
budayakan bahasa ngapak.
12.Ria Mariana. Terimakasih atas cemilan tengah malamnya, yang telah
menyelamatkan perut Viky dan saya selama menyembah dewa komputer.
13.Viky Pangaribuan. Makasih atas bantuan menyebarkan skalanya, juga atas
ketikan dan waktu begadang yang penuh siksaannya. Makasih juga atas
semboyan “Sakit Itu Baik”nya.
14.Dherma Pangaribuan. Makasih atas bantuannya menyebar skala ya Dek!.
15.Kadek, Vigor, Conrad, Bayu, Bethet, Eki, Doni, Nug, Inung, Wiwid,
Nana, Wiwet, Ria, Yudhi, Rani,dan semua teman-teman angkatan 2003.
Terima kasih buat semuanya yang pernah kita lakukan bersama.
16.Semua teman-teman psikologi dari semua angkatan. Terima kasih buat
pertemanan, dinamika, dan bantuannya selama kita berada di Fakultas
Psikologi.
17.Untuk semua teman-teman PB.Skripsi. makasih atas waktunya bermain
badminton. Jangan jump smesh terus. Ayo skripsi
18.Untuk semua teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu-persatu.
Terima kasih buat semuanya. Kalian memberi warna dalam hidupku
selama 7 tahun terakhir ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna. Oleh karena
itu penulis sangat mengharapkan masukan baik saran maupun kritik yang sifatnya
membangun dari berbagai pihak untuk karya ini. Penulis berharap semoga karya
ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Terima kasih.
Yogyakarta, 21 Januari 2011
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR TABEL ... xvii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 4
C. Tujuan Penelitian ... 5
D. Manfaat Penelitian ... 5
BAB II. LANDASAN TEORI ... 6
A. Sikap ... 6
B. Agresif ... 7
1. Pengertian Agresif ... 7
2. Faktor Yang Memepengaruhi Agresif ... 8
3. Jenis-jenis Agresi...15
4. Sikap Agresif ... 20
C. Asertif ... 21
1.Pengertian Asertivitas ... 21
2. Ciri-ciri Perilaku Asertif ... 24
3. Aspek-aspek Asertivitas ... 26
4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Asertif ... 29
5. Tujuan Dan Manfaat Asertivitas ... 31
6. Sikap Agresif ... 34
D. Hubungan Sikap Agresifitas Dan Sikap Asertifitas ... 35
E. Hipotesis ... 36
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 37
A. Jenis Penelitian ... 37
B. Identifikasi Variabel ... 37
C. Definisi Operasional Variabel ... 37
1. Sikap Asertif ... 37
2. Sikap Agresif ... 38
D. Subjek Penelitian ... 38
E. Metode Pengumpulan Data ... 39
1. Skala Sikap Asertif ... 37
2. Skala Sikap Agresif ... 43
F. Reliabilitas Dan Validitas Alat Ukur ... 45
1. Validitas ... 45
2. Reliabilitas ... 46
G. Metode Analisis Data ... 47
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 48
A. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 48
1. Skala Agresif ... 48
a. Koefisien Korelasi Item Total Alat Ukur ... 48
b. Reliabilitas Alat Pengumpulan Data ... 49
2.Skala Sikap Asertif ... 49
a. Koefisien Korelasi Item Total Alat Ukur ... 49
b. Reliabilitas Alat Pengumpulan Data ... 50
B. Persiapan Penelitian ... 50
C. Pelaksanaan Penelitian ... 51
D. Hasil Penelitian ... 51
1. Deskripsi Subjek ... 51
2. Prosedur Penelitian ... 52
3. Deskripsi Data Penelitian ... 52
4. Uji Asumsi ... 53
a. Uji Normalitas ... 53
b. Uji Linieritas ... 54
5. Uji Hipotesis ... 55
E. Pembahasan ... 56
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 58
A. Kesimpulan ... 58
B. Saran ... 58
DAFTAR PUSTAKA ... 59
LAMPIRAN
xvii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Tabel Blue-print Skala Sikap Asertif
Sebelum Uji Coba ... 42
Tabel 2. Tabel Blue-print Skala Sikap Agresi Sebelum Uji Coba ... 44
Tabel 3. Tabel Blue-print Skala Sikap Agresif Setelah Uji Coba ... 48
Tabel 4. Tabel Blue-print Skala Sikap Asertif Setelah Uji Coba ... 50
Tabel 5. Deskripsi Data Penelitian ... 52
Tabel 6. Uji Normalitas ... 53
Tabel 7. Uji L:inieritas ... 54
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
John Dewey menyatakan bahwa manusia merupakan mahluk sosial
yang tak dapat lepas dari manusia lainnya. Seorang manusia hanya dapat
dikatakan sebagai suatu pribadi hanya ketika dia bertindak sebagai wakil
dari suatu kelompok atau masyarakat (Gallgher, 1994). Hal ini
menegaskan bahwa setiap manusia membutuhkan manusia lain untuk
meneguhkan keberadaannya sebagai manusia. Dalam mengembangkan
dirinya menuju manusia yang sehat, manusia bergantung pada
kemampuannya untuk membangun hubungan yang intim dengan manusia
lainnya (Sullivan, dalam Santrock, 2002). Pentingnya menjalin hubungan
manusia satu dengan manusia lainnya menyebabkan setiap manusia selalu
berusaha mengembangkan kemampuannya dalam menjalin relasi sosial.
Dalam usaha untuk menjalin hubungan dengan orang lain,
seringkali individu mengalami benturan-benturan kepentingan dengan
orang lain yang dapat menyebabkan timbulnya ketidak nyamanan atau
tekanan kejiwaan. Dan secara alamiah manusia cenderung melawan segala
perubahan yang terjadi terhadap dirinya atau berusaha mencoba
menjadikan lingkungannya sesuai dengan keinginannya (Boeree, 2006).
Bila manusia mempertahankan sikap untuk menjadikan
lingkungannya atau orang lain sesuai dengan keinginannya dengan keras
atau kaku, maka orang tersebut akan menjadi agresif, dan ini akan
memunculkan sikap bermusuhan terutama bila keinginannya tidak
tercapai, berikut contoh agresi manusia pada sesamanya; Dua anggota
DPRD Banyumas Selasa (2/3) berkelahi saat rapat Panitia Khusus
membahas pasar modern, Samsudin terkena tonjok di bagian rahang.
Hingga harus menjalani perawatan di rumah sakit DKT (Dinas Keseatan
Tentara) Purwokerto. Wajah bagian kiri masih bengkak dan membiru,
Perkelahian kecil antara seorang pengendara sepeda motor dan supir taksi
sempat terjadi di ruas jalan Gatot Subroto, tepatnya sebelum perempatan
Pancoran, Rabu (24/2/2010) pagi (www.kompas.com). Berita-berita di
atas menunjukkan begitu seringnya terjadi agresi dalam dunia sosial kita,
tidak perduli di lingkungan sosial seperti apa kita berada. Hal-hal tersebut
juga memberi gambaran kepada kita, pelaku agresi juga bisa dilakukan
oleh siapa saja, baik itu dari kalangan biasa seperti supir taksi maupun
kalangan pejabat (anggota dewan) atau bahkan diri kita sendiri.
Ada banyak bentuk agresi yang terjadi dalam dunia sosial kita,
mulai dari kekerasan dalam bentuk fisik, berupa pemukulan maupun
kekerasan verbal yang berupa perkataan yang bertujuan menyakiti
perasaan orang lain. Hal ini menjadi menarik untuk diperhatikan karena
hak-hak asasi manusia tetap tidak mampu untuk lepas dari perilaku dan
sikap yang agresif terhadap sesama kita sendiri.
Menurut Baron dan Byrne (2005) agresi adalah tingkah laku yang
diarahkan kepada tujuan menyakiti mahluk hidup lain yang ingin
menghindari perlakuan semacam itu. Salah satu alasan mengapa banyak
orang terlibat dalam agresi adalah karena mereka tidak memiliki
keterampilan sosial dasar. Mereka tidak mengetahui bagaimana merespon
provokasi dari orang lain dalam cara yang menenangkan orang lain,
alih-alih mengganggu mereka. Mereka tidak tahu cara membuat permintaan
atau bagaimana cara untuk menolak permintaan orang lain tanpa membuat
orang lain marah.
