• Tidak ada hasil yang ditemukan

IRMAWAN DWI PRATIKO BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "IRMAWAN DWI PRATIKO BAB II"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

A.TINJAUAN TEORI

1. Konsep Nyeri

a. Pengertian

Nyeri adalah sebuah fenomena multidimensional dan sangat sulit untuk didefenisikan karena nyeri adalah suatu pengalaman yang sangat subjektif dan sangat personal (Black & Hawks, 2009). Nyeri adalah sebuah sensasi subjektif sehingga tidak ada dua orang yang berespon dengan cara yang sama (Kozier, et al., 2010). McCaffery (1999 dalam Ignatavicius & Workman, 2010) mendefinisikan nyeri sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang, yang keberadaanya diketahui hanya jika orang itu pernah mengalaminya.

Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan (International Association for The Study of Pain (IASP), dalam Lewis, et al., 2011).

b. Mekanisme Nyeri

(2)

Perry, 2009; Black & Hawks, 2009; Berman, 2010). Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireseptor,

secara anatomis reseptor nyeri ada yang bermielin dan ada yang tidak bermielin dari syaraf perifer (Smeltzer & Bare, 2002; Rospond, 2008).

Strong et al (2002) membagi nosireseptor berdasarkan letaknya, yaitu nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (cutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral. Karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda. Nosireseptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit terbagi dalam dua komponen yaitu :

1) Reseptor A delta

(3)

terlokalisasi, tetapi akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan. Ambang batas nyeri ini relatif sama untuk semua orang. 2) Serabut C

Sensasi nyeri yang menyebar, perlahan, membakar atau linu merupakan akibat dari stimuli yang ditransmisikan oleh serabut C yang tidak bermielinisasi. Serabut ini adalah komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi. Ambang batas pada nyeri kedua ini bervariasi antar individu. Persepsi yang diakibatkan oleh rangsangan yang potensial dapat menyebabkan kerusakan jaringan disebut nosireseptor, yang merupakan tahap awal proses timbulnya nyeri. Nosireseptor menyusun axon perifer tingkat pertama. Reseptor ini umumnya dijumpai pada bagian superfisial/permukaan kulit, kapsul sendi, periosteum tulang dan di sekitar dinding pembuluh darah (Smeltzer & Bare, 2002; Rospond, 2008; Black & Hawks, 2009).

(4)

spinal dan talamus), atau traktus spinoretikuler (Potter & Perry, 2009; Guyton & Hall, 2008; Black & Hawks, 2009).

Sensasi nyeri yang berasal dari reseptor kecil akan terlokalisasi pada perifer dan berjalan pada jalur traktus spinotalamikus. Nyeri yang dihasilkan memiliki persepsi afek yang jelas (durasi, intensitas, lokasi, sifat). Daerah penerimaan yang luas pada perifer juga akan memproyeksikan sensasi ke korteks, dan sensasi ini menghasilkan persepsi aspek afektif dan emosi (Strong et al., 2002). Neuron tingkat kedua yang mengarah ke atas melalui traktus spinoretikuler berjalan menuju batang otak. Neuron ini menjelaskan adanya aspek emosi pada sensasi nyeri (Black & Hawsk, 2009).

Serabut syaraf ke arah bawah (jalur desending) dari korteks, talamus atau batang otak dapat menghambat penerusan impuls yang bergerak melalui jalur asending. Serabut syaraf berhenti pada kolumna abu-abu dorsal korda spinalis. Neurotransmitter (misalnya epinefrin, norepinefrin, serotonin, dan berbagai opioid endogen) terlibat dalam modulasi sensasi nyeri. Jalur nyeri desending bertanggungjawab untuk menghambat transmisi nyeri di korda spinalis (Rospond, 2008; Black & Hawsk 2009).

(5)

Gambar 2.1 Mekanisme Nyeri (Sumber : www.medscape.com) 3) Gate Control Theory

(6)

Pesan yang dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor,

apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta A dan serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan sensasi nyeri. Neuron delta-A dan C melepaskan substansi P untuk mentransmisi impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain itu, terdapat mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal dan cepat, yang melepaskan neurotransmitter penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme pertahanan (Potter & Perry, 2009).

Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi nyeri. Alur syaraf desenden melepaskan opiat endogen, seperti endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh. Endorfin sebagai agonis sistem penghambat nyeri tubuh sendiri telah diidentifikasikan sebagai polipeptida dan oligopeptida. Sementara dinorfin dengan 17 atau 18 asam amino, pentapeptida metionin enkefalin (met-enkefalin dan leu-enkefalin). Opioid endogen terdiri atas 5 asam amino ujung dari endorfin (met-enkefalin) serta 5 asam amino ujung dari dinorfin (leuenkefalin). Endorfin dan dinorfin bekerja pada reseptor yang sama, disebut reseptor opiat, sehingga menunjukkan kerja farmakodinamika yang sama seperti opiat (Katzung, 2007).

(7)

masase, hipnotis, musik, dan guided imagery), konseling dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk melepaskan endorfin sehingga pesan yang sampai di korteks adalah stimulasi modulasi dan bukan nyeri (Potter & Perry, 2009; Black & Hawks, 2009).

c. Proses Nyeri

Sistem saraf tepi meliputi saraf sensorik yang khusus mendeteksi kerusakan jaringan dan menimbulkan sensasi sentuhan, panas, dingin, nyeri dan tekanan. Reseptor yang menyalurkan sensasi nyeri disebut nosiseptor (Kozier, et. al., 2010). Proses yang berhubungan dengan persepsi nyeri digambarkan sebagai nosisepsi (Kozier, et al., 2010), dimana terdapat empat proses yang terlibat dalam nosisepsi yaitu:

1) Transduksi

Tranduksi adalah proses dimana stimulus berbahaya (cedera jaringan) memicu pelepasan mediator kimia (misal., prostaglandin, bradikinin, serotonin, histamin) yang mensensitasi nosiseptor. Stimulasi menyakitkan atau berbahaya juga menyebabkan pergerakan ion-ion menembus membran sel, yang membangkitkan nosiseptor. Obat nyeri dapat bekerja selama fase ini dengan menghambat produksi prostaglandin (missal: ibuprofen) atau dengan menurunkan ion-ion menembus membran sel (Kozier, et al., 2010).

(8)

adanya kerusakan jaringan, suhu (misalnya, kulit terbakar), mekanik (misalnya, sayatan bedah) atau rangsangan kimia (misalnya, zat beracun), menyebabkan pelepasan berbagai bahan kimia ke dalam jaringan yang rusak. Bahan kimia lainnya dikeluarkan oleh sel mast (misalnya, serotonin, histamin, bradikinin, dan prostaglandin) dan makrofag (misalnya, interleukin, dan tumor necrosis factor (TNF). Bahan kimia ini mengaktifkan nosiseptor, yang merupakan reseptor khusus atau ujung saraf bebas yang menanggapi stimulus menyakitkan hasil aktivasi nociceptors dalam potensial aksi yang dibawa dari nosiseptor ke sumsum tulang belakang terutama melalui saraf kecil dengan cepat, serat delta-A yang bermielin dan secara perlahan-lahan oleh serat C yang tidak bermielin.

