BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan tanaman perkebunan yang banyak dibudidayakan di wilayah tropis termasuk Indonesia. Di Indonesia, mayoritas (90 %) budidaya tanaman tersebut dikelola oleh petani kakao (Kurniasih et al., 2011; Respati et al., 2010). Pada tahun 2009, jumlah petani yang membudidayakan kakao mencapai lebih dari 1,4 juta kepala keluarga sehingga komoditas tersebut memberi dampak yang signifikan bagi perekonomian Indonesia (Respati et al., 2010).
Pada tahun 2010, Indonesia merupakan negara penghasil kakao terbesar kedua di dunia setelah Côte d'Ivoire dengan total produksi mencapai lebih dari 400 ribu ton per tahun dengan total devisa yang dihasilkan mencapai lebih dari US $ 1,2 milyard (FAO, 2014). Hal tersebut menjadikan kakao sebagai penyumbang devisa terbesar ke tiga pada sub sektor perkebunan setelah kelapa sawit dan karet. Total produksi kakao tersebut dihasilkan dari perkebunan kakao seluas lebih dari 1,6 juta Ha dan menjadikan Indonesia menempati posisi kedua sebagai negara terluas di dunia setelah Côte d'Ivoire (FAO, 2014).
Meskipun total produksi kakao di Indonesia sangat tinggi, tetapi produktivitas perkebunan kakao tergolong relatif rendah (Asrul et al., 2011; Gambar 1.1). Pada tahun 2012, produktivitas kakao di Indonesia hanya sekitar
produktivitas perkebunan yang rendah tersebut menempatkan Indonesia di peringkat ke-17 dari sekitar 58 negara penghasil kakao di dunia (FAO, 2014).
Gambar 1.1 Negara dengan produktivitas kakao per Ha terbesar di dunia pada tahun 2012 yang menempatkan Indonesia di peringkat ke- 17 (tanda panah; FAO, 2014)
2002). Hal tersebut karena kakao merupakan salah satu tanaman yang melakukan penyerbukan silang (Li et al., 1998).
Salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk mendapatkan bibit kakao yang memiliki genetik yang seragam dan sama dengan induknya adalah dengan menggunakan teknik pembibitan secara vegetatif (Siregar et al., 2010). Pada umumnya pembibitan kakao secara vegetatif dilakukan dengan teknik stek, okulasi ataupun sambung pucuk (Winarsih et al., 2003). Namun teknik pembibitan secara vegetatif tersebut hanya mampu menghasilkan bibit dengan jumlah yang terbatas, merusak tanaman induk serta memerlukan tenaga kerja dan biaya dalam jumlah yang besar (Li et al., 1998). Akibatnya perlu dikembangkan upaya untuk pengembangan teknik pembibitan yang mampu menghasilkan bibit kakao secara masal, bersifat seragam serta tidak merusak tanaman induk (Hilyatunnisa, 2013).
Teknik embryogenesis somatik telah banyak dilaporkan berhasil digunakan untuk memperbanyak berbagai jenis tanaman seperti pada tanaman tanaman kopi
(Coffea arabica L.; Riyadi & Tirtoboma, 2004) dengan tingkat keberhasilan
mencapai 100%. Tanaman yang lain seperti cendana (Santalum album L.; Sukmadjaja, 2005) maupun manggis (Garcinia indica Choiss; Thengane et al., 2006) juga berhasil diperbanyak melalui teknik embryogenesis somatik dengan tingkat keberhasilan yang tinggi, yaitu sekitar 80 %.