Berdasarkan pendapat di atas dapat diperoleh gambaran bahwa
orang dapat menghindarkan diri dari keterlibatan agresi bila mereka
mampu berkomunikasi secara efektif, dimana mereka mampu untuk
meminta pertolongan dan juga mampu untuk menolak permintaan orang
lain tanpa menyinggung perasaan orang tersebut. Kemampuan untuk
bertoleransi terhadap orang lain juga mampu menghindarkan kita dari
situasi agresi, sebab kemampuan ini dapat membantu orang untuk
memahami perilaku orang di sekitarnya dan tidak mudah untuk
terprovokasi oleh perilaku orang lain. Kemampuan yang telah disebutkan
di atas merupakan ciri dari orang-orang yang memiliki sikap dan perilaku
Berbeda dengan orang-orang yang bersikap agresif, orang-orang
yang memiliki sikap asertif akan lebih mudah menjauhi sikapa ataupun
perilaku agresif. Hal ini terjadi karena orang yang bertindak asertif tidak
hanya berusaha mendapatkan keinginannya, tetapi juga mendukung orang
lain mendapatkan hal yang sama. Dengan kata lain, orang yang asertif
akan mencari penyelesaian masalah dengan win-win solution, yaitu
mengupayakan penyelesaian masalah dimana kedua belah pihak mencapai
tujuan. Asertifitas adalah suatu kemampuan untuk mengkomunikasikan
apa yang diinginkan, dirasakan, dan dipikirkan kepada orang lain namun
dengan tetap menjaga dan menghargai hak-hak serta perasaan pihak lain
(Rini J, 2001).
Dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat hubungan sikap agresif
dengan sikap asertif dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini di dasari
keyakinan bahwa sikap seseorang terhadap sesuatu akan menjadi
pendorong terbentuknya sebuah perilaku, dalam hal ini sikap agresif dan
sikap agresif juga akan mendorong timbulnya perilaku agresif dan perilaku
asertif.
A. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas, maka rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah “adakah hubungan sikap agresif dan
B. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan sikap agresif dan
sikap asertif.
C. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi
perkembangan ilmu psikologi, khususnya psikologi sosial.
2. Manfaat praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini, dengan diperolehnya pemahaman
mengenai hubungan sikap agresif dengan sikap asertif diharapkan
dapat memberi sumbangan kepada masyarakat umum tentang
pentingnya membangun sikap asertif dalam rangka untuk mengurangi
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Sikap
Para tokoh psikologi yang terkenal dalam bidang psikologi
sosial dan psikologi kepribadian seperti Bogardus, Chave, Mead dan
Gordon Allport (Azwar, 1998) menjelaskan sikap sebagai kesiapan
untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu.
Kesiapan yang dimaksud merupakan kecenderungan potensial untuk
bereaksi dengan cara tertentu apabila individu dihadapkan pada suatu
stimulus yang menghendaki adanya respon. Respon yang dimunculkan
oleh individu dapat berupa persetujuan ataupun ketidaksetujuan
individu atas suatu obyek tertentu.
Dalam bukunya yang berjudul Sikap Manusia, Azwar (1995)
menulis Struktur sikap terdiri dari tiga komponen yang saling
menunjang yaitu komponen kognitif (pemikiran), komponen afektif
(perasaan) dan komponen konatif (tindakan) yang pada masing-masing
unsur terdapat unsur evaluatif.
1. Komponen kognitif adalah cara suatu obyek untuk
dipersepsikan, semacam gambaran mental yang terbentuk
dalam benak seseorang yang bisa berwujud kepercayaan dan
pengetahuan.
2. Komponen afektif adalah sebuah pendapat tentang suatu obyek
yang tidak disertai dengan argumen atau pendapat yang akurat
lebih pada spontanitas.
3. Komponen konatif adalah suatu predisposisi (kecenderungan)
perilaku dari suatu individu terhadap obyek.
B. Agresif
1. Pengertian Agresif
Agresi adalah tingkah laku yang diarahkan kepada tujuan
menyakiti mahluk hidup lain yang ingin menghindari perlakuan
semacam itu (Baron dan Byrne 2005). Menurut Berkowitz (1995)
agresi adalah segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk
menyakiti baik secara fisik maupun secara mental. Moore dan Fibe
(Koeswara, 1998) mendefinisikan agresi sebagai tingkah laku
kekerasan secara fisik ataupun verbal terhadap individu atau terhadap
objek-objek lain.
Berdasarkan uraian definisi agresi yang disebutkan beberapa
tokoh diatas, peneliti merumuskan agresi sebagai tingkah laku yang
diarahkan untuk menyakiti individu maupun objek-objek lain yang
2. Faktor yang mempengaruhi Agresif
a) Faktor Internal
i. Teori Naluri (Instinct Theory)
Tokoh- tokohnya adalah Sigmund Freud dan Konrad
Lorend. Mereka menggunakan konsep naluri dalam usaha
menjelaskan sumber bawaan agresi. Freud menyatakan bahwa
agresi bersumber pada naluri kematian yang berfungsi untuk
mempertahankan jenis, sedangkan Lorenz yakin bahwa agresi
merupakan bagian dari naluri hewan yang diperlukan untuk
bertahan dalam proses evolusi. Kritik terhadap teori ini datang
dari orang-orang yang ragu akan konsep naluri ini.
Barash (Sarwono,1999) merupakan salah satu tokoh yang
mengkritik teori ini, mengumpulkan berbagai buku dan
menemukan sekitar 6000 macam naluri. Tampaknya ada
kecenderungan pada waktu itu untuk memberi label naluri pada
setiap perilaku. Jadi tidak hanya naluri agresi dan sex yang ada,
tetapi ada juga naluri keibuan, bekerja menyusui dan
sebagainya.
ii. Pendekatan Biologi
Teori biologi mencoba menjelaskan tindakan agresi
melalui proses faal maupun teori genetika. Moyer
(Sarwono,1999) menyebutkan bahwa tingkah laku agresi
syaraf pusat. Selain itu, dikatakan bahwa hormon laki-laki
(testosteron) dipercaya sebagai pembawa sifat agresif. Menurut
tim American Psychological Association tahun 1993 (dalam
Sarwono,1999) kenakalan remaja lebih terdapat pada remaja
pria. Teori biologi yang meninjau tindakan agresif dari ilmu
genetika dikemukakan oleh Lagerspetz (Sarwono,1999), ia
mencoba membuktikan identifikasi ciri-ciri agresif pada
pasangan-pasangan kembar identik dan kembar non-identik dan
saudara-saudara kembar. Hasilnya adalah bahwa ciri-ciri yang
sama paling banyak terdapat antara pasangan kembar yang
identik.
Teori biologi kemudian juga banyak mendapat kritik dari
beberapa pakar psikologi budaya yang mengatakan bahwa pola
perilaku agresif tidak akan sama dari masa ke masa atau dari
tempat satu ke tempat yang lainnya, perilaku tersebut dapat
berubah.
b) Faktor eksternal
i. Pendekatan Belajar Sosial (Social-Learning Theory)
Pendekatan ini menjelaskan bahwa akar dari agresi
berasal dari (a) pengalaman belajar sebelumnya, (b) imbalan
atau hukuman yang diterima saat ini, (c) faktor sosial,
lingkungan, kognitif (frustasi, provokasi kepada orang lain,
menyebabkan tindakan agresif. Tokoh utama dari teori belajar
sosial ini adalah Albert Bandura.
Imbalan atau hukuman yang pernah diterima
saat ini
Perilaku agresif Pengalaman sebelumnya
oleh aggressor (si pelaku)
Faktor sosial, lingkungan, dan kognitif
Gambar 1. Pendekatan Belajar Sosial
ii. Pendekatan Kognitif Neoasosiasi
Pendekatan neoasosiasi ini muncul setelah pendekatan
naluri dianggap pesimistik mengenai kemungkinan untuk
mencegah atau mengontrol agresifitas manusia, sehingga teori
ini dinamakan Neoasosiasi.