2) Transmisi

Transmisi adalah proses dimana sinyal rasa sakit diteruskan dari bagian perifer ke sumsum tulang belakang dan kemudian ke otak. Dimana potensial aksi diteruskan dari tempat cedera ke spinal cord kemudian dari spinal cord diteruskan ke otak dan hipotalamus, kemudian dari hipotalamus diteruskan ke korteks untuk kemudian diproses (Lewis, et. al., 2011). Proses ini meliputi tiga segmen (McCaffery & Pasero, 1999 dalam Kozier. et al., 2010) yaitu:

a) Segmen pertama

(9)

pergerakan impuls menyeberangi sinaps saraf dari neuron afferen primer ke neuron ordo ke dua di kornu dorsalis medula spinalis. Dua tipe serabut nosiseptor menyebabkan transmisi ini ke kornu dorsalis medula spinalis yaitu serabut C, yang mentranmisikan nyeri tumpul yang berkepanjangan dan serabut A delta yang mentranmisikan nyeri tajam dan lokal.

b) Segmen kedua

Segmen ini meliputi transmisi dari medula spinalis dan asendens melalui traktus spinotalamikus ke batang otak dan talamus.

c) Segmen ketiga

Melibatkan tranmisi sinyal antara talamus ke korteks sensorik somatik tempat terjadinya persepsi nyeri.

3) Persepsi

Persepsi adalah saat klien menyadari rasa nyeri. Pada tahap ini individu akan berespon terhadap adanya nyeri dengan memunculkan berbagai strategi perilaku kognitif untuk mengurangi kompenen sensorik dan afektif nyeri (McCaffery & Pasero, 2007 dalam Kozier,

et al., 2010). Menurut Lewis, et al., (2011) persepsi terjadi ketika nyeri diakui, didefinisikan, dan ditanggapi oleh individu mengalami rasa sakit. Di otak, masukan nociceptive dirasakan sebagai nyeri. tidak ada satupun lokasi yang tepat di mana persepsi nyeri ini terjadi, sebaliknya, persepsi nyeri melibatkan beberapa struktur di otak.

(10)

4) Modulasi

Sering kali digambarkan sebagai sistem desendens, proses ini terjadi saat neuron di batang otak mengirimkan sinyal menuruni kornu dorsalis medula spinalis (Kozier, et al., 2010). Serabut desendens ini melepaskan zat seperti opioid endogen, serotonin dan norepinefrin yang dapat menghambat naiknya impuls yang menyakitkan di kornu dorsalis. Namun neurotransmitter ini diambil kembali oleh tubuh, yang membatasi kegunaan analgesiknya (Mc Caffery & Pasero, 1999 dalam Kozier, et al., 2010).

d. Dimensi Nyeri

Multidimensionalitas nyeri terdiri atas: 1) Dimensi Fisiologis

Dimensi ini mencakup faktor-faktor yang berhubungan dengan genetik, anatomi dan fisik dari pengaruh nyeri serta bagaimana stimulasi yang menyakitkan itu di proses, diakui dan di jelaskan (Lewis, et al., 2011). Menurut National Institute of Nursing Reseach

(11)

Dimensi fisiologis terdiri dari penyebab organic dari nyeri tersebut seperti kanker yang telah bermetastase ke tulang atau mungkin juga telah menginfiltrasi ke sistem saraf (Ahles, et al., 1983; Davies, 2003 dalam Ardinata, 2007). Berdasarkan dimensi fisiologis, terdapat dua karakteristik yang melekat dalam pengalaman nyeri, yaitu: durasi dan pola nyeri. Durasi nyeri mengacu kepada apakah nyeri yang dialami tersebut akut atau kronik. Sedangkan pola nyeri dapat diidentifikasi sebagai nyeri singkat, sekejap, atau transient, ritmik, periodik, atau juga nyeri berlanjut, menetap atau konstan (Ardinata, 2007).

2) Dimensi Afektif

Dimensi afektif adalah suatu respon emosional terhadap nyeri seperti marah, takut, depresi dan cemas. Emosi yang negatif dapat mengurangi kualitas hidup. Hubungan negatif antara depresi dan nyeri dapat menyebabkan kerusakan fungsi (Lewis, et al., 2011). Tekanan emosional dapat dianggap sebagai komponen atau bagian dari rasa sakit, mungkin juga konsekuensi atau penyebab serta bersamaan dengan fenomena yang termasuk emosi seperti rasa takut, depresi, kecemasan, kemarahan, relief, antisipasi, agresi, dan karakteristik kepribadian. Adanya tanda-tanda gangguan emosi memungkinkan seseorang mengenali adanya nyeri (NINR, 1994 dalam Sauls, 2002).

(12)

Menurut McGuire dan Sheilder (1993 dalam Ardinata, 2007), dimensi afektif dari nyeri indentik dengan sifat personal tertentu dari individu. Pasien-pasien yang mudah sekali mengalami kondisi depresi atau gangguan psikologis lainnya akan lebih mudah mengalami nyeri yang sangat dibandingkan dengan pasien lainnya.

3) Dimensi Sensori

Menurut NINR (dalam Sauls, 2002), dimensi sensorik nyeri mengacu ke lokasi, intensitas, dan kualitas. Ketika menilai lokasi, struktur anatomi dan lokasi ditengarai dapat membantu dalam menentukan etiologi nyeri. Intensitas ketegangan mengacu pada jumlah atau beratnya nyeri yang dialami dan dapat dinilai menggunakan skala penilaian nyeri numerik atau dengan kata-kata dengan menggunakan istilah-istilah seperti ringan, sedang, dan berat. Faktor-faktor seperti etiologi, toleransi, dan ambang nyeri dapat mempengaruhi intensitas nyeri. Kualitas adalah terkait dengan apa rasa sakit terasa seperti apa dan mungkin dipengaruhi oleh etiologi, menunjukkan bahwa berbagai jenis nyeri dapat memiliki kualitas sensorik yang berbeda.

(13)

dari segi aspek sensori. Lokasi nyeri ini sendiri dapat dilaporkan oleh pasien pada dua atau lebih lokasi (McGuire & Sheidler, 1993 dalam Ardinata, 2007).

Kondisi dimana dirasakannya nyeri pada beberapa lokasi yang berbeda mengimplikasikan keterlibatan dimensi sensori. Semakin banyak lokasi nyeri yang dirasakan oleh pasien, maka akan semakin sulit bagi pasien untuk melokalisasi area nyerinya. Intensitas nyeri adalah sejumlah nyeri yang dirasakan oleh individu dan sering kali digambarkan dengan kata-kata seperti ringan, sedang dan berat. Intensitas nyeri juga dapat dilaporkan dengan angka yang menggambarkan skor dari nyeri yang dirasakan (McGuire & Sheidler, 1993 dalam Ardinata, 2007). Sedangkan kualitas nyeri adalah berkaitan dengan bagaimana nyeri itu sebenarnya dirasakan individu. Kualitas nyeri seringkali digambarkan dengan berdenyut, menyebar, menusuk, terbakar dan gatal (McGuire & Sheidler, 1993 dalam Ardinata, 2007).

