• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMERINTAH KABUPATEN MAGETAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGETAN NOMOR TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN HUTAN HAK DAN PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMERINTAH KABUPATEN MAGETAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGETAN NOMOR TAHUN 2010 TENTANG PEMANFAATAN HUTAN HAK DAN PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

PEMERINTAH KABUPATEN MAGETAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGETAN

NOMOR TAHUN 2010 TENTANG

PEMANFAATAN HUTAN HAK DAN PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI MAGETAN,

Menimbang : a. bahwa keberadaan sumberdaya hutan memiliki potensi untuk meningkatkan daya dukung dan memberi manfaat bagi pembangunan dan kesejahteraan daerah apabila dikelola secara optimal sesuai peraturan perundang-undangan;

b. bahwa dalam rangka pelaksanaan kewenangan daerah di bidang kehutanan menyangkut pemanfaatan hutan hak dan penatausahaan hasil hutan di daerah diperlukan pengaturan;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a, dan b, perlu membentuk peraturan daerah tentang pemanfaatan hutan hak dan penatausahaan hasil hutan.

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kabupaten di lingkungan Propinsi Jawa Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 41) sebagaimana telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 2 Tahun 1965 ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2730 );

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3234); 3. Undang–Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber

Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419);

4. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 3888) sebagaimana telah di ubah dengan Undang-Undang nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, tambahan Lembaran Negara Nomor 4412);

5. Undang–Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4389);

(2)

6. Undang–Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4423) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4844);

7. Undang-Undang nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5059);

8. Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1995 tentang Ijin Usaha Industri (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3596);

9. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838);

10. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 Tentang Perencanaan Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4452);

11. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4453);

12. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4593);

13. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4696) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 (Lembaran Negara Tahun 2008 nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4814);

14. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4737);

15. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan Dan Fungsi Kawasan Hutan (Lembaran Negara Tahun 2010 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5097);

16. Peraturan Daerah Kabupaten Magetan Nomor Nomor 4 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kabupaten Magetan (Lembaran Daerah Kabupaten Magetan Tahun 2008 Nomor 4);

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN MAGETAN dan

BUPATI MAGETAN MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PEMANFAATAN HUTAN HAK DAN PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN

(3)

BAB I

KETENTUAN UMUM Pasal 1

Dalam peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan : 1. Daerah adalah Kabupaten Magetan.

2. Bupati adalah Bupati Magetan.

3. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Magetan.

5. Dinas Kehutanan dan Perkebunan yang selanjutnya disingkat Dinas adalah Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Magetan. 6. Badan adalah suatu bentuk badan usaha yang meliputi perseroan

terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, persekutuan, perkumpulan firma, kongsi, koperasi, yayasan atau organisasi yang sejenis, lembaga dana pensiun, bentuk usaha tetap, serta bentuk badan usaha lainnya. 7. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan

berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.

8. Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah.

9. Lahan masyarakat adalah lahan perorangan atau masyarakat di luar kawasan hutan yang dimiliki/digunakan oleh masyarakat berupa pekarangan, lahan pertanian, dan kebun.

10. Hutan Negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah.

11. Hasil hutan adalah benda–benda hayati beserta turunannya yang dihasilkan dari kawasan hutan negara, hutan rakyat, hasil perkebunan berupa kayu, non kayu, flora, dan fauna.

12. Hasil hutan lelang adalah hasil hutan kayu/bukan kayu yang berasal dari pelelangan sah.

13. Hasil hutan kayu yang berasal dari hutan hak atau lahan masyarakat yang selanjutnya disebut kayu rakyat adalah kayu bulat atau kayu olahan yang berasal dari pohon yang tumbuh dari hasil budidaya dan atau tumbuh secara alami di atas hutan hak dan/atau lahan masyarakat.

14. Kayu bulat rakyat adalah kayu dalam bentuk gelondong yang berasal dari pohon yang tumbuh di atas hutan hak dan/atau lahan masyarakat.

15. Kayu olahan rakyat adalah kayu dalam bentuk olahan yang berasal dari pohon yang tumbuh di atas hutan hak dan/atau lahan masyarakat antara lain berupa kayu gergajian, kayu pacakan, dan arang.

16. Penatausahaan hasil hutan adalah kegiatan yang meliputi penatausahaan tentang perencanaan produksi, penebangan atau pemanenan, pengukuran dan pengujian, pengumpulan, pengangkutan/peredaran, pengolahan, dan pelaporan.

17. Surat keterangan sahnya hasil hutan adalah dokumen-dokumen yang merupakan bukti legalitas hasil hutan pada setiap segmen kegiatan dalam penatausahaan hasil hutan.

(4)

18. Ijin adalah dokumen yang dikeluarkan oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan atas nama Bupati yang meliputi Ijin Penebangan Pohon, Ijin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu dengan kapasitas sampai dengan 2000 m³, Ijin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Bukan Kayu, Ijin Pemanfaatan Jasa Lingkungan, dan Ijin Pemanfaatan Flora dan Fauna (Pemeliharaan sarang burung walet/sriti).

