• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMANFAATAN POST-CONFLICT NEED ASSESSMENT (PCNA) DAN INDEKS KETAHANAN KONFLIK (IKK) SEBAGAI INSTRUMEN PENGELOLAAN KONFLIK SOSIAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMANFAATAN POST-CONFLICT NEED ASSESSMENT (PCNA) DAN INDEKS KETAHANAN KONFLIK (IKK) SEBAGAI INSTRUMEN PENGELOLAAN KONFLIK SOSIAL"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

PEMANFAATAN POST-CONFLICT NEED ASSESSMENT

(PCNA) DAN INDEKS KETAHANAN KONFLIK (IKK)

SEBAGAI INSTRUMEN PENGELOLAAN KONFLIK SOSIAL

Dr. Ir. Suprayoga Hadi, MSP

(suprayoga@bappenas.go.id / yogahadi@gmail.com)

Perencana Utama, Kedeputian Bidang Pengembangan Regional, Kemen PPN/BAPPENAS Rakor Sosialisasi PCNA dan IKK

Direktorat Pengembangan Daerah Pasca Konflik, Ditjen Pengembangan Daerah Tertentu Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi

(2)

KERANGKA PAPARAN

1. KONDISI DAERAH RAWAN DAN PASCA KONFLIK DI

INDONESIA

2. KEBIJAKAN PENANGANAN DAERAH RAWAN DAN PASCA

KONFLIK

3. PERAN KEMENDESA PDTT DALAM PENERAPAN PCNA DAN

IKK

4. PERLUNYA PEDOMAN PENILAIAN KEBUTUHAN PASCA

KONFLIK

5. PENTINGNYA INDEKS KETAHANAN KONFLIK DAERAH

TERTINGGAL

6. PEMANFAATAN PCNA DAN IKKDTI DALAM PENGELOLAAN

KONFLIK

7. REKOMENDASI TINDAK LANJUT

(3)

3

SEBARAN DAERAH RAWAN DAN PASCA KONFLIK DI INDONESIA

Konflik Horizontal Konflik Vertical Central Sulawesi North Maluku Maluku

(4)

DAERAH TERTINGGAL DAERAH MAJU

4

SEBARAN DAERAH TERTINGGAL RAWAN KONFLIK

DAERAH TERTINGGAL TIDAK TERTINGGAL

Pada periode tahun 2010-2014, 143 dari 183 Kabupaten Daerah Tertinggal dikategorikan sebagai daerah rawan dan pasca konflik

Pada periode RPJMN 2015-2019, 41 dari 122 kabupaten daerah tertinggal dikategorikan sebagai Daerah rawan dan pasca konflik

(5)

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 Year Number of incidents 1997 45 1998 255 1999 1266 2000 2026 2001 2914 2002 2725 2003 2242 2004 2042 2005 2399 2006 2057 2007 1902 2008 2038 2009 2136 2010 2069 2011 2205 2012 2947 2013 1695 Setelah

Kejadian Konflik Kekerasan di Indonesia

Sumber: SNPK, 2013

(6)

0 50 100 150 200 250 300 350 19971998199920002001200220032004200520062007200820092010201120122013

Kejadian Konflik Pemerintahan di Indonesia

Year Number of incidents 1997 0 1998 30 1999 53 2000 56 2001 60 2002 63 2003 54 2004 57 2005 158 2006 174 2007 189 2008 218 2009 151 2010 230 2011 173 2012 292 2013 166 Setelah Sumber: SNPK, 2013 www.snpk-indonesia.com

(7)

0 50 100 150 200 250 300 350 19 97 19 98 19 99 20 00 20 01 20 02 20 03 20 04 20 05 20 06 20 07 20 08 20 09 20 10 20 11 20 12 20 13 Year Number of incidents 1997 0 1998 14 1999 50 2000 16 2001 17 2002 19 2003 37 2004 83 2005 95 2006 73 2007 112 2008 177 2009 239 2010 182 2011 138 2012 296 2013 136

Kejadian Konflik Politik (Pilpres/Pilkada) di Indonesia

Setelah

Source: National Violence Monitoring System, 2013 www.snpk-indonesia.com

(8)

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000 1997199819992000200120022003200420052006200720082009201020112012

