• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Anak Usia Sekolah - ITSNA MAFTUHATUL HAMMI BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Anak Usia Sekolah - ITSNA MAFTUHATUL HAMMI BAB II"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Anak Usia Sekolah

Hidayat (2010) mengatakan anak merupakan individu yang berada dalam satu rentang perubahan perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja. Masa anak merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang dimulai dari bayi (0-1 tahun), usia bermain /toddler (1-2,5 tahun), pra sekolah (2,5-5 tahun), usia sekolah (5-11 tahun), usia remaja (11-18 tahun). Rentang ini berbeda antara anak yang satu dengan anak yang lainnya karena mengingat latar belakang anak yang berbeda.

Masa usia sekolah adalah masa matang untuk belajar atau masa untuk sekolah. Masa matang untuk belajar karena mereka sudah berusaha mencapai sesuatu, sedangkan masa matang untuk bersekolah, karena mereka sudah menginginkan kecakapan-kecakapan baru, yang dapat diberikan oleh sekolah (Conny, 2008).

Mulai anak umur 6 tahun, anak sudah matang untuk masuk sekolah. Masa anak sekolah adalah usia 6-12 tahun, pada masa ini anak memasuki masa belajar didalam dan diluar sekolah. Aspek prilaku dibentuk melalui penguatan (reinforcement) verbal, keteladanan dan identifikasi (Ahmadi, 2005).

(2)

1. Label yang digunakan oleh orang tua

a. Usia yang menyulitkan dimana suatu masa ketika anak tidak mau lagi menuruti perintah dan ketika anak lebih dipengaruhi oleh teman sebaya dari pada oleh orang tua dan anggota keluarga lain.

b. Usia tidak rapi, suatu masa ketika anak cenderung tidak memperdulikan dan ceroboh dalam penampilan.

c. Usia bertengkar, suatu masa ketika banyak terjadi pertengkaran antara keluarga dan suasana rumah yang tidak menyenangkan bagi semua anggota keluarga.

2. Label yang digunakan pendidik/guru

a. Usia sekolah dasar adalah suatu masa ketika anak diharapkan memperoleh dasar pengetahuan yang dianggap penting untuk keberhasilan penyesuaian diri.

b. Periode kritis dalam berprestasi merupakan suatu masa ketika anak mencapai sukses, tidak sukses atau sangat sukses.

3. Label yang digunakan oleh ahli psikologi

a. Usia berkelompok merupakan suatu masa ketika perhatian utama tertuju pada keinginan diterima oleh teman sebaya sebagai anggota kelompok.

(3)

c. Usia kreatif merupakan suatu masa ketika akan ditentukan apakah anak akan menjadi konfimis.

d. Usia bermain merupakan suatu masa ketika besarnya keinginan bermain karena luasnya minat dan kegiatan untuk bermain.

Menurut (Suprajitno, 2004) Perkembangan Usia Sekolah memiliki beberapa ciri antara lain :

1. Perkembangan biologis

Saat usia dasar pertumbuhan rata-rata 5 cm per tahun untuk tinggi badan dan meningkat 2 sampai 3 kg per tahun untuk berat badan. Pada usia ini pembentukan jaringan lemak lebih cepat perkembangannya dari pada otot.

2. Perkembangan psikososial

Menurut Ericson perkembangan psikososialnya berada dalam tahap industri inferior. Dalam tahap ini anak mampu melakukan dam menguasai ketrampilan yang bersifat teknologi dan sosial. Tahap ini sangat dipegang faktor instrinsik (motivasi, kemampuan, tanggung jawab untuk memiliki, interaksi dengan lingkungan dan teman sebaya) dan faktor ekstrinsik (penghargaan yang didapat, stimulus dan keterlibatan orang lain).

3. Temperamen

(4)

mengendalikannya, yang perlu diperhatikan orang tua adalah menjadi figur dalam sehari.

4. Perkembangan kognitif

Menurut Peaget usia ini berada dalam tahap operasional konkret yaitu anak mengekspresikan apa yang dilakukan dengan verbal dan simbol. Selama periode ini kemampuan anak belajar konseptual mulai meningkat dengan pesat dan memiliki kemampuan belajar dari benda, situasi dan pengalaman yang dijumpai.

5. Perkembangan moral

Pada masa akhir kanak-kanak perkembangan moralnya dikategorikan oleh Kohlberg berada dalam tahap konvensional. Pada tahap ini anak mulai belajar tentang peraturan-peraturan yang berlaku, menerima peraturan.

6. Perkembangan spiritual

Anak usia sekolah menginginkan segala sesuatu adalah konkret atau nyata dari pada belajar tentang agama. Mereka lebih tertarik terhadap surga dan mereka sehingga cenderung akan melakukan atau mematuhi peraturan, karena takut bila masuk neraka.

7. Perkembangan Bahasa

(5)

8. Perkembangan social

Akhir masa kanak-kanak sering disebut usia berkelompok yang ditandai dengan adanya minat terhadap aktivitas teman-teman dan meningkatnya keinginan yang kuat untuk diterima sebagai anggota kelompok.

9. Perkembangan seksual

Masa ini anak mulai belajar tentang seksualnya dan teman-temannya, mengembangkan minat-minat sesuai dengan dirinya.

10.Perkembangan konsep diri

Perkembangan konsep diri sangat dipengaruhi oleh mutu hubungan dengan orang tua, saudara dan sanak keluarga lainnya. Saat ini anak-anak membentuk konsep diri yang ideal.