Pada tanaman kakao teknik embryogenesis somatik juga telah dicobakan untuk perbanyakan tanaman tersebut. Upaya pembibitan kakao melalui teknik embryogenesis somatik telah dimulai sejak tahun 1970an dengan tingkat keberhasilan yang masih cukup rendah (Young et al., 2003). Penelitian tentang embryogenesis somatik tanaman kakao dilaporkan pada tahun 1977 - 1980 dengan menggunakan eksplan embryo zygotik, namun hasil penelitian-penelitian tersebut belum berhasil menginduksi pembentukan embryo somatik (Alemanno, 1997). Penelitian lebih lanjut menggunakan eksplan jaringan somatik juga belum berhasil dilakukan sampai Lopez-Baez et al. (1993) berhasil menginduksi embryo somatik kakao dari eksplan jaringan somatik. Meskipun demikian penelitian tersebut juga belum berhasil mendapatkan tanaman baru dari embryo somatik yang dihasilkan.
Li et al. (1998) melaporkan keberhasilan induksi embryo somatik dari eksplan
Di Universitas Muhammadiyah Purwokerto, upaya pembibitan kakao melalui teknik embryogenesis somatik juga telah dilakukan dengan menggunakan kultivar Criollo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa induksi kalus dapat dilakukan dengan tingkat keberhasilan yang tinggi (lebih dari 90%), namun tingkat keberhasilan induksi embryo masih sangat rendah. Hilyatunnisa (2013) belum berhasil menginduksi pembentukan embryo somatik, sedangkan Purwasih (2013) hanya berhasil menginduksi pembentukan embryo sekitar 1%. Hasil penelitian yang lebih baik dilaporkan oleh Rahayu (2013) dengan menanam kalus pada medium DKW (Driver & Kuniyuki, 1984) dengan penambahan kinetin ke dalam medium tanam, meskipun tingkat keberhasilan masih relatif rendah, 1 %.
Salah satu faktor yang diduga menjadi penyebab rendahnya tingkat keberhasilan induksi embryo somatik pada penelitian sebelumnya diduga karena rendahnya kadar makronutrien khususnya K2SO4 pada medium tanam yang digunakan. Dugaan tersebut didasari pada kenyataan bahwa kandungan sulfur pada medium tanam mampu meningkatkan proses metabolisme seperti sintesis asam amino dan sintesis protein di dalam sel (Saito, 2004; Leustek, 2002). Kondisi tersebut merupakan prasarat utama untuk terjadi proses-proses biologi pada tumbuhan tinggi termasuk proses embryogenesis (Minyaka et al., 2008).
meningkatkan keberhasilan induksi embryo somatik yang bervariasi tergantung kultivarnya. Pada genotip IMC67, P7 dan Sca6, penambahan K2SO4 sebesar itu mampu meningkatkan keberhasilan induksi embryo somatik antara 12 - 35 %, sedangkan pada genotip UPA 409 dan IFC5, penambahan K2SO4 tersebut tidak berhasil menginduksi pembentukan embryo somatik.
Upaya peningkatan keberhasilan induksi embryo somatik tanaman kakao kultivar Criolo dengan menambahkan K2SO4 ke dalam medium tanam belum pernah dilaporkan. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan uji pengaruh penambahan kinetin dan K2SO4 ke dalam medium tanam terhadap keberhasilan induksi embryo somatik pada tanaman kakao.
1.2 Perumusan Masalah
Apakah penambahan Kinetin dan K2SO4 ke dalam medium tanam dapat berpengaruh terhadap keberhasilan induksi embryo somatik pada tanaman kakao?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
- menguji pengaruh penambahan Kinetin dan K2SO4 ke dalam medium tanam terhadap keberhasilan induksi embryo somatik pada tanaman kakao.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Bagi Ilmu pengetahuan
Penelitian ini diharapkan akan memberikan sumbangan informasi dalam rangka pengembangan penelitian kultur jaringan tumbuhan khususnya kultur embryogenesis somatik kakao (Theobroma cacao L.) sehingga dapat meningkatkan keberhasilan dalam penyediaan bibit kakao.
2. Bagi Program Studi Pendidikan Biologi Universitas Muhammadiyah Purwokerto
Sebagai tambahan referensi yang berkaitan dengan permasalahan kultur embryogenesis somatik kakao pada penelitian berikutnya, sehingga diharapkan akan memunculkan penelitian yang lebih baik.
3. Bagi penulis