Pendekatan ini berusaha menjelaskan tentang pengalaman
yang tidak menyenangkan akan membangkitkan pengaruh
negatif (perasaan marah, jengkel dan sebel), perasaan ini secara
otomatis akan mengaktifkan kecenderungan untuk menjadi
dari situasi yang tidak menyenangkan) hal ini tentunya
diasosiasikan pada reaksi fisiologis, pikiran dan memori yang
berhubungan dengan pengalaman yang menyerupai itu. Agresi
terbuka (overt agrression) akan terjadi atau tidak bergantung
pada beberapa faktor seperti tingkat pemrosesan dan kognitif
yang lebih tinggi. Misalnya jika seseorang mengalami kejadian
yang tidak menyenangkan (sakit fisik, lingkungan yang
bersuhu panas atau kondisi-kondisi tidak menyenangkan
lainnya), seseorang akan cenderung bersikap agresif. Meskipun
dalam kondisi yang tidak menyenangkan seseorang dapat saja
menekan perilaku agresifnya karena menyadari bahwa perilaku
Kecenderungan jengkel, danmarah)
Kecenderungan untuk melarikan diri atau
menarik diri (diasosiasikan oleh pikiran, memori, dan
reaksi fisiologis)
Gambar 2. Pendekatan Kognisi Neoasosiasi
iii. Theori Hipotsis Frustasi Agresi
Teori yang terkenal diungkapkan oleh Dollard adalah
hipotesis teori hipotesis frustasi-agresi. Teori ini menjelaskan
bahwa agresi merupakan akibat dari frustasi dan frustasi dapat
menimbulkan beberapa bentuk agresi (Sears, !994). Dollard
dkk. (Berkowitz, 1995) mendefinisikan frustasi sebagai kondisi
eksternal yang membuat seseorang tidak mendapatkan
kesenangan yang diharapkannya. Dengan demikian, agresi
Ada beberapa faktor yang mempengarui intensitas
dorongan agresif yang disebabkan adanya frustasi dimana : 1)
tingkat kepuasan yang diharapkan tidak diperoleh, 2) seberapa
jauh orang gagal memperoleh kepuasan dan 3) seberapa sering
ia terhalang untuk mencapai tujuan.
Miller (Berkowitz, 1995) menyatakan bahwa frustasi
menyebabkan berbagai kecenderungan, yang salah satunya
adalah kecenderungan agresi. Sebab bila seseorang mengalami
hambatan dalam mencapai tujuannya akan memiliki
kecenderungan untuk bereaksi terhadap frustasi seperti, ingin
lari dari situasi yang tidak menyenangkan, mengatasi kesulitan,
mencari tujuan lain dan menyerang penghalangnya.
Menurut Dollard dkk. (Sears, 1994) tingkah laku agresif
selalu berasal dari frustasi. Tetapi penelitian-penelitian
selanjutnya menunjukkan bahwa frustasi tidak selalu
menyebabkan agresi dan sebaliknya tingkah laku agresi tidak
selalu berasal dari situasi frustasi. Oleh karena itu, Wohchel
(Berkowitz, 1995) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa
frustasi akan menyebabkan kecenderungan agresi paling kuat
jika (1) Hasil yang diperoleh jauh kurang menarik dibanding
dengan yang diharapkan, (2) orang itu mengharapkan
kesenangan mencapai tujuan yang diinginkan. Jadi orang yang
tertentu, maka pada dasarnya bersiap memperoleh kesenangan
dari mencapai tujuan tersebut. Tetapi jika tujuan yang ingin
dicapai gagal terpenuhi maka menyebabkan rasa frustasi dan
memunculkan dorongan agresi.
Berkowitz (Sarwono 1999) menambahkan bahwa frustasi
menimbulkan kemarahan dan emosi marahlah yang memicu
agresi. Berkowitz (Koeswara 1988) kemudian melakukan
pembaharuan terhadap teori yang dibuat oleh Dollard, ia
menekankan bahwa kaitan antara frustasi dan agresi lebih baik
dilihat sebagai kaitan antara stimulus aversiv dan agresi.
Artinya, frustasi bisa mengarahkan individu pada tindakan
agresif karena frustasi merupakan situasi yang tidak
menyenangkan dan individu akan melakukan berbagai cara
untuk menghindarinya, termasuk dengan cara melakukan
tindakan agresi.
Selain teori-teori faktor eksernal yang telah disebutkan
diatas, para pakar psikologi sosial juga menambahkan beberapa
faktor eksternal lainnya yang dapat menyebabkan timbulnya
agresi, yaitu : pengaruh filim-film kekerasan, pornografi (Sears,
1994), akibat minuman yang mengandung alkohol (Baron &
Byrne 1994), kondisi negatif lainnya seperti suhu tinggi yang
agresi seperti senjata serta semua benda lain yang dapat
membangkitkan perasaan negatif (Berkowitz 1995).
3. Jenis-Jenis Agresi
Ada beberapa jenis agresi yang digolongkan oleh para ahli
psikologi sosial diantaranya :
a) Agresi berdasarkan tujuan, tokohnya Berkowitz (1995) membagi
agresi menjadi 2 yaitu .
i. Agresi instrumental adalah suatu tindakan yang dilakukan
dengan sengaja dan dengan tujuan praktis bukan untuk
menyakiti korban, contohnya beberapa orang menjadi
pembunuh bayaran; mereka membunuh karena uang bukan
karena marah (Sears, 1994).
ii. Agresi emosional yaitu suatu tindakan yang didorong oleh
keinginan untuk menyakiti sasaran dan bukan untuk mencapai
tujuan tertentu, contohnya pelajar yang berkelahi massal karena
ada temannya yang (katanya) dikeroyok (dalam Sarwono,
1999).
b) Agresi berdasarkan norma sosial, tokohnya Sears (1994)
membedakan agresi menjadi 2 yaitu :
i. Agresi prososial, adalah suatu tindakan yang sesuai dengan
perintah dari orang yang lebih berkuasa, contohnya seorang
dokter yang menolong pasien dengan operasi.
ii. Agresi antisosial, suatu tindakan yang melanggar norma sosial
atau hukum yang berlaku di masyarakat, contohnya
penyerangan, pembunuhan, kekerasan.
c) Agresi berdasarkan bentuk perilaku, tokohnya Arnorld Buss
(Baron dan Byrne, 1997), dan Johnson & Medinnus (1969).
i. Buss (dalam Baron & Byrne, 1997) membagi bentuk agresi ke
dalam 3 bentuk yaitu fisik-verbal, aktif-pasif, langsung-tidak
langsung. Buss menerapkan ketiga bentuk agresi tersebut
dalam bidang industri. Dalam penelitiannya, Buss menemukan
bahwa di lingkungan kerja, agresi lebih sering terjadi dalam
bentuk agresi tertutup (covert aggression). Alasan mengapa
ditempat kerja lebih sering terjadi agresi tertutup karena 1)
ditempat kerja ada banyak saksi dari tindakan agresi sehingga
mereka tidak berani menunjukkan agresi secara terbuka. 2)
Calon agressor ditempat kerja biasanya berpikir jika mereka
akan berinteraksi kembali dengan korban sasaran di masa
depan, sehingga para pekerja dalam bertindak agresif lebih
memilih agresi tertutup (covert aggression) agar para korban
sasarannya tidak mengetahui tindakan yang sedang dilakukan
cenderung berbentuk verbal daripada fisik, tidak langsung
daripada langsung, pasif daripada aktif.
Tokoh lain yang juga membedakan agresi berdasarkan
bentuk perilaku adalah Johnson & Medinnus (1969). 4 bentuk
agresi tersebut adalah :
i. menyerang fisik
ii. menyerang dengan benda
iii. menyerang secara verbal simbolis
iv. mengambil hak milik orang lain atau melanggar daerah orang
lain
Keempat bentuk agresi ini ditemukan oleh Johnson &
Medinnus (1969) berdasarkan penelitian behavioral yang dilakukan
pada anak-anak. Teknik yang dilakukan untuk memperoleh
keempat bentuk agresi tersebut yaitu dengan secara observasi
perilaku anak sehari-hari. Tehnik observasi yang dilakukan
Johnson & Medinnus untuk mengamati perilaku agresif anak-anak
sangat efektif karena anak-anak dapat secara spontan
mengeluarkan tindakan mereka tanpa merasa dihambat,
diperhatikan dan dinilai. Teknik observasi ini dapat berbagai
macam bentuk tindakan agresif yang telah dilakukan oleh
anak-anak dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Dalam penelitian ini, jenis agresi yang akan diteliti adalah jenis
bentuk-bentuk agresi lebih sesuai digunakan sebagai acuan untuk mengukur
agresi yang akan diteliti oleh peneliti dibandingkan dengan jenis agresi
berdasarkan tujuan dan norma social.