Year Number of incidents

1997 0 1998 31 1999 540 2000 993 2001 1888 2002 1870 2003 1482 2004 1256 2005 178 2006 16 2007 16 2008 14 2009 39 2010 31 2011 39 2012 49 2013 26

Kejadian Konflik Separatisme di Indonesia

Setelah

Sumber: SNPK, 2013

www.snpk-indonesia.com Awalnya, desentralisasi cenderung memicu konflik separatisme, namun

selanjutnya menurun secara signifikan, terutama di Aceh setelah ditekennya MoU Helsinki di tahun 2005, sejalan dengan pemberian otonomi khusus untuk Papua dan Aceh di 2001

(9)

Analisis

Kontekstual

Kejadian

Konflik di

Indonesia

Konflik Kekerasan Komunal pada periode 1998-2004 (konflik SARA) Pergeseran pola konflik yang kompleks, akibat kesenjangan dan tekanan proses demokratisasi Meningkatnya konflik berbasis Sumber Daya Alam (pemanfaat-an ru(pemanfaat-ang d(pemanfaat-an lahan) Tumbuhnya radikalisasi di kalangan pemuda dan menurunnya pemahaman atas kebhinekaan Tumbuhnya konflik identitas dan memburuknya kesenjangan horizontal Tidak terkoordinasinya upaya penanganan

konflik yang fokus pada pendekatan

keamanan dibandingkan kesejahteraan

9

(10)

Beberapa Tantangan Kritis

Kemendesakan peraturan pelaksanaan UU 7/2012 tentang Penanganan Konflik

Sosial

Masih lemahnya regulasi dalam pencegahan konflik dan belum

adanya pemutakhiran grand strategy penanganan konflik

sosial

Perlunya pembinaan yang berkesinambungan atas pemahaman keberagaman,

toleransi dan kohesi sosial

Pemahaman atas potensi konflik berskala lokal dan perumusan respon kebijakan di

tingkat nasional

Keterkaitan antara konflik dan pembangunan berkelanjutan belum sepenuhnya dipahami

Diperlukannya kelembagaan yang tanggap dan masyarakat

yang tangguh dalam penanganan dan pencegahan

konflik secara dini

Diperlukannya skim dan mekanisme dialog yang mutualistik serta membangun kemitraan antar pelaku terkait

Masih lemahnya kebijakan dan kegiatan pembangunan yang mendukung pencegahan dan respon dini terhadap kejadian

konflik

(11)

Kebijakan Pemerintah terkait Penanganan Konflik Sosial

1. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN 2005 – 2025):

Meningkatnya rasa aman dan damai bagi seluruh rakyat serta terjaganya

keutuhan wilayah NKRI dan kedaulatan negara dari ancaman baik dari

dalam negeri maupun luar negeri

Tujuan Pembangunan Nasional ke

4

2. UU No 7 Tahun 2012:

Penanganan Konflik Sosial, yang akan menjadi

payung hukum bagi berbagai upaya penanganan konflik yang dilakukan di

Indonesia

pra konflik, saat konflik dan pasca konflik

3. PP nomor 2 thn 2015 tentang peraturan pelaksanaan uu no. 7 thn 2012

4. Permendagri no. 42 thn 2015 tentang koordinasi terkait penanganan

konflik sosial

(12)

UU 7/2012 tentang PENANGANAN KONFLIK SOSIAL

 PP MENGENAI TINDAKAN DARURAT PENYELAMATAN DAN PERLINDUNGAN KORBAN (PSL 32 (2))

 PP MENGENAI BANTUAN PENGGUNAAN KEKUATAN TNI. (PSL 34 (2))

 PP MENGENAI PERAN MASY DLM PENANGANAN KONFLIK (PSL 52 (3))

 PP MENGENAI PERENCANAAN, PENGANGGARAN, PENYALURAN, PENATAUSAHAAN, PELAPORAN, DAN PERTANGGUNGJAWABAN PENGELOLAAN PENDANAAN PENANGANAN KONFLIK (PSL 58)

PP NO.2 /2015 TENTANG PERATURAN PELAKS UU NO.7/2012 TTG PENANGANAN KONFLIK SOSIAL

SCR SUBTANSIAL MNJWB DGN TEGAS & KOMPREHENSIF KEBUTUHAN PEMPUS & PEMDA DLM PENANGANAN KONFLIK SOSIAL

PEMULIHAN PASCA KONFLIK

PENCEGAHAN KONFLIK PENGHENTIAN KONFLIK

GUNA MENDUKUNG KELANCARAN PEMBANGUNAN NASIONAL KE DEPAN, DIPERLUKAN KOORDINASI YG BAIK ANTARA UNSUR APARATUR PEMPUS DAN PEMDA