19. Industri Primer Hasil Hutan Kayu yang selanjutnya disingkat IPHHK adalah Industri yang mengolah kayu bulat menjadi barang setengah jadi atau barang jadi.

20. Kapasitas produksi sampai dengan 2000 m³ (dua ribu meter kubik) per tahun adalah jumlah total kapasitas produksi dari satu atau beberapa jenis produksi IPHHK dari satu pemegang ijin yang terletak di satu lokasi tidak lebih dari 2000 m³ (dua ribu meter kubik) per tahun.

21. Perluasan Industri Primer Hasil Hutan yang selanjutnya disebut perluasan adalah perubahan kapasitas produksi dan/atau perubahan jenis produksi yang menyebabkan jumlah total kapasitas produksi bertambah dari yang telah diijinkan.

22. Industri Primer Hasil Hutan Bukan Kayu yang selanjutnya disingkat IPHHBK adalah pengolahan bahan baku bukan kayu yang dipungut dari hutan, meliputi antara lain: rotan, sagu, nipah, bambu, kulit kayu, daun, buah atau biji, getah, dan hasil hutan ikutan antara lain berupa arang kayu.

23. Pejabat Penyidik Pegawai Negeri sipil yang selanjutnya disingkat PPNS adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang oleh Undang-Undang diberi wewenang khusus penyidikan tindak pidana di bidang kehutanan.

24. Penyidikan tindak pidana di bidang kehutanan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disebut Penyidik, untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang kehutanan yang terjadi serta menemukan tersangkanya.

BAB II TUJUAN

Pasal 2

Tujuan pembentukan Peraturan Daerah tentang Pemanfaatan Hutan Hak dan Penatausahaan Hasil Hutan adalah sebagai dasar pijakan penyelenggaraan urusan dan kewenangan mengenai pengelolaan hutan dan penatausahaan hasil hutan di Kabupaten Magetan.

BAB III

STATUS DAN FUNGSI HUTAN HAK Pasal 3

(1) Tanah yang telah dibebani hak atas tanah dapat ditunjuk sebagai hutan hak menurut fungsinya.

(2) Hutan hak dan lahan masyarakat dibuktikan dengan:

a. Sertifikat hak milik, atau leter c, atau girik, atau surat keterangan lain yang diakui oleh Badan Pertanahan Nasional sebagai Dasar Kepemilikan lahan; atau

(5)

b. Sertifikat hak pakai; atau

c. Surat dokumen lainnya yang diakui sebagai bukti penguasaan tanah atau bukti kepemilikan lainnya.

(3) Hutan hak mempunyai 3 (tiga) fungsi yaitu:

a. fungsi konservasi yaitu hutan hak yang berada di kawasan lindung yang berfungsi konservasi;

b. fungsi lindung yaitu hutan hak yang berada di kawasan lindung; dan

c. fungsi produksi yaitu hutan hak yang berada di kawasan budidaya.

BAB IV

WEWENANG, KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH DAERAH

Bagian Kesatu Wewenang

Pasal 4 Kewenangan Pemerintah Daerah meliputi :

a. Pengembangan Hutan Hak dan Aneka Usaha Kehutanan meliputi penyusunan Rencana Pengembangan dan Pembinaan Pengelolaan.

b. Pemberdayaan masyarakat setempat di dalam dan di sekitar hutan meliputi bimbingan masyarakat, pengembangan kelembagaan, pengembangan usaha, dan kemitraan masyarakat setempat.

c. Pelaksanaan rehabilitasi hutan dan pemeliharaan hasil rehabilitasi hutan pada lahan di luar kawasan hutan skala kabupaten.

d. Penyelenggaraan inventarisasi hutan produksi dan hutan lindung skala Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam wilayah kabupaten.

e. Pengawasan dan pengendalian penatausahaan hasil hutan skala kabupaten

f. Pengurusan industri pengolahan hasil hutan meliputi:

1. Pemberian Ijin Usaha atau Ijin Perluasan Industri Primer Hasil Hutan Kayu untuk kapasitas produksi maksimal 2000 m3 per tahun; dan

2. Pemberian Ijin Usaha atau Ijin Perluasan Industri Primer Hasil Hutan Bukan Kayu.

g. Pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar meliputi pemberian ijin pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam lampiran Appendix CITES (Convention on International Trade and Endangered Species of Wild Fauna and Flora).

Bagian Kedua Kewajiban

Pasal 5

(1) Dalam hal hutan hak telah ditunjuk sebagai fungsi lindung dan atau fungsi konservasi, maka Pemerintah Daerah wajib memberi insentif kepada pemegang hak.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian insentif diatur dengan Peraturan Bupati.

(6)

Bagian Ketiga Tanggung Jawab

Pasal 6

(1) Penunjukan fungsi hutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), dilakukan melalui proses sebagai berikut:

a. inventarisasi hutan hak; b. pemetaan hutan hak; c. penunjukan hutan hak.