Bentuk agresi yang diungkapkan oleh Jhonson dan Medinnus
(1969) menjadi pilihan peneliti karena berdasarkan penelitian
longitudinal terhadap perilaku agresif ditemukan bahwa ada
kesetabilan perilaku agresif selama periode waktu yang panjang dari
masa anak-anak hingga anak tersebut menjadi dewasa (Berkowitz,
1995). Studi dari Amerika, Inggris dan Swedia yang dikaji oleh
Olweus (Berkowitz, 1995) pertama-tama mengukur agresivitas yang
biasanya ditujukan oleh subjek berusia 2 sampai 18 tahun, kemudian
pengukuran dengan jarak waktu antara 6 sampai 21 tahun kemudian.
Berbagai cara dipakai dalam penelitian perilaku, termasuk observasi
langsung, penilaian guru, dan bahkan laporan dari teman-teman
subjek. Hasil secara umum menunjukkan adanya hubungan antara skor
pengukuran awal dan skor pengukuran lanjutan, meskipun besarnya
korelasi cenderung menurun sejalan dengan bertambahnya waktu
antara pengukuran.
Berdasarkan studi terdahulu yang dikaji oleh Olweus
(Berkowitz, 1995), peneliti melihat bahwa perilaku agresif yang
dilakukan oleh anak-anak, cenderung stabil hingga anak menjadi
dewasa . dengan demikian, peneliti ingin mencoba menerapkan bentuk
awalnya diterapkan pada subjek anak-anak, yang kemudian pada
gilirannya peneliti menerapkannya pada subjek yang berada pada
masa transisi dari remaja akhir menuju dewasa awal (youth). Untuk
penelitian ini, peneliti melakukan penambahan yang lebih spesifik
pada indikator-indikator yang telah ada menjadi beberapa sub
indikator, agar menjadi lebih rinci dan jelas untuk mengungkapkan
sikap agresif pada subjek penelitian. Indikator-indikator yang akan
digunakan adalah:
1) Menyerang fisik, termasuk didalamnya memukul, menampar,
menendang, meninju dan menyakiti anggota tubuh
2) Menyerang dengan benda, termasuk didalamnya menyerang
dengan batu, karet dan buku.
3) Menyerang secara verbal simbolis, termasuk didalamnya
membicarakan kebutukan orang lain/ menggosip, mencaci-maki
orang lain, menggunakan kata-kata kasar atau umpatan, dan
mengancam.
4) Mengambil hal milik orang lain atau melanggar daerah orang lain
termasuk di dalamnya menyerobot hak milik orang lain,
mengambil barang orang lain tanpa sepengetahuan/ ijin dari orang
lain, dan merusak barang orang lain.
Jadi agresi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu
tindakan yang dilakukan secara sengaja dengan maksud untuk melukai
menyerang fisik, menyerang dengan benda, menyerang secara verbal
simbolis dan mengambil hak milik orang lain atau melanggar daerah
orang lain.
4. Sikap Agresif
Apabila individu memberikan persetujuan terhadap suatu
tindakan, ketika berhadapan dengan dilema untuk melakukan atau
tidak melakukan suatu tindakan bisa diprediksi bahwa individu
tersebut cenderung untuk berperilaku tertentu. Dengan kata lain, jika
individu memberikan persetujuan terhadap tindakan agresif maka bisa
diprediksi bahwa individu tersebut cenderung untuk bertindak agresif.
Dengan demikian, sikap seseorang terhadap objek sikap tsrtentu dapat
meramalkan tingkah laku yang akan ditempuhnya ketika berhadapan
dengan objek sikap tersebut.
Agresif dapat terjadi pada tataran sikap, intensi dan perilaku.
Tetapi karena peneliti tetap melihat bahwa sikap agresif memiliki
peranan yang penting dalam meramalkan tindakan agresif seseorang
maka penelitian ini mencoba untuk malihat agresif pada tataran sikap,
yang kemudian dikaitkan sikap asertif.
Jadi sikap agresif yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
kecenderungan seseorang untuk bertindak secara sengaja dengan
maksud untuk melukai orang lain yang ditunjukkan dalam komponen
menyerang fisik, menyerang dengan benda, menyerang secara verbal
dan mengambil hak milik orang lain atau melanggar daerah orang lain
yang mana orang lain tidak menghendaki tindakan tersebut.
C. Asertif
1) Pengertian Asertivitas
Kata asertivitas atau perilaku asertif berasal dari kata assert
yaitu menegaskan satu atau beberapa hal yang mengandung unsur hak
asasi manusia, kejujuran, serta pengungkapan emosi yang tepat
(santosa 1999). Llyoid (1991) menyatakan bahwa perilaku asertif
bersikap aktif langsung dan jujur. Lazarus & Fersteheim (dalam
santosa 1999) menyatakan bahwa asertivitas adalah kemampuan
individu untuk mengatakan tidak ; meminta pertolongan ;
mengekspresikan perasaan positif maupun negative secara wajar;
menyatakan diri secara bebas; mempunyai pandangan yang aktif
tentang hidup dan berusaha agar keinginannya terwujud tetapi tetap
mampu menghargai orang lain. Cawood (1997) mendefinisikan
asertivitas sebagai suatu bentuk pengungkapan pikiran, perasaan,
kebutuhan dan hak-hak secara langsung dan jujur, tanpa kecemasan
yang beralasan. Jadi tingkah laku asertif mengandung kejujuran dan
spontanitas yang tepat dalam mengekspresikan perasaan tanpa adanya
perasaan cemas.
Fersteheim & Baer (dalam Elyana 1997) mendefinisikan
terbuka, jujur, langsung dan sebagaimana mestinya. Selain itu individu
yang asertif senantiasa mampu menyatakan apa yang dirasakan,
dipikirkan, diinginkan serta secara aktif mengungkapkan siapakah
dirinya. Dengan kata lain, asertivitas memungkinkan individu untuk
bersikap tegas, aktif serta memiliki keyakinan yang kuat terhadap apa
yang dilakukannya.
Adams (1995) mengatakan bahwa perilaku asertif adalah
kemampuan untuk terbuka terhadap diri sendiri, jujur serta mampu
mengkomunikasikan kebutuhan-kebutuhan, ide, dan hak-hak pribadi
dengan tetap mampu menghormati orang lain. Dengan demikian
perilaku asertif menciptakan kualitas dalam hubungan antar individu.
Rimm & Masters (dalam Rakos 1991) mendefinisikan
asertivitas sebagai kemampuan individu untuk mengungkapkan pikiran
dan perasaan secara langsung dan jujur, namun tetap menjaga perasaan
dan kesejahteraan orang lain, sehingga tercipta hubungan interpersonal
yang baik dalam lingkungan sosialnya.
Galassi & Galassi (dalam Rakos 1991) menyatakan bahwa
individu yang asertif senantiasa mampu mengungkapkan pendapat
pribadinya, mampu menyatakan perasaan yang bersifat positif seperti
memberikan pujian terhadap orang lain. Selain itu, ia juga mampu
mengutarakan perasaan-perasaan yang bersifat negative minsalnya
menyatakan perasaan marah, jengkel serta menolak permintaan orang
Alberti & Emmons (1987) mendefinisikan asertivitas sebagai
perilaku yang memungkinkan individu untuk:
i. Mengembangkan kesetaraan dalam hubungan interpersonal
dimana kedua belah pihak berdiri atas dasar yang sama yaitu
dapat saling menyeimbangkan kekuatan sehingga idak ada pihak
yang menang maupun kalah.
ii. Mempertahankan hak tanpa adanya perasaan cemas yaitu dengan
mampu mengekspresikan dukungan atau bantahan terhadap
bantahan orang lain, menyatakan kekecewaan, serta berani
berkata tidak.
iii. Mengekspresikan perasaan secara terbuka dan nyaman.
iv. Berbuat menurut kepentingan yang dianggapnya baik, seperti
meminta bantuan orang lain, meyakini penilaian pribadi, dan
berpartisi pasi dalam kegiatan sosial.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa perilaku asertif adalah perilaku dalam interaksi
sosial yang ditandai dalam beberapa aspek:
a) Kemampuan mengkomunikasikan kebutuhan-kebutuhan, pikiran,
ide dan hak pribadi tanpa kecemasan.
i. Mengajukan permintaan secara jelas.
ii. Mempertahankan hak tanpa adanya perasaan cemas.
b) Pengungkapan emosi yang tepat.
ii. Mengekspresikan perasaan positif maupun negative secara
wajar.
iii. Mengekspresikan dukungan dan bantahan terhadap
pendapat orang lain.
c) Mampu menciptakan kesetaraan dalam hubungan interpersonal.
i. Menghargai hak, keinginan, dan perasaan orang lain.
ii. Tidak memanfaatkan maupun merugikan pihak lain.
d) Kemampuan untuk jujur dan terbuka.
i. Mengekspresikan perasaan secara jujur dan tulus.
ii. Mengungkapkan pendapat dan keyakinan dengan tepat
e) Kemampuan untuk bersikap tegas dan aktif.
i. Tegas dan memiliki keyakinan yang kuat akan
tindakannya.
ii. Menyatakan diri secara bebas.