4) Dimensi Kognitif

Dimensi ini berkaitan dengan suatu kepercayaan dan kebiasaan seseorang dalam berespon terhadap pengaruh nyeri. Penggunaan strategi koping kognitif dan keyakinan saat bernegosiasi dengan nyeri (Lewis, et al., 2011).

(14)

pengetahuan, sikap, dan keyakinan tentang rasa sakit dan terapi nyeri; dan preferensi pribadi serta strategi penanggulangan. Dalam dimensi ini juga termasuk tingkat dan kualitas kognisi individu yang berkaitan dengan dirinya atau kemampuannya untuk mentoleransi nyeri. Individu dengan fungsi kognitif terbatas atau yang mengalami gangguan, seperti bayi, orang-orang dengan ketidakmampuan belajar, pasien dengan gannguan jiwa, atau orang-orang dengan demensia, mungkin tidak memiliki kemampuan untuk melaporkan rasa sakit yang mereka alami.

(15)

5) Dimensi Perilaku

Dimensi ini berkaitan dengan suatu perilaku yang dapat diamati sebagai respon atau kontrol terhadap nyeri. Misalnya ekspresi wajah saat menahan nyeri seperti meringis atau mudah marah. Orang-orang yang tidak dapat berbicara atau mengkomunikasikan rasa nyerinya dapat mengalami perubahan perilaku seperti agitasi (Lewis, et al.,

2011).

Dimensi perilaku mencakup aspek perilaku nyeri termasuk yang dapat diamati atau diperlihatkan oleh individu yang menunjukkan rasa sakit yang sedang dialami, atau tindakan / upaya yang mungkin dilakukan untuk mengurangi rasa sakit. Perilaku seperti merintih, mengerang, wajah meringis, dan berjalan pincang mungkin merupakan indikator nyeri, sedangkan tindakan seperti berbaring, kegiatan yang tidak aktif, pijat, penggunaan obat-obatan, dan mencari perawatan kesehatan adalah menampilkan upaya untuk mengurangi rasa sakit Perilaku seperti tidur, istirahat, atau kelelahan yang terkait dengan fenomena nyeri juga sesuatu yang dapat diamati (NINR, 1994 dalam Sauls, 2002).

(16)

diperlihatkan seseorang dapat berupa guarding, bracing, grimacing, keluhan verbal, dan perilaku mengkonsumsi obat.

6) Dimensi Sosiokultural

Dimensi sosiokultural adalah dimensi lainnnya yang mempengaruhi nyeri seperti faktor demografi, usia dan jenis kelamin. Keluarga dan care giver juga dapat mempengaruhi. Penggunaan obat-obatan dan strategi koping juga mempengaruhi terhadap tingkat nyeri yang dirasakan oleh seseorang (Lewis, et al., 2011).

Persepsi individu dan tanggapan rasa sakit tentu dipengaruhi oleh keyakinan dan ajaran anggota keluarga serta kemampuan mereka untuk membayar biaya perawatan kesehatan. Daerah penting untuk menilai meliputi keluarga dan sosialnya, rumah dan lingkungan kerja, sikap dan keyakinan tentang rasa sakit. Tidak hanya variabel-variabel sosial budaya yang berkaitan dengan penderita tetapi juga variabel sosial budaya terkait dengan penyedia layanan akan mempengaruhi penilaian mereka dan manajemen dari pengalaman nyeri sebagai persepsi penderita dan penyedia layanan mungkin berbeda (NINR, 1994 dalam Sauls, 2002).

(17)

e. Tipe nyeri

Tipe nyeri dapat dikelompokkan berdasarkan waktu, tempat dan penyebabnya (Kozier et al., 2010)

1) Menurut waktu nyeri

Nyeri menurut waktu disini adalah lamanya nyeri yang dialami seseorang.

a) Nyeri akut

Nyeri akut adalah nyeri yang umumnya berlangsung dalam waktu singkat atau kurang dari enam bulan (Black & Hawks, 2009), memiliki awitan mendadak atau lambat tanpa memperhatikan intensitasnya (Kozier, et al., 2010). Sedangkan Ignatavicius dan Workman (2010) mendefinisikan nyeri akut adalah nyeri yang biasanya berlangsung singkat, terjadi secara tiba-tiba dan terlokalisasi dimana pasien umumnya dapat menjelaskan tentang nyeri yang dirasakan. Nyeri akut umumnya dapat diakibatkan oleh karena adanya trauma (seperti: fraktur, luka bakar, laserasi), luka akibat pembedahan, iskemia atau inflamasi akut. b) Nyeri kronik

(18)

berlangsung menetap atau nyeri yang berulang-ulang untuk periode yang tidak tentu, biasanya nyeri berlangsung lebih dari tiga bulan. 2) Menurut lokasi nyeri

Nyeri berdasarkan asal lokasi atau sumber nyeri dapat dibagi ke dalam:

a) Nyeri kutaneus

Nyeri yang berasal di kulit atau jaringan subkutan. Teriris kertas yang menyebabkan nyeri tajam dengan sedikit rasa terbakar adalah sebuah contoh nyeri kutaneus (Kozier, et al., 2010). Nyeri kutaneus dapat ditandai dengan onset mendadak dan tajam atau kualitas tetap atau dengan onset lambat dan kualitas seperti rasa terbakar, tergantung pada jenis serat saraf yang terlibat. Reseptor nyeri kutaneus berakhir tepat di bawah kulit dan karena konsentrasi tinggi dari ujung saraf, maka nyeri ini didefinisikan sebagai nyeri lokal dengan durasi pendek (Black & Hawks, 2009).

b) Nyeri somatic profunda

Nyeri yang berasal dari ligamen, tendon, tulang, pembuluh darah dan saraf. Nyeri somatik profunda menyebar dan cenderung berlangsung lebih lama dibandingkan nyeri kutaneus. Keseleo pada pergelangan kaki adalah sebuah contoh nyeri somatic profunda

(19)

Pengalaman nyeri terlokalisasi yang digambarkan sebagai rasa yang konstan, sakit dan menggerogoti (Gililland, 2008).

c) Nyeri viseral

Nyeri yang berasal dari stimulasi reseptor nyeri di rongga abdomen, kranium dan toraks. Nyeri viseral cenderung menyebar dan seringkali terasa seperti nyeri somatik profunda, yaitu rasa terbakar, nyeri tumpul atau merasa tertekan. Nyeri viseral seringkali disebabkan oleh peregangan jaringan, iskemia atau spasme otot (Kozier et al., 2010).

Nyeri viseral sangat sulit untuk dilokalisasi, dan beberapa cedera pada jaringan visceral terlihat seperti nyeri alih atau referred pain, di mana sensasi terlokalisir pada daerah yang tidak ada hubungannya dengan tempat terjadinya cedera (Black & Hawks, 2009). Nyeri viseral adalah nyeri yang dimediasi oleh nosiseptor. Nyeri yang digambarkan sebagai nyeri yang mendalam, sakit dan kolik. Sulit untuk dilokalisasi dan sering dirasa pada daerah cutaneus, yang mungkin lembut (Gililland, 2008).