B. Tugas Perkembangan Anak

Pada masa ini anak sudah semakin luas lingkungan pergaulannya. Anak sudah banyak bergaul dengan orang-orang di luar rumah. Masyarakat mengharapkan agar anak menguasai dan menyelesaikan tugas-tugas perkembangannya agar diterima dengan baik oleh lingkungannya. Adapun tugas-tugas perkembangan pada masa anak sekolah adalah (Izzaty, 2008): 1. Belajar keterampilan fisik yang diperlukan untuk bermain.

2. Sebagai makhluk yang sedang tumbuh, mengembangkan sikap yang sehat mengenai diri sendiri.

(6)

4. Mulai mengembangkan peran social pria atau wanita.

5. Mengembangkan keterampilan-keterampilan dasar untuk membaca, menulis dan berhitung.

6. Mengembangkan pengertian-pengertian yang diperlukan untuk kehidupan sehari-hari.

7. Mengembangkan kata batin, moral dan skala nilai.

8. Mengembangkan sikap terhadap kelompok social dan lembaga. 9. Mencapai kebebasan pribadi

Keberhasilan dalam menyelesaikan tugas perkembangan ditentukan oleh lingkungan keluarga, orang tua, orang-orang terdekat dalam keluarga dan guru di sekolah. Tugas-tugas perkembangan yang dipaparkan diatas, merupakan gambaran perwujudan kematangan biologis dan psikologis individu, ekspektasi masyarakat dan tuntutan budaya dan agama. Penuntasan tugas-tugas perkembangan tersebut tidak selalu berjalan dengan mulus. Untuk mencapai tugas-tugas perkembangan tersebut, beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh pihak sekolah, yaitu: (Yusuf, 2011).

(7)

2. Membangun suasana sosio-emosional yang kondusif bagi perkembangan keterampilan social dan kematangan emosi peserta didik, seperti memelihara hubungan yang harmonis antara kepala sekolah dengan guru-guru, guru dengan guru-guru, siswa dengan siswa. Guru bersikap ramah dan respek terhadap peserta didik, begitupun peserta didik kepada guru.

3. Membangun iklim intelektual yang memfasilitasi perkembangan berpikir, nalar, dan kemampuan mengambil keputusan yang baik. Penciptaan ilkim intelektual ini bias berlangsung dalam proses pembelajaran di kelas (seperti guru menerapkan metode pembelajaran yang variatif; menjelaskan materi pelajaran dengan menggunakan multimedia atau memanfaatkan laboratorium secara efektif; memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya, dan mengemukakan pendapat atau gagasan) dan kegiatan kelompok-kelompok belajar sesuai dengan minat dan kemampuannya.

Menurut Havighurst (2009), tugas perkembangan ialah tugas yang terdapat pada suatu tahap kehidupan seseorang, yang akan membawa individu kepada kebahagiaan dan keberhasilan dalam tugas-tugas pengembangan berikutnya yaitu apabila tahap kehidupan tersebut dijalani dengan berhasil. Sedangkan kegagalan dalam melaksanakan tugas pengembangan, akan mengakibatkan kehidupan tidak bahagia pada individu dan kesukaran-kesukaran lain dalam hidupnya kelak. Tugas perkembangan individu bersumber pada faktor-faktor :

1. Kematangan fisik

(8)

3. Tuntutan dan dorongan dan cita-cita individu itu sendiri 4. Norma-norma agama

Di bawah ini dikemukakan rincian tugas perkembangan dari setiap tahapan menurut Havighurst (2009) pada tugas perkembangan masa kanak-kanak akhir dan anak sekolah (6-12 tahun):

1. Belajar memperoleh keterampilan fisik untuk melakukan permainan. Hakikat tugas perkembangan ini adalah mempelajari keterampilan-keterampilan yang bersifat fisik atau jasmani untuk dapat melakukan permainan.

2. Belajar membentuk sikap yang sehat terhadap dirinya sendiri sebagai makhluk biologis.

Hakikat tugas perkembangan ini adalah belajar untuk membentuk diri sendiri agar dapat memenuhi tugas biologisnya.

3. Belajar bergaul dengan teman sebaya.

Hakikat tugas perkembangan ini adalah bagaimana cara berkomunikasi dengan teman-teman dengan baik.

4. Belajar memainkan peranan sesuai dengan jenis kelaminnya.

Hakikat tugas perkembangan ini adalah anak belajar bertindak sesuai dengan peran seksnya sebagai anak laki-laki atau anak perempuan.

5. Belajar keterampilan dasar dalam membaca, menulis dan berhitung.

(9)

6. Belajar mengembangkan konsep-konsep sehari-hari.

Hakikat tugas perkembangan ini adalah anak harus mempelajari berbagai konsep agar dapat berpikir efektif mengenani permasalahan sosial di sekitar kehidupan sehari-hari.

7. Mengembangkan kata hati.

Hakikat tugas perkembangan ini adalah mengembangkan moral yang bersifat batiniah yaitu hati nurani, serta mengembangkan pemahaman dan sikap moral terhadap peraturan dan tata nilai yang berlaku dalam kehidupan anak.

8. Belajar memperoleh kebebasan yang bersifat pribadi.

Hakikat tugas perkembangan ini adalah anak menjadi individu yang otonom atau bebas, dalam arti dapat membuat rencana untuk masa yang akan datang, bebas dari pengaruh orang tua atau orang lain.

9. Mengembangkan sikap yang positif terhadap kelompok sosial.

Hakikat tugas perkembangan ini adalah anak belajar memberi dan menerima dalam kehidupan sosial antar teman sebaya, dan belajar membina persahabatan dengan teman sebaya.