2) Ciri-ciri Perilaku Asertif
Townen (1991) menjelaskan bahwa individu asertif memiliki
ciri terbuka kepada orang lain meskipun berbeda pandangan, mampu
mengekspresikan diri dengan jelas, serta mampu berkomunikasi secara
efektif. Ketika individu menjadi asertif, suara dan bahasa tubuh dapat
mempengaruhi keseluruhan pesan yang ingin disampaikan
(Nelson-Jones, 1995). Misalnya, nada suara yang mantap mungkin
patut diterima secara serius, sementara nada yang lemah dan ragu-ragu
menunjukkan kurangnya asertivitas. Pesan suara yang mendukung
pesan verbal yang asertif meliputi volume yang cukup, kekuatan
tekanan suara, perubahan nada suara yang sesuai. Beberapa pesan
tubuh yang mendukung pesan asertif verbal mencakup kontak mata
langsung, ekspresi wajah yang sesuai dengan perasaan, postur tubuh,
gerakan tangan, serta kedekatan dengan lawan bicara.
Mengembangkan kemampuan komunikasi adalah aspek
penting dalam berperilaku asertif.. Hal ini mencakup adanya kontak
mata dan sikap tubuh yang terbuka dan santai pada saat kita
berkomunikasi dengan orang lain. Sementara itu usahakan agar
ekspresi wajah sesuai dengan pesan yang ingin kita sampaikan, nada
suara mantap, dan memilih saat yang tepat (Utamadi, 2002). Konsep
Myers & Myers (1992) tentang karakter orang yang asertif
menjelaskan bahwa perilaku asertif ditunjukkan dengan:
i. Bebas mengekspresikan diri dan mengungkapkan perasaan.
ii. Dapat berkomunikasi secara setara dengan siapapun dan dari
segala tingkatan.
iii. Berorientasi aktif dalam hidup, dapat mengatasi suatu kejadian
dan situasi, serta selalu mencari pengalaman baru.
iv. Bertindak dengan tetap menghargai diri sendiri serta menerima
keterbatasan perilakunya, tetapi tetap mencoba untuk meraih
Perilaku asertif dapat dilihat dari respon-respon seseorang
terhadap situasi yang dialaminya. Lazarus (dalam Walker dkk, 1981)
menyatakan ciri-ciri perilaku asertif yang ditunjukkan melalui empat
respon, yaitu:
i. Kemampuan untuk melakukan inisiatif, serta mampu
melanjutkan dan mengakhiri suatu pembicaraan;
ii. Kemampuan untuk berkata tidak;
iii. Kemampuan untuk membuat permintaan atau meminta bantuan;
iv. Kemampuan untuk mengekspresikan perasaan positif dan
negatif.
3) Aspek-aspek Asertivitas
Alberti & Emmons (2001) menyatakan bahwa aspek-aspek
asertivitas antara lain mempromosikan kesetaraan dalam hubungan
manusia, memungkinkan seseorang untuk bertindak menurut
kepentingan sendiri, bermaksud membela diri sendiri tanpa
kecemasan, mengekspresikan perasaan dengan jujur dan nyaman, serta
menerapkan hak-hak pribadi tanpa menyangkal hak-hak orang lain.
Secara lebih rinci aspek-aspek asertivitas tersebut diuraikan di bawah
ini:
i. Mempromosikan kesetaraan dalam hubungan manusia, berarti
menempatkan kedua belah pihak secara setara, memulihkan
memungkinkan setiap pihak menang dan tidak ada yang merugi.
ii. Bertindak menurut kepentingan pribadi, mengarah kepada
kesanggupan untuk membuat keputusan sendiri mengenai karier,
hubungan, gaya hidup, dan jadwal, untuk berinisiatif mengawali
pembicaraan dan mengatur kegiatan, menetapkan tujuan, minta
bantuan orang lain, serta berpartisipasi dalam pergaulan.
iii. Membela diri sendiri, meliputi perilaku seperti berkata tidak,
menentukan batas-batas waktu dan kemampuan, menanggapi kritik
atau amarah, mengekspresikan atau membela sebuah pendapat.
iv. Mengekspresikan perasaan dengan jujur dan nyaman, berarti
kesanggupan untuk kurang setuju, menunjukkan amarah,
memperlihatkan kasih sayang dan persahabatan, mengakui rasa
takut atau cemas, mengekspresikan persetujuan atau dukungan,
bersikap spontan, tanpa rasa cemas yang mengganggu.
v. Menerapkan hak-hak pribadi berhubungan dengan dengan
kesanggupan sebagai warga negara, konsumen, anggota organisasi,
kelompok kerja, mengekspresikan opini, untuk bekerja bagi
perubahan, untuk menanggapi pelanggaran dari hak orang lain.
vi. Tidak menyangkal hak-hak orang lain adalah mencapai ekspresi
pribadi di atas tanpa kritik yang tidak adil terhadap orang lain,
tanpa menyakitkan orang lain, tanpa pemaksaan, tanpa manipulasi,
tanpa mengendalikan orang lain.
sikap asertif sangat diperlukan. de Janasz dkk. (2002) membagi empat
aspek asertivitas yang penting dalam komunikasi, yaitu:
i. Fairness (kewajaran), yaitu setiap tindakan terlihat wajar. Wajar
dalam artian tidak berlebihan dan sesuai dengan situasi.
ii. Directness (langsung), yaitu setiap maksud yang dimiliki
disampaikan secara langsung dan spontan. Directness disini berada
dalam batasan-batasan menghormati dan menghargai orang yang
menjadi lawan komunikasi.
iii. Tact and sensitivity (bijaksana dan peka), yaitu bersikap terbuka
dengan tetap mempertimbangkan situasi dan keadaan orang lain.
Kepekaan ditunjukan dengan kemampuan merasakan hal-hal yang
diperlihatkan maupun yang kurang terlihat dari orang lain.
iv. Honesty (kejujuran) yang ditunjukkan dengan berkata dan
bertindak apa adanya dan berusaha untuk tidak menyembunyikan
sesuatu.
Dari kedua pendapat yang telah diuraikan di atas, dapat
disimpulkan bahwa ada lima aspek yang terkait dengan asertivitas.
Kelima aspek tersebut adalah:
a) Kesetaraan dalam berhubungan dengan orang lain
b) Bertindak dengan menerapkan hak-hak dan kepentingan
pribadi
c) Mengekspresikan perasaan dengan langsung, jujur dan wajar
e) Bijaksana dan peka terhadap orang lain.
4) Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Asertif
Manusia tidak akan menjadi asertif dengan sendirinya, artinya
ada faktor-faktor tertentu yang menyebabkan timbulnya perilaku
asertif. Santosa (1999) mengungkapkan 5 faktor yang mempengaruhi
asertivitas, yaitu:
a) Pola asuh orang tua.
i. Pola asuh otoriter
Orang tua dengan pola asuh otoriter akan mendidik anak
secara keras dengan memaksakan aturan-aturan secara
kaku. Akibatnya anak akan menjadi individu yang inferior
dan tergantung dengan orang lain. Bila anak dididik secara
otoriter dan disertai perlakuan agresif, maka anak akan
tumbuh menjadi anak yang agresif pula.
ii. Pola asuh demokratis
Orang tua dengan pola asuh demokratis akan mengasuh
anak dengan kasih sayang tanpa memanjakan mereka.