3) Menurut tempat nyeri di rasakan

Nyeri berdasarkan tempat nyeri di rasakan dapat dibagi ke dalam: a) Nyeri menjalar

(20)

hanya dapat dirasakan di dada tetapi juga dirasakan di bahu kiri dan turun ke lengan (Kozier, et al., 2010).

b) Nyeri alih

Nyeri alih adalah nyeri yang di rasakan di satu bagian tubuh yang cukup jauh dari jaringan yang menyebabkan nyeri. Misalnya, nyeri yang berasal dari sebuah bagian visera abdomen dapat dirasakan di suatu area kulit yang jauh dari organ yang menyebabkan nyeri (Kozier, et al., 2010).

Nyeri alih adalah bentuk nyeri viseral dan dirasakan di daerah yang jauh dari tempat stimulus. Itu terjadi ketika serat saraf yang melayani area tubuh yang jauh dari tempat stimulus lewat di dekat stimulus. Sensasi nyeri alih mungkin intens, dan mungkin ada sedikit atau tidak ada rasa sakit pada titik stimulus berbahaya (Black & Hawks, 2009).

c) Nyeri tak tertahankan

Nyeri tak tertahankan adalah nyeri yang sangat sulit diredakan. Salah satu contohnya adalah nyeri akibat keganasan stadium lanjut (Kozier, et al., 2010).

d) Nyeri neuropatik

(21)

menyenangkan, dan dapat digambarkan sebagai rasa terbakar, nyeri tumpul dan nyeri tumpul yang berkepanjangan (Kozier, et al., 2010). Nyeri yang melibatkan sistem saraf pusat atau sistem saraf perifer (Gililland, 2008).

e) Nyeri bayangan

Nyeri bayangan adalah sensasi rasa nyeri yang dirasakan pada bagian tubuh yang telah hilang misal pada kaki yang telah di amputasi. Nyeri bayangan disebut juga dengan phantom pain

(Kozier, et al., 2010). Seseorang yang sudah menjalani amputasi bagian tubuh, dapat terus mengalami atau merasakan sensasi di bagian tubuh yang sudah diamputasi seolah-olah bagian tersebut masih ada atau melekat. Serabut saraf yang melayani bagian ini terus meluas ke bagian perifer, yang berakhir di lokasi sayatan (Black & Hawks, 2009).

f) Breakthrough pain

(22)

f. Pengkajian nyeri

Nyeri bersifat subjektif, karena itu pengkajian awal sangat penting berdasarkan laporan klien (Strong et al., 2002). Perlu diingat, bahwa kedalaman dan kompleksitas cara-cara untuk penilaian nyeri ini bervariasi. Tujuan dari pengkajian nyeri adalah mengidentifikasi penyebab nyeri, memahami persepsi klien tentang nyerinya, mendapatkan karakteristik nyeri, menentukan level nyeri yang bisa ditoleransi klien sehingga klien masih dapat memenuhi ADL-nya sesuai batas toleransi (Horlocker, 2006; Rospond, 2008). Idealnya, cara-cara penilaian ini mudah digunakan, artinya mudah dimengerti oleh pasien, dan valid, serta dapat dipercaya (Rospond, 2008; Jablonski & Ersek, 2009). Dan pada akhir tujuan akan menentukan implementasi tehnik manajemen nyeri tersebut (Smeltzer & Bare, 2002; Black & Hawsk, 2009).

Skala pengukuran nyeri menurut Agency for Health Care Policy and Research (AHCPR) (1992) untuk manajemen nyeri akut dan dikaji pada saat sekarang atas indikasi operasi, prosedur medis, dan trauma (Smeltzer dan Bare, 2002), terdiri dari:

1) Skala Analogue Visual / Visual Analogue Scale (VAS)

(23)

dialami oleh pasien. Rentang nyeri diwakili sebagai garis sepanjang 10 cm, dengan atau tanpa tanda pada setiap sentimeternya. Tanda pada kedua ujung garis ini dapat berupa angka atau pernyataan deskriptif. Ujung yang satu mewakili tidak ada nyeri (“no pain)”, sedangkan

ujung yang lainnya mewakili rasa nyeri yang terparah yang mungkin

terjadi (“worst possible pain”). Skala dapat dibuat vertical atau

horizontal. Manfaat utama VAS adalah mudah dan sederhana dalam penggunaan. VAS juga bisa diadaptasi menjadi skala hilangnya / redanya nyeri. Namun pada nyeri post operasi VAS tidak banyak bermanfaat karena pada VAS diperlukan koordinasi visual dan motorik serta kemampuan konsentrasi (Rospond, 2008).

Gambar 2.2 Visual Analogue Scale (VAS)

(Sumber : www.painedu.org/NIPC/painassessmentscale.html) 2) Skala Penilaian Numerik / Numeric Rating Scale (NRS)

(24)

sebagai tidak ada nyeri, skala 1-3 dideskripsikan sebagai nyeri ringan yaitu ada rasa nyeri (mulai terasa tapi masih dapat ditahan). Lalu skala 4-6 dideskripsikan sebagai nyeri sedang yaitu ada rasa nyeri, terasa mengganggu dengan usaha yang cukup kuat untuk menahannya. Skala 7-10 didekripsikan sebagai nyeri berat yaitu ada nyeri, terasa sangat mengganggu / tidak tertahankan sehingga harus meringis, menjerit atau berteriak (MacCeffery & Beebe, 1999).

Sama seperti VAS, NRS juga sangat mudah digunakan dan merupakan skala ukur yang sudah valid (Brunelli, et.al., 2010). Penggunaan NRS direkomendasikan untuk penilaian skala nyeri post operasi pada pasien berusia di atas 9 tahun (McCaffrey & Bebbe, 1999). NRS dikembangkan dari VAS dapat digunakan dan sangat efektif untuk pasien-pasien pembedahan, post anastesi awal dan sekarang digunakan secara rutin untuk pasien-pasien yang mengalami nyeri di unit post operasi (Rospond, 2008; Black & Hawsk, 2009; Brunelli, et.al., 2010).

Pada penelitian ini menggunakan NRS sebagai skala pengukuran untuk menilai nyeri. Reliabilitas NRS telah dilakukan ujinya oleh Brunelli, et.al. (2010), dengan membandingkan instrumen NRS, VAS, dan VRS untuk mengkaji nyeri pada 60 pasien. Hasil uji Cohen’s Kappa untuk instrument NRS adalah 0,86 (sangat baik).