(13)

Kebijakan Umum Penanganan Konflik Sosial

Pencegahan konflik

Penghentian Konflik

Pemulihan Pascakonflik

Rekonsiliasi

Rehabilitasi

Rekonstruksi

13

Bab II Psl 4

UU No.7/2012

(14)

Lingkup PENANGANAN PASCA KONFLIK sesuai PP 2/2015

1. Rekonsiliasi: Perlindungan Sosial/

Peace Keeping

(Psl 57, 58, 59)

2. Perundingan Secara Damai

3. Pemberian Restitusi

4. Pemaafan

5. Rehabilitasi: Pemberdayaan Sosial Sistematis/

Peace Making (psl 60-61)

a) pemulihan psikologis Korban Konflik dan pelindungan kelompok rentan;

b) pemulihan kondisi sosial, ekonomi, budaya, keamanan, dan ketertiban;

c) perbaikan dan pengembangan lingkungan dan/atau daerah perdamaian; d) penguatan relasi sosial yang adil untuk kesejahteraan masyarakat;

e) penguatan kebijakan publik yang mendorong pembangunan lingkungan dan/atau daerah perdamaian berbasiskan hak masyarakat;

f) pemulihan ekonomi dan hak keperdataan, serta peningkatan pelayanan pemerintahan; g) pemenuhan kebutuhan dasar spesifik perempuan, anak-anak, lanjut usia, dan kelompok

orang yang berkebutuhan khusus;

h) pemenuhan kebutuhan dan pelayanan kesehatan reproduksi bagi kelompok perempuan; i) peningkatan pelayanan kesehatan anak; dan

(15)

Lingkup PENANGANAN PASCA KONFLIK sesuai PP 2/2015

Rekonstruksi: Sustainable peace (pasal 62)

a. pemulihan dan peningkatan fungsi pelayanan publik di lingkungan dan/atau daerah pascakonflik;

b. pemulihan dan penyediaan akses pendidikan, kesehatan, dan mata pencaharian;

c. perbaikan sarana dan prasarana umum daerah Konflik;

d. perbaikan berbagai struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan, termasuk kesenjangan ekonomi;

e. perbaikan dan penyediaan fasilitas pelayanan pemenuhan kebutuhan dasar spesifik perempuan, anak-anak, lanjut usia, dan kelompok orang yang

berkebutuhan khusus;

f. perbaikan dan pemulihan tempat ibadah.

(16)

PENETAPAN DAERAH PASKA KONFLIK 2016 -2019

(41 kabupaten)

NO PROVINSI KABUPATEN

1 ACEH Aceh Singkil

2 JAWA TIMUR Situbondo, Bangkalan, Sampang

3 NTB Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur, Sumbawa, Bima, Dompu, Sumbawa Barat

4 NTT Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Belu,

Lembata, Ende, Manggarai, Manggarai Barat, Sumba Barat Daya, Nagekeo, Manggarai Timur, Malaka

5 KALBAR Sambas, Landak, Ketapang

6 SULTENG Toli Toli, Donggala, Parigi Moutong, Sigi

7 SULSEL Jeneponto

8 MALUKU Maluku Tengah, Buru, Seram Bagian Barat, Seram Bagian Timur

9 MALUT Halmahera Barat

10 PAPUA Merauke, Nabire, Jayawijaya, Puncak Jaya

11 PAPUA

(17)

Peran Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi Dalam

Koordinasi Penangangan Konflik Sosial

17

MENTERI, GUBERNUR DAN

BUPATI/WALIKOTA

MENGOORDINASIKAN SESUAI

KEWENANGANNGYA

A. MEMELIHARA KONDISI DAMAI

DLM MASY;

B. MENGEMBANGKAN SISTEM

PENYELESAIAN SECARA DAMAI;