Orang tua yang demokratis akan banyak berdialog dan
mengkomunikasikan berbagai permasalahan dengan anak
sehingga anak memiliki pengertian yang benar tentang apa
segala keinginannya secara wajar tanpa memaksakan
kehendaknya dengan cara menindas hak-hak orang lain.
iii. Pola asuh permisif
Orang tua dengan pola asuh permisif akan mendidik anak
tanpa adanya batasan dan aturan yang mengikat dengan
mengijinkan segala keinginan anak tanpa syarat ataupun
tuntutan-tuntutan tertentu. Anak yang dibesarkan dengan
cara ini akan terbiasa mendapatkan apa yang menjadi
keinginannya dengan mudah. Bila keinginannya tidak dapat
terpenuhi maka anak akan mudah marah dan perilakunya
sulit untuk dikendalikan.
b) Kebudayaan.
Kebudayaan biasanya berhubungan dengan norma-norma yang
ada dan mempunyai peranan yang cukup besar dalam
mempengaruhi terbentuknya perilaku asertif. Seperti yang
diungkapkan Alberti & Emmons (1987) bahwa orang dengan
latar belakang budaya Asia cenderung lebih sulit untuk
mengekspresikan diri secara asertif dibandingkan dengan orang
dengan latar belakang budaya Barat.
c) Usia.
Usia merupakan salah satu faktor yang menetukan perilaku
asertif. Perilaku asertif pada anak kecil belum terbentuk karena
menyatakan apa yang diinginkan dengan baikdan jelas. Pada
masa remaja dan dewasa perilaku asertif menjadi lebih
berkembang, sedang pada usia lanjut tidak begitu jelas
perkembangannya.
d) Jenis kelamin.
Laki-laki dianggap lebih asertif daripada perempuan. Hal ini
tidak lepas dari tuntutan masyarakat yang menjadikan laki-laki
agresif, mandiri dan kompetitif, sedangkan perempuan pada
umumnya pasif dan tergantung.
e) Strategi Coping.
Coping merupakan bentuk penyesuaian diri yang melibatkan
unsur kognisi dan afeksi seseorang guna mengatasi masalah
yang ada pada dirinya. Mereka yang menggunakan mekanisme
coping secara efektif dan adaptif dalam menyelesaikan masalah
akan lebih asertif bila dibandingkan mereka yang
menggunakan bentuk penyangkalan dan proyeksi.
5) Tujuan dan Manfaat Asertivitas
Tujuan dari bersikap asertif adalah:
i. membuat proses komunikasi berjalan dengan efektif.
ii. membangun hubungan yang setara, saling menghormati
(www.cyberwoman.cbn.net.id).
i. mengembangkan ketrampilan berkomunikasi.
ii. memberikan rasa percaya diri,
iii. meningkatkan harga diri,
iv. membantu untuk memperoleh rasa hormat dari orang lain,
v. memperbaiki kemampuan dalam membuat keputusan
(www.pnm.my)
Manfaat lain jika kita bersikap asertif adala: (a) keinginan,
kebutuhan, dan perasaan kita dapat dimengerti oleh orang lain. Dengan
demikian, tidak ada pihak yang sakit hati karena semuanya merasa
didengar dan dihargai, (b) sikap asertif mambuat posisi menjadi
terbuka sehingga orang lain akan merasa nyaman berdekatan atau
berhubumgan dengan kita, (c) sikap asertif membuat sebuah keputusan
dapat diambil dalam waktu yang cepat karena prasangka dan
perdebatan yang berteIe-tele tidak akan terjadi
(www.suaramerdek.com).
Menurut Barnette (www.uiowa.edu), jika kita tidak asertif, kita
dapat mengalami beberapa hal seperti:
i. Depresi
Dari kemarahan yang berubah pada ketertutupan, merasa tidak
dapat tertolong, putusasa, tidak dapat menolong diri sendiri, dan
tidak adanya kontrol hidup.
Adanya rasa marah terhadap orang lain karena telah memanipulasi
dan memanfaatkan diri kita.
iii. Frustrasi
Rasa bersalah yang muncul karena ketidakberdayaan untuk
mengambil inisiatif dan melakukan hal yang menjadi keinginan.
iv. Tamper.- violence
Jika kita tidak dapat mengungkapkan kemarahan secara tepat,
kemarahan itu akan berkembang dan terakumulasi terus sampai
meledak.
v. Kecemasan
Jika kita mulai rnenghindari situasi atau orang-orang yang kita
ketahui akan membuat tidak nyaman, kita dapa.1 kehilangan
kegiatan yang menyenangkan, kesempatan atau peluang kerja,
persahabatan atau relasi, dan banyak hal baik yang lain.
vi. Segala bentuk hubungan yang buruk
Orang yang tidak asertif biasanya tidak mampu mengungkapkan
dengan tepat perasaan mereka baik perasaan positif maupun
perasaan negatif Hal ini dapat merusak sebuah hubungan, saat
mereka tidak mampu memberitahukan satu sama lain mengenai
apa yang mereka inginkan dan butuhkan. Tidak ada orang yang
bisa membaca pikiran orang lain. Begitulah benar adanya bagi
persahabatan dan hubungan kerja.
Munculnya keluhan-keluhan fisik seperti sakit kepala, rasa gatal
dan tidak nyaman pada tubuh, tekanan darah tinggi yang
merupakan akibat dari stres. Asertivitas, ketika itu menjadi
kcbiasaan adalah pelepasan yang baik untuk menghilangkan stres.
viii. Problem sebagai orang tua
Anak-anak terlahir dengan mengetahui bagaimana menguji
batasan-batasan yang orangtua persiapkan bagi mereka. Jika
orangtua tidak asertif, anak-anak akan “nglunjak" dan bersikap
seenaknya.
Bersikap asertif dapat membantu dalam membangun
hubungan social yang lebih sehat,namun pada kenyataannya
Kebanyakan orang enggan bersikap asertif. Menurut Rini (
www.e-psikologi) karena dalam dirinya ada rasa takut mengecewakan orang
lain, takut jika akhirnya dirinya tidak lagi disukai ataupun diterima.
Selain itu alasan “untuk mempertahankan kelangsungan hubungan”
juga sering menjadi alasan karena salah satu pihak tidak ingin
membuat pihak lain sakit hati. Padahal, dengan membiarkan diri
untuk bersikap non-asertif (memendam perasaan, perbedaan
pendapat), justru akan mengancam hubungan yang ada karena salah
satu pihak kemudian akan merasa dimanfaatkan oleh pihak lain.
6) Sikap Agresif
Apabila individu memberikan persetujuan terhadap suatu
tidak melakukan suatu tindakan bisa diprediksi bahwa individu
tersebut cenderung untuk berperilaku tertentu. Dengan kata lain, jika
individu memberikan persetujuan terhadap tindakan asertif maka bisa
diprediksi bahwa individu tersebut cenderung untuk bertindak asertif.
Dengan demikian, sikap seseorang terhadap objek sikap tertentu dapat
meramalkan tingkah laku yang akan ditempuhnya ketika berhadapan
dengan objek sikap tersebut.
Sama seperti agresi,asertif juga dapat terjadi pada tataran sikap,
intensi dan perilaku. Tetapi karena peneliti tetap melihat bahwa sikap
asertif memiliki peranan yang penting dalam meramalkan tindakan
asertif seseorang maka penelitian ini mencoba untuk malihat agresif
pada tataran sikap, yang kemudian dikaitkan asertif yang juga berada
pada tataran sikap.
D. Hubungan Sikap Agresifitas dan Sikap Asertifitas
Dalam kehidupan sehari-hari, setiap manusia selalu terlibat dalam
hubungan sesamanya. Hal ini tidak dapat dihindari karena menurut
Sulivan manusia membutuhkan hubungan sesamanya untuk menjadi
manusia yang sehat (Santrock, 2002). Tetapi dalam menjalin hubungan
dengan orang lain ini manusia juga akan menghadapi berbagai konflik
yang disebabkan perbedaan tujuan atau kepentingan.
Konflik yang ditimbulkan karena perbedaan kepentingan ini bila
dimana individu merasa diperlakukan tidak adil oleh individu lainnya.
Ketika muncul perasaan diperlakukan tidak adil ini, individu akan menjadi
marah dan akan berusaha membalas kepada orang yang dianggap
bertanggung jawab atas ketidak adilan tersebut, ini akan menyebabkan
timbulnya sikap agresi yang intens yang dapat menjadi pendorong perilaku
agresi (Baron dan Byrne, 2002).
Toch (1985) mengunyatakan bahwa orang-orang yang sering
terlibat dalam situasi agresi biasanya memiliki keterampilan sosial dasar
yang rendah, dimana kemampuan sosial dasar yang diamaksud adalah
kemampuan untuk meminta tolong, dan menanggapi stimulus dari orang
lain tanpa terprovokasi atau memprovokasi (Baron dan Byrnee, 2002).