(25)

Gambar 2.3 Numeric Rating Scale (NRS)

(Sumber : www.painedu.org/NIPC/painassessmentscale.html) 3) Wong-Baker Faces Rating Scale / Skala Wajah Wong-Baker

Skala wajah biasanya digunakan oleh anak-anak yang berusia kurang dari 7 tahun. Pasien diminta untuk memilih gambar wajah yang sesuai dengan nyerinya. Pilihan ini kemudian diberi skor angka. Skala wajah Wong-Baker menggunakan 6 kartun wajah yang menggambarkan wajah tersenyum, wajah sedih, sampai menangis. Dan pada tiap wajah ditandai dengan skor 0 sampai dengan 5. Skala wajah Wong-Baker bisa dilihat pada gambar 2.5 di bawah ini :

Gambar 2.4 Wong-Baker Faces Rating Scale

(Sumber : www.painedu.org/NIPC/painassessmentscale.html) g. Manajemen nyeri

1) Farmakologi

(26)

Penatalaksanaan farmakalogi adalah pemberian obat-obatan untuk mengurangi nyeri. Obat-obatan yang diberikan dapat digolongkan kedalam:

a) Analgesik opioid (narkotik)

Analgesik opioid terdiri dari turunan opium, seperti morfin dan kodein. Opioid meredakan nyeri dan memberi rasa euforia lebih besar dengan mengikat reseptor opiat dan mengaktivasi endogen (muncul dari penyebab di dalam tubuh) penekan nyeri dalam susunan saraf pusat. Perubahan alam perasaan dan sikap serta perasaan sejahtera membuat individu lebih nyaman meskipun nyeri tetap dirasakan (Kozier, et al., 2010). Opioid adalah obat yang aman dan efektif. Obat-obatan ini bekerja dengan cara meningkatkan sensitivitas dan durasi yang lebih lama dalam menurunkan nyeri yang dialami seseorang (Closs, 1994 dalam Brigss, 2002).

b) Obat-obatan anti-inflamasi nonopioid/nonsteroid (non steroid

antiinflamation drugs/NSAID)

(27)

prostaglandin di tempat cedera (Kozier, et al., 2010). Non opioid dan NSAID memiliki peran yang berguna dalam manajemen nyeri, khususnya pada kondisi-kondisi gangguan muskuloskletetal. Obat-obatan yang biasanya digunakan diantaranya adalah ibuprofen, naproxen dan diclofenac (Closs, 1994 dalam Brigss, 2002).

c) Analgesik penyerta

Analgesik penyerta adalah sebuah obat yang bukan dibuat untuk penggunaan analgesik tetapi terbukti mengurangi nyeri kronik dan kadang kala nyeri akut, selain kerja utamanya. Misalnya, sedatif ringan atau penenang dapat membantu mengurangi ansietas, stres dan ketegangan sehingga pasien dapat tidur dengan baik di malam hari. Anti depresan digunakan untuk mengatasi gangguan depresi atau gangguan alam perasaan yang mendasari tetapi dapat juga meningkatkan strategi nyeri yang lain. Antikonvulsan, biasanya diresepkan untuk mengatasi kejang, dapat berguna dalam mengendalikan neuropati yang menyakitkan (Kozier, et al., 2010).

2) Non farmakologi

(28)

musik, bimbingan imaginasi, biofeedback, distraksi, sentuhan terapeutik, meditasi, hipnosis, humor dan magnet). Menurut Kozier, et al., (2010) menyatakan bahwa nyeri dapat juga diatasi dengan beberapa cara diantaranya adalah:

a) Intervensi fisik

Intervensi fisik bertujuan menyediakan kenyamanan, mengubah respon fisiologis, dan mengurangi rasa takut yang berhubungan dengan imobilitas akibat rasa nyeri atau keterbatasan aktivitas (Kozier, et al., 2010). Intervensi fisik mencakup stimulasi kutaneus, imobilisasi, stimulasi saraf elektrik transkutan (TENS) dan akupunktur.

(1) Stimulasi kutaneus

(29)

Stimulasi kutaneus dapat memberikan peredaan nyeri sementara yang efektif. Stimulasi kutaneus mendistraksi klien dan memfokuskan perhatian pada stimulus taktil, mengalihkan dari sensasi menyakitkan sehingga mengurangi persepsi nyeri. Selain itu, stimulasi kutaneus juga dipercaya dapat menghasilkan pelepasan endorfin yang menghambat transmisi stimulus nyeri serta menstimulasi serabut saraf sensorik A-beta berdiameter besar, sehingga menurunkan transmisi impuls nyeri melalui serabut A-delta dan C yang lebih kecil (Kozier,

et al., 2010). Tekhnik stimulasi kutaneus terdiri dari: (a) Pijat

Secara naluri, manusia merespon sakit dan nyeri dengan menggosok-gosok area tersebut. Terapi pijat mengembangkan reaksi ini menjadi cara untuk menghilangkan rasa sakit dan ketegangan (Pustaka Kesehatan Populer, 2009).

(30)

dan limfosit serta memproduksi sel pembunuh secara alami (Corbin, 2005; Calenda, 2006 dalam Gatlin & Schulmeister, 2007).

Pijat adalah tindakan kenyamanan yang dapat membantu relaksasi, menurunkan ketegangan otot dan dapat meringankan ansietas karena kontak kontak fisik yang menyampaikan perhatian. Pijat juga dapat menurunkan intensitas nyeri dengan meningkatkan sirkulasi superfisial ke area nyeri (Kozier, et.al., 2010).

(b) Aplikasi panas atau dingin

Aplikasi panas dan dingin dapat dilakukan dengan mandi air hangat, bantalan panas, kantung es, pijat es, kompres panas atau dingin dan mandi rendam hangat atau dingin. Aplikasi ini secara umum meredakan nyeri dan meningkatkan penyembuhan jaringan yang luka (Kozier, et al., 2010).

Aplikasi panas atau dingin ke daerah yang menyakitkan bisa membantu mengurangi rasa sakit. Aplikasi ini bekerja mengatasi nyeri dengan cara mengurangi kepekaan atau sensitivitas terhadap rasa sakit (University of Missouri, 2001).

(31)

efektif, keduanya mudah didapat dan mudah untuk dilakukan. Panas dan dingin, keduanya dapat menghasilkan analgesia bagi nyeri. Terapi panas meningkatkan aliran darah, meningkatkan metabolisme jaringan, nenurunkan vasomotor tone, dan meningkatkan viskoelastisitas koneksi jaringan, menjadikannya efektif untuk mengatasi kekakuan sendi dan nyeri. Penggunaan panas sebagai terapi membutuhkan monitoring khusus, karena dapat menyebabkan terjadinya peningkatan inflamasi dan pembengkakan atau edema (DeLaune & Ladner, 2011).

(32)

(c) Akupresur dan akupunktur

Akupresur adalah tekhnik penyembuhan bangsa Cina kuno yang didasarkan pada prinsip pengobatan tradisonal Asia. Cara kerjanya mirip akupunktur dan sering disebut akupunktur tanpa jarum (Pustaka Kesehatan Populer, 2009). Terapis menekankan jari pada titik-titik yang berhubungan dengan banyak titik yang digunakan dalam akupunktur (Kozier, et al., 2010). Rangsangan pada titik akupoin dipercaya akan membuka sumbatan di meridian dan memperbaiki aliran energi, menghilangkan nyeri, dan penyakit (Pustaka Kesehatan Populer, 2009).

Sementara itu, Akupunktur adalah suatu tindakan penusukan jarum-jarum kecil ke titik akupoin (Pustaka Kesehatan Populer, 2009). Akupunktur merupakan intervensi kompleks yang mungkin berbeda untuk tiap-tiap pasien yang berbeda dengan keluhan utama yang sama, lama perawatan dan titik-titik akupunktur yang digunakan dapat bervariasi antara individu-individu selama pengobatan (NIHM, 1997).