C. Tahap Perkembangan Anak

(10)

Banyak teori mengenai perkembangan psikososial, yang paling banyak dianut adalah teori psikosisal dari Erik Erikson. Teori psikososial dari Erik Erikson meliputi delapan tahap yang saling berurutan sepanjang hidup. Hasil dari tiap tahap tergantung dari hasil tahapan sebelumnya, dan resolusi yang sukses dari tiap krisis ego adalah penting bagi individu untuk dapat tumbuh secara optimal. Ego harus mengembangkan kesanggupan yang berbeda untuk mengatasi tiap tuntutan penyesuaian dari masyarakat. Berikut adalah delapan tahapan perkembangan psikososial menurut Erik Erikson :

1. Tahap I : Trust versus Mistrust (0-1 tahun)

Dalam tahap ini, bayi berusaha keras untuk mendapatkan pengasuhan dan kehangatan, jika ibu berhasil memenuhi kebutuhan anaknya, sang anak akan mengembangkan kemampuan untuk dapat mempercayai dan mengembangkan asa (hope). Jika krisis ego ini tidak pernah terselesaikan, individu tersebut akan mengalami kesulitan dalam membentuk rasa percaya dengan orang lain sepanjang hidupnya, selalu meyakinkan dirinya bahwa orang lain berusaha mengambil keuntungan dari dirinya.

2. Tahap II: Autonomy versus Shame and Doubt (l-3 tahun)

(11)

aturan-aturan sosial tanpa banyak kehilangan pemahaman awal mereka mengenai otonomi, inilah resolusi yang diharapkan.

3. Tahap III : Initiative versus Guilt (3-6 tahun)

Pada periode inilah anak belajar bagaimana merencanakan dan melaksanakan tindakannya. Resolusi yang tidak berhasil dari tahapan ini akan membuat sang anak takut mengambil inisiatif atau membuat keputusan karena takut berbuat salah. Anak memiliki rasa percaya diri yang rendah dan tidak mau mengembangkan harapan harapan ketika ia dewasa. Bila anak berhasil melewati masa ini dengan baik, maka keterampilanego yang diperoleh adalah memiliki tujuan dalam hidupnya. 4. Tahap IV: Industry versus Inferiority (6-12 tahun)

Pada saat ini, anak-anak belajar untuk memperoleh kesenangan dan kepuasan dari menyelesaikan tugas khususnya tugas-tugas akademik. Penyelesaian yang sukses pada tahapan ini akan menciptakan anak yang dapat memecahkan masalah dan bangga akan prestasi yang diperoleh. Ketrampilan ego yang diperoleh adalah kompetensi. Di sisi lain, anak yang tidak mampu untuk menemukan solusi positif dan tidak mampu mencapai apa yang diraih teman-teman sebaya akan merasa inferior.

5. Tahap V : Identity versus Role Confusion (12-18 tahun)

(12)

dalam bidang seksual, umur dan kegiatan. Peran orang tua sebagai sumber perlindungan dan nilai utama mulai menurun. Adapun peran kelompok atau teman sebaya tinggi.

6. Tahap VI : Intimacy versus Isolation (masa dewasa muda)

Dalam tahap ini, orang dewasa muda mempelajari cara berinteraksi dengan orang lain secara lebih mendalam. Ketidakmampuan untuk membentuk ikatan social yang kuat akan menciptakan rasa kesepian. Bila individu berhasil mengatasi krisis ini, makaketerampilan ego yang diperolehadalahcinta.

7. Tahap VII : Generativity versus Stagnation (masa dewasa menengah) Pada tahap ini, individu memberikan sesuatu kepada dunia sebagai balasan dari apa yang telah dunia berikan untuk dirinya, juga melakukan sesuatu yang dapat memastikan kelangsungan generasi penerus di masa depan. Ketidakmampuan untuk memiliki pandangan generatif akan menciptakan perasaan bahwa hidup ini tidak berharga dan membosankan. Bila individu berhasil mengatasi krisis pada masa ini maka ketrampilan ego yang dimiliki adalah perhatian.

8. Tahap VIII : Ego Integrity versus Despair (masa dewasa akhir)

(13)

Kegagalan dalam melewati tahapan ini akan menyebabkan munculnya rasa putus asa.

D. Perilaku Agresif

Perilaku agresif adalah perilaku melukai orang lain baik secara fisik (non verbal) maupun secara kata-kata (lisan/ verbal). Agresivitas pada kanak-kanak ini dapat berupa perilaku seperti memukul, mencubit, menggigit, marah-marah, bahkan mencaci maki (Yusuf, 2002).

Perilaku agresif dapat dipengaruhi oleh sifat egosentris, yaitu masih sulitnya memahami apa yang dirasakan dan dipikirkan orang lain atau masih sulit berempati. Jadi individu tidak dapat memahami jika ia memukul atau menghina orang lain, orang tersebut akan merasa sakit. Individu juga mudah menjadi agresif jika kondisi fisiknya sedang tidak nyaman: lelah, lapar, menagntuk, atau sakit (Itabiliana, 2008).

