• Tidak ada hasil yang ditemukan

AHS : ONTOLOGI KOLABORASI DINAMIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "AHS : ONTOLOGI KOLABORASI DINAMIS"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

AHS : ONTOLOGI KOLABORASI DINAMIS

Anisa Herdiani1 , Husni S. Sastramihardja2 1

Program Studi Teknik Informatika, Fakultas Teknologi Informasi, Universitas YARSI Jakarta

2

Program Studi Sistem dan Teknologi Informasi, Sekolah Teknik Elektro dan Informatika Institut Teknologi Bandung

1

anisa.herdiani@yarsi.ac.id,2husni@informatika.org

Abstrak

Aktivitas kolaborasi memberikan dampak yang signifikan dalam usaha kolektif manusia. Namun demikian aktivitas ini merupakan proses yang kompleks karena melibatkan berbagai partisipan beserta sumberdaya yang dimiliki dengan perilaku atau behavior yang beragam dan dinamis. Paper ini akan membahas bagaimana proses kolaborasi yang efektif dan dinamis dimodelkan menggunakan ontologi. Konsep ontologi digunakan karena dapat memberikan kesepahaman atas struktur informasi antar pihak, dan memungkinkan penggunaan kembali

(reuse) dari domain knowledge.

Dalam merancang ontologi kolaborasi dinamis dilakukan elaborasi Collaborative network Ontology (CNO) terhadap Models of Collaboration. Metode ini dilakukan untuk menyempurnakan model CNO agar mampu mengakomodasi aspek dinamis sebagai konsekuensi dari interaksi yang dilakukan oleh para partisipan.

Hasil akhir dari paper ini adalah sebuah ontologi kolaborasi dinamis yang diberi nama AHS. AHS merupakan deklarasi stuktur knowledge base yang merepresentasikan proses kolaborasi yang dinamis. Representasi ini telah memenuhi prasyarat kolaborasi dan mampu mengakomodasi persoalan yang muncul dalam proses kolaborasi.

Kata kunci : kolaborasi, ontologi, collaborative network ontology (CNO), interaksi, dinamis

1. Pendahuluan

Aktivitas kolaborasi memberikan dampak yang signifikan dalam usaha kolektif manusia. Aktivitas ini mendapatkan perhatian yang sangat besar dari sejumlah besar area penelitian seperti seni, ilmu pengetahuan, industri, bisnis, pendidikan, teknologi, perancangan perangkat lunak, dan kedokteran. Namun di sisi lain ketertutupan institusional menghambat kapasitas untuk menemukan (discover) dan mensintesis penelitian di area ini. Hal ini

memberikan tantangan untuk membangun

framework teoritis lintas disiplin pada kolaborasi,

yang memanfaatkan kolaborasi sebagai strategi penyelesaian masalah atau aplikasinya pada berbagai konteks [5].

Kolaborasi merupakan aktivitas yang

terkoordinasi dari sejumlah partisipan, yang berfokus pada pencapaian tujuan bersama. Di dalamnya terdapat interaksi sosial dalam rangka membangun dan memelihara konsepsi bersama atas suatu permasalahan [3, 6, 12]

Ted Panitz, seorang Profesor bidang

Matematika dan Engineering mengungkapkan

sejumlah dampak positif dari kolaborasi, terutama dalam bidang pembelajaran. Dari sisi akademis,

kolaborasi dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, meningkatkan keterlibatan peserta ajar pada proses belajar, meningkatkan prestasi kelas, memodelkan teknik-teknik penyelesaian persoalan oleh siswa, membantu peserta ajar yang lemah untuk

meningkatkan performansinya, meningkatkan

pemahaman siswa pada materi ajar, dan sebagainya. Pada sisi sosial, kolaborasi mendorong terbentuknya dukungan sosial bagi peserta ajar, membuka wawasan dengan memahami bahwa setiap orang

memiliki perspektifnya masing-masing, dan

membangun suasana yang mendukung untuk berlatih bekerjasama. Kolaborasi juga berpengaruh pada sisi psikologi yaitu meningkatkan kepercayaan diri dan membangun budaya dan sikap saling menghargai satu sama lain [13].