(2) Penunjukan fungsi hutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dilakukan oleh Bupati sesuai Peta Hutan Hak yang telah disiapkan oleh Dinas berdasarkan pada pemetaan hutan hak.

(3) Inventarisasi hutan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan oleh Dinas melalui survei mengenai keadaan fisik, keadaan flora dan fauna, serta keadaan sosial ekonomi masyarakat setempat dengan melibatkan pemegang hak.

(4) Tatacara penunjukan Hutan Hak lebih lanjut diatur dengan Peraturan Bupati.

BAB V

HAK, KEWAJIBAN DAN LARANGAN MASYARAKAT PEMEGANG HAK

Bagian Kesatu H a k Pasal 7 Pemegang hak, berhak untuk:

a. mendapatkan pelayanan; b. menikmati kualitas lingkungan;

c. memanfaatkan hutan sesuai dengan fungsinya; d. memperoleh insentif; dan

e. menentukan bentuk pemanfaatan hutan. Bagian Kedua

Kewajiban Pasal 8

(1) Pemegang hak berkewajiban memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga.

(2) Upaya memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang–undangan yang berlaku.

(3) Pemegang hak wajib melakukan pengamanan dan perlindungan terhadap hutan hak.

(4) Pengamanan dan perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) antara lain dalam bentuk perlindungan dari kebakaran, hama, penyakit, dan pendudukan atas hutan hak (okupasi).

(7)

Bagian Ketiga Larangan

Pasal 9

(1) Dalam pelaksanaan pemanfaatan hutan hak yang berfungsi konservasi, pemegang hak dilarang :

a. mengambil komoditas yang menjadi ciri khas tertentu dengan fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya;

b. menggunakan peralatan mekanis dan alat berat; c. menebang pohon;

d. membangun sarana dan prasarana permanen; e. mengganggu fungsi konservasi;

f. mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas hutan hak yang berfungsi konservasi; dan

g. menambah jenis tumbuhan yang tidak asli.

(2) Dalam pelaksanaan pemanfaatan hutan hak yang berfungsi lindung, pemegang hak dilarang :

a. menggunakan peralatan mekanis dan alat berat; b. menebang pohon;

c. membangun sarana dan prasarana permanen; d. mengganggu fungsi lindung;

e. mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas hutan hak yang befungsi lindung; dan

f. mengubah bentang alam dan lingkungan.

(3) Dalam pelaksanaan pemanfaatan hutan hak yang berfungsi produksi, pemegang hak dilarang menebang pohon pada lokasi dengan jarak kurang dari:

a. lima ratus meter dari tepi waduk, telaga, atau danau;

b. dua ratus meter dari tepi sumber mata air atau kiri kanan sungai; c. seratus meter dari tepi kanan kiri anak sungai; dan

d. dua kali kedalaman jurang dari tepi jurang. BAB VI

PEMANFAATAN HUTAN HAK Pasal 10

(1) Pemanfaatan hutan hak dilakukan oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan sesuai fungsinya.

(2) Pemanfaatan hutan hak yang berfungsi konservasi atau fungsi lindung dapat dilakukan sepanjang tidak menggangu fungsinya. (3) Pemanfaatan hutan hak yang berfungsi produksi dilaksanakan

dengan tetap menjaga kelestarian dan meningkatkan fungsi pokoknya.

Pasal 11 Pemanfaatan hutan hak dapat berupa: a. Pemanfaatan lahan;

b. Pemanfaatan hasil hutan kayu;

c. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu; dan d. Pemanfaatan jasa lingkungan.

(8)

Pasal 12

(1) Pemanfaatan hutan hak yang berfungsi konservasi dapat berupa: a. Pemungutan hasil hutan bukan kayu; dan

b. Pemanfaatan jasa lingkungan.

(2) Kegiatan pemungutan hasil hutan bukan kayu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a antara lain berupa :

a. Mengambil rotan; b. Mengambil madu;

c. Mengambil tanaman obat-obatan;

d. Mengambil buah dan aneka hasil hutan lainnya; dan

e. Perburuan satwa liar yang tidak dilindungi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b antara lain berupa :

a. Usaha wisata alam; b. Usaha olah raga;

c. Usaha pemanfaatan air;

d. Usaha pengurangan karbon; dan

e. Usaha penyelamatan hutan dan lingkungan Pasal 13

(1) Pemanfaatan hutan hak yang berfungsi lindung dapat berupa: a. Pemanfaatan lahan;

b. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu; dan c. Pemanfaatan jasa lingkungan.

(2) Kegiatan pemanfaatan lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat berupa :

a. Pemanfaatan lahan di bawah tegakan;

b. Usaha budidadaya tanaman obat atau tanaman hias; c. Usaha budidaya jamur;

d. Usaha budidaya perlebahan; dan

e. Usaha budidaya sarang burung walet/sriti;

(3) Kegiatan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat berupa :

a. Pemanfaatan lahan di bawah tegakan;

b. Usaha budidadaya tanaman obat atau tanaman hias; c. Usaha budidaya jamur;

d. Usaha budidaya perlebahan;

e. Usaha budidaya sarang burung walet, sriti; dan f. Usaha perbenihan tanaman hutan.