(14)

Menurut Anantasari (2006), pada dasarrnya perilaku agresif pada manusia adalah tindakan yang bersifat kekerasan, yang dilakukan oleh manusia terhadap sesamanya. Dalam agresi terkandung maksud untuk membahayakan atau mencederai orang lain. Perilaku agresif juga dapat disebut sikap bermusuhan yang ada dalam diri manusia. Perilaku agresif diindikasikan antara lain oleh tindakan untuk menyakiti, merusak, baik secara fisik, psikis, maupun social. Sasaran orang yang berperilaku agresif tidak hanya ditujukan kepada musuh tetapi juga kepada benda-benda yang ada dihadapanya yang memberi peluang bagi dirinya untuk merusak. Perilaku menyerang, memukul, dan mencubit yang ditunjukan oleh siswa bias dikategorikan sebagai perilaku agresif. Perilaku ini muncul karena siswa merasa frustasi menghadapi lingkungan yang sulit ia kendalikan atau tidak sesuai dengan keinginannya (Itabiliana, 2008).

(15)

E. Faktor-faktor Penyebab Timbulnya Perilaku Agresif

Menurut Anantasari (2006) faktor-faktor penyebab timbulnya perilaku agresif dapat dibedakan menjadi enam kelompok faktor, yaitu :

1. Faktor psikologis a. Perilaku naluriah

Menurut Freud (Taylor et al., 2009) berasumsi bahwa manusia memiliki naluri untuk bertindak agresif. Menurut teori insting kematian (thanatos) yang digagasnya, agresi diarahkan pada diri sendiri atau orang lain. Menurut Konrad Lorenz (Anantasari, 2006) agresi membuahkan bahaya fisikal buat orang-orang lain berakar dalam naluri berkelahi yang dimiliki manusia.

b. Perilaku yang dipelajari

(16)

dewasa tersebut bermain dengan boneka Bobo secara agresif dengan cara mendudukinya, memukulnya, melemparnya, menendangnya sambil mengucapkan “hajar hidungnya, tonjok mukanya, dan pow” sang anak terus menyaksikan dan mulai menirukan banyak perilaku orang dewasa tersebut. Berdasarkan uraian diatas, gagasan toritis utama dalam eksperimen yang dilakukan Albert Bandura adalah anak melakukan tindakan agresif melalui apa saja yang ia lihat dari orang lain yang melakukan respon agresif tersebut.

2. Faktor Sosial a. Frustasi

(17)

adanya frustasi sering ditunjukkan dalam perilaku menyakiti orang lain atau perilaku agresif dengan maksud meluapkan kekesalannya terhadap pencapaian tujuan yang tertunda atau yang pencapaian tujuan yang dihambat.

b. Provokasi langsung

Bukti-bukti mengindikasikan betapa pencideraan fisikal (physical abuse) dan ejekan verbal dari orang-orang lain dapat memicu perilaku

(18)

c. Pengaruh tontonan perilaku agresif di televisi

(19)

d. Stres

Hude (2006) menyebutkan lingkungan sosial dan non-sosial berpotensi memicu stress, khususnya jika mengancam stabilitas individu. Stres dapat memicu timbulnya sikap agresif, diantaranya kepadatan penduduk, ketidakbebasan, irama kehidupan rutin atau monoton, dan kurangnya privasi.

e. Hilangnya identitas diri

Masa remaja puncak perkembangan jiwa itu ditandai dengan adanya proses perubahan dari kondisi entropy ke kondisi negentropy Sarlito (Sunarto, 2008). Entropy adalah keadaan dimana kesadaran manusia masih belum tersusun rapi, sedangkan negentropy adalah keadaan dimana isi kesadaran tersusun dengan baik. Masa peralihan ini membuat remaja kehilangan identitas diri dan kehilangan kontrol diri dan akibatnya mereka akan mudah melakukan tindakan agresif.

3. Faktor Lingkungan a. Lingkungan keluarga

(20)

b. Interaksi teman sebaya

Menurut (Krahe, 2005) munculnya pola-pola perilaku agresif berawal dari konflik dengan teman sebaya dan orang dewasa muncul dalam kehidupan seseorang dalam bentuk perilaku agresif dan penggunaan kekuatan fisik seperti memukul, mendorong, menendang). Dengan demikian interaksi yang terjadi dengan teman sebaya sangatlah berpengaruh terhadap munculnya perilaku agresif. Menurut Anantasari (2006) perilaku agresif adalah suatu ledakan emosi yang kuat sekali, disertai rasa marah, serangan agresif, menangis, menjerit dan sebagainya. Interaksi teman sebaya sangat mempengaruhi munculnya perilaku agresif, kombinasi antara ditolak oleh teman sebaya dan bersikap agresif meramalkan adanya masalah, Ladd et al (Santrock, 2007). Studi terbaru lainnya menemukan bahwa ank kelas tiga yang sangat agresif dan ditolak oleh sebaya mereka menunjukkan tingkat kenakalan yang lebih tinggi sebagai remaja dan pemuda disbanding anak-anak lain, Miller-Johnson et al (Santrok, 2007). Berdasarkan uraian diatas, dapat dipahami bahwa interaksi teman sebaya sangat mempengaruhi munculnya perilaku agresif. Anak yang ditolak oleh teman sebayanya maka akan cenderung menunjukkan perilaku agresif. c. Suhu udara

(21)

nyaman meningkatkan motif maupun perilaku agresif, Anderson et al (Krahe, 2005).

4. Faktor Situasional

a. Kondisi emosional atau kerentanan emosional

Menurut Krahe (2005) kerentanan emosional (emotional susceptibility) didefinisikan sebagai kecenderungan individu untuk mengalami perasaan tidak nyaman, putus asa, tidak adekuat, dan ringkih. Orang-orang yang rentan secara emosional memperlihatkan perilaku agresif lebih tinggi.