Selain pada proses pembelajaran, kolaborasi juga memiliki dampak positif pada dunia kerja diantaranya meningkatkan produktivitas pekerja,

menyelesaikan permasalahan lebih cepat,

mempercepat Return of Investment (ROI),

merampingkan proses bisnis, dan menjaga hubungan antara pekerja dan customer [6].

Terlepas dari berbagai berbagai dampak positif dari kolaborasi, proses ini merupakan proses yang kompleks karena melibatkan berbagai partisipan

(2)

beserta sumberdaya yang dimiliki dengan perilaku atau behavior yang beragam dan dinamis. Menurut Dillenbourgh dan Scheneider, terdapat perbedaan budaya yang harus diadaptasi oleh masing-masing

partisipan yang mungkin saja menimbulkan

permasalahan diantaranya konflik ketidaksepakatan,

internalisasi, pengambilan hak pihak lain,

pembagian beban, peraturan bersama, dan landasan sosial. Proses kolaborasi yang efektif membutuhkan heterogenitas yang optimal dalam komposisi kelompok. Beberapa perbedaan diperlukan untuk

memicu interaksi, dengan tetap menjaga

kepentingan bersama dan pemahaman tanpa memicu konflik [13].

Dari uraian di atas, dimunculkan sebuah

research question : Bagaimana mendukung proses

kolaborasi yang efektif dan dinamis? Untuk menjawab research question tersebut dilakukan sebuah penelitian untuk membangun model proses kolaborasi berbasis ontologi yang mendukung proses kolaborasi yang efektif dan dinamis.

Konsep ontologi digunakan karena dapat memberikan kesepahaman atas struktur informasi antar pihak. Konsep ini memungkinkan penggunaan kembali (reuse) domain knowledge [11].

Dalam ontologi didefinisikan kamus kata (vocabulary) beserta spesifikasi makna dari setiap kata tersebut. Ontologi juga meliputi definisi dan indikasi mengenai bagaimana suatu konsep saling

berhubungan yang kemudian secara kolektif

membangun sebuah struktur pada suatu domain dan membatasi interpretasi atas suatu istilah [9]. Konsep

tersebut membentuk knowledge base yang

mendukung proses kolaborasi yang efektif dan dinamis.

Paper ini membahas pengembangan ontologi kolaborasi dinamis. Ontologi dibangun dengan mengelaborasi dua reference model, bagian ini akan dijelaskan pada bagian penelitian terkait. Kemudian

dilakukan pendefinisian elemen dan relasi

pembentuk proses kolaborasi dinamis, hal ini dijelaskan pada bagian perancangan. Hasil dari perancangan tersebut adalah sebuah ontologi kolaborasi dinamis yang diberi nama AHS. Pada tahap akhir dilakukan evaluasi representasi elemen ontologi terhadap prasyarat (requirement) proses kolaborasi. Evaluasi ini menyatakan posisi dari model kolaborasi yang telah dibangun, hal ini dijelaskan pada bagian evaluasi. Diakhir tulisan terdapat kesimpulan dan saran atas pengembangan ontologi model proses kolaborasi dinamis.

2. Penelitian Terkait

2.1 Collaborative network Ontology

Benaben dan Rajsiri pada tahun 2008 hingga

2009 telah membangun sebuah Collaborative

network Ontology (CNO) yang dibentuk dalam

rangka membangun knowledge based system yang

menangani sebuah MIS (Mediated Information

System) yang mendukung Enterprise Collaboration.

MIS menghubungkan sistem informasi yang berbeda untuk mengatasi persoalan interoperability yang terjadi. Dengan demikian proses kolaborasi yang ditangani dalam model ini merupakan proses yang kompleks, yang menangani sejumlah besar elemen dan relasi yang berlainan (distinct relationship) [1, 7, 10].