C. MEREDAM POTENSI KONFLIK;

DAN D. MEMBANGUN SISTEM PERINGATAN DINI. A.KOORDINASI REKONSILIASI B.KOORDINASI REHABILITASI C.KOORDINASI REKONSTRUKSI

MENTERI, GUBERNUR DAN KEWENANGANNYA MENTERI, GUBERNUR DAN BUPATI/WALIKOTA SESUAI KEWENANGANNYA KOORDINASI PENCEGAHAN KONFLIK KOORDINASI PEMULIHAN PASCAKONFLIK PERAN KEMENTERIAN DESA, PDT DAN TRANSMIGRASI

(18)

Latar Belakang PCNA

1. Salah satu kendala penting dalam pemulihan wilayah paska konflik adalah belum tersedianya instrumen yang memadahi untuk mengukur kerusakan yang ditimbulkan oleh konflik, terutama yang terkait dengan modal sosial (kerugian non-material) yang berdampak pada melemahnya ketahanan sosial dalam masyarakat. 2. Hal ini berbeda dengan bidang penanggulangan bencana alam yang telah memiliki instrumen yang cukup

mapan dalam pengukuran tingkat kerugian yang disebabkan oleh terjadinya bencana alam. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah mengembangkan Post Disaster Need Assessment (PDNA) sebagai sebuah instrumen baku dalam menghitung tingkat kerugian suatu wilayah akibat terjadinya bencana alam. 3. Dalam PDNA ada dua instrumen pengukuran yang tersedia, yaitu Damage and Lost Assesment (DALA) untuk

mengukur tingkat kerusakan dan kehilangan yang diderita suatu wilayah akibat terjadinya bencana alam dan Human Recovery Need Assessment (HRNA) yang mengukur kebutuhan dasar manusia yang diperlukan untuk memulihkan kondisi masyarakat paska terjadinya bencana alam.

4. Dalam konteks konflik sosial, disamping instrumen PDNA (DALA dan HRNA) tersebut, sangat dibutuhkan

pengukuran terhadap kerugian non-materiil dalam bentuk rusaknya modal sosial dalam berbagai bentu, seperti melemahnya relasi sosial antarmasyarakat, terjadinya segregasi sosial dalam masyarakat, rusaknya budaya yang dimiliki oleh masyarakat, trauma psikologis, luruhnya solidaritas,polarisasi, integrasi, jaringan.

5. Alat ukur yang cermat dan detil atas kerusakan modal sosial paska terjadinya konflik akan sangat membantu masyarakat dan daerah dalam memulihkan kondisi sosial kemasyarakatan, mengembalikan kondisi damai dan sekaligus mencegah berulangnya konflik.

6. Dalam konteks terjadinya konflik sosial, disamping instrument PDNA (DALA dan HRNA), pengukuran terhadap kerugian non-materiil dalam bentuk rusaknya modal sosial dalam berbagai bentuk seperti melemahnya relasi sosial antar masyarakat, terjadinya segregasi sosial dalam masyarakat, rusaknya budaya yang dimiliki oleh masyarakat, trauma psikologis, luruhnya solidaritas, polarisasi, integrasi, jaringan dll, menjadi persoalan yang sangat penting untuk dicermati dan diukur secara detil paska terjadinya konflik sosial untuk membantu

masyarakat dan daerah dalam memulihkan kondisi sosial kemasyarakatan seperti sediakala, dengan menambahkan instrumen pengukuran dalam bentukSocial Recovery Need Assessment (SRNA).

(19)

Ringkasan PCNA

1. Post Conflict Need Assessment (PCNA) adalah suatu rangkaian kegiatan pengkajian dan penilaian akibat, analisis dampak, dan perkiraan kebutuhan, yang menjadi dasar bagi

penyusunan rencana aksi pemulihan paska konflik, yang meliputi pengkajian dan penilaian kerusakan dan kerugian fisik (materiil) dan non-fisik (non-materiil).

2. PCNA sendiri terdiri dari tiga bagian utama:

a. Damage and Loss Assessment(DALA) yang memberi tekanan pada aspek kerusakan yang bersifat material dan dapat dikuantifikasi.

b. Human Recovery Need Assessment (HRNA) memberi tekanan pada kebutuhan manusia : akses dasar, pendapatan, kesehatan, makanan, shelter, dan perumahan.

c. Social Recovery Need Assesasment(SRNA) memberi tekanan pada dampak segregasi, kohesi sosial, solidaritas, polarisasi, dsb.