(4) Kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat berupa :

a. Usaha wisata alam; b. Usaha olah raga;

c. Usaha pemanfaatan air;

d. Usaha pengurangan karbon; dan

e. Usaha penyelamatan hutan dan lingkungan. Pasal 14

(1) Pemanfaatan hutan hak yang berfungsi produksi dapat berupa: a. Pemanfaatan hasil hutan kayu;

b. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu; dan c. Pemanfaatan jasa lingkungan.

(9)

(2) Kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a antara lain berupa :

a. Usaha budidaya tanaman kayu-kayuan sejenis; dan

b. Usaha budidaya tanaman kayu-kayuan campuran berbagai jenis.

(3) Kegiatan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b antara lain berupa :

a. Usaha budidadaya tanaman obat atau tanaman hias;

b. Usaha budidaya tanaman penghasil buah, getah, dan minyak atsiri;

c. Usaha budidaya tanaman bambu dan rotan; d. Usaha budidaya jamur;

e. Usaha budidaya perlebahan; f. Usaha budidaya persuteraan alam;

g. Usaha budidaya sarang burung walet, sriti; dan

h. Usaha penangkaran satwa sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(4) Kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c antara lain berupa :

a. Usaha wisata alam; b. Usaha olah raga;

c. Usaha pemanfaatan air;

d. Usaha pengurangan karbon; dan

e. Usaha penyelamatan hutan dan lingkungan. BAB VII

PERIJINAN Bagian Kesatu

Umum Pasal 15

(1) Setiap orang atau badan usaha yang akan melakukan penebangan pohon yang tumbuh pada hutan hak atau lahan masyarakat di luar kawasan hutan negara, wajib meminta ijin.

(2) Pemegang Ijin Tebang yang melakukan penebangan pohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menanam kembali minimal 2 (dua) kali lipat dari jumlah pohon yang ditebang.

Pasal 16

(1) Setiap orang atau koperasi yang mendirikan usaha/perluasan IPHHK dengan kapasitas produksi sampai dengan 2000 m³, wajib melaporkan dan meminta ijin kepada Bupati melalui Dinas.

(2) Ketentuan untuk Ijin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IUIPHHK) antara lain:

a. IUIPHHK dengan kapasitas produksi sampai dengan 2000 m³ per tahun hanya dapat diberikan kepada perorangan dan koperasi.

b. Pemegang IUIPHHK wajib mengajukan Ijin Perluasan apabila perluasan produksi melebihi 30 % (tiga puluh perseratus) dari kapasitas ijin produksi yang diberikan.

c. Pemegang IUIPHHK dapat melakukan perluasan produksi sampai dengan 30 % (tiga puluh perseratus) dari kapasitas produksi yang diijinkan tanpa ijin perluasan, dengan menambah bahan baku yang berasal dari hutan rakyat/perkebunan dan

(10)

berasal dari hutan alam berupa Ijin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu Hutan Alam (IUPHHK-HA) dengan syarat telah mendapat sertifikat Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari serta melaporkan kepada Menteri Kehutanan cq. Direktur Jenderal yang membidangi.

Pasal 17

(1) Setiap orang atau koperasi yang mendirikan usaha/perluasan IPHHB) wajib melaporkan dan meminta ijin kepada Bupati melalui Dinas.

(2) Ketentuan untuk Ijin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Bukan Kayu (IUIPHHBK) antara lain:

a. Setiap pendirian atau perluasan IPHHBK skala menengah dan skala besar, wajib memiliki Ijin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Bukan Kayu (IUIPHHBK) atau Ijin Perluasan.

b. IUIPHHBK dimaksud dapat diberikan kepada: Perorangan, Koperasi, BUMS, BUMD, dan BUMN.

c. IPHHBK skala kecil wajib memiliki Tanda Daftar Industri (TDI) yang diperlakukan sebagai IUIPHHBK.

d. TDI untuk industri primer hasil hutan bukan kayu, hanya dapat diberikan kepada Perorangan atau Koperasi.

e. Pemegang IUIPHHBK dan TDI wajib mengajukan ijin perluasan apabila perluasan produksi melebihi 30 %(tiga puluh perseratus) dari kapasitas ijin produksi yang diberikan.

f. Pemegang IUIPHHBK dan TDI dapat melakukan perluasan produksi sampai dengan 30 % (tiga puluh perseratus) dari kapasitas ijin produksi yang diberikan tanpa mengajukan ijin perluasan, dengan ketentuan tidak menambah bahan baku dan wajib menyampaikan laporan kepada Bupati melalui Dinas.