Elemen dalam CNO dikelompokan atas dua bagian yaitu elemen yang tergabung Collaboration Ontology yang melihat dari sudut pandang organisasi dan elemen yang tergabung dalam Collaborative Process Ontology yang melihat dari sudut pandang proses. Elemen-elemen dalam CNO dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Elemen dalam CNO [11]

Collaboration Ontology Kategori Participant Participant Role Abstract Service Kategori Kolaborasi Collaborative Network Common Goal Relationship - Competition - Group of Interest - Supplier-customer - Exchange/sharing Topology

- Kind of (Star, Chain, Peer to

Peer(P2P))

- Duration (continuous,

discontinuous)

- Power (central, equal,

hierarchic)

Collaborative Process Ontology

Business Service

Resource Coordination service MIS Service

Dependency between MIS service (sequence flow)

2.2 Models of Collaboration

Models of Collaboration yang digagas oleh

Timothy Butler dan David Coleman pada 2003 menjelaskan proses kolaborasi berdasarkan interaksi yang terjadi di dalamnya. Klasifikasi proses kolaborasi dilakukan untuk menentukan jenis

kolaborasi yang dilakukan oleh sekelompok

partisipan (dapat berupa individu, organisasi, perusahaan, atau entitas lainnya).

Terdapat lima model utama yang didefinisikan dalam models of collaboration, masing-masing memiliki karakteristik yang spesifik [2]:

a. Library Collaboration Model

Library collaboration model merupakan model

(3)

umum, yaitu interaksi antara orang dengan data khususnya suatu content.

b. Solicitation Collaboration Model

Solicitation collaboration model melibatkan

permintaan dari kumpulan kecil requestor data dan sejumlah tanggapan dari responden. c. Team Collaboration Model

Team collaboration model digunakan untuk

memfasilitasi aktivitas dari sebuah tim. d. Community Collaboration Model

Model kolaborasi yang kurang umum namun mapan. Digunakan untuk memfasilitasi aktivitas dalam sebuah komunitas seperti Community of

Practice (CoP) atau Community of Interest

(CoI).

e. Process Support Collaboration Model

Pemanfaatan teknologi kolaborasi dalam proses atau aliran kerja (workflow).

Dalam suatu situasi mungkin saja digunakan lebih dari satu model kolaborasi, atau disebut dengan hybrid model. Fokus dari model ini adalah interaksi antar pihak yang melakukan proses kolaborasi.

Penentuan jenis kolaborasi ini dibutuhkan untuk mengetahui requirement proses kolaborasi yang digunakan dalam rangka menganalisis dan merancang sebuah sistem kolaborasi dalam suatu organisasi [2,7]. Secara holistik kelima model diilustrasikan dalam Gambar 1.

Library Solicitation Process Support Community Team

Level of Interaction High

Low Small Large

Group Size

Gambar 1 Models of Collaboration [2]

3. Perancangan

Berdasarkan deskripsi dan pemanfaatan

Collaborative network Ontology terdapat peluang untuk mengembangkan model kolaborasi tersebut menjadi model yang dinamis, yaitu mampu menangani berbagai perubahan yang terjadi selama proses kolaborasi berlangsung, misalnya perubahan kepentingan dan juga perubahan interaksi.

Dalam mengembangkan model kolaborasi ini dilakukan elaborasi Collaborative network Ontology (CNO) terhadap Models of Collaboration. Metode ini dilakukan untuk menyempurnakan CNO agar mampu mengakomodasi berbagai macam interaksi dalam kolaborasi dan aspek dinamis sebagai

konsekuensi dari interaksi yang dilakukan para partisipan.

Tahapan yang dilakukan dalam pengembangan model kolaborasi tersebut adalah sebagai berikut :

a. Identifikasi elemen dalam CNO yang

bersesuaian atau mampu merepresentasikan karakteristik Model of Collaboration.

b. Elemen CNO dan karakteristik Model of

Collaboration yang bersesuaian menunjukkan

bahwa elemen yang telah terdefinisi dalam

CNO tersebut akan digunakan untuk

membangun model kolaborasi yang baru.

c. Untuk karakteristik yang belum dapat

direpresentasikan oleh elemen dalam CNO, diciptakan elemen baru yang melengkapi model kolaborasi.

d. Setelah seluruh elemen yang dibutuhkan telah terdefinisi, dilakukan pendefinisian relasi yang bersesuaian untuk menghubungkan elemen-elemen tersebut.