Menurut Hude (2006) tidak jarang peristiwa-peristiwa yang dialami manusia menjadikannya menangis tersedu-sedu, muka pucat atau merah padam, nada bicaranya terputus-putus, bergetar seluruh tubuhnya, melompat kegirangan, berteriak, membanting pintu, dan sebagainya, hal itu tidak lain dipicu oleh kadar emosi yang amat dalam dan meluap-luap. Kondisi emosional yang dimiliki seseorang dapat memicu terjadinya perilaku agresif.

5. Faktor Biologis

(22)

6. Faktor Genetik

Pengaruh faktor genetik antara lain ditunjukkan oleh kemungkinan yang lebih besar untuk perilaku agresif bagi pria yang memiliki kromosom XYY, Anantasari (2006). Anak laki – laki pada umumnya memperlihatkan tingkat agresi fisik yang lebih tinggi daripada anak perempuan. Menurut Poerwandari (2004) tentang kecenderungan laki-laki untuk lebih agresif, hal itu dapat dijelaskan melalui penjelasan biologis. Berkaitan dengan perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam perilaku agresif secara keseluruhan, menemukan temuan yang sangat jelas mengenai hal ini. Penjelasan hormonal mengungkapkan kecenderungan agresif yang meningkat pada hormon seks laki-laki, testoteron. Menurut pandangan ini, perbedaan jenis kelamin dalam agresi ini berhubungan dengan tingkat testoteron yang lebih tinggi pada laki-laki, Archer (Krahe, 2005). Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa perbedaan jenis kelamin menunjukkan perbedaan tingkat agresifitas antara perempuan dan laki-laki, hal ini dikarenakan tingkat hormon testoteron yang lebih tinggi pada laki-laki menunjukkan tingkat maskulinnya.

F. Ciri-Ciri Perilaku Agresif

(23)

Siswa seringkali berbohong, walaupun ia seharusnya berterus terang, menyontek, meskipun seharusnya tidak perlu menyontek. Suka mencuri, atau mengatakan ia kecurian bila barangnya tidak ada. Suka merusak barang orang lain atau barangnya sendiri, melakukan kekejaman, menyakiti orang lain, berbicara kasar, menyinggung perasaan orang lain, tidak peduli pada orang lain yang membutuhkan pertolongannya, dan suka menggangu siswa lain yang lebih kecil atau lebih lemah. Serta seringkali marah-marah, uring-uringan, memukulkan kaki tangan, menangis dan menjerit. Sementara itu menurut Anantasari (2006), ciri-ciri perilaku agresif sebagai berikut:

1. Perilaku menyerang; perilaku menyerang lebih menekankan pada suatu perilaku untuk menyakiti hati, atau merusak barang orang lain, dan secara sosial tidak dapat diterima.

Contoh; sikap anak yang mempertahankan barang yang dimiliknya dengan memukul.

2. Perilaku menyakiti atau merusak diri sendiri, orang lain, atau objek-objek penggantinya; perilaku agresif termasuk yang dilakukan anak, hampir menimbulkan adanya bahaya berupa kesakitan yang dapat dialami oleh dirinya sendiri atau orang lain. Bahaya kesakitan dapat berupa kesakitan fisik, misalnya pemukulan, dan kesakitan secara psikis misalnya hinaan. Selain itu yang perlu dipahami juga adalah sasaran perilaku agresif sering kali ditujukan seperti benda mati.

(24)

3. Perilaku yang tidak diinginkan orang lain perilaku agresif pada umumnya juga memiliki sebuah cirri yaitu tidak diinginkan oleh orang yang menjadi sasaranya.

Contoh: tindakan menghindari pukulan teman yang sedang marah.

4. Perilaku yang melanggar norma sosial; perilaku agresif pada umumnya selalu dikaitkan dengan pelanggaran terhadap norma-norma sosial.

5. Sikap bermusuhan terhadap orang lain; perilaku agresif yang mengacu kepada sikap permusuhan sebagai tindakan yang di tujukan untuk melukai orang lain. Contoh: memukul teman

6. Perilaku agresif yang dipelajari; perilaku agresif yang dipelajari melalui pengalamannya di masa lalu dalam proses pembelajaran perilaku agresif, terlibat pula berbagai kondisi sosial atau lingkungan yang mendorong perwujudan perilaku agresif.

(25)

G. Pemicu Terjadinya Perilaku Agresif

Perilaku agresif dapat terjadi karena dipicu oleh: (Anantasari, 2006). 1. terpicu oleh hal kecil

2. menyakiti teman

3. untuk mencari perhatian

Menurut Itabiliana (2008), dalam keadaan frustasi, anak menjadi mudah terpicu untuk bereaksi secara fisik. Anak juga mudah menjadi agresif jika kondisi fisiknya sedang tidak nyaman: lelah, lapar, mengantuk, atau sakit.

H. Dampak Perilaku Agresif

(26)

I. Mengatasi Perilaku Agresif

Menurut Itabiliana (2008), untuk menghilangkan perilaku agresif dapat dilakukan dengan memberikan pemahaman pada anak bahwa perilaku agresifnya tidak dapat diterima. Perkenalkan anak terhadap akibat dari perilakunya tersebut. Misalnya, tidak boleh masuk kelas lagi kalau memukul teman. Sekecil apapun berikan perhatian besar terhadap perilaku yang positif, dengan demikian anak akan belajar perilaku mana yang diharapkan, dan perilaku perilaku mana yang ditolak oleh lingkungan sosialnya.

Menurut Anantasari (2006), cara mengatasi perilaku agresif adalah dengan memberi empati, dorong anak untuk mencurahkan perasaanya, tanggapi dengan bijak, jangan terlalu melindungi, tumbuhkan percaya diri dan kembangkan kemampuanya, lakukan pengamatan, dan diskusikan dengan guru.