Keterampilan sosial dasar ini merupakan ciri yang dimunculkan oleh
individu-individu yang asertif (Santosa, 1999).
Perilaku asertif akan muncul dalam situasi sosial bila kita menilai
perilaku tersebut (Prabowo, 2002). Sehingga untuk memunculkannya
seharusnya memiliki sikap yang positif terhadap perilaku asertif tersebut.
E. Hipotesis
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik hipotesis bahwa ada
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian korelasional yang bertujuan
untuk menyelidiki hubungan variable antara satu variable dengan
variable lainnya berdasarkan pada koefisien korelasi (Azwar, 1999).
Jadi penelitian ini bertujuan untuk dapat mengetahui ada tidaknya
korelasi antara variable sikap asertif dengan variable sikap agresi pada
mahasiswa tingkat awal.
B. Identifikasi Variabel
1. Variabel Bebas (Independent Variable) : Sikap Asertif
2. Variabel Tergantung (Dependent Variable) : Sikap Agresi
C. Definisi Operasional Variabel
1. Sikap Asertif
Sikap asertif adalah kecenderungan orang untuk menyatakan diri
secara terbuka, jujur, langsung dan sebagaimana mestinya yang
ditinjau dalam komponen kognitif, afektif dan konatif, dan dapat
diwujudkan merasa setara dalam berhubungan dengan orang lain,
bertindak dengan menerapkan hak-hak dan kepentingan pribadi,
mengekspresikan perasaan dengan langsung, jujur dan wajar,
menghargai hak-hak dan kepentingan orang lain, serta bijaksana dan
peka terhadap orang lain.
Tinggi rendahnya tingkat sikap asertif seseorang diukur dengan
menggunakan skala sikap asertif. Semakin tinggi skor total, maka
semakin tinggi pula tingkat asertifnya
2. Sikap Agresif
Sikap asertif adalah kecenderungan orang untuk menyatakan diri
secara terbuka, jujur, langsung dan sebagaimana mestinya dengan
orang lain, serta menempatkan orang lain secara setara, dengan tetap
memperhatikan hak-hak pribadi dan menghargai hak-hak orang lain
yang ditinjau dalam komponen kognitif, afektif dan konatif, dan dapat
diwujudkan dalam bentuk menyerang fisik, menyerang dengan benda,
menyerang secara verbal simbolis,mengambil hak milik orang lain
atau melanggar daerah orang lain
Tinggi rendahnya tingkat sikap agresif seseorang diukur dengan
menggunakan skala sikap agresif. Semakin tinggi skor total, maka
semakin tinggi pula tingkat agresifitasnya.
D. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah mahasiswa yang masih mengikuti
proses perkuliahan di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Mahasiswa
E. Metode Pengumpulan Data
Bentuk skala yang dipakai dalam penelitian ini adalah model skala
Likert, dimana masing-masing aitem berbentuk favourable dan
unfavourable. Pada skala ini peneliti melakukan perubahan mengurangi
pilihan jawaban menjadi 4, yaitu Sangan Sesuai(SS), Sesuai(S), Tidak
Sesuai(TS), dan Sangat tidak Sesuai(STS). Dalam skala ini peneliti
meniadakan pilihan jawaban tengah, yaitu Ragu-ragu (R). hal ini menurut
Hadi (1991) dengan alasan : pertama, kategori undedicated, yaitu
mempunyai makna ganda, dapat diartikan sebagai belum memutuskan atau
belum memberi jawaban (menurut konsep aslinya), dapat juga diartikan
sebagai jawaban netral, dimana ini memiliki makna tidak setuju tidak,
setuju juga tidak. Kedua, ketersedian jawaban di tengah ini menimbulkan
kecenderungan untuk menjawab di tengah (central tendency effect)
terutama bagi mereka yang ragu-ragu atas arah kecenderungan
jawabannya, kearah setuju atau tidak setuju. Ketiga, maksud jawaban
SS-S-TS-STS adalah untuk melihat kecenderungan pendapat subjek. Kearah
setuju atau tidak setuju. Bila disediakan jawaban tengah (ragu-ragu), akan
menghilangkan banyak data penelitian sehingga menghilangkan informasi
yang seharusnya dapat diperoleh.
Untuk aitem favourable, skor bergerak dari 4 untuk Sangat Sesuai
(SS), 3 untuk Sesuai (S), 2 untuk Tidak Sesuai (TS), dan 1 untuk Sangat
Tidak Sesuai (STS). Demikian juga sebaliknya untuk aitem unfavourable;
(TS), dan 4 untuk Sangat Tidak Sesuai (STS). Tidak ada skor 0 (nol)
karena sifat jawaban tidak mutlak Ya atau Tidak.
Tinggi rendahnya skor total subjek untuk setaip skala diperoleh
dengan menggunakan metode rating yang dijumlahkan (method of
summated ratings) yaitu, pengukuran dengan menjumlahkan seluruh skor
yang dimiliki subjek berdasarkan respon terhadap pernyataan pada setiap
skala. Semakin tinggi skor total yang diperoleh subjek maka respon untuk
skala tersebut semakin tinggi pula. Demikian sebaliknya, semakin rendah
skor total yang diperoleh subjek maka semakin rendah respon terhadap
skala tersebut.
Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan skala Asertivitas dan skala Sikap Agresi. Skala-skala
tersebut dijadikan satu dalam sebuah angket. Bagian pertama adalah skala
Asertivitas dan bagian kedua adalah skala sikap Agresif.
1. Skala sikap Asertif
Skala ini digunakan untuk mengukur kecenderungan orang
untuk menyatakan diri secara terbuka, jujur, langsung dan
sebagaimana mestinya dengan orang lain, serta menempatkan orang
lain secara setara, dengan tetap memperhatikan hak-hak pribadi dan
menghargai hak-hak orang lain. Skala tersebut disusun dengan
mengacu pada teori Alberti & Emmons (2001) tentang aspek-aspek
asertif yang penting dalam berkomunikasi. Kedua teori tersebut
disimpulkan menjadi lima aspek berikut:
a. Kesetaraan dalam berhubungan dengan orang lain, yaitu
menempatkan diri sendiri dan orang lain dalam posisi yang setara
sehingga memungkinan setiap pihak menang dan tidak ada yang
merugi.
b. Bertindak dengan menerapkan hak-hak dan kepentingan pribadi,
yaitu bisa mengungkapkan tujuan pribadi dan bisa meminta
bantuan untuk kepentingan sendiri.
c. Mengekspresikan perasaan dengan langsung, jujur dan wajar, yaitu
mampu menunjukan ekspresi emosi tanpa rasa cemas yang
mengganggu.
d. Menghargai hak-hak dan kepentingan orang lain, yaitu mampu
mengekspresikan diri tanpa membuat orang lain tersakiti atau
terabaikan.
e. Bijaksana dan peka terhadap orang lain, yaitu mempertimbangkan
situasi dan keadaan dalam menghadapi orang lain.