Skema pengembangan model kolaborasi dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Skema Pengembangan Model Kolaborasi

Berdasarkan pemetaan model kolaborasi, diperlukan penciptaan sejumlah elemen dan relasi untuk melengkapi model kolaborasi. Elemen yang diciptakan adalah elemen dashboard, history, rule,

event. Selain itu ditambahkan pula karakteristik dari

elemen topology yaitu membership (open, closed),

dan interaction (synchronous, asynchronous).

Seluruh elemen tersebut menjadi bagian dari

Collaboration Ontology (CO).

Deskripsi dari elemen dan karakteristik elemen topology yang ditambahkan adalah sebagai berikut : a. Dashboard, elemen ini memberikan gambaran

umum perkembangan proses/pekerjaan yang

dilaksanakan setiap participant dalam

collaborative network.

b. Rule, berisi sejumlah aturan yang harus dipatuhi oleh setiap participant yang terlibat dalam

collaborative network. Participant yang

melanggar aturan yang ditetapkan (dalam batas

tertentu) akan tidak disertakan dalam

collaborative network. Karakteristik ‘Models of Collaboration’ Elemen Kolaborasi ‘Collaborative Network Ontology’ Dipetakan pada Karakteristik-elemen bersesuaian Karakteristik Elemen

Penggunaan elemen yang telah terdefinisi dalam

CNO

Penciptaan elemen baru yang bersesuaian

Ya Tidak

Pendefinisian relasi

(4)

c. Event adalah suatu kejadian penting yang terjadi di dalam atau di luar enterprise. Event

juga dapat didefinisikan sebagai perubahan signifikan atas suatu kondisi dalam sistem atau

environment. Konsep penciptaan event

didasarkan pada aliran (flow), bukan kondisi dari resources, kondisi atau event pemicu yang merupakan pola penting pada event. Pola event

dideskripsikan dalam rule:

event-condition-action (ECA). Misalnya:

1) Event : Permintaan pembeli untuk

mengirimkan sejumlah material

2) Condition : Pesanan pembelian telah

diterima dan belum diproses

3) Action : Kirimkan pesanan pembelian ke

delivery service.

Rule ECA dapat diekspresikan sebagai berikut:

when event is produced, if condition is

satisfied, then action will be performed”.

Implementasi pendekatan berbasis event

(event-based) akan membuat model proses

kolaborasi menjadi semakin dinamis, lengkap, dan nyata. Ketika event terjadi atau berubah, definisi proses kolaborasi pun akan berubah.

Dengan demikian pendekatan ini akan

memberikan fleksibilitas pelaksanaan solusi.

d. History, menjelaskan informasi mengenai aktivitas apa yang telah dilakukan dalam

collaborative network. Dengan demikian

participant yang baru terlibat dapat segera mengikuti alur pekerjaan dari awal.

e. Membership, menjelaskan sifat kepesertaan

participant dalam collaborative network.

1) Closed, menunjukkan bahwa participant

yang diikutsertakan dalam collaborative

network ditentukan oleh pengelola network.

2) Open, menunjukkan bahwa participant

dapat bergabung dalam suatu network tanpa harus memenuhi kriteria tertentu.

f. Interaction, menjelaskan cara setiap participant

berkomunikasi dengan participant lainnya. 1) Synchronous, terjadi jika masing-masing

participant berkomunikasi secara langsung

dengan participant lainnya, artinya tidak ada (atau minimal) jeda antara serangkaian aksi-reaksi (same-time).

2) Asynchronous, terjadi jika masing-masing

participant berkomunikasi secara tidak

langsung dengan participant lainnya, artinya terdapat sejumlah waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan reaksi dari suatu aksi (different-time).

4. AHS : Ontologi Kolaborasi Dinamis

Ontologi kolaborasi dinamis merupakan

deklarasi stuktur knowledge base yang

merepresentasikan proses kolaborasi yang dinamis. Ontologi ini memberikan kesepahaman atas struktur informasi antar pihak yang terlibat dalam suatu

proses kolaborasi. Elemen dalam ontologi

didefinisikan sebagai ekstraksi dari proses

kolaborasi itu sendiri.