3. Pengembangan instrumen SRNA setidaknya didasarkan 5 (lima) variabel yang menggambarkan jenis kerusakan sosial akibat terjadinya konflik sosial:

a. Kerusakan kapasitas manusia (komunitas);

b. Kerusakan kapasitas lingkungan sosial Kemasyarakatan;

c. Kerusakan kapasitas peradaban/Tata nilai dan budaya masyarakat; d. Kerusakan kapasitas fisik dan tata ruang; dan

e. Gangguan mental individu dan masyarakat (Trauma psikososial).

4. Kelima variabel kerusakan modal sosial masyarakat tersebut menjadi sangat penting untuk diukur agar diperoleh data dan informasi yang akurat tentang bagaimana proses dan

tahapan pemulihan yang perlu dilakukan (jangka pendek, menengah dan panjang) sebagai bahan pengambilan kebijakan penanganan daerah paska konflik di Indonesia.

(20)

Prinsip Indeks Ketahanan Konflik Daerah Tertinggal

1. IKKDT disusun untuk merespon dua gambaran situasi aktual yang terjadi saat ini: 1)

situasi nasional yang meyakinkan dan situasi daerah yang menuntut diperhatikan,

dan 2) Momentum kepemimpinan nasional menjadi basis legitimasi politik tersendiri

bagi relevansi dan keaktualan upaya pencegahan konflik kekerasan, penguatan

kapasitas dan kinerja birokrasi pemerintahan dalam rangka percepatan dan

pemerataan pembangunan dan penguatan kapasitas masyarakat untuk mencegah

dan mengelola konflik terutama UU No 7/2012 tentang Penanganan Konflik Sosial

dan Perpres No 131/2015 tentang Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2015 – 2019.

2. IKKDTI 2016 dirumuskan dan dihasilkan untuk memberi gambaran cepat mengenai

ketahanan sekaligus kerawanan suatu daerah tertinggal terhadap konflik kekerasan,

yang tersebar untuk periode 2015 – 2019 pada 122 kabupaten yang ditunjukkan

dengan ketertinggalan dalam hal kualitas pembangunan, kualitas demokrasi dan

kualitas penegakan hukum.

3. IKKDTI 2016 dibangun dari kerangka berpikir yang peka terhadap kondisi struktural

daerah tertinggal dan peka terhadap konteks nasional terkini, yang tergambar dalam

3 aspek penting yakni

tata kelola, kapasitas kelembagaan dan ketahanan

masyarakat

, yang kombinasi ketiga aspek tersebut menentukan tingkat ketahanan

dan kerawanan suatu daerah terhadap konflik, sekaligus memberi informasi tentang

(21)

Rangkuman IKKDT 2016

1. IKKDTI 2016 menggunakan 4 kategori ketahanan konflik yakni tinggi, sedang, rendah dan

sangat rendah, yang dimaksudkan untuk menggambarkan secara detil tingkat ketahanan suatu daerah terhadap konflik kekerasan sekaligus tingkat kerentanannya, sehingga dapat memberi gambaran prioritas daerah tertinggal yang perlu mendapat intervensi kebijakan dan program. 2. Dalam IKKDTI 2016 ini, terdapat 31 kabupaten (25,41 %) yang memiliki angka indeks tinggi

atau memiliki tingkat ketahanan konflik tinggi, terdapat 44 kabupaten (36,07 %) masuk dalam kategori sedang atau memiliki tingkat ketahanan sedang, 22 kabupaten (18,03 %) dengan

kategori indeks ketahanan rendahatau memiliki tingkat ketahanan rendah, dan 25 kabupaten (20,49 %) yang memiliki nilai indeks sangat rendah atau ketahanan konflik sangat rendah.

3. Pesan utama hasil IKKDTI 2016 adalah tingkat ketahanan sekaligus kerawanan daerah tertinggal terhadap konflik kekerasan, yang ditunjukkan oleh kombinasi aspek tata kelola, capaian

kapasitas kelembagaan dan daya tahan masyarakat.