Pasal 18

Setiap orang atau badan usaha yang memelihara burung walet atau sriti wajib melaporkan dan meminta ijin kepada Bupati melalui Dinas;

Pasal 19

Setiap orang atau badan usaha yang bergerak dalam penangkapan/penangkaran dan peredaran tumbuhan atau satwa liar yang tidak dilindungi Undang-Undang dan tidak terdaftar dalam Appendix CITES (Convention on International Trade and Endangered Species of Wild Fauna and Flora), wajib mengajukan ijin usaha kepada Bupati melalui Dinas;

Pasal 20

Tatacara dan persyaratan permohonan ijin sebagaimana dimaksud pada Pasal 15, 16, 17, 18 dan 19 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.

(11)

Bagian Kedua Masa Berlakunya Ijin

Pasal 21

(1) Masa berlakunya ijin tebang adalah 15 (lima belas) hari terhitung sejak tanggal diterbitkannya ijin dimaksud dan dapat diperpanjang apabila diperlukan

(2) Ijin Usaha sebagaimana dimaksud pada Pasal 15, 16, 17, 18 dan 19 berlaku selama usaha/industri yang bersangkutan beroperasi. (3) Beroperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) apabila

usaha/industri berproduksi secara kontinyu, berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) tahun.

(4) Apabila usaha/industri tidak beroperasi selama 1 tahun dikenakan sanksi pencabutan ijin usaha industrinya.

Bagian Ketiga

Perubahan Komposisi Jenis Produksi, Penurunan Kapasitas Produksi serta Peremajaan Mesin

Pasal 22

(1) Perubahan komposisi jenis produksi dan/atau kapasitas ijin produksi tanpa menambah kebutuhan bahan baku dan jumlah total kapasitas ijin produksi dapat dilakukan oleh Pemegang Ijin Usaha Industri (IUI) dengan mengajukan permohonan kepada Bupati melalui Dinas untuk IUIPHHK dengan kapasitas produksi sampai dengan 2000 m³ per tahun.

(2) Tatacara dan persyaratan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Bupati.

Pasal 23

(1) Penurunan kapasitas ijin produksi dapat dilakukan berdasarkan: a. Usulan Pemegang IUI; dan

b. Hasil evaluasi.

(2) Dalam hal Pemegang IUI melakukan penurunan kapasitas ijin produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib mengajukan permohonan kepada Bupati melalui Dinas.

(3) Tata cara dan persyaratan pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur dengan Peraturan Bupati.

Pasal 24

(1) Peremajaan mesin (reengineering) dapat dilakukan dengan :

a. Penggantian mesin-mesin yang rusak/tua dan tidak efisien untuk tujuan peningkatan efisiensi dan produktivitas industri;

b. Penggantian atau penambahan mesin untuk tujuan diversifikasi bahan baku industri; dan

c. Penggantian atau penambahan mesin untuk tujuan pengurangan atau pemanfaatan limbah/sisa produksi.

(2) Pemegang IUI yang melakukan peremajaan mesin produksi utama wajib mengajukan permohonan kepada Bupati melalui Dinas untuk IUIPHHK kapasitas produksi sampai dengan 2000 m³ per tahun.

(12)

(3) Mesin produksi utama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah mesin-mesin produksi pada jenis industri tetentu yang berpengaruh langsung terhadap kapasitas produksi, yaitu:

a. Pada industri penggergajian kayu : breakdown saw, band saw; b. Pada industri veneer : rotary lathe, slicer;

c. Pada industri kayu lapis (plywood) dan Laminated Veneer Lumber : rotary lathe, slicer, hot press; dan

d. Pada industri serpih kayu (wood chip) : chipper.

(4) Tatacara dan persyaratan permohonan peremajaan mesin sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur dengan Peraturan Bupati.

Bagian Keempat

Hak, Kewajiban, dan Larangan Pemegang Ijin Usaha Industri Pasal 25

Setiap Pemegang IUIPHHK dan IUIPHHBK memiliki hak untuk : a. Memperoleh kepastian dalam menjalankan usahanya; dan b. Mendapatkan pelayanan dari Pemerintah Daerah.

Pasal 26 Pemegang IUIPHHK dan IUIPHHBK, wajib :

a. Menjalankan usaha industri sesuai dengan ijin yang dimiliki;

b. Mengajukan Ijin Perluasan, apabila melakukan perluasan produksi melebihi 30 % (tiga puluh perseratus) dari kapasitas produksi yang diijinkan;

c. Menyusun dan menyampaikan Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI) setiap tahun;

d. Menyusun dan menyampaikan laporan bulanan realisasi pemenuhan dan penggunaan bahan baku serta produksi;

e. Membuat atau menyampaikan Laporan Mutasi Kayu Bulat (LMKB) atau Laporan Mutasi Hasil Hutan Bukan Kayu (LMHHBK);

f. Membuat dan menyampaikan Laporan Mutasi Hasil Hutan Olahan (LMHHO);

g. Melakukan kegiatan usaha industri sesuai dengan yang ditetapkan dalam ijin; dan

h. Melaporkan secara berkala kegiatan dan hasil industrinya kepada Bupati melalui Dinas.