Ontologi kolaborasi dinamis merupakan

pengembangan dari CNO, dengan penambahan elemen dashboard, history, rule, event, dan

karakteristik dari elemen topology yaitu membership

(open, closed), dan interaction (synchronous,

asynchronous). Ontologi ini kemudian diberi nama

AHS. Gambar 3 menunjukan AHS dengan metoda

Gambar 3 AHS : Ontologi Kolaborasi Dinamis

participant resource has Relationship role Abstract service provide play perform Is performed by P1/P2 competition Group of interest Supplier-customer Common Goal Collaborative Network Topology star P2P chain power duration central hierarchic equal discontinuous continuous Kind of has has achieve has has membership open interaction asynchronous One to many One to one dashboard has event change has has has Business Service MIS Service Coordination Service Dependency b/w service of participants (message flow)

Dependency b/w CIS service (sequence flow) generic specific Consist of Has input Has output from to manage contain Is a manage Is coordinated by from to has synchronous closed

Collaboration Ontology (CO)

Collaborative Process Ontology (CPO) history

has rule

(5)

representasi yang diadaptasi dari CNO.

Penggunaan terminologi pada bagian

collaboration ontology (CO) diekspresikan sebagai

berikut :

a. Dalam kolaborasi setiap participant memiliki role dengan melaksanakan sejumlah abstract service untuk mencapai common goal yang dimiliki oleh collaborative network.

b. Kondisi ketercapaian common goal dapat

diketahui dengan melakukan pemantauan

berkala terhadap dashboard.

c. Participant yang baru bergabung dalam collaborative network dapat segera mengikuti alur pekerjaan dari awal dengan mempelajari history.

d. Setiap participant yang terlibat dalam network ini terhubung dengan jenis relationship competition, group of interest atau supplier-customer.

e. Untuk menghindari konflik kepentingan, setiap participant harus mematuhi rule yang telah disepakati bersama.

f. Ketika melakukan kolaborasi, terdapat topology relasi antar participant yang dapat berupa star, P2P (peer to peer), atau chain.

g. Topology relasi dapat terjadi dalam ragam power (central, equal, hierarchic), duration (discontinuous, continuous).

h. Keanggotaan (membership) dari model

kolaborasi ini dapat bersifat tertutup (closed) atau terbuka (open), bergantung pada event yang menyebabkan terbentuknya collaborative network.

i. Bentuk interaksi (interaction) yang terjadi dapat secara synchronous maupun asynchronous, disesuaikan dengan kebutuhan.

Elemen dashboard berperan dalam

memberikan informasi umum mengenai

perkembangan/kemajuan proses yang sedang

dilaksanakan. Dengan demikian proses evaluasi pencapaian target dapat lebih mudah dilakukan.

Dinamika proses kolaborasi dapat ditangani dengan keberadaan elemen event. Elemen ini mengakomodasi setiap kondisi yang harus dihadapi dan ditangani melalui proses kolaborasi.

Perubahan pada elemen event akan

menyebabkan perubahan pada elemen-elemen lain yang berkaitan sedemikian sehingga tujuan proses kolaborasi akan tetap tercapai. Dengan demikian model kolaborasi dapat menangani proses kolaborasi yang dinamis.

Dengan menggunakan konsep ontologi ini dapat disimpulkan bahwa suatu proses kolaborasi akan efektif apabila setiap elemen dan relasi

pembangunnya teridentifikasi dan dapat

didefinisikan dengan jelas. Sehingga tidak ada duplikasi peran, pekerjaan, dan sebagainya. Setiap partisipan pun mengetahui apa tujuan mereka, dan bagaimana cara mencapai tujuan tersebut. Dengan

demikian pencapaian tujuan dapat dilakukan dengan lebih cepat dan terarah.