(27)

2. Tanggapi secara bijak tanggapan yang bijaksana, penuh empati, dan jauhdari kesan menginterogasi, akan mendorong anak untuk lebih terbuka. Jangan menaggapi cerita secara emosional dan terburu-buru memberi komentar dan saran, apalagi kalau sampai memarahinya. 3. Jangan terlalu melindungi ajarkan pada anak untuk mengatasi

masalahnya sendiri. Sikap selalu melindungi akan membuat terus bergantung dan kurang mengembangkan kemampuan untuk bersikap yang tepat bila menghadapi kejadian serupa. Berikan pertanyaan-pertanyaan yang membimbing dan alternatif tindakan yang dapat diambilnya, misalnya dengan mengatakan “menurutmu, sebenarnya

kamu bisa berbuat apa?”.

4. Tumbuhkan percaya diri dan kembangkan kemampuanya anak yang sering menjadi korban agresifisitas biasanya kurang mempunyai kepercayaan diri. Ia merasa inferior dibandingkan dengan seorang agresor sehingga merasa tidak berdaya menghadapinya. Tunjukkan kepada anak bahwa masing-masing individu memiliki kelebihan dan kekurangan.

(28)

6. Diskusikan dengan guru ada baiknya dari permasalahan yang dihadapi anak dapat didiskusikan dengan guru atau wali kelasnya apabila kejadianya disekolah. Mintalah bantuan guru untuk mengamati.

J. Pola Asuh Orang Tua

Pola asuh terdiri dari dua kata yaitu pola dan asuh. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) bahwa pola adalah model, sistem, atau cara kerja. Sedangkan asuh adalah menjaga, merawat, mendidik, membimbing, membantu, melatih, dan sebagainya Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008).

Gunarsa (2000) mengemukakan bahwa Pola asuh tidak lain merupakan metode atau cara yang dipilih pendidik dalam mendidik anak-anaknya yang meliputi bagaimana pendidik memperlakukan anak didiknya. Jadi yang dimaksud pendidik adalah orang tua terutama ayah dan ibu atau wali. Casmini (dalam Palupi, 2007) menyebutkan bahwa: Pola asuh sendiri memiliki definisi bagaimana orang tua memperlakukan anak, mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan serta melindungi anak dalam mencapai proses kedewasaan, hingga kepada upaya pembentukan norma-norma yang diharapkan oleh masyarakat pada umumnya.

(29)

yang dimaksud dengan pola asuh orang tua adalah bagaimana cara mendidik anak baik secara langsung maupun tidak langsung. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pola asuh orang tua adalah suatu proses interaksi antara orang tua dan anak, yang meliputi kegiatan seperti memelihara, mendidik, membimbing serta mendisplinkan dalam mencapai proses kedewasaan baik secara langsung maupun tidak langsung.

Terdapat perbedaan yang berbeda-beda dalam mengelompokkan pola asuh orang tua dalam mendidik anak, yang antara satu dengan yang lainnya hampir mempunyai persamaan. Diantaranya sebagai berikut:

Menurut Baumrind (dalam King, 2014) terdapat empat macam pola asuh yang diberikan orang tua kepada anak yaitu :

1. Pola asuh otoriter.

Dalam pola asuh ini, semua tingkah laku, pengambilan keputusan, dan cara berpikir anak diatur oleh orang tua. Orang tua memiliki kendali penuh terhadap segala aspek kehidupan anaknya. Dalam menyampaikan keinginannya, orang tua cenderung memaksa, memerintah, memberi ancaman, dan menghukum. Dalam pola asuh ini sedikit sekali komunikasi secara verbal. Komunikasi yang terjadi hanya bersifat satu arah. Orang tua tidak lagi memberi pertimbangan terhadap pendapat anaknya.

(30)

menjadi penakut, mudah tersinggung, pemurung, dan mudah stress. Dalam berinteraksi sosial anak akan terlihat kurang memiliki inisiatif untuk melakukan sesuatu dan mudah dipengaruhi (tidak memiliki pendirian yang kuat). Anak juga bisa memiliki sikap yang suka menentang, memberontak, dan tidak mau mematuhi peraturan.

2. Pola asuh otoritatif.

Dalam pola asuh ini orang tua mendorong anak untuk bersikap mandiri, tetapi orang tua masih memberikan kontrol terhadap perilaku anak. Anak diperbolehkan untuk mengemukakan pendapatnya. Orang tua menanamkan nilai-nilai yang berlaku dengan cara yang lebih hangat. Dalam menanamkan nilai, orang tua akan menjelaskan dampak-dampak secara rasional dari suatu perbuatan yang dilakukan oleh anak. Komunikasi antara orang tua dan anak bersifata dua arah. Kepentingan anak menjadi prioritas utama orang tua, tetapi masih dikontrol dalam pemberian kebebasan anaknya.

(31)

3. Pola asuh penelantar.

Orang tua yang mengasuh anaknya dengan tipe ini akan cenderung tidak terlibat dalam kehidupan anaknya. Orang tua tidak peduli dengan apa yang dilakukan oleh anaknya. Dalam membesarkan anaknya, orang tua tidak memberikan kasih sayang dan pemenuhan kebutuhan fisik yang cukup.