(33)

kedua yaitu teori endorfin, endorfin mempunyai efek pembunuh nyeri yang mirip obat, akupunktur menyebabkan endorfin dilepaskan tubuh, berjalan ke otak dan di otak endorfin memblokir nyeri, jadi akupunktur mampu menimbulkan relaksasi dan perasaan sehat (Pustaka Kesehatan Populer, 2009).

Berman, Lao, Langenberg, Lee, Gilpin dan Hochberg (2004) melakukan penelitian untuk mengidentifikasi keefektifan akupunktur sebagai terapi tambahan yang dapat digunakan untuk mengatasi nyeri pada sendi lutut (n = 570). Penelitian ini menemukan bahwa terdapat perbedaan intensitas nyeri yang signifikan pada responden sesudah menjalani terapi akupunktur selama 26 minggu dengan perbedaan mean– 2,5 (p = 0.001).

(d) Stimulasi kolateral

(34)

nyeri dirasakan di bagian tubuh yang telah tidak ada atau nyeri bayangan (Kozier, et al., 2010).

(2) Imobilisasi

Mengimobiliasi atau membatasi pergerakan bagian tubuh yang menyakitkan misal pada artritis sendi, trauma ekstremitas dapat membantu mengatasi episode nyeri akut. Bebat atau alat penyangga harus menahan sendi pada posisi fungsi yang optimum dan harus digerakkan secara teratur sesuai dengan protokol (Kozier, et al., 2010).

Malanga & Nadler (1999) menjelaskan bahwa bed rest atau istirahat dalam pengobatan LBP masih kontroversial. Walaupun mungkin ada beberapa efek yang menguntungkan melalui modulasi nyeri dan penurunan tekanan intradiskal ketika pasien istirahat di tempat tidur, bed rest ternyata juga memiliki banyak efek merugikan pada tulang, jaringan ikat, otot dan kebugaran kardiovaskular.

(35)

istirahat di tempat tidur dapat disarankan untuk pasien dengan LBP.

(3) Stimulasi saraf elektrik transkutan (TENS)

TENS adalah sebuah metode pemberian stimulasi elektrik bervoltase rendah secara langsung ke area nyeri yang telah teridentifikasi, ke titik akupresur, di sepanjang kolumna spinalis. Stimulasi kutaneus dari unit TENS diperkirakan mengkativasi serabut saraf berdiameter besar yang mengatur impuls nosiseptif di sistem saraf tepi dan sistem saraf pusat sehingga menghasilkan penurunan nyeri (Kozier, et al., 2010). Menurut Queensland Spinal Cord Injuries Service atau QSCIS (2013) TENS tidak mengobati penyebab rasa sakit tetapi bekerja pada persepsi atau sensasi rasa sakit. TENS bekerja melalui dua cara yaitu memblokir sinyal nyeri impuls listrik sebelum mereka melakukan perjalanan ke otak dan memicu pelepasan penghilang rasa sakit dari dalam tubuh sendiri yaitu zat kimia yang disebut endorfin.

(4) Intervensi pikiran-perilaku (kognitif-perilaku)

(36)

mengajarkan klien dan memodifikasi sikap dan perilaku klien. Ada banyak pendekatan nonfarmakologi yang menjadi bagian penting dari manajemen nyeri serta dapat digunakan bersamaaan dengan pemakaian analgesik yang tepat. Tujuan dari intervensi ini adalah menolong klien agar dapat mengontrol secara keseluruhan nyeri yang dirasakannya (DeLaune & Ladner, 2011).

2. Nyeri Sendi

a. Pengertian

Nyeri adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan yang nyata atau yang berpotensial untuk menimbulkan kerusakan jaringan (Dharmady, 2004). Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan eksistensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007).

Sendi adalah pertemuan antara dua tulang atau lebih, sendi memberikan adanya segmentasi pada rangka manusia dan memberikan kemungkinan variasi pergerakan diantara segmen-segmen serta kemungkinan variasi pertumbuhan (Brunner & Sudarth, 2002).

(37)

b. Etiologi

Penyebab utama penyakit nyeri sendi masih belum diketahui secara pasti. Biasanya merupakan kombinasi dari faktor genetik, lingkungan, hormonal dan faktor sistem reproduksi. Namun faktor pencetus terbesar adalah faktor infeksi seperti bakteri, mikroplasma dan virus. Ada beberapa teori yang dikemukakan sebagai penyebab nyeri sendi yaitu: 1) Mekanisme imunitas.

Penderita nyeri sendi mempunyai auto anti body di dalam serumnya yang di kenal sebagai faktor rematoid anti bodynya adalah suatu faktor antigama globulin (IgM) yang bereaksi terhadap perubahan IgG titer yang lebih besar 1:100, Biasanaya dikaitkan dengan vaskulitis dan prognosis yang buruk.

2) Faktor metabolik.

Faktor metabolik dalam tubuh erat hubungannya dengan proses autoimun.

3) Faktor genetik dan faktor pemicu lingkungan.

(38)

4) Faktor usia.

Usia merupakan variabel penting dalam mempengaruhi nyeri. Perbedaan

tahap perkembangan diantara kelompok umur tersebut mempengaruhi

respon terhadap nyeri. Hal ini menunjukkan bahwa usia dapat

mempengaruhi seseorang terhadap nyeri yang dialaminya (Potter & Perry,

2010)

5) Cedera olahraga. Olahraga yang biasanya menyebabkan dislokasi adalah sepak bola dan hoki, serta olahraga yang beresiko jatuh misalnya : terperosok akibat bermain ski, senam, volley. Pemain basket dan keeper pemain sepak bola paling sering mengalami pada tangan dan jari-jari karena secara tidak sengaja menangkap bola dari pemain lain.

6) Trauma yang tidak berhubungan dengan olahraga. Benturan keras pada sendi saat kecelakaan motor.

7) Terjatuh. Terjatuh dari tangga atau terjatuh saat berdansa diatas lantai yang licin.

8) Patologis. Terjadinya „tear‟ ligament dan kapsul articuler yang

merupakan komponen vital penghubung tulang c. Patofisiologi

Pemahaman mengenai anatomi normal dan fisiologis persendian

(39)

dapat digerakkan. Pada sendi sinovial yang normal. Kartilago artikuler membungkus ujung tulang pada sendi dan menghasilkan permukaan yang licin serta ulet untuk gerakan. Membran sinovial melapisi dinding dalam kapsula fibrosa dan mensekresikan cairan kedalam ruang antara-tulang. Cairan sinovial ini berfungsi sebagai peredam kejut (shock absorber) dan pelumas yang memungkinkan sendi untuk bergerak secara bebas dalam arah yang tepat. Sendi merupakan bagian tubuh yang sering terkena inflamasi dan degenerasi yang terlihat pada penyakit nyeri sendi.