5. Evaluasi

Untuk menilai keterpenuhan prasyarat

kolaborasi dan menentukan posisi AHS, keseluruhan prasyarat kolaborasi direpresentasikan dalam elemen AHS. Prasyarat kolaborasi ditetapkan berdasarkan

Requirements for Collaboration dari Collaborative

network Reference Modelling dalam [8]. Tabel 2

menunjukkan representasi elemen AHS dalam memenuhi prasyarat kolaborasi.

Tabel 2 Representasi Elemen Kolaborasi

No. Prasyarat Elemen

1 Kolaborasi harus memiliki

maksud

Common goal

2 Masing-masing pihak yang

terlibat sepakat untuk

berkolaborasi

Participant ,

Relationship

3 Masing-masing pihak

mengetahui kapabilitas

satu sama lain

Participant ,

Role,

Abstract services

4 Masing-masing pihak

berbagi suatu tujuan dan

menjaga visi bersama

selama proses kolaborasi menuju tercapainya tujuan bersama Participant , abstract service, Common goal 5 Masing-masing pihak memelihara pemahaman

bersama atas suatu

persoalan yang dihadapi.

Relationship

(Group of

interest)

6 Identifikasi pihak-pihak

yang terkait dan pelibatan mereka bersama

Participant

7 Definisi dari ruang lingkup

kolaborasi dan hasil yang diharapkan Abstract service 8 Definisi struktur kolaborasi, meliputi kepemimpinan, peran, tanggung jawab,

kepemilikan dari aset yang dihasilkan

Topology

9 Identifikasi resiko dan

pengukuran atas rencana kontigensi

-

10 Membangun komitmen

untuk berkolaborasi

Relationship

Selain prasyarat, adapula kesulitan yang harus dikelola dalam lingkungan kolaborasi. Tabel 3 menunjukkan representasi elemen kolaborasi dalam mengelola kesulitan dalam lingkungan kolaborasi.

(6)

Tabel 3 Representasi Elemen Kolaborasi dalam Persoalan Lingkungan Kolaborasi

No. Kesulitan Elemen

1 Kepemilikan dan sharing sumberdaya

Resources, business service, coordination service, dependency b/w service of participant s, MIS Service 2 Menentukan

kontribusi individual

Participant , Role, Abstract service 3 Menjaga komitmen Relationship 4 Ketidakjelasa n Tanggung jawab

Participant , Role, Abstract service

Dari Tabel 2 dan Tabel 3 didapat bahwa AHS hampir memenuhi keseluruhan prasyarat kolaborasi dan juga mampu menangani keseluruhan persoalan lingkungan kolaborasi.

Prasyarat yang belum terpenuhi adalah prasyarat nomor 9 yaitu identifikasi resiko dan pengukuran atas rencana kontigensi. Prasyarat tersebut menjadi salah satu requirement yang harus diakomodasi dalam pengembangan lingkungan kolaborasi, yaitu sistem yang mendukung participant dalam mencapai tujuannya secara kolaboratif.

6. Kesimpulan

Berdasarkan hasil perancangan model

kolaborasi didapat kesimpulan bahwa :

a. Reference model dapat digunakan untuk

membangun suatu model yang akan

diimplementasikan pada suatu area manifestasi.

b. Dalam membangun model kolaborasi, perlu

diperhatikan komponen utama pembangunnya yaitu participant dan kriteria proses kolaborasi itu sendiri. Kriteria tersebut meliputi prasyarat proses kolaborasi dan kebutuhan organisasi atas suatu proses kolaborasi.

c. Proses kolaborasi yang efektif dapat terjadi apabila setiap elemen pembangun proses kolaborasi beserta relasinya didefinisikan dengan jelas sebelum proses kolaborasi tersebut dilaksanakan.

d. Aspek dinamis dalam proses kolaborasi dapat dikelola dengan mengidentifikasi setiap event

yang terjadi selama proses kolaborasi tersebut berjalan.

e. AHS mampu merepresentasikan prasyarat dan penyelesaian persoalan dalam proses kolaborasi.

Acknowledgement

Terima kasih pada Institut Teknologi Bandung atas bantuan dana Voucher ITB selama proses penelitian ini dilakukan.