Pasal 27 Pemegang IUIPHHK dan IUIPHHBK dilarang : a. Memperluas usaha industri tanpa ijin;

b. Memindahkan lokasi usaha industri tanpa ijin;

c. Melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan pencemaran dan kerusakan terhadap lingkungan hidup yang melampaui batas baku mutu lingkungan;

d. Menadah, menampung, atau mengolah bahan baku hasil hutan yang berasal dari sumber bahan baku yang tidak sah (illegal); atau e. Melakukan kegiatan industri yang tidak sesuai dengan ijin yang

(13)

Bagian Kelima

Jaminan Pasokan Bahan Baku (JPBB) Pasal 28

(1) Setiap permohonanan ijin usaha dan permohonan ijin perluasan industri primer hasil hutan wajib menyampaikan Jaminan Pasokan Bahan Baku (JPBB).

(2) Sumber bahan baku industri primer hasil hutan dapat berasal dari hutan tanaman, baik dari hutan negara maupun hutan hak.

Pasal 29

(1) Jaminan Pasokan Bahan Baku (JPBB) kayu yang berasal dari hutan negara berupa kontrak kerjasama suplai/jual beli bahan baku dengan Pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu yang diketahui oleh Kepala Dinas Kehutanan Provinsi asal bahan baku. (2) Jaminan Pasokan Bahan Baku (JPBB) sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), dilengkapi/dilampiri dengan dokumen Pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dan Rencana Kerja Tahunan (RKT).

(3) Jaminan Pasokan Bahan Baku (JPBB) kayu yang berasal dari hutan hak, baik yang berasal dari dalam maupun luar kabupaten, berupa kontrak kerjasama suplai/jual beli bahan baku dengan pemasok/pemilik yang diketahui oleh Kepala Instansi Kabupaten yang membidangi Kehutanan dimana bahan baku berada.

(4) JPBB sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilengkapi dengan rencana pengadaan bibit, penanaman di lahan sendiri atau kerjasama penanaman di lahan masyarakat.

(5) Dalam hal jangka waktu kontrak telah habis masa berlakunya, pemegang IUI wajib membuat kontrak baru/perpanjangan dan menyampaikan kepada Bupati melalui Dinas.

Pasal 30

(1) Jaminan Pasokan Bahan Baku (JPBB) untuk hasil hutan bukan kayu berupa kontrak kerjasama suplai/jual beli hasil hutan bukan kayu dengan pemegang ijin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu atau ijin pemungutan hasil hutan kayu, atau ijin pemanfaatan hutan lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Jaminan Pasokan Bahan Baku (JPBB) untuk hasil hutan bukan kayu yang berasal dari hutan hak/hutan rakyat atau kebun rakyat berupa kontrak kerjasama suplai/jual beli bahan baku dengan pemasok/pemilik.

(3) Kontrak kerjasama suplai/jual beli hasil hutan bukan kayu sebagamana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2) diketahui oleh Kepala Instansi Kabupaten yang membidangi Kehutanan asal bahan baku.

(14)

Bagian Keenam

Perubahan dan Penggantian Nama Pemegang Ijin Pasal 31

(1) Nama pemegang ijin dalam ijin usaha industri dapat diubah atau diganti dengan dua sebab :

a. Perubahan nama tanpa mengubah badan hukum pemegang ijin; atau

b. Penggantian nama dengan mengubah/ganti badan hukum pemegang ijin.

(2) Pemegang IUI yang melakukan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengajukan permohonan perubahan nama yang tercantum dalam IUI kepada Bupati melalui Dinas.

(3) Tata cara dan persyaratan permohonan perubahan nama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati.

BAB VIII

PENGANGKUTAN HASIL HUTAN Pasal 32

(1) Hasil hutan berupa kayu (baik kayu bulat maupun kayu olahan) dan/atau bukan kayu (rotan dan gaharu) yang berasal dari hutan hak atau lahan masyarakat yang akan diangkut dari lokasi ke tempat lain, wajib disertai dengan dokumen angkutan yang sah. (2) Setiap orang atau badan usaha yang akan mengangkut hasil hutan

kayu dari hasil pendem, hasil lelang, dan hasil bongkaran rumah wajib disertai dengan dokumen angkutan yang sah, sesuai jenis kayu yang akan diangkut.

(3) Dokumen yang termasuk surat keterangan sahnya hasil hutan hak/rakyat yang digunakan dalam pengangkutan hasil hutan adalah sebagai berikut.

a. Surat Keterangan Sah Kayu Bulat cap Kayu Rakyat (SKSKB-KR).

b. Surat Keterangan Asal-Usul (SKAU).

c. Surat Angkutan Kayu Hasil Bongkaran Rumah (SAKBR). d. Surat Angkutan Kayu Hasil Lelang (SAL).

e. Nota atau Kuitansi penjualan atas nama pemilik hasil hutan dan bermaterai cukup.

f. Faktur Angkutan Kayu Olahan (FA-KO) atas nama Industri Pengolahan Kayu.