Meskipun memiliki keaneka ragaman mulai dari kelainan yang terbatas pada satu sendi hingga kelainan multi sistem yang sistemik, semua penyakit reumatik meliputi inflamasi dan degenerasi dalam derajat tertentu yang biasa terjadi sekaligus. Inflamasi akan terlihat pada persendian yang mengalami pembengkakan. Pada penyakit reumatik inflamatori, inflamasi merupakan proses primer dan degenerasi yang merupakan proses sekunder yang timbul akibat pembentukan pannus (proliferasi jaringan sinovial). Inflamasi merupakan akibat dari respon imun.

(40)

kendati faktor-faktor imunologi dapat pula terlibat (Brunner & Sudarth, 2002).

d. Manifestasi Klinis

Ada banyak sekali sebab mengapa persendian sakit, nyeri sendi dapat merupakan gejala tunggal atau menjadi bagian banyak gejala lain yang dialami. Manifestasi nyeri sendi dapat bervariasi, seperti kelembutan atau tidak nyaman ketika di sentuh, pembengkakan, peradangan, kekakuan, atau pembatasan gerakan.

e. Penatalaksanaan

Sendi yang meradang di istirahatkan selama eksaserbasi, periode- periode istirahat setiap hari, kompres panas dan dingin bergantian, aspirin, obat anti-inflamasi nonsteroid lainnya, atau steroid sistemik, pembedahan untuk mengeluarkan membran sinovium (Corwin, 2001)

3. Cryotherapy

a. Pengertian

Cryotherapy (terapi dingin) adalah pemanfaatan dingin untuk mengoati nyeri atau gangguan kesehatan lainnya. Terapi dingin dapat dipakai dapat dipakai dengan beberapa cara, seperti menggunakan es atau

Cold Baths. Terapi ini dipakai pada saat respon peradangan masih sangat nyata (cedera akut).

Cold therapy adalah pemanfaatan dingin untuk mengobati nyeri dan mengurangi gejala peradangan lainnya. Istilah cryotherapy

(41)

mengunakan cairan nitrogen yang digunakan sebagai anesthetic-analgesia (Swenson et al., 1996). Pada terapi dingin, digunakan modalitas terapi yang dapat menyerap suhu jaringan sehingga terjadi penurunan suhu jaringan melewati mekanisme konduksi. Efek pendinginan yang terjadi tergantungjenis aplikasi terapi dingin, lama terapi dan konduktivitas. Pada dasarnya agar terapi dapat efektif, lokal cedera harus dapat diturunkan suhunya dalam jangka waktu yang mencukupi (Bleakley et al., 2004).

Inti dari terapi dingin adalah menyerap kalori area lokal cedera sehingga terjadi penurunan suhu. Berkait dengan hal ini, jenis terapi dengan terapi es basah lebih efektif menurunkan suhu dibandingkan es dalam kemasan mengingat pada kondisi ini lebih banyak kalori tubuh yang dipergunakan untuk mencairkan es (Ernstet al., 1994).

(42)

b. Jenis Aplikasi Cryotherapy

Jenis aplikasi cryotherapy menurut Intan (2007) antara lain: 1) Es Atau Ice Packs

Es dalam pemakaian terapi sebaiknya tidak kontak langsung dengan kulit dan digunakan dengan perlindungan seperti dengan handuk. Indikasi terapi es adalah pada bagian otot lokal seperti tendon, bursae, maupun bagian - bagian Myofacial trigger point.

Terapi biasanya diberikan selama 10 sampai 20 menit. 2) Vapocoolant Spray

Vapocoolant Spray merupakan semprotan yang berisi

fluoromethane atau ethylchloride. Semprotan ini sering digunakan untuk mengurangi nyeri akibat spasme otot serta meningkatkan range of motion (ROM). Terdapat beberapa prosedur dalam terapi ini, yakni semprotan membentuk sudut 30 derajat dengan kulit dengan jarak 30 sampai 50 cm dari kulit. Penyemprotan dilakukan dari arah proximal ke distal otot, dengan kecepatan semprotan 10 cm/detik. Penyemprotan dapat dilakukan 2 - 3 kali pengulangan, prosedur ini penting dilakukan untuk menghindari Frozen Bite.

3) Cold Baths

(43)

kompetisi. Proses ini berlangsung selama 10 sampai 15 menit. Ketika nyeri berkurang, terapi dihentikan dan dilanjutkan terapi lain seperti masase atau stretching. Pada saat nyeri kembali dirasakan, dapat dilakukan perendaman kembali. Terapi dingin berpotensi untuk meningkatkan penjedalan kolagen, konsekuensinya aktivitas fisik harus dilakukan secara bertahap pasca terapi dingin

4) Cold Pack

Cold pack dapat diperoleh atau dibuat dengan mudah. Jenis yang biasanya dijual biasanya mengandung silica gel dan tersedia dalam berbagai ukuran dan bentuk. Cold pack sebaiknya disimpan di tempat yang dingin sekitar -50C setidaknya 2 jam sebelum digunakan.

Cold pack dapat memprtahankan suhunya yang rendah selama 15 hingga 20 menit.

5) Ice Massage

(44)

ice massage dihentikan bila sudah timbulan aesthesia relatif pada kulit bila kulit dikenai es.

c. Cedera Cryotherapy

Beberapa cedera yang dapat ditangani dengan Cryotherapy menurut Intan (2007) antara lain:

1) Cedera (Sprain, Strain, dan kontusi) 2) Sakit Kepala

3) Gangguan Temporomadibular 4) Testicular dan Scrotal Pain 5) Nyeri post operasi

6) Fase akut arthritis 7) Tendinitis dan Bursitis

8) Carpal Tunnel Syndrome

9) Nyeri Lutut 10) Nyeri Sendi 11) Nyeri perut d. Fisiologis Cryotherapy

(45)

Respon hunting merupakan fase terjadinya vasodilatasi selama 4 sampai 6 menit. Respon hunting terjadi untuk mencegah terjadinya kerusakan jaringan akibat dari jaringan mengalami anoxia jaringan. Selain menimbulkan vasokontriksi, sensai dingin juga menurunkan eksitabilitas akhiran saraf bebas sehingga menurunkan kepekaan terhadap rangsang nyeri. Aplikasi dingin juga dapat mengurangi tingkat metabolisme sel sehingga limbah metabolisme menjadi berkurang. Penurunan limbah metabolisme pada akhirnya dapat menurunkan spasme otot. Terapi dingin biasanya digunakan pada 24 sampai 48 jam setelah terjadinya cedera dan dipakai untuk mengurangi sakit dan pembengkakan.)

4. Kompres Dingin

a. Pengertian terapi dingin

Terapi dingin disebut juga dengan cryotherapy. Cryotherapy adalah pemanfaatan dingin untuk mengobati nyeri atau gangguan kesehatan lainnya (Arovah, 2010). Terapi dingin adalah penerapan bahan atau alat yang dingin pada bagian tubuh yang mengalami nyeri. Terapi dingin merupakan terapi yang sederhana dan merupakan salah satu metode penyembuhan non farmakologi yang penting untuk mengatasi nyeri (Demir, 2012).

b. Efek fisiologis terapi dingin

(46)

Dingin menyebabkan vasokonstriksi lokal dan viskositas darah meningkat. Aliran darah menurun dan metabolisme yang lebih lambat menumpulkan respon inflamasi, membatasi pembengkakan, mengurangi konsumsi oksigen, dan mengontrol perdarahan (Metules, 2007).