Skala ini terdiri dari 49 aitem berupa pernyataan yang
memungkinkan timbulnya sikap dan perilaku yang menunjukan sikap
asertif. Perolehan skor akan menunjukan tingkat sikap asertif yang
dimiliki oleh subjek. Semakin tinggi skor yang diperoleh subjek,
berarti semakin tinggi tingkat sikap asertifnya. Sebaliknya, semakin
asertifnya. Sebaran aitem skala Sikap asertif dapat dilihat pada tabel
berikut :
Tabel 1
Blue Print Skala Asertivitas Uji Coba
Aspek Kognitif Afektif Konatif Jumlah %
F UF F UF F UF
1. Kesetaraan dalam
berhubungan dengan orang lain
1, 16 35 21 25, 30, 45
6, 11 40 10 20,4
2. Bertindak dengan
menerapkan hak-hak dan kepentingan pribadi
12, 17
46 22 26’ 36 2, 7 31, 41 10 20,4
3. Mengekspresikan perasaan dengan langsung, jujur dan wajar
4. Menghargai hak-hak dan kepentingan orang lain
4, 19 33 24 28, 48 9, 14 38, 43 10 20,4
5. Bijaksana dan peka terhadap orang lain
15, 20
49 29 39, 44 5, 10 34 9 18,4
J U M L A H 49 100
Semua aspek dari skala Sikap asertif memiliki 10 aitem kecusli
aspek bijaksana dan peka terhadap orang lain. Komposisi penyebaran
aspeknya seimbang, masing-masing 20,4% dari keseluruhan aitem
untuk setiap aspek kecuali 18,4 % untuk bijaksana dan peka terhadap
orang lain. Jumlah aitem yang favorabel pada aspek kesetaraan dalam
berhubungan dengan orang lain berjumlah 5 aitem dan aitem yang
unfavorabel berjumlah sama. Aspek bertindak dengan menerapkan
hak-hak dan kepentingan pribadi memiliki 5 aitem yang favorabel dan
langsung, jujur dan wajar juga memiliki 5 aitem favorabel dan 5 aitem
unfavorabel. Aspek menghargai hak dan kepentingan orang lain
memiliki 5 aitem favorabel dan 5 aitem unfavorabel. Kemudian, aspek
bijaksana dan peka terhadap orang lain memiliki 4 aitem favorabel dan
5 aitem unfavorabel. Jumlah aitem keseluruhan adalah aitem.49
2. Skala Sikap Agresif
Skala ini digunakan untuk mengukur tingkat kecenderungan
individu dalam berperilaku menyakiti individu maupun objek-objek
lain yang menghindari perlakuan tersebu. Skala tersebut disusun
dengan mengacu pada teori Johnson & Medinnus (1969). 4 bentuk
agresi tersebut adalah :
1) Menyerang fisik, termasuk didalamnya memukul, menampar,
menendang, meninju dan menyakiti anggota tubuh
2) Menyerang dengan benda, termasuk didalamnya menyerang
dengan batu, karet dan buku.
3) Menyerang secara verbal simbolis, termasuk didalamnya
membicarakan kebutukan orang lain/ menggosip,
mencaci-maki orang lain, menggunakan kata-kata kasar atau umpatan,
dan mengancam.
4) Mengambil hak milik orang lain atau melanggar daerah orang
mengambil barang orang lain tanpa sepengetahuan/ ijin dari
orang lain, dan merusak barang orang lain.
Skala ini terdiri dari 48 aitem berupa pernyataan yang
memungkinkan timbulnya sikap yang menunjukan sikap agresi.
Perolehan skor akan menunjukan tingkat sikap agresi yang dimiliki
oleh subjek. Semakin tinggi skor yang diperoleh subjek, berarti
semakin tinggi sikap agresinya. Sebaliknya, semakin rendah skor yang
diperoleh subjek, semakin rendah pula sikap agresinya. Sebaran aitem
skala sikp agresif dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2
Blue Print Skala Sikap Agresif
Aspek Kognitif Afektif Konatif Jumla
h
%
F UF F UF F UF
1. Menyerang fisik, termasuk
didalamnya memukul, menampar, menendang, meninju dan
menyakiti anggota tubuh.
21 27 31 35 1,
2. Menyerang dengan benda,
termasuk didalamnya menyerang dengan batu, karet dan buku.
22 36,
3. Menyerang secara verbal simbolis, termasuk didalamnya
membicarakan kebutukan orang lain/ menggosip, mencaci-maki orang lain, menggunakan kata-kata kasar atau umpatan, dan
mengancam.
4. Mengambil hak milik orang lain atau melanggar daerah orang lain termasuk didalamnya menyerobot hak milik orang lain, mengambil barang orang lain tanpa
sepengetahuan/ ijin dari orang lain, dan merusak barang orang lain.
J U M L A H 48 100
F. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur
1. Validitas
Validitas alat ukur atau tes merupakan ukuran seberapa cermat
suatu tes dapat menjalankan fungsi ukurnya sehingga validitas suatu
alat tes dapat menjalankan fungsi ukurnya secara tepat dan cermat
(Azwar, 2002). Menurut Hadi (1995), validitas suatu alat ukur dapat
mengungkap dengan jitu gejala yang hendak diukur serta dapat
memberi bacaan yang teliti.
Untuk menguji validitas isi pada skala, maka dapat digunakan
pendapat dari para ahli (experts judgement), dalam kasus ini adalah
dosen pembimbing. Setelah skala disusun berdasarkan aspek-aspek
yang terdapat dalam landasan teori, maka langkah berikutnya
dikonsultasikan dengan dosen pembimbing. Setelah skala dikoreksi
oleh dosen pembimbing dan dilakukan perbaikan maka uji coba skala
dapat dilakukan. Kemudian data hasil uji coba ditabulasi dan langkah
berkutnya dilakukan analisis butir (Sugiyono, 1999).
Analisis butir dapat diperoleh dengan memakai pembanding atau
kriterium. Ada dua macam kriterium, yaitu kriterium eksternal (alat
pembanding diambil dari luar alat ukur), dan kriterium internal (alat
pembanding diambil dari luar alat ukur itu sendiri). Pada umumnya
Dalam penelitian ini kriterium pembandingnya adalah kriterium
internal, jadi analisis butir dilakukan dengan mengkorelasikan skor
aitem dengan skor total. Dalam hal ini suatu butir dikatakan valid bila
antara skor aitem dan skor total memiliki korelasi positif dan tinggi
(Hadi, 1995).
2. Reliabilitas
Reliabilitas alat ukur menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran
sebuah alat ukur dapat dipercaya (Azwar, 2002; Suryabrata, 1999). Hal
ini ditunjukkan oleh tingkat konsistensi skor yang diperoleh oleh para
subjek yang diukur menggunakan alat ukur yang sama, atau dengan
alat ukur yang setara pada kondisi yang berbeda.
Suatu hasil penelitian hanya dapat dipercaya apabila dalam
beberapa kali pelaksanaan pengukuran pada suatu kelompok subjek
yang sama diperoleh hasil yang relative sama, selama aspek yang
diukur pada diri subjek tetap sama (Azwar, 2002).
Reliabilitas dalam penelitian ini diperoleh dengan metode
konsistensi internal (Internal Consitency), karena metode ini dalam
prosedurnya hanya membutuhkan satu kali pengukuran satu buah tes
pada satu kelompok individu sebagai subjek (Single Trial
Administration) (Sugiyono, 1999). Analisis reliabilitas yang digunakan
G. Metode Analisis Data
Data yang diperoleh akan dianalisis menggunakan tehnik statistik.
Oleh karena data yang diperoleh dalam penilitian ini berupa angka, maka
pengolahan dan analisis data dilakukan secara kuantitatif. Hipotesis yang
dikemukakan dalam penelitian ini akan diuji menggunakan tehknik
korelasi product moment Pearson. Alat bantu analisis data adalah SPSS
16.0 for Windows.
Pedoman yang digunakan dalam mengambil keputusan dalam uji
hipotesis adalah :
1. Bila rxy dengan p < 0,05 maka korelasinya sangat signifikan. Ini
menunjukkan hipotesis diterima, yaitu ada hubungan yang sangat
signifikan antar variabel-variabel penelitian.
2. Bila rxy dengan p > 0,05 maka korelasi antar variabelnya tidak
signifikan, yaitu tidak ada korelasi yang signifikan antara kedua
BAB IV
PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Uji Coba Alat Ukur
1. Skala Agresif
a. Koefisien Korelasi Item Total Alat Ukur
Dari hasil analisis terdapat 48 item dengan jumlah subjek
sebanyak 100 orang., diperoleh koefisien korelasi item total atau
daya diskriminasi item yang bergerak dari -0,420 sampai 0,594.
Kemudian peneliti melakukan seleksi item dengan memilih
item-item yang memiliki daya diskriminasi ≥ 0,25. Dari hasil seleksi
tersebut diperoleh 42 item yang memiliki daya diskrimansi ≥ 0,25,
dan 6 item yang memiliki daya diskriminasi ≤ 0,25 dinyatakan
gugur.
Tabel 3
Blue Print Skala Sikap Agresif
Aspek Kognitif Afektif Konatif Jumla
h
%
F UF F UF F UF
1. Menyerang fisik, termasuk
didalamnya memukul, menampar, menendang, meninju dan menyakiti anggota tubuh.
2. Menyerang dengan benda, termasuk didalamnya menyerang dengan batu, karet dan buku.
22 36, 10, 18 28, 32 2, 14
40 9 22,5
3. Menyerang secara verbal simbolis, termasuk didalamnya
membicarakan kebutukan orang lain/ menggosip, mencaci-maki orang lain, menggunakan kata-kata kasar atau umpatan, dan