Daftar Pustaka

[1] Benaben, F., Touzi, J., Rajsiri, V., Truptil, S., Lorré, J.P., Pingaud, H, 2008, Mediation Information Construction in a Collaborative SOA Context through a MDD Approach,

Proceeding of MDISIS 2008, 89-103.

[2] Butler, T., dan Coleman, D., 2003, Models of

Collaboration, Collaborative Strategies (LLC)

Strategies for Electronic Collaboration and

Knowledge Management.

[3] Dillenbourg, P., Baker, M., Blaye, A. dan O'malley, C., 1996, The Evolution of Research on Collaborative Learning. In E. Spada & P. Reiman (Eds) Learning in Humans and Machine: Towards an interdisciplinary learning science, 189-211.

[4] Dillenbourg P., 1999, What do you mean by

collaborative learning?, Collaborative-learning:

Cognitive and Computational Approaches, 1-19. [5] Elliot, M. A., 2006, Stigmergic Collaboration A

Theoretical Framework for Mass

Collaboration, Disertasi Program Doktoral, The

University of Melbourne, 7-9.

[6] Gurteen, D., 2002, Collaborative Working. The

Gurteen Knowledge Website.

http://www.gurteen.com diakses tanggal 14

September 2008

[7] Herdiani, Anisa., 2009, Perancangan

Ensiklopedia dalam Pengembangan

Collaborative Environment, Tesis Program

Magister, Institut Teknologi Bandung.

[8] Matos, L.M., Camarinha, Afsarmanesh, H.,

2008, Collaborative networks Reference

Modeling, New York, Springer Science &

Business Media LLC.

[9] Pérez, AG., López, MF, Corcho, O., 2004,

Ontological Engineering, London, Springer

Verlag.

[10]Rajsiri, V, Lorre JP., Benaben, F., Pingaud, H.,

2008, Ontology-based Methodology for

Collaborative Process Definition of Enterprise

Networks, Proceedings of the 17th World

Congress The International Federation of Automatic Control, 17, 11913-11918.

[11]Rajsiri, V., 2009, Knowledge-Based System for

Collaboration Process Specification, Disertasi

Doktoral, Universite de Toulouse III – Paul Sabatier, 74-89.

[12]Reed, C., 2002, Building an Enterprise Strategy

for Digital Collaborations.Centra Software Inc.

[13]Roberts, T.S., 2005, Computer-Supported

Collaborative-Learning in Higher Education:

An Introduction, London, Idea Group

Gambar

Tabel 1 Elemen dalam CNO [11]
Gambar 2 Skema Pengembangan Model  Kolaborasi
Gambar 3 AHS : Ontologi Kolaborasi Dinamis
Tabel 2 Representasi Elemen Kolaborasi
+2

Referensi

Dokumen terkait

〔労働法六〕「組合を脱退するには組合大会の承認を必要とする」 との定めとその効力 神戸地裁昭和三八年一一月二八日判決 〔労働法〕六

Berbekal informasi yang dimilikinya seorang ibu hamil dengan tingkat pendidikan tinggi dapat mengetahui resiko apa saja yang dapat terjadi pada kehamilan yang pertama kali (

Karena dalam permainan tradisional yang dimiliki oleh bangsa Indonesia memuat makna yang luhur yang terkandung didalam permainan tersebut, yang memuat nilai – nilai

bahwa sehubungan dengan bencana nonalam yang diakibatkan oleh penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) berimplikasi pada aspek sosial ekonomi yang luas di Indonesia,

Dari hasil penelitian yang penulis lakukan mengenai pengaruh pemasaran Jemput Maslahah Terhadap Pendapatan Mudharabah di Bank BJB Syariah Bandung, ada beberapa

Selama delapan minggu pemeliharaan, kelangsungan hidup larva gurame yang direndam dalam dosis hormon 1 ppm sangat rendah dan nilainya berselisih jauh dengan perlakuan lain dan

Menurut data yang dihimpun oleh peneliti, SLB – C Sukapura memiliki anak down syndrome dengan jumlah yang cukup dan juga mampu bersosialiasai dan mampu latih sehingga