Inti dari terapi dingin adalah menyerap kalori area lokal cedera sehingga terjadi penurunan suhu. Semakin lama waktu terapi, penetrasi dingin semakin dalam. Pada umumnya terapi dingin pada suhu 3,5 °C selama 10 menit dapat mempengaruhi suhu sampai dengan 4 cm dibawah kulit. Jaringan otot dengan kandungan air yang tinggi merupakan konduktor yang baik sedangkan jaringan lemak merupakan isolator suhu sehingga menghambat penetrasi dingin (Ganong, 2009).

Pada terapi dingin, digunakan modalitas terapi yang dapat menyerap suhu jaringan sehingga terjadi penurunan suhu jaringan melewati mekanisme konduksi. Efek pendinginan yang terjadi tergantung jenis aplikasi terapi dingin, lama terapi dan konduktivitas. Pada dasarnya agar terapi dapat efektif, lokal cedera harus dapat diturunkan suhunya dalam jangka waktu yang mencukupi (Arovah, 2010).

c. Efek Terapi Dingin

Menurut Arovah (2010), efek dari terapi dingin diantaranya adalah: 1) Mengurangi suhu daerah yang sakit, membatasi aliran darah dan

(47)

2) Mengurangi sensitivitas dari akhiran syaraf yang berakibat terjadinya peningkatan ambang batas rasa nyeri.

3) Mengurangi kerusakan jaringan dengan jalan mengurangi metabolisme lokal sehingga kebutuhan oksigen jaringan menurun. 4) Mengurangi tingkat metabolisme sel sehingga limbah metabolisme

menjadi berkurang. Penurunan limbah metabolisme pada akhirnya dapat menurunkan spasme otot. Selain itu menurut D‟Archy (2007) terapi dingin bekerja dengan cara menurunkan konduksi saraf, menghambat iritasi kulit, vasokonstriksi pembuluh darah, merelaksasi otot pada area yang sakit serta mengurangi aktivitas metabolik baik secara sistemik maupun lokal.

5. Pengaruh Cryotherapy Terhadap Penurunan Nyeri Dislokasi Sendi

Pemain Futsal

(48)

standar (n = 46) atau aplikasi es intermiten (n = 43). Penggunaan

cryotherapy standar di seluruh kelompok dengan pemberian ice pack

dengan suhu 0°C. Nyeri, dan pembengkak tercatat pada awal minggu setelah cedera. Penelitian ini dilakukan dengan randomised controlled study

(RCT).

Cryotherapy (terapi dingin) adalah pemanfaatan dingin untuk mengoati nyeri atau gangguan kesehatan lainnya. Terapi dingin dapat dipakai dapat dipakai dengan beberapa cara, seperti menggunakan es atau

(49)

biasanya digunakan pada 24 sampai 48 jam setelah terjadinya cedera dan dipakai untuk mengurangi sakit dan pembengkakan

B.KERANGKA TEORI

Bagan 2.1. Kerangka Teori

Sumber: Intan (2007), Corwin (2001), Brunner & Sudarth (2002)

Cryotherapy

Penatalaksanaan Nyeri Sendi kompres panas dan dingin

bergantian (Cryotherapy), aspirin, obat anti-inflamasi nonsteroid lainnya, atau steroid sistemik, pembedahan untuk mengeluarkan membran sinovium

Penyebab Nyeri:

1. Mekanisme imunitas 2. Faktor metabolik

3. Faktor genetik dan faktor pemicu lingkungan 4. Faktor Usia

5. Cedera Olahraga 6. Trauma

7. Terjatuh 8. Patologis

Jenis-Jenis Nyeri: 1. Nyeri berdasarkan

waktu

2. Nyeri berdasarkan lokasi 3. Nyeri berdasarkan

tempat

Nyeri Sendi Fungsi Cryotherapy

1) Cedera (Sprain, Strain, dan kontusi) 2) Sakit Kepala

3) Gangguan Temporomadibular 4) Testicular dan Scrotal Pain 5) Nyeri post operasi

6) Fase akut arthritis 7) Tendinitis dan Bursitis

8) Carpal Tunnel Syndrome

(50)

C.KERANGKA KONSEP

Kerangka konsep merupakan model konseptual yang berkaitan dengan bagaimana peneliti menyusun teori/menghubungkan secara logis beberapa faktor yang dianggap penting untuk masalah (Notoatmodjo, 2010). Kerangka konsep dalam penelitian ini adalah:

Keterangan:

: Variabel yang diteliti

: Variabel yang tidak diteliti

: Arah penelitian

Bagan 2.2 Kerangka Konsep

D.HIPOTESIS

Hipotesis dalam suatu penelitian berarti jawaban sementara penelitian, patokan duga atau dalil sementara, yang kebenarannya akan dibuktikan dalam penelitian tersebut. Setelah melalui pembuktian, maka hipotesis dapat benar atau salah, bisa diterima bisa ditolak (Notoatmodjo, 2010). Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah ada pengaruh kompres dingin terhadap penurunan

Penatalaksanaan Nyeri Sendi aspirin, obat anti-inflamasi nonsteroid lainnya, atau steroid sistemik, pembedahan untuk mengeluarkan membran sinovium

Cryotherapy

(Kompres Dingin)

Nyeri Sendi Sesudah Terapi Nyeri Sendi Sebelum

(51)

Gambar

Gambar 2.1 Mekanisme Nyeri
Gambar 2.2 Visual Analogue Scale (VAS)
Gambar 2.4 Wong-Baker Faces Rating Scale

Referensi

Dokumen terkait

Pekerjaan lapangan adalah suatu proses yang dilakukan secara sistematis dalam mengumpulkan bukti audit yang objektif mengenai operasi yang diaudit, kemudian

3.2 Upaya Intervensi Perilaku yang Dilakukan Manajemen pada Pekerja Sabila Craft Upaya intervensi perilaku merupakan usaha yang dilakukan manajemen dalam menciptakan, mengarahkan,

Pada langkah kedua, host lain menerima paket, mencatat Sequence Number x dari client, dan membalas dengan sebuah acknowledgment (ACK flag set).. Kumpulan bit

Selanjutnya bagi anak-anak keturunan Cina yang belum dewasa pada saat Undang-undang Nomor 2 Tahun 1958 berlaku di mana status mereka adalah asing karena

Selain itu upaya yang dilakukan oleh Dinas Koperasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah Kabupaten Bengkalis dalam optimalisasi peran koperasi di Kecamatan Bengkalis adalah

Sub model berfungsi untuk mengetahui tingkat persediaan yang ada di gudang apabila kebutuhan permintaan periode sekarang telah terpenuhi. Input dari sub model ini

Capaian kinerja Pusat Sains Antariksa tahun 2016 dilakukan selama 12 bulan dengan cara Pelaporan setiap triwulan untuk capaian jumlah model pemanfaatan; Pelaporan setiap

Paleontologi berasal dari bahasa yunani, yaitu paleon yang berarti tua atau yang berkaitan dengan masa lalu ontos berarti kehidupan dan logos yang berarti ilmu atau pembelajaran,