Dampak pola asuh penelantar terhadap kepribadian anak. Oleh karena tidak merasa dipedulikan atau diurus, anak akan beranggapan bahwa orang tua memiliki hal lain yang lebih penting daripada dirinya. Selain itu, anak akan merasa kekurangan kasih sayang. Hal tersebut akan membuat anak cenderung memiliki sikap yang kurang mandiri dan kurang bisa mengontrol dirinya. Anak cenderung memiliki tempramen yang lemah, agresif, kurang bertanggung jawab, memiliki self esteem yang rendah, dan sering bermasalah dalam melakukan interaksi sosial (Baumrind, dikutip dalam King, 2014).

4. Pola asuh permisif.

(32)

Dampak pola asuh permisif terhadap kepribadian anak. Menurut Baumrind (dikutip dalam King, 2014), anak yang diberikan kebebasan yang berlebihan oleh orang tuanya cenderung tumbuh dengan kepribadian yang kurang bisa menghargai orang lain. Selain itu, anak juga menjadi manja, tidak patuh, agresif, dan mau menang sendiri. Anak kurang memiliki rasa percaya diri dan pengendalian diri yang cukup. Anak juga kurang matang secara sosial. Prestasi pun tidak mendapat perhatian yang cukup dari anak dengan orang tua yang permisif. Anak juga cenderung memiliki tingkat inisiatif yang tinggi tetapi anak menuntut agar semua permohonannya dikabulkan.

Pola ini ditandai dengan sikap acuh tak acuh orang tua terhadap anaknya. Dari berbagai macam bentuk pola asuh di atas pada intinya hampir sama. Misalnya saja antara pola asuh parent oriented, authoritarian, otoriter, semuanya menekankan pada sikap kekuasaan, kedisiplinan dan kepatuhan yang berlebihan. Demikian pula halnya dengan pola asuh authoritative atau demokratis menekankan sikap terbuka dari orang tua terhadap anak. Sedangkan pola asuh neglectful, indulgent, children centered, permisif dan laissez faire orang tua cenderung membiarkan atau tanpa ikut campur, bebas,

acuh tak acuh, apa yang dilakukan oleh anak diperbolehkan orang tua, orang tua menuruti segala kemauan anak.

(33)

memfasilitasi anak untuk mengembangkan kemampuan sejalan dengan tahapan perkembangan dan mendorong peningkatan kemampuan berperilaku sesuai dengan nilai agama danbudaya yang diyakini. Ada 3 bentuk pola asuh orang tua:

1. Pola asuh otoriter

Pola asuh otoriter adalah suatu gaya pengasuhan yang membatasi dan menuntut anak untuk mengikuti perintah-perintah orang tua. Orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter mempunyai ciri-ciri bersifat kaku, tegas, suka menghukum dan kurang kasih sayang. Orang tua memaksa anak-anak untuk patuh terhadap nilai-nilai dan peraturan mereka. Dalam memberikan peraturan itu tidak ada usaha untuk menjelaskan kepada anak mengapa ia harus patuh pada peraturan itu. Anak dari orang tua yang otoriter cenderung bersifat curiga pada orang lain dan merasa tidak bahagia dengan dirinya sendiri merasa canggung berhubungan dengan teman sebaya, canggung menyesuaikan diri pada awal masuk sekolah dan memiliki prestasi belajar yang rendah dibandingkan dengan anak-anak lain. Anak cenderung agresif, impulsive, pemurung dan kurang mampu konsentrasi.

2. Pola asuh demokratis

(34)

bertahap orang tua memberikan tanggung jawab bagi anak anaknya terhadap segala sesuatu yang diperbuatnya sampai mereka dewasa. Orang tua yang demokratis memperlakukan anak sesuai dengan tingkat-tingkat perkembangan anak dan dapat memperhatikan serta mempertimbangkan keinginan anak. Pola asuh yang ideal atau pola asuh yang baik adalah pola asuh demokratis dimana anak mempunyai hak untuk mengetahui mengapa peraturan-peraturan dibuat dan memperoleh kesempatan mengemukakan pendapatnya sendiri bila ia menganggap bahwa peraturan itu tidak adil. Dampak perkembangan psikologi anak dengan pola asuh demokratis yaitu rasa harga diri yang tinggi, memiliki moral yang standar, kematangan psikologisosial, kemandirian dan mampu bergaul dengan teman sebayanya.

3. Pola asuh permisif

(35)

Dampak perkembangan terhadap psikologi anak yaitu kurang percaya diri, pengendalian diri buruk,rasa harga diri yang rendah.

K. Faktor Lingkungan Sekolah

1. Pengertian Lingkungan Sekolah

Sekolah merupakan pendidikan formal, karena pendidikan tersebut diselenggarakan dalam secara terstruktur, berjenjang, dan diselenggarakan sesuai dengan peraturan-peraturan pemerintah sebagaimana dijelaskan dalam undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 yang berbunyi pendidikan nasional adalah jalur pendidikan yang berstruktur dan berjenjang, yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi, mengenai pengertian sekolah ada beberapa ahli yang mengungkapkan tentang pengertian sekolah.

Lingkungan sekolah yang aman dan tertib, optimis dan harapan yang tinggi dari warga sekolah, kesehatan sekolah dan kegiatan-kegiatan yang berpusat pada siswa merupakan iklim sekolah yang dapat menumbuhkan semangat belajar siswa. Slameto (2003). Lingkungan belajar di sekolah merupakan situasi yang turut serta mempengaruhi kegiatan belajar individu.

2. Faktor-faktor Lingkungan Sekolah

(36)

sosialisasi dan berfungsi mewariskan kebudayaan masyarakat kepada anak, sekolah merupakan suatu sistem sosial yang mempunyai organisasi dan pola relasi sosial diantara para anggota yang unik. Ini kita sebut dengan kebudayaan sekolah. (Slameto, 2010).