(4) Ketentuan lebih lanjut tentang penggunaan jenis dokumen berdasarkan jenis hasil hutan yang diangkut diatur dengan Peraturan Bupati.

BAB IX

PEMBINAAN DAN PENGENDALIAN Bagian Kesatu

Umum Pasal 33

(1) Bupati melakukan pembinaan dan pengendalian terhadap pemanfaatan hutan hak dan penatausahaan hasil hutan

(15)

(2) Pembinaan dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara teknis dan operasional dilakukan oleh Kepala Dinas.

Bagian Kedua Pembinaan

Pasal 34

Pembinaan sebagaimana dimaksud pada Pasal 29 meliputi pemberian: a. Bimbingan, b. Pelatihan, dan/atau c. Supervisi. Bagian Ketiga Pengendalian Pasal 35

Pengendalian sebagaimana dimaksud pada Pasal 29 meliputi kegiatan: a. Monitoring,

b. Evaluasi, dan c. Tindak lanjut.

BAB X

PERAN SERTA MASYARAKAT Pasal 36

(1) Peran serta masyarakat dalam pemanfaatan hutan hak diarahkan dan digerakkan oleh Pemerintah Kabupaten melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna.

(2) Peranserta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan:

1. Penatausahaan hasil hutan pada wilayah pengelolaannya; 2. Pemberdayaan kelembagaan masyarakat di sekitar hutan; 3. Mitra pelaksana kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat; 4. Perlindungan dan pengamanan hasil hutan; dan

5. Rehabilitasi hutan dan lahan di luar kawasan hutan.

(3) Dalam mengembangkan peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pemerintah Daerah menumbuhkan dan meningkatkan kesadaran tentang rehabilitasi hutan dan lahan miliknya melalui pendidikan dan penyuluhan serta pemberian insentif dalam bentuk bantuan untuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan.

BAB XI

SANKSI ADMINISTRASI Pasal 37

(1) Pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan di luar pelanggaran pidana, akan dikenakan sanksi administrasi.

(2) Pemberian sanksi dan tatacara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberlakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(16)

BAB XII

KETENTUAN PENYIDIKAN Pasal 38

(1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang tata usaha hasil hutan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.

(2) Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: a. Menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan

atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang tatausaha hasil hutan agar keterangan dan laporan tersebut menjadi lengkap dan jelas;

b. Meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan tindak pidana di bidang tata usaha hasil hutan;

c. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang tatausaha hasil hutan;

d. Memeriksa buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang tatausaha hasil hutan;

e. Melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan dokumen dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap barang bukti tersebut;

f. Meminta bantuan tenaga ahli di bidang tatausaha hasil hutan; g. Menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan

ruangan atau tempat pada saat pemeriksaaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang dan atau dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud pada Angka 5;

h. Memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana tatausaha hasil hutan ;

i. Memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

j. Menghentikan penyidikan; dan

k. Melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana dibidang tatausaha hasil hutan menurut hukum yang bisa dipertanggungjawabkan.

(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sesuai ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.

BAB XIII

KETENTUAN PIDANA Pasal 39

Barangsiapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan 27, diancam pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).

(17)

BAB XIV

KETENTUAN PERALIHAN Pasal 40

Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini maka Peraturan Daerah Kabupaten Magetan Nomor 10 Tahun 2003 tentang Tata Usaha Hasil Hutan dan Retribusi Izin Pengelolaan Hasil Hutan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.

BAB XV

KETENTUAN PENUTUP Pasal 41

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Magetan. Ditetapkan di Magetan pada tanggal BUPATI MAGETAN H. SUMANTRI Diundangkan di Magetan pada tanggal

SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN

H. ABDUL AZIS

(18)

PENJELASAN ATAS

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGETAN NOMOR ……… TAHUN 2010

TENTANG

PEMANFAATAN HUTAN HAK DAN PENATAUSAHAAN HASIL HUTAN I. PENJELASAN UMUM

Keberadaan sumberdaya hutan memiliki potensi untuk meningkatkan daya dukung dan memberi manfaat bagi pembangunan dan kesejahteraan daerah apabila dikelola secara optimal sesuai peraturan perundang-undangan.

Pemanfaatan hutan hak bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal dari hutan hak dengan tidak mengurangi fungsinya, sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga.

Pemanfaatan hutan hak dan penatausahaan hasil hutan melalui perijinan dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu atau bukan kayu dan pemanfaatan jasa lingkungan guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian hutan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan daya saing usaha serta membuka lapangan kerja bagi masyarakat.

Dalam rangka penyelenggaraan urusan dan kewenangan mengenai pengelolaan hutan dan pemanfaatan hasil hutan, sebagai dasar pijakan penyelenggaraan dipandang perlu untuk mengatur pemanfaatan hutan hak dan penatausahaan hasil hutan dalam suatu Peraturan Daerah.

II. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5 Ayat (1)

Insentif diberikan dengan maksud untuk mempertahankan hutan hak agar tetap berfungsi lindung atau berfungsi konservasi.

Ayat (2) Cukup jelas Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas

(19)

Pasal 7 Cukup jelas Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 10 Ayat (1)

Pemanfaatan hutan hak buertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi pemegang hak dengan tidak mengurangi fungsinya.

Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3)

Cukup jelas Pasal 11

Pemanfaatan hasil hutan kayu meliputi penyiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pemanenan atau penebangan, pengolahan, dan pemasaran.

Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu meliputi penyiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pemanenan atau penebangan, pengolahan, dan pemasaran.

Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas

(20)

Ayat (4) Cukup jelas Pasal 15

Ayat (1)

Dokumen Ijin Tebang merupakan bukti kepemilikan yang sah hasil hutan Kayu Rakyat.

Lahan masyarakat di luar kawasan hutan negara dimaksud meliputi: a. Lahan milik desa;

b. Lahan milik Pemerintah; dan

c. Lahan lain-lain (sekitar jalan, sungai, waduk, dan sebagainya) yang bukan merupakan hak perorangan.

Ayat (2) Cukup jelas Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 18

Ijin dimaksud adalah ijin pengelolaan tempat usaha/pemeliharaan sarang burung walet dan atau burung sriti.

Pasal 19

Tumbuhan dan satwa liar dimaksud adalah tumbuhan dan satwa liar yang keberadaannya dianggap semakin langka dan/atau merupakan tumbuhan dan satwa yang menjadi maskot/yang diunggulkan daerah.

Pasal 20 Cukup jelas Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas

(21)

Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 25 Cukup jelas Pasal 26 Cukup jelas Pasal 27 Cukup jelas Pasal 28 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 29 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 30 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 31 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 32 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3)

Jenis-jenis dokumen angkutan untuk kayu bulat/olahan rakyat dan hasil hutan bukan kayu merupakan surat keterangan sahnya hasil hutan yang berfungsi sebagai bukti legalitas dalam pengangkutan, penguasaan atau pemilikan hasil hutan yang asal usulnya berasal dari hutan hak/rakyat.

SKAU yang diterbitkan oleh Pejabat Penerbit SKAU di desa/kelurahan yang bersangkutan tempat hasil hutan tersebut diangkut.

SKSKB Cap KR yang diterbitkan oleh Pejabat Penerbit SKSKB. Nota atau Kuitansi penjualan dari Penjual.

(22)

Ayat (4) Cukup jelas Pasal 33 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 34

Pemberian bimbingan ditujukan terhadap penyusunan prosedur dan tata kerja. Pemberian pelatihan ditujukan terhadap sumberdaya aparatur.

Supervisi ditujukan terhadap pelaksanaan kegiatan penatausahaan hasil hutan. Pasal 35

Monitoring adalah kegiatan untuk memperoleh data dan informasi serta pelaksanaan penatausahaan hasil hutan.

evaluasi adalah kegiatan untuk menilai keberhasilan pelaksanaan penatausahaan hasil hutan terkait dengan pelayanan publik.

Tindak lanjut merupakan tindak lanjut hasil monitoring dan evaluasi guna penyempurnaan kebijakan dan pelaksanaan penatausahaan hasil hutan.

Pasal 36 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 37 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 38 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas Pasal 40 Cukup jelas Pasal 41 Cukup jelas

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka masalah XPXP GDODP SHQHOLWLDQ LQL DGDODK ³Apakah dengan menggunakan metode eksperimen pada pembelajaran

positif dan signifikan terhadap peningkatan pendapatan dan kesempatan kerja pada UMKM yang menerima KUR. 2) Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Fitriana (2012)

Kalau Dhanawaty memfokuskan pada bahasa Bali yang digunakan penuturnya yang berada di daerah transmigran secara sinkronis, penelitian ini justru sebaliknya, yaitu memfokuskan

Kadar air cookies tertinggi adalah pada perlakuan P2 (9,41%) Hasil analisis statistik Oneway Anova pada tingkat kepercayaan 95% menunjukkan bahwa penggunaan

terhadap 30 penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan spesifisitas sebesar 96%.21 Penelitian oleh Hatta dkk (2002) mendapatkan rerata sensitivitas

Pengukuran latency dilakukan secara langsung dari command prompt dan tidak dilakukan untuk setiap per hop behaviour seperti pada pengukuran jitter dan packet loss ,

Meskipun sinyal yang didapat dari domain waktu tidak dapat secara langsung menunjukkan gejala kerusakan elemen suatu mesin, dikarenakan beberapa data yang saling berhimpitan,

Katakanlah anda telah memiliki asuransi dari kantor yang meng-cover seluruh biaya rumah sakit anda, lalu anda ditawari lagi asuransi tambahan yang katanya bisa double claim