4. Hasil IKKDTI 2016 memberi basis empirik bagi keharusan memahami ketahanan dan kerawanan konflik kekerasan di daerah tertinggal melalui dinamika interaksi antara demokrasi,

pembangunan ekonomi dan penegakan hukum-keamanan, yang ditunjukkan dengan persoalan kerentanan struktural yang terkait dengan akses kepada pelayanan publik,

akuntabilitas kebijakan, dan keadilan hukum, yang menghasilkan kelompok-kelompok rentan (vulnerable groups) terhadap kekerasan kolektif baik sebagai pelaku maupun sebagai korban. 5. Dalam situasi tersebut, tata kelola kepemerintahan dapat memicu kerentanan menjadi konflik

kekerasan atau sebaliknya dapat mengubah kerentanan menjadi resiliensi bagi kepentingan publik melalui partisipasi, transparansi dan akuntabilitas kebijakan, melalui Tata kelola yang peka konflik memadukan kearifan demokrasi, menjunjung tinggi keadilan sosial dan ekonomi serta mencegah rusaknya kohesi sosial.

(22)

REKOMENDASI TINDAK LANJUT

1. Rapat Sosialisasi PCNA dan IKKDT ini idealnya harus dilaksanakan di awal RPJMN dan segera setelah terbitnya UU 7/2012 dan Perpres 131/2015, namun diharapkan keterlambatan ini tidak mengurangi dari substansi rapat hari ini, sebagai upaya untuk memberikan pemahaman kepada Pemerintah Daerah Tertinggal yang dikategorikan rawan dan pasca konflik.

2. PCNA perlu lebih disosialisasikan di tingkat Pusat, melalui koordinasi dan konsultasi yang intensif dengan K/L terkait di Pusat, utamanya Kemenko Polhukam, Kemenko PMK (terkait SNPK), Kemendagri, BAPPENAS, BNPB, dan Kemensos, serta dengan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk dapat menentukan 3 hal pokok: (1) jenis data dan informasi yang akan digunakan dalam PCNA, (2) tahapan pasca konflik yang akan dinilai kebutuhannya (rekonsiliasi, rehabilitasi, rekonstruksi, serta pembangunan perdamaian); dan (3) fokus pada manfaat dan kesinambungannya dalam fasilitasi kebijakan penanganan daerah pasca konflik.

3. Fasilitasi yang diberikan harus terfokus dan prioritas pada rekonsiliasi, rehabilitasi, rekonstruksi, serta pembangunan perdamaian di tingkat masyarakat di lokasi pasca konflik, dalam rangka pemulihan infrastruktur dasar dan pengembangan potensi perdamaian yang mendukung kesinambungan pembangunan pasca konflik di tingkat daerah dan khususnya di masyarakat.

4. IKKDT perlu juga disepakati dulu di tingkat Pusat, bersama K/L terkait, untuk dapat dijadikan rujukan bersama dalam menyusun IKKDT setiap tahunnya atau dalam kerangka jangka menengah, sebagai masukan dalam penyusunan RPJMN dan termasuk RPJMD daerah tertinggal yang dikategorikan rawan dan rentan konflik.

5. Perlu adanya integrasi dan konsolidasi IKKDT dengan SNPK yang dikelola Kemenko PMK, serta dengan Tim Terpadu PKS yang dikoordinasikan Kemenko Polhukam dan Kemendagri, termasuk dibangun sinergi dengan beberapa indeks terkait lainnya, seperti indeks

Referensi

Dokumen terkait

Meskipun prospek perkebunan kelapa sawit masih sangat besar, persiapan dan cara budidaya kelapa sawit perlu dilakukan secara teliti karena tanaman

Rancangan dilakukan dengan menentukan geometri, perhitungan pendinginan dan cara pengadukan yang berkaitan dengan proses vulkanisasi serta pembuatan gambar teknis sehingga

Untuk mengerti mengapa anda tidak dapat menggunakan bukti bersyarat dalam kasus ini, pertama perhatikan bahwa tidak ada aturan untuk merubah sebuah pernyataan dalam bentuk x & y

Demikian Pengumuman Penetapan Penyedia Barang hasil Pengadaaan Langsung Pengadaan Bahan Bangunan untuk Belanja Modal Sarana dan Prasarana Bidang Kehutanan Kegiatan

Subyek dalam penelitian ini adalah dua orang klien yang mengalami gagal jantung kongestif dengan kriteria mengalami sesak nafas dan kesadaran composmentis.. Hasil:

DESAIN SISTEM

 Ethernet hardware address merupakan identitas suatu kartu jaringan (Network Interface

Untuk Informasi lebih lanjut dapat dilihat pada Bag Sarpras Rorenmin Lemdiklat Polri Jalan Ciputat Raya 40 Kebayoran Lama Jakarta 12310I. Jakarta, 4