Lingkungan belajar di sekolah merupakan situasi yang turut serta mempengaruhi kegiatan individu menurut Slameto (2010) faktor-faktor sekolah yang mempengaruhi belajar antara lain:

a. Metode Mengajar

Metode mengajar adalah suatu cara/jalan yang harus dilalui di dalam mengajar. Metode mengajar yang kurang baik dapat mempengaruhi belajar siswa yang tidak baik pula. Demikian sebaliknya. Oleh sebab itu agar siswa dapat belajar dengan baik, maka metode mengajar harus diusahakan yang setepat, efisien, dan efektif mungkin.

b. Kurikulum

Kurikulum adalah sejumlah kegiatan yang diberikan kepada siswa. Kegiatan itu sebagian besar adalah menyajikan bahan pelajaran agar siswa menerima, menguasai dan mengembangkan pelajaran itu. Jelaslah bahan pelajaran itu mempengaruhi belajar siswa.

c. Relasi guru dengan siswa

(37)

d. Relasi siswa dengan siswa

Relasi siswa yang satu dengan siwa yang lain juga akan mempengaruhi belajar. Relasi yang baik akan memberikan pengaruh positif terhadap belajar siswa.

e. Disiplin sekolah

Agar siswa belajar lebih maju, siswa harus disiplin di dalam belajar baik di sekolah, di rumah dan di perpustakaan. Agar siswa disiplin haruslah guru beserta staf yang lain disiplin.

f. Alat Pelajaran

Mengusahakan alat pelajaran yang baik dan lengkap adalah perlu agar guru dapat mengajar dengan baik, sehingga siswa dapat menerima pelajaran dengan baik serta dapat belajar dengan baik pula.

g. Waktu Sekolah

Yaitu waktu terjadinya proses belajar mengajar di sekolah, waktu dapat pagi hari, siang, sore/malam hari. Di mana siswa melakasanakan pembelajaran di sekolah, biasanya dilakukan pada pagi sampai dengan siang hari.

h. Standar pelajaran di atas ukuran

(38)

i. Keadaan gedung sekolah

Dengan jumlah siswa yang banyak serta variasi karakteristik mereka masing-masing menuntut keadaan gedung harus memadai di dalam setiap kelas.

j. Metode Belajar

Banyak siswa melaksanakan cara belajar yang salah. Dalam hal perlu pembinaan dari guru. Maka perlu belajar setiap hari secara teratur, membagi waktu dengan baik, memilih cara belajar dengan tepat dan cukup istirahat dapat meningkatkan hasil belajar.

k. Tugas rumah Waktu belajar terutama adalah di sekolah, di samping untuk belajar waktu di rumah biarlah digunakan untuk kegiatan yang lain. Maka diharapkan guru jangan terlalu banyak memberi tugas yang harus dikerjakan di rumah, sehingga mereka tidak jenuh dengan kegiatan belajarnya dan anak masih mempunyai waktu yang dapat digunakan untuk kegiatan yang lain.

(39)

a. Lingkungan fisik seperti sarana dan prasarana belajar, sumber-sumber belajar dan media belajar.

b. Lingkungan sosial menyangkut hubungan siswa dengan teman temanya, guru-gurunya dan staf yang lain.

c. Lingkungan akademis yaitu suasana sekolah, pelaksanaan kegiatan belajar mengajar dan kegiatan ekstra kulikuler. Berdasarkan uraian di atas, maka indikator lingkungan sekolah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Keadaan gedung sekolah 2. Metode mengajar

3. Relasi siswa dengan siswa 4. Relasi guru dengan siswa 5. Disiplin sekolah

(40)

L. Kerangka Teori Penelitian

(41)

M. Kerangka Konsep Penelitian

Kerangka konsep merupakan focus penelitian yang akan diteliti, kerangka konsep ini meliputi variable bebas (independen) dan variable terikat (dependen). Kerangka konsep dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

Variable independen Variable

dependen

N. Hipotesis Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Kecemasan dalam diri anak dapat normal pada tahap perkembangan, menurut Whaley dan Wong, (2008). Kecemasan yang terjadi pada anak selama dirawat di rumah sakit terdapat

Setelah dapat menentukan pendirian hidup, pada dasarnya telah tercapailah masa remaja akhir dan telah terpenuhilah tugas-tugas perkembangan masa remaja, yaitu

Secara psikologis masa remaja adalah sebuah masa dimana individu berperan bersama masyarakat dewasa, dimana pada usia ini anak sudah tidak lagi merasa di bawah

Pada masa remaja awal terdapat ciri-ciri yang menandai pada masa perkembangan ini antara lain : 1 ) Mereka tidak mau lagi disebut anak, sebutan anak di anggap

Dengan akan diterimanya kontraprestasi pada masa yang akan datang, maka jelas tergambar bahwa kredit dalam arti ekonomi adalah penundaan pembayaran dari prestasi

Dengan akan diterimanya kontraprestasi pada masa yang akan datang, maka jelas tergambar bahwa kredit dalam arti ekonomi adalah penundaan pembayaran dari prestasi

Stimulus dapat datang dari luar individu yang mempersepsi, tetapi juga dapat datang dari dalam individu yang bersangkutan yang langsung mengenai saraf yang

Hasil penelitian Hamida, dkk 2012 menunjukkan bahwa rata-rata nilai pengetahuan tentang keamanan makanan jajanan pada kelompok anak sekolah yang mendapat pendidikan gizi dengan metode